BAB III METODA PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODA PENELITIAN"

Transkripsi

1 40 BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Pendekatan Studi Pendekatan studi dilakukan dengan maksud agar sistematika penelitian ini dapat dengan jelas diketahui dan dipahami, sehingga dapat meminimalkan kesalahan dalam pengkajian permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan kualitatif meliputi : Identifikasi secara umum kondisi pemanfataan ruang Sub DAS Babura Kota Medan; Identifikasi secara umum kondisi Sub DAS Babura Kota Medan; Identifikasi secara umum kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat di Sub DAS Babura. 2. Pendekatan kuantitatif meliputi : Penilaian terhadap kemampuan, daya dukung dan kesesuaian lahan di Sub DAS Babura; Penilaian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Sub DAS Babura; 3.2 Organisasi Data Organisasi data merupakan sistematika penulis di dalam mendapatkan sumber-sumber data dan informasi yang dibutuhkan di dalam penelitian ini. Dalam rangka mempermudah penyelesaian penelitian ini, maka penulis membagi 2 (dua) katagori di dalam mendapatkan data dan informasi yaitu sebagai berikut : 1. Pengumpulan data primer yaitu dengan melakukan survey ke lokasi penelitian untuk melihat secara langsung kondisi penggunaan lahan/pemanfaatan ruang, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat, Sub DAS Babura. Data primer ini dilakukan melalui kegiatan observasi untuk melihat secara langsung pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura.

2 41 2. Pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan kunjungan ke instansi/dinas/lembaga terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan serta perencanaan Sub DAS Babura Kota Medan. 3.3 Model Analisa Analisis Fisik Sub DAS Babura A. Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL) Model analisis ini dipergunakan untuk pemilahan bentuk bentang alam/morfologi pada wilayah kajian untuk mengetahui kawasan yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi dan daya dukung lahannya. Model analisis ini akan menghasilkan peta-peta yang menginformasikan tentang kondisi fisik dan lingkungan daerah kajian yaitu berupa peta sebagai beikut : a) Peta SKL morfologi; b) Peta SKL kemudahan untuk dikerjakan; c) Peta SKL kestabilan lereng; d) Peta SKL ketersediaan air; e) Peta SKL untuk drainase; f) Peta SKL terhadap erosi; g) Peta SKL pembuangan limbah; h) Peta SKL terhadap bencana alam. Model analisis ini dilakukan dengan menggunakan teknik tumpang susun (superimpose) peta fisik daerah perencanaan, kemudian hasilnya akan dinilai melalui teknik pembobotan untuk menentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan kemampuan lahan, dengan penilaian 3 (tiga) untuk nilai tertinggi (lahan yang memiliki daya dukung tinggi), 2 untuk daya dukung sedang, dan 1 (satu) untuk daya dukung rendah). Setelah menentukan nilai, maka langkah selanjunya adalah mengkalikan dengan bobot masing-masing satuan kemampuan lahan yang telah ditetapkan. Kemudian masukkan nilai yang telah dikalikan dengan bobot yang telah ditentukan di masing-masing kemampuan lahan tersebut ke dalam sebuah peta, sehingga mendapatkan peta

3 42 wilayah/kawasan yang memiliki kisaran nilai yang menunjukkan kemampuan lahan di lokasi penelitian. a) Kemampuan Lahan dan Lingkungan berdasarkan Kemudahan Dikerjakan Bertujuan untuk mengetahui tingkat kemudahan lahan di wilayah dan/atau kawasan untuk digali/dimatangkan dalam proses pembangunan/pengembangan kawasan. Tabel 3.1 Pembobotan Satuan Kemampuan Lahan No Satuan Kemampuan Lahan Bobot 1 SKL Morfologi 5 2 SKL Kemudahan Dikerjakan 1 3 SKL Kestabilan Pondasi 5 4 SKL Kestabilan Lereng 3 5 SKL Ketersediaan Air 5 6 SKL Terhadap Erosi 3 7 SKL untuk Drainase 5 8 SKL Pembuangan Limbah 1 9 SKL terhadap Bencana Alam 5 Sumber : Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyususnan Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun ). Sasaran Memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk digali, ditimbun, ataupun dimatangkan dalam proses pembangunan untuk pengembangan kawasan, Mengetahui potensi dan kendala dalam pengerjaan masing-masing tingkatan kemampuan lahan kemudahan dikerjakan, Mengetahui metode pengerjaan yang sesuai untuk masing-masing tingkatan kemampuan lahan. 2). Masukan: Peta Topografi, Peta Morfologi,

4 43 Peta Kemiringan Lereng, Peta Geologi, Peta Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3). Keluaran Peta Satuan Kemampuan Lahan Kemudahan Dikerjakan, Deskripsi masing-masing tingkatan kemudahan dikerjakan. b) Kestabilan Lereng Guna mengetahui tingkat kemantapan lereng di wilayah dan/atau kawasan dalam menerima beban pada pengembangan wilayah dan/atau kawasan. 1). Sasaran Memperoleh gambaran tingkat kestabilan lereng untuk pengembangan wilayah dan/atau kawasan. Mengetahui daerah-daerah yang berlereng cukup aman untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan. Mengetahui batasan-batasan pengembangan pada masing-masing tingkatan kestabilan lereng. 2). Masukan Peta Topografi, Peta Morfologi, Peta Kemiringan Lereng, Peta Geologi, Karakteristik Air Tanah Dangkal, Besar Curah Hujan, Penggunaan Lahan yang ada saat ini, Bencana Alam. 3). Keluaran Peta Satuan Kemampuan Lahan Kestabilan Lereng,

5 44 Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan lereng. c) Kestabilan Pondasi Bergunan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mendukung bangunan berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenis-jenis pondasi yang sesuai untuk masing-masing tingkatan. 1). Sasaran Mengetahui gambaran daya dukung tanah secara umum, Memperoleh gambaran tingkat kestabilan pondasi di wilayah dan/atau kawasan, Mengetahui perkiraan jenis pondasi dari masing-masing tingkatan kestabilan pondasi. 2). Masukan Peta Kestabilan Lereng, Peta Geologi, Karakteristik Air Tanah Dangkal, Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3). Keluaran Peta SKL Kestabilan Pondasi, Deskripsi masing-masing tingkatan kestabilan pondasi, yang memuat juga perkiraan jenis pondasi untuk masing-masing tingkatan kestabilan pondasi. d) Ketersediaan Air Berguna untuk mengetahui tingkat ketersediaan air guna pengembangan kawasan, dan kemampuan penyediaan air masing-masing tingkatan. 1). Sasaran Mengetahui kapasitas air untuk pengembangan kawasan,

6 45 Mengetahui sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan pengembangan kawasan, dengan tidak mengganggu keseimbangan tata air, Memperoleh gambaran penyediaan air untuk tiap tingkatan ketersediaan air, dan pengolahan secara umum untuk air dengan mutu kurang memenuhi persyaratan kesehatan. 2). Masukan Peta Hidrologi dan Klimatologi, Peta Morfologi, Peta Kemiringan Lereng, Peta Geologi Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3). Keluaran Peta SKL Ketersediaan Air. Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan ketersediaan air. Perkiraan kapasitas air permukaan dan air tanah. Metode pengolahan sederhana untuk air yang mutunya tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. e) Untuk Drainase Guna mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal ataupun meluas dapat dihindari. 1) Sasaran Mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam proses pematusan. Memperoleh gambaran karakteristik drainase alamiah masing-masing tingkatan kemampuan drainase. Mengetahui daerah-daerah yang cenderung tergenang di musim penghujan. 2) Masukan

7 46 Peta Morfologi, Peta Kemiringan Lereng, Peta Topografi, Peta Geologi, Peta Hidrologi dan Klimatologi, Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3) Keluaran Peta SKL Drainase. Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan drainase. f) Erosi 1) Sasaran Mengetahui tingkat keterkikisan tanah di wilayah dan/atau kawasan perencanaan. Mengetahui tingkat ketahanan lahan terhadap erosi. Memperoleh gambaran batasan pada masing-masing tingkatan kemampuan terhadap erosi. Mengetahui daerah yang peka terhadap erosi dan perkiraan arah pengendapan hasil erosi tersebut pada bagian hilirnya. 2) Masukan Peta Permukaan, Peta Geologi, Peta Morfologi, Peta Kemiringan Lereng, Peta Hidrologi dan Klimatologi, Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3) Keluaran Peta SKL Terhadap Erosi. Deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan terhadap erosi tersebut.

8 47 g) Pembuangan Limbah Guna mengetahui daerah-daerah yang mampu untuk ditempati sebagai lokasi penampungan akhir dan pengolahan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. 1) Sasaran Mengetahui daerah-daerah yang mampu untuk ditempati sebagai lokasi penampungan akhir dan pengolahan limbah padat atau sampah. Mengetahui daerah yang mampu untuk ditempati lokasi penampungan akhir dan pengolahan limbah cair. Mempersiapkan daerah-daerah tersebut dan pengamanannya sebagai lokasi pembuangan akhir limbah. 2) Masukan Peta Morfologi, Kemiringan Lereng dan Topografi, Peta Geologi dan Geologi Permukaan, Peta Hidrologi dan Klimatologi, Penggunaan Lahan yang ada saat ini. 3) Keluaran Peta SKL Pembuangan Limbah Perkiraan prioritas lokasi pembuangan sampah dan daya tampung lokasi. Berdasarkan hasil satuan kemampuan lahan di atas dikembangkan metoda penjumlahan kemampuan lahan terbobot untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan yang dilakukan dalam peta klasifikasi kemampuan lahan. Peta klasifikasi ini dipergunakan sebagai arahan-arahan kesesuaian lahan pada tahap analisa berikutnya. Nilai bobot sebesar 3 (tiga) untuk nilai tertinggi dan 1 (satu) untuk nilai terendah, kemudian dikalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masingmasing satuan kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan perkotaan. Dengan men-superimpose-kan semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut,dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh

9 48 satuan-satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di wilayah dan/atau kawasan perencanaan. Diperoleh zona-zona kemampuan lahan dengan nilai tertentu yang menunjukkan tingkatan kemampuan lahan di wilayah ini, dan digambarkan dalam satu peta klasifikasi kemampuan lahan untuk perencanaan pemanfaatan ruang. B. Analisa Daya Dukung Lahan Analisis kemampuan lahan ini diperoleh dari hasil overlay terhadap semua SKL yang dihasilkan melalui proses pembobotan dengan bobot. Berdasarkan proses pembobotan diperoleh 3 (tiga) kelas kemampuan lahan, meliputi kemampuan pengembangan rendah, kemampuan pengembangan sedang, kemampuan pengembangan tinggi. Kemampuan lahan tinggi menunjukkan bahwa karakteristik lahannya sesuai untuk pengembangan kegiatan perkotaan seperti industri, permukiman, perdagangan dan jasa, dan lain sebagainya. Kemampuan lahan sedang menunjukkan bahwa untuk pengembangan kegiatan perkotaan, karakteristik lahannya memungkinkan untuk dikembangkan hanya saja di beberapa bagian membutuhkan suatu rekayasa teknologi, sedangkan kemampuan lahan rendah tidak memungkinkan untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih lanjut. C. Analisa Kesesuaian Lahan Analisa kesesuaian lahan diperuntukkan bagi menyusun pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan budidaya di lokasi penelitian, sehingga dapat dengan jelas batasan (dalam peta) kawasan-kawasan yang harus dilindungi (non terbangun) di wilayah Sub DAS Babura. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi seumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, 17).

10 49 Tabel 3.2 Kriteria Peruntukan Lahan Berdasarkan Kemiringan Dan Ketinggian Lahan Kemiringan Peruntukan Lahan Berdasarkan Ketinggian Lereng (%) Bentuk Lahan M M - Daerah terbangun - Daerah terbangun (Sampai bangunan bertingkat) - Tanaman pangan 0 8 Datar - Tanaman pangan - Perkebunan - Perkebunan - Peternakan - Perikanan - Perikanan - Rekreasi - Tanaman pangan - Tanaman pangan - Peternakan - Peternakan 8-15 Berombak - Perkebunan - Perkebunan - Penghijauan - Hutan Produktif -Daerah terbangun terbatas - Daerah terbangun terbatas - Tanaman pangan terbatas - Tanaman pangan - Perkebunan - Perkebunan - Peternakan - Peternakan Bergelombang - Penghijauan - Konservasi lahan - Daerah terbangun terbatas - Hutan Produktif - Daerah terbangun terbatas - Reboisasi - Hutan produksi - Hutan produksi terbatas Curam - Reboisasi - Reboisasi - Konservasi lahan - Konservasi lahan Diatas 40 Terjal - Reboisasi - Hutan lindung

11 50 Kemiringan Lereng (%) Bentuk Lahan Peruntukan Lahan Berdasarkan Ketinggian M M - Konservasi lahan - Rekreasi Sumber : Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun Analisis kesesuaian lahan ini juga dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kesesuaian, tingkat kemampuan, dan tingkat ketersediaan lahan untuk kawasan lindung dan budidaya. Proses analisa ini akan menggunakan petapeta yang kemudian ditumpangsusun melalui alat bantu program arc atau map info, sehingga teridentifikasi kondisi kesesuaian lahan menurut klasifikasi yang telah ditentukan. Dalam analisis ini juga menggunakan model kriteria fisik untuk lingkungan kawasan budidaya dan lindung yang ditetapkan berdasarkan Keppres No.32 Tahun 1990 tentang penetapan kawasan lindung, penetapan kriteria dan pola pengelolaan kawasan budidaya (BAPPENAS, 1995), FAO (1976) tentang Kerangka Kerja Evaluasi Kesesuaian Lahan, PPTA (1993). Tabel 3.3 Kriteria Fisik Lingkungan Kawasan Budidaya dan Kawasan Lindung Karakteristik/Tematik Kriteria Kawasan Lindung Kriteria Kawasan Budidaya Ketinggian (m dpl) >2000 <2000 Bentuk Wilayah Bergunung Datar s/d berbukit Kemiringan lereng (%) >40,40 Singkapan Batuan (%) >50 50 Bahaya Banjir 1 x/thn - Bahaya Longsor/Erosi Labil Stabil Jenis Tanah Sphagnofibrist, Tropofibrist, Tropofolist, Halaquepts, Natrobolis, Natraquall, Lithic, Natrustolis, Lainnya Natraqualfs, natruslalfs, Hudraquents, Psamments Sumber : Modul Terapan : Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Tahun Analisa Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Penilaian terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat menggunakan pembobotan berdasarkan asumsi peneliti dan ketentuan pembobotan mengacu

12 51 pada ketentuan Kementerian Kehutanan yang termuat di dalam buku penelitian tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat berkaitan dengan prilaku masyarakat terhadap pemanfaatan lahan di wilayah Sub DAS Babura dengan bentuk penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Penilaian Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Lahan No Parameter Tindakan Katagori Skor 1 Tanpa Sanksi Rendah 1 2 Hukum Sanksi Administrasi Sedang 2 3 Sanksi Pidana Tinggi 3 Sumber : Asumsi Peneliti, Tahun 2014 Sedangkan penilaian terhadap kondisi ekonomi masyarakat melihat aspek tingkat pendapatan, dengan penilaian dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tingkat pendapatan > 1,5 SK, memiliki katagori sangat rendah terhadap kesalahan dalam pemanfaatan lahan, sedangkan pada tingkat pendapatan < 0,67 SK, sangat rentan terhadap kesalahan dalam pemanfaatan lahan. No 1 Tabel 3.5 Interval Besaran Tingkat Pendapatan Masyarakat berdasarkan Katagori dan Nilai Skor Besaran Parameter (Standard Kerentanan Skor Kemiskinan (SK)) > 1,5 Sangat Rendah 1 2 1,26 1,5 SK Rendah 2 3 Tingkat Pendapatan 1,1 1,25 SK Sedang 3 4 Masyarakat 0,67 1 SK Tinggi 4 5 < 0,67 SK Sangat Tinggi 5 Sumber : Asumsi Peneliti, Tahun 2014

13 52 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 KEBIJAKSANAAN PENATAAN RUANG KOTA MEDAN Rencana Kawasan Lindung Berdasarkan Dokumen Rencana Tata Ruang Kota Medan, kawasan lindung yang ditetapkan di wilayah penelitian berupa sempadan sungai yaitu Sungai Deli dan Sungai Babura dengan sempadan sungai sebesar 15 meter yang diukur dari tepi kanan dan kiri sungai. Penetapan garis sempadan sungai ini dimaksudkan agar kawasan bantaran sungai selebar 15 meter tersebut dapat dilindungi sebagai daerah resapan air/terbuka, sehingga dapat menjaga kelestrarian fungsi sungai, dan dapat mengurangi bahaya banjir Kawasan Budidaya Daerah penelitian merupakan bagian wilayah Kota Medan bagian Selatan. Arahan pemanfaatan lahan Kota Medan bagian Selatan berupa permukiman dengan berbagai tingkatan kepadatan yaitu tinggi, sedang dan rendah. Permukiman dengan tingkat kepadatan tinggi ditetapkan di Kecamatan Kecamatan Medan Maimum (Kelurahan Hamdani, Kelurahan Sei Mati), tingkat kepadatan sedang adalah Kecamatan Medan Petisah yaitu di Kelurahan Sei Barat, Kelurahan Sei Putih Tengah, dan Kelurahan Sekip, sedangkan yang ditetapkan sebagai permukiman kepadatan rendah yaitu Kecamatan Medan Polonia, Medan Baru, Johor, Selayang dan Tuntungan. 4.2 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Sub DAS Babura Letak geografis Wilayah Sub DAS Babura berada pada kisaran koordinat 3 o o Lintang Utara dan 98 o o Bujur Barat. Berdasarkan digitasi peta citra, luas wilayah Sub DAS Babura adalah sebesar Ha. Wilayah Sub DAS Babura merupakan sebuah kawasan dengan batas

14 53 wilayah tidak berdasarkan batas administrasi kecamatan, melainkan deliniasi dari kawasan yang merupakan wilayah Sub DAS Babura yang penentuan dealiniasinya telah ditentukan oleh Pemerintahan Kota Medan. Wilayah kecamatan yang termasuk ke dalam Sub DAS Babura adalah sebagai berikut : 1. Sebagian Kecamatan Medan Baru; 2. Sebagian Kecamatan Medan Petisah; 3. Sebagian Kecamatan Medan Polonia; 4. Sebagian Kecamatan Medan Maimun; 5. Sebagian Kecamatan Medan Selayang; 6. Sebagian Kecamatan Medan Johor; dan 7. Sebagian Kecamatan Medan Tuntungan Ketinggian dan Kemiringan Lereng Sub DAS Babura Sub DAS Babura memiliki ketinggian lahan yang bervariasi yaitu antara meter di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian wilayah yang paling rendah (23-35 mdpl) berada di daerah bagian tengah sampai ke arah Utara Sub DAS Babura, yaitu Kecamatan Medan Johor, Medan Polonia, Medan Baru, Medan Maimun, Medan Petisah, dan Medan Baru. Ketinggian lahan di atas 35 mdpl berada di sebelah Selatan Sub DAS Babura yaitu Kecamatan Medan Johor dan Medan Tuntungan. Kemiringan lereng Sub DAS Babura berkisar antara 2 45 %, dengan katagori kemiringan 8%, dapat dikatagorikan datar, sedangkan kemiringan di atas 45%, dikatagorikan terjal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar Fisiografi, Tanah dan Bentuk Wilayah DAS Babura Fisiografi menunjukkan bentuk permukaan lahan dipandang dari faktor dan proses pembentukan tanah, sehingga fisiografi memberikan pengaruh terhadap perkembangan tanah. Secara umum fisiografi kawasan Sub DAS Babura dan sekitarnya dapat dikelompokan dalam beberapa grup antara lain: 1) grup Aluvial, 2) grup marin 3) grup volkan 4) grup tufa masam beserta satuan lahan/unit lahan

15 54 Tabel 4.1 Luas dan Klasifikasi Kemiringan Lereng Sub DAS Babura No Kemiringan Lereng (%) Katagori Luas (Ha) 1 <8 Datar 1.129, >15 Berombak 798, >25 Bergelombang 439, >45 Curam 323,54 5 >45 Terjal 71,23 Luas Total : Sumber : Hasil Digitasi Peta Citra, Tahun 2011

16 55 Gambar 4.1 Peta Ketinggian Lahan dan Kemingan Lereng Sub DAS Babura sesuai dengan proses geomorfologinya, susunan geologi dan keadaan iklim dominan. a. Grup Aluvial Grup Aluvial umumnya terbentuk dari endapan kasar dan halus yang berumur Quarter (Qal dan Qh), yang umumnya berasal dari endapan sungai, Grup Aluvial ini meliputi dataran banjir disekitar jalur aliran Sungai Deli), dan dataran Aluvial. Dataran banjir umumnya menyebar disekitar aliran sungai besar dekat muara berbatasan dengan pantai. Dataran Aluvial merupakan peralihan dari grup

17 56 Marin, relatif datar airnya bersifat tawar sampai payau dan bagian besar telah dimanfaatkan sebagai areal persawahan dan perkebunan negara. Secara rinci satuan lahan/unit lahan yang termasuk dalam grup Aluvial disajikan uraiannya di bawah ini: Dataran Aluvial Peralihan ke Marin Satuan lahan ini merupakan dataran Aluvial peralihan ke Marin, dengan bahan sedimen halus dan kasar masam, bentuk wilayah datar (lereng 3%). Jenis tanah dominan adalah Troquents, Fluvaquents dan setempat yang agak kering di dominasi oleh Eutropepts. Satuan lahan ini tersebar secara luas dibagian agak hilir sebelah kanan dan kiri dari Sungai Deli. b. Grup Volkan Grup volkan ini umumnya berasal dari volkan muda berumur kuarter dari Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung di sebelah Utara Berastagi, dengan bahan utama berupa tufa masam dan intermedier. Hasil erupsi kedua gunung tersebut mengisi bagian dataran sebelah Utara di sekitar Medan dan Binjai, sedangkan bagian yang berlereng terisi bahan tufa toba masam. Ketebalan abu volkan Sibanyak dan Sinabung makin tebal ke arah pusat erupsi (Brastagi) serta menipis ke daerah berbukit dan jauh dari pusat erupsi (Medan/Binjai). Penyebaran grup volkan ini mendominasi kawasan Medan dan sekitarnya, meliputi kawasan Medan dan Binjai memanjang ke arah Kabanjahe. c. Grup Tufa Masam Grup ini terbentuk dari aliran abu volkan hasil erupsi volkan toba pada masa tersier. Aliran abu masam (dasit dan liparit) ini membentuk endapan sangat tebal dan kadang-kadang melebur (welded) terutama di dekat Danau Toba. Di dataran rendah membentuk endapan volkan masam yang sangat luas sebelum pada mas kwarter. Fisiografi ini mempunyai penyebaran luas di sebelah Selatan Medan termasuk Sub DAS Babura sampai Danau Toba.

18 Klimatologi Kondisi klimatologi di Sub DAS Babura sama dengan kondisi klimatologi Kota Medan karena Sub DAS Babura merupakan bagaian wilayah Kota Medan. Menurut Stasiun BMG Sampali suhu minimum berkisar antara 23,0 C 24,1 C dan suhu maksimum berkisar antara 30,6 C 33,1 C, dengan kelembaban udara untuk rata-rata berkisar antara 78 82%. Kecepatan angin rata-rata sebesar 0,42 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 100,6 mm. Hari hujan rata-rata perbulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan per bulannya berkisar antara 211,67 mm 230,3 mm (Gambar 4.3) Penggunaan Lahan Sub DAS Babura Secara umum, penggunaan lahan di Sub DAS Babura Kota Medan di dominasi oleh perumahan mencapai 1.402,1 Ha yang terdiri dari perumahan kepadatan rendah seluas 649,6 Ha, perumahan kepadatan sedang seluas 315,4 Ha, dan perumahan kepadatan tinggi seluas 315,4 Ha. Selain itu, penggunaan lahan berupa penggunaan lain seperti kebun campuran dan lahan belum termanfaatkan seluas 473,1 Ha, kegiatan perdagangan seluas 224,5 Ha, jasa komersial seluas 142 Ha, fasilitas umum dan sosial seluas 143,4 Ha, kolam seluas 17,7 Ha, serta sungai seluas 26 Ha. Total luas Sub DAS Babura dalam kajian ini adalah seluas 2.761,94 Ha. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.4.

