BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian Resiliensi Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting kembali (Resiliency Center, 2004). Menurut VanBreda (2013) resiliensi merupakan sebuah kekuatan dan sebuah sistem yang memungkinkan individu untuk terus kuat berada di sebuah keterpurukan. Resiliensi merupakan sebuah kapasitas bagi individu untuk bangun lagi dari kejatuhan serta bangkit kembali dari kesulitan (Setyoso, 2013). Walsh (Lestari, 2016) memaparkan bahwa resiliensi sebuah kemampuan individu untuk bangkit dari penderitaan, dengan keadaan tersebut mental akan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Resiliensi lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), karena resiliensi membuat individu untuk bisa sembuh dari luka menyakitkan, mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta dan kasih sayang (Lestari, 2016). Individu yang memiliki resiliensi akan mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, dalam Widuri 2012). Individu yang resiliens akan mampu menanggulangi kesulitan 14

2 15 hidup serta membangun kembali kehidupannya, dalam hal ini yaitu individu mentransformasi permasalahannya secara positif, dengan adanya resiliensi akan membantu individu untuk terbantu mengatasi kesulitannya (Winarsih dalam Ekasari, 2013). Reivich dan Shatte (2002) memamparkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit, individu dapat dikatakan memiliki resiliensi jika individu mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif serta individu yang resiliens adalah individu yang merespon setiap permasalahan dengan cara yang sehat dan cara produktif, yaitu menjaga dirinya untuk tetap sehat dan tidak melukai dirinya serta orang lain, dalam kemampuan resiliensi ini hal yang terutama adalah mengelola stress secara baik (Reivich & Shatte, 2002). Berdasarkan beberapa teori dan penjelasan resiliensi di atas, dapat disimpulkan bahwa inti dari resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit, kuat serta mampu untuk mengelola diri dalam menghadapi permasalahan dalam hidup sehingga dengan menghadapi permasalahan individu menjadi pribadi yang lebih baik. Individu dapat dikatakan resiliens apabila cepat pulih kembali kepada kondisi sebelum terjadi sebuah permasalahan serta dalam menghadapi permasalahan individu meresponnya dengan cara sehat.

3 16 2. Fungsi Resiliensi Berdasarkan hasil penelitian di dalam buku Reivich dan Shatte, (2002) The resiliensce factor, kemampuan resiliensi dapat difungsikan oleh individu sebagai hal-hal berikut : a. Overcoming Setiap individu tidak terlepas dari permasalahan dalam kehidupannya, dan permasalahan tersebut terkadang sulit untuk dihindari. Permasalahan yang hadir dalam kehidupan terkadang sulit diterima akan tetapi hal tersebut harus tetap dijalani oleh individu tersebut untuk dapat merasa aman dalam menjalani kehidupannya. Resiliensi sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu, agar mampu menghadapi permasalahannya dan untuk menghindari keadaan yang dapat merugikan dirinya dari setiap akibat permasalahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengubah cara pandang individu untuk tetap berpikir positif, dan fokus untuk selalu berupaya menambah kemampuan diri agar mampu mengontrol kehidupannya. Sehingga, individu bisa tetap percaya diri, bahagia dan termotivasi walaupun dalam berbagai tekanan dalam kehidupan. b. Steering through Walaupun kehidupan terlihat bahagia, kehidupan yang bercukupan, kasih sayang yang penuh dan banyak dukungan dari lingkungan. Resiliensi tetap diperlukan oleh setiap individu, karena semua individu akan menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Individu yang memiliki

4 17 resiliensi tidak akan bergantung dengan orang lain untuk menghadapi permasalahannya, tetapi akan menggunakan sumber daya dalam dirinya tanpa memandang negatif mengenai keadaan tersebut. Unsur penting dari steering through adalah keyakinan akan kemampuan dirinya, yaitu untuk berkomitmen memecahkan permasalahannya dan tidak akan menyerah walaupun solusi yang dilakukan tidak berhasil. Sebaliknya, individu yang tidak percaya dengan kemampuan dirinya, lebih pasif ketika dihadapkan dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing back Beberapa kejadian yang bersifat menimbulkan traumatis dan stress tinggi, membutuhkan kemampuan resiliensi yang tinggi untuk menghadapi dan mengendalikan diri dari sebuah permasalahan. Kesulitan yang dirasakan begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Individu yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri yaitu, menunjukkan task-oriented coping style dimana individu melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mempunyai keyakinan kuat bahwa dapat mengontrol hasil dari kehidupan, dan mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma serta mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang dirasakan.

5 18 d. Reaching out Tidak hanya dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman hidup yang pahit, negatif, mengatasi stress atau pulih dari trauma. Resiliensi juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Individu yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi; mengetahui dengan baik dirinya sendiri; dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupannya. 3. Aspek-aspek dan Karakteristik Individu yang Memiliki Resiliensi Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk kemampuan resiliensi pada individu, yaitu sebagai berikut : a. Regulasi emosi Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi akan mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu : tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh individu cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin individu terasosiasi dengan kemarahannya maka akan semakin menjadi seorang yang pemarah.

