BAB VIII KELEMBAGAAN DAN TATA NIAGA SUSU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VIII KELEMBAGAAN DAN TATA NIAGA SUSU"

Transkripsi

1 BAB VIII KELEMBAGAAN DAN TATA NIAGA SUSU Rochadi Tawaf', Tridjoko W. Murti 2 dan Ratna A. Saptati3 I Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung 2 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor I. PENDAHULUAN Usaha peternakan sapi perah di Indonesia melibatkan kelembagaan yang cukup kompleks. Hat ini meliputi peternak yang pada umumnya bergabung dalam suatu kelompok, koperasi susu yang melibatkan pengumpul dan penampung susu serta berujung pada industri pengolahan susu (IPS) yang menghasilkan aneka olahan susu sebelum sampai di konsumen. Koperasi susu mempunyai peran yang sangat besar dalam tata niaga dan distribusi susu. Koperasi ini terus berkembang sesuai dengan berbagai permasalahannya, terutama terkait dengan masalah tata niaga susu kepada IPS. Koperasi susu memiliki posisi tawar yang sangat lemah terhadap IPS, terutama dalam penentuan jumlah penjualan susu dan waktu penjualan serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul karena IPS menggunakan bahan baku susu impor untuk menghasilkan produk olahan susu sehingga susu segar dalam negeri (SSDN) harus memiliki daya saing tinggi. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti penetapan rasio penyerapan SSDN dengan impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan konsentrat serta impor sapi perah berkualitas, sedikit demi 3 0 1

2 sedikit dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi koperasi susu. Untuk mengamankan produksi SSDN, Pemerintah pada tahun 1982 menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian serta Menteri Perindustrian dengan Nomor 236/Kpb/VII/82, 341/M/SK/1982 dan 521/Kpts/Um/1982. SKB mi memuat ketentuan bahwa izin impor bahan baku susu akan diberikan kepada IPS apabila ada tanda bukti penyerapan SSDN dikenal dengan mekanisme Bukti Serap (BUSEP). Penerapan kebijakan ini berdampak pada peningkatan rasio penyerapan SSDN, pada tahun 1984 rasio penyerapan SSDN naik menjadi 1 :3,5 (19% serapan SSDN) dari perbandingan 1 :20 (<5% serapan SSDN) pada tahun Kebijakan ini terpaksa dicabut sejak ditandatanganinya kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang penghapusan beberapa kebijakan nontarif. Sampai dengan tahun 2007, kontribusi' produksi SSDN hanya mencapai 25% terhadap produksi susu nasional yang sekitar 1,2 juta liter per hari. Hal ini juga tidak memungkiri kemajuan yang sangat signifikan dalam usaha sapi perah karena dukungan dan program pemerintah dalam tiga dekade terakhir. Sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah rumah tangga peternak (RTP) sapi perah dari 54,4 ribu pada tahun 1963 menjadi 119 ribu pada tahun 2003 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2003). Hal ini juga seiring dengan meningkatnya jumlah populasi sapi perah dari 52 ribu ekor pada tahun 1969 menjadi 377,8 ribu ekor pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Menurut GKSI (2000) dalam Yusdja (2005) disebutkan bahwa koperasi susu berkembang dari 27 buah pada tahun 1979 menjadi sekitar 231 pada tahun Bab in] membahas komponen kelcmbagaan dan faktorfaktor yang memengaruhi terhadap tata niaga susu dari tingkat peternak sampai IPS. Efisiensi dari masing-masing rantai pasokan produk susu sangat penting dalam rangka 3 0 2

3 meningkatkan daya saing usaha ini dalam menghadapi tantangan perdagangan global yang semakin kompleks. II. PROFIL KELEMBAGAAN Institusi sosial atau kelembagaan diartikan sebagai sistem organisasi hubungan sosial yang terwujud dari beberapa nilai umum dan cara dalam menyatukan beberapa kebutuhan dasar masyarakat (Horton, 1964 dalam Munandar, 2008). Pendapat lain mengartikan institusi sosial atau kelembagaan merupakan bentuk formal budaya yang terdiri dari kumpulan kebutuhankebutuhan sosial yang mendasar atau pokok (Landis, 1958 dalam Munandar, 2008). Berdasarkan kedua definisi tersebut, maka kelembagaan merupakan suatu wadah berkumpulnya orang-orang untuk menyalurkan aspirasi, pendapat, dan alat untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Konsep kelembagaan menunjukkan bahwa hubungan-hubungan tertentu dan pola-pola tindakan yang dicakup dalam organisasi adalah bersifat normatif, balk di dalam organisasi sendiri maupun untuk satuan sosial lainnya. Defnisi-definisi di atas telah menunjukkan bahwa kelembagaan sangat berperan dalam menunjang pembangunan karena apabila kelembagaan tersebut dibangun atas dasar partisipasi masyarakat sendiri, maka akan lebih mengedepankan kepentingan kelembagaan dibandingkan dengan kepentingan individu. Terkait dengan sistem agribisnis, maka kelembagaan utama dimulai dari subsistem sarana dan prasarana produksi, budidaya, pengolahan, sampai dengan subsistem tata niaga. Sedangkan kelembagaan pendukungnya adalah lembaga keuangan, koperasi, penelitian, pendidikan dan sebagainya. Kelembagaan peternak adalah organisasi yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri yang didasari atas kesamaan kepentingan di bidang petemakan dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga secara tertulis. 3 03

4 11.1 Jenis Kelembagaan Peternak Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Berdasarkan pada pembentukannya dikenal dua jenis kelembagaan peternak, yaitu kelembagaan mandiri dan kelembagaan bentukan (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan mandiri adalah kelompok peternak yang dibentuk atas dasar kepentingan yang sama dan dibentuk tanpa bantuan dari kelembagaan lainnya. Kelembagaan bentukan adalah kelompok peternak yang dibentuk karena diinisia~l.i oleh kelembagaan lain, misalnya oleh pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat. Biasanya kelembagaan bentukan akan terbangun jika ada program atau proyek yang mengharuskan adanya pembentukan kelompok. Kelembagaan peternak berdasarkan sifatnya, dapat dibedakan antara kelembagaan sosial budaya (non profit organization) dan kelembagaan yang bersifat ekonomi (Firman dan Tawaf, 2008). Kelembagaan sosial budaya biasanya organisasinya tidak terstruktur dengan mapan, contohnya adalah "gotong royong" dan arisan. Kelembagaan ekonomi yang berkembang di pedesaan antara lain koperasi. Pengembangan kelembagaan peternak dapat dilakukan jika ada kerja sama yang utuh antaranggota kelompok yang didasari oleh kepentingan bersama dalam mencapai satu tujuan, dengan pola partisipasi secara berkelompok dalam memecahkan permasalahan. Berbagai kemudahan yang mungkin akan diperoleh oleh peternak bila dibentuk kelembagaan kelompok antara lain : 1) Mudah membentuk koperasi untuk mendukung berbagai aktivitas kelompok. 2) Informasi dapat menyebar secara merata ke setiap anggota kelompok. 3) Inovasi terhadap teknologi dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota, balk teknologi pembibitan, pakan, budidaya, pascaproduksi dan sebagainya. 4) Memudahkan dalam melakukan penyuluhan karena sudah terbentuk kelompok. 3 04

5 Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia 5) Memudahkan dalam mengakses berbagai program pemerintab. 6) Memudahkan dalam mengakses lembaga keuangan dalam rangka penguatan modal. 7) Memudahkan dalam pemeliharaan infrastruktrur atau sarana dan prasarana yang dibangun oleh kelompok. Hal-hal tersebut merupakan wahana untuk membentuk kelompok yang mandiri dan tangguh. Adanya ikatan yang kuat dalam kelompok, diharapkan kelembagaan peternak tidak hanya terbentuk dalam kelompok saja, tetapi dapat ditransformasi menjadi koperasi atau lembaga keuangan mikro seperti disajikan pada Gambar 1. I<rnha a n y :,ng hers,far urn Kulcmbagaan yang barsitar susiai KFLOMPO GABUNOAN KFLOMPOK KONERASI Usaha hesar I N II I) I! Usaha rumah tangga 11 sah a ke n I Usaha nenengah Gambar 1. Transformasi kelembagaan sosial menuju kelembagaan ekonomi Sumber : Rahayu et al. (2005) Gambar I menunjukkan bahwa transformasi kelembagaan sosial yang berada di pedesaan dengan basis usaha sapi perah ke bentuk usaha koperasi merupakan suatu realita. Ciri utama terjadinya proses transformasi kelembagaan adalah adanya perubahan dari kegiatan yang bersifat subsisten tradisional ke arah komersial atau berorientasi ekonomi