19 58 Gambar 4.2 Peta Jenis Tanah Sub DAS Babura

20 59 Gambar 4.3 Peta Jenis Batuan Sub DAS Babura

21 60 Gambar 4.4 Peta Klimatologi Sub DAS Babura

22 61 Tabel 4.2 Jenis Penggunaan Lahan Sub DAS Babura No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) 1 Kolam 17,7 2 Perdagangan 224,5 3 Fasilitas Umum dan Sosial 143,4 4 Jasa Komersial Kawasan sempadan sungai 62,9 6 Perumahan Kepadatan Rendah 649,6 7 Perumahan Kepadatan Sedang 437,1 8 Perumahan Kepadatan Tinggi 315,4 9 Lahan campuran 473,1 10 Infrastruktur 296,64 Jumlah Total : 2.761,94 Sumber : Hasil Digitasi Peta Citra, Tahun 2012 Berikut ini beberapa jenis penggunaan lahan di Sub DAS Babura berdasarkan hasil observasi peneliti yang didokumentasikan dalam bentuk gambar. Gambar Kegiatan Perdagangan berupa Pasar Tradisional di Jalan Jamin Ginting Gambar kegiatan permukiman di Kel. Beringin Kecamatan Medan Selayang Gambar Kegiatan pendidikan di Medan Baru Gambar Kegiatan jasa dan kegiatan perkotaan lainnya di Medan Johor

23 62 Gambar 4.5 Peta Citra Sub DAS Babura

24 63 Gambar 4.6 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Babura Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat A. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk daerah penelitian mengacu pada jumlah penduduk masingmasing kecamatan yang termasuk dalam daerah penelitian ini yaitu Kecamatan

25 64 Medan Maimun, Medan Polonia, Medan Baru, Medan Petisah, Medan Johor, Medan Selayang dan Medan Tuntungan. Kecamatan yang paling tinggi jumlah penduduknya berada di Kecamatan Medan Johor yaitu sebesar jiwa, sedangkan jumlah penduduk paling rendah berada di Kecamatan Medan Maimun. Bila dilihat dari tingkat kepadatan, kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi bila dibanding dengan kecamatan lainnya adalah Kecamatan Maimun yaitu sebasar 133 jiwa/ha, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Medan Tuntungan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 Tabel 4.3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Daerah Penelitian Tahun 2012 No Kecamatan Luas (Ha) Jumlah (Jiwa) Kapadatan (Jiwa/Ha) 1 Medan Tuntungan Medan Johor Medan Maimun Medan Polonia Medan Baru Medan Selayang Medan Petisah Jumlah/Total Sumber : Kota Medan Dalam Angka Tahun 2012 B. Kondisi Sosial Masyarakat Berdasarkan hasil pengamatan di daerah penelitian, kondisi sosial masyarakat di daerah penelitian sangat beragam. Berdasarkan tingkat pendidikan, jenjang pendidikan masyarakat sangat bervariasi, ada yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), ada yang hanya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), ada yang lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU), dan ada juga yang sudah lulusan dari tingakt Akademik (D3) dan Universitas/Sekolah Tinggi (S1).

26 65 Berdasarkan jenjang pendidikan tersebut, pola pikir yang dimiliki sangat bervariasi tentang pola pemanfaatan lahan sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat beraktifitas. Ada yang faham tentang bagaimana sebaiknya tentang memanfaatkan lahan sesuai dengan kondisi lahan, dan ada juga yang tidak perduli sama sekali dengan kondisi lahan yang mereka tempati untuk tempat tinggal dan beraktifitas karena alasan ekonomi. Umumnya, masyarakat dengan pendapatan relatif rendah menempati lahan-lahan yang secara peraturan tidak dibenarkan untuk dimanfaatkan seperti daerah sempadan/bantaran sungai yang rawan akan bahaya banjir. Rata-rata umumnya yang bertempat tinggal di bantaran sungai tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan dan tingkat pendidikan hanya sebagai SMU. Umumnya memiliki tingkat pengetahuan lingkungan yang kurang baik, karena lingkungan tempat tinggal mereka kurang terawat dengan baik, sehingga kualitas lingkungan sangat buruk. Suasana kekerabatan masih sangat baik, karena ketergantungan satu dengan lainnya sangat tinggi. Tingkat hunian cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan kerapatan bangunan yang cukup tinggi, dengan tidak memiliki jarak antar bangunan, hanya dibatasi oleh jalan lingkungan yang berkisar antara 1-1,5 m. Hal ini sangat rawan terhadap bahaya kebakaran, dan kurang baik untuk kesehatan dan mental generasi muda yang ada. C. Kondisi Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di lapangan, kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah penelitian sangat beragam. Ada yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi, ada juga yang menengah dan juga masyarakat dengan kondisi ekonomi kelas bawah. Tingkat pendapatan yang berbeda tersebut merupakan faktor terbesar masyarakat untuk memilih tempat tinggal dan beraktifitas. Pada daerah permukiman dengan kepadatan tinggi, umumnya kondisi ekonomi masyarakat berada diantara kelas menengah ke bawah, sedangkan masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas lebih memilih memanfaatkan lahan-lahan yang bernilai strategis dan dengan tingkat kepadatan menengah dan rendah. Namun ada juga masyarakat yang tingakt ekonominya mengenah ke bawah menempati lahan-lahan di permukiman kepadatan rendah seperti di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Tuntungan, karena mereka berdekatan dengan lahan-lahan pertanian sebagai sumber mata

27 66 pencaharian mereka. Masyarakat yang menempati lahan dengan fungsi sebagai permukiman kepadatan sedang dan tinggi, umumnya bekerja di daerah-daerah pusat Kota Medan, seperti di Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Polonia, dan Kecamatan Medan Maimun. Namun ada juga yang bekerja di Kecamatan Medan Johor dan Kecamatan Medan Tuntungan. Tingkat pendapatan masyarakat di daerah penelitian sangat bervariasi yaitu ada yang di bawah Rp /bulan (pedagang asongan dan penarik becak dayung) ada juga yang lebih dari Rp /bulan (pegawai dengan posisi staf dan pedagang menengah), dan bahkan ada yang memiliki tingkat pendapatan di atas Rp /bulan (umumnya memiliki usaha sendiri dan pegawai yang memiliki posisi kepala bagian di sebuah instansi atau perusahaan). 4.3 LAHAN CADANGAN PENGEMBANGAN SAAT INI Pengembangan pemanfaatan lahan di Kawasan Sub DAS Babura di masa yang akan datang akan bergantung pada ketersediaan lahan-lahan yang ada saat ini. Berdasarkan hasil digitasi peta citra, penggunaan lahan terbesar di kawasan Sub DAS Babura saat ini adalah jenis pemanfaatan lahan untuk permukiman penduduk sebesar 1.401,9 Ha atau 61 % dari total luas kawasan Sub DAS Babura, kemudian lahan yang dimanfaatakan untuk fasilitas umum dan sosial serta perdagangan dan jasa sebesar 509,9 Ha atau 19 %. Sedangkan pemanfaatan lainnya berupa kolam, lahan campuran dan sempadan sungai sebesar 553,7 Ha atau 20%. Ketersediaan lahan pengembangan untuk kawasan perkotaan saat ini di kawasan Sub DAS Babura dapat dihitung dengan menggunakan persamaan seperti di bawah ini : LP = X (Y + Z) Keterangan : LP = Lahan pengembangan; X = Total luas lahan; Y = Lahan terbangun; Z = Lahan dengan fungsi lindung.

28 67 Berdasarkan persamaan di atas, ketersediaan lahan pengembangan di Sub DAS saat ini sebesar 2.761,94 (1.992,4 + 80,4) = 689,14 Ha. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, lahan cadangan untuk pengembangan kawasan perkotaan di Sub DAS Babura adalah sebesar 689,14 atau 25% dari total luas lahan Sub DAS Babura. Luas lahan tersebut merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perkotaan seperti permukiman, perdagangan dan jasa, kebutuhan sarana dan prasarana, ruang terbuka hijau dan lain sebagainya. 4.4 ANALISA DAYA DUKUNG POTENSIAL Daya dukung lahan adalah tingkat kemampuan lahan untuk mendukung segala aktivitas manusia yang ada di wilayahnya (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Penilaian terhadap daya dukung lahan potensial dapat dilakukan dengan menggunakan model satuan kemampuan lahan (SKL). SKL merupakan suatu studi yang dilakukan untuk melihat kemampuan fisik geografis suatu wilayah untuk dapat dikembangkan dari segi aspek fisik dan kegeologian. Model analisis ini dipergunakan untuk pemilahan bentuk bentang alam/morfologi pada wilayah kajian untuk mengetahui kawasan yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan fungsi dan daya dukung lahannya. Pemanfaatan lahan di Sub DAS Babura akan ditentukan dari kondisi fisik lahan yang ada. Kondisi fisik tersebut akan dianalisis dengan menggunakan model analisa SKL. Analisa tersebut meliputi : 1) Analisa SKL untuk morfologi; 2) Analisa SKL untuk kemudahan untuk dikerjakan; 3) Analisa SKL untuk kestabilan lereng; 4) Analisa SKL untuk ketersediaan air; 5) Aanlisa SKL untuk drainase; 6) Analisa SKL terhadap erosi; 7) Analisa SKL untuk pembuangan limbah; 8) Analisa SKL untuk bencana alam SKL Morfologi Penilaian terhadap morfologi Sub DAS Babura dimaksudkan untuk melihat daya dukung lahan berdasarkan kemiringan lereng. Kemiringan Lereng di Sub

