Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai II

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai II"

Transkripsi

1 Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai II Kurniawan, SE

2 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI i DAFTAR GAMBAR iii MODUL PENGAWASAN DAN PENINDAKAN DIBIDANG KEPABEANAN 1 1. Deskripsi Singkat 1 2. Prasyarat Kompetensi 2 3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2 4. Relevansi Modul 2 BAB I : KETENTUAN TINDAK PIDANA 3 A. Tindak Pidana Kepabeanan 3 1. Tindak Pidana Penyelundupan Impor 3 2. Tindak Pidana Penyelundupan Ekspor 4 3. Tindak Pidana Kepabeanan Lainnya 5 B. Tindak Pidana Penyelundupan Yang Mengganggu Sendi-Sendi Perekonomian 6 Negara C. Tidak Mengindahkan Ketentuan Undang-Undang Kepabeanan 7 D. Tindak Pidana Cukai 8 E. Pengganti Pidana Denda 9 F. Barang Hasil Tindak Pidana 10 G. Rangkuman 12 H. Latihan Soal 14 BAB II : WEWENANG PENYIDIKAN 15 A. Penyidikan Di Bidang Kepabeanan Dan Cukai 15 B. Asas-Asas Dalam KUHAP 17 C. Hak-Hak Tersangka 24 D. Penerimaan Perkara 26 E. Penelitian Pendahuluan 26 F. Penentuan Skema Penanganan Perkara 28 G. Pemanggilan Tersangka dan Saksi 31 H. Pemeriksaan Tersangka/Saksi 33 I. Penelitian dan Penyidikan 33 J. Penyidikan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor 37 K. Penanganan Barang Hasil Penindakan 37 i

3 L. Penanganan Pelaku / Tersangka 40 M. Rangkuman N. Latihan Soal BAB III : KEGIATAN INTELIJEN 45 A. Kegiatan Pengawasan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai 45 B. Kegiatan Intelijen Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai 46 C. Jenis Dan Elemen Kunci Intelijen 47 D. Struktur Intelijen 49 E. Siklus Intelijen 50 F. Penyamaran 53 G. Menghitung Draft Kapal 54 H. Rangkuman 60 I. Tes Formatif 62 DAFTAR PUSTAKA 68 PENYUSUN 70 ii

4 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Struktur Intelijen 49 Gambar 2 : Visualisasi Menghitung Coeffisien Block 56 iii

5 MODUL PENEGAKAN HUKUM KEPABEANAN DAN CUKAI II 1. Deskripsi Singkat Latar belakang disusunnya Modul Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai II dalam rangka memenuhi dan melengkapi siswa atau peserta didik mengetahui, memahami, melaksanakan pengawasan dan penindakan kepabeanan untuk mendukung, menunjang tujuan organisasi DJBC mengoptimalkan penerimaan negara, dan dilaksanakannya/dipatuhinya Undang-undang Kepabeanan dan Undang-undang Cukai dan peraturan pelaksanaanya. Dengan demikian diharapkan siswa atau peserta diklat memperbaiki dan menambah pengetahuan, agar lebih terampil dalam pelaksanaan tugas kepabeanan yang menjadi sisi sentral dari upaya organisasi untuk menegakkan citranya di masyarakat. Hukum adalah kaedah-kaedah yang diberlakukan disuatu masyarakat yang dipatuhi dan bila dilanggar mempunyai sanksi bagi pelakunya. Hukum sebagai suatu perangkat aturan yang mengatur tata cara hidup bermasyarakat, dari pengertian singkat ini maka istilah pelanggaran hukum adalah adanya upaya melanggar aturan-aturan yang telah dibuat dan telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan tugas yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-undang Cukai, pejabat bea dan cukai untuk menyelesaikan pekerjaan yang termasuk wewenangnya dalam rangka mengamankan hak-hak negara, dapat menggunakan segala upaya terhadap orang atau barang, termasuk di dalamnya binatang. Jika perlu dapat digunakan berbagai upaya untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa di bidang Kepabeanan dan cukai yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pengawasan di bidang Kepabeanan dan Cukai sebagai upaya untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran ketentuan Undang-undang, dapat meliputi : a. Pengertian dan ruang lingkup tindak pidana kepabeanan b. Kewenangan penyidikan dan proses penyidikan dari penerimaan perkara sampai dengan penanganan barang hasil penindakan dan penanganan pelaku c. Kegiatan pengawasan dengan melakukan intelijen, penyamaran dan menghitung draft kapal 1

6 2. Prasyarat Kompetensi Untuk mempelajari modul ini idealnya anda telah ditunjuk sebagi Peserta DTSD Kepabeanan dan Cukai dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Mahasiswa Program Diploma III b. Sehat jasmani dan rohani; c. Tidak sedang menjalani atau dalam proses penjatuhan hukuman disiplin; 3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar a. Standar Kompetensi Melaksanakan penegakan hukum di bidang kepabeanan dan cukai dan tindakantindakan yang perlu diambil sehubungan dengan penegakan hukum tersebut. b. Kompetensi Dasar 1) Peserta mampu menjelaskan Pengertian dan ruang lingkup tindak pidana kepabeanan. 2) Peserta mampu menjelaskan Kewenangan penyidikan dan proses penyidikan dari penerimaan perkara sampai dengan penanganan barang hasil penindakan dan penanganan pelaku. 3) Peserta mampu menjelaskan Kegiatan pengawasan dengan melakukan intelijen, penyamaran dan menghitung draft kapal. 4. Relevansi Modul Relevansi modul terhadap tugas pekerjaan yang akan dijalanjan peserta diklat adalah sebagai berikut : a. Materi modul ini memberikan pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai pengawasan dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai. b. Materi modul ini telah disesuaikan dengan perkembangan instrumen pengaturan mengenai pengawasan dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai terkini. 2

7 BAB I KETENTUAN TINDAK PIDANA A. Tindak Pidana Kepabeanan Sebagaimana kita telah ketahui bahwa tugas utama aparat pabean adalah melindungi masyarakat dari barang impor atau ekspor yang berdampak buruk pada kehidupan masyarakat serta untuk mengamankan hak-hak keuangan negara. Dengan demikian maka ketentuan kepabeanan harus juga mengatur tentang berbagai sanksi bagi para pelanggarannya. Sanksi diperlukan untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai tindakan preventif bagi pelaku yang ingin melanggar ketentuan. Pengenaan sanksi secara umum terbagi dua, yaitu sanksi administrasi berupa denda dan sanksi pidana berupa kurungan (penjara) dan/atau denda. Tindak pidana kepabeanan dapat diklasifikasikan menjadi tindak pidana kepabeanan di bidang impor, tindak pidana kepabeanan di bidang ekspor, dan tindak pidana kepabeanan lainnya diantaranya pemalsuan dokumen dan mengakses secara ilegal sistem elektronik instritusi kepabeanan. Tindak pidana di bidang kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh tahun) sejak diserahkan pemberitahuan pabean atau sejak terjadinya tindak pidana. Kadaluwarsa penuntutan tindak pidana dibidang kepabeanan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian hukum, baik kepada masyarakat usaha maupun kepada penegak hukum. 1. Tindak Pidana Penyelundupan Impor Dalam konsep kepabeanan, tindakan yang dianggap sebagai penyelundupan impor yang diancam dengan ancaman pidana penjara dan pidana denda, meliputi : a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes, b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean, c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean, d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan, e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum, 3

8 f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara, g. mengangkut barang impor dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya, h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah. Yang dimaksud dengan masih dalam pengawasan pabean adalah barang impor yang belum diselesaikan Kewajiban Pabeannya. Membongkar atau menimbun di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan atau diizinkan sebagai contoh adalah barang dengan tujuan Tempat Penimbunan Berikat A dibongkar atau ditimbun di luar Tempat Penimbunan Berikat A tersebut. Selanjutnya yang dimaksud dengan menyembunyikan barang impor secara melawan hukum adalah menyimpan barang di tempat yang tidak wajar dan/atau dengan sengaja menutupi keberadaan barang tersebut dengan maksud mengelabui Pejabat Bea dan Cukai. Contoh menyimpan barang ditempat yang tidak wajar antara lain seperti di dalam dinding kontainer, di dalam dinding koper, di dalam tubuh, di dalam dinding kapal pada ruang mesin kapal, dan tempat- tempat lainnya. Berikutnya pelanggaran dianggap disengaja dan melawan hukum, bila kesalahan dalam pemberitahuan pabean benar-benar dimaksudkan untuk mengelakkan pembayaran bea masuk dan pungutan negara lainnya dan/atau menghindari ketentuan larangan dan pembatasan. 2. Tindak Pidana Penyelundupan Ekspor Dalam konsep kepabeanan, tindakan yang dianggap sebagai penyelundupan ekspor yang diancam dengan ancaman pidana penjara dan pidana denda, meliputi : a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean, b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor, 4

9 c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean, membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean, atau mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean. d. Mengeluarkan barang keluar daerah pabean tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean merupakan tindak pidana karena banyak dampak negatif dari kegiatan ini, mulai tidak terpenuhinya pungutan ekspor, menipisnya sumber daya hingga terganggunya perekonomian nasional. e. Sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor juga merupakan tindak pidana pabean di bidang ekspor. Misalnya diberitahukan ekspor furniture namun dalam pemeriksaan fisik barang kedapatan kayu olahan, f. Termasuk penyelundupan ekspor adalah memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean. Memuat barang ekspor harus di kawasan pabean dan dalam pengawasan pabean. Memuat barang di luar kawasan pabean ke suatu sarana pengangkut untuk diekspor dapat dianggap berupaya untuk menyelundupkan barang ekspor. g. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah pembongkaran kembali barang ekspor yang telah dimuat di atas sarana pengangkut dengan tujuan utama untuk mencegah ekspor fiktif. Sebagai contoh barang ekspor dimuat di Semarang untuk tujuan Singapura tetapi barang ekspor tersebut dibongkar di Jakarta. h. Selanjutnya yang juga termasuk penyelundupan ekspor adalah mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean dalam rangka pengangkutan (manifes keberangkatan). 3. Tindak Pidana Kepabeanan Lainnya Selain tindak pidana impor dan ekspor, tindakan yang dapat dikategorikan tindak pidana di bidang kepabeanan yang dapat diancam dengan sanksi pidana adalah setiap orang yang melakukan hal-hal sebagai berikut : a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan (misalnya menggunakan invoice atau packing list palsu sebagai pelengkap dalam pengajuan pemberitahuan pabean impor), Pengertian dokumen palsu atau dipalsukan antara lain dapat berupa dokumen yang dibuat oleh orang yang 5

10 tidak berhak, atau dokumen yang dibuat oleh orang yang berhak tetapi memuat data tidak benar, yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan memberi keterangan lisan adalah memberitahukan secara lisan dalam pemenuhan kewajiban pabean, terutama untuk penumpang dan pelintas batas. b. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan, termasuk orang yang menyuruh atau turut serta dalam perbuatan tersebut, c. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean, atau d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana kepabeanan di bidang impor. Akan tetapi, jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik, yang bersangkutan tidak dituntut. e. secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang kepabeanan. Yang dimaksud dengan mengakses adalah tindakan atau upaya yang dilakukan untuk login ke sistem kepabeanan. Sedangkan yang dimaksud dengan login adalah memasuki atau terhubung dengan suatu sistem elektronik sehingga dengan masuk atau dengan keterhubungan itu pelaku dapat mengirim dan/atau informasi melalui atau yang ada pada sistem elektronik. f. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana kepabeanan di bidang impor atau ekspor. g. memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang sesuai ketentuan harus disimpan. h. menghilangkan, menyetujui, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan. i. menyimpan dan/atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan pemberitahuan pabean. j. dengan sengaja dan tanpa hak membuka atau melepas segel tanpa izin dari apparat. B. Tindak Pidana Penyelundupan Yang Mengganggu Sendi-Sendi Perekonomian Negara Ketentuan kepabeanan juga mengatur tentang ancaman terhadap tindakan penyelundupan impor dan ekspor yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara. Penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara, 6

11 yaitu kejahatan atau tindak pidana yang merugikan kepentingan penerimaan negara, merusak stabilitas perekonomian negara dan merugikan potensi penerimaan negara yang diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional dalam rangka mensejahterakan rakyat banyak. Contohnya penyelundupan barang tekstil bekas akan mengganggu industri garmen nasional, maka dapat dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda dengan ancaman yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana impor dan ekspor biasa. Yaitu paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (seratus miliar rupiah). Sebagai upaya pencegahan dari moral hazard pegawai dimana dapat terjadi oknum pejabat dan aparat penegak hukum melakukan pelanggaran pidana, ancaman untuk pejabat dan aparat penegak hukum yang melakukannya diacam dengan ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pelaku yang bukan pejabat dan aparat penegak hukum, yaitu ancaman pidana untuk pelaku biasa ditambah 1/3 (satu pertiga). Selain pelanggaran impor dan ekspor, ancaman pidana juga dikenakan pada pelanggaran yang menyangkut pengangkutan barang tertentu. Diatur bahwa setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya diancam dengan pidana penjara dan/atau pidana denda. Barang tertentu adalah barang antar pulau yang rawan diselundupkan sehingga pengangkutannya diawasi oleh aparat pabean. Barang tertentu harus ditetapkan oleh instansi terkait sebelum dilakukan pengawasan oleh aparat pabean. C. Tidak Mengindahkan Ketentuan Undang-Undang Kepabeanan Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, masyarakat menganggap bahwa rumusan tindak pidana penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 yang menyatakan bahwa Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini dipidana karena melakukan penyelundupan, kurang tegas karena dalam penjelasan dinyatakan bahwa pengertian "tanpa mengindahkan" adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur. Hal ini berarti jika memenuhi salah satu kewajiban seperti menyerahkan pemberitahuan pabean tanpa melihat benar atau salah, tidak dapat dikategorikan sebagai penyelundupan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, oleh karenanya dipandang 7

12 perlu untuk merumuskan kembali tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan. Dalam Undang-Undang Kepebanan yang lama, semua unsur harus dipenuhi terlebih dahulu baru ditetapkan sebagai penyelundupan. Sekarang, dalam undang-undang yang baru satu unsur saja sudah disebut penyelundupan, antara lain pemberitahuan yang salah. Contohnya, sebelumnya kalau yang terbukti hanya pemberitahuan yang salah dalam dokumen ekspor impornya tidak akan dijerat pasal penyelundupan. Dengan Undang-Undang Kepabeanan sekarang, ditetapkan, meski hanya satu syarat, itu sudah cukup menjeratnya sebagai penyelundupan. D. Tindak Pidana Cukai Dalam undang-undang nomor 39 Tahun 2007 sebagi perubahan atas Undang-undang nomor 11 Tahun 1996 tentang cukai, telah diatur mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai petindak pidana sebagai berikut : a. Tanpa memiliki izin menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan atau mengimpor BKC dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai, b. memasukan dan pengeluaran BKC dari dan ke pabrik atau tempat penyimpanan tanpa memberitahukan kepada Kepala Kantor KPPBC dan tidak dilindungi dokumen cukai dengan tujuan untuk mengelakkan cukai. c. membuat pembukuan, pencatatan, dokumen-dokumen lain termasuk data elektronik yang palsu atau dipalsukan, d. menawarkan, menyerahkan, menjual atau menyediakan untuk dijual BKC yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, e. membuat secara melawan hukum, meniru, atau memalsukan pita cukai, membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda peluasan cukai lainnya yang palsu atau dipalsukan; atau mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang sudah dipakai, f. menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan BKC yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana, g. tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman sebagaimana yang diatur dalam undang-undang cukai, 8

13 h. menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya, i. secara tidak syah mengakses sisitem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan dibidang cukai E. Pengganti Pidana Denda Penggantian atas tindak pidana denda yang tidak dibayar, yaitu dalam hal tindak pidana denda tidak dibayar, maka akan diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan yang bersangkutan sebagai gantinya, dalam penggantian tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti pidana kurungan paling lama 6 bulan. Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. Pasal ini memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum, Undang-Undang Kepabeanan memberikan kemungkinan dapat dipidananya suatu badan hukum perseroan atau perusahaan, termasuk badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, bentuk usaha tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan, termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi dalam kenyataan kadang-kadang orang melakukan tindakan dengan bersembunyi di belakang atau atas nama badan-badan tersebut diatas.oleh karena itu, selain badan tersebut, harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri, tetapi wakil dari badan tersebut, harus juga mengindahkan peraturan dan larangan yang diancam dengan pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak pidana tersebut. Atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana yang akan dikenakan kepada badan-badan yang bersangkutan dan/atau pimpinannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan tersebut senantiasa berupa pidana denda. 9

14 Tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi, yaitu tuntutan pidana dijatuhkan terhadap badan hukum dan/atau mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. Oleh karena itu, selain badan, juga harus dipidana atas mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana Dengan demikian untuk memberikan efek jera pada pelaku, orang yang bertindak tidak untuk diri sendiri (wakil dari badan), harus juga mengindahkan peraturan yang diancam dengan pidana untuk mempertegas pihak yang dapat mewakili suatu badan hukum dalam tuntutan pidana. Dengan adanya ketentuan ini pihak yang mewakili harus merupakan orang yang berkempeten mewakili badan hukum tersebut secara hukum. F. Barang Hasil Tindak Pidana Penegakan hukum kepada pengangkut juga harus dapat memberikan efek jera. Maka terhadap sarana pengangkut ditangkap aparat pabean yang kedapatan semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan di bidang impor atau ekspor, dirampas untuk negara. Maksud dari semata-mata adalah sarana pengangkut yang pada saat tertangkap nyatanyata ditujukan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan. Namun bilamana sarana pengangkut tersebut tidak semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana, sesuai ketentuan dapat dirampas untuk negara. Makna dapat disini berarti tidak secara otomatis dirampas tetapi dapat dirampas ataupun tidak setelah melalui proses hukum yang berlaku di pengadilan. Hakim diberi kewenangan untuk mempertimbangkan putusan dengan memperhatikan kasus per kasus, misalnya kapal yang hanya mengangkut Barang Tertentu dalam jumlah sedikit sedangkan kapal tersebut diperlukan sebagai alat angkut untuk menopang perdagangan ekonomi daerah, maka dalam hal demikian dapat diputuskan untuk tidak dirampas. Sedangkan barang yang berada pada sarana pengangkut yang terbukti merupakan tindak pidana kepabeanan di bidang impor atau ekspor, dirampas untuk negara dan diselesaikan sebagai barang milik negara. Secara umum pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh penuntut umum. Namun barang impor/ekspor yang berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, barang tersebut menjadi milik negara, yang pemanfaatannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 10

15 BKC yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang Cukai dirampas negara. Barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang Cukai dapat dirampas untuk negara. Yang dimaksud dengan "barang-barang lain" adalah barang-barang yang berkaitan langsung dengan BKC, seperti sarana pengangkut yang digunakan untuk mengangkut BKC, peralatan atau mesin yang digunakan untuk membuat BKC. Pejabat Bea dan Cukai yang menghitung atau menetapkan cukai tidak sesuai dengan undang-undang cukai, sanksi dikenakan kepada pejabat Bea dan Cukai dan apabila ada indikasi tindak pidana yang menyangkut pejabat Bea dan Cukai, Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa dilingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. 11

16 G. Rangkuman 1. Tindak pidana kepabeanan dapat diklasifikasikan menjadi tindak pidana kepabeanan di bidang impor, tindak pidana kepabeanan di bidang ekspor, dan tindak pidana kepabeanan lainnya diantaranya pemalsuan dokumen dan mengakses secara ilegal sistem elektronik instritusi kepabeanan. Tindak pidana di bidang kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh tahun) sejak diserahkan pemberitahuan pabean atau sejak terjadinya tindak pidana. Kadaluwarsa penuntutan tindak pidana dibidang kepabeanan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian hukum, baik kepada masyarakat usaha maupun kepada penegak hukum. 2. Penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara, yaitu kejahatan atau tindak pidana yang merugikan kepentingan penerimaan negara, merusak stabilitas perekonomian negara dan merugikan potensi penerimaan negara yang diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional dalam rangka mensejahterakan rakyat banyak. 3. Dalam Undang-Undang Kepebanan yang lama, semua unsur harus dipenuhi terlebih dahulu baru ditetapkan sebagai penyelundupan. Sekarang, dalam undang-undang yang baru satu unsur saja sudah disebut penyelundupan, antara lain pemberitahuan yang salah. Contohnya, sebelumnya kalau yang terbukti hanya pemberitahuan yang salah dalam dokumen ekspor impornya tidak akan dijerat pasal penyelundupan. Dengan Undang-Undang Kepabeanan sekarang, ditetapkan, meski hanya satu syarat, itu sudah cukup menjeratnya sebagai penyelundupan. 4. Dalam undang-undang nomor 39 Tahun 2007 sebagi perubahan atas Undang-undang nomor 11 Tahun 1996 tentang cukai, telah diatur mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dikualifikasikan sebagai petindak pidana, antara lain sebagai berikut : Tanpa memiliki izin menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan atau mengimpor BKC dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai. Memasukan dan pengeluaran BKC dari dan ke pabrik atau tempat penyimpanan tanpa memberitahukan kepada Kepala Kantor KPPBC dan tidak dilindungi dokumen cukai dengan tujuan untuk mengelakkan cukai. Dan membuat pembukuan, pencatatan, dokumen-dokumen lain termasuk data elektronik yang palsu atau dipalsukan 5. Penggantian atas tindak pidana denda yang tidak dibayar, yaitu dalam hal tindak pidana denda tidak dibayar, maka akan diambil dari kekayaan dan/atau pendapatan yang 12

17 bersangkutan sebagai gantinya, dalam penggantian tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti pidana kurungan paling lama 6 bulan. 6. Penegakan hukum kepada pengangkut juga harus dapat memberikan efek jera. Maka terhadap sarana pengangkut ditangkap aparat pabean yang kedapatan semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan di bidang impor atau ekspor, dirampas untuk negara. Maksud dari semata-mata adalah sarana pengangkut yang pada saat tertangkap nyata-nyata ditujukan untuk melakukan tindak pidana penyelundupan. 13

18 H. Latihan Soal 1. Sebutkan dan jelaskan 5 (lima) kewenangan kepabeanan yang disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 1995 jo UU No. 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. 2. Jelaskan maksud dari tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan. 3. Sebutkan dan jelaskan 5 (lima) tindakan pidana di bidang Cukai yang disebutkan dalam UU No. 11 Tahun 1996 jo. UU No.39 Tahun 2007 Tentang Cukai. 4. Jelaskan bagaimana pemberian hukuman pidana terhadap pelaku yang berupa badan hukum. 5. Jelaskan secara singkat proses penanganan barang hasil tindak pidana. 14

19 BAB II WEWENANG PENYIDIKAN A. Penyidikan Di Bidang Kepabeanan Dan Cukai Penyidikan dibidang Kepabeanan dan Cukai adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tujuan dari penyidikan adalah secara umum dapat dikatakan sebagai suatu upaya penegakkan hukum, memberikan kepastian dan keadilan hukum. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyidikan merupakan hal yang sangat penting dalam proses penegakan hukum di bidang Kepabeanan dan Cukai. Adapun tujuan dilakukannya penyidikan adalah antara lain memberikan efek jera bagi pelaku, persaingan usaha yang sehat, melindungi industri dalam negeri selain penegakan hukum itu sendiri. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai. Kemudian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, diatur mengenai Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 tanggal 23 Agustus Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (PPNS DJBC). Dalam situasi tertentu penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai dapat dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan "dalam situasi tertentu" adalah keadaan yang tidak memungkinkan dilakukannya penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena hambatan geografis, keterbatasan sarana, atau tertangkap tangan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia untuk barang-barang yang dikeluarkan di luar Kawasan Pabean. 15

20 Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Keuangan. Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai oleh Menteri Kehakiman dilakukan setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pejabat Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang diangkat sebagai penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Penata Muda (III/a) dan berpendidikan minimal sarjana (S1) atau yang disamakan dengan itu. Aparat pabean sesuai ketentuan diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana kepabeanan. Petugas yang diberi wewenang ini disebut dengan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Kewenangan penyidikan oleh PPNS sangat luas, meliputi segala hal yang perlu dilakukan untuk kelancaran penyidikan dibidang kepabeanan. Atas tindakannya tersebut PPNS memberitahukan dan menyampaikan hasil penyidikannya langsung kepada Penuntut Umum (pihak Kejaksaan). Kewenangan PPNS dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyidik melliputi hal-hal berikut : i. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai ii. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, iii. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai iv. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai v. meminta keterangan dan bukti dari orang yang tersangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai vi. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai vii. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait, viii. mengambil sidik jari orang, ix. menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan, x. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan dan cukai 16

21 xi. xii. xiii. xiv. xv. xvi. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai, memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai, mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai, menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka, menghentikan penyidikan, melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum dengan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan yang dilampiri sekurang-kurangnya dengan laporan kejadian dan Surat Pertintah Tugas Penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan RI.,Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan hanya dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi bea masuk yang tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah bea masuk yang tidak atau kurang dibayar. B. Asas-Asas Dalam KUHAP Asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifatsifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut. Para penegak hukum dalam menangani suatu perbuatan pelanggaran hukum pidana atau peristiwa hukum pidana menganut asas-asas, antara lain sebagai berikut : 1. Asas Legalitas Pelaksanaan penerapan KUHAP seharusnya bersumber pada the rule of law, artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan pada : 17

22 a. Ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku b. Menempatkan kepentingan hukum dan undang undang diatas segala-galanya. Bertentangan dengan asas legalitas, KUHAP-pun menganut asas oportunitas yaitu suatu asas yang mengenyampingkan atau mendeponir perkara dengan tidak mengajukan kepengadilan meskipun bukti-bukti telah memenuhi syarat-syarat hukum. Asas Keseimbangan. 2. Asas Keseimbangan Yang menyatakan dengan tegas bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara dua kepentingan, yakni : a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM), dengan; b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. KUHAP memaksa penyidik jika akan melakukan penangkapan orang yang diduga telah melakukan perbuatan/tindak pidana, maka terlebih dahulu harus ada bukti permulaan yang cukup, bukan berdasarkan suka atau tidak suka like or dislike. sebelum mengeluarkan perintah atau melakukan penangkapan harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang benar-benar dapat mendukung kesalahan perbuatan yang dilakukan oleh calon tersangka melalui penyelidikan. 3. Asas Praduga Tak Bersalah Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 4. Asas Pembatasan Penahanan Setiap tindakan penahanan terperinci batas waktu dan statusnya dengan seksama, sehingga dapat diketahui siapa yang melakukan penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka/terdakwa. Batas wpenahanan oleh penyidik selama 20 (dua puluh) hari, perpanjangan oleh penuntut umum maksimal selama 40 (empat puluh) hari, jadi total lama penahanan oleh penyidik selama 60 (enam puluh) hari. 5. Asas Ganti Rugi Dan Rehabilitasi. 18

23 Dapat diajukan dengan praperadilan apabila perkaranya belum diajukan atau tidak dimajukan kepengadilan, dan ke pengadilan jika perkaranya telah disidangkan. Alasanalasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi, sebagai berikut : a. Ganti rugi akibat penangkapan/penahanan, mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi : i. penangkapan atau penahanan secara melawan hukum. ii. penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang - undang. iii. penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum. iv. penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person) b. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan, tindakan memasuki rumah tidak sah menurut hukum karena tidak ada surat perintah dan surat ijin dari ketua pengadilan. 6. Penggabungan perkara Dalam KUHAP diatur dua perkara yang digabungkan menjadi satu, yakni : a. Penggabungan perkara pidana dengan perdata. Korban tindak pidana dapat menggugat ganti rugi seperti gugatan ganti rugi dalam perkara perdata, bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung, sebelum memasuki taraf penuntut umum memajukan tuntutan (rekuisitur). b. Penggabungan Perkara pidana sipil dengan pidana militer (Koneksitas). Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer (Koneksitas), diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 7. Asas Unifikasi. Demi pembangunan dibidang hukum perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi, serta unifikasi hukum acara pidana, untuk mengikis pengkotak-kotakan kelompok masyarakat warisan politik kolonial Belanda yang mengelompokkan hukum berdasarkan daerah, golongan, keturunan, dan membe-dakan acara pidana yang berlaku untuk Jawa-Madura dengan daerah Indonesia lainnya, dan diskriminasi hukum acara pidana yang berlaku antara Bumi Putra dengan keturunan Eropa. 8. Asas Diferensiasi Fungsional 19

