(AMICUS CURIAE BRIEF)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "(AMICUS CURIAE BRIEF)"

Transkripsi

1 PENDAPAT HUKUM SAHABAT PENGADILAN (AMICUS CURIAE BRIEF) ATAS PUTUSAN NOMOR 24/PDT.G/2015/PN.Plg ANTARA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN V. PT BUMI HIJAU MEKAR (PT BMH) INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL) JAKARTA, 2016

2 Daftar Isi Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law... 2 Ringkasan Kasus Posisi Perkara... 3 Referensi Sumber Hukum 6 Argumentasi Sahabat Pengadilan Kesimpulan Halaman 1 dari 51 Halaman

3 KESATU Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ICEL merupakan organisasi yang bergerak dalam pengembangan hukum lingkungan hidup di Indonesia melalui penelitian, pengembangan kapasitas, dan advokasi. ICEL memiliki visi mewujudkan sistem hukum dan tata kelola lingkungan hidup sesuai dengan prinsip keadilan, demokratis dan keberlanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut ICEL memiliki 3 misi, yaitu: 1. Melakukan penelaahan, penelitian, dan advokasi terkait pengembangan hukum lingkungan hidup dan tata kelola; 2. Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah dalam mereformasi dan menegakkan hukum lingkungan hidup; dan 3. Mendukung pemberdayaan korban/kelompok yang berpotensi menjadi korban dalam rangka membela hak-hak mereka terhadap lingkungan hidup. Sebagai lembaga pengembangan hukum lingkungan hidup, saat ini ICEL fokus dalam melakukan advokasi pembaharuan hukum pada 3 (tiga) isu kunci, yaitu tata kelola hutan dan lahan (green issue), pengendalian pencemaran (brown issue) dan tata kelola laut dan pesisir (blue issue). Sesuai dengan mandat sebagai organisasi lingkungan hidup yang termaktub dalam visi dan misi, ICEL memiliki tanggungjawab untuk turut serta dalam proses pembaharuan hukum lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dan untuk mendukung terciptanya tata kelola lingkungan hidup yang baik termasuk hutan dan lahan, maka disusunlah Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae Brief) ini sebagai sarana informasi, referensi atau sumbangsih pemikiran bagi hakim dalam memutuskan perkara kebakaran hutan dan lahan. Disusunnya Amicus Curiae Brief ini merupakan bentuk dari kepercayaan dan dukungan ICEL kepada lembaga pengadilan dalam berkontribusi mendukung terciptanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik, sesuai dengan asas in dubio pro natura. Halaman 2 dari 51 Halaman

4 KEDUA RINGKASAN KASUS POSISI 1. Para Pihak yang berperkara: a. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (selanjutnya disebut MenLHK) untuk kepentingan negera dalam melindungi lingkungan hidup sebagai penggugat. b. PT Bumi Mekar Hijau (selanjutnya disebut PT BMH) sebagai tergugat. 2. Pertanyaan hukum: a. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini? b. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum? 3. Fakta: a. Pada tanggal 13 April 2004 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.104/Menhut-VI/2004 menetapkan pemenang penawaran dalam pelelangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri Hutan Alam-Hutan Industri (IUPHHK HA-HTI) atas wilayah kawasan hutan di mana PT BMH adalah pemenang pelelangan IUPHHK HTI tersebut. PT BMH sudah memenuhi izin-izin untuk melakukan kegiatan/ usahan hutan tanam industri. b. Pada areal konsesi PT BMH telah terjadi kebakaran hutan dan lahan 1 dari tahun ke tahun. c. Berita Acara Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup tertanggal 17 Desember 2014 di lapangan lokasi PT BMH menyatakan bahwa api pertama pada tahun tersebut ditemukan pada tanggal 26 September Bagian terluar dari tanaman yang terbakar di Distrik Simpang Tiga tidak berbatasan langsung dengan perkampungan penduduk karena jaraknya sekitar 5 km. d. Berdasarkan verifikasi lapangan pada bulan Oktober dan Desember 2014, sarana prasarana pengendalian kebakaran yang dimiliki PT BMH berdasarkan ketentuan peraturan, sangat minim. Pengadilan melakukan pemeriksaan lapangan pada Desember 2015 dan menyimpulkan bahwa sarana dan prasarana kebakaran yang dimiliki PT BMH sudah memadai. 4. Argumentasi KLHK (Penggugat): a. Dasar hukum yang digunakan oleh KLHK adalah Pasal 1365 KUHPerdata karena tergugat telah membuka lahan dengan cara membakar. 1 Perlu dicermati bahwa dalam kasus ini, kebakaran meliputi kebakaran pada hutan tanaman industri (tanaman Akasia) dan kebakaran pada lahan gambut. Kebakaran hutan yang terjadi pada lahan gambut dikarenakan pengelolaan lahan gambut dengan sistem drainase yang menjadikan lahan semakin kering dan semakin mudah terbakar. Halaman 3 dari 51 Halaman