6 19 Tidak semua emosi yang dirasakan harus dikontrol seperti emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang dirasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi. Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan bahwa dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu. Regulasi emosi merupakan kemampuan individu mengontrol emosi-emosi yang ditimbulkan dari sebuah tekanan, agar individu tersebut tidak bertindak karena dikendalikan oleh emosinya, supaya individu mampu bertindak secara tepat dan rasional. b. Pengendalian Impuls Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah akan cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya sulit untuk mengendalikan pikiran dan perilakunya. Individu yang menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif, hal ini akan berdampak pada orang-orang sekitarnya, karena orang-orang yang berada

7 20 disekitarnya akan merasa tidak nyaman dan hal ini akan berakibat buruknya hubungan sosial individu tersebut. Individu yang mampu mengendalikan impuls, individu yang memiliki pikiran yang positif sehingga dapat memberikan respon yang positif pula terhadap permasalahannya. Reivich dan Shatte mengungkapkan hal ini dapat dilakukan dengan mencari kebenaran mengenai apa yang dipikirkan dan mengevaluasi manfaat dari pemecahan masalahan tersebut. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional terhadap dirinya, seperti apakah kesimpulan yang saya lakukan mengenai permasalahan ini berdasarkan fakta atau hanya menebak?, apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan?, apakah manfaat dari semua ini?, dll. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang individu miliki. c. Optimisme Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang optimis, optimis merupakan kemampuan individu untuk melihat masa depan cemerlang. Optimisme yang dimiliki oleh individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan. Hal ini juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh individu, yaitu kepercayaan individu bahwa mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi individu bila diiringi dengan efikasi diri, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada individu terus

8 21 didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik. Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak bersamaan dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). d. Causal Analysis Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Causal analysis identifikasikan dengan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya berpikir Saya-Selalu-Semua merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir Bukan Saya-Tidak

9 22 Selalu-Tidak semua meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi, individu yang terfokus pada Selalu-Semua tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir Tidak selalu-tidak semua dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibellitas kognitif. Individu mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpanya, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang perbuatnya demi menjaga self-esteem atau membebaskannya dari rasa bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendalinya, sebaliknya memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mulai mengatasi permasalahannya yang ada, mengarahkan hidupnya, bangkit dan meraih kesuksesan.

10 23 e. Empati Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain, kemampuan empati adalah mampu dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan serta mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan untuk berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial, individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002). f. Efikasi Diri Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi.

11 24 g. Reaching out Individu yang mampu melakukan reaching out adalah individu yang tidak menghidari kegagalan, melainkan yang berani untuk menghadapinya. Individu yang reaching out tidak hanya menjalani kehidupan yang standar tetapi, berani untuk menerima kegagalan kehidupan dan hinaan orang lain untuk mengapai kesuksesannya. Individu yang tidak memiliki kemampuan reaching out cenderung untuk melebih-lebihkan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal yang buruk yang akan terjadi di masa datang sehingga terjadi kegagalan dalam mengoptimalkan kemampuan remaja. Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karateristik utama yang dimiliki oleh individu resilien. Karateristik inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu: a. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.

12 25 b. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain. c. Hubungan Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model yang sehat. d. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas diri sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersifat proaktif bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang diubah serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yng tidak dapat diubah. e. Kreativitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab individu mampu mempertimbangkan konsenkuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.

13 26 f. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan g. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan mebuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Individu dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang lain membutuhkan. 4. Sumber-sumber Resiliensi Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber yang dapat mempengaruhi terbentuknya sebuah resiliensi pada diri individu, yaitu sebagai berikut : a. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber untuk meningkatkan resiliensi. Sebelum individu menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dilakukan (I Can), individu membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu untuk mengembangkan resiliensi. I

14 27 Have merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber sumbernya adalah sebagai berikut : 1) Trusting relationships (mempercayai hubungan) Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima individu tersebut. Individu dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tuanya dan juga kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya sehingga kasih sayang dan dukungan dari orang lain diharapkan dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua. 2) Struktur dan aturan di rumah Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas kepada anak-anaknya, mengharapkan anak-anaknya dapat melakukan rutinitas tersebut, aturan dan rutinitas tersebut meliputi tugas-tugas yang dapat dikerjakan individu, sehingga individu dapat memahami perannya dan akibat dari tindakannya apabila aturan yang telah dibuat dilanggar. Jika aturan itu dilanggar, individu dibantu untuk memahami bahwa apa yang dilakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut.

15 28 3) Role models Orang tua, orang dewasa, kakak, dan teman sebaya bertindak sebagai model perilaku yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong individu untuk meniru serta menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan aturan-aturan agama. 4) Dorongan agar menjadi otonom Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong remaja untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha menjadi alat bantu yang diperlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Memuji remaja ketika menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamennya sendiri, jadi orang dewasa dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat temperamen untuk mendorong remaja untuk dapat otonom. 5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan. Remaja maupun keluarga, memiliki layanan yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

16 29 b. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri individu. Hal ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri individu. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu : 1) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik Remaja menyadari bahwa orang lain menyukai dan mengasihinya. Remaja akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya sehingga remaja mampu mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 2) Mencintai, empati, dan altruistik Remaja mampu mengasihi orang lain akan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Remaja peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita melihat orang lain kesusahan dan ingin melakukan sesuatu untuk berbagi penderitaan atau kesenangan. 3) Bangga pada diri sendiri Remaja mengetahui dirinya adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada dirinya dan mampu untuk mengejar keinginannya. Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup,

17 30 kepercayaan diri dan self esteem membantunya untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 4) Otonomi dan tanggung jawab Remaja yang mampu melakukan banyak aktivitas dengan sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut merupakan remaja yang merasa bahwa dirinya mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu yang otonom dan bertanggung jawab mengerti batasan kontrolnya terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui kapan orang lain turut bertanggung jawab. 5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Remaja percaya bahwa ada harapan bagi dirinya dan ada orangorang dan komunitas disekitarnya yang dapat dipercayainya. Remaja meyakini suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan melakukan hal tersebut. Remaja mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi. c. I Can I can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat

18 31 membutuhkannya. Ada beberapa fakor yang mempengaruhi faktor I can yaitu : 1) Berkomunikasi Remaja memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. 2) Pemecahan masalah Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Remaja dapat mendiskusikan permasalahannya dengan orang lain untuk menemukan solusi yang baik, mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan. 3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan Remaja dapat mengenali perasaannya, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Remaja juga dapat mengelola rangsangan yang timbul dalam dirinya untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, melainkan remaja mencari cara yang positif untuk mengatasi rangsangan yang timbul. 4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain. Individu yang dapat memahami temperamennya sendiri yaitu bagaimana bertingkah, berkeinginan, dan menyesuaikan perilakunya dalam situasi tertentu diam, reflek dan berhati-hati serta memahami

19 32 temperamen orang lain akan mampu menyesuaikan diri dalam kondisi apa pun serta memiliki kecepatan untuk bereaksi, dan menagani berbagai macam kondisi. 5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya. Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk mendapatkan pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. B. Remaja 1. Pengertian Remaja Masa remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Hurlock, 2012). Piaget mengungkapkan bahwa secara psikologis masa remaja merupakan individu yang telah mampu berintergrasi dengan masyarakat dewasa, namun usia remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurangkurangnya masalah hak (Migwar, 2006). Santrok (2007) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai periode transisi perkembangan biologis, kognitif, dan sosio-emosional, tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Selanjutnya Mighwar (2006) memaparkan secara teroritis dan empiris dari segi psikologis, rentangan usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun, bagi

20 33 wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun. Penelitian ini mengambil remaja akhir sebagai sumber penelitian, perkembangan remaja akhir merupakan masa yang pertama kalinya terjadi perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi hingga suatu taraf yang memungkinkan individu dapat menyaring dan mensitesiskan indentitas kanakkanak dan berindetifikasi utuk melangkah mencapai kematangan dewasa (Hurlock, 2011). Hal ini senada dengan pendapat Mighwar (2006) yang memaparkan bahwa remaja akhir merupakan periode yang terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang telah dimulai sejak masa-masa sebelumnya, yang mengarah pada kematangan yang sempurna, pada akhir masa remaja hingga dewasa awal, pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis dan sosial terus berlangsung, secara bertahap, selama masa remaja akhir remaja tidak dijuluki anak usia belasan tahun, tetapi penyandang julukan laki-laki muda atau wanita muda. Masa remaja akhir ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang secara matang agar diterima oleh teman sebaya, orang dewasa, dan budaya serta pada periode ini remaja memperoleh kesadaran yang jelas tentang apa yang diharapkan masyarakat dari dirinya (Yusuf, 2004). Berdasarkan pejelasan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan suatu perkembangan individu dari masa kanak-kanak ke masa

21 34 dewasa, yang ditandai dengan perubahan-perubahan bentuk fisik, kognitif, sosial, moral dan kemandirian dari masa kanak-kanak. Kematangan setiap aspek perkembangan telah terjadi pada masa remaja akhir, yaitu remaja yang berusia tahun sehingga, remaja akhir diharapkan telah siap mempersiapkan diri dan menjalankan perannya untuk menjadi orang dewasa. 2. Karakteristik Perkembangan Remaja Akhir Mighwar (2006) menguraikan ciri-ciri khas pada remaja akhir sebagai berikut: a. Mulai stabil Pada remaja akhir terjadi keseimbangan tubuh dan anggotanya, begitu juga dengan kestabilannya dalam minat-minatnya, menentukan sekolah, jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama atau lain jenis. Kestabilan juga terjadi dalam sikap dan pandangan, artinya remaja relatif tetap atau mantap tidak berubah pendirian hanya kerena dibujuk atau dihasut. Gejala ini mengandung sisi positif dibandingkan masa-masa sebelumnya, remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri dalam banyak aspek kehidupannya. b. Lebih Realistik Remaja menilai dirinya apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya, keluarganya orang-orang lain seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan realitis ini sangat positif karena akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan dirinya dari rasa kecewa, dan menghantarkannya pada puncak kebahagiaan. c. Lebih matang menghadapi masalah

22 35 Kemantangan remaja ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalahmasalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan diskusi bersama teman-teman sebaya. Langkah-langkah pemecahan masalah itu mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat menyesuaikan diri dalam situasi perasaan diri dan lingkungan sekitar. Kemampuan berpikir remaja akhir yang lebih sempurna dan pandangan yang lebih realistis itulah yang menjadikan remaja akhir mampu memecahkan berbagai masalah secara lebih matang dan realistik, sehingga tidak heran bila remaja merasa tenang. d. Lebih tenang perasaannya Remaja akhir jarang memperlihatkan kemarahan, kesedihan dan kecewa, sebagaimana terjadi dimasa remaja awal hal dikarenakan remaja akhir telah memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai segala perasaannya dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan kemarahan. Remaja juga telah berpandangan realistis dalam menentukan sikap, minat, cita-cita sehingga adanya berbagai kegagalan disikapi dengan tenang. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pada Remaja Yusuf (2004) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pada individu, yaitu sebagai berikut: a. Hereditas (keturunan/pembawaan) Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai totalitas karateristik individu yang diwariskan orangtua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik

23 36 maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai warisan dari pihak orang tua melalui gen-gen. b. Lingkungan Perkembangan 1) Keluarga Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi remaja. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan remaja menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Melalui dan perlakuan yang baik dari orang tua, remaja dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, baik fisik-biologis maupun sosiologisnya. Apabila remaja telah memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka remaja dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (Selfactualization). Covey (dalam yusuf, 2004), mengajukan empat prinsip peranan keluarga untuk mengembangankan dan menanamkan kebiasaan keluarga yang efektif, yaitu: a) Modelling (Example of trustworthiness). Orangtua adalah contoh atau model bagi remaja, melalui modelling ini remaja akan belajar tentang sikap proaktif, dan sikap respek serta kasih sayang. b) Mentoring, yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur,

24 37 pribadi dan tidak bersyarat. Kedalaman dan kejujuran atau keihklasan memberikan perlindungan akan mendorong orang lain untuk bersikap terbuka dan mau menerima pengajaran. c) Organizing, yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim kerja dan kerja sama antar anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas atau memenuhi kebutuhan keluarga. d) Teaching, orang tua berperan sebagai guru (pengajar) bagi anak-anaknya (anggota keluarga) tentang hukum-hukum dasar kehidupan. Melalui pengajaran ini, orangtua berusaha memperdayakan (empowering) prinsip-prinsip kehidupan, sehingga remaja memhami dan melaksanakannya. 2) Lingkungan sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbungan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu remaja agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spritual, intelektual, emosional, maupun sosial. 3) Kelompok Teman sebaya Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberi kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan ketrampilan, dan minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar perasaan dan masalah.

25 38 4. Tugas Perkembangan Remaja Fudyartanta (2012) memaparkan mengenai tugas perkembangan remaja adalah : a) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dari dua jenis kelamin, b) Menjalankan peran sebagai pria dan wanita, c) Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif, d) Mencapai kemandirian secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya e) Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, f) Menyiapkan diri untuk karier ekonomi, g) Menunjukkan minat terhadap masalah-masalah filosofis dan religious, h) Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab, i) Mengetahui siapa diri sendiri dan yang diinginkan, j) Menjalin komunikasi dengan orang tua, k) Kemampuan Mengekspresikan rasa senang dan susah serta rasa tidak suka terhadap lawan jenis, l) Mampu melakukan cara mengatur diri sendiri. C. Broken Home 1. Pengertian Keluarga Broken Home Menurut Chaplin (2005), broken home menggambarkan keluarga yang tidak utuh, tanpa kehadiran salah satu dari kedua orangtua yang disebabkan karena meninggal, perceraian atau meninggalkan keluarga. Hal ini senada dengan pendapat Wilis (2013) mengungkapkan bahwa broken home dapat dilihat dari dua aspek yaitu: (1) Keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau telah bercerai; (2) Orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena

26 39 ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan/atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi, misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Wilis (2013) memberi penjelasan mengenai faktor-faktor yang menyebakan terjadinya krisis keluarga (broken home), yaitu : a. Kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama ayah dan ibu Kurangnya komunikasi antara keluarga sering dituding yaitu faktor kesibukan sebagai penyebab, dalam keluarga sibuk, dimana ayah dan ibu keduanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Kedua orang tua pulang hampir malam karena jalanan macet, lalu orang tua merasa lelah, tiba dirumah mata sudah mulai mengantuk dan tertidur. Hal ini tentu membuat orang tua tidak memiliki waktu untuk berdiskusi dengan anak-anaknya sehingga lama kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis. b. Sikap egosentrisme Sikap egosentrisme masing-masing suami-isteri merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran terus menerus. Egoisme adalah suatu sifat manusia yang mementingkan dirinya sendiri, akibat sifat egoisme atau egosentrisme ini adalah sering membuat orang lain tersinggung dan tidak mau mengikutinya. Sifat egosime orang tua akan berdampak terhadap anak, yakni timbulnya sikap membandel, sulit disuruh, dan suka bertengkar dengan saudaranya.