24 Deferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional. Pembagian tugas dan wewenang diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakaan hukum yang saling berkaitan dan berkesinambungan antara satu instansi dengan instansi lainnya, sampai ke tingkat proses pelaksanaan eksekusi. 9. Asas Saling Koordinasi. Meskipun KUHAP menggariskan pembagian tugas dan wewenang secara instansional, dalam KUHAP juga dijalin hubungan antar instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang diarahkan untuk terbinanya suatu sistem saling mengawasi ( system ceking) antara sesama mereka. Hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum, antara lain : i. Hubungan penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu : a. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri. b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, melaporkan adanya tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik polri. d. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik polri. ii. Hubungan penyidik dengan penuntut umum : a. Penyidik diwajibkan untuk memberitahu dimulai penyidikan kepada penuntut umum b. Penghentian penyidikan oleh penyidik wajib diberitahukan kepada penuntut umum. Dalam hal penghentian penyidikan, penuntut umum dapat berpendapat lain, dan jika penghentian penyidikan tersebut dianggap tidak sah, maka penuntut umum dapat mengajukan tidak sahnya penghentian penyidikan kepengadilan dengan Praperadilan. c. Penyidik menyerahkan hasil pemeriksaan tersangka ke penuntut umum dalam rangka pra penuntutan yang akan dilakukan oleh penuntut umum untuk pengajuan perkaranya ke pengadilan, karena itu penuntut umum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut : 20

25 Mengembalikan berkas hasil pemeriksaan ke penyidik jika hasil pemeriksaan tersebut dianggap kurang lengkap dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik berkewajiban segera melakukan penyidikan tambahan untuk dilengkapi sesuai dengan petunjuk penuntut umum. Jika waktu 14 hari berakhir dan penuntut umum tidak mengembalikan berkasnya ke penyidik, maka berkas acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik dianggap telah lengkap untuk diajukan ke pengadilan. D Dengan adanya pemberitahuan hasil penyidikan atau berita acara pemeriksaan (BAP) nya telah lengkap meskipun belum berakhir batas waktunya atau telah terlewati batas akhir 14 hari, maka sejak saat itu tanggung jawab penyidik beralih ke penuntut umum. Penyidik dapat memohon kepada penuntut umum untuk memperpanjang masa penahanan, dan penuntut umum dapat memberi perpanjangan tahanan penyidik atas tersangka maksimum 40 hari Penyidik diberi turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan oleh penuntut umum. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan berkas perkara dengan menghadapkan terdakwa, saksi, dan barang bukti ke pengadilan. iii. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan a. Ketua pengadilan negeri memberi perpanjangan penahanan yang dimohon penyidik dengan surat penetapan. b. Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau memberi surat ijin kepada penyidik untuk melakukan : Penggeledahan rumah penyitaan, atau surat ijin khusus pemeriksaan surat c. Ketua pengadilan negeri memberi atau menolak permohonan penyidik untuk pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan dalam pelanggaran lalu lintas telah disampaikan kepada terpidana. 21

26 e. Panitera menyampaikan kepada penyidik atas perlawanan dari terdakwa dalam perkara lalu lintas iv. Hubungan tersangka, terdakwa, penasihat hukum dan aparat hukum : a. Pada setiap tingkat dan waktu pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan penasihat hukum. b. Tembusan surat perintah penangkapan/penahanan, penahanan lanjutan harus diberikan pada keluarganya. c. Keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dan memintakan lewat praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian yang dilakukan oleh penyidik. d. Tersangka atau keluarganya dan penasihat hukumnya berhak mengajukan tuntutan praperadilan tentang sah dan tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. e. Tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi atas kesalahan penangkapan, penahanan atau akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan ditujukan pada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 10. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, antara lain : i. Asas peradilan cepat, Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik. Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik. Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. Pelimpahan berkas perkara banding oleh pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding. 7 hari setelah perkaranya diputus pada tingkat banding, pengadilan tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri. 22

27 14 hari dari tanggal permohonan kasasi pengadilan negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. 7 hari setelah putusan kasasi, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan hasil putusannya ke pengadilan negeri. ii. iii. Asas sederhana dan biaya ringan Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa. Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi. Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat. Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping). Asas sederhana, cepat dan biaya ringan Empat putusan dibawah ini tidak dapat dimintakan banding, dan ketentuan ini sangat menguntungkan terdakwa sekaligus merupakan acara yang sederhana, cepat dan biaya yakni : Putusan bebas ( vrijspraak), Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum ( onslag van rechtsvervolging). Kurang tepatnya penerapan hukum, dan Putusan pengadilan dalam acara cepat. 11. Asas peradilan terbuka untuk umum. Kecuali pemeriksaan terdakwa yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya anakanak, pemeriksaan sidang dipengadilan terbuka untuk umum. Meskipun pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan terbuka untuk umum, tetapi yang dapat melihat dan mendengarkan atau menyaksikan sidang harus berumur 17 tahun keatas. Apabila hakim pengadilan dalam memeriksa terdakwa melanggar ketentuan terbuka untuk umum kecuali perkara kesusilaan atau terdakwanya masih anak-anak, maka putusan hakim pengadilan tersebut batal demi hukum. Demikian juga jika pemeriksaan terdakwa dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak dilakukan dalam pemeriksaan terbuka untuk umum, maka putusan hakim pengadilan negeri tersebut batal demi hukum. 23

28 Meskipun pemeriksaan dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak dilakukan tertutup untuk umum, tetapi dalam putusan hakim pengadilan harus dibacakan secara terbuka untuk umum. C. Hak-Hak Tersangka Tersangka menurut KUHP adalah seorang yang karena perbuatannya/keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia diselidiki, di sidik dan diperisa oleh penyidik. Apabila perlu maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undangundang. KUHAP telah menempatkan tersangka sebagai manusia yang utuh, yang memiliki harkat, martabat dan harga diri serta hak asasi yang tidak dapat dirampas darinya. Tersangka telah diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP yang meliputi : 1. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan.tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik yang selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum, dan tersangka berhak perkaranya segera dimajukan oleh pengadilan ke penuntut umum. 2. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. 3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. 4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat juru Bahasa. 5. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang/ KUHAP. 6. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Untuk mendapatkan penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. 7. Hak untuk berubah menjadi wajib untuk mendapat bantuan hukum. Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan 24

29 yang disangkakan diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana minimal 15 tahun atau lebih 8. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. 9. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi atau menerima kunjunngan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak. 10. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminana bagi penangguhannya. 11. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan bantuan hukum. 12. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan. 13. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis-menulis. 14. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan. 15. Terdakwa berhak untuk diadili di siding pengadilan yang terbuka untuk umum. 16. Tersangka tau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. 17. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. 18. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi 25

30 D. Penerimaan Perkara Kegiatan Penerimaan perkara dilaksanakan berdasarkan Laporan Pelanggaran (LP) oleh Unit Penindakan atau laporan dugaan pelanggaran pidana lainnya. Laporan dugaan pelanggaran pidana lainnya dapat berasal dari : a) hasil pengembangan penyidikan ditemukan tindak pidana yang tidak terkait dengan tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan; b) hasil penelitian atau pemeriksaan dari unit lainnya; c) hasil tertangkap tangan oleh Pejabat;atau d) penyerahan dari instansi lain. Perkara yang diduga merupakan pelanggaran diterima dalam bentuk : a) Laporan pelanggaran yang berasal dari Unit Penindakan; b) Laporan dugaan pelanggaran pidana; atau c) Surat pelimpahan perkara yang berasal dari instansi lain. Atas laporan pelanggaran dilakukan penerimaan Laporan Pelanggaran (LP) yang dilengkapi dengan Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Tugas Penindakan (LTP) dan dokumen lain terkait penindakan. Atas laporan dugaan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud dilakukan penerimaan laporan yang dilengkapi sekurang-kurangnya dokumen hasil penelitian atau pemeriksaan yang terkait dengan dugaan pelanggaran pidana. Atas penerimaan laporan tersebut, Unit Penyidikan akan menyampaikan tanda terima atau respons elektronis dan menuangkan dalam Lembar Penerimaan Perkara (LPP) sebagai dasar untuk penelitian pendahuluan. Atas Surat pelimpahan perkara dari instansi lain Unit Penyidikan akan menerima surat rencana pelimpahan perkara yang dilengkapi dengan sekurang-kurangnya Laporan Kejadian/Laporan Polisi, hasil pemeriksaan dan/atau permintaan keterangan awal yang dituangkan dalam Berita Acara, dan Resume Perkara/ Resume Hasil Penindakan menuangkan penerimaan perkara dalam Lembar Penerimaan Perkara (LPP) sebagai dasar untuk penelitian pendahuluan. E. Penelitian Pendahuluan Setelah menerima perkara, Unit Penyidikan segera melakukan penelitian pendahuluan dalam waktu paling lama 5 x 24 jam sejak diterimanya laporan pelanggaran untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dan proses penanganan perkara lebih lanjut. Unit Penyidikan akan melakukan penelitian secara formal, meliputi : 26

31 a) kelengkapan berkas penindakan yang diterima dari unit penindakan atau dari instansi lain; b) pelanggaran yang terjadi meliputi: jenis, waktu, tempat dan pihak yang diduga melakukan pelanggaran; c) kelengkapan/keberadaan barang hasil penindakan, dokumen/surat terkait, saksi-saksi dan pelaku (jika ada); d) keterkaitan alat bukti dan barang bukti dengan pelaku; Hasil Penelitian pendahuluan, dituangkan dalam Lembar Penelitian Formal (LPF) yang memuat tentang analisis perkara yang diterima dari unit penindakan atau intansi lain untuk ditentukan dapat tidaknya perkara diterima. Apabila hasil Penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara yang berasal dari Unit Penindakan ditemukan dugaan pelanggaran, Unit Penyidikan akan melakukan : a) penyidikan dengan menerbitkan Laporan Kejadian (LK), Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (PDP), apabila diduga pelanggaran pidana b) penelitian dengan menerbitkan Surat Perintah Penelitian (SPLIT), apabila diduga pelanggaran administrasi atau diperlukan penelitian lebih mendalam atas indikasi pelanggaran, c) permintaan penyerahan Barang Hasil Penindakan (BHP) dengan berita acara. Dan jika hasil Penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara yang berasal dari unit lainnya ditemukan dugaan pelanggaran, dibuatkan Laporan Pelanggaran (LP-1) dan dilakukan : a) penyidikan dengan menerbitkan Laporan Kejadian (LK), Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (PDP), apabila diduga pelanggaran pidana; atau b) penelitian dengan menerbitkan Surat Perintah Penelitian (SPLIT), apabila diduga pelanggaran administrasi atau diperlukan penelitian lebih mendalam atas indikasi pelanggaran; dan pelaksanaan serah terima perkara disertai barang hasil penindakan, alat bukti terkait, dan pelaku yang bertanggungjawab atas pelanggaran (jika ada) dengan berita acara; dan/atau c) penegahan dengan penerbitan dan penyampaian Surat Bukti Penindakan (SBP) kepad a pemilik atau penguasa barang. Namun jika hasil penelitian pendahuluan atas penerimaan perkara dari Unit Penindakan dan unit lainnya tidak ditemukan dugaan pelanggaran, dilakukan pengembalian perkara dengan pemberitahuan tertulis disertai alasan. 27

32 Terhadap perkara yang berasal dari instansi lain Unit Penyidikan melakukan penelitian pendahuluan mengenai pemenuhan persyaratan untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan proses penanganan perkara lebih lanjut apabila hasil penindakan merupakan tertangkap tangan atas dugaan pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai dan berdasarkan hasil penelitian/penyelidikan awal disimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup terjadi pelanggaran, terdapat pihak yang bertanggungjawab dan terdapat kelengkapan/keberadaan barang hasil penindakan, dokumen/surat terkait dan saksi-saksi. Apabila terhadap penelitian pendahuluan tersebut ditemukan dugaan pelanggaran, Unit Penyidikan membuat Laporan Pelanggaran (LP -1) melaksanakan serah terima perkara disertai barang hasil penindakan, alat bukti terkait, dan pelaku yang bertanggungjawab atas pelanggaran dengan berita acara, menegah barang hasil penindakan yang diterima dengan menerbitkan dan menyampaikan Surat Bukti Penindakan (SBP) kepada pemilik atau penguasa barang, meneliti/menyidik lebih lanjut atas perkara yang diterima. Namun apabila atas hasil penelitian pendahuluan tidak ditemukan adanya dugaan pelanggaran, Unit Penindakan akan memberitahukan secara tertulis mengenai penolakan pelimpahan perkara disertai alasan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai. F. Penentuan Skema Penanganan Perkara Penanganan perkara dilakukan oleh Unit Penyidikan pada Kantor Pelayanan, Kantor Wilayah, atau Kantor Pusat sesuai kewenangan yang ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria pokok berupa tempat kejadian perkara/pelanggaran dan/atau keberadaan saksi/pelaku dan kriteria tambahan berupa ketersediaan penyidik dan kompleksitas perkara meliputi kesulitan pembuktian atau adanya sorotan publik. Kompleksitas perkara ditentukan oleh Kantor Pusat dengan memperhatikan masukan dari Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan. Dan kriteria tambahan berupa ketersediaan penyidik dapat digantikan oleh peneliti yaitu pegawai pemeriksa berdasarkan surat tugas. a) Penanganan perkara dilakukan oleh Kantor Pelayanan apabila tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan yang merupakan hasil penindakan sendiri atau dari kantor lain; atau keberadaan sebagian besar saksi dan/atau tersangka berada pada wilayah kerja Kantor Pelayanan. b) Penanganan perkara dapat dilakukan oleh Kantor Wilayah apabila tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan namun 28

33 masih dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah; dan/atau terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara. c) Penanganan perkara dapat dilakukan oleh kantor Pusat apabila tempat kejadian perkara/pelanggaran berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan atau Kantor Wilayah; dan/atau terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara. Penanganan perkara dilaksanakan dengan skema : a) Penanganan perkara mandiri Dilakukan oleh unit penyidikan kantor DJBC yang melakukan penindakan sendiri atau hasil pelimpahan dan apabila terdapat minimal 2 (dua) orang penyidik; dan tidak terdapat pertimbangan kompleksitas perkara. Penanganan ini dilaksanakan penelitian/penyidikan berdasarkan surat perintah. b) Penanganan perkara dengan perbantuan Dilaksanakan berdasarkan permintaan dari kantor DJBC yang melaksanakan penindakan/menerima penyerahan perkara yang disampaikan secara hierarkis disertai alasan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan. Unit Penyidikan kantor DJBC yang melaksanakan penindakan/menerima penyerahan perkara dapat dibantu penyidik dari kantor DJBC lain apabila : perkara merupakan hasil penindakan sendiri atau hasil pelimpahan, jumlah Penyidik kurang dari 2 (dua) orang, dan/atau, terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara dan/atau karena sorotan publik. Penelitian/penyidikan dilaksanakan oleh kantor yang mengajukan permintaan berdasarkan surat perintah dengan mengikutsertakan penyidik yang diperbantukan dari kantor DJBC lain. c) Penanganan perkara yang dilimpahkan; Dilaksanakan dengan pelimpahan perkara dari kantor DJBC yang melakukan penindakan kepada kantor tujuan pelimpahan secara vertical/horizontal dalam bentuk Surat Pelimpahan Perkara yang dilampiri : Dokumen penindakan meliputi Surat Perintah, Surat Bukti Penindakan (SBP), L aporan Pelanggaran (LP) dan dokumen penanganan perkara dan dokumen/surat terkait pelanggaran (alat bukti). Penanganan perkara yang dilimpahkan dilaksanakan oleh unit penyidikan kantor DJBC yang menerima pelimpahan perkara jika perkara merupakan hasil penindakan sendiri atau hasil pelimpahan dari kantor DJBC lain, dan terdapat minimal 2 (dua) orang penyidik pada kantor yang menerima pelimpahan. 29

34 Unit Penyidik akan melakukan serah terima Barang Hasil Penindakan (BHP) dan Pelaku (jika ada) dengan berita acara. Penelitian/penyidikan dilakukan oleh kantor tujuan berdasarkan surat perintah. Penolakan pelimpahan perkara diberitahukan dengan secara tertulis dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. d) Penanganan perkara yang dilimpahkan dengan perbantuan. Dilaksanakan dengan pelimpahan perkara dari kantor DJBC yang melakukan penindakan kepada kantor tujuan pelimpahan secara vertical/horizontal dalam bentuk Surat Pelimpahan Perkara yang dilampiri : Dokumen penindakan meliputi Surat Perintah, Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Pelanggaran (LP) dan dokumen penanganan perkara; dan dokumen/surat terkait pelanggaran (alat bukti). Penanganan perkara yang dilimpahkan dilaksanakan oleh kantor DJBC yang menerima pelimpahan disertai bantuan penyidik apabila : jumlah penyidik kantor yang menerima pelimpahan kurang dari 2 (dua) orang, dan/atau terdapatnya pertimbangan kompleksitas perkara. Apabila pelimpahan perkara diterima, Unit Penyidikan akan menerima Barang Hasil Penindakan (BHP) dan Pelaku (jika ada) dengan berita acara dan melakukan penelitian/penyidikan oleh kantor tujuan berdasarkan surat perintah yang mengikutsertakan penyidik yang diperbantukan. Apabila pelimpahan perkara ditolak, Unit Penyidikan akan memberitahukan secara tertulis disertai alasan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal. Dalam keadaan yang sangat mendesak (peka waktu) dan perlu terkait dengan penindakan yang sedang dilakukan, Unit Penindakan kantor DJBC dapat melakukan pelimpahan perkara segera kepada Unit Penyidikan kantor DJBC lain di tempat dilakukan penindakan dengan persetujuan Unit Penyidikan Kantor DJBC yang melakukan penindakan. Pelimpahan perkara dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria kewenangan setelah melakukan koordinasi unit penyidikan kantor setempat dengan hanya meliputi hasil penindakan berupa : Surat Bukti Penindakan (SBP) dan dokumen penindakan lainnya, barang hasil penindakan, dokumen/surat terkait dengan pelanggaran, dan pelaku pelanggaran (jika ada). Pelimpahan perkara tersebut dituangkan dalam berita acara. Surat Perintah Penelitian (SPLIT) adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk ditujukan kepada pegawai pemeriksa untuk melakukan penelitian/penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran guna menentukan ada tidaknya pelanggaran dan/atau menentukan pelanggaran pidana/administrasi. 30

35 Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP) diterbitkan oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC atau pejabat yang ditunjuk dalam kapasitas selaku penyidik yang ditujukan kepada Penyidik untuk melakukan penyidikan perkara pidana sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal pejabat yang ditunjuk bukan penyidik, penerbitan dilakukan oleh penyidik dengan diketahui oleh Direktur Penindakan dan Penyidikan/Kepala Kantor DJBC. Setelah diterbitkan Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), penyidik segera menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Penuntut Umum yang berisi pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan atas suatu perkara pidana. G. Pemanggilan Tersangka dan Saksi Pemanggilan tersangka dan saksi adalah salah satu kegiatan penindakan, untuk menghadirkan tersangka atau saksi kehadapan penyidik guna dilakukan pemeriksaan dalam rangka memperoleh keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk mengenai tindak pidana yang terjadi. Pemanggilan tersangka dan saksi pada hakekatnya telah membatasi kebebasan seseorang, oleh karena itu seiring dengan azas perlindungan dan jaminan hak-hak azasi manusia, maka pelaksanaan pemanggilan harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemanggilan tersangka dan saksi diupayakan dengan tertib, lancar dan untuk hal itu perlu dikeluarkan petunjuk teknis tersendiri, yang dapat diuraikan secara singkat, yaitu : 1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. 2. Pemanggilan tersangka atau saksi harus dilakukan dengan Surat Panggilan yang sah menurut prosedur dan model yang sudah ditentukan untuk menjamin kelancaran, keseragaman dan untuk dipergunakan sebagai bukti atas pelanggaran hukum apabila tidak memenuhi panggilan serta guna kelengkapan berkas perkara. Surat Panggilan harus diterima oleh orang yang dipanggil selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan. Untuk daerah yang tidak lancar perhubungannya, tenggang waktu yang wajar disesuaikan dengan keadaan daerah tersebut dengan mengingat kepentingan penyidikan. 3. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Jika 31

36 seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, maka penyidik dapat datang ke tempat kediamannya (Pasal 113 KUHAP). Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya. (Pasal 116 ayat (2) KUHAP). 4. Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Panggilan adalah Penyidik. Dalam hal Kepala Kantor adalah Penyidik, maka Surat Panggilan ditanda tangani oleh Kepala Kantor selaku Penyidik. Dalam hal Kepala Kantor bukan Penyidik, maka Surat Panggilan ditanda tangani oleh Penyidik dengan diketahui oleh Kepala Kantor. Pertimbangan pembuatan Surat Panggilan, adalah Laporan Kejadian, SPTP dan PDP. 5. Petugas yang menyampaikan Surat Panggilan adalah setiap pegawai Bea dan Cukai. Dalam hal seseorang yang dipanggil tidak berada di tempat, Surat Panggilan tersebut dapat diterimakan kepada keluarganya atau Ketua RT atau Ketua RW atau Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa Surat Panggilan tersebut Akan disampaikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal seseorang menolak untuk menanda tangani Surat Panggilan, maka petugas yang menyampaikan Surat Panggilan berusaha memberi pengertian tentang arti pentingnya Surat Panggilan tersebut. 6. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menanda tangani Surat Panggilan, maka diterbitkan Surat Panggilan Kedua. Dalam hal panggilan tetap tidak dipenuhi, maka Penyidik membuat Surat Perintah Membawa guna menghadapkan tersangka atau saksi. 7. Pemanggilan tersangka atau saksi untuk didengar keterangannya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain: Bahwa seseorang mempunyai peranan sebagai tersangka atau saksi dalam suatu tindak pidana yang telah terjadi dimana peranannya itu dapat diketahui dari : - Laporan Kejadian. - Pengembangan dari basil pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan. Untuk melengkapi keterangan-keterangan, petunjuk-petunjuk dan bukti-bukti yang didapat. Yang semuanya itu bertujuan membuat terang tindak pidananya dan menemukan tersangkanya. 8. Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik, maka penyidik dapat meminta bantuan 32

37 penyidik lain yang berada atau satu wilayah hukum dengan tersangka atau saksi yang akan diperiksa tersebut. H. Pemeriksaan Tersangka/Saksi 1. Saat Persiapan. a. Sebaiknya membentuk suatu tim pemeriksa sesuai dengan kualitas tindak pidana yang sedang ditangani, atau kualitas tersangka/saksi yang akan diperiksa. b. Kemudian Menentukan tempat pemeriksaan, agar suatu pemeriksaan dapat berjalan dengan baik. c. Menentukan Sarana Pemeriksaan, Dalam melakukan pemeriksaan terdapat beberapa sarana yang perlu dipersiapkan 2. Saat Pemeriksaan a. Mempelajari kasus tindak pidana yang sedang ditangani. b. Menyusun dan merumuskan daftar pertanyaan yang akan diajukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan 7 (tujuh) Kah atau (Si A Di De Men Ba Bi). c. Menentukan urutan tersangka atau saksi yang akan diperiksa berdasarkan kadar keterlibatan atau pengetahuannya tentang tindak pidana yang bersangkutan. d. Meneliti Surat Panggilan dan mengecek identitas atau Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan bagi tersangka yang ditahan. e. Wajib segera dihentikan apabila : Tidak terdapat cukup bukti Peristiwa tersebut bukan Tindak Pidana Dihentikan demi hukum f. Penghentian demi hukum, apabila : Tersangka meninggal dunia, kecuali undang-undang menentukan lain Penuntutan tindak pidana tersebut telah kadaluarsa Tindak pidana tersebut telah diputuskan dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap I. Penelitian dan Penyidikan Unit Penyidikan melakukan penelitian seperti : 1. penerimaan Laporan Pelanggaran (LP) dari unit penindakan atau dari instansi lain 2. pemanggilan/permintaan keterangan saksi dan/atau pelaku yang terkait dengan dugaan pelanggaran 33

38 3. pengumpulan dan penelitian surat-surat/dokumen-dokumen yang terkait dengan dugaan pelanggaran 4. pencacahan dan pemeriksaan barang hasil penindakan meliputi jumlah, jenis, merk, type, dan spesifikasi lainnya 5. penelitian dan analisis terhadap pelanggaran seperti : a) uraian pelanggaran meliputi Jenis, tempat, dan waktu pelanggaran, b) kelengkapan berkas penindakan, c) kelengkapan Barang Hasil Penindakan dan alat bukti, d) keberadaan pelaku, e) pemenuhan unsur-unsur pelanggaran, f) keterkaitan keterangan saksi, dokumen dan Barang Hasil Penindakan dengan pelaku; dan g) pengungkapan motif/unsur kesengajaan. 6. pelaksanaan gelar perkara untuk memperoleh pendapat secara lebih komprehensif. 7. pengajuan permintaan audit investigasi dalam rangka mendukung proses penelitian/penyelidikan dalam hal diperlukan. 8. pembuatan resume penelitian dengan kesimpulan, seperti : a) bukan merupakan pelanggaran, b) merupakan pelanggaran administrasi, c) merupakan pelanggaran pidana, d) merupakan pelanggaran dengan pelaku tidak dikenal, e) merupakan pelanggaran UU lainnya. 9. penyampaian usulan alternatif penyelesaian perkara, seperti : a) pengenaan denda, dalam hal merupakan pelanggaran administrasi yang dikenakan sanksi berupa denda, b) penyidikan, dalam hal merupakan pelanggaran pidana kepabeanan dan/ atau cukai, c) penetapan barang sebagai barang yang dikuasai negara (BDN), atau barang yang menjadi milik negara (BMN), d) pemblokiran, dalam hal merupakan pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana yang dikenakan sanksi pemblokiran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. e) audit, dalam hal tidak ditemukan pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana namun terdapat indikasi belum terpenuhinya sebagian/seluruh kewajiban kepabeanan dan/ atau cukai. 34

39 f) reekspor, dalam hal tidak terdapat pelanggaran namun tidak dapat memenuhi persyaratan ketentuan impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. g) tidak melayani pemesanan pita cukai, dalam hal terdapat pelanggaran administrasi cukai yang dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. h) pelimpahan ke Instansi terkait, dalam hal pelanggaran yang ditemukan bukan merupakan kewenangan DJBC atau terdapat ketentuan lain yang mengatur lebih khusus. i) penelitian perkara tidak dilanjutkan, dalam hal bukan pelanggaran atau pelanggaran administrasi yang telah diselesaikan kewajiban pabean dan/atau cukainya. Unit Penyidikan melakukan penyidikan seperti : 1. pelaksanaan kegiatan sesuai kewenangan yang diatur dalam Pasal 112 ayat (2) Undangundang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 dan Pasal 63 ayat (2) Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 39 tahun 2007; 2. penelitian dan analisis terhadap pelanggaran, seperti : a) uraian tindak pidana meliputi Jenis, tempat, dan waktu pelanggaran b) kelengkapan berkas penyidikan c) kelengkapan Barang Bukti dan alat bukti d) pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana e) pemenuhan unsur-unsur tindak pidana f) keterkaitan antara keterangan saksi-saksi, dokumen serta barang bukti dengan tersangka g) pengungkapan motif tindak pidana/unsur kesengajaan 3. pelaksanaan gelar perkara untuk memperoleh pendapat secara lebih komprehensif; 4. pengajuan permintaan audit investigasi dalam rangka mendukung proses penyidikan dalam hal diperlukan; 5. pembuatan resume perkara dengan kesimpulan, seperti : a) unsur-unsur tindak pidana terpenuhi dan dituangkan dalam Lembar Resume Pidana (LRP-2) yang memuat hasil analisis dan rekomendasi perkara pelanggaran pidana. b) unsur-unsur tindak pidana tidak terpenuhi dan dituangkan dalam Lembar Resume Penelitian (LRP-1) yang memuat hasil analisis dan rekomendasi perkara pelanggaran pidana/administrasi. 35

40 6. penyampaian usulan alternatif penyelesaian perkara, seperti : a) Pengiriman berkas ke Jaksa Penuntut Umum, dalam hal berkas penyidikan selesai. b) Penyidikan lanjutan, dalam hal masih diperlukan untuk lebih memperkuat alat bukti dugaan perkara pidana atau berdasarkan petunjuk JPU. c) Penghentian penyidikan/sp3, dalam hal bukan merupakan tindak pidana atau tidak terdapat cukup bukti atau tersangka meninggal dunia. d) Penghentian penyidikan untuk kepentingan penerimaan negara (deponer) sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyidikan dapat diadakan gelar perkara dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh masukan guna penyelarasan atau penyempurnaan dalam pemberkasan dan untuk menyampaikan informasi/laporan guna pemantauan perkembangan penelitian/penyidikan serta pengelolaan proses penanganan perkara. Gelar perkara dapat dilaksanakan pada tahap pra penyidikan (penelitian), tahap penyidikan dan/atau tahap akhir penyidikan, berdasarkan pengajuan permintaan gelar perkara oleh : a) Tim Penyidik, dalam hal diperlukan untuk memperoleh masukan guna penyelarasan atau penyempurnaan dalam pemberkasan; b) Atasan Tim Penyidik, dalam hal diperlukan untuk memperoleh informasi/laporan guna pemantauan perkembangan penyidikan dan pengelolaan proses penanganan perkara; c) Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam hal diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang perkara yang ditangani dan memberikan petunjuk guna pemenuhan alat bukti atas unsurunsur pasal yang disangkakan. Peserta gelar perkara meliputi : a) Tim Penyidik yang terdiri dari koordinator sebagai penyaji dan anggota; b) Atasan Tim Penyidik; c) Pihak terkait untuk kepentingan penanganan perkara; dan/atau d) Jaksa Penuntut Umum (dalam hal diperlukan). Materi gelar perkara antara lain meliputi : a) kronologis kasus; b) anatomi kasus (anatomy of crime); c) matriks keterkaitan alat bukti; d) tindakan yang telah dilakukan; e) hambatan atau kendala; 36

41 f) tindakan yang akan dilakukan; dan g) saran atau pendapat; Hasil pelaksanaan gelar perkara dibuat berita acara yang ditandatangani peserta gelar perkara dan dijadikan panduan bagi Tim Penyidik untuk penyelesaian penanganan perkara. J. Penyidikan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Dalam hal ditemukan dugaan pelanggaran kepabeanan terkait narkotika, psikotropika dan prekursor (NPP) segera ditindaklanjuti proses penyidikan dengan melakukan : 1. penerbitan Laporan Kejadian dengan mencantumkan pasal pelanggaran undang-undang kepabeanan dan undang-undang narkotika; 2. penerbitan Surat Perintah Tugas Penyidikan dan/atau Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan; 3. pembuatan Berita Acara Penangkapan dan Berita Acara Pengujian Pendahuluan NPP; 4. pemeriksaan atas tersangka dan saksi yang ada dengan berita acara; dan 5. penyitaan barang bukti berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara. Setelah proses penyidikan tersebut, Unit Penyidikan akan membuat resume perkara dan disusun dalam bentuk berkas perkara guna pelimpahan perkara kepada penyidik BNN/POLRI dengan ketentuan : a) penyerahan atas tersangka dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 24 jam b) penyerahan atas barang sitaan dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 24 jam atau 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi. c) penyerahan tersangka dan barang sitaan dilaksanakan dengan berita acara. Apabila penanganan perkara dilaksanakan oleh PPNS Bea dan Cukai dan tidak dilakukan pelimpahan perkara, pelaksanaan penyidikan berkoordinasi dengan penyidik BNN/POLRI. K. Penanganan Barang Hasil Penindakan Terhadap barang hasil penindakan dilakukan pencacahan oleh Unit Penindakan bersama-sama dengan Unit Penyidikan berdasarkan surat perintah. Pencacahan meliputi jumlah, jenis, merek, kondisi, tipe, dan spesifikasi serta negara asal barang hasil penindakan dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pejabat pencacahan. 37

42 Dalam hal barang hasil penindakan berasal dari pelimpahan instansi lain maka dilakukan pencacahan setelah diterbitkan LP-1 berdasarkan surat perintah dan dituangkan ke dalam berita acara. Serah terima barang hasil penindakan dari unit penindakan atau dari instansi lain yang telah dilakukan pencacahan dilakukan dengan berita acara. Berita acara memuat keterangan sekurang-kurangnya meliputi masing-masing pihak yang melakukan serah terima dan barang hasil penindakan yang diserahterimakan. Barang hasil penindakan disimpan di gudang, lapangan, atau tempat milik kantor DJBC yang layak sebagai lokasi penimbunan barang. Dalam hal penimbunan tidak dapat dilaksanakan, barang hasil penindakan dapat disimpan di tempat lain selain gudang atau lapangan dan dilakukan penyegelan dengan mempertimbangkan keamanan dan keutuhan barang. Terhadap barang hasil penindakan yang disimpan dilakukan pelekatan label yang mencantumkan : a) nomor registrasi barang hasil penindakan; b) jumlah dan jenis barang hasil penindakan;j c) jenis kemasan; d) ciri-ciri/sifat khas dari barang hasil penindakan; e) tempat dan tanggal pencacahan atau penyitaan; f) nomor dan tanggal dokumen asal barang hasil penindakan g) (LK/LP/LP-1); h) pihak yang menyerahkan barang hasil penindakan; i) status barang hasil penindakan; dan j) uraian singkat perkara. Terhadap barang hasil penindakan yang telah mendapatkan penetapan sita dari pengadilan negeri setempat dapat dititipkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) dengan berita acara. Penyegelan dilaksanakan sesuai tata cara penyegelan yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian, barang hasil penindakan diselesaikan dengan : a) pengembalian barang hasil penindakan kepada pemilik/kuasanya dalam hal bukan merupakan pelanggaran atau merupakan pelanggaran administrasi yang telah diselesaikan sanksi administrasinya. b) penyitaan sebagai barang bukti dalam hal merupakan pelanggaran pidana. penetapan sebagai barang yang dikuasai negara (BDN) atau barang yang menjadi milik negara (BMN) 38

43 dalam hal merupakan pelanggaran pidana yang pelakunya tidak dikenal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c) direekspor, dalam hal bukan merupakan pelanggaran namun tidak memenuhi persyaratan impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d) pelimpahan ke Instansi terkait, dalam hal merupakan pelanggaran yang bukan kewenangan DJBC atau terdapat ketentuan lain yang mengatur lebih khusus. Terhadap barang hasil penindakan dapat disisihkan : 1. pada proses penelitian/penyelidikan untuk : a) kepentingan pengujian dan identifikasi barang. b) kepentingan penelitian perkara pada Kantor DJBC lain. c) kepentingan lainnya dalam rangka penelitian. 2. pada proses penyidikan untuk : a) kepentingan pembuktian termasuk antara lain terhadap barang bukti yang akan dilelang atau dimusnahkan; b) kepentingan pengujian dan identifikasi barang. c) penyidikan pada perkara lain. Penyisihan dilaksanakan setelah penyitaan dan diperoleh penetapan penyitaan sebagai barang bukti dari pengadilan. Penyisihan dilaksanakan berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara. Terhadap barang hasil penindakan dilakukan pemusnahan : a) pada tahap penelitian, barang hasil penindakan merupakan barang yang mudah busuk atau barang kena cukai impor berupa minuman mengandung etil alkohol, konsentrat mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau; b) pada tahap penyidikan, barang hasil penindakan merupakan barang yang mudah busuk, merusak, berbahaya dan/atau memerlukan biaya penyimpanan yang tinggi dan telah diperoleh izin dari ketua pengadilan; c) atas barang milik negara yang telah mendapat penetapan peruntukan untuk dimusnahkan dari Menteri Keuangan. Pemusnahan sedapat mungkin dilaksanakan dengan persetujuan pemilik barang dan dilaksanakan dengan berita acara. Terhadap barang hasil penindakan dapat dilakukan pelelangan : 39

44 a) pada tahap penyidikan, atas barang yang mudah rusak, berbahaya dan/atau memerlukan biaya penyimpanan yang tinggi dengan izin ketua pengadilan dan sedapat mungkin dengan persetujuan pemilik barang; atau b) atas barang milik negara yang telah mendapat penetapan peruntukan untuk dilelang dari Menteri Keuangan. Pelelangan dilaksanakan dengan berita acara dan hasil pelelangan berupa uang dipakai sebagai barang bukti. L. Penanganan Pelaku / Tersangka Terhadap pelaku yang diduga melakukan pelanggaran kepabeanan dan cukai akan dilakukan penanganan meliputi : pemeriksaan/permintaan keterangan, penangkapan dan penahanan; dan pengelolaan tahanan. Penyidik menerima pelaku yang diduga melakukan pelanggaran dengan berita acara yang berasal hasil tertangkap tangan, atau hasil penyerahan dari instansi lain. Pelaku yang diduga melakukan pelanggaran harus segera dilakukan pemeriksaan/dimintai keterangan dan dituangkan dalam berita acara untuk menentukan jenis pelanggaran yang terjadi. Apabila hanya merupakan pelanggaran administrasi, pelaku tidak dapat dilakukan penangkapan/penahanan. Penyidik dapat melakukan penangkapan yang diduga melakukan pelanggaran apabila: a. Dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku diperoleh bukti permulaan yang cukup pelaku diduga melakukan pelanggaran pidana. b. Dari hasil pengembangan penyidikan ditemukan adanya orang yang diduga melakukan pelanggaran pidana. Penangkapan dilakukan berdasarkan surat perintah dengan dibuatkan berita acara dan segera diberitahukan kepada keluarga tersangka. Apabila dari hasil pemeriksaan terhadap pelaku, diperoleh bukti permulaan yang cukup diduga melakukan pelanggaran pidana, penyidik menetapkan pelaku sebagai tersangka dengan membuat : Surat Panggilan sebagai tersangka, Surat Perintah Penangkapan tersangka, Berita acara pengalihan status dari saksi menjadi tersangka. Apabila ancaman hukuman terhadap tersangka 5 (lima) tahun atau lebih, penyidik memberitahukan hak tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum. Jika tersangka tidak didampingi penasihat hukum, penyidik wajib menyediakan penasihat hukum atas biaya negara. Untuk kepentingan pemeriksaan, penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka. Penahanan dilakukan berdasarkan surat perintah dengan dibuatkan berita acara dan 40

45 segera diberitahukan kepada keluarga tersangka. Penahanan tersangka dilakukan dengan menempatkan tersangka pada Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau Cabang Rutan atau Cabang RUTAN DJBC dengan surat pengantar dan dibuatkan berita acara dengan dilampirkan : a. Surat Perintah Tugas Penyidikan (SPTP), b. Surat Perintah Penangkapan, c. Berita Acara Penangkapan, d. Surat Perintah Penahanan, e. Berita Acara Penahanan, Terhadap tahanan yang dititipkan dilaksanakan penerimaan oleh Pejabat dengan berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan saksi. Penanganan tahanan pada saat penerimaan meliputi : a. penelitian kelengkapan administrasi penitipan tahanan. b. penelitian identitas tahanan. c. penempatan tahanan pada ruang tahanan. d. penatausahaan tahanan pada register Buku Daftar Tahanan. e. pengambilan foto dan sidik jari tahanan. Penanganan tahanan selama dan saat mutasi keluar Cabang Rutan DJBC meliputi : a. pemenuhan kebutuhan makanan, minum dan kesehatan. b. pengamanan tahanan. c. penatausahaan perpanjangan penahanan dan peminjaman tahanan oleh penyidik dengan berita acara. d. penatausahaan pengunjung tahanan dalam Buku Daftar Kunjungan. e. pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik atau berakhirnya masa tahanan dengan berita acara. Ketentuan dan tata cara yang berkenaan dengan pemeriksaan, penangkapan dan penahanan tersangka dilaksanakan sesuai ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Cabang rumah tahanan yang berkedudukan di Kantor Pusat DJBC atau kantor DJBC lain dikelola oleh Unit Penyidikan. Unit Penyidikan bertanggung jawab dalam pengelolaan tahanan yang meliputi : penatausahaan tahanan, pelayanan tahanan, dan keamanan tahanan. 41

46 M. Rangkuman 1. Penyidikan dibidang Kepabeanan dan Cukai adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tujuan dari penyidikan adalah secara umum dapat dikatakan sebagai suatu upaya penegakkan hukum, memberikan kepastian dan keadilan hukum. 2. Asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang, setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut. 3. Tersangka menurut KUHP adalah seorang yang karena perbuatannya/keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka ia diselidiki, di sidik dan diperisa oleh penyidik. Apabila perlu maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undang-undang. KUHAP telah menempatkan tersangka sebagai manusia yang utuh, yang memiliki harkat, martabat dan harga diri serta hak asasi yang tidak dapat dirampas darinya, maka tersangka juga diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP. 4. Kegiatan Penerimaan perkara dilaksanakan berdasarkan Laporan Pelanggaran (LP) oleh Unit Penindakan atau laporan dugaan pelanggaran pidana lainnya. Laporan Pelanggaran (LP) dilengkapi dengan Surat Bukti Penindakan (SBP), Laporan Tugas Penindakan (LTP) dan dokumen lain terkait penindakan. Atas laporan dugaan pelanggaran pidana sebagaimana dimaksud dilakukan penerimaan laporan yang dilengkapi sekurangkurangnya dokumen hasil penelitian atau pemeriksaan yang terkait dengan dugaan pelanggaran pidana. 5. Setelah menerima perkara, Unit Penyidikan segera melakukan penelitian pendahuluan dalam waktu paling lama 5 x 24 jam sejak diterimanya laporan pelanggaran untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dan proses penanganan perkara lebih lanjut. Hasil Penelitian pendahuluan, dituangkan dalam Lembar Penelitian Formal (LPF) yang memuat tentang analisis perkara yang diterima dari unit penindakan atau intansi lain untuk ditentukan dapat tidaknya perkara diterima. 42

47 6. Penanganan perkara dilakukan oleh Unit Penyidikan pada Kantor Pelayanan, Kantor Wilayah, atau Kantor Pusat sesuai kewenangan yang ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria pokok berupa tempat kejadian perkara/pelanggaran dan/atau keberadaan saksi/pelaku dan kriteria tambahan berupa ketersediaan penyidik dan kompleksitas perkara meliputi kesulitan pembuktian atau adanya sorotan publik. 7. Pemanggilan tersangka dan saksi adalah salah satu kegiatan penindakan, untuk menghadirkan tersangka atau saksi kehadapan penyidik guna dilakukan pemeriksaan dalam rangka memperoleh keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk mengenai tindak pidana yang terjadi. Pemanggilan tersangka dan saksi pada hakekatnya telah membatasi kebebasan seseorang, oleh karena itu seiring dengan azas perlindungan dan jaminan hak-hak azasi manusia, maka pelaksanaan pemanggilan harus sesuai dengan hukum yang berlaku. 8. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyidikan dapat diadakan gelar perkara dengan maksud dan tujuan untuk memperoleh masukan guna penyelarasan atau penyempurnaan dalam pemberkasan dan untuk menyampaikan informasi/laporan guna pemantauan perkembangan penelitian/penyidikan serta pengelolaan proses penanganan perkara. Gelar perkara dapat dilaksanakan pada tahap pra penyidikan (penelitian), tahap penyidikan dan/atau tahap akhir penyidikan, berdasarkan pengajuan permintaan gelar perkara. 9. Terhadap barang hasil penindakan dilakukan pencacahan oleh Unit Penindakan bersama-sama dengan Unit Penyidikan berdasarkan surat perintah. Pencacahan meliputi jumlah, jenis, merek, kondisi, tipe, dan spesifikasi serta negara asal barang hasil penindakan dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pejabat pencacahan. 10. Pelaku yang diduga melakukan pelanggaran harus segera dilakukan pemeriksaan/dimintai keterangan dan dituangkan dalam berita acara untuk menentukan jenis pelanggaran yang terjadi. Apabila hanya merupakan pelanggaran administrasi, pelaku tidak dapat dilakukan penangkapan/penahanan. 43

48 N. Latihan Soal 1. Jelaskan maksud dari kalimat Dalam situasi tertentu penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kepabeanan dan Cukai dapat dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Sebutkan dan jelaskan 5 (lima) asas-asas dalam KUHAP yang berlaku di Indonesia 3. Sebutkan dan jelaskan 5 (lima) hak-hak dari tersangka 4. Jelaskan pengertian dan maksud dari gelar perkara. 5. Sebutkan dan jelaskan 3 (tiga) alasan barang hasil penindakan yang dilakukan pemusnahan. 44

49 BAB III KEGIATAN INTELIJEN A. Kegiatan Pengawasan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca-impor. Kegiatan pengawasan dilaksanakan sesuai kewenangan kepabeanan dan cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan secara sistematis, sinergis dan komprehensif. Fungsi pengawasan Kepabeanan dilaksanakan dengan ketentuan : a) fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi meliputi pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi dan evaluasi data atau informasi, yang dilaksanakan oleh Unit Intelijen; b) fungsi penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif meliputi penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya, yang dilaksanakan oleh Unit Penindakan; c) fungsi penanganan perkara meliputi penelitian/penyelidikan, penyidikan, penanganan barang hasil penindakan dan barang bukti, penerbitan rekomendasi untuk pengenaan sanksi administrasi, dan kegiatan lainnya berkaitan dengan penanganan perkara kepabeanan dan cukai, yang dilaksanakan oleh Unit Penyidikan; d) fungsi intelijen dalam pengelolaan informasi berupa pengumpulan, penilaian, analisis, distribusi, dan evaluasi data atau informasi serta penindakan dalam pelaksanaan upaya fisik yang bersifat administratif berupa patroli, penghentian, pemeriksaan, penegahan, penyegelan, dan penindakan lainnya dalam pengawasan kepabeanan berkaitan dengan NPP, yang dilaksanakan oleh Unit Narkotika. e) fungsi pengelolaan sarana operasi pengawasan berupa penyediaan, penempatan, pemeliharaan, pemanfaatan dan evalusi penggunaan sarana operasi dilaksanakan oleh Unit Sarana Operasi. 45

50 Apabila dipandang dari sifatnya pengawasan dapat dikategorikan menjadi beberapa macam yaitu : a. Pengawasan yang bersifat Built in. Pengawasan ini berdasarkan satu paket dan terbagi atas spesialisasi dari masing-masing bidang. Dengan demikian unit pengawasan harus terpisah dari unit pelaksana. Contohnya pengawasan internal seperti halnya dalam pengawasan terhadap kinerja pejabat bea dan cukai, sedangkan pengawasan eksternal akan dilakukan oleh pengawas diluar DJBC. b. Pengawasan yang bersifat intelijen, Pengawasan dengan pengumpulan data dan informasi, identifikasi dan analisis terhadapnya sehingga akan menghasilkan apa yang disebut sebagai hasil intilijen. Hasil ini akan disebarkan kepada unit opersional untuk melaksanakan pengawasan. Unit intelijen seharusnya terpisah dengan unit operasional karena sistem dan cara kerjanya beda. c. Pengawasan pemeriksaan pembukuan/post Clearance Audit. Pengawasan yang dilakukan setelah selesainya beberapa prosedur pemberitahuan dan pemeriksaan yang disebut dengan bersifat audit (pemeriksaan pembukuan). B. Kegiatan Intelijen Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2010, Intelijen adalah orang yang bertugas mencari (mengamat-amati) seseorang atau dinas rahasia (spionase). Namun menurut Qusyairi, 2010, intelijen tidak sekedar berkonotasi dengan kegiatan spionase namun akan bermakna lebih luas sebagai cara mendapatkan informasi dengan menggunakan kecerdasan otak atau pikiran. Intelijen dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan logis berupa pengumpulan informasi, pengelolaan (manajemen) informasi, pengolahan informasi dan analisis inform asi mengenai sesuatu hal yang telah atau sedang terjadi, dengan tujuan membuat suatu gambaran yang diperkirakan dapat (akan) terjadi dikemudian hari berkenaan dengan obyek tersebut. Kegiatan logis yaitu kegiatan yang didasarkan pada kecerdasan akal sehat. Mengumpulkan informasi yang telah/sedang terjadi yaitu kegiatan intelijen pada hakekatnya bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang akurat terhadap kejadian yang diamati. Melaksanakan prinsip manajemen dalam kegiatannya yaitu keberhasilan kegiatan intelijen perlu ditunjang dengan kegiatan pengelolaan sumber-sumber daya yang ada secara efisien dan efektif. Pengolahan informasi yaitu informasi yang diterima harus dipastikan tingkat akurasinya sehingga perlu diolah. Analisis informasi yaitu kegiatan intelijen membutuhkan proses analisis terhadap seluruh informasi yang diterima agar output yang dihasilkan dapat memiliki keandalan yang tinggi. Dan 46

51 membuat proyeksi tentang hal yang diamati yaitu kegiatan intelijen membutuhkan kemampuan forecasting terhadap peristiwa yang akan terjadi, tentunya dengan menggunakan data-data dan informasi yang teruji keandalannya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengalami kesulitan dalam mengawasi kemungkinan terjadinya pelanggaran karena adanya sisi lemah dari suatu peraturan. Semakin canggihnya cara dan teknik pelanggaran dan penyelundupan sehingga terkadang sulit untuk dibuktikan pelanggarannya. Intelijen dalam Bea dan Cukai berarti : Rangkaian Kegiatan di dalam siklus intelijen yang meliputi perencanaan, pengumpulan, penilaian, penyusunan, pembandingan, analisis, penyebaran, dan pengkajian ulang informasi yang berasal dari data base dan informasi lainnya sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang akurat dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya atau melakukan penindakan terhadap pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai. Fungsi Intelijen yaitu : a. Disclosive, Unit intelijen taktis sebelum melakukan kegiatan intelijen berdasarkan Siklus Intelijen harus memperjelas Problem Intelijen. Sehingga semua petugas intelijen yang akan dilibatkan mulai dari pengumpulan informasi sampai pada tahap diseminasi produk intelijen, mengerti secara jelas tujuan dan kegiatan/organisasi b. Predictive, berfungsi sebagai unit yang juga menghasilkan prediksi apa yang akan terjadi. c. To Produce Inteligence, kegiatan intelijen yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : Kep-90/BC/2003 tanggal 31 Maret 2003 Tentang Nota Hasil Intelijen, kegiatan intelijen dalam kepabeanan dan cukai adalah : Rangkaian Kegiatan di dalam siklus intelijen yang meliputi perencanaan, pengumpulan, penilaian, penyusunan, pembandingan, analisis, penyebaran, dan pengkajian ulang informasi yang berasal dari data base dan informasi lainnya sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang akurat dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya atau melakukan penindakan terhadap pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai. C. Jenis Dan Elemen Kunci Intelijen Oleh World Customs Organization (WCO) intelijen pabean menurut tingkatannya dikategorikan dalam tiga tipe, yaitu : 47

52 a. Intelijen Strategis, kegiatan intelijen yang dilakukan oleh pusat yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. dimaksudkan untuk melihat secara global (umum) pada tingkat nasional ancaman dari orang-orang atau organisasi-organisasi dalam rangka penegakan hukum di bidang pabean (ke pabeanan dan cukai). Misalnya produk intelijen yang akan digunakan untuk kebijakan pengawasan terhadap penyalahgunaan fasilitas Kawasan Berikat, yang dapat digunakan secara nasional. b. Intelijen Operasional, kegiatan intelijen yang dilakukan oleh regional/wilayah yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. Produknya digunakan secara regional, Kebijakan secara regional. Misalnya kebijakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap Kawasan Berikat di lingkungan Kantor Pelayanan Purwakarta c. Intelijen Target kegiatan intelijen yang dilakukan oleh kantor pengawasan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. Bersifat taktis di lapangan, Dasar utk menentukan langkah praktis di lapangan. Mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan oleh satu Kawasan Berikat A di lingkungan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Bekasi Kunci dari intelijen adalah informasi, sehingga tanpa informasi tidak akan ada intelijen, dan kualitas dari produk intelijen ditentukan oleh : a. Relevant, dari sejumlah informasi yang ada berdasarkan tujuan intelijen yang jelas. b. Accurate, tingkat ketepatan informasi tersebut c. Timely, tepat waktu dan tersedia saat dibutuhkan Ketiga faktor tersebut dikenal dengan istilah RAT, bagi pengumpuk informasi jangan pernah menyediakan informasi yang bukan RAT. Seorang informan misalnya menyampaikan laporan dengan bahasa sandi kepada intelijen yang memberinya tugas tikus besar sudah lewat artinya informasi yang dicari sudah diketahui banyak orang atau sudah terbuka. Elemen kunci intelijen berikut harus terjawab dengan tuntas dan rinci, yaitu : a. Siapa, dari siapa informasi dapat diperoleh. Apakah dalam jajaran Bea Cukai, POLRI, Kejaksaan, Badan POM, Departemen Perdagangan, Imigrasi, BIN, Karantina, Kadin, Ginsi, Gafeksi dan sebagainya b. Apa, Informasi apa yang diperlukan tentang orang, perusahaan, eksportir, importir, PPJK, suplier, barang, kegiatan, arus barang, fasilitas kepabeanan, harga barang, pabrik, 48

53 produsen, industri minuman, pabrik hasil tembakau (HT)/ Etil Alkohol (EA)/Minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan sebagainya. c. Kapan, informasi itu harus sudah diperoleh (saat ini, secepatnya, paling lambat, sepanjang periode tertentu). d. Dimana, Dimana informasi itu dapat diperoleh (di file, data base/pangkalan data, Kantor Polisi, Kantor Penerbangan/Pelayaran, Kantor Freight Forwarder, internet dan sebagainya). e. Mengapa, Kenapa informasi itu diperlukan (karena data yang dimiliki kurang lengkap, ada perbedaan data/information gap), untuk mengungkap modus operandi, untuk melakukan pencegahan, penindakan, penegahan, penyelidikan, penyidikan, untuk menetapkan kebijakan operasional, kepentingan dalam rangka menyusun rancangan suatu peraturan dan sebagainya. f. Bagaimana, Bagaimana informasi itu diperoleh (dibeli, penugasan informan, melalui pertukaran data elektronik (PDE) dengan unit lain dalam jajaran Bea Cukai atau instansi penegak hukum lain, kerjasama dengan AP negara lain, diakses dari internet dan sebagainya. D. Struktur Intelijen Organisasi intelijen terdiri dari : Gambar 1 : Struktur Intelijen Pimpinan Staf Observer Agent Informan Unsur Lapangan 49

54 Petugas Tugas Khusus Syarat Observer Mengadakan peninjauan Menyampaikan laporan Agent Melaksanakan instruksi pusat Memberikan laporan sesuai kebutuhan pusat Informan Memberikan fakta tanpa membuat analisa atau saran Memberikan laporan yang sifatnya petunjuk yang harus dinilai, diolah terlebih dahulu untuk menjadi laporan intelijen Harus dapat bergaul secara luas Dapat menyesuaikan diri secara cepat, dimanapun ia ditugaskan Memiliki keahlian istimewa untuk dapat mengetahui perubahanperubahan penting Peka terhadap apa yang sedang menjadi persoalan Dapat dipercaya loyalitasnya Mempunyai pengetahuan dan pendidikan yang cukup Mengetahui, menguasai situasi seluk beluk setempat Terbuka menerima segala informasi Tidak terlihat, baik dalam tugas maupun fungsinya Kerahasiaan informan harus terjamin E. Siklus Intelijen Kegiatan intelijen dilaksanakan oleh Unit Intelijen dalam rangka pendeteksian dini atas pelanggaran. Kegiatan intelijen dilaksanakan dengan kegiatan pengelolaan informasi sesuai siklus intelijen, meliputi : 1. Pengumpulan data atau informasi Bersumber dari : a) Internal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh melalui kegiatan : i. Surveillance : dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap orang, tempat, sarana pengangkut dan/atau obyek tertentu secara berkesinambungan pada periode tertentu yang dilakukan secara tertutup dalam rangka pengumpulan atau pendalaman data atau informasi yang dapat menunjukkan adanya indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai 50

55 ii. iii. Monitoring : dilaksanakan dengan kegiatan pengamatan terhadap data-data transaksi pelayanan dan pengawasan kepabeanan dan/atau cukai. atau penerimaan informasi dari unit internal lainnya; dan/atau b) Eksternal DJBC berupa data atau informasi yang diperoleh dari laporan masyarakat atau institusi atau sumber eksternal lainnya. c) Klasifikasi kepercayaan sumber informasi dan validitas informasi berpedoman pada teknik Admiralty System yaitu sebagai berikut : Kepercayaan Sumber Kebenaran Keterangan Nilai Arti Nilai Arti A Dapat dapat dipercaya 1 Dipastikan kebenarannya B Biasanya dapat dipercaya 2 Besar kemungkinan kebenarannya C Cukup dipercaya 3 Kemungkinan benarnya berimbang (50-50) D Biasanya tidak dapat dipercaya 4 Diragukan kebenarannya E Tidak dapat dipercaya 5 Dipstikan tidak benar F Tidak dapat dipertimbangkan sama sekali 6 Kebenarannya tidak dapat dinilai 2. Penyeleksian Data Hasil pengumpulan data atau informasi dilakukan penyeleksian data atau informasi dengan penelitian terhadap lingkup informasi yang berkenaan dengan kepabeanan dan/atau cukai dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan klasifikasi. Hasil pengumpulan data atau informasi tersebut akan dituangkan dalam Lembar Informasi (LI). Hasil pengumpulan data atau dikelola dalam Pangkalan Data Intelijen yang berisi informasi yang bermanfaat untuk pengawasan kepabeanan dan/atau cukai, antara lain pangkalan data: importir atau eksportir, pengusaha barang kena cukai, PPJK, komoditi, dan lalu lintas penumpang pesawat udara. 3. Penilaian Data Penilaian dilakukan dengan pengklasifikasian data atau informasi berdasarkan LI dalam rangka menentukan kelayakan data atau informasi untuk dilakukan analisis. Pengklasifikasian informasi dilakukan berdasarkan kriteria tertentu berupa kehandalan 51

56 sumber dan validitas informasi yang diperoleh. Hasil penilaian data atau informasi sebagaimana dimaksud pada dituangkan dalam Lembar Klasifikasi Informasi (LKI). 4. Analisis Data Analisis data atau informasi dilakukan dengan mencocokkan, membandingkan, menguji dan meneliti data atau informasi berkaitan dengan indikasi pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai. Analisis data atau informasi dilakukan berdasarkan : a) Lembar Klasifikasi Informasi (LKI) b) Nota Pengembalian Informasi (NPI) Hasil analisis data atau informasi sebagaimana dimaksud pada dituangkan dalam Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI). 5. Penyebaran Rekomendasi Lembar Kerja Analisis Intelijen (LKAI) hanya disebarkan terbatas pada Unit Pengawasan atau pihak terkait ditindaklanjuti dengan penerbitan produk-produk intelijen berupa : a) Nota Hasil Intelijen (NHI) yang memuat informasi mengenai indikasi kuat adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat spesifik dan mendesak dari Unit Intelijen, untuk segera dilakukan penindakan oleh Unit Penindakan Kantor Pelayanan; b) Nota Informasi Penindakan (NIP) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat spesifik dari Unit Intelijen, untuk dapat dilakukan penindakan oleh Unit Penindakan Kantor Pusat atau Kantor Wilayah secara horizontal; c) Nota Informasi (NI) yang memuat informasi mengenai indikasi adanya pelanggaran kepabeanan dan/atau cukai yang bersifat umum atau spesifik untuk dapat dilakukan penelitian mendalam oleh Unit Intelijen di Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan; d) Rekomendasi untuk audit, perbaikan sistem dan prosedur atau lainnya; atau e) informasi lainnya, antara lain meliputi kecenderungan pelanggaran yang bersifat umum atau peta kerawanan yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar pelaksanaan patroli. 6. Pendistribusian Pendistribusian produk intelijen sebagaimana dimaksud dalam dilaksanakan secara elektronik melalui hubungan langsung antar komputer atau melalui sistem Pertukaran Data 52

57 Elektronik; atau secara manual, dalam hal distribusi secara elektronik tidak dapat dilakukan. Untuk kecepatan dan kerahasiaan, NHI atau NI dapat disampaikan lebih awal melalui faksimili, radiogram, telepon, atau surat elektronik mendahului penyampaian. 7. Pemutakhiran Data Pemutakhiran data dalam profil intelijen yang meliputi profil penumpang, profil perusahaan, profil komoditi, profil pengusaha barang kena cukai, dan profil lainnya, dilaksanakan oleh Subdirektorat Intelijen berdasarkan informasi dan masukan dari Kantor dan/atau Direktorat terkait. Pemutakhiran data dalam Profil Intelijen dapat dilakukan berdasarkan Profil Penyidikan yang berasal dari Unit Penyidikan. Profil Penyidikan oleh Unit Intelijen digunakan sebagai dasar penyusunan analisis pasca penindakan (post seizure analysis). Analisis tersebut sekurang-kurangnya memuat : a) kronologis pelanggaran; b) modus operandi; c) indikator risiko pelanggaran; d) analisis kebijakan atau peraturan perundang-undangan; e) proses penanganan pelanggaran; dan f) kesimpulan dan saran. Subdirektorat Intelijen dapat melaksanakan penyebaran informasi hasil penindakan kepada seluruh Unit Intelijen. Penyebaran informasi dilaksanakan segera dengan penerbitan Distribusi Informasi Penindakan (DIP) yang dibuat berdasarkan Informasi Penindakan (IP). DIP digunakan sebagai masukan dalam pengolahan data atau informasi. Unit Intelijen menerima permintaan Nota Profil (NP) yang memuat Profil Intelijen dari Unit Penyidikan. Nota Profil (NP) sekurang-kurangnya memuat identitas dan data pelanggaran dari orang dan/atau perusahaan. F. Penyamaran Penyamaran digunakan dalam kegiatan pengumpulan informasi atau untuk membantu unit operasional pada saat akan dilakukan penyergapan. Penyamaran yang dilakukan dalam waktu cukup lama (biasanya lebih dari satu tahun) dikenal dengan istilah penyusupan (infiltration). Penyamaran untuk memperoleh informasi dilakukan pada kegiatan intelijen, dikarenakan alasanalasan : a. Informasi atau barang bukti tidak dapat diperoleh dengan cara investigasi secara terbuka. 53

58 b. Untuk mengurangi waktu dan biaya, apabila berdasarkan pertimbangan tersebut informasi yang didapat jauh lebih singkat waktunya dan lebih murah. c. Apabila penyelidikan terbuka tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada data sama sekali yang mendukung investigasi tersebut. Tujuan dilakukan penyamaran : a. Mendapatkan informasi atau bahan intelijen b. Mendapatkan barang bukti untuk penuntutan c. Menetapkan apakah pelanggaran direncanakan oleh suatu organisasi atau sindikat atau perorangan d. Mengidentifikasi individu yang terlibat, saksi-saksi bahkan pemberi informasi itu sendiri perlu diidentifikasi kalau itu bukan informan yang diberi tugas oleh pihak lain e. Mengetahui tingkat kebenaran dari pemberi informasi f. Mengetahui lokasi barang-barang selundupan g. Mempertimbangkan waktu yang paling menguntungkan dalam penangkapan atau penyergapan G. Menghitung Draft Kapal Draught survey adalah suatu sistem perhitungan muatan berdasarkan pengukuran draft/sarat kapal sebelum dan sesudah pemuatan/pembongkaran dengan memperhitungkan perubahan berat barang-barang di kapal selain muatan yang mungkin terjadi selama operasi pemuatan/pembongkaran, seperti perubahan pada air ballast, bahan bakar, perbekalan dan lainlain. Dari definisi tersebut, bahwa draft kapal merupakan dasar utama dari perhitungan ini, karena dengan mengetahui berapa dalam bagian kapal yang masuk ke dalam air, kita dapat mengetahui berat/bobot kapal tersebut (displacement) dengan prinsip Hukum Archimides. 1. Pelaksanaan Draught Survey : Tahap I Mempelajari dokument kapal yang dipakai dalam perhitungan draught survey dan mencari informasi kondisi kapal terkini. Tahap II Pembacaan draught kapal di lambung kiri dan kanan bagian depan (forward), tengah (midship), belakang (after part). Tahap III Melakukan pengukuran cairan-cairan yang ada diatas kapal (fresh water, Ballast water, Fuel oil, diesel oil, Lub. oil, Hydrolic oil, other. Tahap IV Mengukur density air perairan dan ballast, Density bahan bakar berdasarkan informasi dari tanda pengisian terakhir 54

59 Tahap V Perhitungan draught survey, Buku-buku dokumentasi yang diperlukan dalam perhitungan (Bibliography book, atau hydrostatic table, sounding table/tank capacity curve) 2. Syarat Ideal pelaksanaan Draught survey : Kapal tidak kandas/dapat mengapung bebas Tali pengikat tidak terlalu kencang, kapal dapat bebas terapung kapal tidak miring lebih dari 2derajat tanda draught kapal dapat terbaca jelaz pipa sounding/level gauge dapat terbaca jelaz tinggi ombak tidak lebih 0,5 m trim kapal tidak melebihi batas koreksi trim dalam table tanki Table dalam kondisi up to date Alat ukur dalam kondisi baik dan terkalibrasi tidak ada pergerakan cairan dan alat bongkar pada saat survey Pada waktu pelaksanaan draft survey hubungi Chief Officer agar selama operasi draft survey, kapal tidak mengerjakan : pengisian atau pembuangan atau pemindahan dari tanki ke tanki air ballast. pengisian atau pemindahan bahan bakar dari tanki ke tanki memasukkan atau mengeluarkan (swinging) batang pemuat/kra 3. Beberapa informasi mengenai spesifikasi kapal laut : a. Coefisient Block (CB) : Adalah perbandingan antara volume badan kapal di bawah air dengan volume air dengan volume kotak yang dibatasi oleh panjang (L), Lebar (B) dan Sarat air (d) yang sama. CB = L = Panjang Kapal B = Lebar Kapal d = Tinggi Kapal 55

60 Batasan Coefisient Block Kapal barang (General Cargo) = 0,65 0,75 Kapal Cepat (Fast Boat) = 0,35 0,50 Kapal Tanker = 0,75 0,80 Barge/Tongkang = 0,80 0,95 Kapal Tunda (Tug Boat) = 0,65 0,70 Gambar. 2 Visualisasi menghitung coefisien block b. Displacement ( ) : adalah jumlah air dalam ton yang dipindahkan oleh kapal terapung. Gaya tekan keatas oleh air terhadap kapal yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkan atau sama dengan volume badan kapal yang tercelup dikalikan dengan berat jenis air laut. = Volume X BD air laut = (L X B X T X CB) X BD c. Dead Weight (Dwt) atau Bobot Mati : merupakan gabungan berat dalam ton untuk berat muatan, bahan bakar, minyak pelumas, air tawar, bahan makanan dan minuman, awak kapal, penumpang dan barang bawaan. d. Light Weight : Light weight (Lwt) atau Berat kapal kosong adalah berat badan kapal, bangunan atas, peralatan/perlengkapan kapal, permesinan kapal dan lain lain. Lwt = Displacement Dwt 56

61 e. Tonage (Tonase) : didapat dengan menghitung sesuai peraturan dan cara tertentu yang dapat dianggap menunjukkan internal capacity suatu kapal, yaitu banyaknya ruangan di dalam kapal yang dapat memberikan keuntungan. Dalam sistem penghitungan standar, terdapat dua macam register Tonage : BRT (Bruto Register Tonage). NRT (Netto Register Tonage). 1 RT menunjukkan suatu ruangan sebesar 100 Cub feet atau 2,8323 m3. Cara menghitung berat muatan : menghitung dwt dengan memakai deadweight scale. menghitung displacement dengan menggunakan hydrostatic curve. menghitung displacement mempergunakan ukuran utama kapal. mempergunakan volume ruang muat yang tertera pada surat ukur kapal. 4. Cara menghitung Draft Kapal a. Cara I : Menghitung DWT dengan memakai Deadweight Scale Mencari sarat rata-rata (T (tinggi) rata-rata) Diperoleh : T Depan = 20,5 ft T Belakang T rata-rata = (TD + TB) / 2 = (20,5 + 22,5) / 2 = 21,5 ft Mencari Deadweight = 22,5 ft Dengan tinggi sarat 21,5 ft diperoleh deadweight dari DWT scale = 6400 ton. Mencari berat muatan (PB) Dwt Jadi PB = PB + Pc + Pm + Pf + Pe + Pa + Ptj = Dwt Pc + Pm + Pf + Pe + Pa + Ptj Dimana PB = Berat Muatan Pc = Berat ABK dan perlengkapan Pm = Berat makanan Pf = Berat bahan bakar Pe = Berat minyak pelumas Pa = Berat air tawar Ptj = Berat cadangan 57

62 Mencari Pc (berat ASP dan perlengkapan) Misal jumlah crew 30 orang dengan berat orang dan perlengkapan 0,2 ton Pc = 30 x 0,2 = 6 ton Mencari Pm (berat makanan) Berat makanan untuk 1 hari = 5 kg Untuk 30 orang selama 30 hari : 30 x 30 x 5 = 4,5 ton Mencari Pf (berat bahan bakar ), Pe (Berat minyak pelumas) dan Pa (berat air tawar) : Diukur dengan cara perum / duga / sounding b. Cara II Menghitung displacement dengan Hydrostatic Curve Mencari sarat rata rata Diperoleh : TD = 20, 5 ft TB = 22,5 ft T rata-rata = (TD + TB) / 2 = (20,5 +22,5) / 2 = 21,5ft Mencari displacement dari Hydrostatic curve dengan sarat (T) 21,5 ft didapat ton Mencari berat kapal kosong (LWT) Bila data kapal tidak menunjukkan LWT maka dilakukan pendekatan dimana berat kapal kosong (LWT) adalah 30% Displacement LWT = 0,3 x = ton Mencari Deadweight (DWT) DWT = Displacement LWT = = ton Mencari berat muatan (PB) Sama dengan cara diatas 58

63 c. Cara III Mempergunakan Ukuran Utama Kapal. Hal ini dilakukan bila hanya diperoleh data mengenai ukuran utama kapal Menghitung displacement = L x B x T x CB x BD air laut = 96,08 m x 15 m x 4,5 m 0,8 x 1,025 = 5318,028 ton Dimana CB untuk kapal tanker 0,75 0,85 dan diambil 0,8 BD air laut 1,025 Menghitung berat kapal kosong (LWT) LWT = 0,3 x 5318,028 = 1595,41 ton Menghitung DWT DWT = Displacement LWT = 5318, ,41 = 3722,608 ton Menghitung Berat Muatan Sama seperti diatas 59

64 H. Rangkuman 1. Pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca-impor. Kegiatan pengawasan dilaksanakan sesuai kewenangan kepabeanan dan cukai berdasarkan ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan secara sistematis, sinergis dan komprehensif. 2. Intelijen dalam Bea dan Cukai berarti : Rangkaian Kegiatan di dalam siklus intelijen yang meliputi perencanaan, pengumpulan, penilaian, penyusunan, pembandingan, analisis, penyebaran, dan pengkajian ulang informasi yang berasal dari data base dan informasi lainnya sehingga diperoleh suatu produk intelijen yang akurat dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya atau melakukan penindakan terhadap pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai. 3. Oleh World Customs Organization (WCO) intelijen pabean menurut tingkatannya dikategorikan dalam tiga tipe, yaitu : Intelijen Strategis, kegiatan intelijen yang dilakukan oleh pusat yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. Intelijen Operasional, kegiatan intelijen yang dilakukan oleh regional/wilayah yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. Intelijen Target, kegiatan intelijen yang dilakukan oleh kantor pengawasan yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen (inteligence product) yang akan digunakan oleh unit operasional. 4. Kegiatan intelijen dilaksanakan dengan kegiatan pengelolaan informasi sesuai siklus intelijen, meliputi : pengumpulan data atau informasi, penyeleksian data, penilaian data, analisis data, penyebaran rekomendasi, pendistribusian, dan pemutakhiran data. 5. Penyamaran digunakan dalam kegiatan pengumpulan informasi atau untuk membantu unit operasional pada saat akan dilakukan penyergapan. Penyamaran yang dilakukan dalam waktu cukup lama (biasanya lebih dari satu tahun) dikenal dengan istilah penyusupan (infiltration). 6. Draught survey adalah suatu sistem perhitungan muatan berdasarkan pengukuran draft/sarat kapal sebelum dan sesudah pemuatan/pembongkaran dengan memperhitungkan perubahan berat barang-barang di kapal selain muatan yang mungkin terjadi selama operasi pemuatan/pembongkaran, seperti perubahan pada air ballast, bahan bakar, perbekalan dan lain-lain. Dari definisi tersebut, bahwa draft kapal 60

65 merupakan dasar utama dari perhitungan ini, karena dengan mengetahui berapa dalam bagian kapal yang masuk ke dalam air, kita dapat mengetahui berat/bobot kapal tersebut (displacement) dengan prinsip Hukum Archimides. 61

66 I. Tes Formatif 1. Langkah-langkah Penindakan dalam penyidikan tindak pidana secara sistematis yaitu a. Penerbitan Surat Perintah Penindakan, Penangkapan/penahanan, penggeledahan, pemanggilan tersangka/saksi, pemeriksaan b. Penerbitan Surat Perintah Penindakan, pemanggilan tersangka/saksi, pemeriksaan, Penangkapan/penahanan, penggeledahan c. Penerbitan Surat Perintah Penindakan, pemanggilan tersangka/saksi, Penangkapan/penahanan, penggeledahan, pemeriksaan d. Penerbitan Surat Perintah Penindakan, Penangkapan/penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, pemanggilan tersangka/saksi 2. Penerbitan Surat Pemanggilan terhadap tersangka atau saksi ditandatangani oleh a. Kepala Seksi Penyidikan b. Kepala Kantor Pelayanan c. Kepala Seksi Penyidikan apabila juga sebagai PPNS d. Kepala Kantor Pelayanan apabila juga sebagai PPNS 3. Pejabat Bea dan Cukai menyampaikan Surat Pemanggilan kepada tersangka atau saksi. Apabila tidak berada di tempat, Surat Pemanggilan dapat disampaikan kepada a. Keluarga, Pejabat RT/RW atau orang lain yang dipercaya b. Tetangga paling dekat rumah tersangka atau saksi c. Orang terpandang di lingkungan rumah tersangka atau saksi d. Pengurus masjid atau tempat ibadah terdekat rumah tersangka atau saksi 4. Penangkapan atau penahanan dilakukan... a. Berdasarkan insting dan instuisi PPNS b. Oleh PPNS dengan Surat Perintah Penangkapan c. Oleh Pejabat Bea dan Cukai setempat d. Berdasarkan perintah Kepala Kantor Pelayanan 5. Penahanan dilakukan paling lama a. 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari b. 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari c. 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari d. 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari 6. Jenis-jenis penahanan disebutkan dibawah ini, kecuali a. Penahanan Negara 62

67 b. Penahanan Kota c. Penahanan Rumah Tahanan d. Penahanan Rumah Tersangka 7. Penggeledahan rumah tinggal dilakukan dengan a. Izin Kepala Kejaksaan Negeri setempat, kecuali keadaan mendesak b. Perintah Kepala Kantor Pelayanan, apabila PPNS tidak ada c. Izin Ketua Pengadilan Negeri, kecuali keadaan mendesak d. Perintah PPNS diketahui Kepala Kantor Pelayanan 8. Ketentuan penggeledahan mendesak dilakukan a. Tanpa memerlukan izin Ketua Pengadilan Negeri untuk penggeledahan tempat tingal b. PPNS membuat berita acara paling lambat 1 X 24 jam c. PPNS membuat Surat Perintah Penggeledahan d. Dengan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh PPNS setempat 9. Barang tidak berwujud yang dapat dilakukan penyitaan adalah, kecuali a. Sistem atau program pembukuan b. Data-data dalam komputer c. Saham atau hak dalam perusahaan d. Hak Atas kekayaan Intelektual 10. Dalam proses pemeriksaan, tersangka mempunyai hak a. Mendapatkan bantuan dari penasehat hukum yang ditunjuk oleh PPNS b. Didampingi oleh penasehat hukum hanya pada saat penandatanganan BAP c. Memdapatkan saksi yang menguntungkan tersangka d. Mendapatkan penjelasan dalam Bahasa Indonesia 11. Berkas perkara dapat diserahkan ke penuntut umum, apabila a. Hasil pemeriksaan tersangka dan saksi telah selesai dilakukan oleh PPNS b. Hasil pemeriksaan tersangka dan saksi, serta kelengkapan telah cukup c. Bukti yang mendukung telah selesai dikumpulkan d. Bukti yang mendukung sudah dianggap cukup dan lengkap 12. Penghentian penyidikan tindak pidana dilakukan apabila a. Dihentikan demi hukum oleh Menteri Keuangan b. Bukti yang dikumpulkan ditolak oleh Pengadilan Negeri c. Peristiwa tindak pidana hanya dapat dikenakan denda administrasi d. Tindak pidana tidak disebutkan dalam Undang-undang Kepabeanan 63

68 13. Pengertian intelijen pada Bea dan Cukai adalah a. Rangkaian kegiatan dalam siklus intelijen, yang berasal dari data base dan informasi, untuk dapat digunakan mencegah terjadinya tindak pidana Kepabeanan dan Cukai. b. Tidak hanya sekedar berkonotasi dengan kegiatan spionase, namun bermakna lebih luas sebagai cara mendapatkan informasi dengan menggunakan kecerdasan otak atau pilkiran. c. Proses pengolahan informasi, kemudian analisis informasi dan membuat proyeksi tentang hal yang diamati. d. Proses memperjelas problem intelijen, menghasilkan prediksi dan menghasilkan suatu produk inelijen 14. Fungsi intelijen yang bertujuan untuk menetapkan target, membuat kesimpulan dan rekomendasi intelijen adalah a. Disclosive b. Predictive c. To Produce Inteligence d. Recommendation 15. Fungsi intelijen yang bertujuan untuk menghasilkan suatu produk intelijen adalah a. Disclosive b. Predictive c. To Produce Inteligence d. Inteligence Product 16. Aspek dasar yang diamati untuk menghasilkan produk intelijen yaitu, kecuali a. Tujuan b. Kemampuan/kekuatan c. Kerawanan d. Target 17. Informasi intelijen yang memperhatikan sejumlah data yang ada berdasarkan dengan tujuan intelijen yang jelas adalah a. Akurasi b. Relevansi c. Tepat waktu d. Tujuan 18. Elemen kunci intelijen yang menjelaskan apakah informasi tersebut diperoleh dengan unit lain dalam jajaran Bea dan Cukai atau instansi penegak hukum lain adalah a. Apa 64

69 b. Kapan c. Bagaimana d. Mengapa 19. Elemen kunci intelijen yang menjelaskan apakah informasi diperoleh dari file, data base /pangkalan data, freighr forwarder adalah a. Apa b. Dimana c. Siapa d. Bagaimana 20. Contoh dengan mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan oleh satu Kawasan Berikat A di lingkungan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Bekasi adalah tingkatan intelijen a. Intelijen Strategik b. Intelijen Operasional c. Intelijen Taktis d. Intelijen Manajerial 21. Tingkatan intelijen yang dimaksudkan untuk melihat secara global pada tingkat nasional, ancaman dari orang-orang atau organisasi-organisasi dalam rangka penegakan hukum di bidang kepabeanan dan cukai adalah a. Intelijen Strategik b. Intelijen Operasional c. Intelijen Taktis d. Intelijen Manajerial 22. Tingkatan intelijen yang produknya digunakan secara regional, misalnya kebijakan untuk meningkatkan pengawasan terhadap Kawasan Berikat di lingkungan KPPBC Purwakarta adalah a. Intelijen Strategik b. Intelijen Operasional c. Intelijen Taktis d. Intelijen Manajerial 23. Unsur organisasi intelijen yang bertugas untuk melaksanakan instruksi pusat dan memberikan laporan sesuai kebutuhan pusat disebut juga a. Observer b. Agent c. Informan d. Staf 65

70 24. Unsur organisasi intelijen yang bertugas memberikan fakta tanpa membuat analisa atau saran dan memberikan laporan yang sifatnya petunjuk yang harus dinilai, diolah terlebih dahulu untuk menjadi laporan intelijen disebut juga a. Observer b. Agent c. Informan d. Staf 25. Kegiatan penafsiran untuk memberikan pertimbangan yang kritis terhadap keterangan melalui analisa, integrasi dan penentuan kesimpulan adalah salah satu unsur dalam siklus intelijen pada a. Perencanaan dan pengarahan b. Pengumpulan keterangan c. Pengolahan data d. Penyampaian dan penggunaan 26. Kegiatan untuk pendayagunaan yang maksimal, produk intel harus dibuat dalam format yang sesuai dengan kebutuhan pemakai adalah salah satu unsur dalam siklus intelijen pada a. Perencanaan dan pengarahan b. Pengumpulan keterangan c. Pengolahan data d. Penyampaian dan penggunaan 27. Dalam siklus intelijen, huruf menilai kepercayaan sumber yang berarti biasanya tidak dapat dipercaya adalah a. A b. B c. C d. D 28. Dalam siklus intelijen, huruf menilai kepercayaan sumber yang berarti biasanya dapat dipercaya adalah a. A b. B c. C d. D 29. Dalam siklus intelijen, angka menilai kebenaran keterangan yang berarti sangat mungkin benar adalah a. 1 66

71 b. 2 c. 3 d Dalam siklus intelijen, angka menilai kebenaran keterangan yang berarti tidak mungkin benar adalah a. 3 b. 4 c. 5 d. 6 67

72 DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942); Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2294); Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah un 1961 Nomor 276; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2318); Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2294); Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2294); Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755) ; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10),Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671; Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143),Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062; 68

73 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294),Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603; Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan Di Bidang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 36,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3626); Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3651); Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penindakan di Bidang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5040); Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 Nopember 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 120), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4330; Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/KMK.05/1997 tanggal 16 Januari 1997 Tentang Tatalaksana Penindakan Di Bidang Kepabeanan; Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 92/KMK.05/1997 tentang Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai; Peraturan Menteri Keuangan nomor 238/PMK.04/2009 tanggal 30 Desember 2009 tentang Tata Cara Penghentian, Pemeriksaan, Penegahan, Penyegelan,Tindakan Berupa Tidak Melayani Pemesanan Pita Cukai atau Tanda Pelunasan Cukai Lainnya, dan Bentuk Surat Perintah Penindakan; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.04/2006 tanggal 20 Pebruari 2006 tentang Penyelesaian Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik Negara; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.01/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 69

74 Keputusan Menteri Keuangan nomor 448/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai. Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 08/BC/1997 tentang Penghentian, Pemeriksaan, dan Penegahan Sarana Pengangkut dan Barang diatasnya serta Penghentian Pembongkaran dan Penegahan Barang; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 37/BC/1997 tentang Pemeriksaan barang, Bangunan, atau Tempat lain dan Surat atau Dokumen yang Berkaitan dengan Barang; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 38/BC/1997 tentang Pemeriksaan Badan; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 57/BC/1997 tentang Petunjuk Pelaksana Proses Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 101/BC/2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penindakan dan Penyidikan di Bidang Kepabeanan dan Cukai pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai nomor 53/BC/2010 tentang Tatalaksana Pengawasan 70

75 PENYUSUN Kurniawan, SE Penata / Gol III C Widyaiswara Muda Pusdiklat Bea dan Cukai Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia 71

76

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661] Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612] BAB XIV KETENTUAN PIDANA Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 50 Barangsiapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 1, menjalankan usaha Pabrik,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN Menimbang Mengingat WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN : : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 11/1995, CUKAI *9122 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 11 TAHUN 1995 (11/1995) Tanggal: Sumber: Tentang: 30 Desember 1995 (JAKARTA) LN No.76;

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PARKIR DI TEPI JALAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONTIANAK, Menimbang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 PEMERINTAH KABUPATEN ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH diperbanyak oleh : BAGIAN HUKUM DAN HAM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR PEMERINTAH

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BUPATI BULULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN

BUPATI BULULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN BUPATI BULULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. b. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2005 NOMOR 11 SERI C NOMOR 9

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2005 NOMOR 11 SERI C NOMOR 9 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2005 NOMOR 11 SERI C NOMOR 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG RETRIBUSI TANDA DAFTAR GUDANG DAN RUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

Diatur dalam pasal 1 angka 25 UU KUP Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang

Diatur dalam pasal 1 angka 25 UU KUP Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang Diatur dalam pasal 1 angka 25 UU KUP Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan proporsional berdasarkan suatu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN Menimbang : a. bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANOKWARI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANOKWARI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANOKWARI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf e Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR.TAHUN 2009 TENTANG HUKUM ACARA JINAYAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG IZIN TEMPAT USAHA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABALONG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 141

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

WALIKOTA SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT Rancangan PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

WALIKOTA SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT Rancangan PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI WALIKOTA SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT Rancangan PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI NOMOR TAHUN 2016 TENTANG : RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN GANGGUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang : a. bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA LUBUKLINGGAU, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 03 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 03 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR : 03 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa Pajak Air Permukaan

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KABUPATEN CILACAP

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KABUPATEN CILACAP BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DI KABUPATEN CILACAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa Retribusi

Lebih terperinci

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan hukum di

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 05 TAHUN 2012 TLD NO : 05

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 05 TAHUN 2012 TLD NO : 05 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 05 TAHUN 2012 TLD NO : 05 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 1 Tahun 2014 Seri: B BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 1 Tahun 2014 Seri: B BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 1 Tahun 2014 Seri: B BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang : a. bahwa Pajak Air

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG TANDA DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedua, Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2 Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2.1 Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin

2 perpajakan yang terkait dengan Bea Meterai telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; e. bahwa ketentuan mengenai tin No.1951. 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pemeriksaan. Bulat Permukaan. Tindak Pidana Perpajakan. Pencabutan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239 /PMK.03/2014 TENTANG

Lebih terperinci

P E R A T U R A N D A E R A H

P E R A T U R A N D A E R A H P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN Menimbang : a. NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT KHUSUS PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci