RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)"

Transkripsi

1 RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) AWALUDDIN HAMZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kecamatan Katobu Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2008 Awaluddin Hamzah NRP A

3 ABSTRACT AWALUDDIN HAMZAH. The Fisherman Community Response to The Modernization of Fishery (Case Study of Fisherman of Bajo Ethnic in Lagasa Village, Muna Regency, South East Sulawesi Province) under the direction of NURMALA K. PANDJAITAN and NURAINI W.PRASODJO. The modernizations of fishery have done through the government in order to solve the poverty in the fisherman community of Bajo ethnic. This research was aimed to study the relation of sea meaning and fisherman job meaning with acceptance to the modernization and to analyze the impacts of fishery modernization to work pattern, the social structure, and the prosperity level of fisherman of Bajo ethnic. The respondents consisted of 45 ponggawas, 30 local sawies, and 25 sawies from outside village, and 5 people others become the informants. Amount of Late adopters more than early adopters and the majority. The results of data analysis indicates that either on the sea meaning and also the fisherman job meaning were obtained conclusion that more high positive assessment on economic meaning hence adoption of innovation became faster. On the contrary, more high positive assessment on cultural meaning hence adoption of innovation became slower. These conclusions shown by the phenomenon of the early adopters and the majorities have positive assessment on economic meaning at higher level, compared to the late adopters. On the contrary occurred at cultural meaning where the late adopters have positive assessment at higher level, compared to the early adopters and the majorities. Then, the impacts of modernization to the fisherman community were shown by changes of job pattern that consisted of increasingly the capacity to explore and number of workers (sawi), the character of job tent semi-free labour system, the recruitment of workers became more selective, and the division of labor became more clear and hierarchism. After that, also occurred the impacts to the social structure especially on the organizing of sharing holder system that was increasingly more formal, social stratification became more complex, economic activity more differentiated, and the pattern of work relation became semi-exploitative. Keywords: response to the modernization, fisherman community, Bajo ethnic

4 RINGKASAN AWALUDDIN HAMZAH. Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN dan NURAINI W.PRASODJO. Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, struktur komunitas nelayan Suku Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, kegiatan dicirikan struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih rendah. Kehidupan sosial nelayan Suku Bajo setelah berlangsungnya modernisasi menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Berbagai ukuran yang dapat dilihat menunjukan bahwa nelayan tergolong tidak sejahtera. Pada komunitas nelayan terdapat lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Selain itu pendapatannya berfluktuasi ditentukan oleh musim serta status nelayan itu sendiri. Pemerintah memandang perlu untuk memperbaiki taraf hidup nelayan. Realisasinya dilakukan antara lain dalam bentuk modernisasi perikanan (Revolusi Biru). Bentuk modernisasi tersebut adalah perbaikan kualitas sarana penangkapan ikan yang lebih efektif dan efisien. Berbagai menunjukan dampak positif dari modernisasi. Akan tetapi di sisi lain terjadi pula dampak negatif modernisasi. Penerimaan maupun penolakan suatu hal baru berkaitan dengan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi. Proses tersebut bagi nelayan tidak terlepas dari pengaruh pemaknaan terhadap laut serta pekerjan nelayan bagi nelayan itu sendiri. Suku Bajo sebagai suku bangsa yang dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memiliki usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian satu-satunya untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui: (1) hubungan makna laut dan makna pekerjan nelayan terhadap penerimaan (adopsi) terhadap modernisasi perikanan (2) dampak modernisasi perikanan pada pola kerja nelayan Suku Bajo, struktur sosial nelayan Suku Bajo, serta tingkat kesejahteraan nelayan Suku Bajo. Penelitian dilaksanakan di Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dalam penelitian ini adalah nelayan ponggawa dan sawi lokal serta sawi luar. Penggolongan tersebut disusun berdasarkan kriteria penguasaan kapal dan alat tangkap serta peranannya dalam kelompok penangkapan. Setelah dilakukan pengkategorian, maka diperoleh sampel: ponggawa sebanyak 45 orang, sawi lokal sebanyak 30 orang, sawi luar desa sebanyak 25 orang. Untuk memperoleh informasi sejarah perubahan alat tangkap, dampak terhadap struktur sosial dan perubahan pola kerja digunakan informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (mini pursein dan pukat cincin) gae diperkenalkan di desa Lagasa tahun , serta menunjukan bahwa jumlah adopter cenderung lebih banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) dibanding Pengadopsi Cepat (PC) maupun Pengadopsi Sedang (PS). Kecenderungan terjadi bahwa Pengadopsi Cepat (PC) memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan adopter yang lebih lambat. PC memiliki umur lebih

5 muda, pengalaman lebih banyak pendapatan lebih tinggi serta pendidikan lebih lama dibanding katagori adopter lainnya. Pada pemaknaan laut, kebanyakan responden memberi makna ekonomi, psikologi dan budaya yang positif. Sedangkan pada makna pekerjaan nelayan kebanyakan responden memberi makna ekonomi, sosiologis, teologis dan budaya yang cenderung positif. Sementara untuk makna psikologis, sosiologis dan budaya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara ketiga adopter dengan perkataan lain baik pengadopsi cepat, pengadopsi sedang maupun pengadopsi lambat memaknai laut dan pekerjaan nelayan positif baik aspek sosiologis, psikologis dan budaya. Selain itu nampaknya terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Hubungan tersebut adalah semakin positif makna ekonomis maka adopsi inovasi semakin cepat. Sebaliknya semakin positif makna budaya kecenderungan adopsi cenderung semakin lambat. Modernisasi perikanan di desa Lagasa berdampak pada perubahan pola kerja yakni daya jelajah lebih jauh, jumlah pekerja (sawi) lebih banyak dengan sifat semi bebas dan perekrutan lebih selektif. Pembagian kerja lebih jelas dan berjenjang serta hierarkis. Terjadi pula dampak perubahan struktur sosial dengan sistem bagi hasil yang menjadi pranata nelayan, stratifikasi yang kompleks dan diferensiasi beragam dan pola hubungan semi eksploitatif. Dampak teknologi gae juga menghasilkan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar serta gizi anggota keluarga nelayan serta kesadaran pentingnya pendidikan bagi anggota keluarga. Kata kunci: respons modernisasi, komunitas nelayan, nelayan Suku Bajo..

6 @ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

7 RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) AWALUDDIN HAMZAH Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

8 Judul Penelitian Nama NRP Program Studi : Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) : Awaluddin Hamzah : A : Sosiologi Pedesaan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Ketua Ir. Nuraini W. Prasodjo,MS Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA Tanggal ujian: Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal lulus:

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Raha Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 21 September 1973 sebagai anak pertama dari enam bersaudara pasangan Hamzah Sanifu (Alm) dan Hanifa Batoa. Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh di Kota Raha, sedangkan pendidikan Sarjana (S 1 ) dtempuh di Kota Makassar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Melanjutkan pendidikan pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor atas biaya dari BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas RI. Pernah bertugas sebagai Pengajar Harian pada Sekolah Tinggi Pertanian (STIP) Wuna di Raha Kab. Muna Sultra tahun Selanjutnya tahun sebagai Pendamping (CDF) Program Sulawesi Agriculture Area Development Project (SAADP) Kab. Muna. Sejak tahun 2002 sampai sekarang bekerja sebagai Staf Pengajar pada Jurusan Sosek Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara. Aktif sebagai pengurus Yayasan Agrocomplex Foundation (ACF) Kendari.

10 PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia Nya sehingga Penulisan Tesis ini berhasil disusun. Tema yang dipilih ialah Respons Komunitas dengan judul: Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara). Terimakasih disampaikan kepada Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA (Ketua Komisi Pembimbing), dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS (Anggota) atas curahan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan. Demikian pula kepada Dr. Rilus A. Kinseng, MA yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi. Terimakasih pula kepada Rektor IPB Bogor, Dekan SPs, Dekan FEMA dan Ketua PS SPD SPs IPB. Terimakasih kepada Rektor Unhalu, Dekan Faperta serta Ketua Jurusan Sosek, Prof. Ir. H. Mahmud Hamundu, MSc, Prof. Dr. H. La Ode Abd Rauf dan Dr. Ir. Marzuki Iswandi, MSi atas rekomendasi studi. Khusus Prof. Mahmud, terimakasih atas bantuan moril dan materil serta nasihat berharga, Dirjen Dikti Depdiknas, serta Pimpinan Yayasan Damandiri. Tak lupa pula kepada Kades Lagasa, tokoh masyarakat, informan, responden dan enumerator. Terimakasih tak terhingga kepada Orang tua Hamzah Sanifu (Alm) dan Hanifa Batoa atas doa, perhatian dan kasih sayangnya. Demikian pula kepada mertua La Ode Hasta dan Ludya Sidalle, Adik-adik, Paman, Bibi serta seluruh keluarga atas bantuan serta dukungan moril dan materil. Kepada Rekan-rekan PS SPD khususnya S 2 dan S , rekan-rekan Unhalu dan Wacana Sultra, atas persaudaraan dan kekeluargaan yang terbina, Bapak Kost sekeluarga serta rekan sepondokan. The last, but not least, special thanks for Isteri tercinta Ida Hasta serta ananda tersayang Nabilah Zahra Hafizhah (Zahra), terimakasih atas kesabaran, doa kasih sayang serta motivasinya, You are my inspiration. Penulis mengharapkan kritik serta masukan demi penyempurnaan tulisan, serta pengembangan penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi pada pengembangan ilmu-ilmu sosial dan pengembangan komunitas khususnya Suku Bajo. Semoga semua usaha kita selalu dituntun dan dirahmati oleh Allah SWT. Amin! Bogor, Desember 2008 Awaluddin Hamzah

11 DAFTAR ISI RINGKASAN... DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI... PRAKATA... PENDAHULUAN Latar Belakang... Pertanyaan dan Masalah penelitian... Tujuan dan Kegunaan Penelitian... KERANGKA TEORITIS Komunitas Nelayan... Suku Bajo... Pemaknaan dan Tindakan... Pemaknaan... Hubungan Makna dan Tindakan... Modernisasi Sebagai Realitas Sosial... Definisi Modernisasi... Bentuk-Bentuk Modernisasi... Respons Terhadap Modernisasi... Dampak Modernisasi... KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran... Hipotesa Penelitian... Definisi Operasional... METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian... Teknik Pengambilan Responden... Metode Pengumpulan Data... Analisa Data... DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Sejarah dan Kedaan Alam Desa Lagasa... Fasilitas Lingkungan Desa... Kependudukan... Aktivitas Sosial Ekonomi... Struktur Sosial Penduduk... Potensi Sumberdaya Perikanan... RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter... Makna Laut dan Makna Pekerjaan Nelayan... Makna Laut Halaman i ii iii iv v vi

12 Makna laut dan Tingkat Adopsi... Makna Pekerjaan Nelayan Makna Pekerjaan Nelayan dan Tingkat Adopsi... Ikhtisar... DAMPAK MODERNISASI PERIKANAN Periode Penggunaan Koli-Koli... Pola Kerja Nelayan... Struktur Sosial Nelayan Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan... Periode Penggunaan Ngkuru-Ngkuru... Pola Kerja Nelayan Struktur Sosial Nelayan... Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan... Periode Penggunaan Gae... Pola Kerja Nelayan Struktur Sosial Nelayan Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan... Ikhtisar... VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... Halaman

13 DAFTAR TABEL No Judul Halaman 1 Topografi/Bentang Lahan Desa Lagasa Tahun Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Usia dan Jenis Kelamin Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Jenis Pekerjaan Perkembangan unit Alat Tangkap yang digunakan menurut jenisnya Karakteristik Responden Penelitian Pada Saat Adopsi Teknologi Sebaran Responden Ponggawa Pada Setiap Katagori Makna laut Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Nelayan Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Koli-Koli Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-Koli Pendapatan Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-koli Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Pendapatan Nelayan Ponggawa Pada Sarana Ngkuru-ngkuru Pendapatan Nelayan Sawi Pada Sarana Ngkuru-ngkuru Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Gae Posisi baru dalam Pola Kerja Armada Gae Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Gae Jumlah Responden Sawi pada Berbagai Posisi Kerja Sarana Modernisasi Sistem Bagi Hasil Kegiatan Penangkapan Mini Pursein (Gae) Perubahan Pendapatan Ponggawa Pada Penerapan Modernisasi Perubahan Pendapatan Sawi Pada Penerapan Modernisasi Perubahan Pola Kerja Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Perubahan Struktur Sosial pada Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Peningkatan Pendapatan Nelayan pada Sarana Tangkap

14 DAFTAR GAMBAR No Judul Halaman 1 Alur Kerangka Pemikiran Jembatan yang Berfungsi Sebagai Jalan dan Batas Dusun Rumah Penduduk Dibangun di atas Air Produksi Perikanan Laut Kabupaten Muna Tahun Produksi Perikanan Laut Desa Lagasa Tahun Diagram Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Adopter... 63

15 DAFTAR LAMPIRAN No Judul Halaman 1 Peta Lokasi Komunitas Suku Bajo di Sulawesi Tenggara serta Lokasi Penelitian Jenis Pekerjaan Selain Nelayan Sawi Luar Desa Komponen Biaya pada masing-masing sarana penangkapan Pendapatan Nelayan Ponggawa Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi Pendapatan Nelayan Sawi Lokal Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi Pendapatan Nelayan Sawi Luar Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi Gambar Rumah Suku Bajo dan Jembatan/Jalan Dibangun di atas Air Syarat dan Ciri Keluarga Sejahtera Daftar Pernyataan Setiap Pemaknaan Laut dan Pekerjaan Nelayan Metode Identifikasi Kemiskinan Pedesaan.. 124

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Mereka mendiami wilayahwilayah tersebut secara turun temurun dengan kebudayaan, kelembagaan, serta sistem sosial dan ekonomi lainnya masing-masing. Kegiatan ekonomi meliputi usaha pertanian termasuk didalamnya perikanan dan peternakan, perdagangan, jasa, pegawai negeri, serta aktivitas lainnya, dengan memanfaatkan sumberdaya alam serta sumber ekonomi lain. Aktivitas ekonomi tersebut tidak lepas dari interaksi antar individu serta kelompok intern etnis tersebut. Dalam interaksi intern masyarakat dalam satu etnis telah menimbulkan proses sosial dalam masyarakat itu sendiri. Geertz dalam Mubyarto et.al (1993) mencatat di Indonesia terdiri dari kurang lebih 300 etnik (suku bangsa) dengan kebudayaannya sendiri-sendiri, dengan 250 bahasa daerah yang berbeda. Berbagai suku serta etnis yang dimaksud mendiami wilayah dengan kondisi serta letak geografis yang beragam pula. Beberapa suku mendiami wilayah dengan geografis gunung/dataran tinggi sehingga masyarakatnya akan hidup dengan pola budaya, sistem sosial ekonomi yang menyesuaikan dengan letak geografis tersebut. Kehidupan masyarakat dataran tinggi pada umumnya hidup dengan bercocok tanaman pangan dan perkebunan. Sebagian suku lagi mendiami kawasan sekitar hutan, yang mengandalkan hidup sebagai petani ladang berpindah atau menggantungkan diri dengan memungut hasil hutan yang menyebabkan mereka hidup terisolasi. 1 Sebagian pula bahkan dalam kuantitas besar masyarakat tinggal dan hidup di daerah pantai dan pesisir, dengan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang tidak lepas dari laut (nelayan). Kondisi geografis ekologis desa pesisir mempengaruhi aktivitas ekonomi di dalamnya. Secara geografis, letak kepulauan Nusantara (Indonesia) sangat strategis dalam konteks perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur. Pada berbagai wilayah tersebut laut merupakan penghubung antara pulau-pulau 1 Djatmiko, E, Karakteristik dan Permasalahan Pedesaan di Indonesia, dalam Mubyarto (Eds) Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media.

17 tersebut disamping sebagai tempat utama kegiatan penangkapan ikan serta hasil laut lainnya oleh nelayan. Kusumastanto (2002) mencatat di Indonesia terdapat 42 kota dan 181 kabupaten terletak di kawasan pesisir. Sumberdaya ikan sebagai bahan konsumsi 90% berasal dari wilayah pesisir. Sementara Syam dalam Suhartini, et.al (2005) memperkirakan luas wilayah maritim Indonesia mencapai 5,8 juta Km 2 dan dapat menjadi potensi sumberdaya kelautan sebagai salah satu tumpuan harapan masa depan. Wilayah pantai dan pesisir merupakan salah satu area tempat hidup dan berusaha bagi masyarakat dari berbagai suku yang banyak mengandalkan hasil laut serta sumberdaya alam terbuka (open rescource). 2 Sumber-sumber alam yang berada di wilayah pantai dan pesisir dikelola oleh masyarakat dengan jenis pekerjaan pada umumnya berupa nelayan tangkap, serta pengumpul hasil laut. Winahyu dan Santiasi dalam Mubyarto et.al (1993) menambahkan dengan membandingkan masyarakat desa pesisir dengan masyarakat lain, nelayan merupakan lapisan yang paling miskin, dibanding dengan komunitas di luar pesisir. Pendapatan yang diperoleh nelayan sifatnya harian dan jumlahnya tidak bisa ditentukan. Selain itu pendapatannya berfluktuasi ditentukan oleh musim serta status nelayan itu sendiri (pemilik kapal atau anak buah). Berdasarkan ukuran yang dapat dilihat dari rumah tempat tinggal, pakaian, pemenuhan gizi, gaya hidup (life style), status sosial, secara umum nelayan tergolong tidak sejahtera. Pada komunitas nelayan terdapat lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Hanya sebagian kecil nelayan yang memiliki rumah yang relatif bagus, dan rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir. Pemerintah memandang perlu untuk memperbaiki taraf hidup nelayan. Usaha tersebut didukung pula oleh pihak pengusaha dalam melihat potensi bisnis perikanan. Realisasinya dilakukan antara lain dalam bentuk modernisasi perikanan (Revolusi Biru) oleh pemerintah dan swasta. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak lain dimaksudkan sebagai bentuk perhatian serta peningkatan kesejahteraan nelayan disamping untuk peningkatan produksi sebagai pemenuhan kebutuhan ikan dalam konteks nasional maupun regional dan lokal. Program tersebut antara lain, bantuan modifikasi sarana penangkapan, pemberian kredit bergulir masyarakat pesisir, penyuluhan lingkungan pesisir dan lautan. 2 Djatmiko, E Karakteristik dan Permasalahan Pedesaan di Indonesia dalam Mubyarto dkk, Ibid.

18 Pada dasarnya setiap program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat akan berdampak pada nilai dan norma serta budaya lokal. Demikian pula dengan kelestarian lingkungan laut dan pantai sebagai sumber utama kegiatan nelayan. Hampir seluruh pelaku program berasal dari luar komunitas yang terkadang tidak memikirkan nilai dan norma dalam suatu komunitas, kecuali hanya menjalankan dan mencapai tujuan program. Gejala tersebut ditambah dengan kemudahan akses komunikasi dan informasi yang sangat mudah dapat menggeser nilai ideal menjadi nilai aktual/kenyataan (actual values). 3 Pembangunan dan pengembangan komunitas nelayan sangat terkait dengan pembangunan perikanan sebagai produk utama kegiatan nelayan (penangkapan dan pengelolaan ikan atau sumberdaya laut lainnya). Berbagai pihak luar tertarik serta ikut andil dalam pengembangan perikanan tersebut baik karena dorongan moral dan tanggung jawab dalam hal ini misalnya pemerintah dengan programprogram melalui instansi terkait, LSM, maupun pihak dengan orientasi ekonomi/kapitalis seperti juragan kapal, perusahaan perikanan, tengkulak serta pihak-pihak lainnya. Kehidupan nelayan utamanya lapisan buruh dalam kegiatan produksinya (penangkapan ikan) sebagian besar tergantung dari hubungan baik dengan pihak juragan (pemilik kapal). Hal tersebut dikarenakan kekurangan ataupun ketiadaan modal finansial yang memadai. Kekurangan modal tersebut semakin menambah beban dan tantangan serta persaingan yang besar dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Disatu sisi nelayan buruh dengan kemampuan serta keterampilan menangkap ikan adalah potensi, disisi lain tidak adanya modal adalah kendala, mengingat wilayah laut adalah wilayah terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya yang ada di dalamnya. Intervensi/pembangunan ditanggapi beragam oleh berbagai kelompok masyarakat maupun tingkatan stratifikasi nelayan. Dalam komunitas nelayan perubahan yang nampak adalah berubahnya pola kerja, sistem stratifikasi baik karena dasar penguasaan alat produksi maupun mencakup pula kekuasaan. Perubahan strtatifikasi juga terjadi pada organisasi penangkapan sebagai implikasi dari alih teknologi tersebut, sehingga kelembagaan nelayan yang telah terbangun 3 Wirutomo (2005) membagi gejala menonjol dari proses perkembangan nilai di Indonesia adalah antara lain jurang antara nilai ideal dan nilai aktual.

19 sebelumnya biasanya akan terjadi perubahan pula. Terjadi pula diversifikasi usaha sebagai dampak dari alih teknologi (Satria, 2001) dimana dalam penelitian ini dimasukkan sebagai item modernisasi sektor perikanan. Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan permodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Program motorisasi perahu dan modernisasi perikanan tangkap pada 1980-an yang dikenal dengan istilah Revolusi Biru, menurut Solihin (2005) bukannya menciptakan perikanan tambah maju dan pelakunya (nelayan) menjadi sejahtera. Program tersebut justru menciptakan kompleksitas permasalahan perikanan yang diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Permasalahan yakni terjadi degradasi ekosistem lingkungan pesisir dan laut yang berujung pada kelangkaan sumber daya ikan. Terjadi pula dampak lanjutan yaitu kemiskinan nelayan, kesenjangan sosial, dan akhirnya konflik antar nelayan yang berkepanjangan hingga saat ini. Hal tersebut menjadi perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Sebelum program modernisasi perikanan oleh pemerintah, nelayan Suku Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, dimana salah satu cirinya adalah struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih rendah. Kehidupan sosial nelayan Suku Bajo setelah berlangsungnya modernisasi menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Kusnadi (2000) menjelaskan bahwa kemudahan akses sumberdaya ekonomi dan politik hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan. Kemampuan sebagian kecil nelayan tersebut mendorong terjadinya ketimpangan pemilikan alat produksi. Berbagai dampak modernisasi penyebab perubahan tersebut menurut Schoorl (1993) merupakan bagian dari keseluruhan proses transformasi kebudayaan masyarakat dengan segala konsekuensinya. Disamping itu nelayan sebagai pihak yang menggunakan teknologi sebagai bagian dari modernisasi tersebut diperhadapkan pada suatu pilihan untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi teknologi tersebut. Berbagai faktor yang mempengaruhi adopsi tersebut antara lain adalah bagaimana nelayan tersebut memaknai laut serta pekerjaan nelayan yang digeluti selama ini. Pemaknaan tersebut sangat penting oleh karena mencakup cara pandang mereka terhadap sesuatu/obyek yang berkaitan langsung dengan mata pencaharian mereka pada berbagai aspek yakni aspek ekonomi, sosial (sosiologis), religius (teologis), psikologis serta budaya.

20 Bagi suku bangsa yang masih memegang teguh tradisi dan budaya seperti halnya Suku Bajo, adopsi teknologi tidak semata-mata berkaitan dengan keuntungan finansial (ekonomi) yang diperoleh sebagai implementasi pemaknaan laut dan pekerjaan nelayan. Akan tetapi terdapat berbagai aspek yang cukup penting serta berpengaruh bagi adopsi teknologi tersebut. Suku Bajo sebagai suku bangsa yang dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memilih usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian satu-satunya untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya. Suku Bajo sejak dulu telah menempati laut, pesisir dan kepulauan, bahkan terkesan mereka tidak bisa melangsungkan aktivitasnya di daratan dibanding dengan suku lain seperti Bugis-Makassar yang mampu menyelenggarakan kehidupannya di semua tempat. Hampir setiap program modernisasi berdampak pada kehidupan serta sistem sosial dalam suatu komunitas tertentu. Suku Bajo mayoritas bekerja sebagai nelayan secara turun temurun. Oleh karena kehidupan Suku Bajo sangat dekat dengan laut, maka suatu hal yang perlu dikaji bahwa bagi mereka nelayan dan laut dapat dipandang sebagai budaya, sumber mencari nafkah ataupun sarana pelestarian lingkungan laut dan pesisir. Dinamika kehidupan yang sangat sulit dipisahkan dengan laut, membuat kajian tentang suku Bajo termasuk dari sisi kehidupan sosial menjadi menarik. Kajian Peribadi (2000) antara lain menyimpulkan bahwa dalam hal usaha mata pencaharian telah terjadi pergeseran dari orientasi sosial kepada orientasi ekonomi. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Wunawarsih (2005) dan mendukung hal tersebut dan menghasilkan kesimpulan relokasi penduduk menyebabkan terjadinya mobilitas vertikal contohnya peralihan posisi sawi menjadi ponggawa. Berbagai program pembangunan perikanan dan kelautan telah menyentuh dan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan komunitas Suku Bajo. Pertanyaan dan Masalah Penelitian Masuknya program modernisasi pada komunitas Suku Bajo jelas bersentuhan dengan nilai budaya, gaya hidup, dan disatu sisi berdampak pada efektivitas dan peningkatan hasil tangkapan nelayan. Alih teknologi dapat dipastikan menaikkan produksi dan pendapatan nelayan. Akan tetapi dampak sosiologis ketika modernisasi akan diterapkan maupun sedang diterapkan perlu dikaji dalam kerangka komunitas nelayan Suku Bajo.

21 Berdasarkan berbagai uraian tersebut berbagai pertanyaan yang dapat dikembangkan sebagai permasalahan penelitian: (1) Bagaimana hubungan antara makna laut dan makna pekerjaan nelayan dengan penerimaan suku Bajo terhadap modernisasi perikanan? (2) Bagaimana dampak Modernisasi Perikanan pada komunitas nelayan Suku Bajo (pola kerja nelayan, struktur sosial dan tingkat kesejahteraan)? Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui: (1) Hubungan makna laut dan pekerjaan nelayan dengan penerimaan Suku Bajo terhadap modernisasi perikanan. (2) Dampak Modernisasi Perikanan pada komunitas nelayan Suku Bajo (pola kerja nelayan, struktur sosial dan tingkat kesejahteraan) Sedangkan kegunaan penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta rekomendasi kepada pihak berkompoten (pemerintah, akademisi, LSM), berupa perbaikan bentuk dan model pengembangan masyarakat melalui potensi kelembagaan lokal komunitas pantai dan pesisir khususnya komunitas nelayan Suku Bajo di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian juga diharapkan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian serupa dalam fokus serta lingkup yang lebih luas.

22 KERANGKA TEORITIS Komunitas Nelayan Dalam mengkaji dinamika komunitas nelayan perlu dikaji pemahaman mengenai komunitas itu sendiri. Pengertian komunitas mencakup kelompok-kelompok yang terdiri atas sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan sebuah satuan kegiatan sosial, dengan kesadaran bersama dalam hal perhatian-perhatian,nilainilai budaya, dan tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai. 4 Berbeda dengan anggota masyarakat dimana tidak semuanya saling berhubungan, anggota komunitas semuanya berhubungan satu sama lain. Istilah komunitas (community) secara sosiologis memiliki arti yang berbeda dari masyarakat, dimana komunitas lebih bersifat homogen dengan diferensisasi sosial yang masih rendah (Satria, 2001). Komunitas perlu didefinisikan secara khusus sebagai sistem hubungan antar orang-orang dalam jumlah lebih besar dari kelompok, dimana Agusta (1998) menggambarkan bahwa anggota komunitas memiliki sejarah yang sama sehingga memiliki simbol-simbol kebersamaan yang dipegang kuat serta bisa berhubungan secara langsung serta terjalin keakraban. Dalam pemahaman lainnya, Ife (1995) mengemukakan bahwa secara sosiologis komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman perhatian bersama atau oleh tingkat interaksi yang tinggi dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama. Koentjaraningrat (1990) menggariskan adanya wilayah, kecintaan terhadap wilayah dan mempunyai kepribadian kelompok dan berbeda dari kelompok lain, dan membentuk ikatanikatan sosial bersama. Anggota komunitas dapat saja terdiri atas suku/etnik yang sama. Naroll dalam Bath (1988) memberikan batasan kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam kaitan itu, Bath (1988) menyimpulkan terdapat dua hal pokok yang dapat dibahas dalam mengamati kehadiran kelompok-kelompok etnik dengan 4 Suparlan, P Pembangunan Komunitas dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Nugroho, BS (Ed) Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos.

23 ciri-ciri unit budayanya yang khusus yaitu: (a) kelanggengan unit-unit budaya ini, (b) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut. Dalam hal struktur sosisl serta perubahan sosial yang terjadi menjadi hal yang menarik dalam studi suatu komunitas. Aspek penting komunitas yang perlu dikaji menurut Agusta (1998) mencakup pula penentuan apakah komunitas yang diteliti bersifat pedesaan atau perkotaan, bagaimana sifat warganya serta ciri utama alam sekitarnya. Jadi komunitas dapat didefenisikan sebagai sekelompok masyarakat dalam skala kecil yang hidup berkembang pada satu wilayah tertentu yang memiliki kebutuhan dan pekerjaan maupun budaya yang relatif sama serta terjalin keakraban yang erat antara anggota komunitas tersebut. Komunitas nelayan sendiri adalah sekelompok masyarakat dengan budaya dan mata pencaharian menangkap ikan maupun sumber hayati laut lainnya dalam bingkai saling mengenal dan terjalin keakraban satu sama lain. Dengan wilayah yang didominasi laut, sektor perikanan dan kenelayanan menjadi hal yang sangat penting. Dahuri et. al, dalam Dendi, A et.al (2005) menggambarkan sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya. Bagi nelayan, laut dan ikan merupakan area bebas untuk pemanfaatan sumberdaya milik bersama (common property). Klaim wilayah serta perlakuan terhadap laut seperti halnya tanah tidak mungkin terjadi. Nelayan harus bekerja di laut sebagai sumberdaya terbuka (open access) menyebabkan nelayan harus bekerja keras dengan resiko. Resiko tersebut antara lain cuaca buruk, serta persaingan kondisi sarana tangkap antar kelompok nelayan yang menyebabkan salah satu kelompok akan terkalahkan (Mubyarto et.al. 1993; Pollnack dalam Satria, 2002). Pada komunitas pantai dan pesisir, kehidupan nelayan menjadi suatu hal penting. Nelayan menurut Koentjaraningrat (1990) adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya adalah menangkap ikan atau sumber laut lainnya. Pada pengertian lainnya, Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya. Namun BPS (2001) lebih memperinci bahwa sebagai pekerjaan utama menangkap ikan di laut antara lain

24 karena keberadaan/jam kerja di laut lebih lama yakni paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama serta aktif menangkap ikan dan sumber hayati laut selama kurang lebih satu jam selama satu jam rutin dalam seminggu. Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik berbeda dengan komunitas lainnya yakni; (1) komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di laut, serta pesisir pantai sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, (2) masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang dominan ada di wilayah pesisir. Pada umumnya bersifat tradisional yang mengoperasikan alat tangkap sederhana baik tanpa atau dengan motor (Satria, 2002; Dahuri, 2000). Kehidupan laut dengan segala resiko tersebut menyebabkan nelayan umumnya bersifat keras dan tegas. Dari segi fisik, misalnya pada nelayan Mandar, bentuk tubuh nelayan rata-rata berperawakan kekar, serta kulit gelap kecoklatan (Alimudin, 2005). Hal tersebut dapat dimaklumi karena beratnya pekerjaan nelayan tangkap tersebut. Dalam hal ini Pollnac (1988) telah menguraikan bahwa untuk menjadi seorang nelayan umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan formal yang penting adalah fisik yang kuat untuk melakukan pekerjaan berat. Dalam hal pola hidup, nelayan sering dikaitkan dengan pola hidup boros, sehingga anggapan atau kesan umum adalah nelayan dianggap miskin, lemah dan kurang mampu mengembangkan diri, dianggap lemah, bodoh, tidak efisien dan kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri Mereka berperilaku agak royal pada kondisi dimana hasil tangkapan cukup banyak. Sedangkan pada saat paceklik penangkapan ikan, nelayan menjual apa saja yang dimilikinya atau mencari pinjaman kepada berbagai pihak (Mubyarto et.al, 1994; Masyhuri, 2000). Walaupun pandangan tersebut belum tentu tepat secara general pada kehidupan nelayan, program-program pemerintah selama ini belum memberikan gambaran kepercayaan penuh pada nelayan untuk mengembangkan potensi pada diri nelayan itu sendiri (Kartasasmita, 1996). Dari berbagai gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa seorang nelayan dapat diamati memiliki ciri khas fisik kekar, hitam kecoklatan. Sedangkan ciri khas perilaku pada umumnya boros serta tidak memiliki tabungan serta menempati laut pantai maupun pesisir sebagai tempat hidup dan mencari nafkah.

25 Oleh karena menetap di pantai dan pesisir tersebut maka pekerjaan menangkap ikan menjadi pekerjaan utamanya. Mengenai gambaran struktur sosial nelayan dikemukakan oleh Mintoro (1993) bahwa pada penangkapan sistem hubungan kerja yang terjalin bersifat mutualistik yang merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertentu. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan punggawasawi, di Pantai Utara Jawa dikenal dengan hubungan antara juragan-pandega, sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Masyhuri, 2000). Satria (2002) mengklasifikasi nelayan berdasarkan skala ekonomi menjadi nelayan kecil (small scale fisherman) dan nelayan besar (large scale fisherman). Struktur sosial nelayan, harus dapat dipisahkan antara nelayan pengusaha, nelayan pemilik, dan nelayan buruh. Mubyarto et.al (1984) membagi nelayan berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan yakni: 1. Nelayan strata atas (juragan) yang memiliki banyak modal serta sarana penangkapan dengan sejumlah Anak Buah Kapal (ABK). 2. Nelayan starata menengah, yakni yang memiliki sarana penangkapan tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarganya. 3. Nelayan strata bawah (pandega) yang memperoleh penghasilan dari hasil kerjanya sebagai buruh nelayan. Sedangkan Salman (1995) membedakan status nelayan di Bulukumba (Sulsel) berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Nelayan yang memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan lapisan atas yang disebut punggawa/pappalele. Lapisan berikutnya ditempati oleh nelayan yang memiliki keterampilan tinggi dalam melaut disebut juragan sedangkan lapisan paling bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya mengandalkan tenaga dalam penangkapan di sebut sawi. Sementara Satria (2002) membagi nelayan dilihat dari status penguasaan modal terdapat nelayan pemilik atau juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual tenaganya sebagai buruh atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK). 5 5 Satria, A Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo

26 Dalam perkembangannya, nelayan pemilik banyak pula yang lebih memilih bekerja di darat dari pada di laut, misalnya sebagai pengusaha es balok (Masyhuri, 2000), pengusaha batik (Satria, 2002), ataupun menurut Kusnadi (2000) lebih berperan sebagai pedagang perantara (pangamba). Bahkan ada pula pemilik berasal dari komunitas di luar nelayan yang tidak pernah melaut sama sekali. Kelompok tersebut dikatagorikan sebagai nelayan pengusaha. Persaingan tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan modern (pongawa dan sawi) dalam pemanfaatan sumber laut menyebabkan kehidupan nelayan dalam berbagai katagori sangat berbeda jauh. Memang penghasilan nelayan tradisional menurut Warianto (2004), berkurang karena sumber daya laut pun menyusut akibat ledakan penduduk. Namun penggunaan peralatan modern seperti drift gillnets dan pukat harimau (trawl) ternyata jauh lebih dahsyat dalam menyingkirkan kelompok nelayan kecil dalam wilayah perairan yang sah. Akan tetapi terdapat pula kasus hubungan patron-klien masih dalam kerangka saling membutuhkan. Anggraini (2002) menyimpulkan bahwa hubungan tengkulak dan nelayan di Panggang terjadi hubungan tanpa eksploitasi salah satu pihak. Artinya asumsi Masyhuri dan Nadjib (2000) bahwa hubungan patron-klien yang eksploitatif adalah tidak semuanya terjadi pada kehidupan nelayan adalah tepat. Legg dalam Masyhuri dan Nadjib (2000) mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien tersebut umumnya berkaitan dengan: a. hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama b. hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan mengandung keakraban c. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan Pada bagian lain Masyhuri, et.al (2000) melihat realitas lain yang relevan bahwa setiap kantong-kantong masyarakat nelayan terdapat investor asing yang menanamkan modalnya untuk usaha penangkapan ikan. Mereka umumnya pemilik modal bukan nelayan yang mengembangkan usahanya di sektor penangkapan ikan. Ini berarti usaha penangkapan ikan secara ekonomi berhasil. Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien (Masyhuri dan Nadjib, 2000; Satria, 2002; Kusnadi, 2000). Ikatan tersebut menurut analisa Abernethy (2000) bahwa masyarakat memiliki sistem tradisional untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Ikatan tersebut terjadi oleh karena penguasaan terhadap sumberdaya antara patron dan klien sangat berbeda. Masyhuri (2000) menggambarkan

27 terjadinya hutang piutang oleh nelayan pada saat hasil tangkapan kurang. Hutang kepada pihak patron dalam hal ini nelayan pemilik (juragan) dilakukan dengan jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan hanya akan dijual kepada pihak patron (Satria, 2002). Fenomena sosial tentang kemiskinan dan ketergantungan nelayan menurut Warianto (2004), antara lain juga disebabkan oleh pola hubungan kerja antara majikan dan nelayan. Memang pola hubungan antara patron dan klien tak terlalu eksploitatif, sebab nilai kerja sama masih terpelihara. Namun hasrat nelayan untuk keluar dari sistem yang telah mapan tidak mudah terwujudkan. Proses hubungan kerja kebapakan membentuk mentalitas nelayan yang secara ekonomis tergantung pada majikan. 6 Akibatnya, perasaan berutang budi di kalangan nelayan telah menjadi lingkaran setan yang tak mudah diselesaikan. Perasaan hutang budi tersebut terbangun terus menerus sehingga menimbulkan pola hubungan saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (juragan, ponggawa, tauke) dengan pihak pekerja (anak buah kapal, nelayan, pandega, sawi). Pola hubungan tersebut dapat digolongkan sebagai hubungan patron-klien bukan hanya dalam kegiatan kenelayanan akan tetapi juga dalam kehidupa sehari-hari. Suku Bajo Saat ini terdapat populasi Suku Bajo di Indonesia dan diantaranya hidup dan menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan Lee, 2007). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari orang laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Soesangobeng dalam Peribadi, 2000), tetapi menurut Hafid et.al (1996) suku Bajo berasal dari Luwu-Malili Sulawesi Selatan. Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas suku Bajo yakni (Hafid et.al,1996; Hamid, 1986, Mattulada, 1977; Peribadi, 2000), yakni: (1). Menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut, (2) menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun, serta (3) memiliki dialek bahasa yang sama. Selama ini stereotip yang ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup 6 Wariyanto, A Perlu Pemberdayaan Nelayan. (10 April 2004)

28 dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan penduduk yang hidup di darat (Hafid et.al, 1996). Akibatnya suku Bajo kurang terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan tersebut (Hamid, 1986). Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif (Hafid et.al, 1996). Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat. 7 Berbagai ciri khas fisik dan budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman mereka menetap di daerah mana saja. Di Bungku Selatan, Siregar (2001) menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam di laut, Orang Bajo memiliki kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut membuat Orang Bajo dikenal banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh. Pada masyarakat setempat, Orang Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak. Berbagai kepercayaan dan budaya suku Bajo menggambarkan bahwa laut dan sumber di dalamnya sangat dekat dengan mereka. Penelitian Hamid (1986) mengungkapkan antara lain bahwa orang Bajo percaya akan adanya pangngonroang sappa (penjaga karang), bertempat tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak dahulu suku Bajo terkenal sebagai pengembara lautan karena hidupnya berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat tinggal (Peribadi, 2000; Anonim, 1996). Mattulada (1977) dalam pandangannya menyatakan bahwa Suku Bajo di Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di air. Di mata Suku Bajo, laut adalah segalanya (Anonim, 1996). Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak. Orang Bajo menurut Peribadi (2000) dalam berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari. 7 Hafid, Y, P Hamid S Kila dan Ansaar Pola Pemukiman dan kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.

29 Hal tersebut ditunjang oleh falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua Temmaserang (Tiga unsur tidak dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan (Peribadi, 2000). Falsafah tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetika), benar dan salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, Peribadi (2000) dalam penelitiannya pada Suku Bajo di Kendari menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan pembangunan yang berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku Bajo sudah banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo. Perubahan menonjol sekarang ini Suku Bajo sudah dapat beradaptasi untuk tinggal didaratan. Walaupun wilayah tersebut bukanlah sepenuhnya darat (semi darat). Pola tersebut menjadikan mereka tetap menjaga akses mereka terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement) Orang Bajo di Bungku Selatan (Siregar, 2001) telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat yang khas. Akan tetapi pola tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang masih kental. Pemaknaan dan Tindakan Pemaknaan Dalam merespons sesuatu hal baru yang masuk dalam suatu komunitas baik ide, gagasan maupun barang baru, pemaknaan terhadap tindakan individu terhadap obyek yang bersentuhan langsung dengan hal baru tersebut sangat berkaitan erat. Bagi nelayan dalam merespons modernisasi/alih teknologi dikaitkan dengan pemaknaan laut serta nelayan itu sendiri. Pada bagian lain Veerger dalam Timban (2005) menjelaskan bahwa proses pemaknaan yaitu manusia mampu memberi atau menggunakan arti - arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian. Pada penelitian mengenai makna tanah bagi petani sayur, Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa petani memaknai tanah menjadi makna ekonomis makna sosiologis, makna psikologis, makna teologis serta makna budaya. Persentase ekstrim menunjukan makna ekonomis dan makna teologis tanah hampir mencapai 100% dari total responden lebih tinggi dibanding makna sosiologis, makna budaya dan makna psikologis. Kecenderungan makna ekonomis disebabkan kelangkaan sumberdaya menyebabkan tanah menjadi aset yang sangat berharga. Soenarto (2000) dan Poloma (2004) menyimpulkan pemikiran Herbert Blumer, bahwa:

30 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka, 2. Makna merupakan sesuatu produk sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia, 3. Penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses penafsiran Dengan mengkaji perspektif interaksionis simbolik Blumer, Poloma (2004) menyebutkan tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam. Manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui proses self indication. 8 Manusia merupakan mahluk yang tidak hanya menggunakan naluri, namun juga akal serta apat menafsirkan sesuatu yang ada di lingkungannya. Veeger dalam Timban (2005) mengungkapkan bahwa manusia adalah satu-satunya maluk di dunia yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian yang dikenal sebagai proses pemaknaan. Proses pemaknaan ini merupakan inti dari hakekat hidup sosial, dimana perilaku manusia bukan reaksi yang langsung menyusul terhadap stimulus melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti dari suatu tindakan yang akan dilakukan manusia. Pemaknaan menurut Osgood (Littlejohn, 1998) dinyatakan sebagai representasi internal yaitu suatu proses yang dawali dengan penerimaan stimulus fisik dari luar kemudian mendapat respon internal sampai akhirnya menciptakan respons yang tampak sebagai perilaku. Herbert Blumer seperti dikutip oleh Soenarto (1993) mengatakan bahwa makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) yang mengarahkan perilaku seseorang (Whyte, 1991) antara lain: sifat alamiah individu, pengalaman, pengetahuan, budaya dan struktur sosial masyarakat tempat individu itu tinggal. Selain itu, berkaitan pula dengan pemaknaan, Blumer seperti yang dikutip oleh Soenarto (1993) mengemukakan tiga pokok pikirannya yang disebut interaksionis simbolis yaitu: (1) Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai oleh sesuatu tersebut bagi sang 8 Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Blumer dalam Poloma, 2004).

31 pelaku; (2) Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya; (3) Makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih dahulu. Hasil penelitian Erari (1999) mengenai hubungan manusia dengan tanah di Irian Jaya, mengemukakan pemaknaan masyarakat terhadap tanah terdiri dari beberapa aspek yakni: a. makna teologis tanah menjelaskan bahwa tanah merupakan pusat dari segala kehidupan di alam ini. Manusia hanya dipanggil untuk mengolah tanah dengan penuh tanggung jawab. Beberapa kitab suci mengungkapkan kewajiban manusia dalam memelihara alam. b. makna ekonomis, menjelaskan bahwa tanah sebagai sumber hidup manusia, namun kenyataan memperlihatkan sikap bahwa tanah tidak dihargai dihormati dan dilindungi dan sebaliknya menjadi sumber konlik, karena hanya dipandang sebagai benda yang bernilai ekonomis belaka dan cenderung untuk dieksploitasi sehingga menjadi obyek kebutuhan manusia. c. tanah dalam perspektif hukum dipandang sebagai titik tolak dari berbagai undang-undang dan peraturan yang pada asarnya mengatur bagaimana tanah itu dimiliki dalam batas-batas satu negara. Dengan demikian tanah diatur dalam perspektif hukum positif tertulis. d. serta makna tanah dalam perspektif adat dan budaya Irian, menjelaskan bahwa berdasarkan perspektif Malanesia, tanah adalah segala-galanya. Dalam budaya dan agama dijelaskan bahwa tanah itu sakral. Ada suatu nilai spiritual penuh rahasia. Ia memiliki nilai religi yang dalam karena manusia berasal dan dilahirkan dari tanah. Beberapa suku memandang tanah sebagai ibu kandung yang memelihara manusia dan memberi hidup. Manusia tanpa tanah sama saja dengan kematian. Berkaitan dengan pemberian makna terhadap bekerja, Tim MOW (Meaning of Working International Research Team) seperti dikutip oleh Amanaty (Fauzia, 2002) menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh dalam proses pemaknaan antara lain adalah: (1) Variabel pribadi dan situasi keluarga, seperti usia jenis kelamin, pendidikan formal dan agama; (2) Pekerjaan saat ini dan sejarah karir,

32 seperti status pekerjaan, masa kerja; (3) Lingkungan sosial ekonomi secara makro. Dalam konteks kehidupan nelayan, Wahyono et.al (2000) membagi variabel penting dalam penilaian terhadap laut yakni: (a) tingkat kepentingan; (b) produktivitas, dalam arti mudah tidaknya proses distribusi berjalan serta (c) sistem kepercayaan terhadap laut itu sendiri. Dalam hal makna teologis, lebih lanjut Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa kehidupan reilgius (islam) petani yang masih kental menyebabkan pemaknaan teologis tanah lebih dominan. Mereka berpedoman pada ajaran agama yang mewajibkan untuk menghidupi keluarga antara lain dengan bekerja di tanah garapan adalah ibadah asalkan niatnya baik dan ikhlas. Disamping itu pudarnya nilai-nilai budaya menyebabkan proes makna budaya tanah persentasenya kurang signifikan. Sementara itu semakin rasional pemikiran petani menyebabkan lunturnya pula ikatan kemasyarakatan (makna sosiologis) serta aspek afektif dan emosional (makna psikologis). Pada penelitian mengenai partispasi masyarakat dalam pelestarian hutan lindung Tumpa Sulawesi Utara, Timban (2005) menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat berhubungan dengan makna hutan dari aspek budaya yang masih dominan dibanding makna ekonomis, sosiologis dan psikologis. Hal tersebut menyebabkan hutan masih terjaga kelestariannya. Lebih lanjut menurut Timban (2005) bahwa pemaknaan ekonomis yang dominan dapat menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan. Penelitian Timban (2005) yang melihat makna hutan bagi masyarakat kawasan hutan maupun Fauzia (2002) mengenai makna tanah bagi petani, memberikan konsepsi mengenai pemaknaan tersebut terdiri dari: a. makna ekonomis adalah penilaian terhadap obyek sebagai pemberi manfaat ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. b. makna sosiologis adalah penilaian terhadap obyek sebagai penguat kekerabatan yang memenuhi ikatan-ikatan sejak turun temurun sebagai tempat tinggal. c. makna psikologis adalah penilaian terhadap obyek berdasarkan nilai emosional dalam bentuk kemarahan, ketakutan atau kegembiraan. d. makna budaya adalah penilaian bahwa obyek memiliki aspek kesejarahan, budaya, adat ataupun mitos.

33 e. makna teologis adalah penilaian obyek berdasarkan nilai agama (religius) sejauhmana makna selalu dikaitkan terhadap hubungan dengan Tuhannya. Pemberian makna tersebut dapat didasarkan pada aspek ekonomis (pemenuhan kebutuhan hidup), sosiologis (hubungan sosial atau interaksi dengan orang lain), psikologis (arti yang berdampak pada emosional), budaya (kepercayaan bahwa laut bersifat magis serta berdasarkan adat istiadat turun temurun) serta makna teologis (kepercayaan dan keyakinan agama). Tindakan nelayan terhadap laut merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh berbagai makna. Thomas dalam Johnson (1990) menyatakan bahwa perilaku manusia tidak dapat dimengerti dengan baik jika hanya dilihat sebagai respon reflektif terhadap stimulus lingkungan saja. Sebaliknya ada suatu proses definisi subyektif yang berada diantara stimulus dan perilaku responsif tersebut. Tindakan yang harus dilakukan dan perlu dilaksanakan adalah mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang lain guna melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan sehingga sumber penghidupan itu dapat berguna dan berdaya guna bagi kehidupan selanjutnya. Menurut Rahardjo (2002) laut sebagai bagian dari alam semesta mempunyai kecirian tersendiri dibandingkan dengan bagian alam semesta lainnya seperti tanah, udara dan panas matahari. Kecirian yang berbeda nyata dan sangat besar antara laut dengan tanah telah memberikan kesempatan pada manusia untuk mengenalinya lebih dalam, terutama setelah dikaitkan dengan udara dan panas matahari diantara keduanya, agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan. Pemaknaan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang (Poloma, 1994). Vernon dalam Fauzia (2002) membagi empat faktor pengaruh pembentukan perilaku yakni: 1. manusia menempatkan diri berdasarkan situasi dimana ia dan proses interaksi dilakukan. 2. manusia menempatkan dirinya berdasarkan keberadaan orang lain (others) yang terlibat dalam proses interaksi. 3. manusia menempatkan dirinya terhadap dirinya sendiri (him self) yaitu terhadap status dan peran yang disandangnya. 4. manusia menempatkan dirinya berdasarkan benda-benda (non human object) yang terdapat di sekitar tempat ia melakukan interaksi.

34 Dari keempat faktor tersebut terlihat bahwa perilaku seseorang akan sangat tergantung pada cara pandang orang tersebut terhadap situasi, keberadaan orang lain, status dan peran dirinya sendiri serta benda-benda yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, laut serta pekerjaan nelayan sebagai salah satu benda (non-human object) juga memiliki kemungkinan untuk membatasi perilaku manusia melalui penilaian manusia tersebut terhadap obyek tersebut kemudian dikaitkan dengan interaksi yang terjadi. Oleh karena itu, penilaian (makna) laut dan pekerjaan nelayan sebagai bagian dari proses interaksi akan mempengaruhi perlakuan nelayan terhadap laut maupun terhadap pekerjaannya tersebut. Pada bagian lain Sarwono (1992) menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk sosial perilakunya banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari lingkungannya (obyek lain, situasi) dan dari dalam diri sendiri (motivasi dan kebutuhan). Selain itu pengalaman juga turut mempengaruhi perilaku. Sedangkan pengalaman itu sendiri dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh kebudayaan dan pengalaman. Maka dengan demikian variabel yang mempengaruhi makna adalah faktor sosial ekonomi individu dalam hal ini karakteristik seseorang, faktor lingkungan berupa kondisi alam, kebijakan pemerintah maupun sosial budaya masyarakat serta hubungan serta keterlibatan pada obyek antara individu dengan obyek yang dimaknai. Dalam konteks nelayan, hubungan dengan laut dan pekerjaan sebagai nelayan terkait dengan pengalaman usaha menangkap ikan, lamanya tinggal dan menetap di pantai serta kepentingan terhadap laut dan pekerjaan nelayan itu sendiri. Hubungan Makna dan Tindakan Perilaku menurut Suparta (2001) adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis serta pola perilaku dikatakan sebgai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Sementara Sarwono (1992) mengartikan periaku sebagai perbuatan-perbuatan manusia baik yang kasat indera atau yang tidak kaa indera seperti sikap, minat dan emosi. Perilaku manusia sangat bervariasi karena setiap individu berbeda keinginan kebutuhan dan tujuan.

35 Tindakan menurut Blumer mengandung makna yang berbeda dari sekedar behavior. G.Herbert Mead (Ritzer, 2004) mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor. Pembentukan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang. Vernon (Fauzia, 2002) mengatakan bahwa perilaku secara sosiologis dipandang sebagai suatu hal yang timbul dari kegiatan resiprokal saling memberi dan menerima yang menggambarkan ketergantungan manusia terhadap lainnya dan menyesuaikan setiap tindakan mereka berdasarkan harapan-harapan setiap pelaku dalam proses interaksi tersebut. Proses resiprokal tersebut menimbukan pula pemaknan yang berbeda untuk suatu obyek pada masyarakat yang berbeda. Pemaknaan tanah sangat penting bagi petani pada berbagai aspek (Erari, 1999; Fauzia, 2002), hutan bagi penduduk sekitarnya (Timban, 2005; Awang et.al, 2005; Iskandar 1992). Akan tetapi bagi Suku Bajo maupun Suku Laut ataupun masyarakat pesisir lainnya, pemaknaan laut pada berbagai aspek sangat penting pula (Peribadi, 2000; Wahyono et.al, 2000; Kusnadi 2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pemaknaan dan perilaku seseorang adalah melekatnya status dan peran yang ada pada dirinya. Linton seperti di kutip oleh Soemardjan dan Soemardi (1964) mengatakan bahwa status merupakan posisi-posisi tertentu dalam hubungan timbal-balik (interaksi). Menurutnya status dilekatkan dengan partisipasi seseorang pada suatu pola hubungan tertentu dan bisa merupakan kumpulan posisi yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu pola tertentu. Status juga diartikannya sebagai suatu kumpulan hak dan kewajiban, yaitu sesuatu yang dapat ia terima sekaligus keharusan-keharusan yang harus ia lakukan berkaitan dengan status yang disandangnya. Berbagai penelitian menunjukan terdapat hubungan antara makna dan tindakan. Iskandar (1992) dalam penelitian pada masyarakat Baduy menyimpulkan bahwa tindakan mereka merawat serta bersahabat dengan hutan karena mereka memaknai hutan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan. Masyarakat Penogatu sekitar kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara telah lama menerapkan hidup untuk selaras dengan alam (homeostatis) karena menilai bahwa satwa serta tumbuhan yang

36 ada bukan milik mutlak mereka, tetapi juga untuk generasi berikutnya. Disamping itu eksploitasi yang berlebihan bisa membuat alam menjadi murka dan merugikan mereka sendiri (Awang et.al, 2005). Akan tetapi tidak jarang pemaknaan terhadap sesuatu bisa mengalami pergeseran seiring dengan perubahan sosial serta desakan ekonomi. Kusworo (2000) menemukan adanya sikap frustasi penduduk lokal kawasan hutan di Lampung karena mendapat perlakuan diskriminasi sehingga tidak ada sumber hidup selain berladang dan merambah hutan. Perubahan juga diperlihatkan masyarakat adat Kontu Muna terhadap hutan dalam menyikapi kebijakan pemerintah setempat yang ditandai dengan kecenderungan untuk menebang pohon untuk kepentingan komersil yang sebelumnya cenderung merawat hutan ( Pada masyarakat nelayan, Alimudin (2005) menemukan perubahan makna budaya laut seiring perubahan penggunaan sarana tangkap pursein maupun mini pursein yang menggantikan perahu sande. Berbagai ritual dan tradisi yang mengiringi kegiatan melaut berangsur ditinggalkan. Pada komunitas Bajo, Peribadi (2000) melihat terjadi pergeseran budaya nelayan pada generasi muda Bajo yang kurang mengerti makna serta maksud berbagai ritual melaut. Mereka melakukannya sekedar rutinitas belaka dan cenderung menilai nelayan hanya sebagai sumber mencari nafkah yang mengarah pada komersialisasi dan rasionalisasi. Pembentukan tindakan/perilaku manusia adalah sebagai hasil dari proses pemaknan yang diwujudkan dalam interaksi yang dilakukan. Pemaknaan terhadap laut maupun pekerjaan nelayan meliputi penafsiran interpretasi atau pemberian arti yang dilakukan nelayan terhadap laut maupun pekerjaan nelayan tersebut. Oleh karena kepentingan terhadap laut sangat tinggi sebagai sumber mata pencaharian menjadikan laut sangat bernilai bagi nelayan (Wahyono et.al, 2000). Sebaliknya bagi mereka yang keperluan hidupnya tidak bergantung dengan laut, nilai laut menjadi rendah. Kepentingan terhadap laut juga berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat (Pollnac dalam Wahyono et.al, 2000). Sistem kepercayaan masyarakat tertentu akan berbeda perlakuannya terhadap laut dibanding masyarakat lain. Dalam perkembangannya pemaknaan terhadap obyek dapat berubah ataupun bergeser. Perubahan tersebut dapat terjadi karena faktor lingkungan seperti kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak menguntungkan, maupun dampak sosial akibat masuknya teknologi. Dampak teknologi baru dpat

37 menggeser makna obyek dari pemaknaan sosial dan budaya menjadi sepenuhnya pemaknaan komersil (ekonomi), jika teknologi tersebut mendatangkan manfaat ekonomi. Sebaliknya jika teknologi tersebut tidak mendatangkan manfaat ekonomi pemaknan ekonomi juga tidak terlalu mendapat perhatian. Modernisasi Sebagai Realitas Sosial Definisi Modernisasi Modernisasi adalah salah satu perspektif Sosiologi Pembangunan lahir setidaknya berkembang hingga kini, menurut Suwarsono dan So (1994) merupakan produk sejarah dari tiga peristiwa penting dunia setelah masa perang Dunia II. Salah satunya adalah dengan munculnya Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan dominan dunia yang ditandai dengan pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan untuk membangun kembali Eropa Barat akibat Perang Dunia II. Modernisasi secara umum dapat digambarkan sebagai proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Secara istilah, modernisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2001) adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Modernisasi dalam realitasnya menurut Sajogyo (1985) semakin banyak dipakai dalam pengertian yang lebih sempit dari pembangunan. Dengan kata lain istilah modernisasi dan pembangunan tidak digunakan dalam arti yang sama dan tidak pula mengandung ciri yang sama. Dalam pandangan lain, modernisasi menurut Koentjaraningrat (1982) dapat dipandang sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis. Seperti dipahami pula bahwa lahirnya perspektif modernisasi tidak lepas dari pengaruh ataupun pemikiran teori evolusi dan teori fungsionalisme struktural. Pemikiran tersebut mendasari pembentukan teori modernisasi. Menurut teori evolusi, perubahan sosial merupakan gerak searah, linier, progresif dan perubahan tersebut berawal dari primitif/tradisional (pra industri) menuju masyarakat modern dan lebih maju. Rostow (Suwarsono dan So, 1994) membedakan fase pertumbuhan ekonomi masyarakat modern merupakan masyarakat yang dicita-citakan. Dalam masyarakat modern terkandung konsep kemajuan, kemanusiaan dan sivilisasi. 9 Dari pengaruh teori evolusi pula maka modernisasi pada saatnya dianggap sesuatu yang dibutuhkan bukan saja sesuatu yang pasti terjadi. 9 Suwarsono, dan So, AY Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

38 Walaupun dalam waktu yang cukup lama dan menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. Seperti misalnya pemikiran Rostow yang kurang memberi perhatian pada efek samping modernisasi bagi masyarakat. Modernisasi juga berangkat dari pemikiran teoritis fungsionalis struktural. Mereka memberikan tekanan pada keterkaitan dan ketergantungan lembaga sosial. Seperti halnya Smelser yang memfokuskan pada kajian diferensiasi struktural. Dalam modernisasi, diferensiasi struktural menurut Sajogyo (1985) dapat diterapkan pada bermacam-macam bidang kehidupan ataupun aspek kebudayaan. Diferensiasi struktural dalam masyarakat tradisional lebih sederhana dibanding masyarakat modern yang jauh lebih produktif. Sedangkan Chodak dalam Sztompka (2004) mendefinisikan modernisasi adalah contoh khusus dan penting dari kemajuan masyarakat, contoh usaha sadar untuk mencapai standar kehidupan yang lebih tinggi. Dalam proses diferensiasi akibat modernisasi tersebut, Neil J Smelser (Long, 1987) menekankan pentingnya integrasi (penyatuan) atas struktur baru tersebut. Ciri struktural tersebut berdasarkan pemikiran Talcott Parsons, bahwa diferensiasi disatu pihak meningkatkan otonomi di lain pihak menimbulkan bentuk integrasi baru (Sajogyo, 1985). Oleh karena itu, modernisasi memandang penting kordinasi struktur walaupun tidak dapat diselesaikan secara sempurna. Dari asumsi tersebut, tergambar bahwa dalam modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Hal tersebut juga didasari pemikiran bahwa modernisasi menganggap keterbelakangan dapat diatasi dengan perubahan sikap tradisional menjadi sikap modern. Dalam mencapai status modern Huntington (Suwarsono dan So,1994) melihat modern dan tradisional merupakan bentuk yang asimetris, sehingga segala yang dianggap tradisional (tidak modern) harus diganti. Dapat dikatakan bahwa penekanan modernisasi terhadap kemajuan serta peningkatan produksi termasuk penanggulangan kemiskinan adalah alih teknologi dan modal disertai oleh perubahan mental modern. Dalam hal ini dapat disimpulkan pula bahwa modernisasi merupakan proses sistematik dan transformatif Suwarsono, dan So, AY Ibid.

39 Bentuk-Bentuk Modernisasi Sebagai aliran ataupun paradigma pembangunan, modernisasi menganggap keterbelakangan dapat ditanggulangi dengan transfer teknologi dan modal dari masyarakat modern bagi masyarakat yang dianggap belum modern. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Sztompka (2004) bahwa pengertian relatif modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun oleh elit penguasa. Bertitik tolak dari asumsi modernisasi yang dipengaruhi kedua teori tersebut (teori evolusi dan fungsionalisme struktural), terlihat bahwa tahap kemajuan suatu masyarakat dapat terjadi dengan perubahan teknologi produksi secara mendasar. Schoorl (1993) menggunakan indikator perluasan penggunaan alatalat dan sumber energi tak bernyawa untuk melipatgandakan hasil kerja. Sedangkan Weiner dalam Sajogyo (1985) memandang modernisasi sebagai upaya penerapan teknologi oleh manusia untuk menguasai sumber-sumber alam demi menciptakan peningkatan nyata pertumbuhan hasil. Berbeda dengan ekonom, pendekatan modernisasi bagi sosiolog, menurut Suwarsono dan So (1994) jelas menitikberatkan pada diferensiasi struktural. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami variasi bentuk-bentuk modernisasi oleh Tjondronegoro dalam Sajogyo (1985) antara lain bahwa: pembangunan disamakan dengan modernisasi; bahwa unsur teknologi masih diutamakan dan diasumsikan kebaikan tranfer teknologi tersebut akan tersalur. Yang dimaksud dengan modernisasi perikanan adalah pengembangan teknologi berupa motorisasi alat dan bantuan modal perikanan tradisional mejadi sarana yang lebih efektif dan efisien. Secara sederhana menurut Satria, (2001) modernisasi perikanan merupakan peralihan cara-cara tradisional dengan teknologi yang lebih modern. Alih teknologi dapat berupa motorisasi sarana penangkapan lazim diistilahkan dengan Revolusi Biru, serta bantuan permodalan yang masuk pada komunitas nelayan. Salah satu bentuk misalnya pemberian kredit kepemilikan motor. Tujuan pemerintah memberikan kredit perikanan sebagai salah satu bagian modernisasi yaitu meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan. Pada nelayan Bali, Yudana et.al (1991) mencontohkan bahwa modernisasi berupa motorisasi perahu dilakukan karena keinginan untuk dapat melakukan penangkapan pada jangkauan jauh yang lebih banyak memiliki sumber ikan.

40 Berbagai program alih teknologi mendapat dukungan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan, misalnya menurut Parlis dalam Hewerning (2003) bahwa program modernisasi perikanan diperkuat oleh Keppres no 39/1980 tentang kredit perikanan pola pangan. Penerapan modernisasi bagi nelayan selalu melibatkan pemerintah, termasuk dengan kewenangannya untuk memaksakan penerimaan dan penggunaan alih teknologi itu bagi nelayan (Pieter, 1987; Satria, 2001; Herwening, 2003). Program modernisasi sektor perikanan telah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia dan dimulai sejak tahun 1970 melalui bentuk kapitalisasi perikanan (Satria, 2001). Bahkan menurut Masyhuri (2001) modernisasi telah dimulai awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar. Modernisasi tersebut berlangsung terus sampai saat ini dengan berbagai inovasi alat tangkap dan modifikasi program lainnya. Sejarah modernisasi perikanan pada umumnya dilatar belakangi keinginan pemerintah untuk meningkatkan hasil tangkapan yang berimbas pada kesejahteraan nelayan itu sendiri. Salah satu aspek penting dari modernisasi bidang perikanan ini adalah subtitusi teknik produksi dari cara-cara tradisional kepada cara yang lebih rasional (Kusnadi, 2000). Perihal kebijakan modernisasi ini, Rice (1991) menjelaskan bahwa hasil dari peningkatan produktivitas tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas kesejahteraan nelayan. Urgensi modernisasi perikanan menurut Satria (2002) adalah melalui perbaikan teknologi atau alat tangkap untuk peningkatan produksi karena masih terjadi under capacity. Potensi sumber daya ikan yang ada mengharuskan untuk dilakukan alih teknologi untuk mendukung pemanfaatan dan eksploitasi maksimal potensi tersebut. 11 Pada umumnya peningkatan kualitas sarana penangkapan tersebut didorong oleh upaya meningkatkan produksi perikanan. Sebenarnya modernisasi perikanan melalui perubahan teknologi, bukan hanya terjadi melalui adopsi, akan tetapi menurut Satria (2002) dapat pula melalui inovasi. Artinya penemuan baru dalam masyarakat itu sendiri dapat terjadi antara lain karena kesadaran akan kekurangan dalam kebudayaan, serta rangsangan pendorong mutu, serta ketidakpuasan akan keadaan saat ini (Koentjaraningrat, 1982). 11 Winahyu dan Santiasi Pengembangan Desa Pantai. Dalam Mubyarto dkk Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media.

41 Sementara pada beberapa tempat, modernisasi terjadi kerena proses adopsi, seperti halnya nelayan Pelabuhan Ratu oleh nelayan Bugis (Herwening, 2003), nelayan Pekalongan oleh nelayan Bagan Siapi-api (Satria, 2001), serta nelayan Bima oleh nelayan Bugis yang memperkenalkan alat tangkap bagan (Satria, 2002). Respons Terhadap Modernisasi Respons menurut terminologi adalah suatu tanggapan atau reaksi akan terjadi setelah seseorang atau sekelompok orang memperhatikan, memahami dan menerima stimulus yang menghampirinya berbentuk nyata (Suardiman dalam Thamrin, 2002; Depdiknas, 2001). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Mar at (1982) bahwa respons menurut terminologi adalah suatu tanggapan atas reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap rangsangan atau stimulus yang dihadapinya. Sedangkan Thomas dalam Johnson (1990) menyimpulkan individu merespon suatu stimulus dengan perantara sikapnya. Dalam hal modernisasi, respons yang berbentuk perilaku nyata berarti suatu upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya. Mar at (1982) mengutip pendapat sosiolog Janis dan Kelly bahwa proses timbulnya respon didahului oleh hal-hal: perhatian, pengertian, penerimaan terhadap stimulus yang ada. Modernisasi perikanan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk inovasi dalam satu masyarakat atau komunitas. Masyarakat yang sedang membangun menurut Rogers dan Shoemaker (Hanafi,1981) berkepentingan dengan inovasi, baik gagasan, tindakan atau barang-barang baru. Inovasi itu sendiri merupakan pangkal terjadinya perubahan sosial. Sebab seperti dikemukakan oleh Satria (2002) bahwa perubahan teknologi perikanan, perikanan tangkapan maupun budidaya, secara antropologis dilihat sebagai perubahan kebudayaan. Menurut Mosher (1983) yang mengkaji masyarakat petani, sumber perubahan teknologi berasal dari teknik kerja petani lain, mendatangkan dari daerah lain serta percobaan terarah. Dalam suatu proses inovasi, penemuan baru dalam masyarakat disebut discovery. 12 Sedangkan penemuan yang diakui dan diterima dalam suatu masyarakat dinamakan invention (Koentjaraningrat, 1982). Sistem mata pencaharian yang selaras dengan sosial budaya suatu komunitas juga berkaitan dengan 12 Satria, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo

42 respons terhadap teknologi baru (modernisasi). Penelitian Iskandar (1992) terhadap ekologi perladangan Suku Baduy telah membuktikan hal itu. Dalam satu komunitas yang komunal, masuknya program modernisasi tidak langsung diterima begitu saja oleh anggota komunitasnya, walaupun berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri. Penerimaan maupun penolakan berkaitan dengan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi (Hanafi, 1981), pelapisan sosial dalam masyarakat (Soewardi, 1976), pola ekologi dan kebijakan pemerintah (Geertz, 1976), disamping nilai-nilai serta budaya masyarakat itu sendiri (Dove, 1985). Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh anggota sistem sosial yang diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi dalam suatu periode tertentu. Respons terhadap teknologi baru berupa penerimaan ataupun penolakan menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1981) juga dipengaruhi oleh sifat-sifat inovasi antara lain: (1) keuntungan relatif, (2) kompatibilitas (keterhubungan dengan nilai budaya), (3) kompleksitas (kerumitan), (4) triabilitas (dapat dicoba) serta (5) observabilitas (dapat diamati). Berbagai fakta empiris menyimpulkan bahwa adopsi inovasi tidak berlangsung mulus, dalam artian adopter pada awalnya menerima tetapi pada akhirnya menolak maupun sebaliknya, menolak selanjutnya menerima (Hanafi, 1981). Dalam hal; katagori adopter, Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1981) membagi menjadi adopter inovator, pelopor, pengikut awal, pengikut akhir serta lagard. Katagori tersebut mengikuti model kurva normal dimana tahapan awal dengan jumlah adopter inovator maupun pelopor belum terlalu banyak. Selanjutnya meningkat untuk pengikut awal dan pengikut akhir dan menurun untuk adopter lagard. Pembagian adopter tersebut bukanlah suatu yang mutlak, sesuai dengan konteks sosial adopter, maupun jenis teknologi baru yang diperkenalkan tersebut. Selain itu hal lain yang dapat menjadi variabel penjelas kecepatan (respons) adopsi adalah (a) tipe keputusan inovasi, (b) sifat saluran komunikasi, (c) ciri sistem sosial serta (d) gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan inovasi. Sementara Soemardjan dan Breazeale (1993) mengemukakan bahwa pada sebuah masyarakat pedesaan mungkin akan menerima sebuah program baru jika mengikuti keadaan: 1. melayani kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat.

43 2. konsisten dengan sistem nilai dalam masyarakat yang ada. 3. tidak melebihi kemampuan teknologi masyarakat. Perubahan kedua model penerimaan tersebut dalam konteks nelayan dapat disebabkan oleh fakta empiris (keberhasilan atau kegagalan) (Satria, 2002), penggunaan yang ramah atau merusak lingkungan maupun sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan budaya setempat (Wahyono et.al, 2001), serta karena keputusan otoritas (Hanafi, 1981). Bagi masyarakat (adopter) yang mampu bertahan tetap concern dengan inovasi tersebut. Dalam perkembangannya, inovasi juga menjadikan adopternya melakukan adjustment selain adaptasi. Manusia menurut Sarwono (1992) menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar (adopsi), sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluannya (adjusment). Dalam hal ini, masyarakat akan melakuan adjustment dengan teknologi model lainnya. Maka respons pada inovasi dapat dilihat pula dari bentuk-bentuk adopsi ataupun djusment yang mereka lakukan. Bagi petani, Mosher (1983) selanjutnya menambahkan bahwa suatu teknik baru harus dapat memberi kenaikan hasil, atau mengurangi biaya dengan sangat menyolok, barulah dapat diterima oleh kebanyakan petani. Dampak Modernisasi Oleh karena modernisasi menekankan pentingnya alih teknologi, maka pola kerja lama akan berubah pula dalam pola kerja baru. Pola kerja baru tersebut dalam suatu masyarakat maupun komunitas dapat pula berimplikasi pada kehidupan sosial. Satria (2001) menjelaskan bahwa dalam berbagai studi dan kajian menunjukkan bahwa ada pengaruh modernisasi yang sangat kuat terhadap perubahan struktur sosial, yakni terciptanya stratifikasi sosial baru yang sekaligus mendorong terjadinya mobilitas sosial. Berbagai penelitian dalam konteks masyarakat petani, modernisasi menimbulkan dampak pada perubahan struktur sosial (Hayami dan Kikuchi, 1987; Husken, 1998 dan Amaludin, 1987). Dampak modernisasi tersebut menunjukkan segi positif yakni peningkatan produksi dan meningkatkan pendapatan, seperti halnya pemakaian huller pada masyarakat desa (Sajogyo, 1985). Penerapan motor tempel pada kegiatan penangkapan ikan di Batu Nampar misalnya, telah berdampak pada; (1) aspek penangkapan ikan (peralihan alat tangkap tradisional menjadi modern) dengan hasil tangkapan lebih banyak, (2) aspek sarana transportasi yang lebih cepat, (3)

44 aspek pengembangan budidaya rumput laut; dapat memperoleh hasil panen yang baik serta pengetahuan akan varietas yang lebih baik (Saba, 2003). Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama, telah mengantarkan teknologi ke daerah pedesaan dan telah terjadi swasembada beras tahun 1984 (Tjondronegoro, 1988), serta mengangkat Indonesia dari importir beras terbesar menjadi berswasembada (Tjondronegoro, 1999). Walaupun dua studi kasus penelitian Deuster (1980) mengenai dampak modernisasi dalam hal ini Revolusi Hijau di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat menyimpulkan bahwa peningkatan besar-besaran dalam produksi beras tidak dengan sendirinya berarti peningkatan pendapatan secara keseluruhan. Penelitian SAE telah menunjukan bahwa pemakaian teknologi mekanisasi oleh pengolah tanah (Sinaga dan White, 1987) dan pengolahan hasil pertanian (Collier et.al dalam ) menimbulkan akibat negatif terhadap kesempatan kerja dan distribusi pendapatan. Penggunaan sarana teknologi modern juga telah memaksa petani untuk berfikir semakin rasional dan komersil (Siahaan, 1980). Kondisi tersebut pada akhirnya memudarkan kewajiban sosial serta pecahnya ikatan komunitas dalam kehidupan petani. Dari berbagai pengertian modernisasi dapat diidentikan dengan industrialisasi dan berimplikasi pada perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Pada kasus modernisasi pertanian (Revolusi Hijau), Tjondronegoro dalam Satria (2001) menjelaskan terjadi polarisasi sosial karena penguasaan sumberdaya oleh salah satu pihak (tuan tanah) akibat modernisasi, sementara kajian Hayami dan Kikuchi (1987) pada petani Jawa tidak melihat terjadinya polarisasi (meskipun tidak menyangkal) akibat revolusi hijau (alih teknologi). Dalam hal ini menurut Tjondronegoro bahwa penguasaan alat berdampak pada timbulnya proses stratifikasi, penguasaan atas sumber daya dan berbagai fasilitas akan berlangsung terus (Satria, 2001). Akibatnya stratifikasi tersebut menimbulkan suatu polarisasi dalam kehidupan sosial. Sedangkan bagi Hayami dan Kikuchi (1987) bertambahnya jumlah lapisan atas (tuan tanah) akibat revolusi hijau tersebut belum memandang telah terjadi polarisasi karena masih kuatnya pranata serta ikatan moral. Akan tetapi Hayami dan Kikuchi pun mengkhawatirkan bahwa penetrasi ekonomi pasar pada saatnya akan menghancurkan pranata tersebut. Modernisasi juga bisa mengakibatkan migrasi penduduk besar-besaran oleh penduduk desa di Jawa oleh karena tidak mampu beradaptasi dengan teknologi modern. Akibatnya tenaga kerja sektor pertanian berkurang (Tjondronegoro, 1999).

45 Berbagai penelitian menunjukan bahwa modernisasi perikanan telah meningkatkan produktivitas hasil tangkapan (Pranadji, 1995; Tim Antropologi Unipad, 1991; Yudana, et.al 1991). Sarana produksi baik alat tangkap maupun kapal hasil modifikasi serta inovasi menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif dan efisien, serta jangkauan melaut lebih jauh pada area dengan sumber ikan lebih banyak. Data mengenai dampak modernisasi telah ditunjukan oleh Bailey dalam Kusnadi (2000) bahwa telah terjadi peningkatan produksi perikanan nasional. Berdasarkan laporan dari FAO (Widjayanto, 2004) produksi perikanan tangkap Indonesia berada pada peringkat 4 dunia, sedangkan produksi perikanan budi daya pada peringkat 3 dunia. Bahkan Tim Antropolog Unpad (1991) menemukan indikasi bertambahnya motivasi nelayan untuk bekerja lebih giat karena tangkapan yang selalu meningkat, serta pengetahuan akan area penangkapan yang baru. Satria (2002) juga menggambarkan dampak positif kelangsungan modernisasi perikanan antara lain: a. terjadinya peningkatan produksi perikanan b. meningkatnya pendapatan nelayan c. mendorong tersedianya lapangan kerja baru Akan tetapi di sisi lain modernisasi perikanan juga telah menciptakan berbagai permasalahan bagi kehidupan nelayan itu sendiri, seperti telah dikemukakan pada bagian Pendahuluan rencana penelitian ini. Solihin (2005) menambahkan dengan tidak menafikan keberhasilan Revolusi Biru, modernisasi perikanan dan pemberian bantuan modal telah berhasil mendongkrak angkaangka produksi perikanan, namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa Revolusi Biru telah menciptakan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan konflik antar nelayan. Penelitian Mubyarto et.al (1994) menemukan aspek negatif dari motorisasi tidak mampu diadopsi nelayan buruh (pandhiga) yang menyebabkan ketergantungan nelayan yang tinggi pada pihak juragan dan pihak luar tetapi tidak melihat hubungan patron-klien tersebut bersifat eksploitatif. Kajian Pranadji (1995) menyimpulkan bahwa modernisasi perikanan masih bias pada nelayan kaya, sementara nelayan belah (buruh) tetap dalam posisi semula. Hal tersebut dapat terjadi karena kelembagaan bagi hasil pada komunitas nelayan tidak memungkinkan nelayan buruh menikmati hasil modernisasi. Kajian lain

46 misalnya Mappawata dan Marzali dalam Satria (2001) juga menunjukan dampak negatif modernisasi perikanan yakni bahwa pemlik modal menerima jauh lebih besar daripada nelayan yang menjual tenaga kerjanya. Kusnadi (2000) menemukan data peningkatan produksi tersebut hanya memberikan keuntungan ekonomis pada pemilik alat produksi modern baik nelayan maupun bukan nelayan. Berbagai kajian terdapat indikasi bahwa kemiskinan struktural melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya disebabkan oleh faktor kompleks (Satria, 2002; Mubyarto et.al, 1984; Masyhuri et.al, 2000). Faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal akses dan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga oleh dampak modernisasi perikanan. Penelitian Satria (2001) pada nelayan Pekalongan menyimpulkan bahwa kalangan nelayan strata atas sajalah yang lebih siap untuk memasuki sistem kelembagaan baru. Satari dalam Masenga (2001) menggambarkan motorisasi alat tangkap menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan dan juragan. Sementara Karim (2003) menggambarkan bahwa penggunaan teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengakibatkan terjadinya perubahan mode of production dari sistem tradisional menjadi modern ternyata jauh dari harapan. Dari sisi keuntungan modernisasi/revolusi biru berupa efektifitas serta meningkatnya hasil tangkapan, Herwening (2003) dalam penelitian pada nelayan Pelabuhan Ratu mencatat potensi ketimpangan bagi hasil, eksploitasi ABK serta potensi konflik lainnya. Beberapa kajian serta penelitian menunjukkan konflik antar nelayan setelah modernisasi misalnya antar nelayan tradisional dengan nelayan trawl (Satria, 2001; Mubyarto,et al. 1994), nelayan tradisional dengan nelayan jaring eret (Kusnadi, 2002), serta konflik nelayan tradisional dengan nelayan perahu sleret (Kusnadi, 2000). Hal ini dikarenakan proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan. Beberapa contoh penerapan modernisasi tidak disertai dengan kursus perawatan, akibatnya nelayan belajar merawat kapal dan alat tangkap secara otodidak (Tim Antropolog Unpad, 1991). Disamping itu kurang diajarkan tentang cara pengoperasian yang lebih baik (Kusnadi, 2000; Juwono, 1994). Terjadi pula degradasi lingkungan laut dan over fishing (Solihin, 2005; Pranadji, 1995; Yudana et.al,

47 1991). Dengan demikian, tujuan awal revolusi biru, yakni meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, yang dicapai justru proses pemiskinan masyarakat nelayan. 13 Kasus-kasus tersebut tidak dapat dilepaskan sebagai dampak dari penerapan modernisasi itu sendiri. Modernisasi perikanan berupa alih teknologi berdampak positif yakni peningkatan produksi hasil tangkapan ikan (Satria, 2002; Kusnadi, 2000; Pranadji, 1995; dan Solihin, 2005), meningkatnya pendapatan nelayan (Satria, 2002), meningkatnya motivasi berusaha (Yudana et.al, 1991; Tim Antropologi Unpad, 1991), serta dapat membantu pengadaan transportasi antar pulau (Saba, 2003). Pekerjaan nelayan juga menjadi lebih ringan, efektif dan efisien (Satria, 2002; Kusnadi, 2000). Akan tetapi dampak negatif modernisasi juga tidak dapat dihindari menimpa nelayan. Kenaikan pendapatan ternyata masih bias bagi nelayan lapisan atas (Pranadji, 1995; Masenga, 2001 dan Satria, 2001). Modernisasi juga tidak mampu diadopsi oleh nelayan lapisan buruh (Mubyarto et.al, 1994). Bahkan modernisasi perikanan juga menimbulkan konflik antar nelayan (Herwening, 2003; Satria, 2001 dan Kusnadi,). Oleh karena itu berbagai kalangan menganggap beberapa kasus modernisasi terkesan hanya sebagai pelaksanaan program pemerintah dalam mendongkrak angka produksi (Solihin, 2005; Juwono, 1994 dan Pieter, 987). 13 Kusnadi Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LKiS

48 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan keterbelakangan nelayan antara lain disebabkan karena hasil tangkapan yang sangat kecil sementara stok ikan masih sangat melimpah. Kecilnya hasil tangkapan tersebut antara lain disebabkan karena penggunaan sarana tangkap yang kurang memadai yakni dengan menggunakan teknologi sederhana. Teknologi sederhana tersebut hanya dapat menjangkau wilayah pinggir pantai dengan populasi ikan yang sangat terbatas Pemerintah memandang perlu untuk memperbaiki taraf hidup nelayan. Realisasinya dilakukan antara lain dalam bentuk modernisasi perikanan (Revolusi Biru). Hal penting modernisasi perikanan adalah melalui perbaikan teknologi kapal atau alat tangkap untuk peningkatan produksi. Salah satu aspek penting dari modernisasi bidang perikanan ini adalah subtitusi teknik produksi dari cara-cara tradisional kepada cara yang lebih rasional. Perihal kebijakan modernisasi ini diharapkan terjadi peningkatan produktivitas yang dampkanya seara langsung dapat memperbaiki kesejahteraan nelayan. Dalam satu komunitas yang komunal seperti halnya Suku Bajo masuknya program modernisasi tidak langsung diterima begitu saja oleh anggota komunitasnya, walaupun berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri. Penerimaan maupun penolakan berkaitan dengan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi, pelapisan sosial dalam masyarakat, pola ekologi dan kebijakan pemerintah, disamping nilai-nilai serta budaya masyarakat itu sendiri. Suku Bajo sebagai suku bangsa yang dominan menempati pesisir pantai dan kepulauan, memilih usaha penangkapan ikan sebagai mata pencaharian satu-satunya untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhannya. Disamping itu, kecenderungan hidup dengan budaya laut dan nelayan menjadikan laut dekat dan bersahabat dengan mereka sejak turun temurun. Dalam pandangan orang Bajo, laut adalah segalanya. Dengan teknologi yang tergolong sederhana, sebenarnya kemampuan mereka untuk mendapatkan ikan hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Ternyata, selama berabad-abad, teknologi menangkap ikan yang dimiliki orang Bajo sama sekali tak mengalami perubahan. Sejarah panjang serta budaya tersebut menyebabkan pemaknaan laut

49 serta pekerjaan nelayan secara ekonomis, sosiologis, psikologi, teologis serta makna budaya sangat penting sebagai salah satu variabel yang berhubungan dengan respons (kecepatan adopsi) terhadap inovasi baru yang berkaitan dengan eksplotasi sumberdaya laut. Suatu hal yang sangat mempengaruhi keputusan adopsi dalam konteks nelayan adalah sejauhmana mereka memaknai laut dan pekerjaan nelayan. Variabel yang mempengaruhi makna adalah faktor sosial ekonomi individu dalam hal ini karakteristik seseorang, faktor lingkungan berupa kondisi alam, kebijakan pemerintah maupun sosial budaya masyarakat serta hubungan dan keterlibatan pada obyek antara individu dengan obyek yang dimaknai. Dalam konteks nelayan, hubungan dengan laut dan pekerjaan sebagai nelayan terkait dengan pengalaman usaha menangkap ikan, lamanya tinggal dan menetap di pantai serta kepentingan terhadap laut dan pekerjaan nelayan itu sendiri. Pemaknan positif terhadap laut dan pekerjan nelayan pada aspek ekonomis, sosiologis, teologis psikologis serta budaya yang dimiliki oleh nelayan mempengaruhi proses adopsi sampai pada keputusan untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Implementasi dari keputusan menerima inovasi tersebut adalah penggunaan teknologi serta meninggalkan teknologi lama. Sedangkan implementasi dari keputusan menolak yakni tetap menggunakan teknologi lama atau ikut kelompok penangkapan pada teknologi baru sebagai pekerja (sawi). Salah satu tipe keputusan adopsi inovasi adalah tipe keputusan inovasi oleh otoritas. Pada kasus kelompok nelayan, keputusan adopsi menjadi otoritas pemilik sarana produksi dalam hal ini ponggawa. Dalam hal ini pemaknaan terhadap laut dan pekerjaan nelayan dimasukan sebagai salah satu faktor internal (individu) dalam variabel yang mempengaruhi keputusan tersebut. Makna laut dan makna pekerjaan nelayan mengandung pemahaman tentang sejauh mana arti laut dan nelayan dalam kehidupan nelayan itu sendiri. Makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol) yang mengarahkan perilaku seseorang antara lain: sifat alamiah individu, pengalaman, pengetahuan, budaya dan struktur sosial masyarakat tempat individu itu tinggal. Disamping itu dalam konteks nelayan, variabel penting penilaian terhadap laut yakni: (a) tingkat kepentingan; (b) produktivitas, dalam arti mudah tidaknya proses distribusi berjalan serta (c) sistem kepercayaan terhadap laut itu sendiri. Oleh karena itu

50 pemaknaan terhadap laut dan pekerjaan nelayan dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lingkungan. Modernisasi perikanan berdampak pada kehidupan sosial nelayan maupun komunitas nelayan tersebut. Dampak tersebut adalah perubahan pola kerja dari penggunaan teknologi lama yang masih sederhana menjadi teknologi bar yang lebih modern, efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi modernisasi tersebut menimbulkan diferensiasi yakni munculnya unit-unit sosial baru yang berdampak pada perubahan struktur sosial nelayan. Perubahan struktur tersebut terjadi pada level nelayan maupun komunitas. Pada level nelayan, diferensiasi tersebut menimbulkan nelayan terstratifikasi dalam beberapa lapisan. Perubahan lapisan nelayan tersebut jelas berdampak pada perubahan stratifikasi pada level komunitas sehingga struktur sosial menjadi berubah. Pola kerja lebih efisien tersebut juga berdampak pada perolehan tangkapan yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Oleh karena itu modernisasi berupa alih teknologi tersebut juga berdampak pada kesejahteraan nelayan. Pembangunan ekonomi melalui bentuk-bentuk modernisasi cenderung mempengaruhi struktur sosial masyarakat tradisional Dampak struktural tersebut terjadi oleh karena modernisasi menciptakan satu unit/posisi sosial yang baru dan otonom. Munculnya unit fungsional baru tersebut menimbulkan proses integrasi (penyatuan) sebagai bentuk koordinasi Penggunaan/penerapan teknologi berdampak pada pola kerja, struktur sosial maupun tingkat kesejahteraan nelayan yang berbeda baik pada teknologi lama maupun teknologi baru. Pada penggunaan teknologi lama, pola kerja dengan dimensi daya jelajah lebih dekat, waktu melaut lebih singkat, jumlah pekerja lebih kecil serta pembagian kerja tidak ada atau ada tetapi tidak jelas. Sedangkan penggunaan tekologi baru (modernisasi) pola kerja pada dimensi daya jelajah lebih jauh, waktu melaut lebi panjang, jumlah pekerja lebih banyak serta pembagian kerja menjadi lebih jelas. Program motorisasi perahu dan modernisasi perikanan dari berbagai studi dan kajian menunjukan bahwa program tersebut bukannya menciptakan perikanan tambah maju dan pelakunya (nelayan) menjadi sejahtera. Program tersebut justru menciptakan kompleksitas permasalahan perikanan yang diwariskan secara turuntemurun hingga saat ini. Sebelum penggunaan teknologi (modernisasi), dalam hal struktur sosial, dengan dimensi diferensiasi belum beragam, stratifikasi pada konteks komunitas

51 berdasarkan kehormatan dan pekerjaan (ascribed and achieved status) serta pola hubungan non eksplotatif dan egaliter pada penggunaan teknologi lama. Sedangkan pada penggunaan teknologi baru (modernisasi) diferensiasi lebih beragam, stratifikasi lebih didasarkan pada achieved status serta pola hubungan semi eksploitatif serta hierarkis. Sedangkan perubahan tingkat kesejahteraan tergambar bahwa peningkatan pendapatan cukup tinggi terjadi pada nelayan ponggawa. Nelayan dengan status sawi, peningkatan pendapatan tidak signifikan. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Kemiskinan Nelayan Teknologi lama Faktor Sosial Ekonomi Individu Karakteristik: umur, pendidikan, pengalaman status sosial Teknologi Baru (Modernisasi) Pemaknaan Hubungan / keterlibatan pada obyek Adopsi Faktor Lingkungan: - Kebijakan Pemerintah - Kondisi Alam (ekosistem) - Sosial Ekonomi Lingkungan Nelayan Dampak Komunitas Perubahan: o Pola kerja nelayan o Struktur sosial nelayan o Tingkat kesejahteraan o Diferensiasi Pekerjan o Perubahan Stratifikasi Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan Keterangan: : Mempengaruhi, : Variabel

52 Hipotesa Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara makna laut dan makna pekerjaan nelayan dengan adopsi (penerimaan) Suku Bajo terhadap modernisasi perikanan (hipotesa kerja). Disamping itu penelitian juga dimaksudkan untuk mengetahui dampak modernisasi perikanan pada komunitas nelayan Suku Bajo (pola kerja nelayan, struktur sosial dan tingkat kesejahteraan) yang dianalisa secara kualitatif (hipotesa pengarah). Untuk mengarahkan pencapaian tujuan penelitian tersebut, diajukan beberapa hipotesa kerja: 1. Makna laut dan makna pekerjaan nelayan meliputi makna ekonomis, makna sosiologis, makna teologis, makna psikologis serta makna budaya. 2. Terdapat hubungan antara makna laut dan makna nelayan dengan kecepatan adopsi (penerimaan) nelayan Suku Bajo terhadap modernisasi perikanan. Nelayan yang memiliki makna ekonomis, sosiologis dan teologis yang tinggi akan lebih cepat mengadopsi teknologi (modernisasi). Sedangkan adopter yang lambat lebih banyak terdapat nelayan yang memiliki penilaian positif makna budaya tinggi. Tinggi rendahnya makna berdasarkan skor yang dicapai responden. 3. Terdapat hubungan antara kecepatan adopsi dengan tingkat kesejahteraan nelayan yang diukur berdasarkan pendapatan. Adopter lebih awal memiliki pendapatan lebih tinggi dibanding adopter yang lebih lambat. Sedangkan hipotesa pengarah adalah: 1) Modernisasi perikanan berdampak pada perubahan pola kerja nelayan Suku Bajo dari pola kerja lama menjadi pola kerja baru yang meliputi: a perubahan dari penggunaan perahu/kapal serta alat tangkap sebelum modernisasi (koli-koli dengan alat tangkap pancing, ngkuru-ngkuru pancing dan jaring), menjadi mini pursein/gae dengan alat tangkap pukat cincin setelah modernisasi. b perubahan daya jelajah (jangkauan melaut); dari wilayah dekat atau sekitar pantai (inshore) sejauh 5 km wilayah sekitar pantai menjadi wilayah sedang (5 10 km) serta wilayah lepas pantai (offshore) atau daerah dengan populasi ikan yang banyak yakni sejauh > 20 km. c perubahan waktu melaut dari waktu yang singkat ( 7 jam) menjadi sedang (7-10 jam) dan setelah modernisasi menjadi lebih panjang (> 12 jam) setiap hari.

53 d perubahan pembagian kerja dari tidak ada, ada tetapi kurang jelas menjadi pembagian kerja lebih jelas. 2. Dampak modernisasi perikanan pada struktur sosial nelayan Suku Bajo meliputi: d perubahan diferensiasi pekerjaan menjadi semakin kompleks dimana sebelum modernisasi hanya terbagi pada tugas ponggawa sebagai pemilik dan sawi sebagai pekerja. Sedangkan setelah modernisasi diferensiasi menjadi lebih banyak sesuai keterampilan yan dimiliki pekerja. e perubahan posisi sosial serta struktur yang ada pada masyarakat nelayan, dimana jenis lapisan untuk dimensi stratifikasi sebelum moderniasi menempatkan ponggawa pada lapisan atas dan sawi pada lapisan bawah. Jenis lapisan juga menempatkan kaum bangsawan pada lapisan atas dan non bangsawan pada lapisan bawah (level komunitas). Sedangkan pada penerapan modernisasi jenis lapisan terdapat lapisan atas, menengah dan bawah berdasarkan jenis pekerjaan (diferensiasi). c. peningkatan pendapatan nelayan karena hasil tangkapan lebih banyak. Definisi Operasional Untuk membatasi pengertian akan aspek-aspek penelitian dilakukan definisi operasional sebagai berikut: 1. Nelayan adalah orang/individu yang melakukan kegiatan menangkap ikan dan sumber laut lainnya sebagai mata pencaharian utama, karena keberadaan/jam kerja di laut lebih 1 jam secara terus menerus dalam seminggu. 2. Ponggawa adalah nelayan yang memiliki kapal serta alat tangkap dan memiliki pekerja (sawi) dengan imbalan bagi hasil. 3. Sawi adalah buruh nelayan yang menjual tenaganya dengan imbalan bagi hasil sesuai kesepakatan yang didasari nilai dan budaya setempat. 4. Umur responden adalah usia nelayan pada saat penelitian dilaksanakan. 5. Lama pendidikan adalah waktu diperlukan oleh responden dalam mengenyam pendidikan 6. Pengalaman usaha adalah lama responden melakukan kegiatan usaha nelayan 7. Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata yang dikonversikan seharga 1 liter beras. 8. Status sosial responden adalah status kebangsawananan nelayan

54 9. Respons adalah tanggapan nelayan terhadap masuknya teknologi perikanan yakni menerima, atau menolak. Respons tersebut diukur berdasarkan kecepatan mengadopsi teknologi perikanan (kapal dan alat tangkap) yang dibedakan: a. Early adalah adopsi teknologi antara tahun b. Medium adalah adopsi teknologi antara tahun c. Late adalah adopsi teknologi antara tahun Adopter adalah nelayan yang menggunakan teknologi perikanan (kapal dan alat tangkap) yang dibedakan atas: a. Early Adopters adalah adopter teknologi antara tahun b. Medium Adopters adalah adopter teknologi antara tahun c. Late Adopters adalah adopter teknologi antara tahun Makna laut adalah arti/pandangan dan penafsiran terhadap laut bagi suku Bajo. Pemaknaan tersebut dibedakan menjadi: a. makna ekonomis adalah penafsiran terhadap laut sebagai pemberi manfaat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. b. makna sosiologis adalah penafsiran terhadap laut sebagai penguat kekerabatan melalui hubungan sosial sebgai tempat berinteraksi. c. makna psikologis adalah penafsiran terhadap laut berdasarkan nilai emosional dalam bentuk senang atau tidak senang. d. makna budaya adalah penafsiran terhadap laut yang memiliki aspek kesejarahan, budaya, adat ataupun mitos. e. makna teologis adalah penafsiran terhadap laut berdasarkan nilai agama (religius) sejauhmana makna selalu dikaitkan terhadap hubungan dengan Tuhan. 7. Makna nelayan adalah arti/pandangan, penilaian dan penafsiran terhadap pekerjaan nelayan bagi Suku Bajo. Pemaknaan tersebut terdiri dari: a. makna ekonomis adalah penafsiran terhadap pekerjaan nelayan sebagai pemberi manfaat ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. b. makna sosiologis adalah penafsiran terhadap pekerjaan nelayan sebagai penguat kekerabatan melalui hubungan sosial sebagai tempat berinteraksi. c. makna psikologis adalah penafsiran terhadap pekerjaan nelayan berdasarkan nilai emosional dalam bentuk senang atau tidak senang.

55 d. makna budaya adalah penafsiran terhadap pekerjaan nelayan memiliki aspek kesejarahan, budaya, adat ataupun mitos. e. makna teologis adalah penafsiran terhadap pekerjaan nelayan berdasarkan nilai agama (religius) sejauhmana makna selalu dikaitkan terhadap hubungan dengan Tuhan. Pengukuran tersebut berdasarkan skor pada setiap pernyataan-pernyataan yang diberikanyang dicapai responden. Skor adalah respons yang diberikan responden tersebut diperoleh dengan cara: 1. Setuju/ya; skor 2 2. Tidak Setuju; skor 0 Makna laut yang diperoleh dibedakan atas : 1. Makna Ekonomis; a. ekonomis positif dengan skor 6, b. ekonomis negatif dengan skor < Makna Sosiologis; a. sosiologis positif dengan skor 4, b. sosiologis negatif dengan skor < Makna Budaya, a. budaya positif dengan skor 2, b. budaya negatif dengan skor < Makna Teologis, a. teologis positif dengan skor 2, b. teologis negatif dengan skor < Makna psikologis a. psikologis positif dengan skor 2, b. psikologis negatif dengan skor < 2. Sedangkan tingkatan makna pekerjaan nelayan dikelompokan pada: 1. Makna Ekonomis; a. ekonomis positif dengan skor 7, b. ekonomis negatif dengan skor < Makna Sosiologis; a. sosiologis positif dengan skor 4, b. sosiologis negatif dengan skor < Makna Budaya, a. budaya positif dengan skor 2,

56 b. budaya negatif dengan skor < Makna Teologis, a. teologis positif dengan skor 2, b. teologis negatif dengan skor < Makna psikologis a. psikologis positif dengan skor 6, b. psikologis negatif dengan skor < Perubahan struktur sosial adalah perubahan struktur masyarakat dari sederhana menjadi lebih kompleks yang mencakup diferensiasi, stratifikasi (jenis lapisan, dasar pelapisan) serta pola hubungan kerja yang dianalisa secara kualitatif. 9. Kesejahteraan adalah ukuran keadaan dimana nelayan dapat atau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara berpakaian anggota keluarga nelayan yang dilakukan melalui observasi pada rumah tangga nelayan. Perubahan kesejahteraan dianalisa setiap periode penggunaan sarana penangkapan dengan analisa kualitatif. Analisa berdasarkan kriteria identifikasi kemiskinan dengan metode identifikasi Bangdes (Rusli et.al, 1995) dan klasifikasi keluarga sejahtera dari BKKBN. 10. Pola kerja nelayan adalah metode kerja diukur berdasarkan: a. penggunaan jenis perahu dan alat tangkap yakni perahu tradisional (kolkoli), perahu layar motor (ngkuru-ngkuru) dan kapal mini pursein (gae). b. daya jelajah yakni dekat ( 5 km), sedang (5-10 km) dan jauh (> 20 km) dari pantai. c. waktu melaut yakni singkat ( 7 jam) sedang (7-10 jam) dan lama (lebih dari 12 jam) setiap hari. d. pembagian kerja yakni tidak ada, ada tetapi kurang jelas, dan pembagian kerja lebih jelas. 11. Pola hubungan kerja/produksi adalah hubungan sosial ekonomi timbal balik antara nelayan ponggawa dan sawi dalam kelompok penangkapan maupun di luar kegiatan penangkapan. 12. Dampak modernisasi perikanan adalah perubahan-perubahan dalam kelompok nelayan maupun komunitas yang terjadi akibat penerapan teknologi baru (gae). Perubahan tersebut meliputi perubahan struktur sosial, perubahan pola kerja dan perubahan kesejahteraan nelayan.

57 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2007, di Desa Lagasa Kecamatan Duruka Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian dipilih secara purposive berdasarkan pertimbangan akses untuk masuk ke wilayah tersebut cukup mudah, hubungan personal antara peneliti dan calon subyek penelitian (responden) sudah terjalin dengan baik sebelumnya, desa penelitian relatif homogen (Suku Bajo) dan mayoritas bekerja sebagai nelayan dalam kegiatan nelayan sangat menonjol sistem hubungan ponggawa-sawi (patron-klien), serta masih terbatasnya studi mengenai komunitas pantai dan pesisir khususnya komunitas suku Bajo. Peneliti sebelumnya melakukan pendekatan berupa pra penelitian (pra survei) dengan calon informan dan responden serta perangkat desa. Sitorus (1998) memberikan penjelasan tentang kondisi ideal lokasi penelitian yakni memenuhi: (a) peneliti mudah masuk, (b) peneliti berpeluang besar untuk menemukan sejumlah proses, orang, program, interaksi dan struktur yang tercakup dalam pertanyaan penelitian, (c) peneliti dapat menciptakan peranan yang cocok baginya agar dapat tinggal di lokasi selama mungkin. Teknik Pengambilan Responden Untuk mendapatkan data primer, terlebih dahulu dilakukan dengan menggolongkan populasi penelitian yakni nelayan dalam sub populasi ponggawa dan sawi. Oleh karena dalam kehidupan nelayan di desa Lagasa terdapat sawi dari luar desa, maka dibuat satu startum tersendiri yakni sawi dari luar desa. Penggolongan tersebut disusun berdasarkan kriteria penguasaan kapal dan alat tangkap serta peranannya dalam kelompok penangkapan. Penggunaan responden sawi luar desa dilakukan karena dalam kegiatan produksi (melaut) peranan mereka sangat besar sekali. Dari 45 buah armada penangkapan semua terdapat nelayan sawi luar desa. Ketergantungan ponggawa terhadap mereka juga besar sekali. Operasi penangkapan tidak bisa berjalan jika sawi melakukan tindakan sabotase. 14 Disamping itu mereka juga telah mengalami proses peralihan sarana tangkap dari ngkuru-ngkuru ke kapal mini pursein (gae) pada ponggawa yang sama maupun beralih pada ponggawa lain. 14 Hal tersebut disebabkan kecenderungan penduduk lokal untuk menjadi sawi menurun. Otomatis ponggawa harus merekrut sawi dari tempat lain.

58 Oleh karenanya, peneliti membuat kerangka stratified random sampling. Sebagai bagian dari metode survei, diharapkan pada setiap sub populasi nelayan diambil beberapa sampel yang dipilih secara acak. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara tepat mengenai sifat populasi yang heterogen, sehingga harus dibagi dalam strata yang seragam (Mantra dan Kastro dalam Singaribun dan Effendi, 1989). Untuk menjawab pertanyaan hubungan pemaknaan nelayan dengan adopsi teknologi pada setiap katagori, keseluruhan ponggawa dijadikan responden (sensus sebanyak 45 responden). Sensus dilakukan karena jumlah ponggawa relatif kecil dan mudah dijangkau. Sensus bagi ponggawa dilakukan karena keputusan otoritas adopsi teknologi dalam kelompok dilakukan oleh ponggawa. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan kedua (dampak modernisasi perikanan terhadap struktur sosial dan kesejahteraan), sampel diambil pula pada lapisan sawi lokal serta sawi luar desa yang diambil secara acak. Setelah diperoleh jumlah populasi nelayan, baik melalui data pada Kantor Desa maupun wawancara dengan Kepala Desa yakni sebanyak 360 nelayan. Populasi tersebut terdiri dari 45 ponggawa, dan sawi lokal sebanyak 315 orang. Untuk sawi dari luar desa sebanyak 205 orang. Setelah dilakukan pengkategorian, maka diperoleh sampel sebanyak 100 responden masing-masing: 1. Nelayan ponggawa sebanyak 45 orang. 2. Nelayan sawi lokal sebanyak 30 orang 3. Nelayan sawi luar desa sebanyak 25 orang. Untuk memperoleh informasi sejarah modernisasi, dampak terhadap struktur sosial dan perubahan pola kerja digunakan informan. Data dari informan diperoleh dengan wawancara mendalam. Informan dipilih dari tokoh yang memiliki pengetahuan yang memadai mengenai kondisi desa, sejarah modernisasi perikanan serta perubahan sosial dan mengenal nelayan ponggawa atau sawi yang dijadikan responden. Informan dalam penelitian ini diperoleh: (a) Kepala Desa, (b) seorang mantan Kepala Desa, (c) Pensiunan Dinas Perikanan Muna berdomisili di desa Lagasa (d) Pegawai TPI, (e) Seorang mantan ponggawa. Metode Pengumpulan Data Data yang dianalisa dikumpulkan ketika berada di lapangan maupun setelah kembali (Danim, 2001). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.

59 Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data primer dari sumber informasi adalah dengan: 1. Isian kuesioner. 2. Wawancara dengan informan maupun responden 3. Pengamatan langsung (observasi partisipasi). Isian kuesioner dikumpulkan sebagai pedoman wawancara maupun observasi. Data yang dikumpulkan dengan metode wawancara adalah data mengenai karakteristik nelayan, perkembangan kepemilikan kapal dan alat tangkap, tingkat kesejahteraan dimensi ekonomi serta respons ketika teknologi masuk untuk diterapkan dalam desa penelitian. Sedangkan observasi meliputi kondisi umum desa, perubahan pola kerja, perubahan struktur sosial dan tingkat kesejahteraan pada dimensi sosial. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Informasi yang dikumpulkan melalui data sekunder adalah kondisi umum daerah penelitian, perkembangan penduduk (monografi desa), perkembangan kepemilikan kapal dan alat tangkap serta perkembangan produksi tangkapan baik sebelum maupun setelah modernisasi. Analisa Data Analisa data dilakukan secara deskriptif yakni pengembangan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa, serta analisis hubungan antar variabel untuk uji hipotesa dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Terhadap data kuantitatif primer, dilakukan pengolahan dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang sederhana. Selanjutnya dilakukan interpretasi berdasarkan pengkatagorisasian yang ditetapkan. Hasil analisa disimpulkan dengan diperkaya hasil wawancara mendalam serta observasi untuk lebih memahami dan mendalami data yang diperoleh melalui quesioner. Sedangkan data kualitatif dilakukan dengan menggabungkan informasi lalu diungkapkan sesuai dengan gejala sosial yang terjadi. Terhadap data kualitatif digunakan strategi studi kasus. Sebagai studi kasus, kesimpulan yang akan dihasilkan tidak dimaksudkan pada kehidupan sosial nelayan secara umum. Analisis data kualitatif dilakukan dengan tahapan reduksi dan penyajian data. Selanjutnya dilakukan penyajian data dalam bentuk tulisan, tabel grafik maupun lampiran. Untuk menganalisa mengenai makna laut dan makna pekerjaan nelayan dilakukan pendekatan kuantitatif dengan tingkatan makna laut berdasarkan perbandingan jumlah responden terhadap berbagai pernyataan. Pernyataan

60 tersebut diperoleh dari jawaban responden terhadap perasaan serta pandangannya mengenai laut serta pekerjaan nelayan sebagai wilayah tempat hidup dan mencari nafkah (lihat lampiran 9). Setiap katagori dibuat beberapa pernyataan. Pernyataan-pernyataan tersebut dirancang sebagai hasil diskusi pra penelitian antara peneliti, Kepala Desa serta beberapa nelayan baik ponggawa maupun sawi. 15 Beberapa pernyataan yang memiliki makna yang sama digabung ke dalam satu katagori pemaknaan tersendiri. Kemudian dihubungkan masing-masing katagori makna tersebut dengan tingkat adopsi teknologi. Untuk memperkaya data tersebut dilakukan pendekatan kualitatif (wawancara mendalam) dengan subyek penelitian (responden). Terhadap dampak modernisasi terhadap perubahan pola kerja dan perubahan struktur sosial dilakukan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan informan dan subyek (responden) serta dikuatkan oleh observasi (pengamatan). Sedangkan dampak pada kesejahteraan nelayan dilakukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (survey ekonomi rumah tangga nelayan). Selanjutnya dilakukan perbandingan sebelum dan setelah penerapan modernisasi perikanan untuk menganalisa perubahan pola kerja, struktur sosial serta kesejahteraan tersebut. 15 Diskusi sekaligus perkenalan ketika peneliti akan memulai kegiatan penelitian.

61 DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Sejarah dan Kedaan Alam Desa Lagasa Desa Lagasa didirikan tahun 1977, hasil relokasi penduduk sebanyak 130 kk oleh pemerintah setempat dari Kelurahan Wamponiki, 8 km sebelah utara wilayah Lagasa sekarang ini. Belum jelas mengapa pemerintah melakukan relokasi penduduk tersebut. Menurut pegawai pada Kantor Kecamatan Katobu pemindahan dilakukan karena wilayah tersebut menjadi sasaran perluasan dan pengembangan Kota Raha berupa program Reklamasi Pantai. Menurut Kepala Desa Lagasa Abidin, pada awalnya penduduk keberatan untuk direlokasi dan bertahan untuk tidak pindah. Hal tersebut disebabkan karena wilayah desa Lagasa dianggap tidak layak untuk dijadikan sebagai pemukiman penduduk. Selain itu penduduk juga harus meninggalkan lokasi yang strategis bagi pemasaran ikan hasil tangkapan. 16 Pada awal relokasi sejumlah 60 orang penduduk meninggal karena berbagai macam penyakit. Penduduk juga tidak diberikan ganti rugi yang layak sebagai kompensasi relokasi. 17 Secara administratif Desa Lagasa berada dalam wilayah Kecamatan Duruka Kabupaten Muna. Desa tersebut terletak di sebelah utara Raha, Ibukota Kabupaten Muna. Penamaan Lagasa adalah untuk mengganti nama desa di sebuah kecamatan yang ditinggalkan penduduknya pada tahun 1975 karena krisis air. Kecamatan Duruka merupakan kecamatan pemekaran Kecamatan Kota Katobu. Seluruh wilayah desa terletak di pesisir pantai dengan batas wilayah: Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Raha I, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ghone Balano, sedangkan sebelah Barat dengan Kelurahan Palangga dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Buton. Kondisi jalan darat cukup baik dengan jarak tempuh 4 km menjadikan Lagasa mudah dijangkau dari dan ke pusat Kota Raha ibukota kabupaten sebagai pusat ekonomi, sosial dan perdagangan. Penduduk desa lebih memilih melakukan aktivitas ekonomi langsung ke ibukota kabupaten daripada ke ibukota kecamatan yang jaraknya juga sekitar 4 km. Dekatnya jarak dengan pusat kota serta tersedianya sarana transportasi umum membuka kesempatan bagi 16 Lokasi Kelurahan Wamponiki satrategis karena sangat dekat dengan Pasar Sentral Raha serta TPI setempat. 17 Wawancara dengan Kades Lagasa, Agustus 2007

62 penduduk desa untuk melakukan interaksi dengan penduduk kota maupun desadesa sekelilingnya. Oleh karena letaknya di sepanjang pantai, serta kondisi tanah yang kurang subur, menyebabkan mayoritas penduduk desa Lagasa memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Dominannya pantai dan perairan menyebabkan beberapa fasilitas desa dibangun pula di atas air. Bahkan anak-anak memanfaatkan waktu air laut surut (metti) untuk dapat bermain bola dan olahraga lainnya di tepi pantai. Tabel 1 berikut menunjukkan topografi desa didominasi (80%) oleh pantai dan pesisir. Wilayah seluas itu diperuntukkan bagi pemukiman umum seluas 230 Ha, tempat ibadah 10 Ha serta perkantoran dan sekolah masing-masing 5 Ha. Tabel 1. Topografi/Bentang Lahan Desa Lagasa Tahun No Bentang Lahan Luas (Ha) % 1. Daratan Pantai/Perairan Jumlah Sumber: Profil Desa Lagasa, Tahun Iklim di desa Lagas sama dengan pada umumnya iklim di Kabupaten Muna yakni iklim tropis dengan suhu rata-rata 25 o C - 27 o C berada pada katagori Iklim tipe D (agak kering), terdapat di Muna Utara dan bagian Timur. Perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau relatif seimbang. Oleh karena dominannya wilayah perairan, penduduk desa harus membeli sebidang tanah seluas 1 Ha yang terletak di desa Ghone Balano untuk fasilitas pemakaman umum. Tanah tersebut dibeli secara swadaya masyarakat atas inisiatif tokoh masyarakat serta Kepala Desa. Fasilitas Lingkungan Desa Fasilitas lingkungan Desa Lagasa terdiri dari perkantoran, tempat ibadah, pendidikan dan kesehatan, perhubungan dan fasilitas umum lainnya. Fasilitas Perkantoran terdapat sebuah kantor Kepala Desa dilengkapi dengan gedung pertemuan, dan sebuah kantor Koperasi Unit Desa. Koperasi tersebut dimanfaatkan oleh penduduk desa baik simpan pinjam maupun berbelanja kebutuhan pokok yang disediakan. Sementara itu terdapat 3 buah masjid sebagai fasilitas ibadah penduduk. Masjid dibangun atas swadaya masyarakat serta sumbangan dari berbagai pihak. Fasilitas pendidikan di Desa Lagasa terdapat 2 buah Sekolah Dasar dan 1 buah Taman Kanak-Kanak. Sedangkan fasilitas kesehatan terdapat 1 buah

63 Puskesmas Pembantu (Pustu), serta 1 buah Posyandu. Di Desa Lagasa dilengkapi pula sebuah pelabuhan bagi armada penangkapan ikan. Desa Lagasa terdiri dari 5 dusun yakni Wabahara, Tanjung Karang, Kantea, Kasaka dan Kontu Kadea. Dusun tersebut dibatasi masing-masing oleh dua buah jalan utama, Bahari I dan Bahari II yang menghubungkan desa Lagasa dengan desa lainnya serta akses utama ke kota Raha. Kondisi jalan saat ini sementara dalam proses pengaspalan melalui proyek APBD Kab. Muna. Batas dusun lainnya adalah jembatan konstruksi kayu dengan lebar 1,5 meter dapat dilalui oleh sebuah sepeda motor (gambar 2). Jembatan tersebut berfungsi pula sebagai jalan desa bagi penduduk yang bermukim pada rumah yang dibangun di atas air. Jembatan tersebut merupakan bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), P 2 KP maupun NUSSP sejak tahun Sebelumnya jembatan dibuat penduduk sendiri dengan kontruksi bambu dengan diikat rotan ataupun dengan paku. Gambar 2. Jembatan yang Berfungsi Sebagai Jalan dan Batas Dusun Rumah pemukiman penduduk rata-rata pada kondisi baik, bahkan untuk ukuran desa dalam wilayah Kecamatan Duruka kondisi rumah penduduk tergolong paling baik. Rumah penduduk dengan posisi ponggawa rata-rata permanen yang tinggal pada wilayah daratan. Sedangkan ponggawa yang membuat rumah di atas air menggunakan kayu kelas 1 dan kelas 2 serta perabot rumah tangga yang lengkap serta cukup mahal untuk ukuran penduduk desa. Bagi penduduk dengan posisi sawi biasanya ditandai dengan bentuk rumah semi permanen. Bentuk arsitektur rumah bergantung pada keinginan masing-masing pemilik rumah. Akan tetapi rumah tersebut tetap mencirikan kediaman suku Bajo. Walaupun demikian bentuk dan ukuran rumah sawi tersebut rata-rata dilengkapi oleh alat perabot rumah tangga yang tergolong lengkap serta cukup memenuhi syarat kesehatan. Rumah tersebut pada umumnya dibangun di atas

64 air dengan kontruksi sebuah kayu menancap pada dasar laut. Hanya beberapa rumah dalam wilayah Lagasa yang keseluruhan rumah berdiri di atas tanah. Pada umumnya bentuk rumah Suku Bajo secara tradisional maupun modern adalah berbentuk segi empat dan berbentuk rumah panggung. Pola tersebut menurut Peribadi (2000) melambangkan empat arah mata angin. Rumah-rumah penduduk disamping sebagai tempat tinggal dan sosialisasi bagi anggota rumah tangga, juga dapat difungsikan untuk mendukung kegiatan nelayan. Pada umumnya di dalam rumah terdapat ruangan tempat menyimpan mesin maupun pukat atau perlengkapan melaut sewaktu dilakukan perbaikan pada musim terang. Biasanya rumah tersebut ditata secara bertingkat yakni: 1. Dia ruma, yakni lapisan bawah rumah. 2. Dialan ruma, yakni bagian tengah rumah terdiri dari ruang tamu dan ruang keluarga dengan menggunakan sekat dari papan ataupun dari tripleks. Sedangkan rumah modern dibuat tembok pemisah. Pada bagian belakang terdapat dapurang (dapur). Bagi rumah tangga luas (extended family) menurut Hafid, et.al (1996) terdapat ruangan tempat tidur orang tua, kakek (Mbo) dan nenek (Nnek). 3. Pamuakang ruma, lapisan paling atas sebagai tempat menyimpan alat melaut serta benda-benda warisan leluhur mereka. 18 Rumah serta bangunan lain yang dibangun di atas air memiliki tinggi ratarata 2 meter (Gambar 3). Hal tersebut dimaksudkan agar kolong rumah dapat difungsikan sebagai tempat menambat perahu boddy batang/padomba maupun kapal mini pursein (gae) jika kondisi dok. Hal tersebut dilakukan pada saat musim terang untuk memperbaiki pukat, pengecatan ulang serta perlakuan ritual menunggu musim gelap selanjutnya. Gambar 3. Rumah Penduduk Dibangun di atas Air. 18 Saat ini jarang ditemukan benda pusaka pada setiap rumah penduduk.

65 Fasilitas air bersih (PDAM) sudah menjangkau beberapa keluarga di sepanjang jalan Bahari I. Setiap dua hari sekali air mengalir ke rumah-rumah pelanggan. Beberapa warga yang tidak memiliki fasilitas air bersih mengambil air di rumah pelanggan PDAM. Setiap kali giliran air PDAM, mengalir biasanya pagi hari, terlihat di setiap rumah pelanggan ramai orang mengambil air sambil bergurau ataupun memperbincangkan masalah sehari-hari. Pada umumnya dilakukan oleh perempuan dan anak-anak. Hal itu disebabkan waktu tersebut digunakan oleh kaum laki-laki untuk beristirahat pulang melaut dan persiapan melaut sore harinya. Sebagian warga lainnya pergi mengambil kebutuhan air bersih dan air tawar di beberapa sungai di Raha dengan menggunakan perahu koli-koli maupun body batang. Di beberapa tempat terlihat penduduk melakukan kegiatan penambangan pasir di tepi pantai pada saat air surut. Penambangan dilakukan oleh nelayan pada pagi hari sepulang melaut dengan armada gae taupun seharian penuh pada saat musim terang. Penambangan tersebut dibantu pula oleh isteri dan anggota keluarga lainnya. Untuk menambah PAD desa, menurut Kades Lagasa para penambang pasir dikenakan retribusi sebesar Rp setiap ret penjualan. Para pembeli pasir berasal dari kota Raha dan sekitarnya baik untuk kebutuhan rumah maupun proyek pemerintah. Setiap hari para penambang pasir menunggu pembeli di bibir pantai. Mudahnya akses informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan masyarakat yang relatif cepat, berbeda dengan masyarakat Suku Bajo di tempat lain pada umumnya. Jaringan komunikasi sudah masuk dan tersedia bagi penduduk desa. Beberapa warga sudah memilki pesawat telepon rumah serta terjangkaunya jaringan telepon selular mempermudah akses komunikasi dan informasi. Kependudukan Sejak zaman dahulu Suku Bajo dikenal sebagai suku yang suka mengembara di lautan dengan menggunakan perahu yang berfungsi juga sebagai rumah tempat tinggal. Menurut Hafid et.al (1996) keadaan tersebut berlangsung sampai kira-kira seabad yang lalu kemudian mereka mulai menetap di pinggir pantai. Kehidupan menetap tersebut menjadikan suku Bajo mulai mengenal dan mendirikan perkampungan di tepi pantai. Penamaan Bajo sendiri menurut ceritera yang berkembang, bahwa Raja Sawerigading dari Luwu Sulawesi Selatan mengalami kecelakaan saat berlayar akibat banjir besar. Banjir tersebut menghanyutkan penduduk yang tinggal di tepi

66 pantai. Ketika itu penduduk tersebut terombang-ambing di lautan. Keadaan tersebut membuat orang yang melihat dari kejauhan memanggil mereka dengan sebutan Ta bajo-bajo yang artinya nampak seperti bayang-bayang. Suku Bajo di Sulawesi Tenggara berasal dari Sulawesi Selatan menyeberang ke dataran Kendari, Tiworo Kepulauan (Muna) dan menyebar serta tinggal di tepi pantai pada daerah-daerah tersebut (Peribadi, 2000; Tayyib). Dari Tiworo suku Bajo kemudian menyebar di berbagai pantai di Muna. Suku Bajo di desa Lagasa (sebelumnya di Wamponiki) berasal dari desa Bontu-Bontu Kecamatan Napabalano. Kehidupan Suku Bajo di Lagasa telah mengalami perubahan baik perubahan cepat maupun lambat pada berbagai bidang. Salah satu perubahan mencolok adalah pesatnya perkembangan sarana kegiatan penangkapan ikan baik modifikasi kapal, maupun alat tangkap. Modifikasi kapal maupun alat tangkap tersebut dilakukan penduduk dengan harapan dapat memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak karena daya jelajah kapal yang mampu mencapai daerah dengan populasi ikan lebih banyak. Di Muna terdapat perbedaan musim ikan pada beberapa tempat sebagai sentra kebutuhan ikan. Untuk wilayah Lagasa dan sekitarnya, musim ikan berkisar antara bulan Maret - Juli setiap tahunnya. Sedangkan di luar bulan tersebut sebagian armada pergi melaut di tempat lain. Gerak sirkulasi harian penduduk Lagasa ke daerah perkotaan juga cukup tinggi. Setiap hari terdapat puluhan penduduk yang bepergian ke kota Raha dengan berbagai tujuan. Dalam realitas, sehari-hari terjadi gerak penduduk desa ke kota untuk urusan ekonomi, sosial maupun pendidikan anak usia sekolah. Demikian pula sebaliknya penduduk kota yang memiliki kepentingan serta urusan dengan penduduk desa. Jumlah penduduk desa Lagasa sebanyak jiwa dengan rincian 889 lakilaki dan 926 perempuan untuk 373 jumlah kepala keluarga (Monografi Desa Lagasa, 2006). Jumlah tersebut umumnya terdapat pada golongan penduduk usia produktif. Adapaun jumlah penduduk menurut Golongan usia dan Jenis Kelamin ditampilkan pada tabel berikut:

67 Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Usia dan Jenis Kelamin No Jenis Kelamin Umur (Tahun) Laki-Laki % Wanita % Jumlah Total % Jumlah Sumber: Profil Desa Lagasa tahun 2006 diolah Dari segi umur proporsi penduduk golongan muda (<15 tahun) relatif agak tinggi. Jumlah penduduk usia produktif (15-50 tahun) tersebut tersebar pada beberapa jenis pekerjaan dengan mayoritas pekerjaan sebagai nelayan. Reit perkembangan penduduk sebesar 1.15% pertahun (BPS Kab. Muna, 2003). Secara rata-rata kepadatan penduduk Kecamatan Duruka adalah sebesar 247 jiwa/km 2. Pada tahun 2005 jumlah kelahiran mencapai 65 orang sedangkan angka kematian hanya mencapai 14 orang sehingga menghasilkan pertambahan penduduk secara alami sebanyak 51 orang (Wawancara Kades Lagasa). Pertambahan penduduk alami tersebut berdampak pada bertambahnya jumlah beban tanggungan pada anggota rumah tangga nelayan. Bagi nelayan dengan status ponggawa bertambahnya anggota keluarga tersebut tidak terlalu dirasakan sebagai beban berat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi bagi nelayan sawi penambahan tersebut sangat berpengaruh pada distribusi pendapatan yang akan dikelola setiap bulannya. berikut: No Pada aspek pendidikan, penduduk Desa Lagasa dapat dilihat pada tabel 3 Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Jumlah Pendidikan Laki-Laki % Perempuan % Jumlah 1 SD Sederajat SLTP Sederajat SLTA Sederajat Perguruan Tinggi Putus Sekolah Jumlah Sumber: Profil Desa Lagasa tahun 2006 diolah

68 Walaupun terdapat sejumlah penduduk yang putus sekolah, tidak penduduk yang buta huruf. 19 Orientasi pendidikan belum terlalu dihayati dan dimaknai oleh penduduk desa. Aktivitas Sosial dan Ekonomi Penduduk Desa Lagasa dihuni oleh mayoritas Suku Bajo dengan pekerjaan nelayan dan menangkap ikan ditunjang oleh mayoritas yang memiliki kecenderungan hidup dan menetap di wilayah pantai dan pesisir. Aktivitas sosial tergambar terdapatnya pranata kerjasama serta sifat gotong royong penduduk. Lembaga kegotongroyongan yang ada di wilayah desa ini antara lain adalah gotong royong dalam membangun fasilitas umum dan dalam pelaksanaan upacara adat setempat, misalnya dalam proses penguburan mayat. Kelembagaan lain yang ada antara lain Kelompok Nelayan, Karang Taruna, Kelompok Dasa Wisma, Kelompok UP2K PKK (Usaha Program Pemberdayaan Keluarga Program Kesejahteraan Keluarga) Desa, rukun kematian, RISMA (Remaja Islam Masjid), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), PKK (Program Kesejahteraan Keluarga), Kader Pembangunan Desa, Lembaga Keuangan (KUD). Pada aspek keagamaan 100% penduduk desa beragama Islam. Kegiatan keagamaan masih sangat kental meliputi kehidupan sehari-hari penduduk desa ini. Beberapa kegiatan keagamaan tersebut antara lain adalah pengajian rutin, perayaan hari besar agama serta kegiatan keagamaan lainnya. Beberapa kegiatan tersebut masih dipengaruhi oleh kepercayaan serta budaya Bajo. Hal tersebut tergambar pada penyelenggaraan upacara ritual keagamaan baik berkaitan dengan penangkapan ikan maupun tradisi kaum muslim. Ritual yang berkaitan dengan penangkapan ikan adalah berhubungan dengan kepercayaan akan kekuatan ghaib yang dianggap sebagai penunggu karang di laut. Upacara tersebut antara lain: 1. Maccerak lopi yakni upacara bagi kapal atau perahu baru dengan melumuri perahu dengan darah ayam. Sedangkan daging ayam dimakan oleh undangan yang melaksanakan hajatan. Upacara dipimpin oleh tokoh agama dan orang tua-tua. 2. Maccerak masine yakni upacara mengoleskan darah hewan sembelian pada mesin kapal. 19 Wawancara Kades Lagasa

69 3. Pappasabbi ri nabitta, yakni upacara selamatan pada saat tibanya musim ikan atau mulai melaut setelah musim terang. Tujuan upacara ini agar nelayan mendapat berkah dari Allah melalui Nabi Muhammad SAW. 4. Tolak Balaa Hampir semua ritual tersebut sama seperti halnya penelitian Hafid et al (1996) mengenai keadaan sosial ekonomi Suku Bajo di Bone Sulawesi Selatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Suku Bajo memiliki kebudayaan yang sama dimanapun mereka menetap. Kesamaan tersebut dapat menjadi bahan kajian bahwa Suku Bajo di Sulawesi Tenggara berasal dari Suku Bajo di Sulawesi Selatan. Upacara dipimpin oleh modji atau imang yang dimulai dengan pembacaan shalawat Nabi Muhammad SAW. Setelah itu segenap keluarga, undangan serta sawi yang segera melaut makan bersama. Tradisi tersebut menurut Peribadi (2000) dan Hafid, et.al (1996) tetap terpelihara di beberapa daerah dimana Suku Bajo menetap. Disamping itu nelayan Desa Lagasa juga mengenal pantangan ketika melaut dan menangkap ikan yakni pantang menyebut nama binatang darat, membuang abu dapur, menggunakan peralatan masak untuk mengambil air laut. Akan tetapi bagi Suku Bajo generasi saat ini menurut Peribadi (2000) kurang mengerti makna serta maksud upacara maupun ritual tersebut. Mereka melakukannya sekedar rutinitas belaka. Aspek nelayan sangat dominan dalam aktivitas ekonomi penduduk. Secara umum aktivitas penduduk dimulai pada pagi hari. Aktivitas berhubungan dengan penangkapan ikan maupun penjualan hasil tangkapan. Pada musim tangkap ikan (gelap) 20 penduduk yang tergabung dalam beberapa armada penangkapan yang dipimpin oleh seorang ponggawa pulang dari melaut sekitar pukul pagi. Mereka kemudian mengantar ikan tersebut di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang berlokasi di samping Pasar Sentral Kota Raha. Ikan dimuat diatas body batang (padomba) dengan kekuatan mesin 10 PK yang juga berfungsi melingkarkan badan pukat pada malam harinya. Setelah aktivitas bongkar muat ikan serta transaksi dengan pedagang ikan selesai sekitar jam 6.30 pagi nelayan kembali ke desa Lagasa bersistirahat untuk persiapan melakukan akivitas penangkapan yang dimulai pada pukul sore 20 Biasanya tanggal 18 sampai tanggal 6 atau 7 bulan berikutnya dalam Tahun Hijriah.

70 hari. Sebagian kecil dari warga melakukan aktivitas ekonomi non nelayan seperti warung sembako, bengkel serta tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan masyarakat yakni Kantor Kepala Desa, Puskesmas Pembantu serta Sekolah. Pada musim terang (terang bulan) yakni 7-10 hari, nelayan yang tergabung dalam kelompok penangkapan (pagae) melakukan aktivitas perbaikan dan pembersihan pukat maupun perbaikan kapal. Untuk menunjang ekonomi rumah tangga, nelayan melakukan aktivitas penambangan pasir di sepanjang pantai ataupun memancing ikan di sepanjang pantai. Para isteri dan perempuan pada umumnya membuat ikan asin yang dijual di pasar kecamatan. Pada saat musim terang tersebut, dilakukan bagi hasil tangkapan yang diperoleh selama musim gelap. Bagi hasil dilakukan sesuai dengan pranata yang berlaku bagi nelayan di desa Lagasa. Sistem bagi hasil tersebut adalah hasil kotor dikurangi pengeluaran bahan bakar dan retribusi tahunan. 21 Sisa pengeluaran tersebut selanjutnya dibagi dua masing-masing 1 bagian untuk ponggawa dan 1 bagian lagi dibagi sebanyak sawi yang dipekerjakan, biasanya orang. Seorang ponggawa yang turut melaut juga akan memperoleh bagian yang diperuntukkan bagi sawi. Sektor kenelayanan di desa Lagasa memberikan peluang pekerjaan lain yang masih terikat dengan bahan baku perikanan seperti ikan asin serta es batu ataupun penyediaan bahan bakar serta kebutuhan melaut lainnya. Kegiatan penangkapan ikan juga mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia pada desadesa sekitar Lagasa dengan penduduk bukan Suku Bajo. Pekerjaan lainnya lebih banyak ditempati oleh pendatang, maupun suku lainnya yang melakukan ikatan perkawinan dengan penduduk setempat. Jenis pekerjaan tersebut dapat dikelompokkan dengan rincian pada tabel 3 berikut ini. Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Lagasa Menurut Jenis Pekerjaan. No Jenis pekerjaan Jumlah (Orang) 1. Nelayan PNS/TNI-POLRI Perdagangan 4 4. Tukang kayu/batu 6 Jumlah 390 Sumber: Profil Desa Lagasa, 2006 diolah 21 Ponggawa tidak menanggung biaya makan selama melaut, karena diusahakan sendiri oleh sawi

71 Dari tebel 3 tersebut dapat dilihat penduduk desa Lagasa ada pula yang mempunyai mata pencaharian bukan sebagai nelayan. Pekerjaan tersebut ditempati oleh pendatang selain suku Bajo maupun aparat yang ditugaskan di desa tersebut misalnya anggota TNI dan POLRI. Disamping itu terjadi ikatan perkawinan dengan Suku lainnya misalnya Muna, Bugis, dan lain-lain. Struktur Sosial Penduduk Penduduk desa Lagasa menganut sistem kekerabatan berdasarkan garis kerabat laki-laki (patrilineal). Suatu hal yang penting dalam mengkaji sistem kekerabatan adalah dengan mempelajari prinsip dan ikatan perkawinan. Penduduk desa Lagasa mengikuti aturan perkawinan pada umumnya Suku Bajo yakni berdasarkan syariat Islam maupun aturan adat. Suku Bajo di Lagasa mengenal dua lapisan sosial penduduk yakni Lolo Bajo dan Atta Bajo. Sebenarnya masyarakat Bajo menurut Hafid et.al (1996) mengenal empat lapisan sosial, yakni Lolo Bajo, Ponggawa Bajo, Anak Bajo dan Atta Bajo. Posisi sosial tersebut dibedakan berdasarkan keturunan. Lolo Bajo adalah penduduk yang berasal dari keturunan bangsawan dimana dalam penentuan mahar perkawinan terdapat perbedaan dengan kaum lainnya. Kaum Lolo Bajo akan memperoleh mahar sebesar 88 real sedangkan kaum Atta Bajo sebesar 44 real. 22 Suku Bajo di desa Lagasa dapat menerima perkawinan silang beda status, dimana anak yang dilahirkan mengikuti status Bapak. Budaya Suku Bajo juga tidak mempermasalahkan perkawinan dengan suku lain (sipanda-darna-sukutta). Perkawinan terjadi dengan suku Muna, Bugis, Makassar dan Jawa. Terdapat pula perkawinan antar suku Bajo tetapi berasal dari desa lain (amalgamasi) misalnya dari desa Bontu-Bontu, Latawe dan Tiworo. 23 Suku Bajo di Desa Lagasa juga tidak membedakan serta mempermasalahkan status sosial seseorang untuk menduduki posisi pemerintahan, maupun pimpinan kelompok sosial lainnya. 24 Status sosial tersebut hanya digunakan dalam pembayaran mahar perkawinan untuk setiap status. Dalam kehidupan sehari-hari kaum bangsawan ditandai dengan pemberian gelar Lo. Misalnya Kades Lagasa dengan nama Lo Abidin. Sedangkan kaum bukan bangsawan tidak berhak menyandang gelar seperti itu. 22 Real; istilah untuk mata uang/mahar perkawinan dengan konversi 1 real= Rp untuk kawin normal dan Rp untuk kawin lari. 23 Bahasa Bajo: sipanda singkite dakao hampo. 24 Wawancara dengan Kades Lagasa, Agustus 2007

72 Seperti pada umumnya Suku Bajo, penduduk Lagasa mengenal perkawinan ideal berlangsung antara sepupu dua kali (dengkalakian mindua) keatas. Perkawinan antara sepupu sekali (dengkalakian mittidde) dianggap masih hubungan sedarah terlalu dekat. Sedangkan perkawinan dianggap tidak layak (tabo) adalah perkawinan masih sedarah, sama halnya pada syariat Islam. Menurut kepercayaan sesuatu bencana besar bagi keluarga apabila perkawinan tabo tersebut dilaksanakan. Dahulu pemilihan jodoh sepasang pengantin ditentukan oleh orang tua (dipasororang). Berbeda pada saat sekarang ini, jodoh dipilih sendiri oleh sepasang pengantin (dampa dirina). Prosesi dimulai dengan utusan keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan untuk menanyakan status si gadis. Biasanya pertanyaan dilakukan dengan syair dan sindiran. Tahap kedua pelamaran apabila si gadis masih berstatus belum dilamar, yakni pelamaran (masuro). Hal tersebut dilakukan dengan menyerahkan uang pesta (uang yang dimakan api) serta penentuan waktu pernikahan. Pada waktu yang telah ditentukan pernikahan berlangsung meriah sesuai kemampuan dan kesanggupan biaya pernikahan utamanya oleh pihak laki-laki. Walaupun pernikahan berlangsung di rumah keluarga perempuan, keseluruhan biaya dibebankan kepada pihak laki-laki. Terkecuali ada pembicaraan khusus lainnya ataupun keluarga perempuan dengan kerelaan menambah biaya. Setelah melakukan pernikahan, pada umumnya mereka tinggal pada keluarga suami (tambang marumah matuakulillah) secara bergantian dengan keluarga isteri (tambang marumah matuakkudinda). Hal tersebut berlangsung hingga pasangan dianggap bisa untuk hidup mandiri. Hubungan kekerabatan merupakan unsur yang berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi. Perekrtutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk ketenangan dan ketenteraman dalam bekerja, dapat membantu keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim (1985) bahwa sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus diperintah oleh orang lain. Dengan sistem perekrutan tersebut, dapat mempermudah mobilisasi tenaga kerja dalam mengoperasikan kapal maupun alat tangkap. Jika perekrutan sawi dari unsur kerabat sulit diperoleh, ponggawa akan mempekerjakan sawi dari luar kerabat bahkan dari luar desa/bukan Suku Bajo dengan syarat jujur serta

73 disiplin. Dalam proses tersebut jaringan kekerabatan, ketetanggaan serta hubungan komunal lainnya turut berperan. Pada dasarnya hal tersebut dimaksudkan sebagai cara untuk mengamankan operasi armada sehingga terwujud kepentingan bersama. Seorang ponggawa tidak mempermasalahkan perpindahan sawi pada armada dengan ponggawa lain, sepanjang tidak ada perjanjian yang mengikat sawi serta tidak terdapat ikatan hutang piutang. Hal tersebut terjadi oleh karena hubungan ponggawa-sawi pada nelayan Suku Bajo di desa Lagasa tidak menerapkan hubungan yang bersifat mengikat bagi kedua pihak. Seorang ponggawa sangat khawatir apabila terjadi sabotase maupun kondisi dimana sawi tidak turun melaut atau bekerja tidak maksimal. Suku Bajo sangat memperhatikan kerjasama antara anggota keluarga sehingga lambat laun posisi sawi dapat bergeser menjadi ponggawa. Yang dimaksud kerjasama disini utamanya saling membantu dalam pengembangan sektor kenelayanan. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Peribadi (2000) bahwa apapun predikat yang melekat pada suku Bajo mereka akan hidup berdampingan untuk saling membantu dan saling melengkapi. Sebagai gambaran pada tahun 2003 jumlah pemilik kapal dan alat tangkap gae sebanyak 35 orang. Saat ini sudah berjumlah 45 orang. Terjadi pertambahan sebanyak 10 orang dari sebelumnya sebagai sawi, artinya setiap tahun terjadi penambahan 2 orang ponggawa atau 2 armada penangkapan. Salah seorang pencetus pembuatan alat tangkap gae, H. Achmad menuturkan bahwa beberapa ponggawa dalam desa adalah mantan sawi yang bekerja pada armadanya. Semua berasal dari keluarga dekat termasuk 2 orang anaknya, serta bekerja pada armadanya yang dimulai tahun Mereka pada umumnya diberi bantuan modal untuk bisa mengadakan kapal dan alat tangkap oleh ponggawa yang sudah berhasil. Bahkan beberapa ponggawa memberikan bantuan cuma-cuma bagi anak-anaknya yang berniat untuk mengadakan sarana armada penangkapan tersebut. Dalam satu armada, sistem bagi hasil tidak membedakan antara sawi anggota maupun bukan anggota keluarga, walaupun anak kandungnya sendiri. Akan tetapi seorang anak yang bekerja sebagai sawi dipersiapkan khusus oleh orang tuanya untuk bisa menjadi ponggawa. Persiapan tersebut menyangkut keterampilan motoris, nakhoda, kepemimpinan maupun modal usaha untuk membeli mesin dan alat tangkap nantinya.