27 40 c. Masalah Ekonomi Dalam permasalahan ekonomi ada dua jenis penyebab krisis keluarga, yaitu: 1) Kemiskinan Kemiskinan berdampak terhadap kehidupan keluarga, apabila kehidupan emosional suami isteri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran. 2) Gaya hidup Tidak semua suami atau isteri yang menyukai kehidupan yang glamour, disinilah awal pertentangan suami isteri, yaitu soal gaya hidup. Jika isteri yang mengikuti gaya dunia, sedangkan suami ingin biasa saja, maka pertengkaran dan krisis akan terjadi. Mungkin suami berselingkuh sebagai balas dendam terhadap isterinya yang sulit diatur. d. Masalah kesibukan Kesibukan, adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi harta dan uang. Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, akan tetapi keluarga yang mengejar kebahagian materi merupakan hal yang wajar, akan tetapi apabila tidak mampu, jangan stress, jangan bertengkar, dan jangan bercerai. e. Masalah Pendidikan Masalah pendidikan sering merupakan penyebab terjadinya krisis di dalam keluarga. Jika pendidikan suami isteri lebih tinggi, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada

28 41 suami isteri yang pendidikannya rendah sering tidak memahami liku-liku keluarga, karenanya sering saling menyalahkan bila terjadi persoalan di keluarga. Hal ini akan berakibat terjadinya pertengkaran yang mungkin terjadi perceraian. f. Masalah perselingkuhan Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan : Pertama, hubungan suami isteri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Hal ini berhubungan dengan ketidakpuasan seks, isteri kurang berdandan kecuali ada undangan atau pesta, cemburu baik secara pribadi maupun hasutan pihak ketiga; Kedua, tekanan pihak ketiga seperti mertua dan lain-lain (anggota keluarga lain) dalam hal ekonomi; dan ketiga, adanya kesibukkan masingmasing sehingga kehidupan kantor lebih nyaman dari pada kehidupan keluarga. g. Jauh dari Agama Keluarga yang jauh dari agama dan mengutamakan materi dan dunia semata akan menimbulkan kehancuran keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat pada Tuhan dan kedua orang tuanya. 2. Dampak Keluarga Broken Home bagi Remaja Pada masa perkembangan remaja yang sulit, remaja membutuhkan peran keluarga sebagai orang-orang yang membimbingnya untuk mengambil keputusan yang masuk akal, keluarga berperan membimbing remaja untuk mengambil keputusan di bidang-bidang dimana pengetahuan remaja masih

29 42 terbatas (Santrock, 2013). Khususnya pada remaja akhir bahwa merupakan keadaan yang telah mampu mengendalikan emosinya dari pada remaja awal, dari segi identitas remaja akhir telah mampu memahami dan mengarahkan diri untuk mengembangkan dan memelihara indentitas dirinya, dari segi keagamaan remaja akhir juga telah dapat membedakan agama sebagai ajaran dengan manusia sebagai penganutnya, remaja telah mengenal tentang nilainilai moral atau konsep-konsep moralitas, dan dari segi kognitif telah terjadi reogranisasi lingkaran syaraf lobe frontal yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi, yaitu kemampuan merumuskan perencanaan strategis, atau mengambil keputusan, akan tetapi remaja tidaklah lepas dari pengaruh keluarganya (Yusuf, 2004). Untuk mencapai kematangan tersebut remaja memerlukan bimbingan karena remaja masih kurang memiliki pemahaman dan wawasan tentang dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupan, proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus dan bebas dari masalah, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah keluarga broken home (Yusuf, 2004). Hal ini dijelaskan dengan pendapat Yusuf (2004) iklim lingkungan yang tidak sehat yaitu keadaan keluarga yang broken home cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan remaja cenderung akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi. Dalam kondisi ini, banyak remaja yang merespon dengan sikap dan perilaku yang

30 43 kurang wajar serta amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang, dan tawuran (Yusuf, 2004). Yusuf (2004) memaparkan bahwa keluarga yang tidak dapat menerapkan atau melaksanakan fungsi-fungsi keluarga, akan merusak kekokohan konstelasi keluarga (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak), remaja yang memiliki orang tua broken home, akan mengalami kebingungan dalam mengambil keputusan, apakah akan mengikuti ayah atau ibu; remaja cenderung mengalami frustasi karena kebutuhan dasarnya, seperti perasaan ingin disayangi, dilindungi rasa amannya, dan dihargai telah tereduksi bersamaan dengan peristiwa (broken home) orangtuanya. Keadaan keluarga yang broken home menyebabkan perkembangan kepribadiannya remaja maka cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment) (Yusuf, 2004). Hal tersebut diuraikan oleh Mighwar (2006) bahwa dalam keluarga broken home, remaja cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral, medis dan sosial. Misalnya, remaja yang ditinggal orang tua yang meninggal dunia dan orang tua yang bercerai, umumnya suka murung, mudah marah dan tersinggung, kurang peka pada tuntutan sosial, dan kurang mampu mengontrol dirinya. Mighwar juga mengungkapkan bahwa suasana rumah tangga yang penuh konflik akan berpengaruh negatif terhadap kepribadian dan kebahagiaan remaja, yang pada akhirnya remaja melampiaskan perasaan jiwanya dalam berbagai pergaulan dan perilaku yang menyimpang.

31 44 Hal ini didukung dengan pendapat Yusuf (2004) bahwa karakteristik kepribadian yang tidak sehat pada remaja yang hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif atau keluarga yang tidak berfungsi (dysfunction family) yang bercirikan broken home, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis, kurang memperhatikan nilai-nilai agama dan orangtua bersikap keras atau kurang memberikan curahan kasih sayang kepada anak, yaitu : (a) Mudah marah (tersinggung), (b) menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, (c) Sering tertekan (stress atau depresi), (d) Bersikap kejam atau senang menganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang (hewan), (e) Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum, (f) mempunyai kebiasaan berbohong, (g) Hiperaktif, (h) Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, (i) senang mengkritik/mencemooh orang lain, (j) Sulit tidur, (k) Kurang memiliki rasa tanggung jawab, (i) Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat organis), (m) kurang memiliki kesadaran untuk menaati ajaran agama, (n) bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan, (o) kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani hidup. Berdasarkan pemamparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga broken home cenderung memberi dampak negatif pada perkembangan remaja, remaja merasa kehilangan figur orang tua secara utuh, fungsional dan harmonis, yang seharusnya orang tua dapat membantunya melaksanakan perkembangannya secara efektif, tetapi figur tersebut tidak dapat berjalan sesuai harapan dan optimal karena keadaan keluarga yang broken home

32 45 sehingga remaja mencari tempat yang ada diluar keluarga yang berpontesi membuat remaja melakukan hal-hal yang meyimpang karena kurangnya pengawasan dari keluarga. D. Dinamika Resiliensi Pada Remaja dengan Keluarga Broken Home Keluarga broken home merupakan sebuah permasalahan yang berat bagi setiap individu yang menjalaninya, ketidakharmonis dalam sebuah keluarga tentu akan memberi pengaruh kepada setiap anggotanya yang terlibat dalam keluarga tersebut, akan tetapi kesulitan tersebut harus dijalani oleh remaja, sebab setiap individu yang hidup tidaklah lepas dari permasalahan. Setiap individu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah atau pun kesulitan, resiliensi berperan sebagai memampukan individu untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri atau mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1999). Resiliensi merupakan sebuah kemampuan bagi individu untuk merespon setiap permasalahan dengan cara yang sehat dan cara yang produktif, sehingga individu mampu meningkatkan untuk mencari pengalaman baru dan memandang sebuah kehidupan sebagai proses yang meningkatkan kemampuan individu (Reivich dan Shatte, 2002). Resiliensi sangat diperlukan oleh setiap individu, karena kehidupan setiap individu tidaklah lepas dari sebuah permasalahan, demikian juga dengan remaja yang memiliki keluarga broken home diharapkan memiliki kemampuan resiliensi. Karena resiliensi tidak sekedar sebuah kemampuan untuk bertahan

33 46 dalam sebuah kemalangan tetapi individu juga mampu memaknai secara positif dari setiap permsalahan yang dihadapinya. Reivich dan Shatte (2002) memaparkan bahwa untuk menjadi individu yang resiliens, individu harus memililki tujuh aspek resiliensi. Demikian juga dengan remaja dengan keluarga broken home, untuk dapat dikatakan remaja yang resiliens, memiliki 7 (tujuh) kemampuan resiliensi. Pertama yaitu regulasi emosi, remaja yang memiliki regulasi emosi akan dapat mengontrol emosi yang kurang menyenangkan sehingga remaja dapat bertindak secara rasional dan menghindar perilaku yang tidak sehat. Regulasi emosi membantu remaja untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dengan baik sehingga remaja dapat mengekspresikan emosinya secara tepat sehingga diri remaja tetap dalam keadaan yang sehat dan produktif dalam melakukan setiap aktivitasnya dalam pendidikan, sosial dengan masyarakat, serta dalam menjalani hubungan dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Kedua, remaja dengan keluarga broken home untuk menjadi resiliens mampu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dalam dirinya (impuls control). Emosi yang timbul dalam diri remaja akibat keadaan keluarga broken home dapat menimbulkan sebuah keinginan dan dorongan untuk melakukan sesuatu yang dapat memenuhi emosi untuk menghidari perasaaan cemas dan tidak tenang. Misalnya perasaan marah menimbulkan keinginan untuk merusak barang-barang, memukul, menghina, dan melakukan hal yang dapat meredakan perasaan marah tersebut. Tetapi remaja yang resiliens dapat mengontrol keinginan-keinginan, dorongan dan

34 47 kesukaan yang ada dalam dirinya, remaja yang resiliens mencoba mencari kebenaran, kesimpulan dan belajar berpikir positif sehingga remaja berprilaku dengan tepat yang tidak merugikan dirinya dan orang lain. Ketiga, optimis merupakan kemampuan individu memandang masa depannya cemerlang. Remaja tidak mengalah dengan keadaan keluarganya tidak harmonis dengan diam, meratapi nasib, melakukan hal-hal yang menyimpang yang dapat merusak masa depan. Melainkan remaja yang terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan belajar dengan giat di perkuliahan, aktif di kegiatan organisasi, tidak takut dengan kegagalan, memiliki harapan dan cita-cita yang baik mengenai masa depannya yang disertai usahanya dalam mencapainya. Remaja memiliki harapan bahwa permasalahan yang dihadapi keluarganya sebuah motivasi bagi dirinya untuk lebih berusaha lagi dari pada remaja yang memiliki keluarga harmonis dalam berusaha menjadi sukses. Keempat, kemampuan analisis masalah yaitu remaja yang resiliens mampu mengindetifikasi secara akurat penyebab permasalahan yang mereka hadapi agar mampu bertindak secara tepat. Remaja tidak menyalahkan orang tua, orang lain mengenai permasalahan yang dihadapinya atau fokus kepada kemalangan yang menimpanya. Melainkan remaja yang resilien adalah individu yang memegang kendali mengenai masalahanya sehingga permasalahan yang dihadapi tidak menjadi semakin buruk dengan pemikiran yang fokus memikirkan besarnya sebuah masalah yang dihadapi tetapi remaja

35 48 fokus terhadap pemecahan masalah sehingga mereka bisa bangkit dan meraih kesuksesan. Kelima, empati yaitu kemampuan yang dimiliki remaja untuk bisa merasakan dan membaca kondisi emosional orang lain. Kemampuan empati sangat diperlukan oleh remaja dengan keluarga broken home agar hubungan sosial remaja terjalin dengan positif. Hubungan sosial yang positif akan membuat remaja merasa dirinya tidak sendirian dalam menjalani permasalahannya, selain itu kemampuan empati juga akan menimbulkan sebuah kebahagiaan bagi remaja karena telah bisa bermanfaat bagi orang lain. Remaja yang memiliki empati tidak akan sulit untuk mendapatkan teman, sehingga remaja mendapat dukungan dari orang terdekatnya, remaja memiliki tempat berbagi atau sharing mengenai permasalahannya, sehingga remaja tidak mengalami stress atau frustasi yang berlebihan yang akan berdampak negatif bagi diri remaja. Keenam, efikasi diri sangat diperlukan untuk remaja menyakini kemampuannya untuk memecahakan masalah dan mengapai sebuah kesuksesan. Dengan efikasi diri remaja tidak bergantung dengan orang lain untuk bisa bangkit dari permasalahannya, melainkan remaja memotivasi dirinya untuk bisa mencari solusi dengan secara sehat. Remaja dengan kemampuan resilien tidak harus menunggu keluarganya pulih sesuai dengan harapannya untuk bisa sukses, melainkan dengan keadaan keluarga yang tidak harmonis remaja tetap yakin bahwa dirinya bisa sukses seperti orang lain karena remaja yakin bahwa kesuksesan berasal dari kegigihan dalam berusaha.

36 49 Remaja yang resiliens tidak hanya memiliki sebuah harapan, tetapi sebuah harapan yang diseimbangi dengan usahanya. Remaja yang resiliens tidak mudah menyerah dan pesimis dengan kegagalan yang dialaminya, melainkan remaja mencoba terus dan semakin keras usahanya untuk mencapai harapannya. Selanjutnya adalah remaja resilien adalah mereka yang bisa memaknai secara positif mengenai permasalahan yang menimpanya. Remaja tidak menyesali atau menyalahkan orang lain mengenai keadaan yang terjadi pada dirinya. Melainkan remaja lebih gigih dalam mecapai kesuksesan dari pada remaja yang memiliki keluarga yang harmonis, remaja sadar bahwa keadaan keluarga yang broken home seharusnya tidak membuatnya lebih terpuruk dengan melakukan hal-hal yang negatif, melainkan memicu dirinya harus lebih berusaha keras lagi dari pada sebelumnya. Keadaan keluarga broken home membuat remaja menjadi matang dari pada remaja yang sesusia dirinya. Sehingga apa yang terjadi dengan dirinya remaja juga bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya. Sumber-sumber peningkatan resiliensi pada remaja broken home ada tiga menurut Gortberg (1999) yaitu : I Have, I Am dan I Can. Adapun pentingnya resiliensi bagi kehidupan remaja adalah berfungsi sebagai : Reaching out, yaitu remaja mengambil makna dari setiap permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Overcoming yaitu remaja belajar mengubah cara pandangnya mengenai permasalahn dan menambah kemampuan sehingga mampu mengontrol kehidupannya. Steering Through, yaitu mereka keyakinan

37 50 akan kemampuan dirinya agar remaja tidak menyerah apabila terjadi kegagalan. Boucing back, yaitu remaja tidak butuh waktu lama untuk kembali pulih ke keadaan yang normal, mereka terus merasa sehat, kuat, dan bersemangat menjalani kehidupan walaupun ditimpa kemalangan. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan yang dihadapi remaja yaitu keluarga broken home dapat diatasi dengan baik tanpa melakukan perilaku yang tidak sehat yang akan berdampak negatif bagi diri remaja dan orang lain, selagi remaja mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dalam dirinya. Dengan memiliki kemampuan resiliensi, remaja dengan keluarga broken home akan menjadi individu yang lebih matang karena remaja telah memiliki pengalaman untuk mengatasi sebuah permasalahan.. Kemampuan resiliensi yang harus dimiliki remaja untuk dapat dikatakan menjadi individu yang resilien meliputi : Regulasi emosi, Pengendalian Impuls, optimis, empati, kemampaun menganalisis masalah, efikasi diri dan peningkatan aspek positif serta dengan sumber-sumber resilinsi I Have, I Am, dan I can. E. Pertanyaan Penelitan a) Central Question Bagaimana gambaran dinamika resiliensi pada remaja yang memiliki keluarga Broken Home?

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan (Desmita, 2010).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Istilah resiliensi berasal dari kata Latin `resilire' yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa, BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai dari usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang pasti menginginkan memiliki keluarga yang bahagia. Menurut Sigmund Freud, pada dasarnya keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Menurut Smet (1994, dalam Desmita, 2009) istilah resiliensi pertama kali dikenalkan oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau pasangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan merupakan perubahan ke arah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Usia lahir sampai dengan pra sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan

Lebih terperinci

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN Rahayu Rezki Anggraeni Dosen Pembimbing Ibu Ni Made Taganing, Spsi., MPsi. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma, 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Reivich dan Shatte (2000) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, beradaptasi terhadap sesuatu yang menekan, mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia, aspek paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia adalah salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada fase ini seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti Asuhan merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya kehidupan dewasa ini disemaraki oleh banyaknya kegagalan dalam membina rumah tangga yang utuh. Seringkali banyak keluarga memilih untuk berpisah dari hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

Menurut Benard (1991), resiliensi memiliki aspek-aspek sebagai berikut: Anak merupakan potensi tumbuh kembang dan pewaris masa depan suatu bangsa. Di seluruh belahan dunia, anak berperan penting terhadap pertumbuhan suatu negara karena apabila suatu negara memiliki anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang selalu ingin dicapai oleh semua orang. Baik yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka ingin dirinya

Lebih terperinci

juga kelebihan yang dimiliki

juga kelebihan yang dimiliki 47 1. Pengertian Optimisme Seligman (2005) menjelaskan bahwa optimisme adalah suatu keadaan yang selalu berpengharapan baik. Optimisme merupakan hasil berpikir seseorang dalam menghadapi suatu kejadian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012). Remaja merupakan usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap orang tua pasti berharap memiliki anak yang dapat bertumbuh kembang normal sebagaimana anak-anak lainnya, baik dari segi fisik, kognitif, maupun emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Impian setiap pasangan adalah membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Dalam menjalani rumah tangga setiap pasangan pasti memiliki berbagai keinginan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Memaafkan 1. Defenisi Memaafkan Secara terminologis, kata dasar memaafkan adalah maaf dan kata maaf adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &

BAB II LANDASAN TEORI. trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich & BAB II LANDASAN TEORI A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah hubungan rumah tangga tentunya tidak selamanya berjalan baik sesuai dengan apa yang telah kita inginkan, namun ternyata ada beberapa faktor yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini Indonesia diramaikan dengan kasus kekerasan seksual terhadap remaja. Ibarat fenomena bola es yang semakin lama semakin membesar. Kasus kekerasan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Menurut data 20 tahun lalu yang dinyatakan oleh Wakil Menteri Agama Prof.Dr. Nazaruddin

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cinta adalah sebuah perasaan natural yang dirasakan oleh seseorang terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai, saling memiliki,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi kehidupan abad 21 yang penuh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik maupun emosional. Semakin bertambahnya usia, individu akan mengalami berbagai macam

Lebih terperinci

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah tersebut mempunyai arti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk yang berkembang dan akan selalu mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab hakikat manusia sejak terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran dan fungsi ibu dalam kehidupan seorang anak sangat besar. Anak akan lebih merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah merasakan kesedihan, kekecewaan, kegagalan serta kondisi sulit lainnya. Hal ini sesuai dengan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu menjadi lebih sehat dalam menjalani kehidupannya menuju proses

BAB I PENDAHULUAN. individu menjadi lebih sehat dalam menjalani kehidupannya menuju proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Keluarga merupakan lingkungan pertama seseorang melakukan kontak sosial. Lingkungan keluarga dengan suasana yang mendukung dapat membuat individu menjadi lebih sehat

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan menjumpai berbagai permasalahan kecil ataupun besar sedikit ataupun banyak. Permasalahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh setiap individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia. Keluarga menjadi struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian Anak TK 2.1.1 Pengertian Menurut Padiyana (2007) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas dorongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masa dewasa merupakan masa dimana setiap individu sudah mulai matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock (dalam Jahja, 2011), rentang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia 12 tahun sampai 21 tahun. Usia 12 tahun merupakan awal pubertas bagi seorang gadis, yang disebut remaja kalau mendapat menstruasi (datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi ke masa dewasa. Masa ini dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami

BAB V PEMBAHASAN. dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang. setalah subjek mengalami gangguan somatoform, subjek mengalami BAB V PEMBAHASAN A. Rangkuman Hasil Penelitian Subjek merupakan seorang pria berusia 39 tahun, sudah berkeluarga dan memiliki gangguan somatoform tipe konversi sejak tiga tahun yang lalu. Masa kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya, dengan sifat dan hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Remaja adalah generasi penerus bangsa, oleh karena itu para remaja harus memiliki bekal yang baik dalam masa perkembangannya. Proses pencarian identitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu Upaya orang tua dalam membina emosi anak akibat perceraian di Kecamatan Bukit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan peristiwa yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci