BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah. bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah. bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan memulihkan proses peradilan. Pengadilan sebagai lembaga yang tidak memihak dan berdasarkan kekuatan, kemampuan dan kecakapan menegakkan hukum yang benar dan adil serta memberi kepuasan kepada setiap pencari keadilan. Salah satu lembaga peradilan yang ada yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Lembaga ini penting sebagai instrumen kontrol perbuatan atau tindakan administrasi negara, tetapi merupakan tempat mewujudkan secara nyata keabsahan hakim dari pengaruh kekuasaan yang ada dalam perwujudan rule of law 1. Mengenai eksistensi lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, mau tidak mau penulis harus melihat di negara 1 Penjelasan UU Nomor 5 Tahun

2 Perancis, suatu negara yang menurut sejarah merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini. Sejarah kelahiran lembaga Peradilan Administrasi Negara di Perancis dimulai sekitar tahun 1790, dengan Undang-Undang tanggal 16 dan 24 Agustus tahun 1790, yang memberi fungsi kepada Conseil d Etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawas (Judiciil Controle) terhadap administrasi/pemerintah untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi. 2 Conseil d etat dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem Perancis tentang kontrol administrasi yang dilakukan oleh suatu peradilan administrai yang bebas dan terpisah. Selanjutnya mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan 2 Benjamin Mangkoedilaga. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Prospek di Masa Datang. Angkasa Bandung hal 1 2

3 perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya dilakukan perubahan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara. Kehidupan demokrasi yang dikehendaki dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional dibakukan dalam UUD Kebebasan yang menjadi roh demokrasi mendapatkan tempat dalam kehidupan pergaulan hidup bernegara. Hak asasi manusia dirumuskan secara normatif sehingga menjadi landasan yuridis konstitusional bagi warga negara dalam hubungannya dengan negara. Konsekuensinya adalah negara mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi hak konstitusional warganegaranya. Atas dasar paham kesejahteraan umum sebagai keseluruhan syarat kehidupan sosial yang diperlukan 3

4 masyarakat agar bisa sejahtera sehingga dapat diterima pembagian tugas-tugas negara yang disampaikan oleh para ahli ilmu negara, misalnya pembagian dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok tugas negara tersebut adalah pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan. 3 Tugas-tugas negara tersebut menyebabkan begitu banyak keterlibatan negara dalam kehidupan warganya. Tidak sebatas berinteraksi, tetapi sekaligus masuk dalam hidup dan penghidupan warganya. Pemerintah yang melaksanakan sebagian tugas negara mempengaruhi 3 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal

5 kehidupan warga negara, sementara di sisi lain, warga juga mempengaruhi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Oleh karena itu kaitannya dengan hal tersebut dalam tulisan ini dapat dikemukakan beberapa kasus yang dapat mengilustrasikan bagaimana kebijakan dari seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan bagi pelaku kebijakan tersebut. Pangkal sengketa Tata Usaha Negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara. Tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara adalah tolak ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subjek dimaksud adalah para pihak yang bersengketa dalam bidang hukum administrasi negara atau Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa 5

6 yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara 4. Sengketa administrasi dapat terjadi di dalam lingkungan administrasi itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen atau instansi maupun sengketa yang terjadi antar departemen. Dengan demikian sengketa menyangkut persoalan kewenangan yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) terhadap departemen (instansi) lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Selanjutnya dalam hal sengketa yang terjadi antara administrasi negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subjek-subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu 4 Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal

7 pihak harus administrasi negara yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara pusat yang ada di daerah. Perbuatan administrasi negara dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan yakni 5 : 1. Mengeluarkan keputusan 2. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan 3. Melakukan perbuatan materil. Dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Dilihat dari ketentuan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1 angka 4 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan sebagai berikut : Sengketa Tata 5 Ibid, hal. 94 7

8 Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subjek sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain. Dengan demikian para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa adalah akibatnya dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian yang menjadi pangkal sengketa Tata Usaha Negara (TUN) adalah akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Pasal 1 angka (3) 8

9 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 tahun 2009, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah : Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata 6. Bahwa suatu penetapan tertulis, terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk (form). Persyaratan tertulis adalah semata untuk kemudahan dari segi pembentukan. Oleh karena itu sebuah memo atau nota saja akan dapat memenuhi syarat tertulis, yang penting diisi apabila sudah jelas dalam pengertiannya : 1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya. 2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 9

10 3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU No.5 Tahun 1986, para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata sebagai pihak penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat. Hal ini merupakan sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Tergugat adalah selaku badan atau Pejabatan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya itu, menunjukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar, sehingga badan atau jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu dianggap berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara 10

11 (KTUN) yang menjadi pangkal sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Persoalan eksekusi Tata Usaha Negara sendiri sudah menjadi polemik di dalam penyelenggaraan negara, banyak kasus yang tidak terselesaikan di tingkat eksekusi putusan disebabkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau menjalankan perintah dari Pengadilan Tata Usaha Negara dikarenakan implementasi dari Undang-Undang yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Seperti contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Rote Ndao provinsi NTT, antara Silvester Wangur, S.Pd sebagai penggugat melawan Bupati Rote Ndao sebagai tergugat. Diuraikan, kejadian bermula ketika sekelompok orang menyerang penggugat, melempar rumah, menghancurkan kaca jendela, memaki-maki penggugat, dan mengancam akan membunuh penggugat. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Polsek Rote Barat Laut sehingga lokasi kejadian tersebut telah diamankan. Keesokan harinya, penggugat melaporkan kejadian yang menimpa dirinya kepada Kepala 11

12 Sekolah, Kepala Dinas Rote Ndao, dan Bupati Rote Ndao, namun sayang dari semua pejabat yang penggugat temui tak satupun yang bersedia melindungi dan menjamin keselamatan penggugat. Karena masih trauma pada tanggal 4 Desember 2002, penggugat menyelamatkan diri ke Kupang. Selama menyelamatkan diri ke Kupang, penggugat belum pernah menerima surat panggilan dari sekolah maupun dari Dinas Pendidikan Rote Ndao. Selama di Kupang penggugat mengajukan permohonan untuk mengabdi di Kota Kupang dan dikabulkan oleh Walikota Kupang, dengan surat rekomendasi No.BKD.824/1379/III/2004 tertanggal 4 Agustus 2004, sejak saat itu penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang tanpa terima gaji karena gaji masih ada di DAU Rote Ndao dan daftar hadir setiap bulan dikirim ke SMA 1 Rote Barat Laut. Setelah penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang, penggugat mengajukan surat permohonan pembayaran gaji 12

13 ke Bupati Rote Ndao sebanyak empat kali yaitu tanggal 20 April 2005, 25 Juni 2009, 10 Februari 2010, dan 20 Mei 2013 namun semua surat tersebut tidak pernah ditanggapi. Penggugat juga berusaha untuk menemui Bupati Rote Ndao pada tanggal 25 Mei 2009, tanggal 10 Oktober 2009, dan tanggal 23 Maret 2011 untuk menjelaskan masalah yang menimpa penggugat namun usaha terbut tidak berhasil. Pada akhirnya penggugat tidak tahan lagi menjalankan hidup dibawah tekanan karena tidak adanya kepastian hukum sehingga pengugat terpaksa mengikuti tawaran dari pihak Bupati Kabupaten Rote Ndao agar pengugat bersedia menanda tangani surat pernyataan tidak menuntut gaji selama 75 bulan (bulan Februari 2003 sampai April 2009) tertanggal Kupang 22 Januari 2009, setelah ditanda tangan baru keluar surat persetujuan pindah yang dikeluarkan tanggal 19 Januari 2009 dengan No.824.3/022/63.O/2009/UP. 13

14 Setelah penggugat menyadari telah melakukan tindakan keliru, maka tanggal 30 Agustus 2013, penggugat mengirim surat pernyataan mencabut/menarik kembali surat pernyataan tidak menuntut gaji yang penggugat buat tanggal 22 Januari 2009, kepada Bupati Rote Ndao tertanggal 30 Agustus Penggugat juga selalu mencari informasi dan berusaha untuk bertemu para pihak, agar mendapat kembali hak-hak penggugat selama bekerja. Setelah penggugat berusaha semaksimal mungkin akhirnya menemukan bukti kwitansi penyetoran gaji penggugat ke Bank NTT cabang Rote Ndao. Dalam sengketa tersebut penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/2009 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang pembayaran gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April Sebagaimana putusan Pengadilan 14

15 Tata Usaha Negara dengan Nomor : 20/G/2013/PTUN- KPG telah mengadili dan mengabulkan gugagatan penggugat dengan mewajibkan tergugat untuk memproses permohonan penggugat dan menerbitkan surat keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji penggugat. Dalam contoh kasus tersebut dapat ditemui permasalahan, yaitu tidak dieksekusi oleh tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara sebagai eksekutor dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal putusan tersebut sudah inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap karena tidak ada lagi upaya hukum lainnya dari pihak Tergugat, seperti upaya banding. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dijelaskan Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khususnya dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengajukan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah. Ini 15

16 berarti setelah 14 (empat belas) hari setelah Panitera Pengadilan memberikan salinan putusan tersebut, tergugat dalam hal ini Bupati Rote Ndao tidak melakukan upaya hukum apa-apa sehingga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu menjadi inkrach. Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang juga telah mengeluarkan surat No. W3.TUN3/211/HK.06/IV/2014 pada tanggal 1 April 2014 kepada Bupati Rote Ndao dalam hal ini sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, perihal pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undung-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 166 ayat (3) menyatakan Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana 16

17 dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Disini dibutuhkan pengertian dan keaktifan dari penggugat sendiri untuk memahami Pasal 166 ayat (3). 17

18 Tabel 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG No. Putusan PTUN Kupang Nomor : 20/G/2013/PT UN-KPG Penggugat Tergugat Isi Gugatan Putusan Silvester Wangur, S.Pd 1. Bupati Rote Ndao 2. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Rote Ndao 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya 2. Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/ Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang membayar gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini 1. Mengabulkan Gugatan Penggugat sebagian 2. Menyatakan batal sikap diam Tergugat I dan Tergugat II yang disamakan dengan keputusan penolakan Tergugat I dan Tergugat II terhadap surat permohonan penggugat no :13/SW/V/2003 tertanggal 20 Mei 2013, perihal : Mohon pembayaran gaji 3. Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji Penggugat terhitung bulan Oktober 2004 sampai dengan Januari Menghukan Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar RP ,- (Seratus Empat Puluh Satu Ribu Rupiah) 18

19 Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan : (1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya 19

20 dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. (2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. 20

21 (4) Jika Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakanya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. (5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut, (6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut. 21

22 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka menurut Paulus Efendi Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara: 7 1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu : huruf b : pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau huruf c : penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. 7 Paulus Efendi Lotulong, Pejabat yang tidak mematuhi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, (17 Januari 2006), portal berita Hukum Online 22

23 Paulus Efendi Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakantindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab Keputusan Tata Usaha Negara itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis. Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu Ayat (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan 23

24 permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Ayat (4) Jika Tergugat masih tetap tidak melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Ayat (5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Ayat (6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah 24

25 tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dengan cara adanya surat perintah dari Ketua Pengadilan yang ditujukan kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan Pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan Pejabat Tata Usah Negara tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkn Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Jika dikaitkan dengan contoh kasus diatas, maka akan ditemukan beberapa proses yang tidak ditempuh dari penggugat dan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dimana ketika diwawancarai, penggugat dalam hal ini Silvester Wangur hanya mengajukan satu kali surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dan tidak mengajukan surat permohonan lagi dengan alasan 25

26 ketidak tahuan dan keputus asaanya dengan eksekusi putusan tersebut. Masih menurut Penggugat, Panitera Pengadilan juga tidak memberikan arahan baginya agar mengajukan surat permohonan seperti surat permohonan yang pertama. Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 8 Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan original buah pikiran pembuat Undang-Undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. 8 Ibid, hal.17 26

27 Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan Pengadilan, pelecehan terhadap Peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada Pengadilan Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti lebih lanjut mengapa putusan dari Peradilan Tata Usaha Negara tersebut tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan padahal dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 116 terkhususnya ayat (3) sampai ayat (6), yang berbunyi : (3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 27

28 (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua 28

29 Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari ayat (3) sampai ayat (6) telah menjelaskan jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak melaksanakan putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara maka akan diberikan sanksi, namun mengapa masih saja kita temui banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang belum dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara dan bagaimana sanksi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak mau mengeksekusi putusan tersebut. Pertanyaan diatas akan dikaji lebih mendalam oleh penulis untuk mendapatkan suatu jawaban di dalam masalah tersebut. 29

30 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Apa persoalan hukum yang terjadi didalam proses penerapan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara pada studi kasus putusan Nomor 20/G/2013/PTUN-KPG? C. Tujuan Penelitian Berikut tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan laporan penelitian ini. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan problematika hukum terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 20/G/2013/PTUN- KPG tidak dapat dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Memberikan solusi guna mengatasi masalah-masalah didalam pelaksanaan putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara. 30

31 D. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang dianalisis, maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berikut: 1. Manfaat Teoretis Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam rangka penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara yang dianggap masih memiliki kekurangan. Dengan bahan hukum yang terkumpul, manfaat lain yang diharapkan yakni dapat dipergunakan sebagai pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara. 2. Manfaat Praktis Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk tindakan eksekusi hukum Tata Negara dari suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. 31

32 E. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Deskriptif dengan Pendekatan Normatif Menurut Maria S.W. Sumardjono, penelitian merupakan suatu proses penentuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang sistematis yang terencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah. Seluruh proses penelitian merupakan kegiatan terkait. Ada suatu benang merah yang dapat ditarik berawal dari pemilihan judul serta perumusan masalah yang harus sinkron dengan tujuan penelitian. Dengan tinjauan pustaka yang dikemukakan, dapat dilihat kerangka berpikir yang berhubungan dan menunjang penelitian. Kerangka berpikir ini dapat diwujudkan tanpa merinci cara-cara melakukan penelitian yang menerangkan tentang dari mana serta bagaimana cara data diperoleh, variabel apa saja yang menjadi fokus penelitian, serta bagaimana data yang 32

33 terkumpul akan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian 9. Dengan demikian inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Disini penulis menentukan metode apa yang akan digunakan, spesifikasi/tipe penelitian yang dilakukan, metode populasi dan sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan dan analisa data yang dipergunakan. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau data sekuder, sedangkan data sekunder adalah data yang siap digunakan di dalam acuan penelitian. b. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan, adalah berupa penelitian deskriptif-analitis. Deskriptif penelitian 9 Nawawi Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1996) hal.23 33

34 ini, terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki. Istilah analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan dan membandingkan data-data yang diperoleh baik dari segi teori maupun dari segi praktek. Penelitian terhadap teori dan praktek, adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat analitis, bertujuan melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas sosial dan menggambarkan obyek yang menjadi pokok permasalahan. 34

35 C. Sumber Data Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum utama berupa peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan dasar hukum yang terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009,Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 35

36 e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia f. Putusan Pengadilan Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG Tentang pembayaran gaji oleh Bupati Rote Ndao sebagai Tergugat kepada Silvester Wangur sebagai penggugat 2. Bahan Hukum Sekunder Semua publikasi tentang hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti pendapat para ahli, hasil penelitian, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum. 3. Bahan Hukum Tersier, Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penejlasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus lengkap bahasa Indonesia. 36

37 37

38 38

BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara BAB III Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara A. Hasil Penelitian 1. Anotasi Problematika Hukum Dalam Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING)

SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING) SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING) TATA CARA PELAKSANAAN UANG PAKSA (DWANGSOM) DAN SANKSI ADMINISTRATIF PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA LANDASAN YURIDIS: 1. Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI BY : ANNEKA SALDIAN MARDHIAH Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut : 158 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut : 1. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan yuridis sebagai negara hukum ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA berlaku. 3 Dari definisi berdasar pasal 1 ayat (4) tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA Hukum Acara Tata Usaha

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara. sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara. sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang BAB II KAJIAN TEORITIK A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara Asal mula lembaga Peradilan Tata Usaha Negara sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang menurut fakta sejarahnya merupakan pelopor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN BANDING, PUTUSAN GUGATAN, DAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI A Umum DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2 ABSTRAK Secara konstitusional UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, ruang angkasa serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Hal ini sebagai konsekuensi dari ajaran kedaulatan

Lebih terperinci

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Bagian Pertama : Gugatan Oleh Ayi Solehudin Pendahuluan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk melaksanakan unsur tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06 P U T U S A N No. 62 K/TUN/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pdengan Persetujuan Bersama

Pdengan Persetujuan Bersama info kebijakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang ADMINISTRASI PEMERINTAHAN A. LATAR BELAKANG ada tanggal 17 Oktober 2014 Pdengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Lebih terperinci

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA A. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Pada mulanya dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan.

BERITA NEGARA. No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb No.1442, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Penyelesaian Sengketa PEMILU. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILIHAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENYANDERAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENYANDERAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENYANDERAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahwa berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang

Lebih terperinci

2015, No c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Penindakan

2015, No c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Penindakan No.1408, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Hukuman Disiplin. Sanksi Administratif. Pegawai. Penjatuhan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan bukan Undang-Undang tentang Konsumen. menyebutkan pengertianpengertian

Lebih terperinci

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Serjana Hukum PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi.

Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi. Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi. Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai berikut : a. Pemeriksaan Pendahuluan 1. Pemeriksaan administrasi

Lebih terperinci

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 120/B/2012/PT.TUN-MDN

P U T U S A N Nomor : 120/B/2012/PT.TUN-MDN P U T U S A N Nomor : 120/B/2012/PT.TUN-MDN -------------------------------------------------------------------------------- Publikasi putusan ini dimaksudkan sebagai informasi kepada publik, sedangkan

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi, Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan

Lebih terperinci

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diundangkan 17 Oktober 2014, tiga

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 35,2004 YUDIKATIF. KEHAKIMAN. HUKUM. PERADILAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG Alamat : Jalan Jenderal A. Yani No. 67 Palembang (30264) Telp. (0711) 516935 TIM PENYUSUN

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 72 Undang-undang Nomor 6 Tahun

Lebih terperinci

AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA

AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA 1 AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA Oleh : Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung,SH. Ketua Muda Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Tata Usaha

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gugatan dan Sengketa Tata Usaha Negara 1. Pengertian Pengajuan Permohonan Gugatan Pada asasnya, bahwa gugatan diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumnya

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b510afc8b68/bahasa-hukum--diskresi-pejabatpemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1255, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA ADMINISTRASI INFORMASI PUBLIK. Pengelolaan. Pelayanan. Pedoman. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.. BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK Pasal 2 Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh : a. Dokumen Kependudukan; b. pelayanan yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGI TENAGA KESEHATAN DAN PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TINDAKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

2 untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1268, 2015 MA. Beracara. Putusan.Penerimaan Permohonan. Tindakan Badan. Pejabat Pemerintahan. Pedoman. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015

Lebih terperinci