74 Struktur sosial penduduk desa Lagasa bercirikan struktur pesisir/nelayan serta struktur komunal. Struktur pesisir mewarnai pola hubungan dalam sistem produksi penangkapan hasil laut. Pola hubungan ponggawa-sawi sebagai konsekuensi dari sifat saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (ponggawa) serta penjual jasa tenaga kerja (sawi). Pola hubungan produksi tersebut memiliki sisi positif dan tidak terjadi eksploitasi oleh pihak ponggawa. Hal tersebut disebabkan: 1. Hubungan tersebut tidak terikat kontrak kerja. 2. Ponggawa tidak menanggung biaya perbekalan serta jaminan piutang secara khusus bagi sawi. 3. Konsekuensi poin 1 menyebabkan pihak sawi dapat berganti ponggawa kapan saja sesuai keinginannya. 4. Sistem bagi hasil yang menjamin kehidupan sawi. Struktur komunal tergambar dari pola hubungan tetangga, kerabat serta keagamaan. Struktur tersebut melibatkan tokoh agama (Pua imang, modji), tokoh adat dan pejabat desa (Kades dan aparatnya). Dalam kehidupan Suku Bajo desa Lagasa mengenal dan menerapkan sistem pengelompokan anggota kerabat yang terbagi menjadi: b. Kerabat jauh (dansiantang teo) yakni hubungan kekerabatan sudah terhitung jauh yakni sepupu keempat dan seterusnya. c. Kerabat dekat (dansiatang tutuku) yakni hubungan kekerabatan mulai sepupu dua kali dan tiga kali. d. Kerabat dekat sekali (tutuku sikali) mencakup saudara kandung sampai sepupu sekali. Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Muna memiliki luas perairan ±5.625 Km² dengan panjang pantai ±857 Km, terdapat 50 buah pulau yang terdiri dari 2 buah pulau besar dan 48 pulau kecil dimana 23 pulau tidak berpenghuni dan sisanya 27 buah pulau berpenghuni. Potensi lestari perikanan laut diperkirakan sekitar ± ton/tahun. Bila dilihat dari produksi penangkapan ikan di laut pada tahun 2004 mencapai ±32.491,3 ton/tahun, ini berarti bahwa yang termanfaatkan sudah sekitar 80 % (DPK Kab. Muna, 2006).

75 Agar produksi yang ditargetkan dapat dicapai, langkah yang ditempuh adalah penambahan jumlah alat tangkap yang menggunkan armada penangkapan yang dapat beroperasi di daerah penangkapan yang lebih jauh. Tabel. 5 Perkembangan Unit Alat Tangkap Yang Digunakan Menurut Jenisnya Jumlah Alat Tangkap (Unit) No Jenis Alat Tangkap Pukat Udang Payang Pukat Pantai Mini Purse seine (Gae) Jaring Insang hanyut Jaring Insang tetap Bagan Perahu Bagan Tancap Sero Lain-Lain (Jaring Angkat) Rawai Tetap Pancing yang Lain Pancing Tonda B u b u Lain-Lain (Perangkap) , , , , , , Sumber: Data DPK Kab.Muna, 2007 Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Muna gambar 4 berikut ini. dapat dilihat pada Produksi Perikanan Laut Hasil (ton) Tahun Sumber: DPK Kab. Muna 2007 Gambar 4. Produksi Perikanan Laut Kabupaten Muna Tahun

76 Dari produksi tersebut, kontribusi hasil tangkapan yang diperoleh nelayan desa Lagasa adalah: Produksi Nelayan Lagasa Hasil (ton) Tahun Sumber: Profil Desa Lagasa, 2006 diolah Gambar 5. Produksi Perikanan Laut Desa Lagasa Tahun Dari grafik pada gambar 3 tersebut terlihat bahwa produksi nelayan dalam kurun 4 tahun ( ) mengalami peningkatan rata-rata ton atau %. Peningkatan tersebut tidak lepas dari meningkatnya penggunaan teknologi penangkapan yang lebih modern yang telah mencapai 45 armada mini pursein. Menurut Rua (2003) tahun 2001 di desa Lagasa terdapat 33 buah armada pukat cincin, dan memperoleh tangkapan rata-rata ton untuk satu Kecamatan Katobu. 25 Hasil tangkapan nelayan Desa Lagasa pada umumnya terdiri dari jenis ikan Cakalang, Tongkol, Tenggiri, Kembung, Julung-julung, Bawal Putih Kakap, Pari, Layang, Balanak, Tembang, Layur, Tembang, Udang serta jenis ikan pelagis lainnya (PPI Raha dalam Rua, 2003). Keseluruhan hasil tangkapan dijual di TPI/PPI Raha yang terdapat di lokasi Pasar Sentral Raha ibukota kabupaten. Ikan tersebut diperoleh nelayan pada daerah penangkapan Selat Buton (sebelah timur Desa Lagasa), Selat Tiworo (sebelah barat Desa Lagasa) maupun wilayah Teluk Kendari (sebelah utara Desa Lagasa). Wilayah tersebut dikenal memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup subur (DPK Kab. Muna 2006). 25 Tahun 2001, Desa Lagasa masih dalam wilayah Kecamatan Katobu.

77 RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter Karakteristik responden penelitian ini meliputi umur, pengalaman usaha, pendapatan, lama pendidikan, dan status sosial. Secara ringkas responden tersebut dibagi lagi ke dalam tiga katagori adopter yang dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Karakteristik Responden Penelitian Pada Saat Adopsi Teknologi Katagori Adopter Karakteristik Pengadopsi Pengadopsi Pengadopsi Cepat Sedang lambat (PC) (PS) (PL) 1. Umur Pengalaman Usaha (th) Pendapatan (liter beras) Lama Pendidikan Status Sosial Bangsawan Bangsawan Bangsawan & bukan Ket: Setiap karakteristik berdasarkan rata-rata dari jumlah adopter Dari karakteristik tersebut ternyata responden dengan umur yang lebih muda lebih cepat mengadopsi dibanding yang lebih tua. Sebaliknya pengalaman usaha yang lebih lama lebih cepat mengadopsi teknologi. Sedangkan responden dengan pendapatan lebih besar ternyata lebih cepat mengadopsi, begitu pula dengan lama pendidikan. Nampak ada kecenderungan bahwa nelayan yang berumur lebih muda, pengalaman lebih lama, serta lebih lama mengenyam pendidikan lebih cepat mengadopsi teknologi yang ada. Modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap (kapal mini pursein 5-10 GT dan pukat cincin) atau dalam bahasa lokal gae diperkenalkan di desa Lagasa tahun oleh beberapa nelayan yang pernah bekerja pada armada gae di tempat lain. Pada tahun 1981 nelayan dalam hal ini ponggawa mulai mengadopsi teknologi tersebut. Pengadopsi Cepat (PC) terdiri dari 15 (33.3%) responden, Pengadopsi Sedang (PS) terdapat 14 responden (31.1%) dan Pengadopsi Lambat (PL) sebanyak 16 responden (35.6%). Dari keseluruhan jumlah tersebut terlihat bahwa adanya kecenderungan adopter semakin banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) dibanding jumlah katagori adopter sebelumnya. Jumlah tersebut adalah responden ponggawa dengan katagori adopter seperti dijelaskan

78 pada karakteristik responden sebelumnya sebagai otoritas yang memutuskan adopsi yang terdiri 45 orang ponggawa dengan perbandingan dapat dilihat pada diagram berikut Jumlah Adopter Katagori Adopter EA MA LA Ket: Pengadopsi Cepat (PC) 15 (33.3%) Pengadopsi Sedang (PS) (31.1%) Pengadopsi Lambat (PL) (35.6%) Gambar 6. Diagram Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Adopter Makna Laut dan Makna Pekerjaan Nelayan Makna laut dan makna pekerjaan nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa dibedakan menjadi beberapa aspek yakni makna ekonomis, makna sosiologis, makna teologis, makna psikologis serta makna budaya. Makna Laut Adapun jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek makna laut adalah sebagai berikut: Tabel 7. Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Laut Makna Laut PC (n=15) PS (n=14) PL (n= 16) Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Ekonomis Sosiologis Teologis Psikologis Budaya

79 Pada Tabel 7 memperlihatkan makna ekonomis, makna psikologis dan makna budaya cenderung lebih banyak untuk penilaian positif pada setiap katagori adopter. Sedangkan persentase responden makna sosiologis dan makna teologis lebih kecil. Untuk makna ekonomis, pada PC penilaian positif paling banyak dibanding makna lainnya. Akan tetapi kecenderungan yang terjadi adalah penilaian positif makna ekonomis semakin menurun jumlahnya pada tingkatan adopter lebih lambat. Walaupun demikian, penilaian positif makna ekonomis untuk setiap katagori adopter cukup tinggi. Hal tersebut dapat dimengerti, mengingat sumber utama pencahaian responden adalah sebagai nelayan yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai ekonomi laut itu sendiri. Penilaian positif tersebut juga didasarkan oleh letak geografis desa yang didominasi oleh laut, sehingga interaksi untuk menunjang kegiatan ekonomis telah dilakukan secara turun temurun. Selanjutnya walaupun berbeda persentase, kecenderungan mayoritas responden pada penilaian positif tinggi terdapat pada makna budaya. Pada PC, penilaian positif makna budaya masih lebih rendah dibanding makna ekonomis. Akan tetapi pada PS terdapat persentase responden yang sama antara penilaian positif makna budaya dengan makna ekonomis. Bahkan pada PL responden lebih banyak untuk makna budaya. Persentase responden yang menilai positif makna budaya cukup tinggi. Terlihat pada setiap katagori adopter, jumlah responden mencapai lebih dari 80%. Hal ini berkaitan dengan masih kuatnya nilai-nilai budaya Bajo yang melekat dalam diri responden. Banyaknya responden yang menilai positif makna budaya menunjukan bahwa nilai-nilai budaya masih kuat dipegang teguh oleh ponggawa sebagai otoritas pemberi keputusan adopsi teknologi. Bagi mereka (Suku Bajo), laut dimaknai lebih dari sekedar aspek pemenuhan kebutuhan hidup dalam hal ini tempat mencari nafkah. Di mata orang Bajo, laut adalah segalanya. 26 Hal tersebut sesuai pula dengan hasil kajian Siregar (2001) yang melihat kecenderungan Suku Bajo menyatu dengan laut menjadi salah satu kendala pemerintah dalam program relokasi Suku Bajo selain di wilayah pantai dan pesisir. Mereka memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. 26 Orang Bajo sangat sulit dipisahkan dengan laut. Pada awal relokasi, penduduk desa bertahan tidak pindah karena lokasi baru tidak full laut.

80 Sejak ratusan tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah, tempat tinggal, serta beranak-pinak 27. Sedangkan penilaian positif makna psikologis menunjukan dekatnya hubungan emosional antara nelayan dengan laut. Pernyataan sebagai konsepsi makna psikologis ditanggapi dengan sikap setuju oleh beberapa responden. Makna psikologis juga dinilai positif dalam persentase responden yang cukup signifikan. Hal tersebut diakibatkan secara psikologis, kecenderungan nelayan Bajo untuk bertempat tinggal dan menyatu dengan laut sehingga sukar untuk menetap jauh dari laut. Oleh karena itu hampir tidak ditemukan Suku Bajo menetap di desa tetangga maupun di ibukota kabupaten yang jaraknya cukup dekat dengan desa penelitian. Walaupun di ibukota kabupaten tersedia sarana dan prasarana yang cukup lengkap, ataupun terdapat lapangan pekerjaan yang memadai, jarang ditemui Suku Bajo yang bekerja di sektor-sektor lain misalnya perdagangan, pertanian bahkan pegawai negeri. Pada makna teologis, bagi PC walaupun lebih kecil terdapat persentase responden yang menilai positif sebanyak 67%. Kepercayaan terhadap ajaran agama Islam yang mewajibkan memanfaatkan sumber alam, serta dampak merugikan orang lain jika merusak laut mendasari penilaian positif makna teologis tersebut. Makna teologis laut dinilai negatif oleh karena beberapa responden belum memahami secara langsung perintah agama untuk mengelola laut (pernyataan 2). Mereka paham bahwa agama memerintahkan untuk memanfaatkan sumber alam, tetapi tidak menyebutkan obyek. Untuk penilaian negatif, responden mayoritas terdapat pada makna sosiologis dan teologis bagi semua katagori adopter, bahkan pada PL responden pada makna sosiologis mencapai 50%. Beberapa pernyataan sebagai konsepsi makna sosiologis ditanggapi dengan sikap tidak setuju. Menurut responden, selain laut, bahasa Bajo dapat pula menjadi pemersatu mereka. Disamping itu, banyak generasi muda Bajo cenderung meninggalkan pekerjaan nelayan sehingga pendapat bahwa laut sebagai simbol Suku Bajo tidak sepenuhnya disetujui. Kecenderungan persentase responden pada penilaian negatif untuk makna teologis semakin meningkat pada adopter lambat. Terlihat bahwa pada PC terdapat 33 % responden, PS 36% dan PL sebanyak 31%. Meningkatnya ferkuensi kegiatan keagamaan serta peran juru dakwah serta penyuluh agama masih kurang dibanding tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut mendorong penduduk untuk lebih paham dan com

81 mengerti secara detil perintah-perintah agama, termasuk penjelasan bahwa perintah memanfaatkan laut adalah salah satu perintah memanfaatkan sumber alam. Pada awal penerapan teknologi, perintah agama belum dipahami secara utuh atau hanya berdasarkan ajaran dilakukan secara turun temurun. Makna Laut dan Tingkat Adopsi Untuk setiap tingkatan adopter, persentase responden penilaian positif makna ekonomis cenderung lebih sedikit pada adopter lambat sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak. Penilaian positif makna sosiologis,teologis dan psikologi lebih kecil, sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak. Persentase responden untuk setiap tingkatan adopter lebih banyak untuk adopter lambat terdapat pada penilaian positif makna budaya dan lebih sedikit untuk penilaian negatif. Pada katagori PC, beberapa responden memiliki pengalaman yang cukup lama sebagai nelayan (29-41 tahun). Pengalaman tersebut menambah pengetahuan tentang cara penangkapan, wilayah tangkapan juga dimiliki oleh responden tersebut. Oleh karena itu kecenderungan untuk menilai positif makna ekonomis laut tinggi. Hal tersebut mendukung pula bahwa ada kecenderungan pemaknaan laut dan pekerjaan nelayan berubah sejalan dengan adanya intervensi dalam hal ini modernisasi perikanan. Banyaknya responden dengan penilaian positif makna ekonomis untuk adopter lebih awal menunjukan bahwa adopsi inovasi modernisasi perikanan berhubungan dengan pemaknaan akan kepentingan ekonomi laut tersebut. Nelayan yang menilai positif makna ekonomis laut cenderung lebih cepat menerima inovasi terbaru yang berhubungan dengan pemanfaatan hasil laut tersebut. Sedangkan nelayan yang menilai negatif makna ekonomis akan cenderung menolak atau menerima dalam jangka waktu yang lambat. Menurut responden, terdapatnya sumberdaya hayati dan non hayati yang benilai ekonomi tinggi (ikan, rumput laut, kerang, pasir) menjadi dasar penilaian positif makna ekonomis tersebut. Penilaian negatif terhadap makna ekonomis menjadi salah satu faktor penghambat nelayan untuk mengadopsi inovasi tersebut sehingga menciptakan adopsi yang terlambat di kalangan nelayan. Pada tabel 5 terlihat kecenderungan persentase responden lebih banyak pada penilaian negatif makna ekonomis untuk tingkatan adopter lebih lambat. Menurut Rogers dan Shoemaker, salah satu ciri sosial ekonomi adopter yang lebih inovatif dibanding adopter lambat

82 adalah lebih berorientasi pada ekonomi komersil. Artinya adopter lebih lambat orientasi ekonomi yang dimiliki masih lebih kecil dibandingkan orientasi lainnya. Dalam kasus nelayan responden, orientasi budaya masih lebih tinggi untuk katagori adopter lambat. Persentase responden tinggi yang memberi penilaian positif makna budaya pada adopter lebih lambat, menunjukan bahwa bahwa nelayan masih menempatkan laut untuk kepentingan budaya yang lebih kuat dibanding aspek lain utamanya aspek ekonomi. Kecenderungan tersebut menyebabkan nelayan belum terdorong untuk mengadopsi (adopsi terlambat) terhadap teknologi penangkapan tersebut. Menurut Rogers dan Shoemaker dibanding adopter yang lebih lambat, adopter lebih awal memiliki ciri pribadi antara lain kurang dogmatis. Dengan teknologi yang tergolong sederhana, sebenarnya, kemampuan mereka untuk mendapatkan ikan hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Kaitan dengan hal tersebut, Sudjatmoko et.al (2005) mengungkapkan bahwa selama berabad-abad, teknologi menangkap ikan yang dimiliki orang Bajo sama sekali tak mengalami perubahan. Hubungan emosional tersebut menimbulkan keinginan nelayan untuk menerima hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan laut serta hasilnya. Pada konsepsi pemaknan psikologis tidak merasa nyaman tinggal jauh dari laut serta pindah tempat tinggal menjadi pilihan terakhir ditanggapi sikap setuju menjadikan suatu keharusan bagi nelayan untuk selalu memanfaatkan hasil laut. Makna Pekerjaan Nelayan Jumlah dan persentase responden berdasarkan aspek makna laut adalah: Tabel 8. Sebaran Responden Ponggawa Setiap Katagori Makna Nelayan Makna Laut PC (n=15) PS (n=14) PL (n=16) Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Ekonomis Sosiologis Teologis Psikologis Budaya Pada Tabel 8 tersebut terlihat bahwa pada setiap katagori adopter, penilaian positif untuk makna ekonomis paling banyak dibanding aspek makna

83 lainnya, bahkan untuk PC dan PS mencapai seluruh responden (100%). Pekerjaan nelayan yang telah digeluti bertahun-tahun dan mampu menghidupi keluarga, mampu membiayai anak untuk sekolah, menguntungkan serta pengalaman maupun anggapan mampu menunaikan ibadah haji menjadi dasar penilaian positif makna ekonomis tersebut. Sedangkan kurangnya persentase responden yang menilai positif makna ekonomis pada PL karena beberapa responden beranggapan pekerjaan nelayan kurang menguntungkan, kurang memungkinkan ke Tanah Suci maupun memiliki pekerjaan lain. 28 Dari 45 responden, 5 orang (11.1%) memiliki kios sembako, 2 orang (4.4%) menjual BBM serta 6 orang (13.3) sebagai pedagang ikan (pappalele) dalam hal ini dijalankan isteri ponggawa. Penilaian positif yang sangat menonjol juga terdapat pada makna budaya. Seperti halnya pemaknaan laut, pekerjaan nelayan juga masih dinilai bermakna secara budaya oleh Suku Bajo. Berbagai literatur serta kajian menunjukan bahwa kebudayaan bahari (laut dan nelayan) sangat kuat melekat dalam diri mereka (Hafid et.al, 1996; Peribadi, 2000 dan Sudjatmoko et.al, 2005). Kecenderungan tersebut ditunjukan pula oleh berbagai budaya Bajo yang selalu dihubungkan dengan aktivitas nelayan, misalnya prosesi kelahiran (bantang). Seorang ibu bersama bayi utamanya bayi laki-laki dilakukan upacara dimandikan air laut bagi ibu dan diberi sentuhan air laut bagi bayi. Proses memandikan ibu dan bayi tersebut menurut responden (ponggawa Gs, Pn, Dd) karena keberadaan bayi sebagai bagian dari Suku Bajo kelak bekerja sebagai nelayan yang mengharuskan untuk selalu dekat dengan laut. Pada makna sosiologis juga terdapat responden yang menilai positif dalam persentase yang tinggi. Pengalaman bekerjasama antara berbagai pihak, misalnya ponggawa-sawi, kerjasama pemasaran dengan pappalele serta pengelola TPI menjadi alasan penilaian positif tersebut. Disamping itu anggapan nelayan sebagai simbol Suku Bajo serta pemenuhan kebutuhan ikan untuk orang lain oleh nelayan juga menjadi alasan penilaian positif tersebut. Makna sosiologis dihubungkan pula dengan pendapat serta anggapan nelayan dapat menciptakan hubungan kerjasama dan keharmonisan sesama warga desa. Dalam kegiatannya, nelayan juga diharuskan untuk menjalin kerjasama baik antar anggota kelompok penangkapan, maupun pihak-pihak lain seperti 28 Pekerjaan lain dilakukan baik nelayan itu sendiri maupun anggota keluarga lain misalnya isteri nelayan.

84 pedagang ikan (pappalele). Kerjasama dan keharmonisan dilakukan melalui pembagian maupun giliran kerja pada armada penangkapan sehingga memperkokoh persaudaraan dan persatuan warga desa. Proses sosial tersebut menurut Soekanto (1990) telah menuju bentuk yang konkrit, suatu hubungan terpola sesuai dengan nilai sosial dan budaya masyarakat. Proses tersebut mulai dari perekrutan sawi, sistem bagi hasil yang telah disepakati menjadi suatu pranata sosial komunitas nelayan, serta mode of production yang ada. Hasil penelitian Peribadi (2000) bahwa orang Bajo menyadari sepenuhnya seseorang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Sedangkan Informan mantan Kepala Desa mengemukakan bahwa: Dalam budaya Bajo, setiap aspek kehidupan terdapat 2 hal yang tidak bisa dipisahkan yakni laki-laki-perempuan, langit-bumi dan lainnya. Dua hal itu ada untuk dipersatukan agar saling melindungi dan saling melengkapi. Salah seorang informan mantan ponggawa mengatakan bahwa pada setiap musim terang masing-masing anggota kelompok armada penangkapan bekerja memperbaiki pukat atau melakukan pengecatan kapal. Akan tetapi tidak jarang anggota kelompok lain membantu pada kelompok armada yang lain. Dalam kehidupan sosial sehari - hari menurut Kepala Desa Lagasa setiap warga dengan spontanitas tanpa diundang membantu warga lainnya yang mengadakan hajatan ataupun ditimpa musibah. Menurut responden, membantu orang lain sama dengan membantu diri sendiri. Indikasi keeratan hubungan kekeluargaan ditemukan pula oleh Peribadi (2000) pada komunitas Bajo di Kendari dalam menyelengarakan serta melangsungkan kehidupan sosialnya. Disamping itu penilaian positif dengan pesentase tinggi juga terlihat pada makna psikologis dan teologis. Beberapa pernyataan negatif pada konsepsi makna psikologis ditanggapi dengan sikap sebaliknya oleh mayoritas responden. Sedangkan pernyataan positif cenderung disetujui oleh mayoritas responden pula. Pernyataan bahwa pekerjaan nelayan membosankan dan hidup nelayan serba sulit ditanggapi tidak setuju artinya pekerjaan nelayan tidak membosankan serta hidup sebagai nelayan tidak mengalami kesulitan. Sementara itu, pentingya pemaknaan teologis bagi ponggawa terlihat pula pada ritual-ritual yang dilakukan sebelum melaut pada awal musim gelap berupa ritual tolak balaa. Upacara dilakukan dengan meminum serta memercikkan air yang telah diberi doa oleh modin (modji atau imang). Air dipercikkan pada badan perahu/kapal, mesin, pukat serta baju yang dikenakan nelayan. Hal tersebut menurut responden HL (60) dimaksudkan agar selama musim gelap

85 mereka mendapatkan keberkahan serta keselamatan jiwa dalam lindungan Allah SWT selama melaut. Menghidupi keluarga bagi Suku Bajo adalah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kepala keluarga (Hafid et.al, 1996). Menurut responden salah satu cara memenuhi kebutuhan keluarga adalah dengan bekerja sebagai nelayan, sehingga pekerjaan nelayan dapat dianggap sebagai ibadah. Kehidupan beragama Suku Bajo cukup menonjol di desa penelitian. Pengamatan selama penelitian pada waktu shalat Jumat hampir tidak ada aktivitas oleh kaum laki-laki. Kepercayaan terhadap ajaran agama bagi Suku Bajo masih dipengaruhi oleh kepercayaan leluhur yakni adanya roh-roh yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka. Hasil wawancara dengan responden HL, HA dan Lm menjelaskan bilamana Suku Bajo tidak menjalankan salah satu prosesi berbagai upacara apalagi lalai untuk tidak melaksanakan sesuai dengan aturan, maka akan membawa malapetaka bagi penduduk desa. Dalam konteks nelayan secara umum, Satria (2002) menjelaskan bahwa secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan-perlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semkin terjamin. Makna Pekerjaan Nelayan dan Tingkat Adopsi Pada tingkatan adopter yang lebih lambat, penilaian positif makna ekonomis persentase responden lebih sedikit, sedangkan penilaian negatif cenderung lebih banyak pada adopeter yang lebih lambat. Demikian pula makna sosiologis, teologis dan psikologis. Sebaliknya penilaian positif makna budaya cenderung lebih banyan dan penilaian negatif cenderung lebih kecil. Kecenderungan tersebut utamanya pada makna ekonomis menunjukan bahwa pandangan maupun penilaian terhadap kepentingan ekonomis pekerjaan nelayan menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan kecepatan adopsi modernisasi perikanan. Modernisasi perikanan yang diadopsi nelayan dianggap mendukung kepentingan ekonomi pekerjaan nelayan tersebut. Oleh karena itu respons mereka terhadap modernisasi tersebut relatif cepat dibanding penilaian negatif terhadap makna ekonomis tersebut. Sebaliknya nelayan yang menilai makna negatif ekonomis tersebut akan cenderung terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi (menolak).

86 Sedangkan banyaknya responden dengan penilaian positif makna budaya pad adopter lebih lambat menunjukan bahwa salah satu faktor keterlambatan tersebut karena tingginya budaya yang masih dimiliki responden walaupun makna ekonomis yang dimiliki cenderung tinggi. Pekerjaan nelayan masih banyak dimaknai sebagai bagian dari budaya Suku Bajo, dan bukan sekedar pemenuhan kebutuhan hidup. Pekerjaan nelayan juga hanya dimaknai sebagai pekerjaan warisan, sehingga adopsi terhadap teknologi penangkapan bagi adopter lambat belum terlalu penting. Sikap tersebut menunjukan pula bahwa motivasi meningkatkan taraf hidup bagi adopter yang lambat melalui adopsi teknologi masih lebih kecil dibanding motivasi penerapan nilai budaya. Sebaliknya, menurut Rogers dan Shoemakrers (1971) adopter yang lebih cepat memiliki motivasi tinggi dalam meningkatkan taraf hidup, lebih berkenan terhadap perubahan serta memiliki sifat rasionalitas lebih besar. Penilaian positif juga cenderung tinggi pada makna sosiologis dan makna teologis pada setiap tingkatan adopter. Hal tersebut menunjukan pula bahwa terdapat hubungan antara kepentingan sosiologis maupun teologis pekerjaan nelayan dengan kecepatan adopsi inovasi sarana tangkap tersebut. Responden yang menilai pekerjaan nelayan secara positif makna sosiologis cenderung lebih cepat mengadopsi dibanding penilaian negatif. Fungsi sosial dari pekerjaan nelayan sebagai penguat ikatan kekerabatan dirasakan oleh sebagian besar responden, yaitu 80% nelayan. Bahkan beberapa responden menyatakan bahwa salah satu dorongan untuk memiliki kapal serta alat tangkap gae sendiri adalah agar dapat membantu nelayan lain yang dapat bekerja pada sarana tangkap yang dimilikinya. Gejala lain menunjukkan adanya hubungan sosial yang lebih daripada hubungan ponggawa-sawi yang dihasilkan secara bersama antara lain kegiatan saling mengunjungi atau saling membantu apabila salah satu pihak menghadapi kesulitan. Ikatan kekerabatan yang masih cukup terlihat di desa penelitian dicirikan oleh adanya kegiatan bersama dan adanya kenyataan bahwa antara sesama warga di desa tersebut saling mengenal. Selain itu, menurut pengakuan beberapa responden, hampir seluruh warga masyarakat di desa penelitian memiliki ikatan keluarga, walaupun hanya merupakan saudara jauh. Responden yang menilai pekerjaan nelayan mendukung kepentingan sosiologis menjadi salah satu faktor pendorong adopsi. Kepentingan tersebut adalah kerjasama dengan berbagai pihak, memperstukan Suku Bajo melalui simbol nelayan,

87 serta membantu pemenuhan gizi melalui produksi ikan. Sedangkan penilaian terhadap kepentingan teologis terhadap pekerjaan nelayan juga menjadi salah satu faktor pendorong adopsi teknologi. Pandangan bahwa pekerjan nelayan sebagai bagian dari ibadah karena mencakup pelaksanaan tanggung jawab menafkahi keluarga menjadi bahan pertimbangan adopsi tersebut. Sehingga nelayan dengan penilaian positif lebih banyak terdapat pada katagori adopter lebih cepat. Demikian pula penilaian positif pada makna teologis lebih cepat mengadopsi dibanding penilaian negatif. Pernyataan pekerjaan nelayan yang lebih jelas daripada mengelola laut (pada pemaknaan laut) menurut responden, membuat mereka lebih mengerti bahwa pekerjaan nelayan adalah bagian dari ibadah serta perintah agama. Keinginan untuk menjalankan perintah agama menyebabkan nelayan termotivasi untuk mengadopsi teknologi penangkapan tersebut. Kecenderungan tersebut terlihat bahwa responden yang menilai positif makna teologis lebih banyak pada adopter awal dimana katagori PC terdapat 80% nelayan, PS sebanyak 78% dan PL sebnyak 75% nelayan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi penilaian positif makna teologis semakin cepat adopsi teknologi (modernisasi) bagi nelayan. Ikhtisar Modernisasi berupa alih teknologi kapal dan alat tangkap masuk di desa Lagasa tahun Berdasarkan jumlah adopter, sebaran responden pada tahun 1981 nelayan mulai mengadopsi teknologi. Pengadopsi Cepat (PC) terdiri dari 15 (33.3%) responden, Pengadopsi Sedang (PS)terdapat 14 (31.1%) dan Pengadopsi Lambat (PL) sebanyak 16 (35.6%). Dari jumlah tersebut terlihat bahwa kecenderungan adopter semakin banyak untuk Pengadopsi Lambat (PL) dibanding jumlah adopter sebelumnya. Dari berbagai karakteristik ternyata responden dengan umur yang lebih muda lebih cepat mengadopsi dibanding yang lebih tua. Sebaliknya pengalaman usaha yang lebih lama lebih cepat mengadopsi teknologi. Sedangkan responden dengan pendapatan lebih besar ternyata lebih cepat mengadopsi, begitu pula dengan lama pendidikan. Penilaian positif pada makna laut untuk nelayan dengan status ponggawa lebih banyak pada makna ekonomis dan makna budaya. Tingginya persentase penilaian positif makna budaya menunjukan bahwa nelayan masih menempatkan

88 laut dalam kerangka kepentingan nilai-nilai budaya yang sama pentingnya dengan kepentingan ekonomis. Kecenderungan terjadi bahwa Pengadopsi Cepat (PC) memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan adopter yang lebih lambat. PC memiliki umur lebih muda, pengalaman lebih banyak pendapatan lebih tinggi serta pendidikan lebih lama dibanding katagori adopter lainnya. Pada pemaknaan laut, kebanyakan responden memberi makna ekonomi, psikologi dan budaya yang positif. Sedangkan pada makna pekerjaan nelayan kebanyakan responden memberi makna ekonomi, sosiologis, teologis dan budaya yang cenderung positif. Sementara untuk makna psikologis, sosiologis dan budaya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara ketiga adopter dengan perkataan lain baik pengadopsi cepat, pengadopsi sedang maupun pengadopsi lambat memaknai laut dan pekerjaan nelayan positif baik aspek sosiologis, psikologis dan budaya. Selain itu nampaknya terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Hubungan tersebut adalah semakin positif makna ekonomis maka adopsi inovasi semakin cepat. Sebaliknya semakin positif makna budaya kecenderungan adopsi cenderung semakin lambat.

89 DAMPAK MODERNISASI PERIKANAN Perkembangan sarana penangkapan nelayan adalah hal penting untuk menganalisa dampak modernisasi perikanan terhadap pola kerja, struktur sosial dan kesejahteraan nelayan di desa Lagasa. Penggunaan berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional digerakkan oleh dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukat tassi) dan terakhir adalah sarana modernisasi berupa penerapan teknologi kapal mini pursein 5-10 GT dengan alat tangkap pukat cincin (gae). Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan pada setiap penggunan sarana tersebut. Periode Penggunaan Koli-Koli Pola Kerja Nelayan Koli-koli adalah perahu tradisional yang banyak digunakan oleh nelayan dengan alat kemudi dayung (bose). Penggunaan perahu tersebut diperkirakan sejak nelayan menetap di desa sebelum relokasi (awal 1950). Sebelumnya penduduk adalah pendatang dari berbagai Suku Bajo pesisir Kabupaten Muna. Perahu jenis ini, selain dipergunakan sarana menangkap ikan, juga dipergunakan untuk kepentingan lain misalnya alat transportasi, mengangkut pasir, dan mengambil air tawar/bersih. Perahu tersebut juga dipergunakan untuk lomba perahu tradisional pada berbagai event. Konstruksi koli-koli adalah dibuat dengan melubangi bagian tengah sebatang kayu besar dengan menggunakan kapak. Kayu tersebut dilubangi pada bagian tengah dengan menyisakan cm pada bagian depan dan belakang. Oleh karena berasal dari sebatang kayu besar maka perahu tersebut cukup berat sehingga membutuhkan 5-7 orang untuk mendorong ke laut. Koli-koli pada umumnya dapat dioperasikan cukup 2-4 orang yakni seorang ponggawa bertugas sebagai juru mudi serta 2 atau 3 sawi. Dalam perkembangannya konstruksi perahu dibuat dari sambungan papan setebal 2-3 cm. Panjang perahu 3-4 meter dengan lebar cm sedangkan dalam 40 cm. Cara produksi lama tersebut didominasi oleh alat tangkap pancing, kail maupun pukat tasi dengan sarana perahu tradisional. Waktu yang dibutuhkan

90 untuk melaut sekitar 6-7 jam yang dimulai pada pukul pagi setelah shalat subuh sampai jam menjelang shalat Dzuhur. Jangkauan melaut juga hanya pada daerah pinggiran pantai (inshore), serta jenis hasil tangkapan pada umumnya ikan - ikan pelagis. Dengan sarana tangkap serta waktu yang digunakan membuat hasil yang diperoleh tidak begitu banyak walaupun pada musim ikan (Maret-Juli) di Lagasa dan sekitarnya. Sebenarnya nelayan bisa memperoleh tangkapan lebih banyak tetapi tenaga mereka sudah terkuras serta teriknya matahari maupun kehujanan pada saat musim hujan. Disamping itu kapasitas perahu tidak mampu menampung tangkapan dalam jumlah yang terlalu banyak. Hasil wawancara dengan responden ponggawa HL terungkap bahwa mereka hanya bisa mendapatkan paling banyak 2 keranjang besar dengan menggunakan pukat tasi atau masing-masing sawi sekeranjang kecil jika menggunakan pancing. Secara ringkas pola kerja koli-koli dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 9. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Koli-Koli Jenis Dimensi Daya Jelajah Bentuk Perahu tradisional (koli-koli), dan alat tangkap pancing atau jaring tassi Pinggiran pantai, < 5 km (inshore) Jumlah Pekerja (Sawi) 2-3 orang a. Sifat Bebas b. Pola rekrutmen Spontan, Komunal Waktu Melaut Pembagian Kerja 7 jam per hari Tidak ada Struktur Sosial Nelayan Seorang pemilik koli-koli yang mempekerjakan beberapa sawi tidak membuat ikatan perjanjian kerja yang mengikat. Pemilik perahu tidak menyediakan pancing sehingga sawi menyediakan sendiri pancing tersebut. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah dengan sistem setoran tetap ataupun dengan sistem 50 : 50. Sawi diwajibkan menyetor setengah dari hasil tangkapannya kepada ponggawa baik dalam bentuk uang maupun ikan. Sistem tersebut dilakukan dan tidak memberatkan sawi karena hasil tangkap yang fluktuatif bergantung musim, cuaca maupun kondisi fisik nelayan itu sendiri. Sedangkan sistem setoran mewajibkan sawi

91 menyetor sejumlah ikan maupun uang hasil penjualan kepada pemilik (ponggawa). Beikut asil wawancara dengan responden sawi Lm (51): Waktu masih di kampung lama (sebelum relokasi: Pen), saya kerja jadi sawi perahu HSl. Kita bawa pancing sendiri karena tidak disediakan. Ikan yang ditangkap sebagian kita setor sama Pak Haji (Sl). Atau bisa juga setelah dijual uangnya dibagi dua, satu bagian buat saya satu bagian buat dia. Kalau sistem setoran berat, karena belum tentu kita dapat ikan banyak dalam satu hari. Pemilik perahu (ponggawa) juga lebih senang dengan sistem bagi hasil 50 : 50 tersebut. Mereka khawatir kalau memberlakukan sistem setoran akan memberatkan sawi sehingga tidak mau lagi bekerja pada perahu yang disediakan. Hal tersebut bisa membuat pemilik perahu harus turun melaut sendiri ataupun tidak memperoleh apa-apa ketika tidak melaut. Keseluruhan responden ponggawa pernah mempekerjakan sawi dengan sarana perahu koli-koli. Ponggawa tersebut keseluruhannya (100%) memberlakukan sistem bagi hasil. Kekhawatiran akan berhentinya sawi bekerja atapun beralih pada pemilik perahu lainnya dikemukakan oleh ponggawa HD (51): Kalau sawi sampe (akan: pen) pindah pada perahu lain karena tidak mampu kasih setoran, kita jadi rugi. Waktu itu saya bawa koli-koli dengan 2 sawi. Jadi saya bisa dapat setengah dari setiap sawi dan hasil yang saya dapat sendiri. Kalau sawi tidak kerja berarti saya hanya dapat ikan yang saya pancing sendiri. Saya perhatikan sawi itu. Kalau saya lihat tangkapannya sedikit saya juga hanya ambil sedikit tidak sampe setengahnya. Pola hubungan produksi saat itu tidak menunjukkan sifat eksploitatif utamanya oleh pemilik sarana produksi (ponggawa). Pola hubungan patron-klien tersebut sesuai dengan etika dasar subsistensi Scott (1976) bahwa petani menganut asas pemerataan dengan pengertian membagi sama rata apa yang terdapat di desa karena mereka percaya pada hak moral petani untuk dapat hidup secara cukup. Posisi sosial (stratifikasi) sebagai dasar pembentukan struktur sosial belum terlalu beragam dan mencirikan stratifikasi masyarakat tradisional. Kelompok penangkapan (armada) belum mengenal pembagian kerja (diferensiasi) spesial. Hal tersebut disebabkan pola kerja koli-koli masih sederhana serta belum membutuhkan pembagian kerja spesifik. Kondisi nelayan pada waktu itu sesuai dengan tesis dan konsep diferensiasi struktural oleh Neil J. Smelser bahwa pada masyarakat tradisional masalah integrasi pelaksanaan berbagai fungsi tidak terjadi. Belum nampaknya diferensiasi

92 membentuk struktur sosial tradisional. Stratifikasi berdasarkan dimensi kekayaan (ekonomi) lebih nampak sehingga nelayan hanya terbagi dalam dua status yakni pemilik perahu (ponggawa) serta pekerja/buruh nelayan (sawi). Dimensi tersebut terukur dari kepemilikan perahu bagi lapisan atas (ponggawa) serta lapisan bawah bagi sawi sebagai penjual tenaga. Belum beragamanya differensiasi sosial (pembedaan sosial) sehingga ketidak samaan sosial (social inequality) belum nampak oleh karena itu kemampuan akses sumber daya bagi nelayan masih sama. 29 Terjadinya diferensiasi tersebut bukan karena social inequality tersebut akan tetapi disebabkan oleh faktor lain. Misalnya ponggawa HD mampu membuat perahu oleh karena mendapat warisan sejumlah uang dari orang tuanya, sedangkan HA menerima pemberian kayu dari seorang temannya yang bekerja sebagai pegawai kehutanan melalui hubungan baik yang sudah dijalin sebelumnya. Perekrutan sawi oleh pemilik kapal dilakukan berdasarkan kuatnya struktur komunal desa Lagasa. Mereka direkrut berdasarkan hubungan keluarga, serta tetangga. Oleh karena itu hubungan ponggawa-sawi bersifat egaliter. Sifat kerja sawi adalah pekerja bebas tanpa ikatan kerja tetap dengan ponggawa. Akan tetapi perbedaan status kepemilikan sarana dan prasarana penangkapan membuat sawi tetap menaruh hormat kepada ponggawa. Tabel 10. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-Koli Dimensi Bentuk Diferensiasi 1. ponggawa, 2. sawi Stratifikasi 1. Kelompok Nelayan a. Jenis Lapisan Atas (ponggawa), Bawah (sawi) b. Dasar/ukuran Kepemilikan sarana tangkap 2. Komunitas Atas (lolo, ponggawa,kades, imam desa), Bawah (atta, a. Jenis Lapisan sawi) b. Dasar/ukuran Kepemilikan sarana tangkap, kehormatan Ascribed and achieved status Pola Hubungan Non eksploitatif, Egaliter Sistem Bagi Hasil 50% hasil sawi diserahkan ke ponggawa Ket: Lolo Bajo: bangsawan Atta Bajo: bukan bangsawan 29 Lihat Prasodjo dan Pandjaitan Stratifikasi Sosial dalam Tim Editor Sosiologi Umum. Bogor: Wirausaha Muda

93 Posisi kelembagaan kerja hanya terdiri dari dua bentuk yakni seorang ponggawa sebagai pemilik kapal bertindak sebagai juru mudi dan 2 atau 3 orang sawi sebagai pekerja. Posisi tersebut terbentuk karena diferensiasi yang beragam dalam kegiatan penangkapan belum dibutuhkan. Untuk dimensi jenis lapisan sebagai bagian dari stratifikasi yang ada hanya mencakup lapisan atas yang ditempati oleh posisi ponggawa pada level kelompok nelayan. Sedangkan pada konteks komunitas, lapisan atas terdapat kelompok bangsawan (lolo bajo) disamping posisi ponggawa. Penduduk desa masih menempatkan individu dengan status bangsawan pada lapisan atas. Dalam hal ini lapisan atas pada konteks komunitas tersebut mencakup kedudukan berdasarkan kelahiran (ascribed status) untuk kaum bangsawan serta kedudukan karena kemampuan (achieved status) untuk ponggawa, kades dan imam. Begitu pula pada lapisan bawah yang mencakup posisi sawi serta kelompok bukan bangsawan (atta bajo). Pada dimesi sistem bagi hasil, perolehan tangkapan sawi setengahnya (50%) diserahkan kepada ponggawa yakni setengah jumlah ikan yang diperoleh maupun setengah dari hasil penjualan keseluruhan. Tidak ada target tangkapan dalam sehari yang diberikan oleh ponggawa, sehingga dapat dikatakan bahwa pola hubungan non eksploitatif dan bersifat egaliter antara anggota dalam kelompok penangkapan. Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Pendapatan nelayan berkaitan erat dengan kemampuan produksi hasil tangkapan serta nilai jual ikan. Akan tetapi kedua hal tersebut terkadang menjadi dilema tersendiri bagi nelayan. Pada musim ikan dengan tangkapan banyak harga ikan jatuh sedangkan pada musim terang harga ikan menjadi naik. Walaupun demikian hubungan produksi dan pendapatan tetap saling mempengaruhi. Hasil tersebut diperoleh sebagai hasil penjualan secara bebas baik di pasar maupun pada pedagang (pappalele) yang menunggu ketika nelayan pulang melaut. Pendapatan tersebut dipergunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari serta perbaikan perahu maupun mengganti pancing yang telah rusak. Keuangan dikelola oleh isteri nelayan sebagai pengelola keuangan rumah tangga perikanan (RTP).

94 Kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi karena mereka hanya membeli beras serta sayuran karena ikan diperoleh dari hasil tangkapan disamping untuk dijual. 30 Isteri ponggawa HA menuturkan bahwa: Dari hasil itu kita juga bisa bikin acara sunat anak kita. Kita juga bisa datang kalau diundang acara keluarga dengan bawa uang, beras atau ayam yang dibeli di pasar lama (bekas pasar Kota Raha terbakar tahun 1996; Pen). Sedangkan wawancara dengan sawi Lm yang mengalami bekerja sebagai sawi pada koli-koli terungkap bahwa dia mempunyai pendapatan rata-rata sebesar Rp Rp per bulan (harga beras Rp 250-Rp 500/liter). Hasil tersebut hanya dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu ia membuka jasa pembuatan perahu yang dipesan bagi nelayan yang berminat. Untuk pekerjaan tersebut pemesan menyediakan sendiri kayu yang dibutuhkan karena ia tidak memiliki modal untuk membeli kayu. Tabel 11. Pendapatan Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-koli setiap bulan. No Responden Pendapatan Rata-Rata (liter beras) 1 Ponggawa (n = 45) Sawi Lokal (n = 30) 47 3 Sawi Luar (n = 23) 46.5 Rata-Rata 68.2 Ket: Pendapatan dihitung setiap bulan Pendapatan nelayan pada penggunaan sarana koli-koli lebih tingggi pada nelayan dengan status ponggawa dibanding sawi baik lokal maupun dari luar. Hal tersebut dapat disebabkan karena ponggawa sebagai pemilik perahu berhak memperoleh setengah dari hasil tangkapan yang diperoleh sawi baik dalam bentuk ikan maupun uang hasil penjualan. Walaupun demikian, secara keselurhan pendapatan yang diperoleh masih tergolong rendah. Pada periode penggunaan koli-koli tersebut, secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995) dengan metode identifikasi Bangdes. 31 Akan tetapi secara kualitatif, berdasarkan kriteria pemenuhan kebutuhan pangan (Kusnadi, 2002), nelayan dapat digolongkan pada katagori hidup yang 30 Wawancara dengan isteri HA dan HL 31 Konversi 1 kg = 1.2 liter beras

95 cukup yakni apabila suatu rumah tangga nelayan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dua kali sehari. Rendahnya pendapatan tersebut berkaitan dengan hasil hasil tangkapan yang kurang memadai karena sangat bergantung pada kondisi fisik nelayan serta kondisi alam. Penggunaan perahu koli-koli membuat nelayan hanya bekerja sesuai kemampuan mendayung perahu pada wilayah pinggir pantai (inshore). Nelayan belum mampu menjangkau wilayah tangkapan ikan yang lebih banyak yang biasanya terdapat pada wilayah lepas pantai (offshore). Periode Penggunaan Ngkuru-ngkuru Pola Kerja Nelayan Pola kerja nelayan berubah setelah penggunaan ngkuru-ngkuru. Ngkurungkuru adalah perahu layar dengan kombinasi mesin tempel. Kadang digerakkan mesin kadang pula menggunakan penggerak layar. Pada umumnya alat tangkap yang digunakan adalah pancing dan menggunakan pukat tasi. Hal tersebut berlangsung mulai awal tahun 1970-an. Beberapa nelayan Lagasa yang menjadi sawi perahu motor katinting di wilayah Selat Buton dan Teluk Kendari turut andil memperkenalkan perahu tersebut. Pada saat itu pula pemerintah melaui BRI Raha membuka kesempatan penyaluran kredit pemilikan mesin katinting 10 PK. Menurut ponggawa HL (60) nelayan yang memanfaatkan jasa kredit tersebut, bahwa Kantor Perikanan Kab. Muna menginginkan produksi ikan nelayan lebih meningkat lagi. Oleh karena itu diupayakan program motorisasi perahu untuk memudahkan kerja nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. Selanjutnya demi menghemat bahan bakar, nelayan melakukan modifikasi perahu layar dengan kombinasi mesin 10 PK tadi (Tabel 12) Jenis Tabel 12. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Dimensi Daya Jelajah Jumlah Pekerja (Sawi) 3-4 orang a. Sifat Bebas b. Pola rekrutmen Spontan, Komunal Waktu Melaut 7-12 jam per hari Pembagian Kerja Ada, kurang jelas Bentuk Perahu layar motor mesin 10 pk (ngkuru-ngkuru), dan alat tangkap pancing atau jaring tassi Pertengahan Selat Buton 6-10 km

96 Hasil tangkapan cenderung lebih banyak karena daya jelajah perahu bisa menjangkau pertengahan Selat Buton (sebelah timur Desa Lagasa). 32 Perairan tersebut cukup subur dan memiliki banyak gugusan terumbu karang dengan berbagai macam biota laut yang hidup didalamnya seperti ikan - ikan pelagis (ikan permukaan), ikan - ikan domersal (ikan dasar), kerang mutiara, udang, dan teripang yang sebagian besar merupakan jenis komoditi ekspor dengan nilai ekonomis tinggi (DPK Kab. Muna, 2006). Sifat pekerja (sawi) bebas untuk bekerja pada ponggawa siapa saja serta kapan saja karena tidak adanya ikatan kerja antara kedua bela pihak. Sistem perekrutan masih bersifat spontan dengan memanfaatkan kuatnya struktur komunal dalam desa. Penggunaan alat bantu layar maupun mesin berkekuatan 10 PK dapat menambah jam kerja melaut dibanding penggunaan saana sebelumnya. Dalam kelembagaan kerja sudah mengenal pembagian kerja bagi sawi untuk tugas-tugas membersihkan air laut yang masuk ke dalam perahu, mengumpulkan ikan, serta pembagian jatah bonus ikan (jeme-jame). Akan tetapi pembagian tersebut belum jelas mengatur siapa mengerjakan apa, serta sistem giliran yang belum teratur. 33 Untuk mengoperasikan ngkuru-ngkuru dan alat tangkap pukat tasi dibutuhkan 3-4 sawi dengan pembagian tugas seorang nakhoda, pada umumnya pemilik perahu, dan pekerjaan lainnya dilakukan secara bergilir oleh sawi seperti memasak, mengawasi kerja mesin serta membuang jangkar. Perubahan pembagian tenaga kerja dengan tugas yang jelas terjadi dalam satu armada yakni adanya posisi tukang lume. 34 Struktur Sosial Nelayan Perubahan sosiologis nelayan akibat penggunaan sarana tersebut mengiringi cara produksi baru yang menggantikan cara produksi koli-koli. Kebutuhan akan posisi tukang lume dalam kelembagaan kerja sangat penting sebagai penambahan pembagian kerja (diferensiasi). Sawi yang sementara bekerja menangkap ikan tidak akan terganggu dengan kondisi perahu yang kemasukan air atau kotoran. Hal tersebut menguatkan pula tesis Smelser tentang pembentukan lembaga baru yang menyediakan tugas tertentu untuk menjalankan tugas lebih efektif dan efisien. 32 Selat Buton adalah selat yang memisahkan Pulau Muna dan Pulau Buton. 33 Wawancara dengan ponggawa HA, HL, HD serta sawi Lm, LP dan LT 34 Tukang bersih air laut dan kotoran lain yang masuk ke dalam perahu akibat keras ombak atau perahu oleng.

97 Pembentukan spesifikasi kerja sebagai tukang lume adalah dampak dari perubahan teknologi perahu itu sendiri. Kapatuhan terhadap ponggawa bagi sawi maupun tukang lume bukan hanya karena status kepemilikan kapal bagi ponggawa. Akan tetapi ponggawa dengan statusnya juga sebagai juru mudi memiliki wewenang menentukan waktu dan wilayah penangkapan. Hal tersebut disebabkan pengetahuannya sebagai juru mudi tidak diragukan lagi (wawancara dengan informan mantan ponggawa). Hasil penangkapan dijual melalui pelelangan ikan di pasar sentaral Raha. Sistem bagi hasil yang diterapkan yakni terlebih dahulu dilakukan potong tengah yakni penghitungan biaya bahan bakar, perbekalan dan perbaikan serta retribusi penjualan pada TPI sebesar 5%, selanjutnya hasil tangkapan dibagi 2 bagian. Pemilik bertindak sebagai ponggawa memperoleh 1 bagian, sedangkan 1 bagian lainnya menjadi hak sawi. Sedangkan ponggawa karena posisinya sebagai juru mudi memperoleh 1 bagian. Sistem bagi hasil telah menjadi pranata dalam kehidupan nelayan. Walaupun demikian setiap kali ada sawi yang akan bergabung dalam armada ngkuru-ngkuru sistem tersebut tetap dibicarakan bersama. Meskipun bagi hasil diatur oleh ponggawa dan dilakukan di rumahnya akan tetapi tidak pernah terjadi manipulasi ataupun pembagian yang tidak adil. Disamping itu pemberian bonus ikan (jame-jame) sudah mulai diberlakukan kepada sawi. Bonus ikan tersebut diperuntukkan sebagai lauk keluarganya. Akan tetapi untuk lauk sehari bonus tersebut berlebih, sehingga para sawi menjual bonus tersebut setelah diambil buat lauk keluarga (jame-jame dalam istilah Jawa: lawuhan). Pemberian bonus ikan tersebut sangat disenangi oleh sawi. Salah seorang sawi Bc (49) mengungkapkan: Jame-jame yang didapat kita jual di pasar sentral. Hasil yang dijual kita bisa beli rokok bahkan kebutuhan lainnya. Jame-jame tidak mungkin habis kita makan satu hari. Jadi sisanya kita jual dan selalu ada yang beli. Jame itu bikin kita sawi senang untuk bekerja. Cara produksi tersebut antara lain memiliki ciri kepemilikan nelayan atas perahu kecil motor tempel dan operasi dalam sehari (one day fishing). Pola hubungan kerja yang ada bukanlah hubungan eksploitatif, melainkan pola hubungan saling membutuhkan pada posisi nelayan ponggawa dan sawi. Secara singkat struktur sosial nelayan pada tahap penggunaan ngkurungkuru dapa dilihat pada tabel 13 berikut.

98 Tabel 13. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Dimensi Bentuk Diferensiasi 1. ponggawa, 2. sawi 3. tukang lume Stratifikasi 1. Kelompok nelayan a. Jenis Lapisan Atas (ponggawa), Bawah (sawi, tukang lume) b. Dasar/ukuran Kepemilikan dan posisi kerja 2. Komunitas Atas (lolo, ponggawa, kepala desa, imam desa), Bawah (atta, a. Jenis Lapisan sawi, tukang lume) b. Dasar/ukuran Kepemilikan dan posisi kerja Ascribed and achieved status Pola Hubungan non eksploitatif, egaliter Sistem Bagi Hasil Potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi) Ket: Lolo Bajo: Bangsawan, Atta Bajo: Bukan Bangsawan Dengan adanya tugas tukang lume, terbentuk satu posisi dalam kegiatan melaut dengan sarana ngkuru-ngkuru disamping ponggawa dan sawi. Posisi tersebut berimplikasi pada diferensiasi sosial dalam kehidupan nelayan seharihari. Posisi tersebut secara vertikal berada pada posisi paling bawah setelah sawi dalam struktur kerja nelayan. Posisi tersebut juga membedakan pembagian hasil tangkapan. Satu bagian yang diberikan untuk para sawi diberikan kepada tukang lume dalam porsi yang berbeda dengan sawi biasa. Untuk dimensi jenis lapisan sebagai bagian dari stratifikasi yang ada hanya mencakup lapisan atas yang ditempati oleh posisi ponggawa pada level kelompok nelayan. Sedangkan pada konteks komunitas, lapisan atas terdapat kelompok bangsawan (lolo bajo) disamping posisi ponggawa. Penduduk desa masih menempatkan individu dengan status bangsawan pada lapisan atas. Dalam hal ini lapisan atas pada konteks komunitas tersebut mencakup kedudukan berdasarkan kelahiran (ascribed status) untuk kaum bangsawan serta kedudukan karena kemampuan (achieved status) untuk ponggawa. Begitu pula pada lapisan bawah yang mencakup posisi sawi dan tukang lume serta kelompok bukan bangsawan (atta bajo). Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Pendapatan nelayan pada cara produksi ngkuru-ngkuru berbeda dibanding menggunakan koli-koli. Secara kuantitatif hasil tangkapan kelompok penangkapan meningkat. Implikasi dari perkembangan pola kerja, nelayan dapat meningkatkan

99 daya jangkauan serta waktu melaut karena tenaga dayung untuk menggerakkan perahu telah dibantu oleh tenaga layar/angin maupun mesin 10 pk. Wilayah tangkapan dapat menjangkau pertengahan Selat Buton seperti dijelaskan pada tabel 10 terdapat berbagai jenis ikan yang cukup banyak. 35 Panjangnya waktu melaut terkadang mengharuskan nelayan untuk menyiapkan perbekalan sehingga ponggawa mengeluarkan pula biaya perbekalan sebagai bagian dari pengeluaran biaya operasional. Tabel 14. Pendapatan Nelayan Ponggawa Pada Sarana Ngkuru-ngkuru. No Pendapatan Rata-Rata Tingkatan (dalam liter beras) Adopter Sebelum Setelah Selisih % 1 Pengadopsi Cepat (n=15) Pengadopsi Sedang (n=14) Late Adopters (n=16) Rata-Rata Ket: Sebelum (menggunakan perahu koli-koli) Setelah (menggunakan ngkuru-ngkuru) Pendapatan dihitung setiap bulan Terjadi peningkatan pendapatan secara rata-rata pada nelayan ponggawa sebesar 55.2 %. Kenaikan tersebut terjadi karena sistem bagi hasil yang menjadi hak ponggawa sebesar 50% serta 1 bagian dari 50% sawi karena posisinya sebagai juru mudi. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa pendapatan nelayan lebih tinggi pada Pengadopsi Cepat dan Pengadopsi Sedang sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan nelayan berhubungan pula dengan kecepatan adopsi teknologi. Pendapatan ponggawa tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan ponggawa HA dan HL bisa menambah masing - masing 1 buah perahu. Sementara itu HA bisa membeli sebuah mesin bekas. Sedangkan pendapatan bagi sawi diperlihatkan pada tabel 15 berikut. No Tabel 15. Pendapatan Nelayan Sawi Pada Sarana Ngkuru-ngkuru. Status Pendapatan Rata-Rata (dalam liter beras) Sebelum Setelah Selisih 1 Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 25) Rata-Rata Ket: Sebelum (menggunakan perahu koli-koli) Setelah (menggunakan ngkuru-ngkuru) Pendapatan dihitung setiap bulan % 35 DPK Kab.Muna Laporan Kinerja Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Muna tahun 2005.

100 Terjadi pula kenaikan pendapatan nelayan sawi pada penggunaan sarana ngkuru-ngkuru sebesar 41.7% untuk sawi lokal dan 44.9% untuk sawi luar. Pendapatan rata-rata lebih tinggi pada sawi luar dibanding dengan sawi lokal. Wawancara dengan responden sawi Lm sebesar Rp dari Rp atau Rp pada waktu ikut koli-koli. Hasil tersebut dirasakan belum mencukupi kebutuhan hidup walaupun secara kuantitatif terjadi kenaikan, karena harga kebutuhan naik serta tanggungan semakin bertambah. Keluhan tersebut disampaikan isteri Lm: Anak saya yang ketiga lahir waktu Bapaknya masih ikut Ngkurungkuru. Uang yang dikasih sebenarnya belum cukup untuk hidup. Itu sebabnya kita selalu hemat pakai uang. Untung saja ikan tidak pernah kita beli karena dapat jame kalau pulang dari laut. Keluhan tersebut menggambarkan pula perbedaan pendapatan antara nelayan ponggawa dan sawi. Akan tetapi bagi sawi tidak pernah mengeluh dengan kondisi ketimpangan tersebut. Sawi tidak merasa perbedaan tersebut karena ponggawa bersifat tidak fair. Mereka menganggap hasil yang diberikan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai sawi. Keseluruhan responden (100%) menjawab sesuai ketika diberikan pertanyaan apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan posisi mereka. Pendapat tersebut menunjukan bahwa pola hubungan antara ponggawa-sawi adalah hubungan saling membutuhkan (simbiose mutualisma) walaupun terdapat perbedaan. Pada periode penggunaan ngkuru-ngkuru tersebut, secara rata-rata nelayan (baik ponggawa maupun sawi) digolongkan pada kelompok masyarakat miskin yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995) dengan metode identifikasi Bangdes. 36 Periode Penggunaan Gae Gae adalah istilah/sebutan lokal Bajo untuk paket sarana penangkapan yang terdiri dari kapal mini pursein serta pukat cincin. Pukat cincin sendiri pertama kali diperkenalkan di pantai utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970 (Subani dalam Irham, 2006). Teknologi gae (mini pursein dengan alat tangkap pukat cincin) mulai masuk dan berkembang di Desa Lagasa sewaktu masih menetap pada desa lama antara tahun Bersamaan dengan itu terjadi program relokasi penduduk pada desa tempat menetap sekarang ini. Karena penduduk masih disibukkan dengan relokasi, penggunaannya baru dimulai tahun Orang yang pertama 36 Konversi 1 kg = 1.2 liter beras

101 menggunakan adalah ponggawa HA. Sebenarnya ia sudah menggunakan pukat yang mirip pukat cincin hasil rancangan sendiri. Teknologi gae sendiri sudah banyak diterapkan di beberapa desa pesisir Sulawesi Tenggara seperti Torobulu, Bontu-Bontu dan Latawe. Sewaktu menggunakan pukat mirip gae tersebut, nelayan tidak banyak yang merespons dengan baik. Hal tersebut menurut mereka karena biayanya terlalu mahal serta membutuhkan kapal yang agak besar. Informan mantan ponggawa mengungkapkan bahwa pada waktu itu mereka bahkan menganggap ide HA tersebut terlalu berlebihan. Akan tetapi HA tetap menggunakan serta belajar pada nelayan dari daerah lain. Oleh karena waktu itu alat tangkap pukat cincin sudah dijual di beberapa toko di Makassar, maka ia memutuskan untuk membeli dan tidak melanjutkan untuk menyempurnakan inovasinya. Disamping itu selisih biaya pembuatan dan harga yang dijual tidak begitu besar. HA pertama kali menggunakan kapal bekas serta perangkat gae dari seorang ponggawa di Desa Torobulu Kendari seharga Rp Sebelumnya HA menjual sebuah perahu ngkuru-ngkuru sebagai tambahan modal membeli gae. Cara pengoperasian kapal maupun alat tangkap telah dipelajari sebelumnya dengan turut serta dalam penangkapan pada armada gae di Torobulu serta Bontu-Bontu (sebelah utara Raha, ibukota kabupaten). Sawi yang bekerja pada dua perahu sebelumnya (6 orang) direkrut untuk bekerja pada armada gae tersebut selanjutnya dilakukan penambahan sawi sebanyak 4 orang sehingga berjumlah 10 sawi. Semua berasal dari keluarga dan kerabat dekat. Posisi nakhoda dipegang sendiri oleh HA. Wilayah penangkapan mulai memasuki perairan Selat Buton sebelah utara dan Teluk Kendari. Pola Kerja Nelayan Gae sebenarnya adalah jenis pukat yang dilengkapi cincin pemberat pada bagian bawah pukat jumlahnya mencapai 200 buah. Cincin tersebut bersama tali kerut berfungsi membentuk kantong atau mangkok dalam mengumpulkan ikan (Irham, 2006). Sedang bagian atas terdapat pelampung-pelampung kecil terbuat dari plastik atau karet. Ukuran pukat adalah panjang antara meter dengan lebar meter. Dengan lebar seperti itu, maka pukat dapat dioperasikan pada perairan dengan kedalaman meter. Panjang pukat dibagi bagian (pice) dengan harga Rp setiap pice. Kapal tersebut dikenal dengan kapal mini pursein dengan kekuatan mesin 300 PK. Untuk memudahkan penyebutan sarana penangkapan tersebut nelayan

102 memberi nama singkat; Gae. Sedangkan kelompok/awak dalam satu armada nelayan menyebut Pagae. Panjang kapal antara meter dengan lebar 3-3,5 meter dan kedalaman palka 1 meter yang dapat memuat ikan 1,5-2,5 ton. Pada bagian atas kapal terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan perlengkapan melaut, perbekalan serta ruang kemudi. Atap ruangan berbentuk datar terbuat dari papan dan digunakan oleh para sawi untuk bercakapcakap ataupun bermain domino sebelum aktivitas melingkar pukat dimulai. Selain ruangan, bagian lain kapal tidak diberi atap. Untuk pengadaan sebuah kapal beserta pukatnya nelayan harus menginvestasikan uang sejumlah kurang lebih Rp sampai Rp untuk kapal bekas. Sedangkan kapal baru harganya bisa mencapai Rp Rp Nelayan di Desa Lagasa memulai operasi penangkapan pada setiap hari pada musim gelap pada jam 4 atau jam 5 sore. Musim gelap tersebut adalah pada perhitungan bulan (penanggalan Hijriyah). Biasanya dimulai pada malam ke 20 bulan di langit, kemudian istirahat pada musim terang yakni pada malam ke 12 bulan berikutnya. Dengan kondisi tersebut praktis nelayan beroperasi selama 18 hingga 20 malam setiap bulannya. Akan tetapi efektif selama 15 malam pada saat bulan mati. Jadi waktu istrirahat nelayan selama 8-10 hari/malam. Pada saat terang (terang bulan) ikan sukar terkumpul tidak seperti musim gelap. 37 Pada musim melaut tersebut setiap hari mulai jam pagae berdatangan dan berkumpul di dermaga gae. 38 Akan tetapi bagi pagae yang melakukan penangkapan dengan sistem pangkalan mereka baru kembali ke desa pada awal terang misalnya malam ke Jika kondisi pantai, air sedang surut (metti), pagae berjalan kaki menuju kapal masing-masing dipimpin seorang ponggawa. Sedangkan jika kondisi air pasang mereka menggunakan jonson 10 pk (body batang /padomba) yang juga berfungsi untuk melingkarkan pukat sepanjang cahaya lampu. Pada hari pertama melaut setiap bulannya, pada malam hari dilakukan ritual tolak balaa seperti telah dijelaskan pada Bab sebelumnya. Ketika sampai pada daerah tujuan, para awak/pagae bersiap-siap memulai pekerjaan sambil menunggu posisi bulan agak miring di atas kepala sampai 37 Ikan dikumpulkan melalui cahaya lampu petromak atapun generator. Kemudian pukat diturunkan dilingkarkan oleh perahu body batang (padomba). 38 Ada 2 sistem melaut yang dilakukan nelayan yakni 1) sistem melaut semalam dan 2) sistem melaut pangkalan.

103 keadaan laut gelap gulita. 39 Untuk memancing perhatian ikan dinyalakan lampu petromak dalam jumlah yang banyak. Saat ini beberapa armada mengganti petromak dengan mesin generator. Sambil menunggu posisi bulan, masingmasing awak melakukan aktivitas sendiri - sendiri. Setelah makan malam, ada yang tidur, memancing, berbincang-bincang ataupun bermain domino. Pada saat yang tepat pukat diatur setiap pice. Kemudian disebarkan membentuk lingkaran dengan menggunakan body batang yang dikemudikan oleh seorang sawi dan seorang bertugas menyebarkan pukat. Setelah masing-masing ujung pukat bertemu pada satu titik, para sawi yang menurunkan pukat tadi naik ke atas kapal dan menunggu ikan terkumpul selama 1-1,5 jam. Para sawi kembali melakukan aktivitas lain sambil menunggu pukat ditarik. Ketika ikan terperangkap, pukat membentuk payung/mangkuk serta terkumpul pada badan pukat. Seorang sawi bertugas mengamati keadaan/kelayakan jumlah ikan (pakacca). Aktivitas selanjutnya adalah menarik pukat dan mengumpulkan ikan yang masuk dalam perangkap pukat. Hal tersebut berlangsung sekitar 2,5 jam. Kemudian ikan dimasukan pada bagian penyimpanan biasanya bagian bawah geladak atau dikumpul tersendiri pada perahu body batang. Selanjutnya kapal bergerak menuju lokasi lain untuk melakukan aktivitas melingkar kedua sebelum waktu dini hari atau jika waktu masih memungkinkan. Hal tersebut dimaksudkan agar pada saat matahari terbit aktivitas sudah selesai, serta pagae tidak akan terlambat untuk shalat subuh. Beberapa sawi mendapat tugas khusus memilah ikan sesuai jenis serta besarnya. Para sawi mengambil bonus ikan (jame-jame) yang menjadi haknya dan disimpan pada wadah keranjang masing-masing. Sementara itu kapal bergerak menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sekitar Pasar Sentral Raha dimana hasil tangkapan dimuat di atas padomba. Di tengah laut sudah menunggu perahuperahu para pedagang (pappalele) untuk membeli ikan dari nelayan. Hasil tangkapan antara lain ikan tongkol (turinga/cakalang), sunu (sunu ), ikan putih (pote) rumah-rumah (ruruma), pari (sarange), teri (lure), tembang (tebah) serta berbagai jenis ikan lainnya. Menurut ponggawa Ti (40) sekali melaut (satu malam) pada musim gelap armadanya pernah memperoleh tangkapan berbagai jenis ikan sebanyak setengah ton. 39 Beberapa pengetahuan tradisional Suku Bajo potika uran/angina (ramalan hujan dan angin) serta pengetahuan perbintangan (Mamau), karang, ombak serta waktu dan lokasi penangkapan diwarisi turun temurun.

104 Transaksi dilakukan antara pappalele dan ponggawa. Sementara para sawi menawarkan bonus ikan yang diperoleh juga baik pada pappalele besar maupun pappalele kecil. Pada beberapa perahu terdapat anak-anak maupun remaja yang berusaha mengambil/mencuri ikan (matila) milik pagae atau pappalele. Mereka biasanya mengambil dalam jumlah sedikit untuk setiap armada. Menurut kepercayaan baik pagae maupun pappalele para matila ikan yang wajar sebenarnya pembawa rezeki. Akan tetapi jika yang diambil terlalu banyak sedang ikan sedikit, mereka bisa marah. Pagae tetap menyukai bekerja dengan sarana kapal (mini pursein) serta pukat cincin tersebut karena pekerjaan lebih santai dan jumlah anggota kelompok yang banyak/besar, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya. Secara ringkas pola kerja nelayan Gae dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Gae Dimensi Capaian/Bentuk Jenis Kapal mini pursein kapasitas 5-10 GT dan alat tangkap pukat cincin (gae) Daya Jelajah Teluk Kendari, Laut Sulawesi, Perairan Maluku Selat Tiworo (> 10 km) Jumlah Pekerja (Sawi) orang a. Sifat Semi bebas b. Pola rekrutmen Selektif Waktu Melaut > 12 jam per hari Pembagian Kerja Jelas Ket: Pada umumnya kelompok nelayan menggunakan sistem penangkapan semalam pada wilayah Teluk Kendari Dari segi efektivitas, penggunaan gae membuat hasil yang dicapai lebih banyak serta beragamnya jenis tangkapan ikan. Dari segi efisiensi, pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan ketika menggunakan sistem manual koli-koli maupun ngkuru-ngkuru. Dengan kondisi kapal tersebut nelayan bebas menentukan daerah tangkapan yang memiliki ikan lebih banyak sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Kelautan setempat. Berbeda pada masa sebelumnya dimana nelayan memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Penggunaan teknologi pada aspek kekuatan mesin tersebut membawa implikasi pada peningkatan daya jelajah untuk memilih wilayah penangkapan yang dianggap memiliki sumber ikan lebih banyak. Pencapaian daya jelajah yang jauh menjadikan waktu melaut bagi nelayan menjadi lebih lama. Bahkan beberapa armada (pagae) melakukan sistem pangkalan pada beberapa wilayah

105 tertentu. Penggunaan teknologi kapal yang harus memuat alat tangkap pukat cincin tidak dapat dioperasikan oleh kelompok kecil. Pukat dimuat pada kapal dengan kapasitas minimal 5-10 GT dengan kelompok sawi orang. Berkembangnya hubungan patron-klien antara ponggawa dan sawi tersebut berimplikasi pula munculnya hubungan-hubungan ekonomis rasional, misalnya hubungan hutang piutang. Hutang piutang tersebut menimbulkan perasaan kurang nyaman bagi sawi untuk pindah pada kelompok pagae dengan ponggawa lain. Akibatnya sifat pekerja menjadi pekerja semi bebas. Hubungan tersebut berkembang di kalangan nelayan Lagasa. Dari 55 sawi baik lokal maupun luar, 100% pernah melakukan hubungan hutang tersebut, 23 sawi (41.8%) diantaranya masih memiliki beban hutang pada ponggawa. Pola rekrutmen sawi menjadi lebih selektif, tidak semata-mata mengandalkan kekuatan fisik. Berbagai tugas yang dilakukan mengharuskan pekerja juga memiliki keterampilan serta ketekunan. Misalnya tugas untuk menjalankan mesin, mengamati kondisi ikan apakah sudah terkepung atau belum (makacca). Oleh karena itu pembagian kerja menjadi lebih jelas untuk tugas dan tanggung jawab serta wewenang masing-masing. Struktur Sosial Nelayan Perubahan sosiologis terjadi ketika penggunaan kapal motor gae tersebut. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, armada gae membutuhkan sawi orang, serta beberapa pekerjaan memerlukan keahlian khusus. Dengan menggunakan mesin dan kapasitas 5-10 GT tesebut, armada membutuhkan tenaga masinis untuk menjalankan, merawat dan memperbaiki mesin (bas). Posisi ini diisi biasanya diisi oleh anak ponggawa yang diajari khusus. Posisi baru adalah tukang melingkar pukat (tukang lingkar) yang diberikan kepercayaan kepada sawi yang dianggap mampu untuk pekerjaan tersebut. Posisi juru mudi (nakhoda) dan penunjuk arah serta penentu lokasi penangkapan dipercayakan kapada ponggawa. Jika menggunakan generator, dibutuhkan sawi yang bertugas untuk mengoperasikan mesin tersebut. Jadi dengan adanya modernisasi, terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin banyaknya posisi sosial yang menimbulkan perubahan stratifikasi yang berjenjang serta hierarkis. Posisi tukang masak tidak ada karena sawi membawa sendiri perbekalan untuk makan malam. Tidak adanya posisi tersebut menyebabkan pula ponggawa tidak menanggung biaya makan/perbekalan.

106 Kelompok penangkapan (pagae) juga membutuhkan seorang yang mengamati kelayakan tangkapan (jumlah maupun jenis ikan). Posisi tersebut membutuhkan keahlian tersendiri bagi sawi karena pengamatan dilakukan dengan cara menyelam dalam air di waktu malam hari, dan hanya dilengkapi sebuah kacamata air. Posisi tersebut dalam bahasa lokal dinamakan pakacca. Pada armada juga terdapat posisi tukang bage yang bertugas memilah ikan berdasarkan ukuran dan jenisnya serta membagi bonus ikan (jame-jame) untuk setiap sawi sebelum ikan dijual (lihat tabel 17). Tabel 17. Posisi baru dalam Pola Kerja Armada Gae No Posisi Tugas 1 Nakhoda/ponggawa - Mengemudikan kapal - Menentukan arah kapal - Menentukan lokasi penangkapan 2 Masinis/Bas - Menjalankan mesin - Merawat dan memperbaiki mesin 3 Pakacca Mengamati kelayakan jumlah ikan sebelum ditarik 4 Tukang Listrik Menjalankan dan mengoperasikan mesin generator 5 Tukang Lingkar Melingkarkan pukat di sekeliling lampu 6 Tukang Tare Menarik pukat ke atas kapal 7 Tukang Bage - Memilah ikan sesuai jenis dan ukurannya - membagi bonus (jame-jame) bagi sawi Membersihkan air laut dan kotoran lain yang masuk 8 Tukang Lume ke dalam kapal Perbedaan posisi (diferensiasi pekerjaan) dalam pola kerja tersebut berimplikasi pada diferensiasi sosial karena posisi tersebut bersifat vertikal dan berjenjang serta hierarkis. Posisi sawi dengan keahlian khusus akan memperoleh bagian lebih banyak dari sawi lainnya. Hal tersebut menjadikan kecenderungan sawi untuk belajar sehingga dapat mencapai posisi-posisi yang membutuhkan keahlian khusus. Kecenderungan tersebut terjadi karena dalam aturan bagi hasil posisiposisi tersebut memperoleh jumlah lebih banyak dari pada posisi yang hanya mengandalkan kekuatan fisik seperti sawi pada umumnya. Walaupun jumlahnya tidak ditetapkan dalam suatu pranata khusus. Bagi gae yang memiliki mesin penarik pukat, posisi tukang tare tidak diperlukan lagi karena digantikan oleh mesin yang digerakan oleh masinis (bas). Sehingga bas biasanya memperoleh hasil pembagian yang cukup banyak. Sistem stratifikasi tersebut memperlihatkan

107 nelayan di Desa Lagasa memiliki sistem stratifikasi terbuka dengan berlakunya sistem achieved status. Pada armada yang menggunakan mesin gardang, perekrutan sawi menjadi lebih selektif lagi. Dua buah armada dengan ponggawa HA memiliki sebuah mesin gardang. Sawi yang hanya mengandalkan kekuatan fisik tidak terlalu menjadi prioritas untu bekerja pada gae gardang. Sawi lainnya tetap bekerja pada armada non gardang. Ponggawa tidak mungkin menampung pekerja terlalu banyak tetapi mubazir, serta berdampak pada kecilnya bagian yang diperoleh pada saat bagi hasil. Beberapa sawi direkrut bekerja sebagai pagae gardang oleh karena sudah memiliki kemampuan mengoperasikan mesin penarik pukat. Berubahnya sistem startifikasi tersebut dirasakan beberapa sawi yang sebelumnya tidak mengenal posisi selain menangkap dan mengumpulkan ikan. Hal tersebut terangkum dalam wawancara dengan sawi lokal Rn (48): Tugas saya sekarang jadi tukang melingkar. Tapi sebelum itu saya hanya tukang tarik pukat. Lama-lama saya dikasih percaya (dipercayakan: Pen) ponggawa untuk melingkar. Mungkin dia (ponggawa) lihat saya bisa melingkar. Sedangkan sawi luar desa LM (39) adalah lulusan STM di Raha dan memiliki sedikit pengetahuan elektronik sehingga dipercayakan sebagai Tukang Listrik. Pada dimensi stratifikasi pada level kelompok nelayan, setiap jenis lapisan menempatkan nelayan dengan posisi berdasarkan kepemilikan, posisi kerja dan pendapatan. Ukuran tersebut menempatkan ponggawa tetap pada lapisan atas, bas, tukang lingkar tukang listrik dan pakacca menempati lapisan menengah serta lapisan bawah terdapat nelayan dengan posisi tukang tare, tukang bage, tukang lume. Secara ringkas perubahan struktur sosial nelayan sebagai dampak penggunaan teknologi baru (modernisasi) dapat dilihat pada tabel 18, dimana terlihat bahwa nelayan dengan status bangsawan atau bukan menyebar pada berbagai posisi (diferensiasi). Penyebutan sawi dengan tugas khusus lazim digunakan pada kelompok penangkapan, sedangkan di luar kelompok (komunitas) tetap menggunakan istilah sawi.

108 Tabel 18. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Gae Dimensi Diferensiasi Stratifikasi 1. Kelompok nelayan a Jenis Lapisan Bentuk Nakhoda/ponggawa, Bas, pakacca, tukang listrik Tukang lingkar,tukang tare, tukang bage, tukang lume Atas (Ponggawa) Menengah (Bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) b. Dasar/ukuran Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan 2. Komunitas a Jenis Lapisan Atas (ponggawa) Menengah (bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) b. Dasar/ukuran Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved status) Pola Hubungan Sistem Bagi Hasil non eksploitatif, hierarkis Potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi) Pada lapisan atas nelayan hanya menempatkan posisi ponggawa, dan tidak lagi terdapat kelompok bangsawan (lolo). Hal tersebut menunjukan bahwa ascribed status sudah tidak menjadi pertimbangan dalam menempatkan individu dalam satu jenis lapisan. Lapisan atas yang diisi oleh ponggawa tidak memandang status bangsawan atau bukan, tergantung kemampuan dan kecakapan sehingga dapat menempati posisi ponggawa. Sebaliknya seorang bangsawan pada posisi sawi pada beragam diferensiasi tetap ditempatkan pada lapisan menengah maupun lapisan bawah. Dalam hal ukuran ekonomi (kekayaan) secara fisik terlihat adanya perbedaan pada setiap posisi tersebut. Ukuran tersebut kelihatan dari model rumah, perabot serta pakaian yang dikenakan dirinya serta anggota keluarganya. Sistem stratifikasi tersebut terjadi karena (Prasodjo dan Pandjaitan, 2003): 1. Adanya proses kelembagaan yang menetapkan suatu tipe barang dan jasa tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan. 2. Adanya aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut kepada beragam kedudukan atau pekerjaan. 3. Adanya mekanisme mobilitas (gerak berubah) yang mengaitkan antara individu dengan pekerjaannya atau kedudukannya itu. Secara kuantitatif, responden sawi yang menempati posisi-posisi tersebut dapat dilihat pada tabel 18 berikut ini.

109 Tabel 19. Jumlah Responden Sawi pada Berbagai Posisi Kerja Sarana Modernisasi No Posisi Jumlah % 1 Bas Tukang Listrik Tukang Lingkar Pakacca Tukang Tare Tukang Bage Tukang Lume Jumlah Struktur pesisir mewarnai pola hubungan dalam sistem produksi penangkapan hasil laut. Pola hubungan ponggawa-sawi sebagai konsekuensi dari sifat saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (ponggawa) serta penjual jasa tenaga kerja (sawi). Pola hubungan produksi tersebut memiliki sisi positif dan tidak terjadi eksploitasi oleh pihak ponggawa. Hal tersebut disebabkan: 5. Hubungan tersebut tidak terikat kontrak kerja. 6. Ponggawa tidak menanggung biaya perbekalan serta jaminan piutang secara khusus bagi sawi. Termasuk di dalamnya tidak ada piutang yang mengikat sawi. 7. Konsekuensi poin 1 menyebabkan pihak sawi dapat berganti ponggawa kapan saja sesuai keinginannya. 8. Sistem bagi hasil yang menjamin kehidupan sawi. Disisi lain pola hubungan mengarah pada gejala semi eksploitasi dalam hal target jumlah tangkapan. Hasil tangkapan yang tidak sesuai targe misalnya pada saat tangkapan bulan sebelumnya tidak dapat menutupi biaya operasional bulan berikutnya karena hal tersebut menjadi hutang bagi kelompok pagae. Otomastis nelayan akan berusaha memperoleh tangkapan yang banyak untuk menutupi hutang tersebut serta memperoleh bagi hasil yang memadai. Walaupun demikian, dari hasil wawancara serta isian kuesioner yang diberikan, 34 responden sawi (68%) dari 55 responden menyatakan pola hubungan yang terjalin sangat menguntungkan sedangkan 16 responden (22%) menyatakan cukup menguntungkan. Saling menguntungkan tersebut bukan hanya sekedar bagi hasil yang memadai akan tetapi pola hubungan tidak mengikat tersebutlah yang menjadi faktor penyebabnya. Selain itu dalam setiap melaut, sawi diberi hak bagian hasil tangkap sejumlah ikan (jame-jame) sebelum ikan dijual kepada pihak pappalele. Sawi

110 diberi ikan secukupnya sebagai lauk buat makan keluarga. 40 Menurut mereka ikan tersebut lebih dari cukup untuk makan, sedangkan sisanya dapat dijual. Seorang sawi LT (42) mengatakan bahwa dalam sehari ia bisa memperoleh Rp hasil penjualan jame-jame. Sedangkan Ls (38) menuturkan bahwa dalam musim paceklik ikan sekalipun, ia dapat menghidupi keluarganya dari hasil jamejame. 41 Ketika pertanyaan tersebut diberikan kepada pongawa dari 45 responden keseluruhannya (100%) menyatakan menyukai model hubungan tersebut. HD (51) seorang ponggawa mengatakan bahwa sawi yang bekerja pada armadanya sangat menaruh hormat padanya bukan hanya dalam kegiatan produksi. Hal tersebut juga terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Memang pada awal penerapan gae terjadi kondisi yang tidak menyenangkan utamanya bagi ponggawa. Kondisi tersebut karena belum adanya pranata yang disepakati dan berlaku dalam konteks armada penangkapan. Terdapat kondisi diskontinuansi atau keputusan menghentikan penggunaan inovasi pada seorang ponggawa karena tidak puas dengan konsekuensi inovasi tersebut. Seorang mantan ponggawa Sl (58) menjual kapal serta alat tangkap gae dan memilih usaha tangkap taripang (pattaripang) serta rumput laut dan hanya dibantu anak dan menantunya. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya tindakan sawi pada kegiatan penangkapan sudah tidak terkendali. Sawi bekerja tidak menerapkan aturan yang telah disepakati bersama. Misalnya seorang ponggawa harus menunggu para sawi terkumpul pada jam sore baru turun ke laut. Padahal sesuai kesepakatan melaut dimulai pada jam selepas Shalat Ashar. Terkadang dia harus memanggil para sawi di rumahnya untuk segera turun melaut. Ketika pulang melaut, ikan jame-jame oleh para sawi diambil sesuai keinginan mereka. Keadaan tersebut menyebabkan pula sikap ponggawa yang tidak fair dalam hal penentuan harga jual yang berdampak pada bagi hasil yang tidak seimbang. Pada musim terang, ketika dilakukan pembagian hasil selama musim gelap ponggawa menyebutkan jumlah hasil penjualan kotor tanpa ada bukti nota maupun bukti tertulis lainnya. 40 Sawi menyiapkan keranjang khusus tempat menyimpan jame-jame untuk dibawa pulang. 41 Sebagian dibawa pulang sebagian dijual.

111 Kedaan dapat diatasi setelah diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat, ponggawa, sawi serta difasilitasi oleh Kepala Desa waktu itu (sekarang menjadi informan dalam penelitian ini). Kesepakatan yang dibuat adalah: 1. Semua pagae harus datang di dermaga tepat waktu. 2. Bagi hasil harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh semua pagae. 3. Jame-jame hanya diberi jatah satu keranjang plastik. 4. Sawi yang berhalangan ikut harus memberi tahu (izin) ponggawa Menurut Smelser kondisi seperti itu merupakan konsekuensi dari modernisasi (penerapan teknologi). Penjelasan selanjutnya Smelser menekankan pentingnya integrasi sebagai proses menyatukan (institution) dampak diferensiasi tersebut. Mediasi yang dilakukan oleh Kepala Desa dalam kasus tersebut adalah salah satu bagian dari proses integrasi teori Smelser tersebut. Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Sistem bagi hasil adalah unsur terpenting dalam mengkaji perubahan struktur sosial akibat cara kerja suatu teknologi baru. Sistem bagi hasil dilakukan sebagai pemberian balas jasa patron (ponggawa) kepada klien (sawi). Sistem bagi hasil tetap dipilih seperti halnya pada masa ngkuru-ngkuru sebagai pranata yang berlaku serta dianggap lebih baik dari pada sistem imbalan lain seperti gaji harian, permusim atau bentuk imbalan lainnya. Sistem bagi hasil mengurangi resiko kerugian bagi ponggawa akibat hasil tangkapan yang kurang. Untuk keperluan ini peneliti melakukan wawancara dengan ponggawa BM (40), sawi lokal Sb (37) serta sawi luar desa LK (47). Hasil wawancara disusun sebagai berikut: Kalau saya kasih gaji tetap, saya bisa rugi kalau tangkapan sedikit. Karena setiap hari kita kasih keluar uang untuk beli solar, belum biaya setiap bulan (retribusi desa) atau setiap tahun (perpanjangan izin Dishub dan Disperindag; Pen). Tapi kalau bagi hasil, kita (ponggawa-sawi) samasama senang. (BM) Sebenarnya kita senang kalau gaji harian, tapi ponggawa pasti tidak mau. Bagi hasil juga baik, karena yang kita dapat sesuai dengan kerja kita sedangkan selama ini kita tidak pernah dirugikan (oleh ponggawa). (Sb) Kita tidak pernah curiga sama ponggawa karena kita percaya dia jujur. Kalau tahu dia tidak jujur pasti sudah lama kita keluar ganti ponggawa atau tidak ikut lagi pagae. (LK) Adapun sistem bagi hasil yang berlaku adalah hasil penjualan ikan selama satu musim gelap disimpan biasanya oleh isteri ponggawa. Penghasilan kotor tersebut disimpan bersama dengan aneka kuitansi pembelian solar, retribusi

112 desa, pembelian suku cadang mesin dan biaya perbaikan (kalau ada). Pada waktu istirahat melaut malam 12 sampai dengan malam 19 biasanya semua sawi dipanggil ke rumah ponggawa atau di tempat lain yang ditentukan. Terlebih dahulu dilakukan hitung bersama agar semua yakin jumlah uang yang diperoleh. Seorang sawi mencatat dan menjumlahkan seluruh kuitansi pembelian yang dikeluarkan. Selanjutnya penghasilan kotor tadi dikurangi dengan jumlah pengeluaran dari sejumlah kuitansi yang sudah dikalkulasi (hasil bersih). Hasil bersih selanjutnya dilakukan potong tengah, yakni 1 bagian (50%) adalah menjadi hak ponggawa dan sisanya 1 bagian lagi (50%) menjadi hak sawi untuk dibagi sejumlah mereka yang terlibat dalam armada penangkapan. Satu bagian sawi tersebut selanjutnya dibagi oleh ponggawa sesuai posisi dan tanggung jawabnya. Untuk masing-masing sawi sebelumnya memperoleh satu bagian dari 50% sisa setelah diambil ponggawa. Untuk lebih adil biasanya dari jumlah tersebut disimpan 5% buat sawi yang memiliki tugas dengan keterampilan khusus. Perbedaan jumlah tersebut tidak dibuat dalam aturan tetap, akan tetapi biasanya posisi bas akan memperoleh sedikit lebih banyak dibanding posisi di bawahnya, demikian seterusnya. Bagi nelayan dengan sistem penangkapan pangkalan, biaya potong tengah ditambah dengan biaya perbekalan serta biaya sewa tempat. 42 Perbekalan diadakan oleh karena waktu yang cukup lama bagi pagae berada di perairan yang cukup jauh dari Desa Lagasa. Sistem tersebut dilakukan dengan cara menyewa suatu tempat biasanya rumah kosong di sekitar pantai luar desa. Pagae biasanya membuka pangkalan di perairan Teluk Kendari, Sulawesi tengah bahkan perairan Papua, dan baru kembali pada musim terang. Sistem bagi hasil tersebut tidaklah bersifat mutlak atau flat sepanjang musim penangkapan, tetapi bergantung terhadap hasil tangkapan. Artinya porsi pembagian masing-masing pihak (ponggawa dan sawi) berubah jika penangkapan sedikit. Ponggawa tidak sepenuhnya mengambil 50% haknya dari bagian bersih hasil penangkapan. Hal tersebut dilakukan karena menurut ponggawa distribusi rata-rata menjadi lebih sedikit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sawi selama musim terang ataupun pada saat musim gelap. Jika pada satu periode gelap hasil tidak cukup untuk biaya operasional, maka biaya operasional tersebut dihitung sebagai hutang pagae pada bulan berikutnya. 42 Biasanya di pinggir pantai dengan menyewa sebuah bangunan/kios yang disediakan oleh pappalele atau pihak lain.

113 Hal tersebut terungkap dari pernyataan ponggawa HA yang menuturkan: Kita (ponggawa: pen) tidak mungkin ambil semua bagian kalau kita sedikit dapat ikan. Semua pagae pakai cara (sistem bagi hasil) seperti itu. Kasihan kalau sawi kasih uang isterinya sedikit. Ketika diberikan pertanyaan mengenai penerapan bagi hasil dalam keadaan darurat tersebut kepada sawi baik lokal maupun dari luar desa keseluruhannya (100%) membenarkan. Hal tersebut karena semua armada dimana para sawi tersebut bekerja pernah mengalami penangkapan sedikit dan akumulasi hasil selama musim gelap tidak signifikan untuk dibagi sesuai pranata bagi hasil yang berlaku. Sistem bagi hasil dapat dilihat pada tabel 20 berikut. Tabel 20. Sistem Bagi Hasil Kegiatan Penangkapan Mini Pursein (Gae) Atribut Porsi Ket Pendapatan Kotor Bonus ikan (jame-jame) A B Masing-masing memperoleh 1 keranjang ikan Operasional X Perizinan, bahan bakar, es dan lain-lain Hasil Bersih Ponggawa Jumlah sawi Bagian sawi khusus Sawi (A-B) X = Y 50 % Y T 5% Y 45 % Y/t Berlakunya pranata nelayan tersebut menyebabkan perubahan stratifikasi komunitas nelayan Suku Bajo tersebut belum mengarah pada gejala polarisasi, walaupun terdapat perbedaan pendapatan akibat sistem bagi hasil yang berlaku. Pranata lainnya misalnya dalam hal pekerjaan merawat alat tangkap serta kapal pada musim terang adalah kewajiban bersama. Akan tetapi biasanya ponggawa menyediakan makan siang, rokok dimana biaya untuk itu tidak diambil sebagai akumulasi biaya operasional bulan berikutnya (wawancara dengan ponggawa HA, HD, HL, BM serta sawi Lm, LK, LT serta informan). Ponggawa juga biasanya akan menolong jika suatu ketika sawi ditimpa musibah tetapi dalam porsi kecil. 43 Dalam hal kesejahteraan mencakup pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup (pemenuhan gizi, gaya hidup, bentuk rumah), kesehatan serta pendidikan. Pendapatan untuk setiap posisi nelayan meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum walaupun secara kualitatif masih tergolong katagori nelayan 43 Biasanya tidak lebih dari Rp Jika lebih dari jumlah itu sisanya dihitung sebagai hutang.

114 berpendapatan rendah bagi sawi. Dari pendapatan tersebut maka keluarga nelayan tidak termasuk dalam keluarga tertinggal (Achir, 1994). No Tabel 21. Perubahan Pendapatan Ponggawa Pada Penerapan Modernisasi. Tingkatan Adopter Pendapatan Rata-Rata (dalam liter beras) Sebelum Setelah Selisih 1 Pengadopsi Cepat (n=15) 250 1,300 1, Pengadopsi Sedang (n=14) 250 1,283 1, Late Adopters (n=16) 243 1,280 1, Rata-Rata , , Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae) Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18-20 hari) Seperti halnya pada penerapan sarana tangkap sebelumnya, kecenderungan pendapatan lebih tinggi pada adopter awal dengan kenaikan pendapatan yang cukup tinggi yakni sebesar liter. Selanjutnya pendapatan sawi dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Perubahan Pendapatan Sawi Pada Penerapan Modernisasi. No Status Pendapatan Rata-Rata (dalam Liter Beras) % Sebelum Setelah Selisih 1 Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 25) Rata-Rata Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae) Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18-20 hari) Kenaikan pendapatan sawi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan sawi luar meskipun pada penerapan sebelumnya pendapatan rata-rata sawi luar lebih tinggi. Adapun pendapatan nelayan pada saat penelitian ini dilaksanakan dapat dilihat pada lampiran 4. Tidak terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan pada saat penerapan awal maupun pendapatan nelayan sekarang ini kecuali pada katagori early adopters. Pendapatan nelayan ponggawa early adopters rata-rata liter beras, dimana pendapatan pada awal penerapan adalah sebesar liter beras sedangkan katagori lainnya cenderung tetap. Sedangkan nelayan sawi perbedaan signifikan terdapat pada sawi luar. 44 Kondisi keluarga nelayan tersebut termasuk dalam katagori keluarga sejahtera III bagi ponggawa serta keluarga sejahtera I bagi keluarga nelayan % 44 Lihat Lampiran 4.

115 sawi lokal maupun luar desa (Lampiran 9). Hal tersebut seperti disebutkan dalam ciri-ciri dan katagori keluarga sejahtera (Achir, 1994; BKKBN dalam Prisma, 1994). Walaupun meningkat, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995). Sedangkan nelayan ponggawa tidak termasuk dalam kriteria miskin. Dampak teknologi gae juga menghasilkan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar serta gizi anggota keluarga nelayan. Anggota keluarga nelayan ponggawa 45 responden (100%) rata-rata makan tiga kali sehari, nelayan sawi lokal 30 responden (100%) makan dua kali sehari sedangkan sawi luar desa 18 responden (72%) makan dua kali dan 7 reponden (28 %) makan tiga kali sehari. 45 Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 responden (44.4%) memiliki rumah di atas air dengan konstruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa rata-rata menggunakan rumah konstruksi semi permanen. Penggunaan pakaian serta perhiasan bagi anggota keluarga nelayan bagi kaum perempuan sangat menyolok. Kecenderungan perempuan Bajo untuk menggunakan pakaian dan perhiasan sangat besar. 46 Akan tetapi perhiasan maupun pakaian tersebut berbeda jumlah, jenis dan harganya pada setiap periode penggunaan sarana tangkap. Hal tersebut berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh nelayan (wawancara dengan Mm, adik ponggawa HL). Semua anggota keluarga nelayan responden pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD maupun pendidikan non formal dan tidak terdapat (0%) buta huruf. Bahkan saat ini sejumlah anak nelayan (ponggawa) sudah mencapai pendidikan tinggi (sarjana). Sementara untuk anak sawi lokal maupun sawi luar desa belum mencapai pendidikan tinggi. Secara rata - rata, anak sawi baru mencapai pendidikan SMP walaupun beberapa diantaranya sudah mencapai pendidikan SMA. Kesadaran pentingnya pendidikan tersebut, berkorelasi dengan peningkatan pendapatan. Pada periode penggunaan sarana yang belum modern (koli-koli 45 Menu sarapan pagi seadanya, berbeda untuk menu makan siang atau makan malam. 46 Untuk kepentingan ini, pengamatan dilakukan pula pada komunitas Bajo di desa lain

116 maupun ngkuru-ngkuru), anak-anak nelayan yang sudah berusia remaja diarahkan oleh orang tuanya untuk ikut melaut. Selain alasan ekonomi, orang Bajo umumnya memang menganggap pendidikan tidak begitu penting. Mereka beranggapan bahwa laut yang sangat luas itu sudah sangat cukup menghidupi mereka sehingga tak perlu bersusah payah lagi untuk sekolah. Hasil wawancara dengan Kades Lagasa, bagi mereka bisa baca tulis saja dianggap sudah memadai. Ikhtisar Nelayan di desa Lagasa menggunakan berbagai jenis sarana tangkap berupa perahu dan alat tangkap. Penggunaan berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional dengan penggerak dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukat tassi) dan sarana modernisasi berupa penerapan teknologi kapal mini pursein 5-10 GT dengan alat tangkap pukat cincin (gae). Penggunaan setiap jenis sarana tersebut menimbulkan konsekuensi atau dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri. Hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda-beda. Pada penggunaan koli-koli hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak oleh karena jangkauan melaut hanya pada pinggiran pantai. Pada periode selanjutnya hasil yang diperoleh lebih bisa lebih banyak karena ketergantungan terhadap tenaga fisik nelayan dapat dibantu oleh mesin. Tabel 23. Perubahan Pola Kerja Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Dimensi Jenis Sarana Tangkap Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae Daya Jelajah inshore inshore offshore Jumlah Pekerja (Sawi) 2-3 orang 3-4 orang orang a. Sifat Bebas Bebas Semi bebas b. Pola rekrutmen Spontan, Komunal Spontan, Komunal Selektif Waktu Melaut 7 jam per hari 7 jam per hari > 12 jam per hari Pembagian Kerja Tidak ada Ada, kurang jelas Jelas

117 Dari segi efisiensi, pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan ketika menggunakan teknologi lama. Pada masa sebelumnya nelayan memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Pekerjaan lebih santai, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya. Implikasi peralihan setiap jenis sarana tangkap adalah berubahnya struktur sosial nelayan. Perubahan ditandai oleh munculnya diferensiasi pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor. Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan terstratifikasi dalam berbagai jenis lapisan. Selain itu terjadinya perubahan pola hubungan yang mengarah pada semi eksploitatif serta hierarkis. Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial pada Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Dimensi Diferensiasi Stratifikasi 1. Nelayan a Jenis Lapisan b.dasar/ukuran Stratifikasi 2. Komunitas a Jenis Lapisan b. Dasar/ukuran Pola hubungan Sistem bagi hasil Sarana Tangkap Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae 1. ponggawa, 2. sawi 3. tukang lume 1.ponggawa, 2.sawi Atas (Ponggawa), Bawah (Sawi) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan Atas(lolo, kades,imam, ponggawa) Bawah(atta, sawi) kepemilikan dan kehormatan (ascribed and achieved status) non eksploitatif, egaliter 50% hasil sawi diserahkan pada ponggawa Atas (ponggawa) Bawah (sawi, tukang lume) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan Atas (lolo,kades,imam, ponggawa), Bawah (atta, sawi, tukang lume) kepemilikan dan kehormatan (ascribed and achieved status) non eksploitatif, egaliter potong tengah (biaya perasional) 50% (ponggawa) 50% (sawi) 1.nakhoda/ponggawa, 2.bas, 3.pakacca, 4tukang listrik,5.tukang lingkar, 6.tukangtare, 7.tukang bage, 8.tukang lume Atas (Ponggawa) Menengah (Bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan Atas (kades,imam ponggawa), Menengah (bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved status) non eksploitatif, heirarkis potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi)

118 Sementara itu, terjadi pula perubahan kesejahteraan nelayan setiap penggunaan sarana tersebut. Kesejahteraan tersebut berdasarkan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara berpakaian anggota keluarga nelayan. Peningkatan pendapatan tersebut adalah sebagai implikasi dari alih teknologi sarana penangkapan. Penggunaan mesin pada perahu akan memudahkan kelompok nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan tanpa mempertimbangkan tenaga untuk mendayung. Ukuran perahu yang lebih besar juga memungkinkan kapasitas muatan hasil tangkapan lebih besar. Disamping itu alat tangkap yang lebih modern juga menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dibanding sarana sebelumnya. Perubahan pendapatan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 25. Peningkatan Pendapatan Nelayan pada Sarana Tangkap Pendapatan pada Status Nelayan Sarana Tangkap (liter beras) Koli-Koli Ngkuru-ngkuru Gae Ponggawa (n = 45) Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 23) Walaupun terjadi peningkatan pendapatan, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras. Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 (44.4%) rumah di atas air dengan kontruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa menggunakan rumah kontruksi semi permanen. Semua anggota keluarga nelayan pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD dan tidak terdapat (0%) buta huruf.

119 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penerapan teknologi penangkapan (modernisasi perikanan) dapat diadopsi oleh nelayan Suku Bajo. Namun kecepatan adopsi berbeda-beda sejak teknologi diperkenalkan, dengan interval waktu bagi Pengadopsi Cepat (PC) selama 5-11 tahun Jumlah Pengadopsi Sedang (PS) selama tahun dan Pengadopsi Lambat (PL) selama tahun. Pengadopsi Cepat (PC) cukup tinggi, selanjutnya berkurang pada Pengadopsi Sedang (PS) dan bertambah lagi pada Pengadopsi Lambat (PL). Secara keseluruhan proses adopsi dapat dikatakan cukup lambat dimana terdapat 66.7% responden pada katagori PS dan PL dengan waktu adopsi di atas 12 tahun, dibanding waktu mengadopsi dibawah 10 tahun hanya terdapat 33.3%. Adopsi teknologi yang berbeda-beda pada beberapa katagori tersebut dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan nelayan terhadap keuntungan maupun kerugian penggunaan teknologi tersebut. Ada kecenderungan terjadi bahwa Pengadopsi Cepat (PC) memiliki karakteristik personal yang lebih baik dibandingkan Pengadopsi Sedang (PS) dan Pengadopsi Lambat (PL). Dalam hal umur misalnya, PL memiliki umur ratarata lebih tinggi dibanding adopter lainnya. Dalam hal pengalaman usaha Pengadopsi Cepat (PC) memiliki pengalaman usaha yang lebih singkat dibanding katagori adopter lain. Pada pemaknaan laut, kebanyakan responden memberi makna ekonomi, psikologi dan budaya yang positif. Sedangkan pada makna pekerjaan nelayan kebanyakan responden memberi makna ekonomi, sosiologis, teologis dan budaya yang cenderung positif. Sementara untuk makna psikologis, sosiologis dan budaya memperlihatkan tidak ada perbedaan antara ketiga adopter dengan perkataan lain baik pengadopsi cepat, pengadopsi sedang maupun pengadopsi lambat memaknai laut dan pekerjaan nelayan positif baik aspek sosiologis, psikologis dan budaya. Selain itu nampaknya terdapat hubungan antara pemaknaan dengan kecepatan adopsi. Hubungan tersebut adalah semakin positif makna ekonomis maka adopsi inovasi semakin cepat. Sebaliknya semakin positif makna budaya kecenderungan adopsi cenderung semakin lambat. Penilaian positif pada makna laut untuk nelayan dengan status ponggawa lebih pada aspek ekonomis dan budaya. Tingginya persentase penilaian positif makna budaya menunjukan bahwa nelayan masih menempatkan laut dalam

120 kerangka kepentingan nilai-nilai budaya yang sama pentingnya dengan kepentingan ekonomis. Dalam memaknai laut serta pekerjaan nelayan, status ponggawa maupun sawi bagi Suku Bajo masih menempatkan nilai-nilai budaya pada porsi yang tinggi meskipun berkaitan dengan aspek pemenuhan kebutuhan hidup atau mencari nafkah. Modernisasi perikanan berupa alih teknologi pada komunitas nelayan membawa dampak pada berbagai segi kehidupan nelayan. Penggunaan setiap jenis sarana tersebut menimbulkan konsekuensi atau dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri. Pola kerja pada setiap tahap peralihan teknologi dari yang paling sederhana yakni koli-koli, ngkuru-ngkuru sampai pada kapal motor gae menunjukan peningkatan efektifitas dan efisiensi pekerjaan. Penggunaan layar serta kombinasi mesin tempel pada perahu menggantikan sarana manual menyebabkan peningkatan daya jelajah serta efisiensi tenaga fisik nelayan. Bagi pemilik perahu (ponggawa) penggunaan mesin mengharuskannya untuk mengeluarkan biaya bahan bakar, disamping perawatan mesin maupun perahu. Peralihan alat tangkap jala/jaring tasi menggantikan pancing memungkinkan hasil tangkapan menjadi lebih banyak. Dampak selanjutnya adalah peralihan setiap jenis sarana tangkap adalah berubahnya struktur sosial nelayan. Perubahan ditandai oleh timbulnya diferensiasi pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor maupun alat tangkap yang lebih modern. Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan terstratifikasi dalam berbagai jenis lapisan. Selain itu terjadinya perubahan pola hubungan yang mengarah pada semi eksploitatif serta hierarkis. Oleh karena pada beberapa aktivitas penangkapan membutuhkan tenaga kerja yang terampil, maka pembagian kerja (diferensiasi) mulai berlaku. Diferensiasi pekerjaan tersebut menyebabkan pula terjadinya diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial nelayan tersebut menyebabkan perubahan struktur sosial dalam kehidupan nelayan. Perubahan tersebut berupa perubahan pola hubungan egaliter menjadi hierarkis tetapi tidak bersifat eksplotatif. Pada sistem stratifikasi, pada konteks komunitas, dasar pelapisan berubah dari ascribed dan achieved status menjadi hanya berdasar achieved status. Perubahan pola hubungan berkaitan dengan pemberlakuan sistem bagi hasil sebagai imbalan kerja bagi sawi yang menyebabkan

121 perbedaan pendapatan pada berbagai posisi sawi serta perbedaan yang cukup lebar antara sawi dan ponggawa. Hubungan antara ponggawa sebagai pemilik sarana produksi serta sawi sebagai pekerja bukanlah bersifat eksploitatif, karena diantara mereka masih berlaku nilai-nilai budaya saling membantu baik dalam kelompok kerja maupun kehidupan sehari-hari. Sehingga pola hubungan tidak bersifat eksploitatif serta saling membutuhkan dengan kata lain perbedaan tersebut tidak menunjukan gejala polarisasi oleh karena masih berlakunya tradisi Bajo untuk saling membantu. Saran Laut sebagai wilayah open acces serta sumberdaya common property menyebabkan munculnya persaingan antar nelayan, sehingga nelayan kecil menjadi tersingkirkan. Oleh karena itu, dalam hal pemberian bantuan serta program pengembangan masyarakat pantai, pemerintah hendaknya memperhatikan aspek sosial, budaya serta tingkat kebutuhan nelayan itu sendiri. Pelaksanaan program yang tidak memperhatikan aspek tersebut dapat menyebabkan tujuan program yang tidak tercapai misalnya penolakan untuk mengadopsi, ataupun berdampak pada rusaknya kehidupan sosial nelayan. Salah satu aspek yang perlu menjadi bahan pertimbangan pemerintah adalah bagaimana pemerintah mengetahui sejauhmana pemaknaan nelayan tersebut terhadap laut maupun pekerjaannya sebagai nelayan. Program yang berkaitan dengan nelayan adalah sinergi antara aspek ekonomi dan aspek budaya. Hal tersebut disebabkan bahwa pada kelompok nelayan terjadi kecenderungan pergeseran makna ke arah komersil (ekonomis) namun tidak meninggalkan makna budaya. Untuk itu diperlukan interaksi intensif dengan mengikuti tradisitradisi komunitas setempat bagi pemerintah secara informal serta meminimalisir jarak antara pemerintah dan nelayan. Selanjutnya oleh karena ketimpangan pendapatan antara nelayan lapisan atas dan lapisan bawah cukup besar, maka perlu adanya kelembagaan sosial (pranata) komunitas dalam hal sistem imbalan antara lapisan atas (ponggawa) dengan lapisan bawah (sawi) sehingga ketimpangan pendapatan pada masingmasing lapisan lebih kecil, serta dapat meredam terjadinya konflik sosial nelayan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat aturan bagi hasil maupun sistem imbalan lainnya yang mendapat legalitas dari pemerintah.

122 Penelitian ini dilakukan pada salah satu komunitas Suku Bajo dengan interaksi sosial dengan suku lainnya cukup sering, disamping mudahnya akses komunikasi dan informasi. Oleh karena itu penelitian selanjutnya sebaiknya pada Suku Bajo, yang masih relatif jauh dengan komunitas suku lain serta terbatasnya akses informasi dan komunikasi. Hal tersebut sangat penting, untuk mengetahui gambaran Suku Bajo yang lebih lengkap. Dalam hal dampak modernisasi pada kesejahteraan, sebaiknya analisa lebih tajam dilakukan pada pengeluaran rumah tangga nelayan. Hal tersebut dikaitkan dengan apakah sikap dan perilaku boros yang selama ini menjadi stereotype nelayan terdapat pula pada nelayan Suku Bajo. Analisa pengeluaran tersebut menjadikan katagori kelayakan hidup nelayan lebih terukur.

123 DAFTAR PUSTAKA Abernethy, C L Water Institution to Enhance Economic Development. Majalah Agricultural + Rural Developmet, No. 2 tahun Achir, YA Pembangunan Keluarga Sejahtera, dalam Prisma No. 6 Mei Agung, IN Statistika Hubungan Kausal Berdasarkan Data Katagorik. Jakarta. Raja Grafindo. Agusta, I Cara Mudah Menggunakan Metodologi Kualitatif pada Sosiologi Pedesaan. Bogor: DOKIS IPB Respons Komunitas Terhadap Industrialisasi Desa. Bogor: Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Alimuddin, MR Orang Mandar Orang Laut. Jakarta: KPG. Amaluddin, M Kemiskinan dan Polarisasi. Studi Kasus di Desa Bulugede Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: UI Press. Anggraini, E Analisa Model Pengelolaan Sumberdaya Laut. Skripsi FPIK IPB. Anonim Tata Kelakuan Di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat Setempat Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud. Anonim Rakyat Menyemai Jati Pemkab Menuai Hasil: Pengusiran dan Penangkapan Masyarakat Patu-Patu oleh Aparat Kabupaten Muna. (21 Februari 2004) Ansharuddin, M Respons Komunitas Nelayan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Partisipatif. Bogor: Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Awang, SA, Kasim, B Tular,Salam Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional. Kendari: CARE Internasional Indonesia. Babbie, E The Practice of Social Research. 10 th Edition. WP Company. Baron A dan D Byrne Psikologi Sosial (Terj). Jakarta: Penerbit Erlangga Barth, F Kelompok Etnik dan Batasannya (Terj). Jakarta: UI-Press. [BPS] Sensus Penduduk Indonesia Tahun Jakarta: BPS Cresswell, JW Research Design (Qualitative and Quantitative Approach). London: SAGE Publications. Danim, S Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Dahuri, R Pendayagunaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: LISPI. Dendi, A, HJ Heile dan A Surahman Mengurangi kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Berbasis Kerakyatan. Makalah disampaikan dalam Dialog Pengembangan Ekonomi Lokal Kab. Dompu, 8 Januari [Depdiknas] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Deuster, PR Revolusi Hijau desa di Sumetera Barat dan desa di Sulawesi Selatan, dalam Sajogyo (Ed). Perekonomian Desa. Jakarta: YOI. [Ditjen Perikanan] Buku Statistik Perikanan Indonesia. Jakarta: DKP Djatmiko,E.1993 Karakteristik dan Permasalahan Pedesaan di Indonesia, dalam Mubyarto (Ed). Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media. Dove, M. R Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia [DPK Kab.Muna] Laporan Kinerja Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Muna tahun Raha: DPK Kab. Mua. Erari, KP Tanah Kita Hidup Kita: Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Fauziah, E Makna tanah Bagi Petani. Studi Kasus Masyarakat Adat Desa Sindang Jaya dan Desa Ciherang Cianjur Jawa barat. Skripsi Faperta IPB.

124 Geertz, C Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara KA. Goldscheider, C Populasi, Modernisasi dan Struktur Sosial (Terj). Jakarta: CV.Rajawali. Hafid, Y, P Hamid S Kila dan Ansaar Pola Pemukiman dan kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud. Hamid, A (Ed) Pertumbuhan Pemukiman Masyarakat di Lingkungan Perairan Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud. Hanafi, A Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional. Hardinsyah Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Pengentasan Kemiskinan. Orasi Ilmiah Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: IPB. Hayami, Y dan M Kikuchi Dilema Ekonomi Desa. Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: YOI Husken, F Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman: Sejarah Differensiasi Sosial di Jawa Jakarta: Grasindo. Ife, J An Introduction to Community Work: Creating Community Alternative, Vision, Analysis and Pratice. Melbourne: Longman. Iskandar, I Ekologi Perladangan di Indonesia (Studi kasus dari daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat). Jakarta: Penerbit Djambatan. Johnson, DP Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia. Juwono, PH, Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung. Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono. Jakarta: Konphalindo. Kartasasmita, G Pembangunan Untuk Rakyat. Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Cides. Kasim, H Antara Harapan dan Kenyataan: Studi tentang Aspirasi Nelayan Terhadap Pendidikan Anak di Cambaya dalam Mukhlis dan Kathryn Robinson (eds), Masyarakat Pantai. Ujung Pandang: Lephas. Kikis, Kemiskinan Strktural di Masyarakat Nelayan: Masalah dan Agenda Strategis. Summary Semiloka Strategi Pemberdayaan Rakyat. Medan Desember Koentjaraningrat Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat (Ed). Metode - Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.Gramedia. Kusnadi Nelayan, Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: HUP Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Yogyakarta: LkiS Kusumastanto, T Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Bogor: FPIK- IPB. Kusumastanto, T dan A. Satria Strategi Pembangunan Desa Pesisir Mandiri. Makalah disampaikan pada Semiloka Menuju Desa 2030, 9-10 Mei Kusworo, A Perambah Hutan Atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin Lampe, M Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern. Makalah disampaikan pada Seminar kebudayaan nasional, Bukittinggi, oktober 2003 Lauer, R.H Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Terj). Jakarta: Bina Aksara. Lionberger, HF Adoption of New Ideas and Practices. Ioawa: The Iowa State University Press. Littlejohn, SW Theories of Human Communication Edisi 6. New Mexico Wodworth PC.

125 Long, N Sosiologi Pembangunan Pedesaan (Terj). Jakarta: PT. Bina Aksara. Mar at Sikap manusia serta Pengukurannya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Masenga, TW Proses Kerja Masyarakat Nelayan. Kasus Patorani di Desa Pa lakkang Kecamatan Galesong Utara Kab. Takalar Sulawesi Selatan. Bogor: Tesis Pascasarjana IPB. Masyhuri Adaptasi Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: P2E-LIPI. Masyhuri dan M Nadjib Pemberdayaan Nelayan Tertinggal: Sebuah Uji Model Penanganan Kemiskinan. Jakarta: PEP- LIPI. Mattulada Masyarakat Pesisir Dilihat dari Sudut Antropologi dan Sosiologi, dalam Pengembangan Sumberdaya Lautan (Aspek Sosial Budaya). Ujung Pandang: Lephas. Mead, D dan MY Lee Mapping Indonesian Bajau Communities in Sulawesi. www. SIL-International.com (19 juli 2007) Mosher, AT Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat-Syarat Pokok Pembangunan dan Modernisasi. Jakarta: Yasaguna. Mubyarto, L Soetrisno dan M Dove Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali Press. Neuman, WL Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Third edition. USA: Allyn dan Bacon. Nugraha, BS (Ed) Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos. Peribadi Kedudukan dan Peranan Perempuan Dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Bajo. Tesis Pasca Sarjana IPB Bogor. Pieter, N Sikap Nelayan Terhadap Motorisasi dalam Kegiatan Penangkapan Ikan (Kasus Kab. Maluku Tengah). Tesis. Bogor: Pascasarjana IPB. Popkin, S.L Petani Rasional. Jakarta: Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Prasodjo, NW dan Pandjaitan, NK Stratifikasi Sosial dalam Tim Editor, Sosiologi Umum. BISKEM IPB. Bogor: Wirausaha Muda Rice, RC Environmental Degradation, Pollution, and the Exploitation of Indonesia s Fishery Resources dalam Hardjono, J (Ed), Indonesia: Resources, Ecology and Environment. Singapore: Oxford University Press. Ritzer, G Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Ritzer, G dan DJ Godman Teori Sosiologi Modern (Terj). Jakarta: Kencana. Rogers, EM Diffusion of Innovation. Third Edition. New York: Macmillan Publishing. Rusli, S Sumardjo E Soetarto, B Krisnamurti, Y Syaukat dan MF Sitorus Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin. Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta: Grasindo. Saba, ES Penguatan Makna Awig-Awig Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Tesis Pascasarjana IPB. Salman, D Kemiskinan Struktural dan Polarisasi Sosial Pada Masyarakat Nelayan. Ujung Pandang: Lephas. Sarwono, SW Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. Satria A Dinamika Modernisasi Perikanan. Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: HUP Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo. Sajogyo, P Sosiologi Pembangunan. Jakarta: FPS IKIP Jakarta dan BKKBN. Schoorl, J. W Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. Jakarta: PT Gramedia. Scott, JC Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: Penerbit LP3S. Siahaan, H Struktur Sosial dan Kemisikinan Petani dalam Alfian (ed), Kemiskinan Struktural: Suatu Bungan Rampai. Jakarta: YIIS.

126 Sinaga, R dan B White, Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural, dalam Alfian (ed), Kemiskinan Struktural: Suatu Bungan Rampai. Jakarta: YIIS. Singaribun, M dan S Effendi (Ed) Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Siregar, BB Menelusuri Jejak Ketertinggalan. Merajut Kerukunan Melintasi Krisis. Bogor: Pusat P3R-YAE Sitorus, MTF Penelitian Kualitatif, Suatu Perkenalan. Bogor: DOKIS-IPB Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba (Disertasi). Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Sitorus, MTF, E Soetarto, DP Lubis, I Agusta, R Pambudy Agribisnis Berbasis Komunitas. Sinergi Modal Ekonomi dan Modal Sosial. Bogor: Wirausaha Muda. Soekanto S Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Soemardjan, S and Breazeale, K Cultural Change in Rural Indonesia: Impact of Village Development. Surakarta-Indonesia: Sebelas Maret University Press- YIIS East-West Center Honolulu. Soewardi, H Respons Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian Terutama Padi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Solihin, A Merancang Revitalisasi Perikanan. (18 September 2005) Suhartini, A Halim, I Hambali dan A Basyid (Eds) Model - Model Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: LKis Suwarsono, dan So, AY Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Penerbit LP3ES. Sunarto, K Pengantar Sosiologi. Edisi Kedua. Jakarta: LP FE UI. Susanto, AS Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta. Syahyuti Alternatif Konsep Kelembagaan untuk Penajaman Operasionalisasi dalam Penelitian Sosiologi. Forum Penelitian Agroekonomi. Vol 21 no. 2. Sztompka, P Sosiologi Perubahan Sosial (Terj). Jakarta: Prenada. Tim Antropologi Unpad Tanggapan Masyarakat Nelayan Terhadap Motorisasi. Makalah disampaikan pada Seminar Mahasiswa Antropologi, Denpasar Agustus Timban, JF partisipasi Masyarakat dalam pelestarian Hutan Lindung Tumpa. Tesis Pascasarjana IPB Bogor. Tjondronegoro, SMP Kata Pengantar dalam Bechtold, KHW (Ed) Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Jakarta: YOI Keping - Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. Vredenbregt, J Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Wahyono, A, IGP Antaraiksa, M Imran, R. Indrawasih dan Sudiyono Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Jakarta: Media Pressindo. Wahyono A, AR Patji, DS Laksono, R Indrawarsih, Sudiyono dan S Ali Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Media Pressindo. Wariyanto, A Perlu Pemberdayaan Nelayan. (10 April 2004) Winahyu dan Santiasi Pengembangan Desa Pantai, dalam Mubyarto dkk, Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media. Wirutomo, P Mencari Format Pembangunan Berbasis Nilai (Jurnal Sosiologi Indonesia No.7/2005). Wunawarsih, IA Faktor Komunikasi dan Sosial Ekonomi Yang Berhubungan dengan Adaptasi Nelayan. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Yin, RK Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yudana, IW, DA Budiari dan IA Wikanta, 199. Pengaruh Modernisasi Terhadap Organisasi Sosial (Studi Kasus Nelayan desa Serangan Bali). Denpasar: FISIP Unud.

127 Lampiran 1. Peta Lokasi Komunitas Suku Bajo di Sulawesi Tenggara Sumber: Mead, D dan MY Lee Keterangan: :Lokasi Penelitian

128 Lampiran 2. Jenis Pekerjaan Selain Nelayan Sawi Luar Desa No Responden Umur (Th) Lama Usaha (Th) Pekerjaan Lain Bertani Memancing Bertani Tukang Kayu Memancing Memancing Memancing Tukang Batu Bertani Tukang Batu Buruh Buruh Memancing Tukang Memancing Memancing Tukang Tukang Memancing Memancing Bertani Buruh

129 Lampiran 3. Komponen Biaya pada masing-masing sarana penangkapan nelayan No Jenis Sarana Koli-Koli Ngkuru-Ngkuru Gae 1. Pembuatan perahu 2. Perawatan 3. Ritual tolak bala 1. Pembuatan perahu 2. Perawatan 3. Mesin 10 pk 4. Solar 5. Ritual tolak bala Komponen Biaya 1. Kapal dan pukat cincin 2. BBM (solar, bensin minyak tanah) 3. Perizinan dan Retribusi desa 4. Perawatan 5. Ritual tolak bala

130 Lampiran 4. Pendapatan Nelayan Ponggawa Setiap Musim Pada Sarana Modernisasi. 1. Awal Penerapan Pengadopsi Cepat Pendapatan No Responden Harga Beras (Rp) (Rp/liter) (liter beras) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,000 Rata-Rata 433, ,300 Pengadopsi Sedang No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) , , , , , , , , , , ,000,000 1,000 1, , , , , , , ,000 1, , ,000, , ,000,000 1,000 1, , ,400 Rata-Rata 821, ,283

131 Pengadopsi Lambat No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) 1 1 1,500,000 1,000 1, ,500,000 1,000 1, ,500,000 1,500 1, ,000,000 2,000 1, ,500,000 1,500 1, ,000,000 1,500 1, ,500,000 1,000 1, ,500,000 1,000 1, ,000,000 1,500 1, ,000,000 1,000 2, ,000,000 2,000 1, ,000,000 1,500 1, ,000,000 2,000 1, ,000,000 2,000 1, ,500,000 2,000 1, ,500,000 2,000 1,250 Rata-Rata 1,875,000 1,531 1, Tahun 2007 (pelaksanaan penelitian) Pengadopsi Cepat No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) 1 1 7,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, Rata-Rata 5,633,333 4,000 1,408

132 Pengadopsi Sedang No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) 1 1 6,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1,250 Rata-Rata 5,142,857 4,000 1,286 Pengadopsi Lambat No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) 1 1 5,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,500,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1, ,000,000 4,000 1,250 Rata-Rata 5,125,000 4,000 1,281

133 Lampiran 5. Pendapatan Nelayan Sawi Modernisasi. Lokal Setiap Musim Pada Sarana No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) , , ,000 1, , , , ,000 1, ,000 1, ,000 1, , , ,000 1, ,000 1, , ,000 1, ,000 1, , ,000 1, ,000 1, ,000 1, , ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 1, , , , , ,000 2, Rata-Rata 260,000 1,

134 Lampiran 6. Pendapatan Nelayan Sawi Modernisasi. Luar Setiap Musim Pada Sarana No Responden (Rp) Pendapatan Harga Beras (Rp/liter) (liter beras) ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 2, ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 2, ,000 1, ,000 2, ,000 2, ,000 1, , ,000 1, , ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 1, ,000 2, ,000 2, ,000 1, Rata-Rata 323,000 1,

135 Lampiran 7. Gambar Rumah Suku Bajo dan Jembatan/Jalan Dibangun di atas Air Rumah Jembatan/Jalan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara)

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara) AWALUDDIN HAMZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi

DAFTAR ISI. Halaman i ii iii iv v vi DAFTAR ISI RINGKASAN... DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI... PRAKATA... PENDAHULUAN Latar Belakang... Pertanyaan dan Masalah penelitian... Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN: STUDI KASUS NELAYAN SUKU BAJO DI DESA LAGASA KABUPATEN MUNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN: STUDI KASUS NELAYAN SUKU BAJO DI DESA LAGASA KABUPATEN MUNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA RESPONS KOMUNITAS NELAYAN TERHADAP MODERNISASI PERIKANAN: STUDI KASUS NELAYAN SUKU BAJO DI DESA LAGASA KABUPATEN MUNA PROVINSI SULAWESI TENGGARA (Fishery Communities Response To Fishery Modernization:

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Kemiskinan dan kesenjangan sosial pada kehidupan nelayan menjadi salah satu perhatian utama bagi kebijakan sektor perikanan. Menurut pemerintah bahwa kemiskinan dan

Lebih terperinci

KERANGKA TEORITIS. Komunitas Nelayan

KERANGKA TEORITIS. Komunitas Nelayan KERANGKA TEORITIS Komunitas Nelayan Dalam mengkaji dinamika komunitas nelayan perlu dikaji pemahaman mengenai komunitas itu sendiri. Pengertian komunitas mencakup kelompok-kelompok yang terdiri atas sejumlah

Lebih terperinci

RESPONS TERHADAP MODERNISASI

RESPONS TERHADAP MODERNISASI RESPONS TERHADAP MODERNISASI Karakteristik Adopter Karakteristik responden penelitian ini meliputi umur, pengalaman usaha, pendapatan, lama pendidikan, dan status sosial. Secara ringkas responden tersebut

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN

AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 65 TRANSFORMASI MODA PRODUKSI (Mode of Production) MASYARAKAT PESISIR (Studi Kasus Nelayan Bajo di Desa Latawe Kabupaten Muna) Oleh: Awaluddin Hamzah 1 ABSTRACT The purpose of this study was to investigate

Lebih terperinci

Respon Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa, Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara) 1

Respon Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa, Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara) 1 ISSN : 1978-4333, Vol. 02, No. 02 3 Respon Komunitas Nelayan terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa, Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara) 1 Awaluddin Hamzah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada rumah di kawasan permukiman tepi laut akibat reklamasi pantai. Kawasan permukiman ini dihuni oleh masyarakat pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Nelayan mandiri memiliki sejumlah karakteristik khas yang membedakannya dengan nelayan lain. Karakteristik tersebut dapat diketahui dari empat komponen kemandirian, yakni

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 78 7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 7.1 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH 1 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR UNTUK KEBERLANJUTAN PELAYANAN AIR BERSIH (Studi Di Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Mengkaji perilaku nelayan artisanal di Indonesia, khususnya di pantai Utara Jawa Barat penting dilakukan. Hal ini berguna untuk mengumpulkan data dasar tentang perilaku nelayan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pendapatan asli daerah Sulawesi Selatan. Potensi perikanan dan kelautan meliputi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah yang memiliki luas perairan laut cukup besar menjadikan hasil komoditi laut sebagai salah satu andalan dalam pendapatan asli

Lebih terperinci

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara)

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) SKRIPSI WINDI LISTIANINGSIH PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan ini berasal dari kemampuan secara mandiri maupun dari luar. mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan adalah mengukur kualitas hidup, yang merefleksikan aspek ekonomi, sosial dan psikologis. Dalam aspek ekonomi, maka kemampuan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia. Indonesia

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO TENRIUGI

PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO TENRIUGI PENGEMBANGAN LEMBAGA SIMPAN PINJAM BERBASIS MASYARAKAT (LSP-BM) SINTUVU DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN USAHA-USAHA MIKRO (Studi Kasus di Desa Sidondo I Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah)

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara garis besar merupakan negara kepulauan yang luas lautnya mencapai 70% total wilayah. Kondisi laut yang demikian luas disertai dengan kekayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya perikanan, sumberdaya perairan

Lebih terperinci

memasuki lingkungan yang lebih luas yakni lingkungan masyarakat. PENDAHULUAN A. Permasalahan Penelitian

memasuki lingkungan yang lebih luas yakni lingkungan masyarakat. PENDAHULUAN A. Permasalahan Penelitian PENDAHULUAN A. Permasalahan Penelitian Pendidikan merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa dan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapanpun dan

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi: Kasus Desa Bedoyo,

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah lautan. Luas daratan Indonesia adalah km² yang menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. adalah lautan. Luas daratan Indonesia adalah km² yang menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Dimana dua sepertiga wilayahnya merupakan perairan. Terletak pada garis katulistiwa, Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah yang mengancam Bangsa Indonesia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa yang berarti sebanyak 16,58

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK SUMBER MODAL TERHADAP PRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA TAMBAK UDANG DI KECAMATAN MUARA BADAK KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA HANDAYANI BOA

ANALISIS DAMPAK SUMBER MODAL TERHADAP PRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA TAMBAK UDANG DI KECAMATAN MUARA BADAK KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA HANDAYANI BOA ANALISIS DAMPAK SUMBER MODAL TERHADAP PRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA TAMBAK UDANG DI KECAMATAN MUARA BADAK KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA HANDAYANI BOA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG

PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG PERENCANAAN OPTIMALISASI JASA ANGKUTAN PERUM BULOG (Studi Kasus Pada Unit Bisnis Jasa Angkutan Divisi Regional Sulawesi Selatan) Oleh : Retnaning Adisiwi PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah Negara ini terdiri dari lautan dengan total panjang garis pantainya terpanjang kedua didunia.wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Perubahan Iklim Perubahan iklim dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan pada sebuah keadaan iklim yang diidentifikasi menggunakan uji statistik dari rata-rata perubahan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1).

PENDAHULUAN. sektor perikanan dan kelautan (Nontji, 2005, diacu oleh Fauzia, 2011:1). I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah laut yang lebih luas daripada luas daratannya. Luas seluruh wilayah Indonesia dengan jalur laut 12 mil adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas Laut 3,1 juta km2. Konvensi

Lebih terperinci

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON

2015 KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN CIREBON BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi alam di sektor perikanan yang melimpah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Salah satu sumber

Lebih terperinci

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT Oleh IFAN ARIANSYACH H34066063 PROGRAM SARJANA AGRIBISNIS

Lebih terperinci

TAHUN Tahun 2007) SEKOLAH

TAHUN Tahun 2007) SEKOLAH PERILAKU POLITIK ETNIS TOLAKI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TAHUN 2007 (Kasus: Kubu NUSA Dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007) ARYUNI SALPIANA JABAR SEKOLAH PASCASARJANAA

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA DESA SEKITAR HUTAN Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat AGUSTINA MULTI PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ABDUL MUGNI A14202017 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan adalah sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia.

Lebih terperinci

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG

KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG KAJIAN AKTIVITAS DAN KAPASITAS FASILITAS FUNGSIONAL DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KRONJO, TANGERANG Oleh : Harry Priyaza C54103007 DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki luas wilayah dengan jalur laut 12 mil adalah 5 juta km² terdiri dari luas daratan 1,9 juta km², laut territorial 0,3 juta

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27).

BAB I PENDAHULUAN. dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan Nelayan Masyarakat yang berada di kawasan pesisir menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan kemiskinan. Pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO

PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini

MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA. Lis Noer Aini MODEL KONSEPTUAL PENGEMBANGAN LANSKAP WISATA BUDAYA DI KAWASAN SUNGAI CODE, KOTA YOGYAKARTA Lis Noer Aini Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama bagi pengambil kebijakan pembangunan. Laut hanya dijadikan sarana lalu

I. PENDAHULUAN. utama bagi pengambil kebijakan pembangunan. Laut hanya dijadikan sarana lalu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paradigma pembangunan kelautan pada masa sekarang membawa pandangan baru bagi pelaksana pembangunan. Pada masa lalu, laut belum menjadi perhatian utama bagi pengambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota

I. PENDAHULUAN. Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan ,80 km², kota 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Secara keseluruhan daerah Lampung memiliki luas daratan 34.623,80 km², kota Bandar Lampung merupakan Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB IV DISKUSI TEORITIK

BAB IV DISKUSI TEORITIK BAB IV DISKUSI TEORITIK Teori yang digunakan dalam analisa ini bermaksud untuk memahami apakah yang menjadi alasan para buruh petani garam luar Kecamatan Pakalmelakukan migrasi ke Kecamatan Pakal, Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan memiliki arti penting dalam mendukung rantai ketahanan pangan, dimana kebutuhan protein dunia dapat dipenuhi oleh sumber daya perikanan, baik dari perikanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci