VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA"

Transkripsi

1 VI. TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA 6.1 Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga menunjukkan bagaimana arus komoditi mengalir dari tangan produsen (PT. KGU) sampai ke tangan konsumen. Berdasarkan cakupan wilayah, pendistribusian sapi potong PT. KGU mayoritas tersebar di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Jakarta, Cibinong, Cianjur, dan Serang. Wilayah pemasaran/penjualan sapi potong PT. KGU terbesar yaitu di Bogor (36 persen), dimana terdapat daerah Cibinong didalamnya, kemudian diikuti Sukabumi, Bandung, Jakarta, dan lainnya (Tabel 11). Tabel 11. Rata - Rata Penjualan Sapi Potong PT. KGU menurut Wilayah pada Tahun 2009 No. Wilayah Jumlah (ekor/bln) Persentase (persen) 1 Bogor Sukabumi Bandung Jakarta lainnya Total Jika dilihat dari sisi lembaga tataniaga, secara keseluruhan PT. KGU melakukan penjualan kepada dua lembaga tataniaga, yaitu kepada pedagang pengumpul dan pedagang pemotong. Dari data penjulan per konsumen PT. KGU pada tahun 2009 dengan rata rata penjualan PT. KGU (1.226 ekor sapi hidup atau 100 persen), sebanyak 76,9 persen dijual kepada pedagang pengumpul dan 23,1 persen dijual langsung kepada pedagang pemotong. Selanjutnya, pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada tiga lembaga yaitu pedagang pemotong, pedagang pengecer dan konsumen. Penjualan dari pedagang pengumpul didominasi oleh pedagang pemotong dengan jumlah 87,4 persen sedangkan pedagang pengecer sebesar 7,2 persen dan konsumen sebesar 5,4 persen. Hanya terdapat dua orang pedagang pengumpul yang juga memiliki lapak sendiri di pasar, disamping menjual dalam bentuk sapi hidup ke pedagang pemotong, yaitu di wilayah Bogor dan Sukabumi (Tabel 12). 41

2 Tabel 12. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang pengumpul (dalam ekor/bulan) No. Nama Konsumen Pedagang Pengumpul Pemotong Pengecer Konsumen Total 1 Waris Mamik Agus H. Ramlan Harianto H. Budi Ade Warsito Total Persentase 87,4 7,2 5,4 100 Volume penjualan pedagang pengumpul diatas tidak hanya dari hasil pembelian sapi dari PT. Kariyana Gita Utama. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian dari berbagai perusahaan feedlot lain seperti PT. Widodo Makmur, PT. Great Giant Livestock, PT. Sinar Cattle, PT. Suntory Lampung dan peternak di daerah Rumpin dan Legok. Pembelian dari perusahaan lain biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul jika persediaan di PT. KGU sedang sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan di pasar. Di samping itu pembelian di perusahaan selain PT. KGU oleh pedagang pengumpul juga dikarenakan kualitas sapi potong, dilihat dari persentase karkas, sedang rendah. Sehingga kualitas dari sapi potong merupakan pertimbangan utama pedagang pengumpul dalam melakukan pembelian sapi potong. Sesama pedagang pengumpul suka melakukan pertukaran informasi mengenai kualitas karkas dari berbagi perusahaan feedlot. Pedagang pemotong melakukan penjualan kepada dua lembaga tataniaga, yaitu pedagang pengecer dan konsumen akhir. Sebanyak 59,1 persen total penjualan sapi potong dijual kepada pedagang pengecer, sedangkan yang dijual ke konsumen akhir sebanyak 40,9 persen. Selanjutnya pedagang pengecer langsung melakukan penjualan kepada konsumen akhir tanpa melalui perantara (Tabel 13). 42

3 Tabel 13. Penjualan Sapi Potong oleh Pedagang Pemotong (dalam ekor/bulan) No. Nama Konsumen Pedagang Pemotong Pengecer Konsumen Total 1 Asep Joko Maman Abe Jainudin H. Arifin Ilham Atin Karya Dena Lilik Cece Opik Total Persentase Pada analisis tataniaga sapi potong PT. KGU, komoditi mengalami perubahan bentuk yaitu dari sapi hidup menjadi karkas dan diterima oleh konsumen dalam bentuk daging segar. Jadi setiap lembaga tidak selalu menerima dalam bentuk sapi hidup. Proses pengolahan dari sapi hidup menjadi karkas (pengkarkasan) dilakukan oleh lembaga tataniaga melalui jasa Rumah Potong Hewan (RPH). RPH berperan dalam setiap saluran tataniaga sapi potong. Saluran tataniaga sangat berpengaruh dalam menentukan margin tataniaga, biaya pemasaran, dan keuntungan yang diterima setiap lembaga tataniaga. Saluran-saluran ini menggambarkan aliran sapi potong, dari produsen hingga sampai kepada konsumen akhir. Pada saluran-saluran ini para lembaga tataniaga melakukan aktivitasnya yang berupa fungsi-fungsi tataniaga sapi potong. Menurut hasil penelusuran pada tataniaga PT. Kariyana Gita Utama, secara keseluruhan terdapat 6 saluran yang berhasil diientifikasi dalam sistem tataniaga sapi potong PT. KGU (Gambar 4). 43

4 PT. KGU 76,9% 23,1% Pedagang Pengumpul 7,2% 87,4% 5,4% Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pedagang Pemotong 59,1% Pedagang Pengecer 40,9% 100% Konsumen Keterangan : 1) PT. KGU Pedagang Pengumpul Pedagang Pemotong Konsumen 2) PT. KGU Pedagang Pengumpul Pedagang Pemotong Pedagang Pengecer Konsumen 3) PT. KGU Pedagang Pemotong Konsumen 4) PT. KGU Pedagang Pemotong Pedagang Pengecer Konsumen 5) PT. KGU Pedagang pengumpul Konsumen 6) PT. KGU Pedagang pengumpul Pedagang Pengecer Konsumen Gambar 4. Saluran Tataniaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita Utama 44

5 Jumlah sebaran sapi potong pada setiap saluran tataniaga PT. KGU yang didasarkan pada penjualan rata rata PT. KGU pada tahun 2009 (1226 ekor), menunjukkan bahwa jumlah terbesar terdapat pada saluran 2 sebesar 39,7 persen dan saluran 1 sebesar 27, persen dan jumlah terendah yaitu pada saluran 5 dan saluran 6 (Tabel 14). Tabel 14. Jumlah Sapi Potong per Saluran pada Tahun 2009 Saluran Jumlah (ekor) Persentase (%) Total Tingginya jumlah sapi potong pada saluran 1 dan saluran 2 karena mayoritas pemasaran perusahaan adalah diluar wilayah sukabumi dan hal tersebut membutuhkan peran dari pedagang pengumpul. Saluran tataniaga yang melalui pedagang pengecer (saluran 2, saluran 4, saluran 6) memiliki jumlah yang lebih banyak daripada yang langsung menjual kepada konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang pemotong lebih banyak menjual daging ke pedagang pengecer dibanding kepada konsumen akhir. Secara keseluruhan, PT. KGU menjual sapi dalam bentuk sapi hidup (Rp/kg bobot hidup), tidak menjual sapi dalam keadaan karkas. Pada saluran 1, saluran 2, saluran 5, dan saluran 6 penjualan sapi oleh PT. KGU dilakukan melalui pedagang pengumpul untuk disalurkan ke wilayah wilayah pemasaran, seperti Bogor, Jakarta, Cibinong, dan Bandung. Sedangkan saluran 3 dan saluran 4, pedagang pemotong melakukan pembelian di PT. KGU secara langsung untuk melakukan pemotongan harian. Umumnya pembelian langsung hanya dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Sukabumi. Pada dasarnya, setelah melakukan pembelian sapi hidup dari PT. KGU, pedagang pengumpul dapat memilih untuk melakukan penjualan dalam bentuk sapi hidup atau karkas terhadap pemotong. Namun penentuan penjualan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pedagang pengumpul dan pedagang pemotong, 45

6 tetapi aktivitas pengkarkasan tetap merupakan tanggung jawab pedagang pemotong. Pada saluran 5 dan saluran 6, pedagang pengumpul juga melakukan penjualan dalam bentuk daging dimana di kedua saluran tersebut, pedagang pengumpul memperluas cakupan usaha dengan memiliki lapak di pasar sehingga berhubungan langsung dengan pedagang pengecer dan konsumen akhir. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pedagang pemotong melakukan pembelian sapi dapat melalui pedagang pengumpul dan langsung membeli dari perusahaan. Pedagang pemotong melakukan penjualan kepada pedagang pengecer dan konsumen, dimana penjualan dilakukan dalam bentuk daging segar. Untuk menjual dalam bentuk daging, pemotong harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pengkarkasan melalui jasa fasilitas RPH di wilayahnya masing masing. Sedangkan pedagang pengecer hanya melakukan penjualan ke konsumen. Jika ditinjau berdasarkan wilayah pemasaran, saluran yang dilalui berbeda pada tiap wilayah. Wilayah Bogor dan Sukabumi terdapat ke-6 saluran tersebut, dimana terdapat pedagang pengumpul yang memiliki lapak di pasar dan pedagang pemotong yang membeli langsung sapi potong dari PT. KGU. Kedekatan jarak antara pasar dan produsen (PT KGU) di kedua wilayah ini memungkinkan pedagang pemotong melakukan pembelian langsung di PT. KGU. Sedangkan wilayah Bandung dan Jakarta hanya terdapat saluran 1 dan saluran 2, yaitu (1) PT KGU pedagang pengumpul pedagang pemotong konsumen, dan (2) PT KGU pedagang pengumpul pedagang pemotong pedagang pengecer konsumen. Saluran yang terbentuk di kedua wilayah ini turut dipengaruhi oleh jarak antara PT KGU dengan pasar, oleh karena itu sangat diperlukan peran pedagang pengumpul untuk berperan sebagai penyalur sapi potong ke daerah tersebut. Sehingga tidak ada pedagang pemotong yang melakukan pembelian langsung ke PT. KGU, melainkan melakukan pembelian kepada pedagng pengumpul. 6.2 Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Lembaga Tataniaga sapi potong meliputi badan usaha, individu, atau pelaku pasar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses tataniaga. Fungsi tataniaga dilakukan baik oleh produsen, yaitu PT. KGU yang 46

7 memproduksi sapi potong, maupun lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga sapi potong PT. KGU. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa terdapat empat lembaga tataniaga sapi potong PT. KGU, yaitu: 1. Pedagang pengumpul, merupakan pedagang yang membeli sapi dari produsen dan menjual sapi dalam keadaan hidup dan dalam bentuk daging. 2. Pedagang pemotong, merupakan pedagang yang memotong sapi dan menjual sapi dalam bentuk daging. 3. Pedagang pengecer, merupakan pedagang yang membeli daging dan menjual juga dalam bentuk daging. 4. Rumah Potong Hewan (RPH), merupakan tempat untuk melakukan pemotongan sapi. Tabel 15. Fungsi dan Aktivitas Produsen dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong pada Tahun 2009 No. Lembaga Fungsi Aktivitas 1. PT. KGU Pertukaran Pembelian, penjualan (Produsen) Fisik Penggemukan, penyimpanan, pengiriman Fasilitas Grading, penanggungan risiko 2. Pedagang Pertukaran Pembelian, penjualan pengumpul Fisik Pengangkutan, penyimpanan 3. Pedagang Pertukaran Pembelian, penjualan Pemotong Fisik Pengakarkasan, pengangkutan, pemotongan, penyimpanan Fasilitas Grading potongan daging 4. Pedagang Pertukaran Pembelian, penjualan pengecer Fisik Pemotongan, penyimpanan 5. Rumah Potong Hewan (RPH) Fasilitas Penyediaan jasa penyimpanan dan pengkarkasan Fungsi Tataniaga PT. Kariyana Gita Utama PT. KGU, selaku pihak produsen dalam proses tataniaga, turut melakukan fungsi tataniaga. PT. KGU melakukan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan meliputi pembelian sapi bakalan dan penjualan sapi potong. Fungsi fisik meliputi proses penggemukan sapi, penyimpanan dan pengiriman. Sedangkan fungsi 47

8 fasilitas yang dilakukan adalah grading/standarisasi sapi potong dan penanggungan risiko saat pengiriman sapi. Perusahaan melakukan pembelian dua jenis sapi bakalan, yaitu sapi impor jenis Brahman cross dari Australia dan sapi bakalan lokal jenis Pernakan Ongole (PO) dan Sumba Ongole (SO). Pembelian sapi bakalan impor dilakukan satu hingga dua kali dalam satu bulan. Pembelian dilakukan melalui pemesanan kepada agen pengimpor, yang berarti bahwa PT. KGU tidak melakukan seleksi langsung sapi bakalan di Australia. Transaksi dengan agen dilakukan dengan sistem pembayaran tunai dan giro. Sedangkan pembelian bakalan lokal diperoleh dari peternak di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Sapi bakalan impor (jantan dan betina) yang akan dibeli harus sapi kurus dan berusia 2 3 tahun, sedangkan untuk sapi bakalan lokal adalah hanya sapi jantan dan memiliki berat minimal 280 kg/ekor. Di samping itu, pembelian bakalan sapi impor dari Australia dibagi menurut tiga kriteria yaitu : (1) feeder, dengan bobot kg, akan digemukkan selama 90 hari (2) medium, dengan bobot kg, akan digemukkan antara hari (3) slaughter, dengan bobot > 400 kg, dimana sapi siap langsung untuk dijual tanpa melalui proses penggemukan. Pada tahun 2009, PT. KGU total mengimpor bakalan sapi sebanyak ekor (96,5 persen). Rincian selengkapnya disajikan pada Tabel 16. Sedangkan pembelian bakalan sapi lokal tahun 2009 sebanyak 831 ekor (3,5 persen). Tabel 16. Pembelian Sapi Bakalan Impor PT. KGU pada Tahun 2009 No. Jenis Persentase (%) Jumlah 1. Bull Feeder Bull Medium Bull Slaughter Steer Feeder Steer Slaughter Heifer Feeder Heifer Slaughter Cow Slaughter Total

9 Pembelian sapi bakalan impor telah diatur oleh pemerintah, dimana tiap perusahaan wajib melakukan proses penggemukan pada sapi bakalan dengan kurun waktu minimal dua minggu dan hanya diperbolehkan melakukan transaksi sapi yang tanpa melalui proses penggemukan (trading), dalam hal ini adalah sapi jenis slaughter, dalam jumlah yang terbatas. Selama tahun 2009 PT. KGU pun turut melakukan pembelian jenis slaughter, dimana jenis pembelian slaughter jenis cow terbanyak (11 persen) dikuti steer (9 persen), bull (6 persen), dan heifer (1 persen). Sapi bakalan impor harga beli per kg bobot hidupnya cenderung lebih tinggi dibandingkan harga jual setelah digemukkan, sedangkan sapi bakalan lokal harga belinya lebih rendah dibandingkan dengan harga jual setelah proses penggemukkan. Harga beli sapi bakalan impor (USD per kg bobot hidup) tertinggi yaitu jenis heifer (USD 2,9), diikuti steer (USD 2,8), bull (USD 2,7), dan cow (USD 2,3). Oleh karena itu proses penggemukan sapi impor harus dilakukan secara intensif dan optimal agar dapat menutupi biaya pembelian sapi bakalan, dimana pertumbuhan bobot sapi impor ditargetkan mencapai 1 kg 1,5 kg per hari. Rendahnya harga jual sapi impor dibandingkan dengan sapi lokal disebabkan oleh perbedaan kandungan lemak pada sapi setelah dalam bentuk karkas. Sapi impor memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal. PT. KGU dalam memasarkan ternak sapi potong menjual dalam keadaan hidup (Rp/kg bobot hidup) dan menerapkan 2 sistem harga jual yaitu: (1) harga loco yaitu harga jual di tempat produsen, sehingga biaya transportasi dibebankan kepada pembeli dan (2) harga franco yaitu harga di pembeli atau harga jual ditambah biaya transportasi. Perusahaan menyediakan jasa transportasi dengan memiliki 2 buah truk berkapasitas 8 ekor dan 13 ekor sapi. Pada tahun 2009, penjualan rata rata PT. KGU per bulan adalah ekor. Dapat dilihat bahwa penjualan pada bulan september dan november mengalami peningkatan penjualan yang mencapai 42 persen dan 47 persen dari rata rata penjualan tahun Hal ini disebabkan pada bulan tersebut terdapat kegiatan hari raya yaitu bulan puasa dan lebaran qurban sehingga penjualan sapi tinggi karena tingginya permintaan pada saat itu. Sedangkan turunnya angka 49

10 penjualan seperti pada bulan April, Mei, dan Juli dikarenakan persediaan sapi di kandang sedang kurang yang dikarenakan pada bulan bulan tersebut persediaan bakalan sapi dari Australia sedang mengalami kesulitan (Tabel 17). Tabel 17. Penjualan Sapi Potong PT. KGU Tahun 2009 (dalam ekor) Bulan Penjualan Januari Februari 957 Maret April 822 Mei 974 Juni Juli 879 Agustus September Oktober November Desember Rata - rata Lembaga yang terlibat langsung dalam pembelian sapi potong PT. KGU terdiri dari pembeli tetap dan tidak tetap. Pembeli tetap merupakan pihak yang melakukan pembelian secara rutin dan telah terjalin lama dengan perusahaan. Pembeli tetap lebih diutamakan karena sangat berpengaruh terhadap kelangsungan tataniaga sapi potong perusahaan. hal yang membedakan antara pembeli tetap dan tidak tetap adalah pelayanan dari PT. KGU. Pembeli tetap lebih mudah dalam melakukan pembelian sapi pada saat persediaan ternak sapi sedikit. Sedangkan pembeli tidak tetap lebih susah melakukan pembelian. Pembeli tetap juga sedikit lebih dimudahkan dalam hal pembayaran sapi yang dibeli, dimana pembayaran bisa dilakukan tanpa tunai di muka. Sedangkan pembeli tidak tetap harus melakukan pembayaran secara tunai tiap melakukan pembelian sapi potong. Harga jual sapi potong dibedakan sesuai dengan jenis sapi, umur, dan jenis kelamin dari sapi. Sapi jenis Bull merupakan jenis sapi yang memiliki harga jual tertinggi jika dibanding dengan jenis sapi lainnya yaitu steer, heifer, dan cow. Selisih harga berkisar antara Rp / kg bobot hidup dari setiap jenis. Penentuan harga jual sapi dipengaruhi oleh: 1) harga bakalan, 2) biaya produksi, 50