5 b. Berdasarkan verifikasi lapangan oleh KLHK, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PT BMH sangat minim. c. Kebakaran yang terjadi di areal konsesi PT BMH telah menimbulkan kerugian: (1) Ekologis; (2) Kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati; (3) Kerugian akibat lepasnya karbon; dan (4) Kerugian ekonomis. c. KLHK juga telah meminta hakim untuk menerapkan precautionary principle dalam mengadili perkara aquo. Pada saat pemberian keterangan ahli, keterangan ahli dari KLHK juga telah menyampaikan mengenai prinsip strict liability, perkembangan, dan penerapannya di Indonesia. 5. Argumentasi PT BMH (Tergugat): a. PT BMH menyangkal tidak melakukan perbuatan melawan hukum. b. Dalil yang digunakan oleh PT BMH untuk menyangkal dalil KLHK antara lain: (1) PT BMH tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; (2) PT BMH sudah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran; (3) lahan yang dikelola PT BMH adalah lahan yang terdegradasi akibat kebakaran pada tahun 1997/1998; (4) tidak terjadi kerusakan pada lahan yang dikelola oleh PT BMH karena tanah tersebut masih dapat ditanami Akasia dan tumbuh dengan baik; (5) Metode penghitungan kerusakan yang digunakan oleh KLHK dianggap tidak mewakili seluruh lahan terbakar yang didalilkan oleh PT BMH ( ha). 6. Pertimbangan hakim dalam pokok perkara atas kasus aquo adalah: a.... PT BMH telah menyediakan perlengkapan penanggulangan kebakaran, namun belum ada ketentuan baku/standar minimum jumlah tenaga pemadam kebakaran berikut jenis peralatan dalam pengusahaan tanaman industri. b....tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak, lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri, di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, sebagaimana penglihatan Majelis sebagai fakta prosesuil ketika melakukan sidang pemeriksaan di tempat ; c....lingkup usaha Tergugat sebagai mana yang didalilkan oleh Tergugat didasarkan pada ketentuan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri dengan tata kelola yang baik... ; d....tidak ada hubungan kausalitas antara peristiwa kebakaran dengan maksud intent Tergugat untuk membuka lahan dengan biaya murah, karena dilokasi kebakaran tersebut sudah ditanam pohon akasia dan ada yang sudah siap untuk dipanen ikut terbakar... ; e....kebakaran yang terjadi memang menurunkan kandungan organik tanah dimana pada tanah mineral yang terbakar melebihi kandungan C- Halaman 4 dari 51 Halaman

6 organik, sebesar % menurun menjadi 0, % disimpulkan tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah... ; f....tidak dapat dibuktikan secara rinci dan jelas secara kuantitatif dari mana dasar-dasar penghitungannya, demikian juga tentang kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara tidak bisa dibuktikan, dengan demikian harus ditolak ; g.... karena Tergugat tidak melakukan perbuatan yang didalilkan oleh Penggugat, maka tidak perlu menilai lebih lanjut tentang ganti rugi dalam perkara a quo. 7. Putusan majelis hakim pengadilan negeri Palembang pada 28 Desember memutus: a. menolak tuntutan provisi Penggugat; b. menolak Eksepsi Tergugat; c. menolak Gugatan Penggugat seluruhnya; dan d. menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp (sepuluh juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Halaman 5 dari 51 Halaman

7 KETIGA Referensi Sumber Hukum 1. Peraturan Perundang-Undangan NO PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN KETERANGAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik (Pasal 28H ayat (1)). 2. Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) - Asas-Asas dalam UU PPLH a. asas tanggung jawab negara, dimana negara: menjamin pemanfaatan sumber daya alamakan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. b. asas kehati-hatian, dimana ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran Halaman 6 dari 51 Halaman

8 dan/atau kerusakan lingkungan hidup. c. asas keadilan, dimana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. d. asas pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan. - Tanggung jawab atas kerugian yang muncul tanpa pembuktian unsur kesalahan (Ps 88) Pasal 88 Setiap orang yang: 1. tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3; dan/atau 2. tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. 3. Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan) Pasal 48 ayat (3): - Kewajiban pemegang izin untuk melindungi areal konsesinya Pasal 49: - Pemegang hak atau izin bertanggug jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal Halaman 7 dari 51 Halaman

9 kerjanya. 4. Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (selanjutnya disebut PP 4/2001) a. Kewajiban penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan di lokasi usahanya. (Ps 13) b. Kewajiban penanggung jawab usaha atas kebakaran lahan di lokasi usahanya dan segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (Ps 18 ayat (1)) c. Kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (Pasal 21 ayat (1)). 5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 10 Ayat (1) Perlindungan hutan hak dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang hak Pasal 10 Ayat (2) Perlindungan hutan meliputi kegiatan antara lain a. Pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak; b. Pencegahan, pemadaman, dan penanganan dampak kebakaran; c. Penyediaan personil dan sarana prasarana Halaman 8 dari 51 Halaman

10 perlindungan hutan; d. Mempertahankan dan memelihara sumber air; e. Melakukan kerja sama dengan sesame pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan masyarakat. Pasal 30 Ayat (1) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Pasal 30 Ayat (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: a. Tanggung jawab pidana; b. Tanggung jawab perdata; c. Membayar ganti rugi; dan/atau d. Sanksi administrasi. 6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 14 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut. Permen LH ini telah mengatur mengenai metode penghitungan valuasi ekonomi untuk ekosistem gambut. Ruang lingkup panduan valuasi ekonomi ekosistem gambut terdiri atas pendahuluan, ekosistem gambut, metode valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup, tahapan valuasi ekonomi ekosistem gambut, kerangka dan prosedur valuasi ekonomi ekosistem gambut, dan contoh perhitungan. Halaman 9 dari 51 Halaman

11 2. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan pedoman penanganan kasus lingkungan hidup dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 yang diantaranya berisi pedoman bahwa dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy) yang meliputi: 2 a. prinsip substansi hukum lingkungan; b. prinsip-prinsip proses; dan c. prinsip keadilan 3. Salah satu prinsip substansi hukum lingkungan adalah precautionary principle. Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule). Hakim juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, seperti keadilan dalam satu generasi dan antar-generasi dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkunganhidup. 3 2 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. 3 Ibid Halaman 10 dari 51 Halaman

12 KEEMPAT Argumentasi Sahabat Pengadilan Amicus Curiae Brief ini hendak menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini? 2. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum? A. Argumentasi Terkait Tujuan Peradilan Sebelum memberikan pendapat mengenai pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami menyampaikan pendapat mengenai tujuan peradilan: 1. Peradilan berperan untuk menegakan hukum dan peradilan - Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, sehingga peradilan memiliki peran untuk menegakan hukum dan keadilan. Dalam mewujudkan peran peradilan tersebut, Pasal 2 UU 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga menyatakan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. - Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim bukan sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan peraturan hukum, melainkan pejabat negara yang memiliki pengetahuan yang luas, bermartabat, berwibawa, dan sebagai tempat mengadu bagi para pencari keadilan (justitiabellen). 2. Pengadilan atau Hakim sebagai Pelaksana Penegak Hukum Memiliki Fungsi sebagai Penjaga Kemerdekaan Anggota Masyarakat Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat, hakim berfungsi dan berperan menjaga kemerdekaan anggota masyarakat (in guarding the freedom of society) dalam arti luas mengembangkan nilai-nilai hak asasi manusia dalam segala bidang sebagai ideologi universal atau ideologi global. 4 Oleh karena itu, hakim dituntut memahami dan menerapkan semua nilai hak asasi manusia dalam berbagai generasi, termasuk nilai hak asasi manusia dalam konteks lingkungan hidup. 3. Keadilan yang diwujudkan adalah Keadilan Lingkungan - Berkaitan dengan sengketa lingkungan hidup, maka keadilan yang hendak dilindungi adalah keadilan lingkungan. Di dalam UU PPLH, 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hlm 854. Halaman 11 dari 51 Halaman

13 keadilan lingkungan diejawantahkan dalam asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 huruf g UU PPLH menjelaskan: yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. - Kuehn mengategorikan keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif, keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial. 5 Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sendiri, keadilan ditujukan untuk keadilan intragenerasi dan keadilan antar generasi. 6 - Andri G. Wibisana lebih lanjut menjelaskan elemen keadilan intragenerasi berdasarkan pengelompokan Koehn sebagai berikut: 7 1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif didefinisikan sebagai hak atas persamaan perlakuan (equal treatment). Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif terkait dengan persamaan atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang membahayakan lingkungan. 2. Keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi, pemulihan, atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam konteks ini, maka pihak yang menimbulkan kerugian lingkungan, yang mana diartikan menyebabkan ketidakadilan lingkungan, memikul tanggung jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut. 3. Keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh perlakuan yang sama. 4. Keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial merupakan cabang dari keadilan yang mendorong dilakukannya upaya terbaik untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil. - Elemen keadilan antar generasi dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keseimbangan tersedianya kebutuhan generasi saat ini dengan kebutuhan generasi berikutnya. Prinsip ini juga bermakna bahwa generasi saat ini berkewajiban untuk menggunakan sumber daya alam dengan hemat dan bijaksana, serta melaksanakan konservasi sumber daya alam. Prof. Takdir Rahmadi berpendapat bahwa sangat tidak bijaksana jika 5 Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ed. Pertama, (Jakarta: 2014), hlm Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51. Halaman 12 dari 51 Halaman

14 12. generasi saat ini meninggalkan sumber-sumber air, tanah, dan udara yang telah tercemar, sehingga generasi yang akan datang tidak lagi mendapatkan sumber daya alam tersebut dengan layak dan sesuai kebutuhannya. 8 - Putusan terhadap perkara kebakaran hutan dan/atau lahan ini, tidak hanya berdampak pada kepentingan para pihak saja, yakni Menteri LHK dan PT. BMH, melainkan akan berdampak secara signifikan juga pada generasi masa kini dan masa depan. 4. Hakim harus aktif mencari keadilan untuk mewujudkan tujuan peradilan - Dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana terdapat doktrin yang menyatakan bahwa dalam perkara perdata hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun, Jimmly Asshiddiqie 9 berpendapat bahwa: hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. - Dalam menangani perkara lingkungan hidup, para hakim diharapkan bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh karenanya hakim haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti precautionary principles, dan melakukan judicial activism Dalam mencari dan menemukan hukum untuk mewujudkan keadilan tersebut, maka hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit jus). Berdasarkan prinsip curia novit jus atau jus curia novit, hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Pada saat ini, tuntutan 8 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 9 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, hlm. 2, diakses melalui Lihat juga Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, tetapi juga berfungsi bahkan berkewajiban mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan dalam memutus perkara. 10 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Halaman 13 dari 51 Halaman

15 atas doktrin curia novit jus ini tidak hanya sebatas pada hukum positif dan hukum objektif nasional yang berlaku, tapi pengetahuan hakim harus menjangkau kebiasaan-kebiasaan maupun prinsip-prinsip yang berkembang di negara lain maupun dalam hukum internasional. - Prof. Takdir Rahmadi 11 dalam artikelnya Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia menyatakan UUPPLH sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia, selain memuat ketentuanketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU LH 1982 dan UULH 1997, juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum-hukum baru, seperti pengadopsian asas-asas dalam Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehatihatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Prof Takdir Rahmadi lebih lanjut menyatakan: 12...hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang. Pandangan Prof Takdir Rahmadi tersebut memiliki makna bahwa hakim dalam mengadili sebuah perkara harus menerapkan asas in dubio pro natura. B. Dasar Pertanggungjawaban dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH Terdapat dua dasar pertanggungjawaban yang dapat digunakan dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH, yakni: (a) pertanggungjawaban mutlak (strict liability); dan (b) perbuatan melawan hukum (PMH). Bagian kedua tulisan ini akan membahas dua pertanggungjawaban tersebut, dimulai dengan pertanggungjawaban mutlak. B.1 Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) B.1.1 Dasar Hukum dan Praktik Pengadilan Berkaitan dengan Pertanggungjawaban Mutlak Kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak misalnya diatur di dalam Pasal 88 UU PPLH yang berbunyi: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, 11 Takdir Rahmadi, diakses terakhir 30 Januari 2016, Pk WIB. 12 Ibid. Halaman 14 dari 51 Halaman

16 dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dari rumusan tersebut, kita dapat melihat terdapat beberapa unsur dalam pertanggungjawaban mutlak yang harus dibuktikan, meliputi: 1). Unsur setiap orang; 2). Unsur tindakan, usaha, dan/atau kegiatannya; dan 3). Menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dari ketiga unsur tersebut, Sahabat Pengadilan tidak membahas unsur kesatu dan kedua, namun hanya memfokuskan pada pembahasan unsur ketiga. Unsur ketiga:..menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup menggunakan rumusan alternatif. Dalam kaitannya dengan perkara Menteri LHK vs PT. BMH, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan PT. BMH memenuhi unsur menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Terdapat dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam membuktikan unsur tersebut. Sumber yang pertama mengenai maksud dari unsur menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup terdapat di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013. Menurut SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 yang dimaksud dengan ancaman serius adalah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan. 13 Mengacu pada definisi tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan dampak yang berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali. Hal ini terlihat misalnya dari luasan lahan yang terbakar mencapai angka Ha. 14 Selain itu, kebakaran tersebut telah menyebabkan terjadinya penurunan kedalaman gambut yang mencapai rata-rata cm. 15 Menteri LHK dalam gugatannya juga menyatakan bahwa upaya memulihkan lahan gambut yang terbakar harus dilakukan meskipun mustahil mengembalikannya kepada keadaan seperti semula sebelum terbakar Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, hal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal Ibid., hal Ibid., hal. 19. Halaman 15 dari 51 Halaman

17 Selain itu, kebakaran seluas Ha di dalam konsesi PT. BMH juga telah mengakibatkan dampak buruk terhadap komponen-komponen lingkungan hidup yang sangat luas. Dari sisi kesehatan manusia dan ruang udara, kebakaran tersebut telah berkontribusi terhadap terjadinya pencemaran udara yang mengakibatkan puluhan ribu penduduk menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. 17 Lebih jauh lagi, kebakaran tersebut juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi air dari lahan gambut, kerusakan tanah, dan juga kematian mikroorganisme yang menjadi sumber daya genetik dari lahan gambut. 18 Selain bersumber pada SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, upaya membuktikan suatu usaha dan/atau kegiatan memiliki risiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup dapat ditentukan juga melalui disyaratkan atau tidaknya Amdal terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan tersebut. Maksudnya adalah jika Amdal merupakan syarat sebelum suatu usaha dan/atau kegiatan dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki risiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Logika ini selaras dengan pengaturan Amdal di dalam UU PPLH, di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal. 19 Frase berdampak penting di dalam pasal tersebut dapat dimaknai sama dengan frase ancaman serius di dalam unsur dari pertanggungjawaban mutlak. Selain itu, kriteria dampak penting di dalam Pasal 22 Ayat (2) UU PPLH juga sama dengan maksud dari ancaman serius di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, seperti tercantum di dalam daftar di bawah ini: 20 a) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b) Luas wilayah penyebaran dampak; c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e) Sifat kumulatif dampak; 17 Harianterbit.com, Warga Palembang Menderita ISPA Akibat Kabut Asap, Menderita-ISPA-Akibat-Kabut-Asap, diakses pada tanggal 12 Juni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No , Pasal 22 Ayat (1). 20 Ibid., Pasal 22 Ayat (2). Kriteria yang diberi penebalan merupakan kriteria dampak penting yang serupa dengan maksud dari ancaman serius di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013. Halaman 16 dari 51 Halaman

18 f) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Amdal termasuk salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri dilakukan oleh PT. BMH. Hal ini terbukti berdasarkan pada Keputusan Bupati Ogan Komering Ilir No. 195/KEP/K-PELH/2004 tanggal 8 Juli 2004 tentang Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana Pengelolahan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanam (IUPHHKHT) PT. Bumi Mekar Hijau Lokasi Kecamatan Tulung Selapan dan Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir Luas ha. 21 Maka dari itu, dari sisi kewajiban dilakukannya Amdal, usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah memenuhi unsur menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Selain berdasarkan UU PPLH, PP 4/2001 juga mengatur perihal dasar pertanggungjawaban dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan. Pasal 51 Ayat (1) PP 4/2001 menyatakan, Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. 22 Hal ini semakin menguatkan dalil Sahabat Pengadilan di awal bagian ini yang menyatakan bahwa kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia, khususnya dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan, mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak atau pertanggungjawaban langsung dan seketika. Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban mutlak, Menteri LHK dalam gugatannya juga telah memohon kepada Majelis Hakim PN Palembang untuk mempertimbangkan perihal penerapan asas kehati-hatian (precautionary principle) di dalam memeriksa perkara antara Menteri LHK melawan PT. BMH. 23 Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan yang penting berkaitan dengan penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak 21 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No. 4076, Pasal 51 Ayat (1). 23 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal Halaman 17 dari 51 Halaman

19 dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH terutama dengan adanya Putusan Mahkamah Agung No. 1794K/Pdt/2004 yang lebih populer dikenal dengan perkara Mandalawangi. Putusan perkara Mandalawangi menjadi penting karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengkaitkan asas kehatihatian dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, sebagaimana tergambar di bawah ini: (1) Menimbang, bahwa dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini precautionary principle, Prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992, walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut, maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek. 24 (2) Menimbang, bahwa dalam menerapkan prinsip ini terdapat 3 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan dimana precautionary principle ini perlu ditempuh dan diterapkan, yaitu sebagai berikut: Ancaman kerusakan lingkungan sangat serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible). Perlakuan yang serius diperlukan dalam keadaan akibat atau implikasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang, atau dalam keadaan tidak terdapat substitusi dari sumber daya yang digunakan; 2. Ketidakpastian pembuktian ilmiah (scientific evidence), keadaan dimana akibat yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tidak dapat diperkirakan dengan pasti karena karakter dari persoalannya itu sendiri (nature of problem), penyebab, maupun dampak potensal dari kegiatan tersebut; 3. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan tersebut meliputi upaya pencegahan sampai dengan cost effectiveness. (3) Menimbang, bahwa dapat disimpulkan dengan penerapan prinsip pencegahan dini/ prinsip kehati-hatian ini mengandung makna, apabila telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka kekurangan/ lemahnya pengetahuan tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya pemulihan terhadap lingkungan yang rusak tersebut; Dedi, dkk. vs Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hal Ibid., hal Ibid., hal Halaman 18 dari 51 Halaman

20 (4) Menimbang, bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka dengan penerapan prinsip ini pembuktian unsur kesalahan (liability base on fault) seperti dalil gugatan penggugat agar supaya Para tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukurn menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip "precautionary principle", pertanggung jawaban menjadi ketat/mutlak strict liability 27 Dengan Penggugat mendalilkan permohonan penerapan asas kehatihatian sebagaimana diterapkan di dalam Perkara Mandalawangi, maka relevansi digunakannya dasar pertanggungjawaban mutlak dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH menjadi semakin kuat. Setelah membahas dasar hukum pertanggungjawaban mutlak dan kemungkinan penerapannya di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH, pada bagian berikutnya Sahabat Pengadilan membahas hal-hal yang perlu dibuktikan dalam pertanggungjawaban mutlak. B.1.2 Hal yang Perlu Dibuktikan dalam Pertanggungjawaban Mutlak Setelah memastikan bahwa dasar pertanggungjawaban perdata dapat digunakan dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan antara Menteri LHK melawan PT. BMH, maka pembahasan berikutnya adalah merumusan hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan dalam skema pertanggungjawaban mutlak. Ada tiga hal yang perlu dibuktikan di dalam skema pertanggungjawaban mutlak, yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH merupakan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup; 2). Penggugat/Menteri LHK mengalami kerugian; dan 3). Kerugian yang diderita oleh Penggugat/Menteri LHK disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat/PT. BMH (hubungan kausalitas). Mengenai sifat kegiatan Tergugat/PT. BMH yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup sudah dibuktikan di dalam bagian B.1.1. Maka dari itu, pada bagian ini akan dibuktikan perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK serta hubungan kausalitas antara kegiatan Tergugat/PT. BMH dengan kerugian yang diderita Penggugat/Menteri LHK. Kerugian Perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK telah tergambar di dalam putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Penggugat/Menteri LHK mendalilkan bahwa terjadinya kebakaran seluas 27 Ibid. Halaman 19 dari 51 Halaman

21 Ha di dalam konsesi Terggugat/PT. BMH telah mengakibatkan dideritanya beberapa jenis kerugian, seperti: Kerugian Ekologis Kerugian ekologis ini secara spesifik berkaitan dengan kerusakan struktur lahan gambut yang berujung pada hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air. Hal ini berkaitan juga dengan kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang terdapat di dalam Bagian B Lampiran PP 4/2001. Salah satu parameter dari baku kerusakan tanah gambut adalah kadar air tersedia. 29 Terjadinya penurunan kadar air merupakan contoh kerusakan dalam parameter kadar air tersedia. Selain itu, subsidence juga menjadi parameter lainnya dalam baku kerusakan tanah gambut. Di dalam parameter subsidence, contoh kerusakan yang terjadi adalah ketika terjadi penurunan permukaan tanah gambut. Dr. Basuki Wasis di dalam keterangannya menjelaskan bahwa penurunan ketebalan gambut di lahan gambut PT. BMH yang terbakar rata-rata mencapai cm Kerugian Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Genetika Selain kerugian ekologis dari sisi struktur lahan gambut, kebakaran seluas Ha pada lahan PT. BMH juga telah menyebabkan hilangnya sumber daya genetika seperti microorganism tanah. Mikroorganisme tanah yang hilang ini ada yang peruntukannya sampai saat ini belum diketahui dan/atau sudah diketahui tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal. 3. Kerugian Terlepasnya Karbon ke Udara Kebakaran seluas Ha pada lahan PT. BMH juga mengakibatkan terlepasnya karbon ke udara yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca di atmosfir. Jadi, kebakaran di lahan gambut selain menyebabkan struktur gambut menjadi rusak juga menyebabkan terjadinya kontribusi emisi gas rumah kaca di atmosfir melalui karbon yang terlepas dari lahan gambut. 4. Kerugian Ekonomis 28 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No. 4076, Bagian Huruf B mengenai sifat fisika tanah. 30 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 62. Halaman 20 dari 51 Halaman

22 Dari sisi ekonomi, kebakaran seluas Ha di lahan PT. BMH juga telah menghilangkan umur pakai dari lahan itu sendiri. Setidaktidaknya umur pakai yang hilang akibat kebakaran tersebut mencapai 11 tahun. Berdasarkan empat uraian kerugian tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembuktian kerugian yang diderita oleh Menteri LHK sudah cukup kuat dan terlihat secara nyata. Berikutnya Sahabat Pengadilan akan membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh Menteri LHK terjadi disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH. Hubungan Kausalitas antara Kerugian Menteri LHK dengan Usaha dan/atau Kegiatan PT. BMH Pembuktian kausalitas biasanya dilakukan berdasarkan pengujian terhadap dua bentuk kausalitas, yakni dalam bentuk cause in fact dan dalam bentuk proximate cause. Sahabat Pengadilan akan membahas perihal kausalitas berdasarkan dua bentuk ini, dimulai dari cause in fact terlebih dahulu. Pengujian cause in fact atau sebab faktual biasa dikenal dengan istilah but for test. 31 Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai sebab faktual dari suatu kerugian apabila kerugian tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya perbuatan tersebut. Akan tetapi pembuktian sebab faktual saja tidak cukup untuk menetapkan bahwa seseorang bertanggungjawab atas suatu kerugian tertentu. Dibutuhkan pembuktian lainnya dari sisi aspek-aspek non faktual yang mungkin akan berpengaruh terhadap pertanggungjawaban Tergugat. Pembuktian dari sisi aspek-aspek non faktual ini-lah yang disebut sebagai proximate cause. Menurut Owen, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, proximate cause sering juga disebut sebagai legal cause atau the scope of liability. 32 Proximate cause berperan dalam menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penggugat, mengingat terjadinya suatu kerugian bisa disebabkan oleh beberapa perbuatan yang saling mengintervensi. Dalam konteks ini, pihak yang perbuatannya merupakan sebab paling dekat dengan kerugian Penggugat dapat diputuskan sebagai pihak yang bertanggungjawab Terminologi but for test bisa diartikan dengan jika bukan karena. Diamond, dkk. menyatakan perihal but for test seperti ini: for the defendant to be held liable, the plaintiff must establish that but for the defendant s culpable conduct or activity the plaintiff would not have been injured. Lihat dalam John L. Diamond, et. al., Understanding Torts, (New York: Matthew Bender & Co. Inc, 1996), hal Andri G. Wibisana, Beberapa Catatan Penting Terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian, Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, Pusdiklat MA, 2016 hal Ibid. Diamond memberikan contoh peristiwa mengenai proximate cause sebagaimana tergambar di bawah ini: Asumsikan bahwa A telah lalai dalam membuat dan menjual pil kontrasepsi kepada B dan pil tersebut telah gagal mencegah lahirnya X. X tumbuh besar dan melahirkan Y yang juga tumbuh besar dan Halaman 21 dari 51 Halaman

23 Terdapat dua doktrin yang dapat memudahkan dalam menentukan proximate cause. Doktrin yang pertama adalah the direct-consequences doctrine. Doktrin ini berkaitan dengan sebab-sebab lain yang mengintervensi di antara perbuatan Tergugat dengan kerugian yang dialami oleh Penggugat. Di dalam keadaan tersebut, pihak yang menjadi penyebab yang paling akhir atau dekat yang akan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat. Doktrin kedua mengenai proximate cause adalah the reasonable-foresight doctrine. Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan bertanggung jawab atas kerugian yang secara wajar tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Dengan kata lain, seseorang dapat diputuskan sebagai pihak yang bertanggung jawab jika kerugian yang terjadi termasuk ke dalam risiko yang selayaknya sudah dapat diperkirakan akan terjadi akibat dari kesalahan (jika dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan) atau dari kegiatan (jika dasar pertanggungjawaban mutlak digunakan) pihak tersebut. 34 Kedua pembahasan mengenai cause in fact dan proximate cause di atas merupakan pembahasan dalam dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau yang lazim dikenal dengan frase Perbuatan Melawan Hukum di dalam hukum Indonesia. Di sisi lain, sebenarnya terdapat perbedaan pembuktian cause in fact dan proximate cause khusus untuk dasar pertanggungjawaban mutlak (strict liability) jika dibandingkan dengan pembuktian kedua bentuk kausalitas tersebut dalam dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Berikut ini perbedaan pembuktian dua bentuk kausalitas tersebut di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak. Menurut Palmer, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, pembuktian cause in fact di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak cukup dibuktikan dengan pembuktian penyebab faktual secara sederhana. Maksud dari pembuktian penyebab faktual secara sederhana adalah pengadilan tidak perlu membuktikan penyebab faktual dengan cara yang hipotetis atau counterfactual. 35 Pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melahirkan Z. Z pada saat umur ke-16 tahun telah secara lalai menyebabkan kecelakaan mobil yang mencederai C. Kelalaian A di awal dalam membuat pil kontrasepsi adalah sebab faktual bagi cedera yang dialami oleh C, karena Z tidak mungkin hidup jika pil kontrasepsi tersebut tidak gagal mencegah kelahiran X. Akan tetapi, A tidak akan diputuskan sebagai pihak yang bertanggung jawab karena kelalaian A merupakan penyebab yang terlalu jauh dengan cedera yang dialami C, sehingga tidak bisa pula ditetapkan sebagai proximate cause dari terjadinya kecelakaan mobil yang mencederai C. Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op. cit., hal Andri G. Wibisana, loc. cit. Diamond berpendapat bahwa dalam menentukan adanya proximate cause melalui foreseeable harm test, maka ada dua hal yang harus dipenuhi: 1). A reasonably foreseeable result or type of harm; dan 2). No superseding intervening force. Diamond menilai bahwa suatu intervening force dapat dikatakan sebagai sesuatu yang superseding hanya ketika terjadinya intervening force tersebut terlihat luar biasa (extraordinary). Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op. cit., hal Maksud dari hipotetis adalah pengujian kausalitas dengan mengajukan pertanyaan seperti: apakah kerugian akan tetap terjadi seandainya tergugat melakukan perbuatan yang berbeda denga perbuatan yang ia Halaman 22 dari 51 Halaman

24 dilakukan oleh tergugat menjadi tidak relevan dalam konteks pertanggungjawaban mutlak karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau PMH. Jadi, di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, pembuktian penyebab faktual difokuskan pada pertanyaan sederhana: apakah kerugian yang terjadi disebabkan secara faktual oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat? Pembuktian proximate cause juga berbeda di dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Dua hal yang harus dibuktikan di dalam proximate cause, yakni scope of liability dan juga ada atau tidaknya intervening atau superseding cause, telah berpindah letaknya dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Scope of liability dalam konteks pertanggungjawaban mutlak telah berpindah pada pembuktian ruang lingkup usaha dan/atau kegiatan seperti apa yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara mutlak. 36 Dengan kata lain, pembuktian scope of liability dalam dasar pertanggungjawaban mutlak terletak pada pembuktian apakah usaha dan/atau kegiatan Tergugat menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan hidup. Lalu pembuktian ada atau tidaknya intervening cause atau superseding cause dalam dasar pertangggungjawaban mutlak telah berpindah pada ranah pembelaan (defense) bagi Tergugat. 37 Dengan kata lain, pembuktian adanya intervening cause atau superseding cause dalam konteks pertanggungjawaban mutlak bukan lagi menjadi beban pembuktian dari Penggugat. Satu hal lagi yang berbeda dari pembuktian proximate cause dalam konteks pertanggungjawaban mutlak adalah mengenai foreseeability dari resiko usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat. Menurut MacAyeal, sebagaimana dikutip oleh Andri, ukuran foreseeability resiko usaha dan/atau kegiatan Tergugat dalam konteks pertanggungjawaban mutlak telah berubah menjadi objektif, tidak lagi berdasarkan ukuran pengetahuan subjektif dari Tergugat. Maksudnya dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, pengetahuan subjektif Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau kegiatan yang ia lakukan tidak lagi dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan pengetahuan Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau kegiatannya diperlukan untuk melihat apakah Tergugat telah melakukan upaya yang hati-hati dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya. Namun, di dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, dilakukan atau tidak dilakukannya upaya hati-hati oleh Tergugat dalam melakukan usaha dan/atau lakukan? Atau apakah penggugat akan tetap menderita kerugian seandainya tergugat tidak melakukan perbuatan yang ia lakukan? Kedua pertanyaan tersebut merupakan pengujian yang hipotetis karena pertanyaannya bersifat menduga-duga dan juga dapat dikatakan counterfactual karena pada kenyataannya tergugat tidak melakukan perbuatan yang berbeda dengan perbuatan yang ia lakukan. Lihat: Andri G. Wibisana, op. cit., hal Andri G. Wibisana, op. cit., hal Ibid. Halaman 23 dari 51 Halaman

25 kegiatannya bukan merupakan hal yang dipertimbangkan. Maka dari itu, ukuran yang digunakan untuk mengetahui foreseeability resiko usaha dan/atau kegiatan Tergugat adalah pengetahuan umum/luas yang ada di masyarakat, bukan lagi pengetahuan subjektif Tergugat. 38 Jadi, penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH akan menimbulkan konsekuensi terhadap pembuktian cause in fact dan proximate cause. Konsekuensinya adalah pembuktian cause in fact dan proximate cause menjadi lebih longgar dalam dasar pertanggungjawaban mutlak dibandingkan dengan pembuktian dalam dasar pertanggungjawaban PMH. Berdasarkan penjelasan pada paragraf di atas, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembuktian cause in fact dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan cara pembuktian faktual yang sederhana. Maka dari itu, pembuktian penyebab faktual secara sederhana dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan menjawab pertanyaan ini: Apakah kerugian berupa terjadinya degradasi lahan disebabkan secara faktual oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat? Terdapat tiga bukti dalam menjawab pertanyaan penyebab faktual dari kerugian tersebut. Bukti pertama adalah adanya fakta bahwa kebakaran lahan terjadi di dalam konsesi PT. BMH. Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri sebagaimana dapat dilihat di dalam Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Hal ini menunjukan bahwa kebakaran terjadi di dalam areal yang menjadi tanggung jawab dari PT. BMH. Bukti yang kedua adalah kebakaran yang terjadi di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan, baik lahan gambut maupun mineral. Bukti ini terlihat sebagaimana Sahabat Pengadilan telah jelaskan di awal bagian B.1.2 ini, di mana menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wasis, kebakaran seluas Ha di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya kerusakan struktur gambut. Bukti yang ketiga, yang juga tidak kalah penting, adalah peristiwa kebakaran lahan merupakan resiko yang inheren di dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri. Kegiatan membuka lahan gambut untuk dijadikan usaha Hutan Tanaman Industri merupakan kegiatan dengan resiko tinggi. Dengan karakteristik seperti itu, dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang sudah dilakukan PT. BMH 38 Wibisana memberikan contoh hipotetis yang cukup relevan dalam melihat perbedaan pembuktian kausalitas dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau PMH dengan pembuktian kausalitas dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Lihat dalam: Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 51. Halaman 24 dari 51 Halaman

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa hakim telah menjalankan fungsi pengembangan hukum lingkungan perdata terutama

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN, UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban Perusahaan dalam Kasus Lingkungan Hidup. Dewi Savitri Reni (Vitri)

Pertanggungjawaban Perusahaan dalam Kasus Lingkungan Hidup. Dewi Savitri Reni (Vitri) Pertanggungjawaban Perusahaan dalam Kasus Lingkungan Hidup Dewi Savitri Reni (Vitri) dewireni@ssek.com 26 October 2017 Kewajiban Perusahaan dalam Hukum Lingkungan Hidup (1) Kewajiban Pelaku Usaha Pasal

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan I. PEMOHON 1) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI); 2) Gabungan Pengusaha Kelapa

Lebih terperinci

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak BAB IV ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN PADA PENGADILAN TINGGI PEKANBARU NOMOR 235/PID.SUS/2012/PTR Tindak Pidana dan Tanggung Jawab Korporasi di Bidang

Lebih terperinci

Written by tony Tuesday, 22 October 2013 09:10 - Last Updated Wednesday, 27 November 2013 07:24

Written by tony Tuesday, 22 October 2013 09:10 - Last Updated Wednesday, 27 November 2013 07:24 PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA PROF.DR.TAKDIR RAHMADI, SH., LLM JAKARTA - HUMAS,Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/68; TLN NO.3699 Tentang: PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN STATUS KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) KABUPATEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup Indonesia

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas mengenai kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kota Riau, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa Lingkungan

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA - 1 - BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALINAU NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG IZIN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALINAU,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 05 TAHUN 2009 T E N T A N G PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN LUMAJANG BUPATI LUMAJANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (AMDAL) KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (AMDAL) KABUPATEN BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (AMDAL) KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU, Menimbang : a. bahwa kualitas

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : Mengingat PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 LINGKUNGAN HIDUP. WAWASAN NUSANTARA. Bahan Berbahaya. Limbah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI JAMBI

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI JAMBI GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi

Lebih terperinci

C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Pengendalian Dampak 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 2. Analisis Mengenai Dampak (AMDAL) 3. Pengelolaan Kualitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan

Payung Hukum. 1. kewajiban memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup. Menurut UU. Mengawal Hukum Lingkungan Pewarta-Indonesia, MESKI istilah undang-undang pokok tidak dikenal lagi dalam sistem dan kedudukan peraturan perundang-undangan sekarang ini, namun keberadaan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP. A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP. A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep dasar tindak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan I. PEMOHON - P.T. Inanta Timber & Trading Coy Ltd.yang diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama -------------------------------------

Lebih terperinci

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERAM BAGIAN

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang : a. bahwa dilingkungan hidup adalah merupakan

Lebih terperinci

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP Yang pertama muncul di Indonesia: UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 1982 (UULH) Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian disempurnakan dan diganti dengan:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP Yang pertama muncul di Indonesia: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 4 TAHUN 1982 (UULH) Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Sekarang disempurnakan

Lebih terperinci

[Briefing Paper] Menggugat Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng

[Briefing Paper] Menggugat Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng [Briefing Paper] Menggugat Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Pada tahun 2012 Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA p PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

H. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN VIII PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 H. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Pengendalian Dampak 1. Pengelolaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN TABALONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BUPATI SIMEULUE QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIMEULUE QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIMEULUE QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI SIMEULUE, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara perkara perdata pada tingkat

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 29 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANYUMAS

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 29 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANYUMAS BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 29 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANYUMAS, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN Menimbang : PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Lebih terperinci

Aristya Windiana Pamuncak, S.H.,LL.M Universitas Muhammadiyah Surakarta

Aristya Windiana Pamuncak, S.H.,LL.M Universitas Muhammadiyah Surakarta ISBN: 978-602-361-036-5 Prosiding Seminar Nasional AKSES BAGI MASYARAKAT PENCARI KEADILAN DALAM MASALAH PENCEMARAN LINGKUNGAN STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG NO. 24/PDT.G/2015/PN.PLG ANTARA MENTERI

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERLINDUNGAN

PERENCANAAN PERLINDUNGAN PERENCANAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU No 32 tahun 2009 TUJUAN melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup menjamin keselamatan,

Lebih terperinci

Kebijakan BLHD Kota Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Limbah. Oleh : DR. RAHMAT SALAM, M.Si

Kebijakan BLHD Kota Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Limbah. Oleh : DR. RAHMAT SALAM, M.Si Kebijakan BLHD Kota Tangerang Selatan dalam Pengelolaan Limbah Oleh : DR. RAHMAT SALAM, M.Si VISI DAN MISI KOTA TANGERANG SELATAN VISI : Terwujudnya Kota Tangerang Selatan yang Mandiri, Damai dan Asri

Lebih terperinci

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran

Lebih terperinci

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 4 TAHUN 2010 SERI E ------------------------------------------------------------------ PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok I. PEMOHON 1. Perkumpulan Forum Pengusaha Rokok Kretek (Pemohon I); 2. Zaenal Musthofa

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang :

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah I. PEMOHON 1. Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, sebagai Pemohon I; 2. Edi Kuswanto, sebagai Pemohon

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang

Lebih terperinci

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 Tanggal 5 Juni Presiden Republik Indonesia,

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 Tanggal 5 Juni Presiden Republik Indonesia, Menimbang : ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 Tanggal 5 Juni 1986 Presiden Republik Indonesia, a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XV/2017 Larangan Iklan Rokok

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XV/2017 Larangan Iklan Rokok RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XV/2017 Larangan Iklan Rokok I. PEMOHON 1. Pemuda Muhammadiyah, diwakili oleh Dahnil Anzar Simanjuntak dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa beberapa

Lebih terperinci

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia KMA 43026 Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. UU RI No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA

TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA 1 TANGGUNG JAWAB MUTLAK ( STRICT LIABILITY ) DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh Ade Risha Riswanti Pembimbing : 1. Nyoman A. Martana. 2. I Nym. Satyayudha Dananjaya. Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber : LN 1997/68; TLN

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PENEBANGAN POHON DAN/ATAU PEMINDAHAN TAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999). RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIII/2015 Kepastian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Kewajiban Pelaku Usaha Atas Informasi Badan Hukum Secara Lengkap I. PEMOHON 1. Capt. Samuel

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

Lebih terperinci