6 11.2 Bentuk Kelembagaan pada Agribisnis Sapi Perah Bentuk kelembagaan pada agribisnis peternakan sapi perah terdiri atas kelompok usaha koperasi dan nonkoperasi. Kelompok koperasi adalah : (a) kelompok peternak, (b) gabungan kelompok (skala tempat penampungan susu), dan (c) koperasi. Bentuk kelembagaan nonkoperasi yang bergerak di bidang ini adalah kolektor susu, pemasok pakan, obat-obatan, dan sarana peternakan sapi perah. Minat terhadap usaha sapi perah meningkat dari tahun ke tahun yang terlihat dari adanya peningkatan jumlah peternak sapi perah. Ditinjau dari skala usahanya, peternakan sapi perah di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (a) usaha petemakan sapi perah rakyat, dan (b) perusahaan peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah rakyat sasarannya diandalkan untuk perluasan lapangan kerja dan lapangan berusaha, peningkatan pendapatan peternak, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan. Usaha ini sebagian besar tergabung dalam wadah koperasi yang berperan sebagai pengumpul susu. Koperasi ini merupakan pemasok utama bahan baku susu segar bagi IPS, yang mencapai 92% dari produksi nasional. Jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat sekitar 95% dari populasi yang ada dengan rataan kepemilikan sekitar 3 ekor/peternak. Perusahaan peternakan sapi perah, biasanya berlokasi di sekitar kota, memiliki izin usaha, dan pemilikan sapi sekurang-kurangnya 10 ekor sapi dewasa (laktasi dan kering). Total jumlah sapi yang dikelola perusahaan peternakan sapi perah ini sekitar 5% dari populasi nasional dengan rataan kepemilikan sekitar 28 ekor/perusahaan (Soetarno, 2003). Oleh karena itu, pengembangan agribisnis peternakan sapi perah tidak dapat lepas dari peran koperasi sebagai wadah pembinaan dan pelayanan bagi anggota dalam hal penyedia sarana, penanganan, dan penyaluran hasil usaha sehingga keberadaan koperasi betul-betul merupakan tulang punggung dalam pembangunan peternakan sapi perah rakyat (Sugandi et al., 2008). 3 06

7 Kelembagaan lain selain koperasi yang juga sangat berperanan pada kemajuan peternakan sapi perah rakyat adalah kelompok peternak. Secara formal kelompok ini sebagai media atau wadah mengelola usaha tani secara bersama. Peran kelompok tani bagi pengembangan usaha tani khususnya kelompok peternak sapi perah bagi para anggotanya dalam mewujudkan kemandirian sangat penting. Fungsi kelompok merupakan wadah belajar mengajar bagi anggota guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta tumbuh dan berkembangnya dalam berusaha tani sehingga produktivitas meningkat, pendapatan bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera (Menteri Pertanian yang disitasi oleh Darmawan et al., 2008). Penguatan peternak sapi perah dalam bentuk kelompok merupakan upaya dalam meningkatkan usaha sapi perahnya. Manfaat yang dapat dirasakan oleh peternak sapi perah dengan cara berkelompok adalah : (a) peternak dapat saling mengontrol kualitas susu, (b) memudahkan pembinaan terhadap anggota kelompok, (c) memudahkan dalam pendistribusian susu, dan (d) dapat saling tolong menolong bila salah satu anggota mengalami kesulitan fisik maupun finansial. Manfaat kerja sama yang dapat dibangun antarkelompok antara lain : (a) mempermudah akses informasi, (b) melakukan koordinasi terhadap zoning lahan pangonan atau lahan pencarian hijauan antarkelompok, dan (c) melakukan kontrol terhadap penyakit endemik yang dapat menyebabkan kematian pada sapi perah Perspektif Koperasi Sapi Perah Koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan di antara sekian banyak kelembagaan yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian. Lembaga koperasi memiliki ciri double identity yang mungkin tidak dimiliki oleh lembaga lain. Ciri ini menjelaskan bahwa para anggota koperasi merupakan owner sekaligus customer dari lembaga tersebut. Perbedaan ini terlihat dengan adanya unit usaha ekonomi yang 3 0 7

8 Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia dimiliki dan diawasi bersama secara demokratis dengan satu tujuan, yaitu melayani kebutuhan anggota. Koperasi mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai wahana untuk meningkatkan peran dan kontribusi para petani dalam pembangunan sektor pertanian, sekaligus memperjuangkan hak-hak para petani dalam meningkatkan kesejahteraan hidup. Selain itu, koperasi juga merupakan gerakan untuk pembangunan modal sosial di kalangan masyarakat (Baga, 2005). Pada agribisnis sapi perah, kelembagaan koperasi dibedakan antara koperasi primer yang terdiri dari koperasi persusuan atau koperasi yang bergerak di bidang persusuan (koperasi single purpose dan KUD Unit Susu), serta koperasi sekunder, yaitu Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). GKSI merupakan kelembagaan yang sangat berperan dalam pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia (Toharmat, 2007). Lembaga ini berdiri secara formal pada tahun 1979, yang merupakan koperasi sekunder pada tingkat nasional dari puluhan jumlah koperasi persusuan saat itu. Salah satu prestasi dari GKSI terlihat pada meningkatnya jumlah koperasi persusuan sejak tahun 1979, sejalan dengan berkembangnya ratusan jumlah KUD susu (Gambar 2) t- P 150 L E 100 E 50 /' Tahun 2005 Gambar 2. Perkembangan jtunlah koperasi persusuan tahun Sumber : Toharmat (2007) Terbentuknya koperasi terjadi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi 3 0 8

9 membantu peternak dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi khususnya pakan konsentrat, peralatan produksi, pelayanan kesehatan ternak dan mengumpulkan serta menjual susu ke IPS. Di samping itu, koperasi merupakan wahana untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya dalam memperoleh dukungan kebijakan pemerintah untuk pengembangan agribisnis peternakan. Pada era tahun 1980-an peran GKSI dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya sangat nyata, yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah populasi sapi perah secara signifikan yang disertai dengan peningkatan jumlah peternak maupun jumlah tenaga kerja yang terserap pada agribisnis sapi perah ini. Namun, pada dekade terakhir peran koperasi persusuan, khususnya di tingkat sekunder (GKSI) terlihat menurun sehingga kurang dapat meningkatkan pelayanan terhadap anggotanya. Pada tahun 2007 terdapat 96 koperasi susu yang aktif dengan jumlah anggota mencapai 92,5 ribu. peternak yang memelihara sekitar 290 ribu ekor sapi (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2007). Namun, perkembangan koperasi tersebut berfluktuasi dalam periode tertentu. Di Jawa Barat misalnya, sebelum tahun 1997 jumlah koperasi mencapai 44 buah, namun tahun 2007 jumlahnya tinggal 24 koperasi (Firman dan Tawaf, 2008). Jika dilihat dari jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh setiap koperasi, terdapat empat koperasi yang menduduki jumlah produksi susu terbanyak, yaitu di Kabupaten Bandung terdapat KPSBU Lembang, KPBS Pangalengan, KUD Sarwa Mukti, dan di Kabupaten Sumedang adalah KSU Tandangsari. Berdasarkan perkembangan koperasi di Jawa Barat, maka terdapat 20 koperasi yang sudah tidak aktif lagi. Dari 24 koperasi yang aktif, terdapat beberapa koperasi yang sudah tidak mampu lagi beroperasi, seperti KUD Pasir Jambu, Kabupaten Bandung dan KUD Cilawu, Kabupaten Garut (Firman, 2008). Hal tersebut tidak berbeda dengan kondisi di Jawa Tengah, khususnya di Semarang dan Magelang, beberapa koperasi susu sudah tidak mampu lagi beroperasi (Anonimus, 2008). 3 09

10 Dibandingkan dengan negara lain seperti India dan Uruguay, peran koperasi persusuan di Indonesia masih belum optimal dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Di India misalnya pada tahun 2007, koperasi susu telah berkembang mencapai 57 ribu unit dengan 6 juta anggota. Begitu pula di Uruguay, para peternak yang tergabung dalam koperasi telah mampu memproduksi 90% dari total produksi susu nasional (Daryanto, 2007). Kajian terhadap kinerja aspek usaha dan organisasi dari 30 koperasi persusuan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan bahwa tidak semua koperasi persusuan memiliki kinerja yang balk pada salah satu bahkan kedua aspek tersebut (Toharmat, 2007). Gambar 3 menunjukkan bahwa terdapat beberapa koperasi yang mempunyai kinerja organisasi dan usaha yang baik (Kuadran I), namun masih banyak koperasi yang masih mempunyai organisasi dan usaha yang buruk (Kuadran III). Hal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan penataan koperasi persusuan sebagai suatu bentuk kelembagaan peternak rakyat yang mampu menjadi katalisator dalam pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. e na i..y GQ 12fanIn Gambar 3. Distribusi 30 koperasi persusuan berdasarkan kinerja usaha dan organisasi Sumber: Toharmat (2007) 3 1 0

11 Peran koperasi/kud susu di Indonesia mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun an. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/kud susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Produksi usaha sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan ditempat. Kondisi tersebut disebabkan manajemen usaha ternak, kualitas pakan, dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Mempr.rbaiki manajemen usaha petemakan sapi perah rakyat merupakan problem yang cukup kompleks. Hal tersebut tidak hanya terkait upaya mengubah sikap peternak, tetapi juga terkait dengan penyediaan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu, yang ditunjukkan oleh masih tingginya kandungan kuman susu (ratarata diatas 10 juta/cc). Standar Nasional Indonesia (SNI) mensyaratkan kandungan kuman maksimal 3 juta/cc susu, sedangkan Codex mensyaratkan hal tersebut maksimal 1 juta/cc susu. Kondisi ini sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional dan belum diterapkannya good.farming practices sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. Hasil analisis di lapangan menunjukkan bahwa tidak beroperasinya koperasi persusuan sebagian besar diakibatkan oleh faktor sumber daya manusia, khususnya para pengurus koperasi (Firman, 2008). Banyak pengurus koperasi yang tidak amanah menjalankan bisnis perkoperasiannya. Di samping itu, transparansi manajemen pengelolaan masih rendah dan bersifat kekerabatan karena pada beberapa koperasi terdapat pengurus dan karyawan yang "berhubungan saudara" sehingga hal ini berdampak buruk terhadap perkembangan koperasi. Oleh karena itu, apabila koperasi dapat menjalankan usahanya dengan balk harus dilakukan secara profesional dan tidak mengaitkan hubungan keluarga di dalam kepengurusannya

12 Hasil focus group discussion tentang Arah Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang pada tanggal Januari 2008 yang difasilitasi oleh Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran telah menghasilkan beberapa rumusan yang terkait dengan arah pengembangan kelembagaan persusuan di masa yang akan datang. Hal ini berkenaan dengan kelembagaan persusuan yang ada saat ini, baik itu koperasi persusuan maupun kelembagaan kolektor susu swasta yang muncul akhir-akhir ini. Hasil diskusi faktor internal dan eksternal terbagi atas dua hal, yaitu kelembagaan koperasi primer dan koperasi sekunder. Hasil analisis matriks strength, weakness, opportunity and threat (SWOT) pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat empat strategi pengembangan yang dapat dilakukan terkait dengan kelembagaan koperasi primer, yaitu : (a) optimalisasi potensi koperasi untuk meraih peluang pasar, (b) peningkatan kualitas SDM dan komitmen anggota untuk meraih efisiensi usaha, (c) profesionalisme pengelolaan aset dan kerja sama antar koperasi (GKSI), serta (d) efisiensi dan layanan terhadap anggota. Tabel 1. Faktor internal dan eksternal ko erasi rimer Faktor Eksternal Faktor Internal Peluang Peluang pasar besar Kesempatan luas untuk mengembangkan usaha agribisnis persusuan Koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat.edesaan Ancaman Pesaing/kolektor IPS melakukan budidaya dan kerja sama dengan an..ota koserasi Kekuatan Jumlah anggota peternak sapi perah Jumlah sapi perah Sarana dan prasarana ko.erasi Optimalisasi potensi koperasi untuk meraih peluang pasar Profesionalisme pengelolaan aset dan kerja sama antar koperasi (GKSI) Kelemahan Komitmen anggota terhadap koperasi rendah Skala usaha koperasi sebagian besar rendah SDM koperasi lemah dalam.en.emban.an or.anisasi Peningkatan kualitas SDM dan komitmen anggota untuk meraih efisiensi usaha Efisiensi dan layanan anggota 3 1 2

13 Hasil analisis SWOT pada matriks kelembagaan koperasi sekunder (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat empat strategi pengembangan, yaitu : (a) optimalisasi networking (jejaring) antar koperasi primer, (b) peningkatan kompetensi SDM GKSI, (c) pengembangan usaha ke hulu dan hilir, serta (d) peningkatan kemitraan yang sinergi dengan IPS. Faktor Eksternal Faktor Internal I n eksternal ko erasi sekunder Kekuatan Kelemahan Komitmen Anggota Networking koperasi primer (koperasi primeu Legitimasi GKSI diakui Advokasi belurn optimal Potensi peternak Entepreneurship terbatas Peluang Pasar dan potensi pasar (SSDN dan susu olahan) Memperluas usaha hulu-hilir Partner pemerintah Ancaman IPS tidak menjadikan GKSI wakil koperasi dalam perundingan harga Excess kebijakan : (OTDA dan Inpres No. 4 Tahun 1998) Dominasi IPS Optimalisasi networking koperasi primer Pengembangan usaha ke hulu dan hilir Peningkatan kompetensi SDM GKSI Peningkatan kemitraan yang sinergi dengan IPS Peningkatan peran koperasi persusuan di Indonesia yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal dengan baik di masa yang akan datang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa : 1) Melalui koperasi, peternak dapat memperbaiki posisi tawar dalam memasarkan hasil produksi maupun dalarn pengadaan input produksi yang dibutuhkan. Posisi tawar ini bahkan dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para peternak. 2) Apabila mekanisme pasar tidak dapat menjamin terciptanya keadilan, koperasi dapat mengupayakan pembukaan pasar barn bagi produk anggotanya. Di sisi lain koperasi dapat memberikan akses kepada anggotanya terhadap berbagai 3 1 3

14 Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia penggunaan faktor produksi dan jasa yang tidak ditawarkan pasar. 3) Dengan bergabung dalam koperasi, para petani dapat lebih mudah melakukan penyesuaian produksinya melalui pengolahan pascapanen sehubungan dengan perubahan permintaan pasar. Hal ini akan memperbaiki efisiensi tata niaga yang bermanfaat bagi kedua belah pihak, bahkan bagi masyarakat umum maupun perekonomian nasional. 4) Dengan penyatuan sumber daya para petani dalam sebuah koperasi, para petani lebih mudah dalam menangani resiko yang melekat pada produksi pertanian, seperti pengaruh iklim, heterogenitas kualitas produksi dan sebaran daerah produksi. 5) Dalam wadah organisasi koperasi, para petani lebih mudah berinteraksi secara positif terkait dengan proses pembelajaran guna meningkatkan kualitas SDM. Koperasi sendiri memiliki misi khusus dalam pendidikan bagi anggotanya. 6) Berdirinya koperasi sekaligus membuka lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi para petani anggota maupun masyarakat di sekitarnya. III. TATA NIAGA DAN MANAJEMEN RANTAI PASOKAN Susu Tata Niaga Susu Tata niaga susu di era globalisasi tidaklah sama dengan era sebelumnya. Globalisasi perdagangan telah menyebabkan perubahan besar dalam sistem perdagangan itu sendiri, dan juga sistem lain yang terkait, khususnya rantai pasokan bahan yang diperdagangkan. Otonomi dan kemerdekaan perdagangan semakin berubah dan bergerak menuju sistem yang saling terkait dengan variasi yang besar dalam saling berhubungan. Perubahan sumber bahan, produksi, dan tata niaga perlu diantisipasi dalam era perdagangan bebas ini karena danya risiko penyebaran penyakit pada manusia dan mengancam keamanan pangan, seperti bovine spongiform encephalopathy (BSE) atau terkenal 3 1 4

15 dengan penyakit sapi gila, penyakit mulut dan kuku, dioksin, serta pencemaran melamin atau formaldehid. Konsumen di negara maju semakin memerhatikan keamanan pangan sehingga menuntut lebih terjaminnya pangan melalui legislasi nasional dan internasional. Pada tahun 2005, Uni Eropa menerbitkan aturan barn general food law, yang menuntut lebih ketatnya jaminan kualitas pangan (Vorst et al., 2007). Kualitas dan keamanan pangan menjadi tanggung jawab bersama pedagang dan pengecer, tidak hanya tanggung jawab penghasil dan pengolah bahan pangan. Indikasi ini menunjukkan bahwa strategi bisnis saat ini tidak saja harus memerhatikan ekonomi tradisional, namun juga aspek teknologi serta topik aktual seperti keselamatan, manfaat kesehatan, cita rasa, manfaat gizi dan kesegaran produk. Hal ini tidak hanya untuk produksi pangan dalam skala besar, tetapi juga untuk produksi pangan spesial dengan nilai tambah tinggi. Oleh karena itu, kerja sama yang semakin erat dengan berbagai pihak terkait, menjadi semakin penting untuk mencapai pangan yang aman dan berkualitas tinggi bagi konsumen. Hal ini pada akhirnya akan mengubah rantai pasokan tradisional yang ada. Saat ini, sebagian besar konsumen memperoleh pasokan pangan dari jaringan supermarket. Jaringan supermarket bahkan dinilai dua kali lebih besar daripada nilai ekspor langsung produk pertanian. Share supermarket dalam tata niaga produk pangan mencapai 40-70% di Asia dan melibatkan konsumen kelas menengah serta pekerja kota bahkan desa (Griffins, 2000). Pengadaan sumber barang seperti buah, sayuran, susu dan daging sangat kuat dipengaruhi oleh organisasi rantai pasokan. Pasar ini membutuhkan barang yang homogen, pasokan berkelanjutan, serta kualitas yang semakin baik dan stabil. Pengadaan barang semakin tergantikan oleh pemasok khusus, subkontraktor bahkan pembelian terkonsolidasi melalui gudang wilayah atau perwakilan. Rantai pasokan yang sebelumnya diatur oleh hubungan balk antara pemasok dan pembeli (sesuatu yang kurang formal), saat in] lebih banyak dikoordinasi dan dikelola oleh pemain utama, 3 1 5

16 Prgft Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia yakni jaringan supermarket. Dengan kata lain, supermarket semakin menguasai dan mengontrol segmen/lini bawahnya, setidaknya melalui kontrak, standar pribadi tertentu dan jaringan sumber. Definisi rantai pasokan atau supply chain management, is the integrated planning, implementation, coordination and control of all business processes and activities necessary to produce and deliver, as efficiently as possible, products that satisfy market requirements (Vorst et al., 2007). Dalam sistem pangan pertanian di era globalisasi, para pelaku harus bekerja secara berkelanjutan pada ino%asi dan penemuan produk unggulan. Dalam sistem pasar global, harga dan kualitas menjadi lebih penting daripada sebelumnya, karena saat ini konsumen mempunyai lebih banyak pilihan produk yang ditawarkan oleh rantai pasokan pesaing. Dengan demikian, terjadi kenaikan integrasi saluran pasok dari lokal dan rantai saluran pangan pertanian lintas perbatasan. Hal ini dapat dianggap sebagai tantangan untuk pertanian dan pengembangan pedesaan. Tata niaga susu di dunia terdapat beberapa model, antara lain : (a) skala kecil, tata niaga lokal dengan sistem pedagang perantara, (b) skala kecil, tata niaga jauh dari pabrik pengolahan di desa, (c) skala kecil, tata niaga jauh dengan transport bahan baku susu, (d) skala besar, sistem tata niaga terorganisasi dengan pusat pengumpulan susu, serta (e) skala besar, sistem produksi dan tata niaga (IDF, 1998). Pada sistem tata niaga yang pertama, produsen terdiri atas peternak dengan skala 1-3 ekor sapi, dengan produksi susu dijual. Penjual perantara berperan menjual produk ke wilayah sekitar peternak dalam bentuk susu segar atau sedikit diolah dan memperoleh keuntungan dari selisih harga jual. Dengan sepeda atau sepeda motor susu dijual dalam bentuk segar atau pasteurisasi berukuran ''/2 liter, I liter dan dikemas dalam kemasan sederhana (plastik, botol). Selisih harga tersebut diperkirakan tidak terlalu besar sehingga terjangkau oleh konsumen. Namun, terdapat kerugian jika sistem ini diandalkan, seperti susu sama sekali tidak dapat dijamin 3 1 6

17 Profci Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia kesehatan, kebersihannya, ketepatan ukuran, dan kemurniannya serta jangkauan penjualan yang terbatas. Sistem tata niaga kedua, pada umumnya jarak antara produsen dengan pabrik pengolahan susu relatif tidak jauh. Kondisi ini memiliki beberapa keuntungan, seperti produsen mempunyai hubungan yang dekat dengan pengolah sehingga pengolah dapat ikut mengawasi kualitas susu untuk mencegah terjadinya pemalsuan susu. Sebaliknya peternak akan dapat memperoleh masukan terkait dengan tata kelola usaha, higiene susu, pakan, dan lain-lain. Hubungan yang baik ini merupakan prakondisi yang sangat penting untuk suksesnya sistem ini. Penggabungan unit usaha kecil menjadi menengah atau koperasi akan memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang akan mencegah eksodus tenaga kerja ke luar daerah. Pada prinsipnya sistem ini dapat dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap pertama adalah tata niaga bahan baku yang mudah rusak dari produsen ke pengolah susu dengan waktu maksimal 2-3 -jam, dan tahap kedua adalah tata niaga dari pengolah susu lokal ke konsumen dengan waktu yang dibutuhkan tergantung masa kedaluarsa produk yang dibuat. Sistem ini pada umumnya mempergunakan transpor yang terorganisasi maupun transpor umum. Sistem tata niaga ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu : (a) tanpa perlakuan fisik dan kimia, serta (b) dengan perlakuan fisik dan kimia. Pada sistem tanpa perlakuan, pusat pengumpulan susu berada dibawah pengawasan manajer pabrik, dealer, koperasi atau asosiasi peternak. Susu dikumpulkan dengan alat angkut yang relatif kecil pada pagi dan sore hari, dan segera dikirim ke pusat penampungan atau pengolahan yang di tempat tersebut dilakukan uji kualitas/kadar susu dan dilakukan pembayaran langsung ataupun secara periodik. Dengan cara ini dapat mencegah penyimpanan susu semalaman yang akan menurunkan kualitas. Setelah sampai di pabrik pengolahan maka susu akan diuji lagi, didinginkan dengan air dingin (chilled water), dipasteurisasi, dikemas dan dikirim langsung ke konsumen, atau sebelum dipasteurisasi dikirim ke tempat penampungan yang lebih besar. Sistem ini harus berjalan cepat 3 1 7

18 (kurang 2-3 jam) sejak diperah sampai ke penampungan. Sistem dengan perlakuan merupakan pengembangan sistem di atas, yaitu dengan menggunakan penampung susu yang lebih besar (bulk storage vats) sebagai pengganti penampung skala kecil (churns). Perlakuan fisik biasanya berupa pemanasan hingga temperatur C yang digabung dengan air mengalir (tap water) sebagai pengganti chilling water. Metode ini dinilai lebih murah daripada dengan pendinginan mekanik dan hasilnya lebih baik di mana 90% bakteri yang ada dalam susu dapat tereliminasi. Penggunaan hidrogen peroksida (H20 2;) adalah alternatif ketiga yang sebaiknya dihindarkan, ketika chilling, pendinginan atau pemanasan tidak dimungkinkan. Dengan sistem ini susu dapat dipertahankan lebih lama dan mungkin pengangkutan dengan tanki tidak perlu dilakukan sebanyak dua kali sehari. Sistem tata niaga keempat, merupakan sistem yang dapat dikembangkan pada kota besar yang membutuhkan pasokan susu segar dan olahannya dalam jumlah besar. Hal ini merupakan sistem yang baik, khususnya jika daerah penghasil susu berukuran kecil dan tersebar. Pada umumnya sistem ini terdiri dari minimal tiga tahap, yakni : (a) tahap pertama, pusat pengumpulan susu di desa, merupakan tempat penampungan susu, peternak dapat menyetor pagi dan sore ; (b) tahap kedua, susu dari peternak ditampung dalam bejana yang lebih besar dan didinginkan dengan chilled water. Bejana ini dapat berupa refrigerated bulk tank yang berfungsi sebagai tempat penampungan dan pendinginan sekaligus. Susu kemudian akan dibawa dengan tanki unit pengolahan susu lain ; (c) tahap ketiga, pabrik pengolahan mengolah susu dengan menggunakan bahan baku susu dari berbagai daerah pengumpulan, untuk kemudian dikirim ke konsumen. Pabrik olahan susu ini bisa merupakan pabrik yang dimiliki oleh koperasi susu. Sistem tata niaga kelima, merupakan sistem yang terdiri dari unit-unit produksi susu yang mempunyai sapi lebih dari 50 ekor laktasi, serta dikelompokkan sebagai unit besar. Masingmasing unit membutuhkan sebuah refrigerated bulk vat sendiri

19 Susu kemudian dikumpulkan setiap hari berikutnya untuk dibawa ke unit pengolahan susu. Hasil olahan yang dihasilkan pabrik kemudian dipasarkan dengan sistem tata niaga sendiri atau melalui unit terkait. Di Indonesia sebagian besar susu dihasilkan oleh peternak rakyat berskala kecil yang tersebar di beberapa pusat produksi. Sebagian besar susu disetor ke IPS yang akan mengolah menjadi susu bubuk, susu kental manis, susu pasteurisasi, keju, mentega dan lain-lain. Hubungan kerja sama antara peternak dengan IPS umumnya melalui koperasi. Pusat pengumpulan susu berada dibawah pengawasan koperasi, dan pengumpulan susu dilakukan sebanyak dua kali sehari. Susu dari peternak dikumpulkan dalam sebuah mobil tanki dan segera dikirim ke pusat penampungan di koperasi untuk dilakukan proses pendinginan sebelum dikirimkan ke IPS. Beberapa koperasi juga telah melakukan pengolahan sebagian susu peternak menjadi susu ultra high temperature (UHT) maupun susu paseurisasi, atau menjual susu segar langsung kepada konsumen. Pada masing-masing rantai tata niaga terdapat biaya produksi yang ditimbulkan, yaitu : a) Pada peternak: harga susu mencerminkan biaya tenaga kerja, pakan hijauan, pakan konsentrat, upaya pemuliaan dan reproduksi, sewa kandang, pengeluaran keuangan khusus, dan sebagainya. b) Pada industri pengolah : harga susu segar tergantung pada komposisi susu (lemak, protein), kualitas bakteri, kualitas selsel darah putih, dan harga musiman. c) Pada konsumen : harga susu dan produk susu tergantung jenis dan nilai nutrisi serta gastronominya Fungsi Rantai Pasokan Masing-masing rantai pasokan merupakan perwujudan satu set yang secara konsep memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling berhubungan dan terkait baik secara fisik maupun keuangan. Fungsi-fungsi tersebut, yaitu : 3 1 9

20 Pro/il Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia 1. Fungsi yang berhubungan dengan komoditas fisik, meliputi : a. Gerakan spasial dari produsen ke konsumen akhir atau industri pengguna. b. Penyimpanan dan pergudangan. c. Transformasi fisik dari komoditas bahan mentah menjadi satu set produk akhir yang berkualitas yang siap dikonsumsi. 2. Fungsi terkait dengan dimensi harga dan pemhayaran, meliputi : a. Perpindahan dari pendapatan penjualan akhir kepada pihak yang terlibat dalam pengolahan, tata niaga dan petani. b. Perpindahan harga kembali kepada siapa saja yang terlibat dalam proses, marketing dan petani. Hal ini secara terperinci untuk rantai pasokan susu dan olahan susu sejak pemerahan disajikan dalam Gambar 4. Petemak Penaumpul IPS Gudang/Depo Distributor Pasar Konsumen Gambar 4. Rantai pasokan industri susu dan olahan susu Hubungan antara peternak-kelompok peternak-koperasi susu sebagai pemasok susu ke IPS mencerminkan suatu sistem rantai pasokan yang harus dikelola dengan baik. Pembangunan industri sapi perah di Indonesia bukan hanya karena alasan ekonomi peternak semata, tetapi juga untuk memenuhi permintaan susu domestik, meningkatkan pendapatan petani, membantu pemerataan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, 3 2 0

21 Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia memperbaiki nilai tukar, serta meningkatkan kualitas konsumsi gizi nasional. Industri sapi perah yang didominasi oleh peternak rakyat karena tujuan pemerataan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja secara langsung akan berdampak kepada keterkaitan ke belakang (backward linkage) dengan industri bibit, industri pakan, dan jasa reproduksi-kesehatan, inseminasi buatan. Hal ini juga akan berdampak kepada keterkaitan ke depan (forward linkage) dengan IPS serta industri penyediaan sarana prasarana pemerahan, pengemasan, transportasi dan lainnya. Secara alami, industri sapi perah memiliki tingkat keterkaitan dan dampak ganda yang cukup tinggi dengan industri lainnya karena sebagian besar produk sapi perah digunakan sebagai bahan baku industri. Manajemen rantai pasokan susu (dairy supply chain management) dapat didefinisikan sebagai 'the systemic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain, for the purposes of improving long-term performance of the individual companies and the supply chain as a whole' (Mentzer et al., 2001 dalam Vorst et al., 2007). Oleh karena itu, secara individu keberadaan masing-masing pihak akan menentukan saling ketergantungan dan keberhasilan pasokan susu secara keseluruhan sehingga dapat dikatakan terjadi semacam linkage ke belakang dan ke depan, dengan pusat putaran adalah produksi susu. Secara skematis hal tersebut tampak pada Gambar 5. Secara spesifik yang membedakan sistem rantai pasokan dengan sistem tata niaga, adalah adanya kepastian pasar antar pelaku bisnis melalui suatu kontrak yang dilakukan antar pemangku kepentingan. Pra-produksi Pasca produksi Gambar 5. Sistem rantai pasokan susu 3 2 1

22 Tata niaga susu yang dihasilkan peternakan sapi perah rakyat membentuk dua jenis saluran, yaitu saluran yang dikelola oleh koperasi dan nonkoperasi (agen) (Paturochman, 2008). Para pelaku tata niaga dalam saluran yang dikelola koperasi adalah peternak, koperasi primer, koperasi sekunder, IPS, grosir, pengecer dan konsumen. IPS sebagai konsumen antara telah menetapkan standar kualitas susu yang disepakati oleh koperasi. Dalam sistem ini, telah terjadi sistem rantai pasok dimana para pelaku tata niaga telah melakukan sistem kontrak tata niaga dalam menyalurkan komoditi (susu). Saluran tata niaga yang dikelola oleh koperasi, secara umum terdapat tiga jenis, yaitu : 1. Peternak - Kelompok - Koperasi - IPS (Jawa Barat dan Jawa Timur) 2. Peternak - Pengumpul - Koperasi - IPS (DIY dan Jateng) 3. Peternak - Pengumpul - IPS (DIY dan Jateng) Secara skematis saluran tata niaga tersebut disajikan pada Gambar 6. Jabar/Jatim : Peternak Peternak I- 0 Kelompok Kelompok 0 Koperasi Koperasi 'PS IPS Jateng-DIY: Peternak 10 Kelompok/ pengumpul 0 Koperasi IPS Broker/ Pedagang Gambar 6. Saluran tata niaga susu yang dikelola koperasi Sumber : Murti (2008) Gambar 6 menunjukkan adanya perbedaan saluran tata niaga susu yang dikelola koperasi pada masing-masing wilayah di Pulau Jawa. Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kesamaan saluran, yang berbeda dengan di DIY dan Jawa Tengah. Di DIY dan khususnya Jawa Tengah terjadi anomali tata niaga dengan 32 2

23 ProfIi Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia berkembangnya secara tidak terkendali "broker susu" yang merugikan peternak dan IPS. Broker susu yang dicoba diberantas melalui pendirian koperasi sekarang tumbuh kembali dengan subur. Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa tata niaga susu mempunyai jalur sebagaimana disajikan dalam Gambar 7. PE TANI KELOMPOK D GKSI PETANI LOPER BROKER Gambar 7. Tata niaga susu di DIY dan Jawa Tengah Tata niaga pada Gambar 7 dipandang kurang efektif karena koperasi (KUD/GKSI) dirugikan. Karena jika peternak memasarkan ke loper/broker maka kewajibannya sebagai anggota tidak dapat dibayarkan kepada koperasi/gksi sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan sebagaimana yang diusulkan pada Gambar

24 Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia JARINGAN KOMUNIKASI-PENGAWASAN YANG PERLU DIMANTAPKAN Gambar 8. Upaya perbaikan tata niaga susu di DIY dan Jawa Tengah Gambar 8 menunjukkan bahwa hal yang paling mendasar adalah menerapkan etika dalam sistem perdagangan antar koperasi dengan anggotanya sehingga setiap peternak sebagai anggota koperasi akan memasarkan produksi hanya kepada kelompoknya. Di Jawa Barat terdapat enam jenis sistem saluran tata niaga susu yaitu : 1) Peternak-Koperasi-IPS-Grosir-Pengecer-Konsumen Akhir 2) Peternak-Koperasi-Konsumen akhir 3) Peternak-agen-Pedagang Pengecer-Konsumen Akhir 4) Peternak-agen-Industri Rumah tangga-konsumen Akhir 5) Peternak-agen-Rumah Makan/restoran-Konsumen Akhir 6) Peternak-agen-IPS Dalam sistem pemasaran susu ini, keseluruhannya belum menerapkan sistem rantai pasokan, secara skematis seperti tampak pada Gambar

25 1 Koperasi IPS Grosir Pengecer A Pedagang Peteniak Pengecer V Agen Industri Ruinah Tangga Runiah Makan/ Restoran Konsumen Akhir Gambar 9. Saluran tata niaga susu non koperasi di Jawa Barat Sumber: Paturochman (2008), diolah Di Jawa Barat saluran pemasaran yang melibatkan "agen" berkembang pesat terutama sejak tahun Hal ini disebabkan karena hampir 50% koperasi/kud unit susu di Jawa Barat tidak aktif, sementara kenaikan harga susu dunia telah merangsang IPS membeli susu petemak dengan kenaikan harga yang sangat kondusif. Pembelian susu ini dilakukan oleh para agen/kolektor susu yang ada di perdesaan, khususnya di wilayah Koperasi/KUD susu yang tidak aktif. Para agen/kolektor susu ini sebagian besar merupakan bentukan atau kepanjangan tangan IPS, walaupun secara yuridis formal sulit dibuktikan bahwa agen tersebut merupakan kepanjangan tangan IPS. IV. FAKTOR PENENTU HARGA SUSU Beberapa faktor penentu harga susu dapat dikaji dari beberapa sudut pandang, yaitu dari perilaku konsumen, kondisi usaha peternakan sap] perah rakyat dan IPS yang berkaitan dengan perdagangan global. Kajian profil konsumsi susu di Indonesia menunjukkan bahwa susu segar hanya memberikan kontribusi sebesar 17,9% dari total konsumsi susu nasional, sisanya, sebesar 82,1 % merupakan konsumsi susu bubuk. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas konsumen susu lebih memilih susu bubuk dibandingkan dengan susu cair (Khomsan, 325

26 2004). Konsumsi susu di dalam negeri rendah, yaitu hanya sekitar 7 liter/kapita/tahun, selain disebabkan oleh rendahnya kemampuan ekonomi (daya bell) dan tingkat pendidikan masyarakat, juga terutama disebabkan oleh faktor lactose intolerance, yaitu kemampuan adaptasi perut orang Indonesia yang rendah terhadap lactose. Pola perilaku konsumen susu di Indonesia yang lebih menyukai susu bubuk hasil pemrosesan oleh IPS daripada meminum susu murni segar, telah mengakibatkan koperasi persusuan mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil susunya ke konsumen secara langsung. Preferensi dan perilaku konsumen dalam mengonsumsi susu ini yang menentukan pola usaha IPS dalam melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. IPS lebih suka melakukan recombined milk antara susu impor dalam bentuk bubuk dengan susu segar yang berasal dari produk domestik. Kenyataan ini yang menyebabkan posisi tawar peternak rakyat menjadi lemah. Saat ini sebagian besar susu murni yang dihasilkan oleh peternak disetorkan ke IPS yang berperan sebagai pasar oligopsoni. Struktur pasar ini menyebabkan peternak dan koperasi persusuan berada pada posisi tawar yang rendah terhadap IPS (Toharmat, 2007). Saat ini standar kualitas susu ditetapkan oleh IPS dan harus dipenuhi oleh petemak dengan sistem bonus dan penalti. Peternak akan memperoleh bonus bila kualitas susu produksinya memenuhi standar, dan sebaliknya akan mendapat penalti bila susu yang dijual tersebut di bawah standar yang telah ditetapkan IPS. Tabel 3 menunjukkan bahwa harga susu di tingkat peternak (farm-gate price) jauh lebih rendah dari harga susu olahan yang diterima oleh IPS (consumer price). Hal in] menggambarkan bahwa pengolahan susu memberikan nilai tambah yang cukup besar pada produk susu yang dihasilkan. Sementara ini besarnya nilai tambah tersebut tidak dinikmati oleh peternak sehingga rendahnya harga pada tingkat petemak kurang memotivasi peternak dalam mengembangkan industri sapi perah nasional. Tingginya harga yang diterima IPS telah mencakup biaya pengolahan, biaya pengepakan, biaya tata niaga dan marjin 3 2 6

27 keuntungan bagi IPS. Salah satu upaya yang dapat dilakukan peternak atau koperasi adalah mengembangkan industri down stream berupa industri pengolahan susu dan memasarkan produksinya. Tabel 3. Perbandingan harga antara susu murni dengan susu pasteurisasi dan k Jenis susu Prod usen/penjuai Harga Harga tanpa koreksi terkoreksi BK (Rp/liter) (Rp/kq BK) Segar/murni: - Kualitas balk Petani/GKSI Kualitas kurang Petani/GKSI 13.63(, Olahan Pasteurisasi IPS Bubuk IPS Keterangan : BK=bahan kering Sumber : Toharmat (2007) Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi berbagai permasalahan yang terkait dengan ter~entuknya harga susu dari sisi tata niaga, yaitu : 1) Preferensi konsumen dalam mengonsumsi susu segar sangat rendah sehingga tata niaga susu segar yang dihasilkan petani hanya ditujukan kepada beberapa IPS dalam struktur pasar oligopsoni sehingga posisi tawar peternak dalam penetapan harga susu menjadi sangat lemah. 2) Harga susu segar pada tingkat peternak sangat rendah dan tidak memotivasi peternak dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk, yang selanjutnya menjadi penghambat pengembangan industri sap] perah nasional. 3) Kualitas susu segar sangat bervariasi antar peternak, namun dalam pengangkutannya disatukan dalam kontainer yang sama sehingga susu berkualitas rendah dengan kualitas tinggi bercampur. Akibat dari hat tersebut nilai jual susu secara keseluruhan menjadi rendah. 4) Promosi konsumsi minum susu segar belum dilakukan dengan balk khususnya oleh koperasi, karena biaya promosi menggunakan media massa yang efektif seperti TV sangat mahal. 3 27

28 5) Belum harmonisnya tarif bea masuk produk susu impor terhadap bahan baku lain seperti gula impor (35%), tin plate (15%) untuk produksi dalam negeri. Selain hal tersebut, harga susu juga ditentukan oleh sistem transaksi terutama pola pembayaran yang dilakukan antara koperasi dengan IPS (Murti, 2007a). Pembayaran susu sangat penting bagi peternak, karena terkait dengan kelangsungan produksi usaha ternaknya. Jika susu itu dipasarkan tanpa ada nilai tambah tertentu, maka secara teknis pembayaran susu terkait pula dengan komposisi dan kualitas susu yang menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh bagian penerimaan susu milik koperasi ataupun IPS. Sebelum susu diterima dan dibayar oleh IPS sesuai kesepakatan sistem pembayaran yang ada, maka harus dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas dan komposisi susu. Susu diterima oleh koperasi/ips setelah nmemenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan oleh Ditjen Peternakan sesuai SK No 17/Kpts/DJP/Deptan/1983, yaitu : a. Warna, ban, rasa, dan kekentalan : tidak berubah b. BJ pada 27,5 C (minimal) : 1,028 c. Kadar lemak (minimal) :2,8% d. Kadar BKTL (minimal) :8,0% e. Uji alkohol 70% : negatif f. Uji didih : negatif g. Katalase (maksimal) : 3 cc h. Titik beku : - 0,520 C sd - 0,560 C i. Angka refraksi : 34 j. Kadar protein (minimal) :2,7% k. Angka reduktase : 2--5 jam 1. Jumlah kuman (maksimal) : 3 juta/cc Lima IPS yakni, PT Indomilk, PT Frisian Flag, PT Ultra Jaya, PT Nestle dan PT Sari Husada menyerap susu segar produksi peternak rakyat melalui Koperasi/KUD unit susu dan GKSI untuk dicampur dengan bahan baku susu impor

29 Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Sementara IPS lainnya seperti PT Mirota, PT Tiga Raksa, PT Indolakto, PT Indomurni hanya merekombinasi susu impor untuk memproduksi susu bubuk atau membuat susu pasteurisasi dari bahan SSDN. Sistem pembayaran susu yang diterapkan oleh IPS penyerap SSDN didasarkan pada formula : harga lemak(fat)dan harga padatan bukan lemak (SNF) Harga susu - + g.s m u x % lemak x harga lernak/g x1000 }- +Oarga SNFx % SNFx harga SVF/g x1000} Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus Fleischman, sedangkan bahan padat bukan lemak (solid non fat, SNF) diperoleh dan pengurangan total padatan dengan bahan lemaknya. Beberapa IPS ada yang mengganti rumus Fleischman dengan rumus Richman. Rumus Fleischman : BK =1,23*lernak + 2,71 * 100 (BJ- 1) SNF'=BK --KL BJ Rumus Richman : SNF 0,2* lemak + (BJ-0, 9985) * ,58 Di mana : BK= bahan kering BJ = beratjenis KL= kadar lemak Dengan demikian, kualitas susu terkait langsung dengan sistem tata niaganya, semakin panjang jalur tata niaga yang dilalui akan berdampak terhadap kualitas susu. Perubahan kualitas susu ditunjukkan dengan adanya perubahan laktosa menjadi gula mono dan asam organik, khususnya asam laktat serta jumlah bakterinya sejak di peternak, pengumpul, koperasi, dan GKSI_ Jika dikaji lebih lanjut, maka kualitas susu yang diberlakukan di Indonesia ada beberapa klas (grade), yakni : - Kelas A adalah susu dengan total bakteri < hnl ; - Kelas B adalah susu dengan total bakteri antara /ml ; - Kelas C adalah susu dengan total bakteri antara 1-3 juta/ml ; - Kelas D adalah susu dengan total bakteri antara 3-5 juta/ml ; - Kelas E adalah susu dengan total bakteri antara 5-10 juta/ml ; - Kelas F adalah susu dengan total bakteri > 10 juta/ml. 329

30 Di luar kelas tersebut, maka susu tidak dapat diterima IPS oleh beberapa sebab : Hasil positif atas tes : alkohol 70%, karbonat, formalin, dan pemalsuan lain (peroksida dan residu antibiotika). Uji organoleptik menunjukkan adanya ketidaknormalan susu. ph susu > 6,94 yang mengindikasikan kemungkinan adanya mastitis. - Total padatan susu <10,5%. Tabel 4 menunjukkan bahwa kualitas susu di DIY dan Jawa Tengah lebih rendah dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh : (a) peralatan dan metode pemerahan, penampungan sementara susu serta transportasi yang tidak memenuhi persyaratan, dan (b) manajemen perkandangan belum merupakan kandang koloni, sehingga harapan agar susu aman, bersih, cepat ; dan dingin sulit terjadi Tabel 4. Profil kualitas susu rak at tahun 2006 Kriteria Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barar DIY Kadar lemak (%) 2,91 3,95 3,78 3,50 SNF (%) 7,69 8,10 8,12 7,76 TS (%) 10,60 12,05 11,90 11,20 TPC (juta/ml) 7,98 2,78 3,45 3,75 Sumber : Kusmaningsih (2006) dalam Murti (2008) Rendahnya kualitas susu rakyat masih ditambah dengan belum efisiennya rantai tata niaga. Seperti koperasi di Jawa Tengah dan DIY masih mengambil margin keuntungan sampai 40%, sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Barat hanya berkisar 10-15% (Efendi, 2006 ; wawancara pribadi). Hal ini berakibat langsung pada rendahnya harga susu per liter yang diterima peternak, di Jawa Tengah sebelum kenaikan harga pada tahun 2007 terendah adalah Rpl , Jawa Timur Rp , Jawa Barat Rpl dan DIY Rpl Pada tahun 2008, setelah terjadi kenaikan harga susu dunia, harga susu di tingkat peternak per liter di Jawa Tengah/DIY masih 3 3 0

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain

Lebih terperinci

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

IV. ANALISIS DAN SINTESIS IV. ANALISIS DAN SINTESIS 4.1. Analisis Masalah 4.1.1. Industri Pengolahan Susu (IPS) Industri Pengolahan Susu (IPS) merupakan asosiasi produsen susu besar di Indonesia, terdiri atas PT Nestle Indonesia,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya menghasilkan satu atau lebih komoditi. Salah satu contoh koperasi primer yang memproduksi komoditi pertanian adalah koperasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari ketersediaan sumberdaya yang ada di Indonesia, Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produksi Susu di Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Semarang Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang menjadi pusat pengembangan sapi perah di Indonesia

Lebih terperinci

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Oleh : Feryanto W. K. Sub sektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah nasional menghadapi tantangan dari negara-negara maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang saat ini masih

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.995, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Penyediaan dan Peredaran Susu. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMENTAN/PK.450/7/2017 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEREDARAN SUSU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Koperasi 2.1.1 Pengertian Koperasi Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2 dikatakan bahwa koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor pertanian terdiri dari sektor tanaman pangan, sektor perkebunan, sektor kehutanan, sektor perikanan dan sektor peternakan. Sektor peternakan sebagai salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan berkembang. Pasar senantiasa merupakan

Lebih terperinci

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Manajemen Usaha Ternak Saragih (1998) menyatakan susu merupakan produk asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan yang ada didalamnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Koperasi Dalam Perkembangan Agribisnis Persusuan Koperasi memiliki peran penting bagi perkembangan agribisnis persusuan di beberapa negara di dunia termasuk Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan produksi dan distribusi komoditi pertanian khususnya komoditi pertanian segar seperti sayur mayur, buah, ikan dan daging memiliki peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si BAB. X. JARINGAN USAHA OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si SEBAGAI EKONOMI RAKYAT Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman

Lebih terperinci

7.2. PENDEKATAN MASALAH

7.2. PENDEKATAN MASALAH kebijakan untuk mendukung ketersediaan susu tersebut. Diharapkan hasil kajian ini dapat membantu para pengambil kebijakan dalam menentukan arah perencanaan dan pelaksanaan penyediaan susu serta mampu mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

BAB I. PENDAHULUAN.  [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian di Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian dari pertanian dalam arti luas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris, dengan jumlah penduduk sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian, sedangkan kegiatan pertanian itu sendiri meliputi pertanian

Lebih terperinci

PENGKAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN TRENGGALEK

PENGKAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN TRENGGALEK PENGKAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN TRENGGALEK Kuntoro Boga Andri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur Jl. Raya Karangploso Km.4, PO Box 188 Malang, 65101,

Lebih terperinci

ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH PENDAHULUAN

ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH PENDAHULUAN ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH PENDAHULUAN Domestikasi sapi dan penggunaan susu sapi untuk konsumsi manusia di Asia dan Afrika sudah dimulai pd 8.000 6.000 SM. Sebelum sapi dijinakkan, daging dan susunya diperoleh

Lebih terperinci

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret 2013

SURYA AGRITAMA Volume 2 Nomor 1 Maret 2013 KELAYAKAN FINANSIAL KOPERASI PETERNAK SATRIA PESAT SEBAGAI WADAH USAHA PETERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN BANYUMAS Priyono Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purworejo ABSTRAK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN SAPI PERAH KUD GIRI TANI

BAB V STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN SAPI PERAH KUD GIRI TANI BAB V STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN SAPI PERAH KUD GIRI TANI 5.1. Segmenting, Targeting, dan Positioning Susu sapi Perah KUD Giri Tani Penetapan segmenting, targeting, dan positioning yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal merupakan bagian yang sangat penting untuk membangun, mempertahankan, dan mengembangkan sebuah bisnis. Lingkungan eksternal juga dapat didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, perusahaan harus memiliki kemampuan untuk membedakan dirinya dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, perusahaan harus memiliki kemampuan untuk membedakan dirinya dalam 21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, perusahaan harus memiliki kemampuan untuk membedakan dirinya dalam persaingan agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat

Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009 Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat oleh Atien Priyanti dan I G

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk. cair. Pangan merupakan istilah sehari-hari yang digunakan untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan bahan-bahan yang dapat dikonsumsi sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang memiliki dua bentuk yaitu padat dan cair. Pangan merupakan istilah

Lebih terperinci

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun PENGANTAR Latar Belakang Upaya peningkatan produksi susu segar dalam negeri telah dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Perkembangan usaha sapi perah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia yang berperan dalam pengembangan sektor pertanian. Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

4.1.2 Struktur Organisasi Milkfood Barokah

4.1.2 Struktur Organisasi Milkfood Barokah 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1 Sejarah Milkfood Barokah Milkfood Barokah merupakan usaha mikro yang memiliki kegiatan usaha memproduksi minuman susu olahan. Milkfood Barokah

Lebih terperinci

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila No.6, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasar yang dapat memuaskan keinginan maupun kebutuhan. Produk dapat dibedakan

BAB I PENDAHULUAN. pasar yang dapat memuaskan keinginan maupun kebutuhan. Produk dapat dibedakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Yang (2008), produk merupakan apapun yang dapat ditawarkan ke pasar yang dapat memuaskan keinginan maupun kebutuhan. Produk dapat dibedakan menjadi dua tipe,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN MODEL UNIT PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN SAPI PERAH

PEMBENTUKAN MODEL UNIT PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN SAPI PERAH MAKALAH SEMINAR UNIT PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN PETERNAKAN SAPI PERAH Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat Tanggal 30 Desember 2006 PEMBENTUKAN MODEL UNIT PELAYANAN JASA ALAT DAN MESIN SAPI PERAH Oleh:

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu sub sektor dalam pertanian

I. PENDAHULUAN. menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu sub sektor dalam pertanian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian telah terbukti sebagai sektor yang mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Salah satu sub sektor dalam pertanian adalah peternakan, yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu TINJAUAN PUSTAKA Susu segar Susu adalah susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi

Lebih terperinci

PEMASARAN SAPI DAN SUSU DAIRY PRODUCTION

PEMASARAN SAPI DAN SUSU DAIRY PRODUCTION PEMASARAN SAPI DAN SUSU DAIRY PRODUCTION 2005 SUSU 80-90 % SAPI 10-20 % USAHA PRODUK AKHIR KONSUMEN PEMASARAN MAXIMALISASI PENGEMBALIAN DANA FAKTOR PENENTU NILAI JUAL/BELI SAPI FAKTOR EKONOMI PENAWARAN-PERMINTAAN

Lebih terperinci

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU Ubi kayu menjadi salah satu fokus kebijakan pembangunan pertanian 2015 2019, karena memiliki beragam produk turunan yang sangat prospektif dan berkelanjutan sebagai

Lebih terperinci

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 6) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc

KOMPONEN AGRIBISNIS. Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Rikky Herdiyansyah SP., MSc KOMPONEN AGRIBISNIS Tujuan Instruksional Umum: Mahasiswa mengetahui tentang komponen agribisnis Tujuan Instruksional Khusus: Setelah menyelesaikan pembahasan

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU TRANSPORTASI SUSU SEGAR TERHADAP TINGKAT KONTAMINAN MIKROB (STUDI KASUS DI WILAYAH KUD SARWAMUKTI, LEMBANG, JAWA BARAT)

PENGARUH LAMA WAKTU TRANSPORTASI SUSU SEGAR TERHADAP TINGKAT KONTAMINAN MIKROB (STUDI KASUS DI WILAYAH KUD SARWAMUKTI, LEMBANG, JAWA BARAT) PENGARUH LAMA WAKTU TRANSPORTASI SUSU SEGAR TERHADAP TINGKAT KONTAMINAN MIKROB (STUDI KASUS DI WILAYAH KUD SARWAMUKTI, LEMBANG, JAWA BARAT) (The Effect of Transportation Periode of Fresh Milk an Microbial

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang

I. PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang didalamnya terkandung nilai gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendukung berkembangnya sektor pertanian dan peternakan.

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendukung berkembangnya sektor pertanian dan peternakan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Dimana sebagai negara agraris, memiliki letak geografis serta iklim yang sangat mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemasaran merupakan suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemasaran merupakan suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemasaran merupakan suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah TINJAUAN PUSTAKA Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plaza, pusat perdagangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Susu merupakan minuman yang sangat bermanfaat karena banyak terkandung nutrisi yang dibutuhkan manusia. Susu mengandung lebih banyak vitamin dan mineral essensial yang dibutuhkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Susu Susu merupakan salah satu pangan asal ternak yang memiliki kandungan gizi yang tinggi seperti protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin lainnya (Suwito dan Andriani,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu. Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna memenuhi kebutuhan akan protein.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM ORGANISASI

BAB IV GAMBARAN UMUM ORGANISASI 53 BAB IV GAMBARAN UMUM ORGANISASI 4.1 Sejarah Perkembangan KPSBU Jabar Bangsa Belanda mulai memperkenalkan sapi perah kepada masyarakat Lembang sekitar tahun 1800-an. Seiring dengan berjalannya waktu,

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Perkembangan konsumsi komoditas perikanan khususnya udang di tingkat internasional dan tingkat nasional dianggap oleh sebagian petani dan nelayan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara Mengenai Kondisi Internal dan Eksternal KUD Puspa Mekar

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara Mengenai Kondisi Internal dan Eksternal KUD Puspa Mekar LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara Mengenai Kondisi Internal dan Eksternal KUD Puspa Mekar DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Koperasi Unit Desa (KUD)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berkembang paling pesat di negara-negara berkembang. Ternak seringkali dijadikan sebagai aset non lahan terbesar dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA. berupa konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA. berupa konsentrat dan hijauan menjadi susu yang sangat bermanfaat bagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN dan HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan ternak perah lainnya.

Lebih terperinci

VII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN TINGKAT KINERJA

VII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN TINGKAT KINERJA VII ANALISIS TINGKAT KEPENTINGAN DAN TINGKAT KINERJA 7.1. Analisis Penilaian Tingkat Kepentingan dan Tingkat Kinerja Penelitian ini menggunakan analisis Importance Performance Analysis (IPA) dan Costumer

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Tanaman bawang merah diyakini berasal dari daerah Asia Tengah, yakni sekitar Bangladesh, India, dan Pakistan. Bawang merah dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bisnis di industri farmasi masih terus berkembang dan menggiurkan bagi para pelaku bisnis farmasi. Hal ini dipicu oleh peningkatan pertumbuhan pengeluaran pada obat-obatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan manusia, karena di dalam sayuran mengandung berbagai sumber vitamin,

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. KPSBU (Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara) Jawa Barat, yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. KPSBU (Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara) Jawa Barat, yang 71 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Profil Perusahaan a. Sejarah KPSBU Jawa Barat KPSBU (Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara) Jawa Barat, yang berdiri sejak 8 Agustus

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sektor peternakan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang perlu

I PENDAHULUAN. sektor peternakan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang perlu 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani baik yang berupa daging maupun susu dan berbagai keperluan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan perkebunan karet terluas di dunia, meskipun tanaman tersebut baru terintroduksi pada tahun 1864. Hanya dalam kurun waktu sekitar 150

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal ataupun eksternal (Anonim, 2006a). Terkait dengan beragamnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature)

I. PENDAHULUAN. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature) membawa perubahan pada pola konsumsi obat dari yang berbahan kimiawi, ke obat-obatan yang terbuat

Lebih terperinci

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI PENGERTIAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI Agribisnis adalah segala bentuk kegiatan bisnis yang berkaitan dengan usaha tani (kegiatan pertanian) sampai dengan pemasaran komoditi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina

BAB I. PENDAHULUAN. gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan produk cair berwarna putih yang mengandung nilai gizi yang tinggi yang disekresikan oleh kelenjar mamae dari hewan betina dengan tujuan utama untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menjadikan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan tersebut tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi

PENDAHULUAN. semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini semakin berkembangnya jumlah permintaan produk pangan, semakin berkembangnya zaman, maka semakin tinggi pula tingkat inovasi perusahaan untuk memproduksi pangan

Lebih terperinci