29 68 DAS Babura berkisar antara 2 45 %. Berdasarkan kriteria kelas lereng yang dikeluarkan dari Kementerian Pekerjaan Umum yang menetapkan bahwa kemiringan lereng 0 -< 15% merupakan bentuk lahan datar-landai, kemiringan lereng 15-<25 % dikatagorikan sebagai bentuk lahan agak curam, dan kemiringan lereng di atas 25 % dikatagorikan sebagai bentuk lahan curam. Mengacu ke kriteria tersebut, maka dilakukan penilaian terhadap morfologi Sub DAS Babura (lihat Tabel 4.4). Tabel 4.4 SKL Morfologi SKL Kemiringan (%) BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR < MORFOLOGI 15 - < > Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014 Skor yang paling tinggi, merupakan bentuk lahan yang paling baik untuk kegiatan perkotaan dan budidaya lainnya. Dengan demikian, kemiringan lereng kurang dari 15 %, merupakan lahan dengan kemiringan yang baik untuk dikembangkan kegiatan tersebut, dan lahan dengan kemiringan di atas 15 %, baik untuk dikembangkan kegiatan budidaya pertanian dan perkebunan, lahan konservasi dan hutan lindung, dan kegiatan perkotaan dapat dikembangkan secara terbatas (15-<25%). Sebagian besar wilayah Sub DAS Babura di dominasi oleh SKL Morfologi rendah dengan luas 1.928,06 Ha atau 69,8% (lihat Tabel 4.5). Dengan demikian bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah potensi untuk kegiatan pengembangan perkotaan, pertanian, dan kegiatan budidaya lainnya yang memiliki persyaratan kemiringan lereng di bawah 15%.

30 69 No. Tabel 4.5 Luas dan Persentase Kemiringan Lereng Wilayah Berdasarkan SKL Morfologi Wilayah Sub DAS Babura Kemiringan Lereng Luas Persentase SKL Morfologi (%) (Ha) (%) 1 Kemampuan Lahan Tinggi > Kemampuan Lahan Sedang 15 - < Kemampuan Lahan Rendah < 15 1, ,8 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

31 70 Gambar 4.7 Peta SKL Morfologi

32 SKL Kemudahan Di Kerjakan Sebagian besar wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah dengan SKL Kemudahan Dikerjakan Tinggi. Hal ini di sebabkan oleh morfologi wilayah sebagian besar daerah datar dan bergelombang dengan tingkat kecuraman rendah sampai sedang. Dengan demikian wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah yang tidak memiliki kendala yang berarti dalam pengembangan perkotaan. Hal ini juga didukung oleh jenis tanah berupa Qpme (bongkahan kerikil, pasir, lanau, lempung), dan sebagian berjenis tanah Qvbs (andesit, dasit, piroklastika). Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan melalui teknik pembobotan (lihat Tabel 4.6), luas lahan yang memiliki katagori tinggi untuk kemudahan dikerjakan sebesar 1,481 Ha, atau seluas 53,5%, sedangkan untuk katagori sedang sebesar 602 Ha atau 21,8%, dan katagori rendah sebesar 678,9 Ha atau 25,4% (lihat Tabel 4.7). Hasil perhitungan ini selanjutnya dipetakan sehingga dapat dengan jelas gambaran wilayah yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Untuk wilayah Utara Sub DAS Babura, memiliki nilai kemampuan tinggi untuk kemudahan dikerjakan sedangkan bagian Selatan merupakan wilayah yang kurang mendukung untuk pengembangan karena memiliki nilai rendah untuk kemudahan dikerjakan (lihat Gambar 4.8).

33 72 Tabel 4.6 SKL Kemudahan Untuk Dikerjakan SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR KEMUDAHAN DIKERJAKAN Kemiringan Lereng Jenis Tanah/Batuan Penggunaan Lahan < < > Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam 3 3 Clay loam, silty clay loam Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay 1 1 Hutan 3 3 Pertanian 2 2 Perkotaan 1 1 Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014 Tabel 4.7 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kemudahan Untuk Dikerjakan No. SKL Kemudahan Dikerjakan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Kemudahan Dikerjakan Tinggi ,5 2 Kemudahan Dikerjakan Sedang ,8 3 Kemudahan Dikerjakan Rendah 678,9 24,5 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

34 73 Gambar 4.8 Peta SKL Kemudahan di Kerjakan

35 SKL Kestabilan Lereng Kestabilan lereng merupakan salah satu faktor penting dalam pemanfaatan lahan Sub DAS Babura di masa yang akan datang. Kondisi kelerengan akan mempengeruhi pengembangan pemanfaatan lahan di suatu wilayah. Penilaian terhadap kestabilan lereng akan melihat karakter dari kemiringan lereng, jenis tanah, dan penggunaan lahan di Sub DAS Babura. Berdasarkan penilaian yang dilakukan (lihat Tabel 4.8), menghasilkan luasan lahan yang dapat menggambarkan potensial lahan pengembangan berdasarkan kestabilan lereng di Sub DAS Babura. Berdasrkan hasil perhitungan, lahan yang memiliki kestabilan lereng tinggi seluas 1.609,7 Ha atau 58,1%, lahan yang memiliki kestabilan lereng sedang sebesar 1.150,8 Ha atau 41,8 %, dan kestabilan lereng rendah sebesar 1,4 Ha atau 0,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Sub DAS Babura memiliki potensial lahan pengembangan yang cukup besar. Pengembangan potensial tinggi tersebut berada di sebeleh Utara Wilayah Sub DAS Babura (lihat Gambar 4.9). Tabel 4.8 SKL Kestabilan Lereng SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng < < > Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay 3 9 KESTABILAN LERENG Jenis Tanah/Batuan Clay loam, silty clay loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam 1 3 Penggunaan Lahan Hutan 3 9 Pertanian 2 6 Keg.Perkotaan 1 3 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

36 75 Tabel 4.9 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kestabilan Lereng No. SKL Kestabilan Lereng Luas (Ha) Persentase (%) 1 Kestabilan Lereng Tinggi 1.609,7 58,1 2 Kestabilan Lereng Sedang 1.150,8 41,8 3 Kestabilan Lereng Rendah 1,4 0,1 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

37 76 Gambar 4.9 Peta SKL Kestabilan Lereng

38 SKL Kestabilan Pondasi Pondasi merupakan bagian penting dari struktur bangunan sebagai penopang bangunan agar kokoh berdiri. Kestabilan pondasi merupakan faktor penting dari sebuah bangunan. Pengembangan daerah terbangun di wilayah Sub DAS Babura di masa yang akan datang, sangat perlu memperhatikan kestabilan pondasi. Variabel yang mendukung penilaian tersebut terhadap kestabilan pondasi adalah kemiringan lereng dan jenis batuan/tanah. Berdasarkan hasil analisa, sebagian besar wilayah Sub DAS Babura merupakan daerah dengan SKL Kestabilan Pondasi Tinggi. Hal ini di sebabkan oleh morfologi wilayah yang datar dan bergelombang dengan tingkat kecuraman rendah sampai menengah., dan jenis batuan/tanah yang cukup baik untuk menopang bangunan yang berada diatasnya. Dari hasil perhitungan yang dilakukan, luas lahan untuk kestabilan pondasi tinggi sebesar 2.112,7 Ha atau 76,1%, sedangkan kestabilan pondasi sedang sebesar 650,6 Ha atau 23,6%, dan kestabilan pondasi rendah sebesar 8,6 Ha atau 0,3%. Hal ini menunjukkan bahwa Wilayah Sub DAS Babura dapat mendukung pengembangan perkotaan sebagai wadah aktifitas masyarakat Kota Medan. Wilayah Utara dan Selatan Sub DAS Babura merupakan wilayah yang memiliki kestabilan pondasi tinggi untuk menopang bangunan yang berada diatasnya (lihat Gambar 4.10). Tabel 4.10 SKL Kestabilan Pondasi SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng < < > KESTABILAN PONDASI Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay Jenis Tanah/Batuan Clay loam, silty clay loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam

39 78 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014 Tabel 4.11 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Kestabilan Pondasi No. SKL Kestabilan Pondasi Luas (Ha) Persentase (%) 1 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Tinggi 2.112,7 76,1 2 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Sedang 650,6 23,6 3 Daya Dukung dan Kestabilan Pondasi Rendah 8,6 0,3 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014 Jumlah : 2.761,9 100

40 79 Gambar 4.10 Peta SKL Kestabilan Pondasi

41 SKL Ketersediaan Air Ketersediaan air untuk daerah pengembangan merupakan suatu keharusan demi keberlangsungan masyarakat di suatu wilayah. Analisa terhadap ketersediaan air di wilayah Sub DAS Babura mempertimbangkan aspek kemiringan lereng, jenis batuan, curah hujan, dan penggunaan lahan. Berdasarkan kondisi eksisting wilayah penelitian, kemiringan lereng wilayah Sub DAS Babura berkisar antara 2 45%, dengan jenis batuan/tanah berupa lempung, kerikil, alluvial, andesit dan lain-lain. Sedangkan penggunaan lahan dominan adalah kawasan terbangun Ha atau 69 % dari luas lahan Sub DAS Babura. Curah hujan rata-rata berkisar antara 211,67 mm 230,3 mm. Dari hasil penilaian yang dilakukan menggunakan model pembobotan pada SKL ketersediaan air, maka didapatkan luas lahan Sub DAS Babura yang mendukung pengembangan dari sisi ketersediaan air yaitu sebagai berikut : 1. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air tinggi sebesar 937,5 Ha (34%), bagian Utara; 2. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air sedang sebesar 754,8 Ha (27%), bagian tengah; 3. Luas lahan dengan katagori ketersediaan air rendah sebesar 1.070,6 Ha (39%), bagian Selatan (lihat Gambar 4.12);

42 81 Tabel 4.12 SKL Ketersediaan Air SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR KETERSEDIAAN AIR Kemiringan Lereng Jenis Tanah/Batuan Curah Hujan Penggunaan Lahan > < < Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay 3 15 Clay loam, silty clay loam 2 10 Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam < Hutan 3 15 Pertanian 2 10 Perkotaan 1 5 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014 Luas lahan dengan katagori ketersediaan rendah merupakan luas dominan di wilayah Sub DAS Babura. Dengan demikian perlu dilakukan sebuah upaya pembuatan kantong-kantong air untuk ketersediaan air bagi masyarakat di Sub DAS Babura. Tabel 4.13 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Ketersediaan Air No. SKL Ketersediaan Air Luas (Ha) Persentase (%) 1 Ketersediaan Air Tinggi 937, Ketersediaan Air Sedang 754, Ketersediaan Air Rendah 1.070,6 39 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

43 SKL Drainase Penilaian terhadap kondisi drainase di wilayah Sub DAS Babura, akan memperhatikan faktor kemiringan lereng, kondisi geologi, kerapatan sungai dan penggunaan lahan. Kerapatan sungai di wilayah Sub DAS Babura tergolong jarang karena wilayah Sub DAS Babura memiliki sedikit anak-anak sungai sebagai, dan berada di daerah Hilir dari DAS Deli. Berdasarkan hasil penilaian dengan model analisa SKL terhadap drainase (lihat Tabel 4.14), selanjutnya dilakukan perhitungan berdasarkan teknis superimpose peta-peta yang dipakai di dalam analisa SKL ini. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1. Luas lahan dengan kemampuan drainase tinggi sebesar 385,3 Ha (14%); 2. Luas lahan dengan kemampuan drainase sedang sebesar 2.373,2 Ha (85,9%); 3. Luas lahan dengan kemampuan drainase tinggi sebesar 3,4 Ha (0,1%); Wilayah dengan kemampuan drainase sedang merupakan wilayah yang dominan di Sub DAS Babura. Terbentang dari wilayah Utara sampai ke wilayah Selatan Sub DAS Babura. Hal ini disebabkan karena wilayah Sub DAS Babura memiliki bentuk wilayah datar landai. Dengan demikian wilayah Sub DAS Babura rawan terhadap bencana banjir.

44 83 Gambar 4.11 Peta SKL Ketersediaan Air

45 84 Tabel 4.14 SKL Drainase SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng > < < Jenis Tanah/Batuan Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay Clay loam, silty clay loam DRAINASE Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Sangat Rapat/Rapat 3 15 Kerapatan Sungai Sedang 2 10 Jarang 1 5 Penggunaan Lahan Hutan 3 15 Pertanian 2 10 Perkotaan 1 5 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014 No. Tabel 4.15 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Drainase SKL Drainase Luas (Ha) Persentase (%) 1 Kemampuan Drainase Tinggi 385, Kemampuan Drainase Sedang 2.373,2 85,9 3 Kemampuan Drainase Rendah 3,4 0,1 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

46 SKL Terhadap Erosi Faktor lainnya yang sangat diperhatikan di dalam hal pengembangan wilayah adalah erosi. Erosi merupakan proses pengikisan tanah yang disebabkan oleh air. Erosi dapat menyebabkan timbulnya lahan kritis dan bencana longsor. Untuk mencegah terjadinya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan di Sub DAS Babura, maka penilaian SKL terhadap erosi sangat penting untuk dilakukan. Variabel yang akan dinilai pada SKL ini adalah kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan dan penggunaan lahan. Berdasarkan analisa tersebut, wilayah Sub DAS Babura dibagi ke dalam 3 (tiga) katagori lahan yaitu kerentanan tinggi, sedang dan rendah.

47 86 Gambar 4.12 Peta SKL Drainase

48 87 Tabel 4.16 SKL Terhadap Erosi SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng > < < Jenis Tanah/Batuan Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Clay loam, silty clay loam EROSI Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay Curah Hujan < Penggunaan Lahan Perkotaan 3 9 Pertanian 2 6 Hutan 1 3 Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014 Lahan dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap erosi berada di wilayah Selatan Sub DAS Babura dengan luas lahan mencapai 1.756,7 Ha atau 67%, sedangkan wilayah dengan tingkat kerentanan sedang sebesar 905,2 atau 32,9% yang tersebar di wilayah bagian Utara, sedangkan tingkat erosi rendah sebesar 0,003 Ha atau 0,0001%.

49 88 Tabel 4.17 Luas dan Persentase Lahan Berdasarkan SKL Terhadap Erosi Luas Persentase No. SKL Terhadap Erosi (Ha) (%) 1 Kemampuan Terhadap Erosi Tinggi 1.756, Kemampuan Terhadap Erosi Sedang 905,2 32,9 3 Kemampuan Terhadap Erosi Rendah 0,003 0,0001 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

50 89 Gambar 4.13 Peta SKL Terhadap Erosi

51 SKL Pembuangan Limbah Limbah merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan suatu wilayah. Penanganan limbah di wilayah perkotaan sangat penting untuk dilakukan, karena limbah dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Dengan demikian, perencanaan sistem pembuangan limbah harus dibuat sebaik mungkin dengan memperhatikan faktor daya dukung lahan. Penilaian terhadap daya dukung lahan untuk pemanfaatan ruang pembuangan limbah di Sub DAS Babura, dilakukan melalui penilaian beberapa variabel terkait yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan. Berdasarkan hasil penilaian (lihat Tabel 4.18), yang selanjutnya dilakukan penialain secara spatial dengan metoda tumpang susun peta-peta terkait, menghasilkan luas lahan dengan berbagai katagori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Luas lahan dengan daya dukung tinggi untuk pembuangan sampah berada di sebelah Utara Sub DAS Babura yaitu sebesar 1.617,6 Ha atau 58,1%, sedangkan luas lahan dengan daya dukung sedang berada di sebelah Selatan dengan luas sebesar Ha, atau 41,89%, dan daya dukung lahan rendah sebesar 0,3 Ha, atau 0,01%.

52 91 Tabel 4.18 SKL Pembuangan Limbah SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng < < > Jenis Tanah/Batuan Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay Clay loam, silty clay loam LIMBAH Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam < Curah Hujan Penggunaan Lahan Perkotaan 3 3 Pertanian 2 2 Hutan 1 1 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

53 92 No. Tabel 4.19 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Pembuangan Limbah SKL Pembuangan Limbah Luas (Ha) Persentase (%) Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan Limbah Tinggi Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan Limbah Sedang Kemampuan Lahan Untuk Pembuangan Limbah Rendah 1.617,6 58, ,89 0,3 0,01 Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun SKL Bencana Alam Peluang terjadinya banjir di wilayah Sub DAS Babura cukup besar khususnya di wilayah hilir seperti Kecamatan Medan Baru, Petisah dan Medan Polonia. Hal ini karena kondisi morfologi yang datar dengan tingkat kelerengan yang landai. Berdasarkan hasil penilaian terhadap SKL bencana alam dengan variabel yang dinilai adalah kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, kerapatan sungai, dan penggunaan lahan (lihat Tabel 4.20), menghasilkan luasan dan wilayah yang rawan terhadap bencana alam. Wilayah Sub DAS Babura yang memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana alam (banjir) yaitu wilayah sebelah Utara dengan luas mencapai 184,6 Ha atau 7%. Wilayah dengan tingkat kerawanan sedang berada pada wilayah Selatan dengan luas lahan sebesar 2.372,9 Ha atau sebesar 85%, sedangkan tingkat kerawanan rendah sebesar 205,4 Ha atau 8% dari total wilayah Sub DAS Babura.

54 93 Gambar 4.14 Peta SKL Pembuangan Limbah

55 94 Tabel 4.20 SKL Bencana Alam SKL PARAMETER SATUAN BOBOT NILAI KEMAMPUAN SKOR Kemiringan Lereng > < < Jenis Tanah Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Clay loam, silty clay loam Sand, lomy sand, silty clay, sandy loam, clay BENCANA ALAM Curah Hujan Kerapatan Sungai Penggunaan Lahan < Jarang 3 15 Sedang 2 10 Sangat Rapat/Rapat 1 5 Perkotaan 3 15 Pertanian 2 10 Hutan 1 5 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

56 95 Tabel 4.21 Luas dan Presentase Lahan Berdasarkan SKL Bencana Alam No. SKL Rawan Bencana Luas (Ha) Persentase (%) 1 Kemampuan Lahan Bencana Tinggi 184,6 7 2 Kemampuan Lahan Bencana Sedang 2.372, Kemampuan Lahan Bencana Rendah 205,4 8 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014 Jumlah : 2.761, Analisa Daya Dukung Lahan Analisis daya dukung lahan di gunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dan kesesuaian lahan, sehingga arah peruntukan lahan tidak menimbulkan berbagai persoalan sebagai berikut : 1) Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya, terutama yang terkait dengan aspek geologi. 2) Kegiatan pembangunan dengan skala yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan (lingkungan geologi), sehingga sumber daya akan tereksploitasi secara berlebihan.

57 96 Gambar 4.15 Peta SKL Terhadap Bencana Alam

58 97 3) Kegiatan pembangunan yang lokasinya terletak pada daerah rawan bencana alam (geologi) 4) Kegiatan pembangunan yang lokasinya rentan tehadap pencemaran dan degradasi lingkungan. Analisis kemampuan lahan ini diperoleh dari hasil overlay terhadap semua SKL yang dihasilkan melalui proses pembobotan yang akan diperoleh 3 (tiga) kelas kemampuan lahan, meliputi kemampuan pengembangan rendah, kemampuan pengembangan sedang, kemampuan pengembangan tinggi. Kemampuan lahan tinggi menunjukkan bahwa karakteristik lahannya sesuai untuk pengembangan kegiatan perkotaan seperti industri, permukiman, perdagangan dan jasa, dan lain sebagainya. Kemampuan lahan sedang menunjukkan bahwa untuk pengembangan kegiatan perkotaan, karakteristik lahannya memungkinkan untuk dikembangkan hanya saja di beberapa bagian membutuhkan suatu rekayasa teknologi, sedangkan kemampuan lahan rendah tidak memungkinkan untuk pengembangan kawasan perkotaan lebih lanjut. 1. Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori tinggi, nilai setiap SKL-nya adalah sebagai berikut : a) SKL Morfologi, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan kemiringan lereng yang baik untuk dikembangkan kegiatan perkotaan, yaitu < 15%; b) SKL Kemudahan Dikerjakan, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan kemudahan lahan untuk digali/dimatangkan dalam proses pembangunan/pengembangan kawasan; c) SKL Kestabilan Lereng, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan tingkat kemantapan lereng dalam menerima beban pada pengembangan wilayah dan kawasan; d) SKL Kestabilan Pondasi, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan tingkat kemampuan lahan dalam mendukung bangunan berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenis-jenis pondasi yang sesuai untuk masing-masing tingkatan;

59 98 e) SKL Ketersediaan Air, harus memiliki nilai tertinggi yang menggambarkan mengetahui tingkat ketersediaan air guna pengembangan kawasan, dan kemampuan penyediaan air masing-masing tingkatan; f) SKL Drainase, harus memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan tingkat kemampuan lahan dalam mematuskan air hujan secara alami, sehingga kemungkinan genangan baik bersifat lokal maupun meluas dapat dihindari; g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan tingkat keterkikisan tanah, tingkat ketahanan lahan terhadap erosi, gambaran batasan pada masing-masing tingkatan kemampuan terhadap erosi, daerah yang peka terhadap erosi dan perkiraan arah pengendapan hasil erosi tersebut pada bagian hilirnya; h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan daerah-daerah yang mampu untuk dialokasikan sebagai tempat penampungan akhir dan pengolahan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair ; i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai sedang-rendah yang menggambarkan tingkat kemampuan lahan dalam meminimalkan dampak bencana alam yang mungkin terjadi.

60 99 Tabel 4.22 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan dengan Daya Dukung Tinggi No Jenis SKL Parameter Total Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan Jenis tanah Skor Lereng (%) Hujan Sungai Lahan 1 Morfologi < Kemudahan Loam, sandy clay loam, - Hutan < 15 - Dikerjakan sandy, clay, silt, silt loam /Pertanian 9 3 Kestabilan Sand, lomy sand, silty clay, - < 15 < 1000 Lereng sandy loam, clay Perkotaan 36 4 Kestabilan Sand, lomy sand, silty clay, - < 15 < 1000 Pondasi sandy loam, clay Perkotaan 45 5 Ketersediaan Sand, lomy sand, silty clay, - Hutan < Air sandy loam, clay /Pertanian 60 6 Drainase <25 Sand, lomy sand, silty clay, Hutan - Rapat sandy loam, clay /Pertanian 60 7 Erosi <15 Loam, sandy clay loam, Pertanian < sandy, clay, silt, silt loam /Hutan 12 8 Pembuangan Sand, lomy sand, silty clay, Pertanian <15 < Limbah sandy loam, clay /Perkotaan 12 9 Bencana Sand, lomy sand, silty clay, Pertanian < 15 < 1000 Rapat Alam sandy loam, clay /Perkotaan 25 Sumber : Hasil Analisa Tahun Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori sedang, nilai setiap SKL-nya adalah sebagai berikut : a) SKL Morfologi, memiliki nilai sedang; b) SKL Kemudahan Dikerjakan, memiliki nilai sedang; c) SKL Kestabilan Lereng, memiliki nilai sedang; d) SKL Kestabilan Pondasi, memiliki nilai sedang; e) SKL Ketersediaan Air, memiliki nilai sedang; f) SKL Drainase, memiliki nilai sedang; g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai sedang; h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai sedang; i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai sedang.

61 100 Tabel 4.23 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan dengan Daya Dukung Sedang No Jenis SKL Parameter Total Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan Jenis tanah Skor Lereng (%) Hujan Sungai Lahan 1 Morfologi 15 - < Kemudahan 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - - Dikerjakan loam /Perkotaan 6 3 Kestabilan Lereng 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - loam 1500 /Perkotaan 24 4 Kestabilan Pondasi 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - loam 1500 /Perkotaan 30 5 Ketersediaan Air 15 - <25 Clay loam, silty clay loam Pertanian 40 6 Drainase 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - loam 1500 /Perkotaan 40 7 Erosi 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - loam 1500 /Perkotaan 24 8 Pembuangan 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian - Limbah loam 1500 /Perkotaan 8 9 Bencana Alam 15 - <25 Clay loam, silty clay Pertanian Sedang loam 1500 /Perkotaan 50 Sumber : Hasil Analisa Tahun Untuk daya dukung pengembangan lahan dengan katagori rendah, nilai setiap SKL-nya adalah sebagai berikut : a) SKL Morfologi, memiliki nilai rendah; b) SKL Kemudahan Dikerjakan, memiliki nilai rendah; c) SKL Kestabilan Lereng, memiliki nilai rendah; d) SKL Kestabilan Pondasi, memiliki nilai rendah; e) SKL Ketersediaan Air, memiliki nilai rendah; f) SKL Drainase, memiliki nilai tinggi; g) SKL terhadap Erosi, memiliki nilai tinggi; h) SKL Pembuangan Limbah, memiliki nilai rendah; i) SKL Bencana Alam, memiliki nilai tinggi.

62 101 Tabel 4.24 Perhitungan SKL untuk Pengembangan Lahan dengan Daya Dukung Rendah Parameter Total No Jenis SKL Kemiringan Curah Kerapatan Penggunaan Jenis tanah Skor Lereng (%) Hujan Sungai Lahan 1 Morfologi > Kemudahan Sand, lomy sand, silty 2 > Perkotaan 3 Dikerjakan clay, sandy loam, clay Loam, sandy clay Kestabilan Lereng > 25 loam, sandy, clay, silt, - Perkotaan silt loam 4 Kestabilan Pondasi > 25 5 Ketersediaan Air < 15 6 Drainase < 15 7 Erosi > 25 8 Pembuangan Limbah > 25 Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Loam, sandy clay loam, sandy, clay, silt, silt loam Sand, lomy sand, silty 9 Bencana Alam > 25 clay, sandy loam, clay Sumber : Hasil Analisa Tahun Hutan /Pertanian 15 < Perkotaan Jarang Perkotaan 20 - Hutan /pertanian 36 - Perkotaan 4 Jarang Perkotaan 75 Berdasarkan hasil penilaian pada tabel-tabel di atas, maka dapat dihitung luasan lahan dengan daya dukung ke 3 (tiga) katagori tersebut dengan bantuan teknik overlay peta-peta SKL bersangkutan, dan secara lebih jelas mengenai luasan lahan dengan daya dukung ke tiga katagori tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.25.

63 102 Tabel 4.25 Total Skor Analisa SKL No. Peta SKL Klasifikasi Nilai Bobot Rendah 1 Total Skor 5 1 Morfologi Sedang Tinggi 3 15 Rendah Kemudahan Dikerjakan Sedang Tinggi 3 9 Rendah Kestabilan Lereng Sedang Tinggi 3 36 Rendah Kestabilan Pondasi Sedang Tinggi 3 45 Rendah Ketersediaan Air Sedang Tinggi 3 60 Rendah Drainase Sedang Tinggi 3 60 Rendah Erosi Sedang Tinggi 3 36 Rendah Pembuangan Limbah Sedang Tinggi Bencana Alam Rendah

64 103 Sedang 2 50 Tinggi 3 75 Sumber : Hasil Analisa, Tahun 2014 No. Tabel 4.26 Analisis Kemampuan Daya Dukung Lahan Daya Dukung Lahan Luas (Ha) Persentase (%) Lokasi (Kecamatan) 1 Pengembangan Tinggi 902,4 32,7 Medan Tuntungan dan Medan Johor 2 Pengembangan Sedang 1.825,5 66 Medan Petisah, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Johor, Medan Tuntungan 3 Pengembangan Rendah 34,01 1,2 Tuntungan, Selayang, Maimun Jumlah : 2.761,9 100 Sumber : Hasil Analisis, Tahun 2014

65 104 Gambar 4.16 Peta Daya Dukung Lahan Pengembangan

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya memertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Administrasi Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan wilayah yang didominasi oleh permukiman, perdagangan, dan jasa. Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota dipengaruhi oleh pertambahan penduduk,

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumber daya alam yang tersedia di bumi. Air memiliki banyak fungsi dalam kelangsungan makhluk hidup yang harus dijaga kelestariannya dan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kabupaten Tabalong merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Tanjung yang mempunyai

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah dan air merupakan sumberdaya alam utama yang mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai sumberdaya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

KONDISI W I L A Y A H

KONDISI W I L A Y A H KONDISI W I L A Y A H A. Letak Geografis Barito Utara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Kalimantan Tengah, berada di pedalaman Kalimantan dan terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada posisi 4 o

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 39 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Deli Serdang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara dan secara geografis Kabupaten ini terletak pada 2º 57-3º

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah dilakukan penelitian dengan mengumpulkan data skunder dari instansi terkait, dan data primer hasil observasi dan wawancara maka dapat diperoleh

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM WILAYAH 40 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH 4.1 Biofisik Kawasan 4.1.1 Letak dan Luas Kabupaten Murung Raya memiliki luas 23.700 Km 2, secara geografis terletak di koordinat 113 o 20 115 o 55 BT dan antara 0 o 53 48 0

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota didefinisikan sebagai living systems yang dibentuk dan dipengaruhi oleh interaksi manusia terhadap lingkungannya (Castells dalam Leitmann; 28: 1999). Pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN 3.1. Tinjauan Umum Kota Yogyakarta Sleman Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta berada di tengah pulau Jawa bagian selatan dengan jumlah penduduk 3.264.942 jiwa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian. Banjir merupakan bencana

BAB I PENDAHULUAN. kota besar yang ada di Indonesia dan banyak menimbulkan kerugian. Banjir merupakan bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang setiap tahunnya dilanda banjir, fenomena tersebut merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan, sebab telah menjadi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-nya Laporan Akhir Kajian Rencana Zonasi Kawasan Industri ini dapat diselesaikan. Penyusunan Laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telukjambe Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telukjambe Timur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan wilayah yang didominasi oleh permukiman, perdagangan, dan jasa. Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota dipengaruhi oleh pertambahan penduduk,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan (illegal logging) di kawasan hulu dari sistem daerah aliran

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah 1. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-3241-1994, membagi kriteria pemilhan loasi TPA sampah menjadi tiga, yaitu: a. Kelayakan regional Kriteria yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI...

BAB II TINJAUAN TEORI... DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... xi BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan dan Sasaran...

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) Artikel OPINI Harian Joglosemar 1 MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011) ŀ Turunnya hujan di beberapa daerah yang mengalami kekeringan hari-hari ini membuat

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 50 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kawasan Perkotaan Purwokerto Kawasan perkotaan Purwokerto terletak di kaki Gunung Slamet dan berada pada posisi geografis 109 11 22-109 15 55 BT dan 7 22

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: HENDRA WIJAYA L2D 307 014 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 i ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Kabupaten Bandung terletak di Provinsi Jawa Barat, dengan ibu kota Soreang. Secara geografis, Kabupaten Bandung berada pada 6 41 7 19 Lintang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI

BAB III TINJAUAN LOKASI BAB III TINJAUAN LOKASI 3.1 Gambaran Umum Kota Surakarta 3.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif Wilayah Kota Surakarta secara geografis terletak antara 110 o 45 15 dan 110 o 45 35 Bujur Timur dan antara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Provinsi DKI Jakarta terletak pada posisi 6 0 12 Lintang Selatan dan 106 0 48 Bujur Timur. Sebelah Utara Propinsi DKI Jakarta terbentang pantai dari Barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

Kata Kunci : Kerentanan, Banjir, Geoekosistem

Kata Kunci : Kerentanan, Banjir, Geoekosistem ANALISIS TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENDEKATAN GEOEKOSISTEM DI SUB DAS BABURA PROVINSI SUMATERA UTARA Oleh : Anik Juli Dwi Astuti, Meilinda Suriani, dan Julismin Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS

Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Irfan Budi Pramono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Email: ibpramono@yahoo.com Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator 32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Daerah Penelitian 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian Daerah yang digunakan sebagai tempat penelitian merupakan wilayah sub DAS Pentung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

0 BAB 1 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

0 BAB 1 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 0 BAB 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis Kota Semarang terletak di pantai utara Jawa Tengah, terbentang antara garis 06 o 50 07 o 10 Lintang Selatan dan garis 110 o 35 Bujur Timur. Sedang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH 3.1. Tinjauan Kondisi Umum Pegunungan Menoreh Kulonprogo 3.1.1. Tinjauan Kondisi Geografis dan Geologi Pegunungan Menoreh Pegunungan Menoreh yang terdapat pada Kabupaten

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Arahan Pemanfaatan Lahan Kritis Pasca Tambang Pasir di Desa Ranji Kulon Kecamatan Kasokandel Agar Dapat Mengembalikan Produktifitas dan Nilai Ekonomis

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13).

KONDISI UMUM. Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Utara, Bogor Selatan, dan Tanah Sareal (Gambar 13). 28 IV. KONDISI UMUM 4.1 Wilayah Kota Kota merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Kota memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 39 BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI 4.1 KARAKTERISTIK UMUM KABUPATEN SUBANG 4.1.1 Batas Administratif Kabupaten Subang Kabupaten Subang berada dalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI Kabupaten Kendal terletak pada 109 40' - 110 18' Bujur Timur dan 6 32' - 7 24' Lintang Selatan. Batas wilayah administrasi Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini akan memberikan gambaran wilayah studi yang diambil yaitu meliputi batas wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu, kondisi fisik DAS, keadaan sosial dan ekonomi penduduk, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci