BAB I PENDAHULUAN. kebangkrutan tersebut yaitu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebangkrutan yang dialami oleh perusahaan tidak hanya merugikan pihak internal perusahaan itu sendiri saja, namun banyak pihak yang akan juga dirugikan terutama pihak eksternal. Bagi internal perusahaan, akibat dari kebangkrutan tersebut yaitu terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sangat merugikan karyawan perusahaan tersebut dan meningkatkan tingkat pengangguran di negara tempat beroperasinya perusahaan tersebut. Pihak eksternal yang dirugikan akibat kebangkrutan perusahaan antara lain, pihak investor yang menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut, dan kreditor yang memberikan pinjaman kepada perusahaan tersebut. Bagi investor yang berinvestasi pada perusahaan tersebut dalam bentuk saham maupun obligasi tentu saja akan mengalami kerugian dan ikut menanggung kerugian yang dialami oleh perusahaan, dan bagi pihak kreditur yang memberikan pinjaman akan terjadi gagal bayar (default). Pihak eksternal tentu tidak menginginkan perusahaan tempatnya menanamkan modal dan memberikan pinjaman mengalami kebangkrutan. Pihak eksternal perlu melakukan berbagai pertimbangan sebelum menanamkan modalnya dan memberikan pinjaman. Salah satu pertimbangan tersebut yaitu dengan melakukan analisis keuangan perusahaan yaitu menganalisis potensi kebangkrutan perusahaan tersebut. 1

2 Potensi kebangkrutan dewasa ini sudah dapat diantisipasi dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan perusahaan karena pada dasarnya laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Analisis terhadap laporan keuangan dimaksudkan untuk membuat informasi dalam laporan keuangan yang bersifat kompleks menjadi elemen-elemen yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh pengguna laporan keuangan (Yati, 2011). Laporan keuangan dan pengungkapannya menyajikan informasi empat aktivitas utama perusahaan yaitu perencanaan, pendanaan, investasi, dan operasi (Subramanyam dan Wild, 2010). Terdapat berbagai alat analisis kebangkrutan yang telah ditemukan, namun alat analisis kebangkrutan yang banyak digunakan yaitu analisis Z-Score model Altman, model Springate, dan model Zmijewski. Alasan ketiga alat analisis tersebut banyak digunakan yaitu karena ketiga alat analisis tersebut relatif mudah untuk digunakan dan juga memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi dalam melakukan prediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman pada tahun 1968 memperkenalkan analisis Z-Score, yaitu sebuah analisis yang menghubungkan berbagai rasio dalam laporan keuangan sebagai variabelnya dan digabungkan kedalam sebuah persamaan untuk memperoleh nilai Z. Analisis Z-Score dapat digunakan untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Adapun variabelnya yaitu modal kerja terhadap total aset (working capital to total assets); laba yang ditahan terhadap total aset (retained earnings to total assets); pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total aset 2

3 (earnings before interest and taxes to total assets); nilai pasar sendiri terhadap nilai buku dari liabilitas (market value equity to book value of total debt); dan penjualan terhadap total aset (sales to total assets). Model Altman tersebut mengalami revisi yang bertujuan agar model prediksinya tidak hanya digunakan pada perusahaan manufaktur saja tetapi juga dapat digunakan untuk perusahaan selain manufaktur. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat ketepatan prediksi kebangkrutan sebesar 94% untuk model pertama Altman, dan 95 % untuk model Altman yang telah direvisi. Dalam model Altman yang telah direvisi, perusahaan yang mempunyai skor Z>2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai skor Z<1,20 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut. Selanjutnya skor antara 1,20 sampai 2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan pada grey area atau daerah kelabu. Springate (1978) melakukan penelitian yang serupa dengan menggunakan analisis multidiskriminan. Springate menggunakan 40 perusahaan sebagai sampel dalam penelitiannya untuk menemukan suatu model yang dapat digunakan dalam memprediksi adanya potensi kebangkrutan perusahaan. Springate akhirnya menemukan 4 rasio yang dapat digunakan dalam memprediksi adanya potensi kebangkrutan perusahaan. Keempat rasio tersebut adalah rasio modal kerja terhadap total aset, rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset, rasio laba sebelum pajak terhadap total liabilitas lancar, dan rasio total penjualan terhadap total aset. Keempat rasio tersebut dikombinasikan dalam suatu formula yang dirumuskan Springate yang selanjutnya terkenal dengan istilah model 3

4 Springate. Tingkat ketepatan dari model Springate ini dalam memprediksi potensi kebangkrutan adalah sebesar 92,5%. Standar yang ditetapkan Springate adalah jika nilai Z>1,062 maka perusahaan diprediksi sebagai perusahaan yang sehat (tidak berpotensi bangkrut). Sedangkan jika nilai Z<0,862 maka perusahaan diprediksi sebagai perusahaan yang berpotensi akan mengalami kebangkrutan. Pada tahun 1984 Zmijewski menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja, leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya. Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40 perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan saat itu. Dalam model Zmijewski, yang menjadi variabelnya yaitu net profit to total assets (X1), total liabilities to total assets (X2), dan current assets to current liabilities (X3). Salah satu jenis industri yang saat ini sedang mengalami tingkat persaingan tinggi di Indonesia yaitu industri kosmetik. Hal ini terjadi akibat demam Korea dikalangan anak-anak hingga dewasa. Demam Korea atau Hallyu adalah isilah yang digunakan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia yang pada umumnya memicu banyak orangorang di negara tersebut untuk mempelajari Bahasa Korea dan kebudayaan Korea. Namun tidak hanya lagu dan film dari negara Korea saja yang digemari, bahkan masyarakat Indonesia mulai ingin berpenampilan seperti masyarakat Korea yang memiliki kulit putih. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pebisnis kosmetik Korea untuk menjual produknya di Indonesia. 4

5 Berdasarkan data Kementrian Perindustrian, penjualan kosmetik di Indonesia tumbuh double digit per tahun. Pada tahun 2012 penjualan kosmetik lokal mencapai Rp 9,76 triliun atau tumbuh 14% daripada tahun sebelumnya. Kementrian Perindustrian memprediksi pada tahun 2013 penjualan akan meningkat 15% menjadi Rp 11,22 triliun. Dengan jumlah pasar yang besar, pasar kosmetik Indonesia tidak hanya dinikmati kosmetik lokal, tetapi juga dinikmati kosmetik impor. Pertumbuhan kosmetik lokal Indonesia kalah besar jika dibandingkan dengan kosmetik impor dan kosmetik brand multinasional. Tahun 2012 penjualan kosmetik impor mencapai Rp 2,44 triliun atau naik 30% daripada tahun 2011 sebesar Rp 1,87 triliun. Tahun 2013 nilainya diproyeksi naik 30% menjadi Rp 3,17 triliun. Angka tersebut dua kali lipat dari penjualan kosmetik Indonesia. Daya tarik pasar dan industri kosmetik di Indonesia memang tidak lepas dari besarnya jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, berbagai ragam, jenis, dan macam kosmetik yang dipasarkan ikut berperan. Melihat besarnya pasar di Indonesia, banyak kosmetik impor masuk ke Indonesia. Industri kosmetik memiliki keterkaitan dengan budaya, dan masuknya kosmetik Korea ke Indonesia seiring dengan penetrasi budaya Korea di Indonesia. Industri kosmetik di Indonesia pada dasarnya telah memiliki pasarnya masing-masing, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan konsumen beralih ke produk Korea. Para produsen kosmetik Indonesia perlu mengantisipasi persaingan ini. Beberapa produsen kosmetik Indonesia sudah mulai menciptakan beberapa produk yang serupa dengan buatan Korea agar dapat bersaing. 5

6 Selain itu, setelah dilakukan analisis rasio keuangan, yaitu analisis rasio likuiditas dan solvabilitas pada tahun , industri kosmetik yang terdaftar di BEI menunjukkan beberapa gejala penurunan kinerja keuangan yang dapat menjadi indikasi perusahaan memiliki potensi mengalami kebangkrutan. Berikut adalah hasil dari analisis rasio laporan keuangan perusahaan industri kosmetik ditunjukkan pada Tabel 1.1, Tabel 1.2. Tabel 1.1 Hasil Perhitungan Rasio Likuiditas Industri Kosmetik yang Terdaftar di BEI Tahun LIKUIDITAS Current Ratio Quick Ratio UNVR 85,13% 68,67% 66,83% 49,38% 40,67% 39,47% MBTO 158,89% 408,10% 371,02% 119,93% 361,02% 332,57% MRAT 761,34% 627,07% 601,71% 635,59% 506,44% 493,55% TCID 1068,45% 1174,28% 772,65% 730,60% 687,65% 510,52% Sumber: Lampiran 1 Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar liabilitas jangka pendeknya dengan aset lancar atau dana lancar yang tersedia di perusahaan. Jadi rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi liabilitas jangka pendeknya pada saat jatuh tempo. Rasio likuiditas industri kosmetik yang terdaftar di BEI dihitung dengan dua komponen rasio, yaitu current ratio dan quick ratio. Berdasarkan hasil perhitungan rasio likuiditas pada Tabel 1.1, pada tahun 2011 terjadi penurunan current ratio pada UNVR sebesar 16,46% dan MRAT sebesar 134,27% dari tahun 2010 dan pada tahun 2012 seluruh perusahaan industri kosmetik mengalami penurunan current ratio dari tahun sebelumnya masing-masing sebesar 1,85% 6

7 untuk UNVR, 37,08% untuk MBTO, 25,36% untuk MRAT, dan 401,63% untuk TCID. Penurunan current ratio tersebut disebabkan peningkatan liabilitas jangka pendek yang tidak seimbang dengan peningkatan aset lancar dimana peningkatan liabilitas jangka pendek lebih tinggi dibanding peningkatan aset lancar. Tahun 2011, quick ratio pada UNVR mengalami penurunan sebesar 8,70% sedangkan pada MRAT terjadi penurunan sebesar 129,15% dan pada TCID mengalami penurunan sebesar 42,95%. Tahun 2012 quick ratio seluruh perusahaan industri kosmetik mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Penurunan yang terjadi pada UNVR sebesar 1,21%, MBTO sebesar 28,45%, MRAT sebesar 12,89% dan TCID sebesar 177,13%. Tabel 1.2 Hasil Perhitungan Rasio Solvabilitas Industri Kosmetik yang Terdaftar di BEI Tahun SOLVABILITAS UNVR 53,47% 64,88% 66,89% MBTO 64,90% 26,05% 28,70% MRAT 12,64% 15,16% 15,28% TCID 9,43% 9,77% 13,06% Sumber: Lampiran 2 Rasio solvabilitas menekankan pada peran penting pendanaan utang bagi perusahaan dengan menunjukkan persentase aset perusahaan yang didukung oleh pendanaan utang (Van Horne, 2005:210). Perusahaan yang memiliki rasio solvabilitas rendah menghadapi risiko kerugian yang lebih kecil pada saat perekonomian sedang menurun, tetapi memiliki return yang rendah pada saat perekonomian tinggi. Sedangkan perusahaan yang memiliki rasio solvabilitas 7

8 tinggi menghadapi risiko kerugian yang besar tetapi kesempatan mendapatkan keuntungan juga tinggi (Wiagustini, 2010). Berdasarkan hasil analisis rasio solvabilitas yang dilakukan pada perusahaan industri kosmetik yang terdaftar di BEI, diperoleh bahwa tiga dari empat perusahaan tersebut mengalami peningkatan rasio solvabilitas pada tahun 2011 dan seluruh perusahaan pada tahun Peningkatan rasio solvabilitas tersebut berarti semakin banyak aset perusahaan dibiayai dari utang, baik utang jangka pendek maupun jangka panjang. Peningkatan rasio solvabilitas tahun 2011 tersebut masing-masing sebesar 11,42% pada UNVR, 2,52% pada MRAT, dan pada TCID sebesar 0,34%. Peningkatan rasio solvabilitas dari tahun 2011 ke 2012 sebesar 2% terjadi pada UNVR, 2,65% pada MBTO, 0,11% pada MRAT, dan 3,29% pada TCID. Seperti yang telah disebutkan, jika perusahaan tidak mengantisipasi persaingan yang tinggi maka kemungkinan perusahaan akan salah dalam mengambil keputusan sehingga dapat menyebabkan perusahaan mengalami kebangkrutan. Untuk mengantisipasi kebangkrutan perusahaan industri kosmetik Indonesia, perlu dilakukan analisis potensi kebangkrutan dengan menggunakan ketiga alat analisis yang telah disebutkan sebelumnya. Ketiga model alat analisis potensi kebangkrutan tersebut memiliki tingkat akurasi yang berbeda dan memungkinkan untuk memberikan hasil analisis yang berbeda sehingga perlu dilakukan komparasi hasil prediksi potensi kebangkrutan dari ketiga alat analisis tersebut. 8

9 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah terdapat perbedaan potensi kebangkrutan industri kosmetik yang terdaftar di BEI dengan metode Z- Score model Altman, model Springate, dan model Zmijewski? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan potensi kebangkrutan industri kosmetik yang terdaftar di BEI dengan metode Z-Score model Altman, model Springate, dan model Zmijewski. 1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan teoritis yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai penggunaan analisis Z-Score model Altman, model Springate, dan model Zmijewski untuk memprediksi potensi kebangkrutan perusahaan dengan menggabungkan rasio dalam laporan keuangan sebagai variabelnya. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam kajian empiris dan dijadikan perbandingan, pengembangan, dan penyempurnaan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. 9

10 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan dan disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut. Bab I Pendahuluan Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah yang mendorong dilakukannya penelitian, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian Bab ini menguraikan tentang Agency Theory, laporan keuangan, kebangkrutan, penyebab kebangkrutan, dan metode analisis kebangkrutan (model Altman, model Springate, dan model Zmijewski), yang didukung dengan hasil penelitian terdahulu serta rumusan hipotesis penelitian. Bab III Metode Penelitian Bab ini memaparkan mengenai desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, pengujian instrumen penelitian serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini. Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian Bab ini memaparkan tentang karakteristik populasi, hasil analisis data yang mencakup hasil perhitungan dan deskripsi hasil penelitian serta pembahasan dari permasalahan yang ada. 10

11 Bab V Simpulan dan Saran Bab ini memaparkan tentang simpulan yang diperoleh dari hasil analisis dalam bab pembahasan hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap perlu bagi para peneliti selanjutnya serta menguraikan keterbatasan penelitian. 11