MATRIKS HASIL RDPU PAKAR/ASOSIASI, UJI PUBLIK DI LIMA PROVINSI DAN SEMINAR APPSI DI DKI JAKARTA TAHUN 2006 TERHADAP DRAF RUU KEMENTERIAN NEGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MATRIKS HASIL RDPU PAKAR/ASOSIASI, UJI PUBLIK DI LIMA PROVINSI DAN SEMINAR APPSI DI DKI JAKARTA TAHUN 2006 TERHADAP DRAF RUU KEMENTERIAN NEGARA"

Transkripsi

1 MATRIKS HASIL RDPU PAKAR/ASOSIASI, UJI PUBLIK DI LIMA PROVINSI DAN SEMINAR APPSI DI DKI JAKARTA TAHUN 2006 TERHADAP DRAF RUU KEMENTERIAN NEGARA 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 2 Menimbang : 3 a. bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan negara; 4 b. bahwa Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara dibantu oleh menteri-menteri yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan dan setiap Desain RUU Kementerian Negara harus dapat memfasilitasi/mengatasi persoalan otonomi daerah, baik aspek kewenangan, kelembagaan, keuangan dan kepegawaian (BKKSI) RUU harus memperkuat institusi kepresidenan dan meningkatkan efisiensi pemerintahan (DR.M FADHIL HASAN). Pertimbangan pada butir (a) RUU tidak perlu dikemukakan karena sudah jelas dalam Pembukaan UUD-RI 1945, jadi tidak perlu diulangi lagi dalam RUU ini. Kekuasaan pemerintahan tidak perlu dicantumkan dalam pertimbangan ini, cukup dengan menyelenggarakan pemerintahan negara. (PROF. DR. MIFTAH THOHA) Semangat RUU ini meningkatkan pengimbangan kekuasaan (Kalbar) Prinsip konsistensi, efisiensi clan profesional (Kalbar, Sumut) Perlu sinkronisasi dengan RUU RPJPN dan RUU Tata Ruang (Sulsel) RUU ini agar tidak menabrak asas desentralisasi dekonsentrasi, dan tugas pembantuan serta sistem presidensiil (Sulsel). Diktum Pertimbangan butir a, b, c, dan d belum menonjolkan aspek sosiologis. Mengapa Kementerian Negara perlu diatur dalam Undang- Undang? Aspek sosiologis itu adalah membentuk dan membubarkan kementerian negara (departemen) tanpa didasarkan pada aturan yang jelas, pertimbangan yang menyeluruh dan implikasinya serta kepastian hukum. Oleh karena itu, perlu dirumuskan butir baru selain butir b dan c dapat digabungkan. (Maluku) a. Tetap a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUD 1945, Presiden dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, dibantu oleh menterimenteri Negara yang memimpin Kementrian Negara dan membidangi urusan tertentu

2 menteri memimpin kementerian negara; 5 c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kementerian negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan pembentukan, pengubahan, dan pembubarannya diatur dalam undangundang; 6 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang- Undang tentang Kementerian Negara; Mengingat 7 Pasal 4 ayat (1), Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Ditambahkan Pasal 18 UUD-RI 1945 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah. Diharapkan RUU Kementerian Negara ini akan ada terobosan untuk memantapkan penyelenggaraan Otonomi Daerah, karena nafas dan ruh dari RUU ini mencerminkan penjelmaan dari Pasal 18 UUD-RI 1945 dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (APPSI) dalam pemerintahan; (Maluku) b. Bahwa untuk adanya kepastian hukum bagi Presiden dalam membentuk dari membubarkan suatu, kementriann Negara atas dasar pertimbangan yang menyeluruh, maka Kementrian Negara perlu diatur dalam Undang-Undang; (Maluku) e. Tetap. (Maluku) Dasar hukum kewenangan maupun substansi perlu dipertegas apakah RUU ini diajukan oleh Presiden atau usul inisiatif anggota DPR RI. (Maluku) Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 17, Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (Maluku)

3 8 Menetapkan : UNDANG- UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA. 9 BAB I KETENTUAN UMUM 10 Pasal 1 11 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah lembaga pemerintah pelaksana kekuasaan pemerintahan yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan Kementerian yang memiliki perangkat teknis adalah kementerian negara yang membidangi urusan pemerintahan mulai dari tingkat kebijakan sampai operasional. Dalam ketentuan umum, perlu memuat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan "perangkat khusus" dan "staf khusus" serta apa batas-batas tugas, wewenang dan fungsinya. (DR. INDRIA SAMEGO, APU) RUU Kementerian negara perlu membedakan istilah kementerian dan departemen. Lembaga kementerian dipimpin oleh menteri, sedangkan Lembaga departemen dipimpin oleh seorang birokrasi (Sekretaris Negara). Dengan Demikian semua kementerian negara adalah mempunyai departemen. Bukan seperti jaman orde baru yang sekarang masih dipakai ada kementerian yang berdepartemen, ada kementerian negara yang tidak berdepartemen. (PROF. DR. MIFTAH THOHA) istilah "teknis" yang dipakai untuk membedakan kementerian yang mempunyai aparatur pelaksana di daerah dengan yang tidak memiliki, akan membingungkan, karena "teknis" mempunyai arti method of doing something expertly yaitu cara untuk metakukan suatu kebijakan secara tepat. Pada legal drafting Pasal 1 butir 2, 3, dan 6 tidak sesuai dengan teori hukum, definien tidak boleh ada pada kata definiendum.(jatim) Perlu ditambahkan beberapa pengertian yang dapat dianggap menimbulkan kerancuan seperti kementerian yang memiliki kantor wilayah dan kementerian yang tidak memiliki kantor wilayah sebagaimana pada Pasal 4. (Maluku) Dalam Pasal 1, perlu diatur tentang kriteria lingkup urusan yang nantinya dijabarkan ke dalam lembaga kementerian. Lingkup urusan apa saja yang merupakan lingkup kebijakan/pedoman/ standar/evaluasi dan apa saja yang merupakan operasional (6 urusan yang menjadi wilayah pusat berdasarkan UU 32/2004). (Seminar APPSI, Edward Simandjutak/Ases I Pemda Sumut) Sebaiknya istilah perangkat teknis dihapus karena pekerjaan teknis sudah dikerjakan dari pemerintah pusat. (Jatim) Seharusnya kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis hanya memberikan pedoman-

4 14 3. Kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis adalah kementerian negara yang membidangi urusan pemerintahan pada tingkat kebijakan tetapi tidak operasional Menteri negara yang selanjutnya disebut menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, yang selanjutnya disebut LPNK adalah lembaga pelaksana kebijakan pemerintahan dibidang tertentu yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri Urusan pemerintahan adalah setiap urusan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB II SUSUNAN DAN KEDUDUKAN 19 Bagian Pertama Susunan 20 Pasal 2 21 Kementerian negara terdiri atas kementerian yang memiliki perangkat teknis dan kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis. (PROF. DR. MIFTAH THOHA) Kementerian Negara terbagi menjadi 3 golongan, yakni: 1) Kementerian yang wajib ada dan tidak dibubarkan, digabungkan atau diubah. Kementerian ini wajib karena diperintahkan oleh pedoman tidak memberikan pekerjaan teknis. (Jatim) Pada Pasal 2 tentang susunan & kedudukan, mengapa didasarkan pada kriteria perangkat teknis dan tidak teknis. Mengapa tidak didasarkan pada kewenangan absolut dan kewenangan konkurent, contohnya ada Menteri Pertahanan tetapi tidak ada Menteri Keamanan

5 22 Pasal 3 23 (1) Kementerian yang memiliki perangkat teknis terdiri atas menteri, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, direktoratjenderal, dan badan. UUD dan biasanya dipakai secara Internasional oleh negara-negara lain. 2) Kementerian yang Strategis, Kementerian yang diadakan karena sesuai perkembangan situasi strategic yang terjadi dilingkungan nasional maupun global. Kementerian jenis ini bisa dibubarkan, diubah atau digabung sesuai dengan perkembangan dan perubahan lingkungan strategis tersebut. Perubahan dan Penggabungan Kementerian yang Strategis dengan persetujuan DPR. 3) Kementerian Tanpa portopolio, artinya kementerian ini tidak mempunyai struktur organisasi seperti kementerian negara wajib strategis yang mempunyai sekjen, dirjen, dan lain sebagainya. Kementerian ini dibuat atas keinginan presiden untuk menangani sesuatu kewajiban atau tugas khusus yang segera diwujudkan. Kementerian ini bisa dibubarkan jika tugas khusus tersebut telah selesai dengan memberitahu DPR. (PROF. DR. MIFTAH THOHA) Kementerian yang memiliki perangkat teknis terdiri atas menteri, sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, direktorat jenderal, dan badan (MESDIN SIMARMATA) Perlu pembatasan eselon 1 di tiap departemen karena alasan efisiensi dan menghilangkan kesan jika tidak ada ditjen maka urusan tidak dikerjakan. (Perwakilan APPSI: Sultra) atau Kepolisian. (Jatim) Mengharapkan agar perangkat teknis yang dimiliki Departemen Dalam Negeri tidak bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Kementerian harus jelas clan apabila tidak memiliki perangkat teknis maka perlu diperjelas (seperti adanya dinas-dinas). (Sulsel) Susunan organisasi kementerian harus ditegaskan untuk keperluan efisiensi. Contoh, sebelum era otonomi, ditjen di Depdagri ada 5, setelah otonomi membengkak menjadi 7 ditjen. (Kalbar) Pasal 3 ayat (1) perlu pembatasan untuk Ditjen maksimal 3 buah dan Badan maksimal 2 buah dalam setiap kementerian. Sementara, kementerian non-portofolio, asisten maksimal 4

6 24 (2) Kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis terdiri dari menteri, sekretariat menteri, dan asisten menteri. 25 Pasal 4 26 (1) Kementerian yang memiliki perangkat teknis terdiri atas kementerian yang memiliki kantor wilayah/perwakilan dan kementerian yang tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan. 27 (2) Kementerian yang memiliki kantor wilayah/perwakilan membidangi urusanurusan pemerintahan pusat. 28 (3) Kementerian yang tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan. membidangi urusanurusan yang pelaksanaannya menjadi kewenangan pemerintahan daerah. (1) Kementerian yang memiliki perangkat teknis terdiri atas kementerian yang dapat memiliki kantor wilayah / perwakilan di provinsi, kota, dan kabupaten dan yang secara selektif dapat memiliki kantor wilayah / perwakilan di provinsi. (MESDIN SIMARMATA) (2) Kementerian yang dapat memiliki kantor wilayah / perwakilan di provinsi, kota, dan kabupaten membidangi urusan-urusan pemerintah pusat yang absolut. (MESDIN SIMARMATA) (3) Kementerian yang secara sedan di dapat memiliki kantor wilayah / perwakilan di provinsi membidangi urusan-urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota. (MESDIN SIMARMATA) Berdasarkan Pasal 37 dan 38 UU 32 tahun 2004, perlu ditambahkan pada akhir Pasal 4 ayat (3) setelah kata; "...menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, (ditambah kalimat) melalui Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan azas dekonsentrasi. (Ketua APPSI, SUTIYOSO) Perlu pengaturan tentang pembagian kewenangan yang terhadap persoalan yang selama ini orang termasuk asisten pengawasan fungsional. (Kalbar) Pasal 3 RUU KN, istilah 'asisten menteri' kurang tepat, diusulkan lebih tepat istilah 'deputi menteri', seperti yang ada selama ini. (Sumut) Perlu dimasukkannya pengaturan tentang hubungan antara kementerian dengan PEMDA sehingga ketika terjadi persoalan tidak mesti harus ke presiden. (Kalbar) Perlunya penegasan hubungan antara pusat dan daerah dalam RUU KN. (Kalbar) Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) bagaimana dengan pekerjaan gubernur, apabila menteri Iangsung bekerja dengan pemerintah kabupaten. (Jatim)

7 29 (4) Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membina dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan yang dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan. 30 Pasal 5 31 Dalam susunan kementerian yang memiliki perangkat teknis dapat diangkat paling banyak 5 (lima) orang staf khusus yang tugas, fungsi dan kewenangannya diatur oleh menteri 32 Pasal 6 diambangkan/banyak campur tangan pusat terhadap urusan daerah seperti persoalan tanah, (Perwakilan APPSI: Mualim (Sekda Sulsel)) (4) Kantor wilayah / perwakilan sebagaimana disebutkan dalam ayat (3)dibentuk untuk menangani urusan / kegiatan yang secara nyata memiliki dampak / akibat dengan cakupan paling tidak di dua provinsi yang bertetangga. (MESDIN SIMARMATA) "Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membina dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah yang diserahkan ke daerah dan dilaksanakan oleh dinas, kantor/badan provinsi dan kabupaten/kota sesuai peraturan perundangundangan". (APEKSI) Pada pasal 5, mengapa staf khusus dibatasi untuk kementerian yang bersifat teknis.(dr. M. FADHIL HASAN) Pasal 5, yang dimaksud dengan 5 orang staf khusus, perlu dipertegas, apakah Staf Khusus tersebut berstatus PNS atau tidak. Harus ada pengaturan tentang kompetensinya, meskipun bersifat umum. (Ketua APPSI) Pasal 4 ayat (4) dianggap tidak perlu karena bertentangan dengan UU 32 tahun (Kalbar) Pengangkatan staf khusus kementerian maksimal 3 orang karena Menteri sudah dibantu oleh sekjen, dirjen dan kepala badan, alasan efisiensi. (Kalbar) Staf khusus seharusnya bukan mantan pejabat pemerintah/negara dan seharusnya orang yang memiliki keahlian di bidangnya. (Kalbar) Dalam Pasal 5, istilah 'staf khusus', lebih tepat `staf ahli', alasannya staf ahli lebih sesuai dengan kebutuhan organisasi (berdasarkan keahlian), sedangkan staf khusus cenderung dapat menjadi penampungan karena faktor kedekatan, pertemanan atau dari parpol (Sumut)

8 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi kementerian sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 diatur dalam Peraturan Presiden. 34 Bagian Kedua Kedudukan 35 Pasal 7 36 Kementerian berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. 37 Pasal 8 38 Kementerian berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. 39 BAB III TUGAS, FUNGSI, DAN WEWENANG 40 Bagian Pertama Tugas 41 Pasal 9 42 Kementerian mempunyai tugas membantu Presiden dalam penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. 43 Bagian Kedua Fungsi 44 Pasal 10 Pasal 7 RUU KN disarankan agar kata 'kementerian' diubah menjadi 'menteri', dengan alasan bahwa yang bertanggungjawab kepada presiden adalah menteri, bukan kementerian (Sumut)

9 45 (1) Dalam melaksanakan tugasnya kementerian yang memiliki perangkat teknis menyelenggarakan fungsi: a. pelaksanaan urusan pemerintahan; b. perumusan, penetapan, dan pengawasan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis; c. pembinaan, koordinasi, dan pelaksanaan pelayanan administrasi pemerintahan; dan d. pelaksanaan pengawasan fungsional. 46 (2) Dalam melaksanakan tugasnya kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis menyelenggarakan fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pengawasan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis; b. pembinaan, koordinasi, dan pelaksanaan pelayanan administrasi pemerintahan; dan c. pelaksanaan pengawasan fungsional. 47 Bagian Ketiga Wewenang 48 Pasal (1) Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi, kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berwenang: a. membuat perencanaan; b. merumuskan dan menetapkan kebijakan; c. melaksanakan kebijakan; dan Persoalan koordinasi antar kementerian harus diatur lebih operasional dan tidak hanya cukup diatur dengan Pasal 10 untuk menghindari inefisiensi, duplikasi dan menjaga fleksibilitas. (Kalbar)

10 d. melakukan pengawasan fungsional. 50 (2) Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi, kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) berwenang: a. membuat perencanaan; b. membuat perencanaan; c. merumuskan dan menetapkan kebijakan; dan d. melakukan pengawasan fungsional. 51 Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan wewenang kementerian diatur dalam Peraturan Presiden. 53 BAB IV PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN KEMENTERIAN 54 Bagian Pertama Pembentukan 55 PasaI (1) Presiden, membentuk kementerian yang memiliki perangkat teknis dan kantor wilayah/perwakilan terdiri atas: a. Kementerian Dalam Negeri; b. Kementerian Luar Negeri; c. Kementerian Pertahanan d. Kementerian Hukum; Perlunya mengeluarkan Kementerian Dalam Negeri dari Pasal 13 ayat (1) dan dipindahkan ke dalam Pasal Pasal 13 ayat (2) karena kementerian ini tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan di daerah. (APEKSI dan BKKSI) Posisi Menko perlu dipertegas apakah dipertahankan atau dihapuskan. (BKKSI) Nomenklatur kementerian harus disesuaikan sesuai dengan peraturan yang telah ada. (Kalbar) Urgensi Kementerian Lingkungan Hidup sehingga ia perlu menjadi kementerian dengan pereangat teknis (Kalbar) Pasal 13 ayat (1) Penjelasan, pengertian kanwil sebaiknya mengikuti UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya untuk

11 e. Kementerian Keuangan; f. Kementerian Agama. PROF. DR. MIFTAH THOHA : Pembentukan Kementian Negara harus disesuaikan dengan Pasal 17 UUD RI 1945 yang terdiri dari pembentukan, pengubahan dan pembubaran. Maka diusulkan Kementerian sebagai berikut : A. Kementerian yang wajib terdiri atas a. Kementerian Dalam Negeri; b. Kementerian Luar Negeri; c. KementerianPertahanan; d. Kementerian Hukum dan Perundangundangan; e. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial; f. Kementerian Keuangan; g. Kementerian Agama; h. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan B. Kementerian Negara yang strategis terdiri atas a. Kementerian Perindustrian dan perdagangan; b. Kementerian Perhubungan dan Pariwisata; c. Kementerian Pertanian dan Kehutanan; d. Kementerian Perikanan dan Kelautan; e. Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral; f. Kementerian Lingkungan Hidup; g. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara; Kementerian Dalam Negeri. (Jatim) Pada Pasal 13 & Pasal 14 tentang Pembentukan Kementerian, bagaimana pengaturannya karena dapat terjadi tumpang tindih antara kantor wilayah kementerian pertahanan dengan Kodam, Kodim. (Jatim) Mempertanyakan Pasal 13 (jumlah 15 kementerian yang memiliki perangkat teknis) dengan Pasal 9 (kementerian membantu Presiden dalam urusan tertentu pemerintahan) Sangat dirasakan belum cukup untuk semua urusan pemerintahan. (Sulsel) Dalam Pasal 13 dan Pasal 14, dipertanyakan penanganan urusan budaya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian. Pariwisata, Seni dan Budaya. (Sulsel) Pasal 13 istilah 'industri' diusulkan menjadi 'Perindustrian' (Sulsel) Penegasan Kementerian yang memiliki perangkat teknis atau pada ayat (1) mestinya dapat menjawab tujuan Negara sebagaimana dalam Alenia IV Pembukaan UUD Oleh karena itu, Kementerian Sosial perlu ada dan menjadi kebutuhan mendasar dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. (Maluku). Bab IV, Pasal 13 ayat (1) Penempatan Kementerian Dalam Negeri (Depdagri) dalam kelompok ini dirasakan kurang tepat. Sesuai

12 h. Kementerian Transportasi, Telekomunikasi, dan Pariwisata. i. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; j. Kementerian Riset dan Teknologi. Selain Kementerian Negara diatas, Presiden dapat membentuk sebanyak-banyaknya 3 Kementerian tanpa portopolio PROF. IR ISANG GONARSYAH, PH.D : Berpegang pada pembukaan UUD 1945, konsensus nasional, prinsip-prinsip "good governance" permasalahan bangsa dan negara, dan aset serta keunggulan komparatif yang dimiliki maka diusulkan kementerian sbb: a. Kementerian yang memiliki perangkat teknis dan kantor wilayah /perwakilan 1) Kementerian Dalam Negeri; 2) KementerianLuar Negeri; 3) KementerianPertahanan; 4) Kementerian Hukum; 5) Kementerian Keuangan; 6) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. b. Kementerian yang memiliki perangkat teknis tetapi tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan 1) Kementerian Kesehatan; 2) Kementerian Pertanian (termasuk Bulog); 3) Kementerian Kehutanan; dengan Pasal 18 ayat (5) UUD-RI 1945 yang di undangkan dalam UU 32 Tahun 2004 Pasal 10 ayat (3) yang berada dalam pengelompokan ini adalah 6 bidang; Pertahanan, Keamanan, Luar Negari, Justisi, Monoter dan fiskal nasional serta agama. Maka Kementerian Dalam Negeri dari Pasal 13 (1) dipindahkan masuk/menjadi Pasal 13 ayat (2). Selanjutnya salah satu kewenangan yang sekarang ada di Depdagri, tentang Otonomi Daerah di jadikan kewenangan tersendiri, masuk ke Pasal 14. Pemisahan Otonomi Daerah dari Depdagri, dimaksudkan agar Depdagri dapat berkonsentrasi dalam bidang Politik dan Strategi Dalam Negeri sedangkan Otonomi Daerah dapat diurus terpisah. (Seminar APPSI SUTIYOSO)

13 57 (2) Selain kementerian sebagaimana disebut pada ayat (1), Presiden membentuk kementerian yang memiliki perangkat teknis dan tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan terdiri atas: a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; b. Kementerian Kesehatan; c. Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan; 4) Kementerian Perikanan dan Kelautan; 5) Kementerian Pertambangan dan Sumber daya Mineral; 6) Kementerian Lingkungan Hidup; 7) Kementerian Pekerjaan Umum; 8) Kementerian Transportasi, Telekomunikasi, dan Pariwisata; 9) Kementerian Tenaga Kerja dan Pembinaan UKM; 10) Kementerian Transmigrasi dan Pembangunan Kawasan Tertinggi. C. Kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis tetapi tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan 1) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; 2) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara; 3) Kementerian Riset dan Pengembangan Sain dan Teknologi. Diperlukan Kementerian Kelautan secara terpisah sebagai konsekuensi Indonesia sebagai negara maritime/kepulauan ke dalam Pasal 13 ayat (2). Karena berdasarkan Doktrin Djuanda tahun 1982, dunia telah mengakui bahwa Indonesia adalah kepulauan terbesar di Dunia, melalui United Nation Convention on the law of the sea (UNCLOS) 1982 dan dikukuhkan dengan UU 17 Tahun Oleh sebab itu wilayah maritim/kelautan harus diurus dengan sebaik-baiknya agar menjadi tulang Kehadiran Kementerian Sosial dianggap bertentangan dengan prinsip efisiensi karena dianggap tidak lagi urgen. Hal yang sama terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dianggap terlalu Was dan besar implikasinya ke daerah karena selama ini kedua wilayah kerja kementerian tersebut dilakukan oleh dua dinas daerah yang terpisah. Sedangkan Kementerian Pembangunan Pedesaan dianggap juga tidak urgen karena sudah ada

14 d. Kementerian Industri dan Perdagangan; e. Kementerian Pekerjaan Umum; f. Kementerian Pertambangan dan Sumber Daya Alam; g. Kementerian Perhubungan; h. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; i. Kementerian Sosial. punggung kekuatan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pertahanan nasional.. (APPSI, APEKSI, BKKSI) Perlunya menambahkan Kementerian Informasi dan Komunikasi pada Pasal 13 ayat (2) sebagai kebutuhan dalam menghadapi era informasi dan komunikasi. (APEKSI) Perlunya menambahkan Kementerian Pertanahan sebagai wilayah yang dianggap strategis bagi modal pembangunan dan kebutuhan masyarakat ke dalam Pasal 13 ayat (2). (APEKSI) Perlunya kajian atas penggabungan Kementerian Pertanian dan Kehutanan karena wilayahnya yang berbeda dan lugs. (BKKSI) Perlu ketegasan untuk mengatakan bahwa ada kementerian yang karena fungsinya terlalu berdekatan antar sektor, maka harus digabungkan. Namun, jika ternyata secara fungsional berseberangan, tidak salah untuk dipisahkan, misalnya tenaga kerja, transmigrasi dan koperasi. (DR. INDRIA SAMEGO, APU) Pasal 13 ayat (2) Iebih baik hanya menyebutkan pengelompokan kementerian, selanjutnya menyerahkan nama dan perinciannya kepada Presiden. (DR. M. FADHIL HASAN ) otonomi daerah dan sudah ditangani oleh Departemen Dalam Negeri. (Kalbar) Pasal 13 ayat (2) disarankan sejumlah kementerian a. Kementerian Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda; b. Kementerian Kesehatan dan LH; c. Kementerian Pertanian dan Kehutanan; d. Kementerian Kelautan dan Perikanan; e. Kementerian Perdagangan dan Industri; f. Kementerian Pertambagan dan Energi; g. Kementerian PU, Perumahan Rakyat, Pertanahan; h. Kementerian Perhubungan dan Telekomunikasi; i. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; j. Kementerian Sosial dan Perlindungan Masyarakat. (Kalbar) Wilayah kementerian sebagaimana tersebut dalam Pasal 13 (2) sudah terkait dengan urusan/kewenangan daerah maka penganggaran untuk kementerian itu semua harus dikonsultasikan dengan daerah. (Kalbar) Perlu penggabungan beberapa kementerian negara, seperti : Pendidikan dan Kebudayaan dengan Pemuda dan Olah Raga; Sosial dan Pemberdayaan Perempuan. Diusulkan pula agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masuk dalam kelompok kementerian yang memiliki perangkat teknis sehingga terjadi

15 58 (3) Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah atau digabungkan urusan-urusannya oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 13 ayat (3) bukanlah merupakan kewenangan Presiden untuk menetapkan, mengubah dan menggabungkan serta membubarkan kementerian tanpa harus melalui persetujuan DPR. Jika dikhawatirkan Presiden membentuk banyak kementerian sehingga inefisiensi, RUU ini bisa saja menyebutkan jumlah maksimal kementerian (M.FADHIL HASAN). kesamaan visi dan misi dalam pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) yang bermuara pada kesatuan dan persatuan bangsa. (Sulsel) Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Kelautan, ketiga urusan tersebut sebaiknya tidak digabung, begitu juga dengan Kementerian Industri dan Perdagangan agar dipisah karena terlalu banyak yang diurus. (Sulsel) Adanya aturan Pasal 13 ayat (3) bahwa perubahan/penggabungan kementerian harus dengan persetujuan DPR apakah tidak membelenggu keleluasaan Presiden yang dipilih secara Iangsung oleh rakyat berdasarkan visi dan misi yang diusung ketika kampanye. (Kalbar) Mengapa pembentukan kementerian harus dengan persetujuan DPR, karena Presiden memiliki hak prerogatif. (Jatim) Rumusan pada ayat (3) hendaknya diubah. Hal ini penting karena sistem yang dianut dalam UUD 1945 dalam sistem pemerintahan Presidentil dan bukan Parlementer. Rumusan pada ayat (3) mengarah pada sistem parlementer. Dilain pihak apabila UU ini membentuk suatu kementerian negara masih perlu persetujuan DPR dilihat dari segi waktu dan kebutuhan dalam membentuk kabinet. (Maluku) Hendaknya diingat dalam membentuk kementerian negara adalah hak prerogatif presiden. apalagi hak itu telah mendapat kepastian hukum melalui undang-undang. (Maluku)

16 59 PasaI (1) Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dibentuk kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis, terdiri atas: a. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; b. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara; c. Kementerian Riset, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; d. Kementerian Lingkungan Hidup; e. Kementerian Pembangunan Pedesaan; f. Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya; g. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Perlunya menambah Pasal 14: "Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dibentuk Kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis 'dan kantor wilayah/perwakilan di daerah' terdiri atas: dst." untuk menegaskan bahwa kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis melebihi kementerian yang memiliki perangkat teknis. (APEKSI) keberadaan Pemda menjadi argumen tidak perlunya Kementerian Pembangunan Pedesaan (Pasal 14). (APEKSI) Keberadaan Depdagri menjadi argumen tidak perlunya Kementerian Pembangunan Pedesaan (Pasal 14). (BKKSI) Pasal 14. Otonomi Daerah dipisahkan dari kewenangan Depdagri. Apabila negara demokrasi di Eropa seperti Kanada, memerlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk pemberian otonomi daerah, di Indonesia, otonomi Daerah masih relatif baru, setelah lahirnya UU 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh UU 32 tahun Pembenahan teknis Otonomi Daerah masih sangat panjang, sebab itu perlu dipisahkan karena kedepan hal-hal pengembangan wilayah akan berkembang bahkan mungkin sebaliknya akan ada penggabungan kembali. (Ketua APPSI, SUTIYOSO) Tidak perlu adanya kementerian pembangunan Pasal 14 (1) ada perubahan: a. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional; b. Kementerian PAN; c. Kementerian Ristek; d. Kementerian kependudukan dan KB; e. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan Perempuan; f. Kementerian Pariwisata, Seni dan Kebudayaan; g. Kementerian Koperasi dan UKM; h. Kementerian Media Informasi dan Hubungan Masyarakat. (Kalbar) Pembentukan kementerian sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) dengan pertimbangan DPR. (Kalbar) Pasal 14 ayat (1) Permasalahan Kementerian Pembangunan Pedesaan, bagaimana dan apakah tugasnya menjadi Bapenasnya desa dengan wadah kecil tetapi lembaganya mempunyai kewenangan yang kuat (superbody). (Jatim) Pada Pasal 14 apakah kementerian-kementerian dimaksud dapat menyelesaikan dua masalah yang berbenturan seperti masalah pengiriman transmigran dan penyelesaian masalah transmigran di daerah transmigrasi. (Jatim) Diusulkan agar bidang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang ada di Departemen

17 61 (2) Selain kementerian sebagaimana disebut pada ayat (1), Presiden dapat membentuk kementerian-kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis untuk melaksanakan urusan pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga, perumahan rakyat, kependudukan dan lain-lain urusan yang dibutuhkan oleh Presiden. 62 (3) Jumlah kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) paling banyak 10 (sepuluh) kementerian. pedesaan. Dinilai lebih urgen adanya Kementerian Otonomi Daerah untuk memperkuat pelaksanaan otonomi daerah (Perwakilan APPSI: Sultra) Mengapa pasal ini tidak digabungkan dengan pasal sebelumnya 14 ayat (1), (DR. M.FADHIL HASAN). Jumlah Kementerian dalam RUU terlalu banyak dan kurang mengakomodasikan penghematan dan pelaksanaan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan. (PROF. DR. MIFTAH THOHA) Jumlah kementerian harus disesuaikan dengan semangat desentralisasi. Perlu dinyatakan secara Pariwisata, supaya digabungkan dengan Departemen Agama. (Sulsel) Pasal 14 ayat (1) huruf e Kementerian Pembangunan Pedesaan tidak perlu karena dapat dijangkau oleh Bappenas. Sedangkan pada ayat (1) huruf f Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya sebaiknya dimasukan di Pasal 13 ayat (2). Dan pada ayat (3) jumlah kementerian di ayat ini tidak tepat dibanding dengan ayat (1) dan (2). (Medan) Perlunya pembentukan kementerian koordinator / Menko. (Maluku) Kementerian Pembangunan Pedesaan tidak perlu ada, sebaiknya urusan ini diserahkan kepada daerah, sehingga dapat disesuaikan dengan karateristik sosial budaya setempat. (Maluku) Pasal 14 ayat (2) dihapus karena sudah tertampung dalam usulan kementerian Pasal 13 ayat (1) dan (2) serta Pasal 14 ayat (1). (Kalbar) Jumlah kementerian minimal 18 dan maksimal 21 untuk alasan efisiensi. Pasal 14 ayat (3) menjadi (2) dan ayat (4) menjadi (3). (Kalbar) Tentang materi muatan pada Pasal 13 ayat (3) kata persetujuan juncto Pasal 14 ayat (4) disebutkan kata pertimbangan dalam

18 63 (4) Pembentukan kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 64 Bagian Kedua Pengubahan 65 Pasal (1) Nama kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat diubah. tegas fungsi dari kementerian negara, yang membedakan dari lembaga pemerintah di tingkat daerah. Pusat hendaknya tidak terlalu gemuk, selain mahal juga sulit menghindari adanya kepentingan untuk bagi-bagi "kue" diantara Presiden dengan parpol yang mendukungnya. Untuk itu perlu ada aturan yang menegaskan mengenai pentingnya restrukturisasi peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah. (DR. INDRIA SAMEGO, APU) Pada Pasal 14 ayat (4) mengapa dibedakan dengan Pasal 13 ayat (3) yang memerlukan persetujuan DPR. Perbedaan ini menimbulkan persepsi bahwa kementerian ini tidak sama pentingnya dengan kementerian lainnya.( DR. M. FADHIL HASAN) Perlunya kelembagaan pengawasan internal dan eksternal ke dalam sebuah lembaga kementerian. (Perwakilan APPSI: Mualim (Sekda Sulsel)) Perlu penegasan tentang penganggaran untuk setiap kementerian (Perwakilan APPSI:Malut (Asses III)) penjelasannya adalah sama, dimanakah perbedaannya. (Jatim) Rumusan Pasal-Pasal pada bagian ini telah meniadakan Menteri-menteri Koordinator bidangbidang. Kebutuhan Menteri koordinator dalam perkembangan masih dibutuhkan karena adanya dinamika politik, apabila dipandang perlu oleh presiden. Oleh karena itu, perlu adanya rumusan yang membuka ruang bagi presiden membentuk kementerian sesuai kebutuhan. (Maluku) Pasal 15 ayat (1) setuju dengan kementerian yang tidak dapat diubah, tetapi dipertanyakan mengenai HAM (Hak Azasi Manusia) ditangani

19 67 (2) Pengubahan nama kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilakukan Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 68 (3) Pengubahan nama kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat dilakukan Presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat 69 Bagian Ketiga Pembubaran 70 Pasal (1) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Sama dengan tanggapan pasal 14 ayat (4), (DR.M.FADHIL HASAN). Sama dengan tanggapan pasal 14 ayat (4), (DR.M.FADHIL HASAN). oleh kementerian apa?. Pasal 15 ayat (2) disarankan istilah 'persetujuan' diganti dengan 'pertimbangan' DPR, mengingat proses persetujuan memakan waktu lama. (Medan) Apabila UU telah memerintahkan untuk menggunakan nama Kementerian sebagaimana pada Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) maka Presiden wajib melaksanakannya. (Maluku) Apabila Presiden diberi kewenangan untuk menggabungkan beberapa urusan menjadi satu kementerian maka telah menjadi hak prerogatif presiden. (Maluku) pembubaran suatu kementerian akan berdampak luas baik dari segi politik sosial maupun ekonomi.oleh karena itu kedua pasal ini disatukan menjadi satu pasal dengan dua ayat, yaitu penggabungan Pasal 15 dan Pasal 16. (Maluku)

20 72 (2) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dapat dibubarkan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 73 (3) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), dapat dibubarkan oleh Presiden dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 74 BAB V PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MENTERI 75 Bagian Pertama Pengangkatan 76 Pasal (1) Menteri diangkat oleh Presiden 78 (2) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi menteri adalah: a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila, dan UUD 1945; d. sehat jasmani dan rohani; e. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; f. mempunyai kompetensi; g. memiliki pengalaman manajerial; h. sanggup dan dapat bekerjasama sebagai pembantu presiden. Pada Pasal 16 ayat (2) dan (3) sama dengan tanggapan Pasal sebelumnya, bahwa pembubaran kementerian jenis ini merupakan tetap kewenangan Presiden. (DR. M. FADHIL HASAN) Perlunya penambahan syarat menjadi menteri di samping kompetensi menurut bidangnya tetapi juga professional dan ahli. (Kalbar) Pengaturan tentang persyaratan bagi jabatan menteri/dpp tidak boleh melanggar hak warga negara seperti terlihat dalam untuk sebagian dalam persyaratan. (Kalbar) Apakah calon Menteri dapat diketahui secara luas oleh masyarakat dalam kaitannya dengan Pasal 17 RUU Kementerian Negara. (Jatim) Pasal 17 ayat (2) tentang kompetensi Menteri seperti apakah kualifikasinya?. (Jatim)

21 79 Bagian Kedua Larangan Rangkap Jabatan 80 Pasal Menteri dilarang merangkap jabatan/atau menjadi pengurus pada : a. lembaga negara lainnya; b. organisasi politik; c. komisaris atau direksi pada perusahaan negara; atau d. organisasi lainnya yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. 82 Bagian Ketiga Pemberhentian 83 Pasal 19 Ketentuan yang menyatakan Menteri dilarang merangkap jabatan/atau menjadi pengurus pada diusulkan organisasi politik (partai politik), larangan tersebut tidak hanya untuk pengurus tetapi jugs untuk semua anggota partai, atau klausul tersebut dihapuskan, karena banyak kader partai yang memiliki kemampuan dan profesional. (Sulsel) Alasan profesionalisme, adanya larangan rangkap jabatan bagi menteri di partai perlu dipertegas untuk kategori pimpinan atau semua anggota parpol. (Kalbar) Larangan rangkap jabatan, apakah politisi bersedia melepaskan jabatan dari jabatan partai politik. Harus dipertegas agar menteri tidak menggunakan jabatan untuk agenda partai. (Jatim) Dalam Bab Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri. Pasal 18 dalam poin b ditambah menjadi organisasi politik dan LSM, dan poin c komisaris dan direksi diganti pejabat BUMN. (Kalbar) Bagian Ketiga Pemberhentian dan Penonaktifan Menteri (Kalbar)

22 84 (1) Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden. 85 (2) Menteri diberhentikan karena : a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; d. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; e. berakhir masa jabatan; f. kehendak presiden; g. melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal BAB VI HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN LEMBAGA PEMERINTAH NON- KEMENTERIAN 87 Pasal (1) LPNK yang urusannya terkait dengan tugas dan wewenang suatu kementerian wajib melakukan koordinasi dengan kementerian tersebut 89 (2) Pembentukan LPNK harus mengikutsertakan menteri yang memiliki tugas dan wewenang Pasal 19 ayat (1) menjadi "Menteri diberhentikan dan dinonaktifkan dari jabatannya oleh Presiden. (Kalbar) Pasal 19 huruf (f) kehendak presiden harus ada parameternya sehingga bukan atas dasar selera semata dalam memberhentikan menterinya. (Kalbar) Pasal 19 ditambah ayat (3) berbunyi : Menteri dinonaktifkan karena (1) terindikasi penyalagunaan wewenang dan jabatan; dan (2) telah dinyatakan sebagai tersangka tindakan hukum; (Kalbar) LPNK harus dibatasi maksimal 7, selektif dan sesuai dengan kebutuhan.(kalbar)

23 yang terkait dengan urusan LPNK yang akan dibentuk. 90 (3) LPNK secara struktural berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang urusannya terkait dengan tugas dan wewenang LPNK 91 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden. Perlunya pengaturan keberadaan LPNK. Dengan demikian perlu ditambahkan satu subbagian tentang LPNK masing-masing mengatur 'pembentukan, penggabungan dan pembubaran' untuk selanjutnya digabungkan dengan hubungan fungsional kementerian dan LPNK. (APEKSI) Nama RUU Kementerian Negara cukup jelas. Namun dipertanyakan mengapa istilah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) masih dimuat dalam Pasal 20 Bab IV. Dinilai tidak ada perlunya menyatakan secara eksplisit hubungan dengan LPNK sementara hubungan dengan kementerian lain tidak.(dr. INDRIA SAMEGO, APU) 86 BAB HUBUNGAN KEMENTERIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH UU Kementerian Negara harus bersinergis dengan UU 32 tahun 2004 sesuai dengan jiwa UUD'45 dengan menetapkan tiga azas penyelenggaraan Pemerintah Daerah yaitu: Azas desentralisasi, azas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Oleh karena itu, diusulkan BAB tersendiri setelah BAB Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian. BAB Hubungan Kementerian dengan Pemerintah Daerah, dengan substansi pokok sebagai berikut : a. Pelaksanaan tugas dan wewenang kementerian Adanya pengaturan bahwa pimpinan LPNK harus bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang terkait. Perlu dipertegas LPNK yang selama ini disetarakan dengan kementerian seperti Jagung, Panglima TNI, Kapolri dan lainlain. (Kalbar) Terkait dengan pengaturan hubungan fungsional Kementerian dengan LPNK. Perlu ditambahkan pengaturan tentang apa itu LPNK, apa saja yang termasuk LPNK sehingga tidak menimbulkan salah tafsir seperti dalam Pasal 20 (3) tentang pertanggungjawaban LPNK di bawah menteri. Bagaimana dengan jabatan jabatan LPNK setingkat menteri seperti Jagung, Kapolri, Gubemur BI. (Kalbar)

24 92 BAB VII KETENTUAN PERALIHAN 93 Pasal (1) Kementerian yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan dibentuk Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 95 (2) Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini harus segera menyesuaikan dengan Undang-Undang ini. 96 BAB VIII KETENTUAN PENUTUP 97 Pasal Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. 99 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. negara wajib dikoordinasikan dengan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah dalam kerangka azas dekonsentrasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan. b. Pelaksanaan tugas dan wewenang kementerian negara wajib diselaraskan dengan azas desentralisasi dan tugas pembantuan. (APPSI)

25 100 Disahkan di Jakarta pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 101 Diundangkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, HAMID AWALUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...

26 1 PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA I. UMUM 2 Penyelenggara negara mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan melaksanakan ketertiban. Pemerintah Negara Republik Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bertekad menjalankan fungsi pemerintahan negara ke arah yang dicita-citakan. 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar, selanjutnya Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem

27 Presidensil. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang pengangkatan dan pemberhentiannya sepenuhnya merupakan wewenang Presiden. Menteri-menteri negara membidangi urusan-urusan tertentu dan memimpin Kementerian Negara yang menurut Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran suatu Kementerian Negara diatur dalam undang-undang. 4 Undang-Undang Kementerian Negara ini merupakan elaborasi dari ketentuan konstitusi sehingga undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan hak Presiden dalam menyusun Kementerian Negara yang membantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dengan demikian, undangundang ini justru memudahkan Presiden dalam menyusun institusi Kementerian Negara yang menangani urusan-urusan penting dan strategis bagi bangsa dan negara dalam rangka mensinergikan dengan prioritas urusan menurut visi dan misi Presiden. 5 Undang-Undang Kementerian Negara ini merupakan elaborasi dari ketentuan konstitusi sehingga undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan hak Presiden dalam menyusun Kementerian Negara yang membantunya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dengan demikian, undang-

28 undang ini justru memudahkan Presiden dalam menyusun institusi Kementerian Negara yang menangani urusan-urusan penting dan strategis bagi bangsa dan negara dalam rangka mensinergikan dengan prioritas urusan menurut visi dan misi Presiden. 6 Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian menurut undang-undang ini diklasifikasikan menjadi dua sebutan yakni kementerian yang memiliki perangkat teknis dan kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis. 7 Kementerian Negara yang dibentuk berdasarkan atas amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor antara lain faktor kesejahteraan dan faktor kepentingan Nasional. 8 Undang-undang ini secara jelas memuat dalam pasal-pasalnya tentang kewenangan Presiden dalam membentuk, mengubah, dan membubarkan kementerian yang memiliki perangkat teknis hares dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sedangkan untuk kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 9 Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain memuat urusan yang perlu ditangani oleh Kementerian Negara, secara ekspilsit juga memuat Kementerian

29 Negara yang memiliki kewenangan peran sebagai pelaksana tugas kepresidenan jika Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat menjalankan tugas secara bersamaan, yang disebut "Triumvirat" yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan, selain itu jugs memuat Kementerian-kementerian Negara tertentu yang menangani urusan yang tidak mungkin dilepaskan dari Pemerintah Pusat seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. 10 Faktor historis menunjukan bahwa beberapa Kementerian Negara sudah ada sejak Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 dengan terbentuknya Kabinet Presidensil (19 Agustus November 1945) dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, antara lain: Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Keamanan Rakyat, Menteri Kehakiman, Menteri Penerangan, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Menteri Pengajaran, dan Menteri Kesehatan, serta diangkat pula 5 (lima) Menteri Negara. 11 Faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam hal pembentukan Kementerian Negara adalah faktor kebutuhan nasional, yaitu kebutuhan berdasarkan kondisi dan kepentingan nasional Indonesia. Sebagai contoh, yaitu salah satu kebutuhan yang sangat mendesak bagi

30 Indonesia adalah sektor kelautan yang mencakup 80 persen dari luas wilayah Indonesia, sehingga perlu dibentuk Kementerian Kelautan. 12 Faktor kebutuhan nasional tidak saja menjadi dasar pembentukan Kementerian Negara Portofolio, tetapi juga menjadi alasan untuk membentuk Kementerian Negara Portofolio. II. PASAL DEMI PASAL 13 Pasal 1 14 Cukup jelas. 15 Pasal 2 16 Cukup jelas. 17 Pasal 3 18 Cukup jelas. Sekretariat jenderal yang dimaksud dalam ayat ini bertugas melaksanakan kegiatan-kegiatan: perencanaan visi, misi, program dan kegiatan pembangunan sesuai urusan teknis yang ditangani kementerian yang bersangkutan, dan penganggarannya; penyusunan organisasi dan tata laksana dalam suatu kementerian; fasilitasi bagi pelaksanaan teknis urusan-urusan pemerintahan yang ditangani kementerian yang bersangkutan, antara lain meliputi pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, pemeliharaan dan pengelolaan asset-asset, serta data dan informasi; dan pengawasan, pemantauan, dan penilaian kinerja (evaluasi).(mesdin SIMARMATA) 19 Pasal 4

31 20 Cukup jelas. 21 Pasal 5 22 Cukup jelas 23 Pasal 6 24 Cukup Jelas 25 Pasal 7 26 Cukup Jelas 27 Pasal 8 28 Cukup Jelas 29 Pasal 9 30 Cukup Jelas 31 Pasal Cukup jelas. 33 Pasal Cukup jelas. 35 Pasal Cukup jelas 37 Pasal Ayat (1) 39 Cukup jelas 40 Ayat (2)

32 41 Cukup jelas. 42 Ayat (3) 43 Yang dimaksud dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang diputuskan sesuai dengan mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat. 44 Pasal Ayat (1) 46 Cukup jelas. 47 Ayat (2) 48 Setiap urusan-urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak harus diwadahi dalam satu kementerian, urusanurusan dapat digabung dalam satu kementerian. 49 Ayat (3) 50 Cukup Jelas 51 Ayat (4) 52 Cukup Jelas 53 Pasal Cukup jelas 55 Pasal Ayat (1)

33 57 Cukup jelas 58 Ayat (2) 59 Cukup jelas 60 Ayat (3) 61 Pertimbangan dibubarkannya Kementerian dilakukan dengan memperhatikan aspek : a. Politik; b. Sosial; c. Ekonomi; d. Kepegawaian. 62 Pasal Cukup jelas. 64 Pasal Cukup jelas. 66 Pasal Cukup jelas. 68 Pasal Cukup jelas. 70 Pasal Cukup jelas. 72 Pasal Cukup jelas.

34 74 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN REHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN REHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN REHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TE NTANG KEMENTERIAN NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TE NTANG KEMENTERIAN NEGARA Draf Final RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TE NTANG KEMENTERIAN NEGARA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT RI PUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

POINTERS ACARA SEMINAR DAN UJI PUBLIK RUU DEWAN PENASEHAT PRESIDEN DAN KEMENTERIAN NEGARA Hotel Cempaka, 13 Juli 2006

POINTERS ACARA SEMINAR DAN UJI PUBLIK RUU DEWAN PENASEHAT PRESIDEN DAN KEMENTERIAN NEGARA Hotel Cempaka, 13 Juli 2006 POINTERS ACARA SEMINAR DAN UJI PUBLIK RUU DEWAN PENASEHAT PRESIDEN DAN KEMENTERIAN NEGARA Hotel Cempaka, 13 Juli 2006 Assalamu alai kum Wr. Wb Salam sejahtera dan selamat siang Kepada Yth. Ketua dan Anggota

Lebih terperinci

No kementeriannya diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pas

No kementeriannya diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4916 KEMENTERIAN NEGARA. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PERATURAN PRESIDEN NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja pelaksanaan tugas perencanaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 62 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

1/9 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 47 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 dan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 232

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB DEPUTI GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI LANDAK, : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN

RANCANGAN PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN RANCANGAN PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN DAN PENASIHAT PRESIDEN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN DAN PENASIHAT PRESIDEN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN DAN PENASIHAT PRESIDEN 1 DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 8-2003 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 89, 2007 OTONOMI. PEMERINTAHAN. PEMERINTAHAN DAERAH. Perangkat Daerah. Organisasi.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG UNIT PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB DEPUTI GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 8 TAHUN 2009

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 8 TAHUN 2009 POLEWALI MANDAR SIPAMANDAQ S I PAM AN D AQ PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (10), Pasal 15,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI KEMENTERIAN NEGARA SERTA SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, DAN FUNGSI ESELON I KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA

KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA KETENTUAN PERTIMBANGAN ATAU PERSETUJUAN DALAM UNDANG-UNDANG KEMENTERIAN NEGARA Oleh: Zaqiu Rahman Naskah diterima : 07 November 2014; disetujui : 14 November 2014 Postur Kabinet Pemerintahan yang Baru

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2001 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA KOORDINATOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI KEMENTERIAN NEGARA SERTA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI KEMENTERIAN NEGARA SERTA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI KEMENTERIAN NEGARA SERTA SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, DAN FUNGSI ESELON I KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 No. 10, 2008 LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 16 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

2017, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); MEMUTUSKAN: Menetapka

2017, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); MEMUTUSKAN: Menetapka No.19, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Nasional. SDA. Dewan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

2016, No Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republ

2016, No Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republ BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2079, 2016 KEMENDAGRI. Perangkat Daerah. Prov-DKI Jakarta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 22 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN ADMINISTRASI, KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

MATRIKS MASUKAN UJI PUBLIK (5) LIMA DI PROVINSI & RDPU PAKAR/ASOSIASI TERHADAP DRAFT RUU DEWAN PENASIHAT PRESIDEN

MATRIKS MASUKAN UJI PUBLIK (5) LIMA DI PROVINSI & RDPU PAKAR/ASOSIASI TERHADAP DRAFT RUU DEWAN PENASIHAT PRESIDEN MATRIKS MASUKAN UJI PUBLIK (5) LIMA DI PROVINSI & RDPU PAKAR/ASOSIASI TERHADAP DRAFT RUU DEWAN PENASIHAT PRESIDEN SEKRETARIAT PANSUS RUU DPP-KN TAHUN 2006 MATRIKS MASUKAN UJI PUBLIK LIMA PROVINSI & RDPU

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAB I

MEMUTUSKAN : : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAB I PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PERANGKAT DAERAH KOTA MEDAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA S A L I N A N GUBERNUR KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN UTARA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK RADIO REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI,SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163 TAHUN 2000 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, KEWENANGAN, SUSUNAN ORGANISASI,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA

GUBERNUR KALIMANTAN UTARA GUBERNUR KALIMANTAN UTARA PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN UTARA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2017, No Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

2017, No Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah No.349, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAGRI. Prov.Papua dan Prov.Papua Barat. Perangkat Daerah PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PERANGKAT DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TELEVISI REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI,SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI,SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 134 TAHUN 1999 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI,SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA MENTERI NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI RIAU SALINAN GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI, DAN TATA KERJA KEMENTERIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG TATA HUBUNGAN KERJA ANTAR PENYELENGGARA PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA DUMAI

PEMERINTAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI PEMERINTAH KOTA DUMAI PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN INVESTASI KOTA DUMAI DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2009 TENTANG UNIT KERJA PRESIDEN BIDANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI KEMENTERIAN NEGARA SERTA SUSUNAN ORGANISASI,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN, KEDUDUKAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI MALUKU GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwauntuk

Lebih terperinci