11 3) perubahan nilai tukar rupiah, 4) prestasi/kualitas sapi, 5) frekuensi pembelian, dan 6) keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Sapi potong hasil penggemukan yang akan dijual harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) masa penggemukan (fattening period) minimal 60 hari, dan 2) sapi dalam kondisi gemuk dan siap dipotong. Apabila sapi sudah digemukkan melebihi masa penggemukan (90 hari) tetapi masih kurus, maka sapi tetap akan dijual, namun dalam status sapi afkir. Sapi yang belum mencapai masa fattening period 60 hari boleh dijual apabila jumlah persediaan penjualan habis dan biasanya hanya dijual kepada pembeli tetap. Tahapan fungsi fisik dan fungsi fasilitas yang dilakukan perusahaan dimulai pada saat sapi diterima di kandang. Sebelumnya, sapi dari Australia diterima oleh PT. KGU di Pelabuhan Tanjung Priuk dan dilanjutkan dengan proses penimbangan. Penimbangan sapi bakalan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priuk untuk memperoleh bobot badan total. Penimbangan dilakukan per mobil pengangkut (truk) milik jasa ekspedisi dengan isi sapi bakalan ekor, sehingga didapatkan berat bruto dengan tingkat penyusutan berat ± 3 persen. Sedangkan untuk mengetahui bobot badan sapi per ekor dilakukan penimbangan di kandang. Pengangkutan sapi bakalan dilakukan oleh jasa ekspedisi, dengan penanggungan risiko dibebankan kepada pihak ekspedisi. Dalam hal ini risiko yang dimaksud seperti kematian sapi, patah kaki, dan risiko lainnya yang memungkinkan merugikan sapi. Pengangkutan yang dimaksud adalah kegiatan pengangkutan sapi dari Pelabuhan Tanjung Priuk ke lokasi kandang di Cicurug, Sukabumi. Saat tiba di kandang, sapi dikumpulkan di cattle yard lalu dilakukan penimbangan untuk dilakukan grading menurut umur dan jenis kelamin. Lebih lanjut grading/klasifikasi tersebut sangat menentukan harga jual dari sapi tersebut. Grading sapi yang dilakukan PT. KGU dapat dilihat di Tabel 17. Kelas bull merupakan mutu sapi yang tertinggi jika dilihat dari sisi harga jual diikuti steer, heifer, dan cow. Rata rata dalam setiap periode penggemukan, proporsi grading sapi tersebut masing masing secara berurut yaitu bull, steer, heifer, dan, cow sebesar 50 persen, 25 persen, 15 persen, dan 10 persen. Komposisi tersebut merupakan pola yang dianggap terbaik oleh perusahaan berdasarkan pengalaman 51

12 pola penggemukan yang selama ini sudah dilakukan. Dan tentunya, komposisi tersebut juga disesuaikan dengan kemampuan daya beli dan permintaan konsumen secara umum. Setelah dilakukan grading, sapi dipasangkan ear tag untuk menjadi penanda sapi dan untuk memudahkan dalam inventaris data sapi yang digemukkan dan juga agar bisa terekam historis sapi selama periode penggemukan. Kemudian bakalan sapi tersebut masuk dalam periode penggemukan. Dalam masa penggemukan, sapi dikelompokan per paddock sesuai dengan kelas mutu/grading agar memudahkan dalam pengawasan dan mencegah terjadinya kebuntingan pada sapi betina. Tabel 18. Klasifikasi Menurut Umur dan Jenis Kelamin No. Kelas Mutu Jenis Kelamin Berat Sapi (Kg) 1. Bull Jantan Mini Bull Jantan Steer Jantan Heifer Betina Cow Betina Proses penggemukan dibagi mejadi dua periode. Periode pertama merupakan periode untuk sapi dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan kandang sehingga sehat dan tidak stress. Periode ini berlangsung selama dua minggu dengan target mengembalikan jumlah bobot badan yang susut selama masa pengiriman dari Australia ke Indonesia. Bakalan sapi dikumpulkan per paddock dan mulai diberi pakan berupa jerami secara penuh tanpa campuran lain selama dua hari pertama. Kemudian secara berangsur mulai diberi pakan tambahan berupa konsentrat dan tetes tebu hingga hari ke-14 dengan target pada hari tersebut sapi telah siap untuk dikondisikan diberi pakan dengan komposisi konsentrat sebesar 85 persen dan amoniasi jerami sebesar 15 persen dan masuk ke periode penggemukan. Periode kedua merupakan periode penggemukan sapi yang dilakukan selama 3 bulan. Target peningkatan bobot yaitu 1 1,5 kg per hari. Pakan jerami diberikan 2 kali dalam sehari sedangkan konsentrat diberi terus menerus. Risiko yang biasa dialami oleh perusahaan adalah macetnya pembayaran yang dilakukan oleh pembeli. Selain itu risiko yang dialami adalah terjadi kebuntingan pada sapi bakalan impor, yang biasanya perkawinan terjadi di negara 52

13 asalnya yaitu Australia. Risiko di perjalanan yang biasa terjadi adalah patah kaki pada sapi dan kecelakaan mobil yang menyebabkan sapi lepas ketika di perjalanan, tetapi risiko tersebut ditanggung oleh jasa ekspedisi Fungsi Tataniaga Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul hanya melakukan dua fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Pedagang pengumpul, biasa disebut bandar, terdapat di setiap daerah pemasaran sapi potong PT. KGU yang berperan dalam penyaluran sapi dalam keadaan hidup dari kandang ke daerah daerah konsumen yaitu Sukabumi, Bogor, Jakarta, Bandung, cibinong dan sekitarnya. Pedagang pengumpul juga berfungsi untuk menjaga permintaan agar tetap stabil. Umumnya pedagang pengumpul membeli dari PT. KGU dalam bentuk sapi hidup dan menjual dalam bentuk sapi hidup kepada pedagang pemotong. Tetapi ada juga yang menjual dalam bentuk daging karena juga memiliki lapak di pasar untuk penjualan daging. Pedagang pengumpul terbanyak yang membeli sapi potong dari PT. KGU adalah pedagang pengumpul di wilayah Bogor, termasuk di dalamnya pedagang pengumpul di wilayah Cibinong. Untuk wilayah Bogor, pedagang pengumpul rata rata membeli sapi potong jenis bull, mini bull, dan steer, dikarenakan permintaan sapi untuk dipotong cukup tinggi. Pedagang pengumpul melakukan seleksi langsung sapi yang akan dibeli di PT. KGU. Harga jual yang ditentukan oleh PT. KGU adalah harga loco. Dalam melakukan pengiriman sapi, pengirim biasanya memakai jasa transportasi dari PT. KGU dengan dikenakan biaya Rp ,- untuk kendaraan jenis FUSO (kapasitas 13 ekor) dan Rp ,- untuk kendaraan jenis Colt Diesel (Kapasitas 8 ekor). Pedagang pengumpul daerah Bogor juga melakukan pembelian sapi potong dari peternak lain, yaitu PT. Sinar Cattle, PT. Widodo Makmur, PT. Great Giant Livestock (GGLC), Peternak Rumpin dan Legok. Sedangkan Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong biasanya membeli sapi jenis steer dan heifer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap dari PT. KGU. Pedagang pengumpul ada yang melakukan seleksi langsung di PT. KGU dan ada yang hanya melakukan pemesanan lewat sarana telekomunikasi. Harga jual yang ditetapkan adalah harga franco. Pedagang 53

14 pengumpul hanya membeli sapi dari PT. KGU dan tidak membeli dari peternak lain kecuali persediaan dari PT. KGU sedang kurang. Pedagang pengumpul di wilayah Sukabumi rata rata melakukan pembelian sapi potong jenis heifer dan cow, serta jenis steer ketika permintaan daging sedang tinggi. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai dan pembayaran di muka. Pedagang pengumpul juga melakukan seleksi langsung sapi yang akan dibeli dan juga melalui sarana telekomunikasi. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap dari PT. KGU dan hanya melakukan pembelian dari PT. KGU saja. Pedagang pengumpul di wilayah Bandung melakukan pembelian sapi potong dari PT. KGU rata rata 10 ekor per hari dengan jenis bull dan steer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tetap di PT. KGU. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian sapi dari PT. Widodo Makmur di Cianjur dan PT Great Giant Livestock (GGLC) di Lampung. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran dimuka dan sisanya akan dibayar setelah sapi terjual. Pedagang pengumpul tidak melakukan seleksi langsung ke kandang tetapi hanya melakukan pemesanan melalui sarana telekomunikasi. Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan pembelian sapi potong dari PT. KGU jenis bull, mini bull, dan steer. Pedagang pengumpul merupakan pembeli tidak tetap di PT. KGU. Pedagang pengumpul juga melakukan pembelian sapi dari PT. Lembu Jantan Perkasa, PT Great Giant Livestock (GGLC), PT. Suntory Lampung, PT. Sinar Cattle dan PT. Widodo Makmur. Harga beli yang ditentukan adalah harga franco. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem pembayaran tunai. Pedagang pengumpul melakukan seleksi langsung ke kandang dan melakukan pemesanan melalui saran telekomunikasi. Pedagang pengumpul di wilayah Bogor melakukan penjualan sapi potong di RPH Kota Bogor setiap hari dalam bentuk sapi hidup, di mana pedagang pemotong datang langsung ke tempat penampungan RPH. Potongan hasil sampingan seperti kulit, kaki, kepala, jeroan, lemak, dan tetelan diberikan kepada pedagang pemotong. Penentuan harga jual yang diberikan untuk masing masing 54

15 pemotong berbeda, disesuaikan dengan frekuensi pembelian, lama berlangganan, dan persentase pemotongan karkas. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut. Sedangkan Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong dan Sukabumi relatif sama, dimana melakukan penjualan dalam bentuk karkas, dan pedagang pemotong mengambil karkas tersebut di RPH. Hasil sampingan juga diberikan kepada pedagang pemotong. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut. Pedagang pengumpul di Wilayah Bandung melakukan penjualan di RPH milik sendiri setiap hari. Penjualan sapi dalam bentuk sapi hidup dan karkas, tergantung pada kesepakatan dengan pedagang pemotong. Hasil sampingan selain kulit diberikan kepada pedagang pemotong, dan kulit diberikan kepada pedagang pengumpul yang akan diolah kembali. Penentuan harga dalam bentuk sapi hidup ditentukan berdasarkan frekuensi pembelian dan lama berlangganan, sedangkan penentuan harga dalam bentuk karkas ditetapkan berdasarkan harga yang diterima dari PT. KGU dibagi dengan persentase karkas. Umunya, sistem pembayaran dilakukan dengan sistem tunai tidak langsung, dimana pedagang pemotong baru akan membayar sapi setelah daging habis terjual di pasar pada hari tersebut. Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan penjualan sapi potong di RPH Pulo Gadung Dan RPH Cakung setiap hari. Penentuan harga jual ditentukan sendiri oleh Pedagang pengumpul. Penjualan sapi dalam bentuk karkas, sedangkan untuk kulit, kaki, kepala, lemak, dan jeroan diberikan kepada pedagang pemotong sebagai pengganti tulang. Harga jual yang diberikan untuk masing masing pedagang berbeda, disesuaikan dengan frekuensi pembelian, lama berlangganan, dan sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pemotong. Fungsi fisik dilakukan oleh pedagang pengumpul meliputi kegiatan pengangkutan dan penyimpanan. Pedagang pengumpul umumnya tidak melakukan kegiatan pengangkutan sapi karena pengangkutan dilakukan oleh jasa pelayanan transportasi dari PT. KGU. Tetapi pedagang pengumpul yang memiliki 55

16 lapak di pasar, seperti dalam penelitian ini ditemukan di wilayah Bogor dan Sukabumi, melakukan pengangkutan hasil potongan sapi sendiri dari RPH menuju pasar tempat Pedagang pengumpul berjualan. Fungsi penyimpanan dilakukan untuk menyimpan barang sebelum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran. Pedagang pengumpul di wilayah Bogor melakukan penyimpanan sapi di tempat penampungan yang berada di lokasi RPH terpadu Kota Bogor. Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong melakukan penyimpanan di RPH pemda Cibinong. Pedagang pengumpul di wilayah bandung menyimpan sapi di tempat penampungan Pejagalan VIRGO milik PD Ikhlas. Dan Pedagang pengumpul di wilayah Jakarta melakukan penyimpanan di holding ground milik pengelola RPH PD Dharma Jaya yang berlokasi di area RPH. Penyimpanan sapi potong di Wilayah Bogor, Cibinong, Jakarta, dan Bandung dilakukan minimal satu hari. Tujuan dari penyimpanan tersebut adalah untuk memulihkan kondisi sapi dan mengurangi penyusutan bobot badan akibat pengiriman agar tidak mengurangi kualitas karkas. Selama penyimpanan juga dilakukan perawatan terhadap sapi dengan cara memberi minum dan pakan berupa konsentrat dan rumput. Pedagang pengumpul di wilayah Sukabumi juga berfungsi sebagai feeding custom, yaitu membeli ternak sapi potong kemudian disimpan di PT. KGU. Penyimpanan ternak dilakukan hanya terhadap sapi yang masih kurus dan dikenakan biaya sebesar Rp /ekor/hari. Selain itu, Pedagang pengumpul juga melakukan penyimpanan di RPH di wilayah Sukabumi. Pedagang pengumpul yang memiliki lapak sendiri, yang terdapat di Bogor dan Sukabumi, melakukan pemotongan sapi di RPH, kemudian hasil potongannya dijual kepada pedagang pengecer dan konsumen. Pedagang pengumpul di wilayah Cibinong, Bandung, dan Jakarta tidak melakukan fungsi pengolahan karena pemotongan sapi dilakukan sendiri oleh pedagang pemotong. Risiko yang biasa dialami oleh pedagang pengumpul di setiap wilayah cukup seragam, yaitu macetnya pembayaran oleh pedagang pemotong dan pedagang pengecer bagi Pedagang pengumpul yang memiliki lapak sendiri. Karena hampir semua pedagang melakukan pembayaran secara tidak langsung, pembayaran biasanya dilakukan pada siang atau sore hari setelah daging sapi 56

17 habis terjual di pasar. Hal ini dikarenakan pedagang pemotong dan pedagang pengecer masih mempunyai hubungan sodara dan telah terjalin hubungan sejak lama. Di samping macetnya pembayaran, keterlambatan pembayaran juga sering terjadi. Apabila pembayaran yang tidak tepat waktu sering dilakukan oleh pedagang pemotong maka penjualan terhadap pedagang tersebut bisa dihentikan. Informasi mengenai harga dan kualitas sapi diperoleh dari sesama pedagang pengumpul pada satu wilayah yang melakukan pembelian sapi di tempat lain. Karena pedagang pengumpul sangat mengutamakan harga beli sapi dan kualitas sapi yang dapat dilihat dari persentase karkas setelah dipotong Fungsi Tataniaga Pedagang Pemotong Pedagang pemotong melakukan ketiga fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran meliputi pembelian sapi hidup dan penjualan daging. Fungsi fisik meliputi kegiatan pengkarkasan, pengangkutan, pemotongan daging dan penyimpanan. Sedangkan fungsi fasilitas berupa standarisasi/grading potongan sapi. Namun fungsi fasilitas, berupa grading, tidak dilakukan oleh setiap pedagang pemotong di setiap wilayah pemasaran. Secara umum, pembelian yang dilakukan oleh pedagang pemotong di setiap wilayah digolongkan berdasarkan jenis kelamin dan bobot badan, atau berdasarkan standarisasi yang telah dilakukan oleh PT. KGU. Jenis sapi yang biasa dibeli pedagang pemotong di wilayah Bogor, Bandung, Jakarta adalah jenis bull, mini bull, dan steer karena menghasilkan daging yang lebih banyak yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Jenis sapi yang biasa dibeli pedagang pemotong di wilayah Sukabumi dan Cibinong adalah jenis heifer dan cow karena harganya lebih murah. Pedagang Pemotong di wilayah Bogor melakukan pembelian dengan cara datang langsung dan memilih sapi ke RPH Bogor. Pedagang pemotong membeli sapi dalam bentuk sapi hidup dengan frekuensi rata rata 2 ekor/hari. Namun untuk hari tertentu jumlah pembelian meningkat menjadi 3 ekor, misal untuk hari sabtu-minggu dan juga hari libur nasional. Harga beli yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul adalah Rp/kg bobot hidup, dengan menggunakan bobot 57

18 badan sapi pada saat penimbangan di PT. KGU. Penjualan potongan hasil sapi dilakukan di Pasar Bogor dan Pasar Anyar. Penjualan dilakukan dalam bentuk daging, tulang, jeroan, dan tetelan, sedangkan untuk kulit dijual kepada penampung kulit asal Garut. Rata rata, mayoritas penjualan daging oleh pedagang pemotong adalah kepada pedagang pengecer (30 45 kg/hari) dan sisanya dijual langsung ke konsumen. Pedagang pemotong di wilayah Sukabumi melakukan pembelian dengan beberapa cara. Pertama pembelian dilakukan dengan mengambil langsung sapi di kandang PT. KGU, kedua pembelian dilakukan di RPH kepada pedagang pengumpul dalam bentuk karkas. Pemotong rata rata melakukan frekuensi pembelian sebanyak 1-2 ekor/hari. Pemotong melakukan penjualan di pasar, baik itu penjualan terhadap konsumen maupun kepada pengecer. Pedagang pemotong di wilayah Jakarta melakukan pembelian dengan cara datang langsung dan memilih sapi ke RPH PD Dharma Jaya. Pemotong melakukan pembelian dalam bentuk karkas setiap hari dengan frekuensi rata rata 2 ekor/hari, untuk hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional frekuensi pembelian tetap 2 ekor/hari namun dengan bobot badan yang lebih besar. Sama halnya dengan pemotong di wilayah Bandung, dimana pemotong melakukan pembelian di tempat penjagalan dan hasil potongan dijual di pasar. Konsumen utama dari pedagang pemotong adalah pedagang bakso dan pedagang sayuran. Pedagang pemotong di setiap wilayah tidak melakukan penyimpanan sapi potong karena pembelian ternak sapi potong dilakukan di RPH dan langsung di lakukan pemotongan setelah transaksi pembelian selesai dilakukan. Pedagang pemotong juga tidak melakukan penyimpanan terhadap hasil potongan sapi karena setelah selesai dilakukan pemotongan, maka hasil pemotongan langsung diangkut ke pasar untuk dipasarkan. Penyimpanan dilakukan apabila daging tidak habis terjual di pasar, penyimpanan dilakukan di dalam freezer/pendingan atau dengan menggunakan balok es. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Sukabumi dilakukan satu kali yaitu dari RPH ke pasar dengan menggunakan mobil pick-up milik sendiri. Pemotong di wilayah Bogor dan Jakarta, dalam hal pengangkutan, menggunakan jasa kendaraan yang disediakan oleh pihak RPH. 58

19 Untuk RPH Kota Bogor dikenakan biaya sebesar Rp /ekor dan untuk RPH PD Dharma Jaya, Pulo Gadung sebesar Rp /ekor. Sedangkan pemotong di wilayah Cibinong dan Bandung, pengangkutan dilakukan dengan menggunakan jasa pengangkutan yang berkerja di RPH dan dikenakan biaya sebesar Rp /ekor. Pedagang pemotong di setiap wilayah tidak melakukan pengepakan secara khusus, melainkan hanya dilakukan pengepakan secara sederhana yaitu dengan menggunakan plastik. Standarisasi yang dilakukan pedagang pemotong adalah terhadap hasil potongan karkas dimana hasil potongan sapi bagian belakang dihargai lebih tinggi dari hasil potongan sapi depan. Hal ini dikarenakan kualitas daging sapi bagian belakang lebih tinggi kualitas dagingnya. Standarisasi terhadap potongan tersebut atau daging yang dijual di pasar dilakukan oleh pedagang pemotong di wilayah Bogor, Bandung, dan Cibinong, dimana daging hasil potongan sapi bagian belakang lebih mahal dari hasil potongan sapi bagian depan dengan selisih rata rata Rp 2000,-. Pedagang di wilayah Sukabumi tidak membedakan harga jual potongan bagian belakang dan bagian depan. Risiko yang biasa dialami oleh pedagang adalah rendahnya persentase karkas, hal ini dialami oleh pedagang pemotong yang membeli sapi dalam bentuk sapi hidup dari pedagang pengumpul. Risiko ini biasa dialami oleh pemotong yang kurang berpengalaman dalam memperkirakan persentase kaskas dari sapi hidup. Risiko secara umum yang dialami oleh pedagang pemotong adalah macetnya pembayaran oleh pedagang pengecer. Selain itu juga risiko terhadap daging yang tidak habis terjual di pasar, namun hal ini dapat ditanggulangi dengan melakukan penyimpanan di lemari pendingin yang akan dijual kembali dengan harga yang lebih murah atau dengan menurunkan frekuensi pemotongan hingga daging yang tersisa habis terjual Fungsi Tataniaga Pedagang Pengecer Pedagang pengecer melakukan dua fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran yang meliputi pembelian dan penjualan hasil potongan sapi berupa daging dan hasil sampingan sapi, sedangkan fungsi fisik yang dilakukan meliputi pemotongan daging dan penyimpanan. 59

20 Pedagang pengecer di setiap wilayah cukup seragam. Pembelian dan penjualan dilakukan langsung di pasar, dimana pengecer membeli dari pedagang pemotong dan menjual langsung kepada konsumen. Pembelian tersebut dalam bentuk daging, jeroan, dan tetelan. Penjualan yang dilakukan di pasar dalam bentuk daging paha depan, daging paha belakang, hati, limfa, jantung, babat, dan tetelan. Sistem pembayaran dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu pengecer baru membayar daging kepada pemotong setelah daging terjual. Pedagang pengecer melakukan pengolahan berupa pemotongan daging. Daging yang tidak habis terjual biasanya disimpan di lemari pendingin dan ada juga yang mengembalikan kembali daging tersebut ke pedagang pemotong. Konsumen utama dari pedagang pengecer adalah pedagang sayuran dan ibu rumah tangga Fungsi Tataniaga Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Rumah potong hewan (RPH) memiliki peranan yang cukup vital bagi keberlangsungan tataniaga sapi potong. RPH merupakan lembaga penyedia jasa, dimana hanya melakukan satu fungsi tataniaga yaitu fungsi fasilitas. Fungsi fasilitas tersebut yaitu menyediakan tempat untuk dilakukan pemotongan hewan yang bersertifikat dan tempat penyimpanan sapi yang siap dipotong. Disamping itu RPH juga menjadi tempat dilakukannya proses jual beli oleh pedagang pengumpul dengan pedagang pemotong. Masyarakat tidak boleh sembarang dalam mendirikan RPH atau tempat penjagalan. RPH harus mendapat izin dari Dinas Pertanian setempat dalam hal pengoperasiannya, hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan masyarakat akan konsumsi daging yang aman, sehat, dan halal. Oleh karena itu, pemerintah melakukan pemberian grade/level pada setiap RPH berdasarkan pada kualitas dan fasilitas yang diberikan RPH tersebut, antara lain berdasarkan persentase karkas, kebersihan, sistem pembuangan limbah yaitu darah. Proses penilaian tersebut dilakukan oleh pemerintah secara berkala, dengan tujuan untuk tetap menjaga kestabilan kualitas dari setiap RPH. Pengaturan tersebut juga dilakukan untuk menjaga suplai daging yang beredar di masyarakat. RPH juga harus terdapat pelayanan untuk pemeriksaan kesehatan sapi yang dilakukan dengan pemeriksaan 60

21 ante mortem dan post mortem. Sedangkan harga atau retribusi yang ditetapkan pada RPH merupakan kewenangan pemerintah kota atau daerah masing masing dan pengelola RPH, jika dikelola oleh pihak swasta. 6.3 Analisis Marjin dan Biaya Tataniaga Pelaksanaan tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga disertai dengan biaya pemasaran. Besar biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga berbeda. Hal ini tergantung dari nilai tambah yang diberikan terhadap komoditi oleh setiap lembaga tataniaga. Nilai tambah tersebut meliputi nilai guna, bentuk, waktu, tempat, dan kepemilikan. Seperti telah disinggung sebelumnya, pedagang pengumpul dan pedagang pemotong melakukan pembelian sapi potong berdasarkan permintaan pada tiap wilayah, sehingga terdapat kebiasaan pembelian oleh lembaga tersebut dalam hal jenis sapi di PT. KGU yang terbagi menjadi lima kelas (bull, mini bull, steer, heifer, dan cow). Perbedaan kebiasaan pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pemotong sangat berpengaruh terhadap biaya tataniaga yang terbentuk, yang dikarenakan oleh perbedaan harga beli dari produsen (PT. KGU). Perbedaan harga dipengaruhi oleh kelas sapi tersebut yang dilihat dari persentase karkas dan bobot hidup dari sapi, serta akibat lama proses penggemukan yang berbeda - beda. Data mengenai bobot hidup, persentase karkas, dan harga beli lembaga tataniaga disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Rata Rata Bobot Hidup, Persentase, Harga Beli, dan Lama Penggemukan Sapi Potong PT. KGU Berdasarkan Jenis/Kelas Mutu Sapi Pada Tahun 2009 Jenis Sapi / Kelas mutu Rata Rata Bobot Hidup (kg) Persentase Karkas (%) Rataan Harga Beli Pengumpul (Rp/kg bobot Hidup) Rataan Harga Beli Pemotong (Rp/kg bobot Hidup) Lama Penggemukan (bulan) Bull 622,83 53,88 23, Mini Bull 449,94 52, Steer 431,59 52, Heifer 338,41 51, Cow 362,53 49, Tabel 19 menunjukkan bahwa rata rata bobot hidup dan persentase karkas tertinggi yaitu pada kelas bull, sehingga harga yang terbentuk pada bull paling tinggi. Harga terendah yaitu pada kelas cow (Rp ,-), dimana cow 61

22 memiliki persentase karkas terendah. Hal ini menunjukkan bahwa persentase karkas berbanding lurus dengan harga sapi potong yang terbentuk, dimana semakin tinggi persentase karkas maka semakin tinggi harga yang terbentuk. Di samping itu lama penggemukan juga berpengaruh pada prestasi sapi potong. Tabel 19 juga menunjukkan bahwa rata rata harga beli yang terbentuk berbeda antara pedagang pemotong dan pedagang pengumpul, dimana pedagang pemotong membeli sapi dengan harga yang lebih tinggi dari pedagang pengumpul. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada struktur biaya tataniaga yang terbentuk, dan akhirnya mempengaruhi margin tataniaga. Namun, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan data yang dimiliki, dimana tidak dapat dideteksi dengan pasti jumlah pembelian tiap kelas sapi dalam volume pembelian total pedagang pengumpul dan pedagang pemotong. Dengan keterbatasan tersebut, perhitungan margin tataniaga tidak dapat dilakukan berdasarkan kelas sapi pada tiap saluran, karena tidak dapat menghitung satuan biaya per satuan bobot sapi potong. Oleh karena itu perhitungan struktur biaya yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat rataan seluruh kelas sapi tersebut dan dibahas per saluran tataniaga. Dalam sistem tataniaga sapi potong PT. KGU terdapat 6 saluran. Ke-6 saluran tersebut semuanya menyalurkan sapi potong dari PT. KGU, selaku produsen pada setiap saluran, hingga akhirnya menjadi daging yang diterima oleh konsumen akhir. Struktur biaya yang dihitung pada penelitian ini menggunakan satuan Rp/kg karkas, sehingga harga dan biaya biaya yang menyangkut sapi dalam keadaan hidup semua dikonversikan menjadi satuan tersebut. Nilai faktor konversi adalah 1,9204. Nilai tersebut didapat dari pembagian antara rata rata bobot hidup sapi PT. KGU (441,06 kg/ekor) dengan rata rata hasil karkas sapi PT. KGU (229,67 kg/ekor). Perhitungan berdasarkan bobot karkas dilakukan karena perilaku pedagang pemotong di pasar yang melakukan penjualan semua hasil potongan dari karkas. Struktur biaya dan besar biaya setiap saluran selengkapnya disajikan pada Tabel

23 Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009 Saluran 1 Saluran 2 Lembaga Tataniaga PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang pengumpul 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Biaya Pengiriman b.) Biaya Penyimpanan c.) Biaya Pakan d.) Biaya Lainnya e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual Pedagang Pemotong 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Retribusi Pemotongan b.) Jasa Tukang Potong c.) Biaya Pengangkutan d.) Jasa Tukang Angkut e.) Retribusi Pasar f.) Biaya Sewa Lapak g.) Penyusutan Peralatan h.) Biaya Listrik i.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual Pedagang Pengecer 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual (Rp/kg bobot karkas) 42, , , , , , , , (%) (Rp/kg bobot karkas) 42, , , , , , , , , , , (%) Margin Tataniaga 15, , ,47 Tabel 20 menunjukkan bahwa harga jual PT. KGU yang diterima oleh setiap lembaga tataniaga berbeda. Dapat dilihat bahwa harga tertinggi diterima oleh pedagang pemotong (saluran 3 dan saluran 4), yaitu sebesar Rp ,22, selanjutnya pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6 sebesar Rp ,31 dan harga terendah diterima oleh pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2, sebesar Rp ,62. Perbedaan harga jual tersebut dikarenakan 63

24 perbedaan volume pembelian dimana pedagang pemotong (saluran 3 dan saluran 4) melakukan pembelian untuk pemotongan harian, berjumlah 1 2 ekor. Sedangkan pedagang pengumpul melakukan pembelian dalam jumlah yang banyak karena untuk disebar kembali ke masing masing wilayah pemasaran. Hal ini memperlihatkan bahwa volume pembelian berpengaruh pada penentuan harga jual perusahaan, karena pengelolaan per satuan unit (sapi potong) tetap. Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009 (Lanjutan) Saluran 3 Saluran 4 Lembaga Tataniaga PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang Pemotong 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Biaya Pengiriman b.) Retribusi Pemotongan c.) Jasa Tukang Potong d.) Biaya Pengangkutan e.) Jasa Tukang Angkut f.) Retribusi Pasar g.) Biaya Sewa Lapak h.) Penyusutan Peralatan i.) Biaya Listrik j.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual Pedagang Pengecer 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual (Rp/kg bobot karkas) 43, , , , , (%) (Rp/kg bobot karkas) 43, , , , , , , , , (%) Margin Tataniaga 13, , Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2 adalah biaya pengiriman, yakni Rp 123,50. Hal ini menyangkut fungsi dari pedagang pengumpul yaitu sebagai penyedia sapi potong untuk wilayah wilayah pemasaran PT. KGU seperti Bogor, Bandung, dan Jakarta. Besar biaya tersebut juga bergantung pada jarak tempuh dari PT. KGU. 64

25 Di samping itu, Pedagang pengumpul juga mengeluarkan biaya penyimpanan dan biaya pakan serta gaji pegawai. Hal ini dilakukan di tempat penampungan pada RPH di setiap wilayah pemasaran dengan pengelolaan dari pegawai tersebut. Pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6, dimana Pedagang pengumpul juga berfungsi sebagai pemotong atau memiliki lapak di pasar, memiliki komponen biaya lebih banyak menyangkut kegiatan pemotongan dan penjualan di pasar. Tabel 20. Struktur Biaya dan Margin Tataniaga pada Setiap Saluran dan Lembaga Tataniaga Sapi Potong PT. KGU pada Tahun 2009 (Lanjutan) Saluran 5 Saluran 6 Lembaga Tataniaga PT. KGU 1. Harga Jual Pedagang pengumpul 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Biaya Pengiriman b.) Biaya Penyimpanan c.) Biaya Pakan d.) Retribusi pemotongan e.) Jasa Tukang Potong f.) Biaya Pengangkutan g.) Jasa Tukang Angkut h.) Retribusi Pasar i.) Biaya Sewa Lapak j.) Penyusutan Peralatan k.) Biaya Listrik l.) Biaya Lainnya m.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual Pedagang Pengecer 1. Harga Beli Biaya Tataniaga a.) Retribusi Pasar b.) Biaya Sewa Lapak c.) Penyusutan Peralatan d.) Biaya Listrik e.) Gaji Pegawai 2. Total Biaya Tataniaga 3. Keuntungan 4. Harga Jual (Rp/kg bobot karkas) 42, , , , , (%) (Rp/kg bobot karkas) 42, , , , , , , , , (%) Margin Tataniaga 14, ,

26 Pedagang pemotong memiliki komponen biaya yang sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga tataniaga. Biaya retribusi pemotongan dan jasa tukang potong dikeluarkan untuk kegiatan pengkarkasan sapi dimana memberikan nilai tambah pada komoditi berupa nilai guna dan bentuk. Biaya pengangkutan dikeluarkan untuk mengangkut karkas dari RPH ke pasar tempat pemotong berjualan. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pedagang pemotong adalah gaji pegawai. Hal ini dikarenakan rata rata pegawai pada setiap lapak berjumlah 4 5 orang. Pedagang pemotong pada saluran 3 dan saluran 4, dimana pemotong melakukan pembelian langsung di PT. KGU mengeluarkan biaya tambahan yaitu biaya pengiriman sebesar Rp Pedagang pengecer pada setiap saluran memiliki struktur biaya yang relatif tinggi, karena jumlah transaksi yang dilakukan oleh pengecer rendah sehingga satuan biaya yang terbentuk cenderung tinggi. Total biaya tataniaga pedagang pengecer adalah Rp 1, dan nilai tersebut tertinggi diantara lembaga lainnya. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pengecer adalah gaji pegawai yaitu Rp Pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya pengangkutan karena transaksi dilakukan di pasar. Keuntungan yang didapat oleh lembaga pada setiap saluran berbeda beda. Tingkat keuntungan tertinggi yaitu diperoleh oleh lembaga yang melakukan pemotongan sapi dan penjualan di lapak, yaitu pedagang pemotong dan pedagang pengumpul pada saluran 5 dan saluran 6, dengan selisih yang cukup besar dengan pedagang pengumpul (saluran 1 dan saluran 2) dan pedagang pengecer. Tingkat keuntungan terbesar yaitu diterima pedagang pengumpul pada saluran 5 yaitu Rp 13, Tingginya keuntungan tersebut dikarenakan pedagang pengumpul melakukan dua fungsi yaitu sebagai Pedagang pengumpul dan pemotong sehingga biaya yang terbentuk relatif lebih kecil dan dapat mengelola kegiatan dengan jangkauan yang lebih luas. Pedagang pengecer juga memiliki tingkat keuntungan yang lebih besar dibanding pedagang pengumpul pada saluran 1 dan saluran 2 (Rp ). Keuntungan pedagang pengecer terbesar terdapat pada saluran 4 yaitu Rp 1,

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT. Kariyana Gita Utama (KGU) yang berlokasi di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1 Sejarah dan Perkembangan PT. Kariyana Gita Utama Kariyana Gita Utama (KGU) merupakan perusahaan berbentuk PT (perseroan terbatas) yang bergerak pada bidang peternakan, khususnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Sapi Potong di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Sapi Potong di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Sapi Potong di Indonesia Jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia terdiri dari sapi lokal dan sapi impor yang telah mengalami domestikasi dan sapi yang mampu beradaptasi

Lebih terperinci

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR

BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR BAB VI ANALISIS USAHA AYAM RAS PEDAGING DI PASAR BARU BOGOR 6.1 Gambaran Lokasi Usaha Pedagang Ayam Ras Pedaging Pedagang di Pasar Baru Bogor terdiri dari pedagang tetap dan pedagang baru yang pindah dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah menghasilkan karkas dengan bobot yang tinggi (kuantitas), kualitas karkas yang bagus dan daging yang

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan terhadap daging khususnya daging sapi di Propinsi Sumatera Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat

Lebih terperinci

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT Sasongko W Rusdianto, Farida Sukmawati, Dwi Pratomo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara

Lebih terperinci

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

VI HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Dalam menjalankan kegiatan tataniaga, diperlukannya saluran tataniaga yang saling tergantung dimana terdiri dari sub-sub sistem atau fungsi-fungsi

Lebih terperinci

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa

DAN. Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno. Tjetjep Nurasa LAPORAN AKHIR TA. 2013 KAJIAN EFISIENSI MODA TRANSPORTASI TERNAK DAN DAGING SAPI DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI Oleh: Nyak Ilham Edi Basuno Bambang Winarso Amar K. Zakaria Tjetjep Nurasa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang bersifat METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Hewan Desa Suka Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2017 sampai April 2017.

Lebih terperinci

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi PENDAHULUAN Semakin meningkatnya daya beli masyarakat dan berkembangnya industri perhotelan, restoran dan usaha waralaba merupakan kekuatan yang mendorong meningkatnya permintaan produk peternakan, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA CICURUG SUKABUMI

ANALISIS TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA CICURUG SUKABUMI ANALISIS TATANIAGA SAPI POTONG PT KARIYANA GITA UTAMA CICURUG SUKABUMI SKRIPSI MUHAMMAD FAISAL H34051281 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN MUHAMMAD

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kerangka Teoritis 2.1.1. Pemasaran Pemasaran menarik perhatian yang sangat besar baik oleh perusahaan, lembaga maupun suatu negara. Terjadi pergeseran kebutuhan sifat dari

Lebih terperinci

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA

VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA 6.1. Lembaga Tataniaga Nenas yang berasal dari Desa Paya Besar dipasarkan ke pasar lokal (Kota Palembang) dan ke pasar luar kota (Pasar Induk Kramat Jati). Tataniaga nenas

Lebih terperinci

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong Sampai hari ini tingkat kebutuhan daging sapi baik di dalam maupun di luar negeri masih cenderung sangat tinggi. Sebagai salah satu komoditas hasil peternakan,

Lebih terperinci

C I N I A. Analisis Perbandingan antar Moda Distribusi Sapi : Studi Kasus Nusa Tenggara Timur - Jakarta

C I N I A. Analisis Perbandingan antar Moda Distribusi Sapi : Studi Kasus Nusa Tenggara Timur - Jakarta C I N I A The 2 nd Conference on Innovation and Industrial Applications (CINIA 2016) Analisis Perbandingan antar Moda Distribusi Sapi : Studi Kasus Nusa Tenggara Timur - Jakarta Tri Achmadi, Silvia Dewi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan menciptakan data akurat yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Pemasaran Cabai Rawit Merah Saluran pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug terbagi dua yaitu cabai rawit merah yang dijual ke pasar (petani non mitra) dan cabai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini, transportasi telah berkembang sedemikian pesat. Perkembangan

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini, transportasi telah berkembang sedemikian pesat. Perkembangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini, transportasi telah berkembang sedemikian pesat. Perkembangan transportasi ini memungkinkan mobilitas barang, jasa, maupun manusia menjadi lebih mudah dan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Objek Penelitian Objek penelitian terdiri dari peternak dan pelaku pemasaran itik lokal

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Objek Penelitian Objek penelitian terdiri dari peternak dan pelaku pemasaran itik lokal 28 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian terdiri dari peternak dan pelaku pemasaran itik lokal pedaging. Peternak merupakan pihak yang melakukan kegiatan pemeliharaan itik

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

DISTRIBUSI TERNAK MELALUI PEMANFAATAN KAPAL KHUSUS TERNAK KM. CAMARA NUSANTARA 1

DISTRIBUSI TERNAK MELALUI PEMANFAATAN KAPAL KHUSUS TERNAK KM. CAMARA NUSANTARA 1 DISTRIBUSI TERNAK MELALUI PEMANFAATAN KAPAL KHUSUS TERNAK KM. CAMARA NUSANTARA 1 DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan daging sapi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2012)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 5 AKTIVITAS DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Aktivitas pendistribusian hasil tangkapan dilakukan untuk memberikan nilai pada hasil tangkapan. Nilai hasil tangkapan yang didistribusikan sangat bergantung kualitas

Lebih terperinci

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU Ternak mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek pangan dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam aspek pangan, daging sapi dan kerbau ditujukan terutama untuk

Lebih terperinci

VII ANALISIS PEMASARAN KEMBANG KOL 7.1 Analisis Pemasaran Kembang Kol Penelaahan tentang pemasaran kembang kol pada penelitian ini diawali dari petani sebagai produsen, tengkulak atau pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

Statistik Tanaman Holtikultura Kabupaten Pinrang 2016 i Statistik Pemotongan Ternak Kabupaten Pinrang 2016 i STATISTIK PEMOTONGAN TERNAK KABUPATEN PINRANG 2016 Nomor Publikasi : 73153.007 Katalog BPS :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya TINJAUAN PUSTAKA Gaduhan Sapi Potong Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini terjadi berkaitan dengan keinginan rakyat untuk memelihara

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE

BAB III MATERI DAN METODE 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Kerangka Pemikiran Bidang usaha peternakan saat ini sudah mengalami kemajuan pesat. Kemajuan ini terlihat dari konsumsi masyarakat akan kebutuhan daging meningkat, sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng. yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa Ciwareng,

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng. yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa Ciwareng, 35 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng merupakan salah satu pasar hewan yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TERNAK DAN KARKAS SAP1 UNTUK KEBUTUHAN PASAR TRADISIONAL DAN PASAR KHUSUS

KARAKTERISTIK TERNAK DAN KARKAS SAP1 UNTUK KEBUTUHAN PASAR TRADISIONAL DAN PASAR KHUSUS KARAKTERISTIK TERNAK DAN KARKAS SAP1 UNTUK KEBUTUHAN PASAR TRADISIONAL DAN PASAR KHUSUS Halomoan, F., R. Priyanto & H. Nuaeni Jurusan Ilmu Produksi Temak, Fakultas Petemakan IPB ABSTRAK Di samping untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi. konsumsi, aqiqah, dan qurban. Perusahaan terletak di Kampung Dawuan Oncom,

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi. konsumsi, aqiqah, dan qurban. Perusahaan terletak di Kampung Dawuan Oncom, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Perusahaan PT. Agro Jaya Mulya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan domba. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi permintaan pasar daging

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. hewan bagi konsumsi masyarakat umum dan digunakan sebagai tempat

KAJIAN KEPUSTAKAAN. hewan bagi konsumsi masyarakat umum dan digunakan sebagai tempat 11 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Rumah Potong Hewan (RPH) Rumah Potong Hewan (RPH) adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Rumpun Domba Rumpun adalah segolongan hewan dari suatu jenis yang mempunyai bentuk dan sifat keturunan yang sama. Jenis domba di Indonesia biasanya diarahkan sebagai domba pedaging

Lebih terperinci

ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH

ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH ANALISIS SISTEM PASAR BAKALAN SAPI POTONG DI WILAYAH PELAYANAN PASAR HEWAN TANJUNGSARI SKRIPSI RAMADHANSYAH HARAHAP 200110070073 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns. meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi

Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns. meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi A. Latar Belakang Impor sapi (daging dan sapi hidup) maupun bakalan dari luar negeri terns meningkat, karena kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat dipenuhi dengan pasokan sapi lokal. Menurut data

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan A. Sapi Bali BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai potensi untuk dikembangkan. Ternak ini berasal dari keturunan banteng (Bibos) yang telah mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Pemilihan Bibit

HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Pemilihan Bibit HASIL DAN PEMBAHASAN Domba dan Kambing Domba dan kambing yang dipelihara di Kawasan Usaha Peternakan Berkah Sepuh Farm meliputi domba ekor tipis dan kambing kacang. Domba yang digunakan sebanyak 51 ekor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Keadaan ini disebabkan oleh

I PENDAHULUAN. beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Keadaan ini disebabkan oleh I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia pada daging sapi segar dan berkualitas beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan. Keadaan ini disebabkan oleh berbagai aspek diantaranya,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Lokasi peternakan penggemukan sapi potong Haji Sony berada di Desa Karang

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Lokasi peternakan penggemukan sapi potong Haji Sony berada di Desa Karang 57 IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN A. Lokasi dan Organisasi Perusahaan Lokasi peternakan penggemukan sapi potong Haji Sony berada di Desa Karang Anyar Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan Provinsi

Lebih terperinci

Distribusi komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada umur pemotongan yang berbeda

Distribusi komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada umur pemotongan yang berbeda Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (1): 24-34 ISSN: 0852-3581 E-ISSN: 9772443D76DD3 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Distribusi komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada umur

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemasaran lebih efektif dan efisien bagi seorang peternak serta untuk. menyediakan fungsi fasilitas berupa pasar ternak.

I. PENDAHULUAN. pemasaran lebih efektif dan efisien bagi seorang peternak serta untuk. menyediakan fungsi fasilitas berupa pasar ternak. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan populasi ternak, meningkatkan produksi dan mutu hasil ternak agar dapat memenuhi permintaan pasar dan

Lebih terperinci

STUDI KASUS RANTAI PASOK SAPI POTONG DI INDONESIA

STUDI KASUS RANTAI PASOK SAPI POTONG DI INDONESIA STUDI KASUS RANTAI PASOK SAPI POTONG DI INDONESIA 1 FENOMENA PERMASALAHAN Harga daging sapi mahal Fluktuasi harga daging sapi Peternak kurang bergairah karena harga pakan mahal? Biaya pengiriman sapi potong

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG

FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG Tatap muka ke 2 3 POKOK BAHASAN : FAKTOR-FAKTOR DALAM PENGGEMUKAN SAPI POTONG Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggemukan sapi potong dan cara memanipulasi

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Mulya Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK ANALISIS USAHA PENGGEMUKAN SAPI BETINA PERANAKAN ONGOLE (PO) AFKIR (STUDI KASUS DI KELOMPOK TANI TERNAK SUKAMAJU II DESA PURWODADI KECAMATAN TANJUNG SARI, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN) Reny Debora Tambunan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah Ayam kampung semula I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan

Lebih terperinci

ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA

ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA 1 ANALISIS TATANIAGA IKAN PATIN DI TINGKAT PEDAGANG BESAR PENERIMA (Wholesaler Receiver) DARI DAERAH SENTRA PRODUKSI BOGOR KE PASAR INDUK RAMAYANA BOGOR Oleh Euis Dasipah Abstrak Tujuan tataniaga ikan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Saluran tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir dari petani hingga konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul

Lebih terperinci

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 20-24 ISSN 1693-8828 Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta N. Rasminati, S. Utomo dan D.A. Riyadi Jurusan Peternakan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:

Lebih terperinci

ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) DAGING SAPI DI KABUPATEN JEMBER

ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) DAGING SAPI DI KABUPATEN JEMBER 53 Emhar et al., Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain)... SOSIAL EKONOMI PERTANIAN ANALISIS RANTAI PASOKAN (SUPPLY CHAIN) DAGING SAPI DI KABUPATEN JEMBER Supply Chain Analysis of Beef in Jember Regency

Lebih terperinci

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR

DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR Sosial Ekonomi DESKRIPSI HARGA JUAL DAN VOLUME PENJUALAN PEDAGANG PENGUMPUL AYAM POTONG DI KOTA MAKASSAR ST. Rohani 1 & Muhammad Erik Kurniawan 2 1 Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN

VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN 93 VI. GAMBARAN WILAYAH, KARAKTERISTIK PETERNAKAN SAPI POTONG DAN RESPONDEN PENELITIAN 6.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya berupa pupuk kandang, kulit, dan

TINJAUAN PUSTAKA. berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya berupa pupuk kandang, kulit, dan TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Ternak Sapi Potong Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan

Lebih terperinci

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL Aspek finansial merupakan aspek yang dikaji melalui kondisi finansial suatu usaha dimana kelayakan aspek finansial dilihat dari pengeluaran dan pemasukan usaha tersebut selama

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan

Lebih terperinci

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR

VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar,

Lebih terperinci

PROPOSAL USAHA PENGGEMUKAN DOMBA ANAM Farm

PROPOSAL USAHA PENGGEMUKAN DOMBA ANAM Farm PROPOSAL USAHA PENGGEMUKAN DOMBA ANAM Farm RINGKASAN EKSEKUTIF Usaha peternakan domba merupakan usaha yang berbasis pada potensi lokal Indonesia. Usaha ini cukup menguntungkan karena ditunjang dengan faktor-faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. di bawah permukaan laut. Kota ini dilalui oleh dua sungai yaitu Sungai Deli dan. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka.

TINJAUAN PUSTAKA. di bawah permukaan laut. Kota ini dilalui oleh dua sungai yaitu Sungai Deli dan. Sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Kota Medan Kotamadya Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran rendah timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi Pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta jiwa dan diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BBKBN)

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

EKONOMI. Oleh Soedjana dan Atien Priyanti

EKONOMI. Oleh Soedjana dan Atien Priyanti EKONOMI Oleh Tjeppy D. Soedjana dan Atien Priyanti 19 1 Mengurangi Risiko Menurunnya Pendapatan Usaha tani di pedesaan biasanya dilakukan dengan lahan garapan yang kecil, modal yang terbatas, dan penyediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan

Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan LAMPIRAN 82 Lampiran 1. Pendapatan Rata-Rata Peternak Sapi Perah Per Ekor/Bulan No Keterangan Jumlah Satuan Harga Nilai A Penerimaan Penjualan Susu 532 Lt 2.930,00 1.558.760,00 Penjualan Sapi 1 Ekor 2.602.697,65

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN PROPORSI ORGAN PENCERNAAN SAPI JAWA PADA BERBAGAI UMUR SKRIPSI. Oleh NUR FITRI

HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN PROPORSI ORGAN PENCERNAAN SAPI JAWA PADA BERBAGAI UMUR SKRIPSI. Oleh NUR FITRI HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN PROPORSI ORGAN PENCERNAAN SAPI JAWA PADA BERBAGAI UMUR SKRIPSI Oleh NUR FITRI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010 HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi penelitian Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo

Gambar 2. Lokasi penelitian Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi 1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kecamatan Pulubala merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gorontalo yang memiliki 11 desa. Kecamatan

Lebih terperinci

PENERIMAAN DAN PENDAPATAN USAHA PEMOTONGAN SAPI POTONG DI PERUSAHAAN DAERAH ANEKA WIRAUSAHA KABUPATEN DEMAK. Imelda Oct Utami, Harini TA 1

PENERIMAAN DAN PENDAPATAN USAHA PEMOTONGAN SAPI POTONG DI PERUSAHAAN DAERAH ANEKA WIRAUSAHA KABUPATEN DEMAK. Imelda Oct Utami, Harini TA 1 PENERIMAAN DAN PENDAPATAN USAHA PEMOTONGAN SAPI POTONG DI PERUSAHAAN DAERAH ANEKA WIRAUSAHA KABUPATEN DEMAK Imelda Oct Utami, Harini TA 1 ABSTRAK Produk pangan asal ternak sangat penting dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tabungan untuk keperluan di masa depan. Jumlah populasi kerbau pada Tahun

I PENDAHULUAN. tabungan untuk keperluan di masa depan. Jumlah populasi kerbau pada Tahun I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Kerbau sangat bermanfaat bagi petani di Indonesia yaitu sebagai tenaga kerja untuk

Lebih terperinci

Analisis Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul

Analisis Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul Tropical Animal Husbandry Vol. 1 (1), Oktober 2012: 59-66 ISSN 2301-9921 Analisis Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul A. Widitananto, G. Sihombing dan A. I. Sari Program

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kerbau berasal dari india, namun telah tersebar di banyak negara termasuk

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Kerbau berasal dari india, namun telah tersebar di banyak negara termasuk II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Klasifikasi Kerbau Kerbau berasal dari india, namun telah tersebar di banyak negara termasuk Indonesia. Terdapat beberapa tipe kerbau yakni kerbau perah, kerbau pedaging, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak sapi sangat penting untuk dikembangkan di dalam negri karena kebutuhan protein berupa daging sangat dibutuhkan oleh masyarakat (Tjeppy D. Soedjana 2005, Ahmad zeki

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN SAPI BALI DI KECAMATAN BANTAENG KABUPATEN BANTAENG

ANALISIS PEMASARAN SAPI BALI DI KECAMATAN BANTAENG KABUPATEN BANTAENG ANALISIS PEMASARAN SAPI BALI DI KECAMATAN BANTAENG KABUPATEN BANTAENG Astati* *) Dosen Pada Jurusan Ilmu Peternakan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar E-mail

Lebih terperinci

ANALISIS PEMASARAN SAPI POTONG DI PROPINSI BALI

ANALISIS PEMASARAN SAPI POTONG DI PROPINSI BALI ANALISIS PEMASARAN SAPI POTONG DI PROPINSI BALI Oleh: Erizal J. 1) Abstrak Perdagangan sapi potong di Propinsi Bali, terutama perdagangan antar pulau, temyata dapat memberikan tingkat keuntungan yang cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2011. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil sedangkan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

RESPON JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI PAKAN PADA USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI

RESPON JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI PAKAN PADA USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI RESPON JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI PAKAN PADA USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI (Effect of Fermented Rice Straw as Feed on Fattening Cattle Production) I G.A.P. MAHENDRI 1 B. HARYANTO 2 dan A. PRIYANTI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk 28 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasiona Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci