Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN atau Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) Oleh: Yanto Rochmayanto Ari Wibowo Mega Lugina Tigor Butarbutar Rm Mulyadin Wahyuning Hanurawati I Wayan Susi Dharmawan Koordinator: Retno Maryani

2

3 KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) Oleh: Yanto Rochmayanto Ari Wibowo Mega Lugina Tigor Butarbutar Rm Mulyadin Wahyuning Hanurawati I Wayan Susi Dharmawan Bogor, Desember 2014

4 Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) Pengarah: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Penanggung jawab: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Editor: 1. Yanto Rochmayanto 2. Ari Wibowo 3. Tedy Rusolono Kontributor: Acep Akbar Asef K. Hardjana Dhany Yuniati Dody Prakosa Dony Wicaksono Eko Priyanto Eko Pudjiono Hery Kurniawan Jarot Pandu Mamat Rahmat Nurlita Indah Wahyuni Panji Asmoro Rahimahyuni Fatmi Noor an Sandhy Imam Maulana Sumadi Virni Budi Arifanti ISBN: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau nonkomersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut: Rochmayanto, Y., Wibowo, A., dan Rusolono, T., (Ed.) Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor, Indonesia. Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia Telp/Fax: / website: atau

5 Kata Pengantar Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puja dan puji hanya untuk Allah Tuhan Seru Sekalian Alam, yang telah melimpahkan rahmatnya dalam berbagai bentuk sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas menyusun sintesis penelitian integrative tahun Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan bertanggung jawab atas pelaksanaan 7 (tujuh) RPI yaitu: 1) Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS, 2) Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory), 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. Ketujuh RPI diatas merupakan penjabaran lebih lanjut dari 3 (tiga) tema penelitian (lanskap, perubahan iklim dan kebijakan) dari roadmap penelitian kehutanan Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) telah menghasilkan beberapa output dan outcome berupa poster, prosiding, jurnal, Policy Brief, buku, bahan penyusun SNI Penghitungan Karbon dan rekomendasi kebijakan. Dengan telah tersusunnya Sintesis ini, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Koordinator RPI Yanto Rochmayanto, SHut, MSi, dan Tim Penyusun, Pencermat Bapak Dr Teddy Rusolono, dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi Penelitian beserta staf yang telah memfasilitasi penyusunan Sintesis ini. Semoga Sintesis Rencana Penelitian Integratif ini memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Desember 2014 Dr.Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc NIP Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) iii

6

7 Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pertama-tama sebagai Kepala Badan Litbang Kehutanan, terlebih dahulu saya ingin mengajak semua unsur Badan Litbang Kehutanan untuk senantiasa memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmatnya sehingga Sintesis Penelitian Integratif ini akhirnya selesai setelah perjalanan panjang pelaksanaan penelitian sejak tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mengambil langkah strategis dengan menetapkan Rencana Penelitian Integratif (RPI) , sesuai dengan prioritas kebijakan kementerian dan Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Program Penelitian yang menjadi tanggung jawab Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan (Puspijak) meliputi Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan. Sintesis Penelitian Integratif ini menjadi bagian dari Program- Program tersebut, dan meliputi: 1) Manajemen Lanskap Hutan, 2) Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan, 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, dan 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. Penyusunan Sintesis Penelitian Integratif lingkup Puspijak merupakan bentuk pertanggungjawaban Koordinator dan tim peneliti yang terlibat dalam kegiatan PI yang telah dilaksanakan dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang seluruh Indonesia sejak. Sintesis ini menyajikan ringkasan output dan outcome yang telah dihasilkan dalam bentuk iptek dan inovasi serta rekomendasi kebijakan untuk pengambil keputusan dan praktisi di lapangan, termasuk para pihak yang berkepentingan dengan pembangunan lanskap yang berkelanjutan. Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak atas kerjasama dan dedikasinya untuk penyelesaian penyusunan sintesis penelitian ini. Semoga sintesis ini memberikan manfaat yang optimal dan menjadi acuan atau referensi pembangunan lanskap. Jakarta, Desember 2014 Kepala Badan, Prof Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc NIP Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) v

8

9 Daftar Isi Kata Pengantar...iii Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan... v Daftar Isi... vii Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...xiii Ringkasan Eksekutif... xv Bab 1 Pendahuluan...1 Bab 2 Metode Sintesis Kerangka Konseptual Sintesis Sumber Dokumen Penyusunan Sintesis Prosedur Penyusunan Sintesis... 4 Bab 3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan Review Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan Rekomendasi Sistem Inventarisasi, Monitoring dan Pelaporan GRK Kehutanan...17 Bab 4 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan Persamaan Alometrik Kandungan biomasa dan karbon untuk pengayaan faktor emisi lokal Rekomendasi Teknik Perhitungan Karbon dan Perbaikan Faktor Emisi...56 Bab 5 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan Aplikasi Perhitungan Emisi GRK untuk wilayah Sumatera Aplikasi Template IPCC Guideline 2006 untuk Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan Penentuan Reference Emission Level (REL) Identifikasi Kegiatan-Kegiatan Yang Mengurangi Emisi Karbon Melalui Peningkatan Serapan Karbon Dan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan Kontribusi penurunan emisi sektor kehutanan Rekomendasi...84 Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) vii

10 Bab 6 Penutup Daftar Pustaka...86 Lampiran...99

11 Daftar Tabel 1. Tahapan Kegiatan Penyusunan Sintesa RPI Pengorganisasian monitoring dan pelaporan GRK nasional Kondisi Faktual Monitoring GRK Kehutanan dan Kebutuhan Penyempurnaan Pelaporan Hasil Inventarisasi Gas Rumah Kaca ke Pihak Nasional dan Internasional Pengaturan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim Resume hasil analaisis Structure Conduct Performance Hasil persamaan allometrik untuk perhitungan biomassa pancang Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Alau (Dacridium pectinatum De Laub) Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Bintangur (Calophyllum soulatri) Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Nyatoh (Palaquium cochleria) Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Shorea farvifolia Dyer Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Dipterocarpus kerrii King Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Cotylelobium burckii Hein Fraksi Karbon Organik dari Jenis Shorea farvifolia (MP), Dipterocarpus kerrii (KG) dan Cotylelobium burckii (RK) di Hutan Alam Gambut Perbandingan Kemiripan Model Regresi dari Faktor Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Karbon Analisa regresi biomasa dypterocarpaceae di Kalimantan Persamaan regresi untuk menduga biomasa Hasil Penyusunan Persamaan Penduga Biomassa Atas Tanah Perbandingan Persamaan Terpilih Dengan Berbagai Persamaan Allometrik yang Telah Dipublikasikan Sebelumnya Kandungan karbon pada beberapa type hutan di Sumatera Kandungan Karbon Berdasarkan Carbon Pool pada PSP di HN. Simancuang Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa Perbandingan hasil perhitungan karbon total di Hutan Lindung Sungai Wain dengan interprestasi citra dan pengukuran langsung di lapangan...42 Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) ix

12 24. Rata-rata biomasa dan karbon di lokasi pengukuran Prosentase tiap komponen biomasa terhadap total biomasa Kandungan biomasa dari CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa Potensi stok/simpanan karbon pada KU II Kandungan karbon Eucalyptus alba menurut klasifikasi pool karbon Rekapitulasi Jumlah Kandungan Biomassa dan Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan di Desa Murnaten dan Desa Soya Kapasitas simpanan karbon pada hutan alam Papua Estimasi kandungan karbon berdasarkan data IHMB Estimasi kandungan karbon berdasarkan data IHMB (volume) dengan BEF Kapasitas simpanan karbon pada beberapa type hutan di Papua Barat FE/FS pada berbagai tipe hutan tingkat nasional FE/FS pada kebakaran hutan FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Sumatera FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Kalimantan FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Bali-Nusa Tenggara FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Sulawesi FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Maluku-Papua Perubahan penutupan lahan Indonesia tahun Perubahan tutupan hutan menjadi penutupan lahan lain di Indonesia Perubahan tutupan lahan lain menjadi hutan di Indonesia Pendugaan tingkat serapan dan emisi sektor kehutanan dan lahan gambut Indonesia Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Tingkat Nasional Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Sumatra Selatan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Jawa Timur Ringkasan Potensi Pengurangan Emisi dari Berbagai Kegiatan di Papua Rangkuman Biaya per Kegiatan...82

13 Daftar Gambar 1. Strategi Penelitian RPI 17, Inventarisasi GRK Jumlah dan klasifikasi dokumen sumber sintesis Prosedur systematic review Mekanisme Pusat SIGN untuk inventarisasi GRK nasional Usulan Struktur Pelaksanaan Inventarisasi GRK Sektor Kehutanan Model-model Persamaan Regresi Hubungan Kedalaman Gambut dengan Kadar Karbon Gambut Ekosistem Savana Cadangan biomassa tegakan dipterokarpa dan non dipterokarpa (ton/ha) berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010) Sebaran cadangan biomassa berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010) Ekosistem savanna Eucalyptus alba di Nusa Tenggara Timur Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b) di Desa Murnaten Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b) di Desa Soya Distribusi persamaan alometrik dan kandungan biomasa/karbon hutan dari kontribusi RPI Pola perubahan tutupan hutan menjadi tutupan lain antar periode (kiri) dan kumulatif perubahan luas selama periode analisis (kanan) Kecenderungan luas perkebunan utama di Indonesia Pola perubahan lahan menjadi hutan antar periode (kiri) dan kumulatif perubahan selama periode analisis (kanan) Tingkat emisi rujukan sektor kehutanan dan lahan gambut Indonesia REL menurut pendekatan historical adjusted Komparasi REL menurut pendekatan historis dengan historical adjusted Nilai tengah estimasi penurunan emisi sektor kehutanan tahun Nilai tengah estimasi penurunan emisi Provinsi Sumatera Selatan th Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) xi

14 xii Daftar Gambar

15 Daftar Lampiran 1. Persamaan Allometrik Menurut Bioregion Simpanan Karbon Menurut Bioregion Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) xiii

16

17 Ringkasan Eksekutif Inventarisasi GRK kehutanan memerlukan metode yang akurat dan diakui oleh entitas internasional. Metode tersebut penting untuk memperoleh hasil perhitungan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance). Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah terkait inventarisasi dan monitoring GRK. Salah satu bentuknya adalah kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan gas non-co 2 yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. Berdasarkan hal tersebut, RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan (Inventory) bertujuan untuk menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan GRK kehutanan. Sintesa dilakukan terhadap berbagai dokumen, yaitu: laporan penelitian, skripsi/tesis/ disertasi dari berbagai perguruan tinggi, jurnal dan publikasi ilmiah lainnya, serta dokumen resmi yang dipublikasikan lembaga tertentu. Proses pencarian literatur, seleksi, ekstraksi data, sintesis hasil dan penulisan hasil dilakukan melalui beberapa kegiatan dan pendekatan, yaitu: observasi, desk study, dan Focus Group Discusion. Sintesis dilakukan dengan kombinasi pendekatan meta analysis untuk hasil-hasil penelitian kuantitatif dan meta synthesis untuk hasil-hasil penelitian kualitatif. Meta analysis adalah proses systematic review yang menggunakan teknik agregasi data untuk mendapatkan kekuatan statistika dalam konteks tertentu. Adapun meta synthesis merupakan proses systematic review yang menggunakan teknik integrasi data untuk mendapatkan teori atau konsep baru atau tingkatan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh. Sistem inventarisasi GRK kehutanan yang di dalamnya meliputi organisasi dan tata kerja serta perangkat implementasi inventarisasi GRK, teridentifikasi adanya ketidakseimbangan organisasi tingkat nasional dan sub nasional, overlapping kewenangan, serta ketidaksetaraan tingkat kedetailan data antar daerah. Memperhatikan kondisi di atas, berikut ini beberapa langkah penting yang harus diambil untuk memperbaiki system MRV di Indonesia, yaitu: (1) pada tingkat nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK dapat dilakukan menggunakan pendekatan sektoral, (2) pada tingkat sub nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK menggunakan pendekatan sektoral juga. Jika sektor tertentu di SKPD yang berwenang sudah memiliki kapasitas melakukan inventarisasi GRK maka dapat memperkuat data dan informasi sektoral pada tingkat di atasnya. Namun jika sektor tertentu di SKPD terkait masih memiliki kapasitas yang lemah, maka dapat dibantu oleh sektor di tingkat pusat. (3) Pembentukan satu portal database faktor emisi dan serapan di Indonesia untuk menyatukan semua studi, project dan aktivitas pendataan faktor emisi dan serapan yang tersebar. (4) Melakukan penetapan default value nasional dan sub nasional, (5) KPH dapat dijadikan sebagai unit manajemen yang melakukan kegiatan tersebut. PSP harus dibangun di semua provinsi, kabupaten dan mewakili semua type tutupan hutan. Dan (6) dualisme pelaksana inventarisasi GRK antara KLH dan Bappenas harus diperjelas dalam pembagian kewenangan antara kedua lembaga. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) xv

18 Dalam kerangka perbaikan teknik perhitungan karbon dan faktor emisi kehutanan, RPI 17 telah menghasilkan beberapa informasi penting yang dapat dijadikan acuan di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, yaitu: tambahan database persamaan alometrik pada berbagai ekosistem hutan di Indonesia, kandungan karbon sebagai acuan faktor emisi dan faktor serapan lokal dari berbagai type hutan di Indonesia, persamaan allometrik hutan savanna dan faktor emisi berbagai jenis tanaman dan type hutan dari Indonesia Bagian Timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua). Berdasarkan temuan tersebut dapat direkomendasikan perbaikan faktor emisi dan serapan sebagai berikut: (1) penggunaan tambahan persamaan alometrik untuk tanaman pada ekosistem savanna, (2) penetapan default value FE nasional dan sub nasional dalam pendekatan bioregion, dan provinsi dapat menggunakan FE menurut region yang sesuai (usulan angka default disajikan pada sintesis ini), (3) pengayaan faktor serapan diperlukan untuk menggambarkan riap atau pertumbuhan biomassa tahunan dari setiap tipe hutan, dan (4) masih perlunya pengayaan keterwakilan persamaan alometrik dan cadangan karbon di seluruh Indonesia. Secara spasial, semua pulau besar di Indonesia sudah memiliki keterwakilan alometrik dan informasi kandungan biomasa/karbon hutan. Focus pengayaan kedepan dapat ditujukan ke provinsi yang belum memiliki keterwakilan persamaan alometrik adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara) Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), NTB, Maluku dan Papua Barat. Adapun provinsi yang belum memiliki keterwakilan informasi kandungan biomasa/karbon dari RPI ini adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi bagian Selatan dan Tenggara. Terkait dengan aplikasi teknik perhitungan emisi GRK dapat direkomendasikan beberapa hal, yaitu: (1) data aktivitas dan FE/FS masih diperlukan upaya pelengkapan data secara detail untuk: data faktor emisi pada tanah, jenis dan volume kayu bakar, data illegal logging, serangan hama penyakit, dan pemanenan hutan, (2) metode perhitungan REL tingkat nasional cukup menggunakan historical based karena lebih sederhana, lebih murah, dan tidak berbeda nyata dengan metode historical adjusted dalam menghasilkan estimasi penurunan emisi, dan (3) Indonesia bisa memfokuskan kegiatan penurunan emisi kepada 5 aktivitas, yaitu: rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian perambahan, pembangunan HKm, restorasi ekosistem, dan pengendalian konversi hutan. Perhitungan emisi dari sektor LULUCF pada umumnya memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi karena kurangnya data serta penggunaan data default yang berbeda dengan kondisi sebenarnya. Berbagai pihak telah banyak melakukan penelitian, namun karena belum terintegrasi dengan baik, maka sintesis lanjutan dalam scope yang lebih luas sangat dibutuhkan. Selain itu diperlukan kerjasama dengan organisasi litbang lain untuk melakukan penelitian terkait data lokal, misalnya data pertumbuhan untuk masing-masing jenis, hutan dan jenis hutan tanaman, BEF, berat jenis, dan lain-lain. Bagi kepentingan pengayaan data, penting juga dilaksanakan kerjasama/koordinasi dengan insititusi yang telah atau akan membangun PSP agar penempatan PSP dilakukan pada lokasi-lokasi yang dapat merepresentasikan tipe tutupan hutan yang ada di daerah. xvi Ringkasan Eksekutif

19 Bab 1 Pendahuluan Kehutanan yang termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK), karena memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan bahwa kontribusi sektor LULUCF sebesar 18%, sedangkan di Indonesia Second National Communication melaporkan LULUCF sebesar 48%. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat menetukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission). Inventarisasi GRK kehutanan memerlukan metode yang akurat dan diakui oleh entitas internasional. Metode tersebut penting untuk memperoleh hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance). Seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC menggunakan metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change). Negara Non- Annex 1 (negara berkembang) dapat menggunakan panduan IPCC 1996 edisi revisi, sementara negara Annex 1 (negara maju) sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF GPG Meskipun demikian, negara non-annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL). Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stock karbon (carbon pool) yang relevan, serta gas non CO 2 (berdasarkan analisis key source/ sink category). Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi berbagai masalah terkait inventarisasi dan monitoring GRK. Salah satu bentuknya adalah kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan gas non-co 2 yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 1

20 RPI Pengembangan Perhitungan GRK Kehutanan (Inventory) yang dilaksanakan tahun bertujuan untuk menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan, dengan sasaran yang ingin dicapai adalah : 1. Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, sistem monitoring dan pelaporan nasional, estimasi pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas, serta estimasi kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%. 2. Pengembangan teknik perhitungan karbon untuk perbaikan factor emisi dan serapan untuk berbagai jenis vegetasi dan type hutan. 3. Pengujian aplikasi metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL). Sintesis ini disusun untuk merangkai hasil-hasil penelitian terkait perhitungan emisi GRK kehutanan sampai tahun 2012 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan. Melalui sintesa ini diharapkan dapat menemukan bentuk baru temuan penelitian yang terpecah dalam berbagai aspek, serta menyatukan unsur-unsur penting penelitian yang terpencar ke dalam unit komprehensif dan cara pandang holistik. Sintesis terdiri atas 6 bab. Bab I berisi tentang latar belakang pentingnya pengembangan perhitungan emsisi GRK kehutanan dan tujuan penyusunan sintesa. Bab II berisi tentang metode penyusunan sintesa. Bab III Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan, yang mencakup review system inventarisasi GRK kehutanan, kebutuhan system inventarisasi dan monitoring GRK kehutanan, dan rekomendasi system inventarisasi, monitoring dan pelaporan GRK kehutanan. Bab IV berisi teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk kehutanan, mencakup hutan alam dan hutan tanaman baik lahan mineral maupun gambut. Bab ini menampilkan temuan persamaan alometrik dan factor emisi (kandungan biomasa/karbon) pada berbagai ekosistem hutan dan jenis tanaman. Bab V adalah aplikasi teknik perhitungan emisi GRK kehutanan, yang meliputi aplikasi perhitungan emisi GRK kehutanan dengan IPCC GL di berbagai wilayah dan penentuan tingkat emisi rujukan (REL) sektor kehutanan. Bab VI Penutup yang berisi rumusan temuan penting sintesa dan implikasinya bagi kebijakan, operasional dan riset lanjutan. 2 Pendahuluan

21 Bab 2 Metode Sintesis 2.1 Kerangka Konseptual Sintesis Sintesis Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) merupakan sebuah review untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan utama, yaitu: (1) bagaimana perbaikan system inventarisasi GRK kehutanan, (2) bagaimana perbaikan perhitungan karbon untuk pengayaan faktor emisi dan serapan, dan (3) bagaimana perhitungan emisi menurut IPCC GL diaplikasikan di Indonesia. Sintesis dilakukan untuk merekonstruksi masalah tersebut didasarkan atas rangkaian hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan selama tahun , ditambah dengan sumber lain yang relevan. Sintesis dilakukan dari berbagai tema, antara lain: metode inventarisasi GRK yang berlaku, mekanisme pengurangan emisi GRK dari berbagai cara, kapasitas simpanan karbon pada berbagai type hutan, metode IPCC GL, dan metode penyusunan REL (Gambar 1). Kajian inventarisasi GRK kehutanan 1. Kajian metode inventarisasi (Institusi dan Data Kegiatan, monitoring dan pelaporan) 2. Kajian penggunaan faktor emisi dan serapan 3. Kajian mekanisme pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas 4. Kajian penurunan emisi 26 % 5. Kajian Template IPCC GL Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman) Sintesis untuk memberikan landasarn ilmiah perbaikan inventarisasi GRK Kehutanan Aplikasi Perhitungan emisi GRK 1. Hutan alam gambut 2. Hutan alam mineral 3. Hutan tanaman gambut 4. Hutan tanaman mineral 1. Metode IPCC untuk lokasi Sumatera 2. Metode REL Gambar 1. Strategi Penelitian RPI 17, Inventarisasi GRK Seluruh hasil penelitian sebagaimana tersebut di atas kemudian dikompilasi, diurai dan ditemukan temuan-temuan penting, serta disusun sintesis dari temuan-temuan Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 3

22 tersebut. Sintesis dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai hasil penelitian yang berada di dalam koordinasi RPI 17 sebagai elemen RPI sehingga dihasilkan temuan riset yang utuh, selain sumber lain diluar hasil penelitian RPI yang relevan dengan pertanyaan utama yang akan dijawab. 2.2 Sumber Dokumen Penyusunan Sintesis Sintesa dilakukan terhadap 135 dokumen, baik berupa laporan penelitian, skripsi/ tesis/disertasi dari berbagai perguruan tinggi, jurnal dan publikasi ilmiah lainnya, serta dokumen resmi yang dikeluarkan lembaga untuk dipublikasikan. Laporan penelitian berasal dari berbagai penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan project lain yang dilaksanakan di Indonesi (seperti FCPF, UNREDD, DA, dll). Gambar 2. Jumlah dan klasifikasi dokumen sumber sintesis 2.3 Prosedur Penyusunan Sintesis Sintesis merupakan konjungsi dari paket review literatur tertentu untuk mengintegasikan berbagai penelitian empiris dalam upaya menemukan generalisasi (Cooper and Hedges, -). Sintesis dilakukan dengan pendekatan systematic review, yaitu sebuah metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menghasilkan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang (Siswanto, 2010). Prosedur sintesis dilakukan dalam tahapan sebagaimana Gambar 3. Proses pencarian literatur, seleksi, ekstraksi data, sintesis hasil dan penulisan hasil dilakukan melalui beberapa kegiatan dan pendekatan, antara lain : observasi dan klarifikasi, desk study serta Focus Group Discusion. Kendali mutu dilakukan melalui review oleh mitra bestari (FGD) (Tabel 1). Proses sintesis itu sendiri dilakukan dengan kombinasi pendekatan meta analysis untuk hasil-hasil penelitian kuantitatif dan meta synthesis untuk hasil-hasil penelitian kualitatif. Meta analysis adalah proses systematic review yang menggunakan teknik agregasi data untuk mendapatkan kekuatan statistika dalam konteks tertentu. Adapun meta synthesis 4 Metode Sintesis

23 merupakan proses systematic review yang menggunakan teknik integrasi data untuk mendapatkan teori atau konsep baru atau tingkatan pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh. (Perry and Hamond, 2002). Formulasi masalah Pencarian literatur Seleksi hasil penelitian yang relevan Mengembangkan protokol, Membuat batasan pencarian Inklusi dan eksklusi berdasarkan pertanyaan penelitian dan kualitas Ekstraksi dari data studi Sintesis hasil Pendekatan meta analysis Pendekatan meta synthesis melalui meta agregation Penyajian hasil Sumber: Siswanto 2010 dan Cooper & Hedges Gambar 3. Prosedur systematic review Tabel 1. Tahapan Kegiatan Penyusunan Sintesa RPI Kegiatan Luaran Metode pelaksanaan kegiatan 1. Identifikasi dan pengumpulan sumber hasil penelitian 2. Studi dokumentasi dan review literature 3. Kompilasi, analisis komparasi dan analisis deskriptif 4. Penyusunan, pembahasan dan pencermatan draft sintesa 5. Perumusan, penyusunan dan finalisasi sintesa Terkumpulnya LHP dari berbagai UPT Laporan studi dokumentasi dan review literature Draft 0 sintesa hasil penelitian Draf 1 sintesa hasil penelitian Draf final sintesa untuk dideliver ke pencetakan di Bidang PDTL Koordinasi dengan para peneliti di daerah, observasi dan klarifikasi Desk study Desk study FGD, review mitra bestari Desk study Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 5

24

25 Bab 3 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan 3.1 Review Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan Prinsip-prinsip MRV dalam Inventarisasi GRK Kehutanan Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan yang dimaksud merupakan tata hubungan antar komponen yang saling terkait satu sama lain untuk melaksanakan inventarisasi GRK pada bidang kehutanan dan lahan gambut. Kedudukan GRK sektor kehutanan merupakan bagian dari GRK sektor LULUCF, yang pada prakteknya inventarisasi GRK pada bidang kehutanan dan lahan gambut juga memasukkan aktivitas land use change. Inventarisasi berfungsi untuk mengukur sediaan (stock) karbon pada waktu tertentu, jumlah serapan serta jumlah emisi karbon pada periode waktu tertentu. Pengukuran dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur baku secara nasional serta sesuai dengan standar internasional. IPCC merekomendasikan 2 metode pengukuran, yaitu menggunakan pendekatan (a) perbedaan sediaan (stock difference) dan (b) metode Gain-loss. Pendekatan Gain-Loss adalah pendekatan berbasis proses (process-based method), dimana pertumbuhan akan diberi nilai karbon (+) positif dan pembusukan diberi nilai (-) negative. Dengan tanda positif akan berarti penambahan cadangan karbon, sebaliknya negatif akan menjelaskan tentang pengurangan cadangan karbon. Dalam metode berbasis-sediaan (stock based method), yaitu perbedaan stok (stock difference), pengukuran karbon dilakukan di awal dan di akhir periode. Perubahan cadangan karbon diperoleh melalui selisih cadangan karbon waktu terakhir terhadap waktu sebelumnya untuk setiap unit waktu tertentu. Prinsip-prinsip MRV dalam inventarisasi GRK adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan remote sensing dan terestris dengan hasil yang teliti tetapi ekonomis. Perhitungan emisi pada REDD+ didasarkan pada data perubahan penggunaan lahan (activity data) yang diturunkan menggunakan data penginderaan jauh (remote sensing) dan pengukuran karbon secara detail di lapangan melalui National Forest Inventory (NFI) untuk menghitung faktor emisi. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 7

26 2. Menggunakan kategori penggunaan lahan yang sesuai dengan IPCC Guidelines terbaru (2006) (IPCC GL 2006), AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use). LULUCF IPCC Good Practice Guidance tahun 2003 (LULUCF IPCC GPG 2003) dan GL 2006, membagi kelas tutupan lahan menjadi 6 kategori, yaitu : a. Lahan hutan (Forest Land). Kategori ini mencakup semua lahan yang bervegetasi kayu, yang konsisten dengan kategori yang digunakan dalam mendefinisikan lahan hutan pada inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kategori ini juga termasuk lahan yang vegetasi pohonnya sudah sangat jarang dan dalam kondisi rusak, tetapi mempunyai potensi untuk kembali mencapai menjadi hutan dengan nilai ambang batas yang didefinisikan untuk penentuan GRK. b. Lahan pertanian (Cropland). Kategori ini mencakup lahan pertanian yang mencakup sawah, agro-forestry (tumpang sari), dimana struktur vegetasinya sangat rendah dibandingkan dengan vegetasi hutan. c. Alang-alang/padang rumput (Grassland). Kategori ini mencakup tutupan padang penggembalaan dan padang rumput yang tidak termasuk sebagai lahan pertanian. Kondisi vegetasinya sangat jarang. Untuk vegetasi bukan rumput seperti perdu/ semak dan belukar dikelompokkan pada kategori ini. Kategori ini juga mencakup semua rumput dari lahan-lahan yang ada di areal rekreasi serta sistem pertanian dan silvo-pastural serta konsisten dengan definisi nasional. d. Lahan basah (wetlands). Adalah kategori yang mencakup padang penggembalaan ternak dan padang rumput. Kategori ini mencakup areal gambut dan lahan yang tergenang air atau jenuh oleh air sepanjang tahun atau yang bersifat sementara (musiman) (misalnya: lahan gambut), yang tidak dikategorikan sebagai hutan, lahan pertanian, alang-alang atau kategori permukiman. Kategori ini termasuk waduk dan danau. e. Permukiman (settlement). Kategori mencakup semua lahan terbangun termasuk infrastruktur transportasi dan kawasan permukiman dengan berbagai ukuran, kecuali yang sudah termasuk dalam kategori lainnya. Hal ini harus konsisten dengan definisi penggunaan lahan nasional. f. Lahan lainnya (other land). Kategori ini mencakup lahan-lahan gundul, batu, es, dan semua lahan lainnya yang tidak termasuk ke salah satu dari lima kategori lainnya. Hal ini memungkinkan total lahan dapat teridentifikasi. Jika data tersedia, negara-negara didorong untuk mengklasifikasikan lahan-lahan terlantar menggunakan kategori yang telah digunakan untuk meningkatkan transparansi serta meningkatkan kemampuan dalam melacak penggunaan lahan serta konversi dari setiap penggunaan lahan. 8 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

27 3. Pertimbangan 5 tampungan karbon (carbon pools) yang mencakup (a) biomas di atas permukaan tanah (above ground biomass: pool 1), (b) biomas di bawah permukaan tanah (below ground biomass: pool 2), (c) biomas dalam batang/cabang/ranting yang mati (dead wood/nekromasa: pool 3), (d) biomas dalam tanah (soil: pool 4) dan biomas pada serasah (litter: pool 5) Dasar Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Tujuan utama dari UNFCCC (United National Framework Convention on Climate Change- Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim) adalah untuk mencapai stabilisasi konsentrasi ga-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Konvensi tidak mendefinisikan secara spesifik seberapa besar tingkat membahayakan, kapan periode waktu untuk melakukan aksi mitigasi tersebut. Tetapi konvensi menyebutkan bahwa tingkat stabilisasi harus dicapai dalam periode waktu yang mencukupi: 1. Bagi ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim 2. Untuk menjamin produksi pangan tidak terancam dan 3. Untuk membangun ekonomi secara berkelanjutan Indonesia telah meratifikasi konvensi pada Agustus 1994 melalui UU no 6/1994 tentang Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Sebagai pihak penandatangan konvensi, Indonesia terikat pada komitmen yang disepakati dalam konvensi, dan berkomitmen untuk menyusun komunikasi nasional yang berisi tentang inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkah-langakh yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi (adaptasi dan mitigasi), dan informasi lainnya yang relevan dengan pencapaian tujuan konvensi. Kesepakatan para pihak untuk inventory GRK adalah : 1. Para pihak setuju untuk membangun, mengupdate secara periodik, menyediakan inventarisasi emisi nasional menurut sumber (source) dan rosot (sink) untuk semua jenis gas yang tidak diatur dalam Protokol Montreal, dengan menggunakan metodologi yang dapat diperbandingkan yang disetujui oleh para pihak (UNFCCC, 1992). 2. Metodologi yang dapat diperbandingkan ialah metode-metode yang disusun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Sistem monitoring dan pelaporan emisi GRK nasional yang dimaksud adalah sebuah mekanisme yang dirancang secara nasional untuk melakukan pemantauan dan pengumpulan data aktivitas sumber emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon, penetapan faktor emisi dan faktor serapan, serta penghitungan emisi dan serapan GRK. Berdasarkan Perpres No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, system Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 9

28 inventarisasi ini bertujuan untuk menyediakan: (1) informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, dan (2) informasi pencapaian penurunan emisi GRK dari kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional. Sektor yang diberikan kewajiban adalah : pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energy dan transportasi, industry, dan pengelolaan limbah. Jenis GRK yang harus diinventarisir adalah: karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitro oksida (N 2 O), dinitro oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF 6 ). Dasar penyelenggaraan inventarisasi GRK adalah : 1. Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU 6/1994, yang mewajibkan Indonesia untuk melakukan pelaporan melalui dokumen komunikasi nasional (national communication/natcom; pasal 12 Konvensi) yang salah satunya berisi tentang Inventarisasi GRK nasional. 2. Pasal 65 ayat (3) huruf a, UU nomor 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika: untuk perumusan kebijakan perubahan iklim, dilakukan inventarisasi emisi GRK 3. UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi emisi GRK (pasal 63). Berdasarkan landasan yuridis tersebut sudah cukup kuat bagi semua sektor di tingkat nasional, dan pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten untuk melakukan inventarisasi GRK. Namun proses inventarisasi saat ini baru berjalan di tingkat nasional dan provinsi dengan berbagai keperluan penyempurnaan, sedangkan inventarisasi di tingkat kabupaten belum dapat dijalanakan Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan Organisasi dan Tata Kerja Penanggung jawab sistem inventarisasi di tingkat nasional adalah Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga struktur penanggung jawab di tingkat sub nasional adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Kabupaten (Gambar 4). Proses inventarisasi dan perhitungan dilakukan secara berjenjang oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah dan dikompilasi dengan hasil inventarisasi Dinas terkait. Kementerian Lingkungan Hidup berkewajiban menyusun Laporan Komunikasi Nasional Perubahan Iklim dan disampaikan kepada Perwakilan Pemerintah sebagai National Focal Point pada UNFCCC. System inventarisasi GRK ini merupakan system yurisdiksi. 10 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

29 Pendekatan Top Down Kementerian/ Lembaga (K/L) Kem-LH SIGN GUBERNUR Laporan Inventarisasi GRK Kemdagri Laporan Inventarisasi GRK BLHD Tingkat Propinsi Dinas Tingkat Propinsi Dinas Tingkat Propinsi Laporan Inventarisasi GRK BLHD Kab/ Kota Pendekatan Bottom up Dinas Kab/Kota Dinas Kab/Kota Data Aktivitas Data Aktivitas Data Aktivitas Data Aktivitas Sumber: Kementerian LH, 2012a Gambar 4. Mekanisme Pusat SIGN untuk inventarisasi GRK nasional Dalam hal monitoring dan pelaporan, Tabel 2 berikut ini adalah pembagian kewenangan dari pengorganisasian di tingkat nasional. Produk sistem inventarisasi kombinasi yurisdiksi-sektoral tersebut menghasilkan dualisme laporan GRK nasional. Pertama adalah Laporan Komunikasi Nasional berdasarkan kalkulasi emisi GRK menurut Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK. Namun demikian, karena pola ini berupa pola bottom up maka memerlukan waktu yang sangat lama. Dengan demikian kemudian diinisiasi untuk dilakukan penyusunan Laporan Komunikasi Nasional melalui pendekatan top down. Implikasinya adalah ketika hasil kalkulasi emisi nasional kedua pendekatan tersebut diperbandingkan diperoleh angka yang berbeda secara signifikan dan memerlukan konsolidasi ulang terhadap perhitungan emisi nasional. Perhitungan emisi melalui RAD masing-masing provinsi dilakukan secara terpisah. Sebagai contoh penghitungan emisi khusus sektor kehutanan di Provinsi Sulawesi Tengah yang telah dilakukan penyesuaian dengan menggunakan rasio proporsi lahan hutan dan kepadatan penduduk adalah sebesar ton C/tahun atau setara dengan ton CO2-eq/tahun (Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah, 2012). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 11

30 Tabel 2. Pengorganisasian monitoring dan pelaporan GRK nasional No. Lembaga Kewenangan 1 Kementerian PPN/ Bappenas 2 Kementerian Lingkungan Hidup 3 Kementerian Dalam Negeri 4 Kementerian Kehutanan (dan kementerian teknis lainnya) 5 Dewan Nasional Perubahan Iklim Melakukan koordinasi rencana kegiatan pembangunan termasuk kegiatan inventarisasi gas rumah kaca. Koordinasi penelaahan dan pembahasan hasil laporan propinsi dibantu oleh Sekretariat RAN GRK. KLH melakukan koordinasi inventarisasi GRK untuk mengetahui tingkat status dan perubahan emisi. Mengembangkan Sistem Iinventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) Melakukan koordinasi pemantauan dan evaluasi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) terkait kegiatan RAD GRK. Koordinasi mengenai methodology perhitungan sehingga perhitungan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal dan sesuai dengan yang digariskan oleh UNFCCC. Sebagai focal point DNPI melakukan koordinasi national communication mengenai pencapaian RAN/RAD GRK sebagai sumber negosiasi 6 Pemerintah Daerah Gubernur mengkoordinasikan inventarisasi GRK di Provinsi Bupati/Walikota melakukan inventarisasi GRK tingkat kabupaten/kota 7 Badan Pengelola REDD Focal point rencana aksi dan implementasi REDD+ di Indonesia Nilai ini berada di atas kuota emisi yang dihitung oleh Kementerian Kehutanan yaitu sebesar CO2-eq pada tahun Perhitungan emisi GRK di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan metode historical based di mana perhitungan GRK sektor kehutanan pada tahun 2010 sebesar ton CO2e atau terjadi penyerapan emisi (net sinker). Sementara proyeksi emisi pada tahun 2020 dengan skenario BAU dibuat dengan mempertimbangkan pertumbuhan penduduk berdasarkan historical trend sebesar 3.83% diperoleh nilai tengah sebesar ton CO2e. Sementara kuota emisi berdasarkan perhitungan Kementerian Kehutanan pada tahun 2020 Provinsi Jawa Tengah berkewajiban menurunkan emisinya sebesar CO2e. Ketiga kabupaten lokasi penelitian belum melakukan inventarisasi GRK kehutanan. Akan tetapi persiapan-persiapan yang diperlukan untuk pelaksanaan inventarisasi mulai dipersiapkan. Pelaksanaan inventarisasi dengan pola yurisdiksi ini mengutamakan laporan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah, sementara peran Unit Pelaksana Teknis (UPT) kementerian terkait belum dilibatkan dalam inventarisasi. Sebagai contoh berbagai data dari IHMB (Inventarisasi Hutan Menyeluruh dan Berkala) yang dikoordinasikan oleh BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan), data potensi hutan IPUHHKA maupun IUPHHKHT yang dikoordinir oleh BP2HP (Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan 12 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

31 Produksi), serta data lainnya tidak digunakan sebagai sumber inventarisasi oleh Bappeda. Hal tersebut menunjukkan pola koordinasi di tingkat tapak tidak terjalin dengan baik dalam system inventarisasi GRK. Kedua adalah laporan Second Nasional Communication (SNC) menghasilkan perhitungan emisi menurut asumsi nasional dan kompilasi secara sektoral di tingkat nasional. Sistem inventarisasi menurut Perpres 71/2011 tersebut juga memberikan tugas terhadap kementerian terkait, sehingga secara sektoral juga melakukan inventarisasi GRK. Hasil perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup tahun menunjukkan bahwa emisi dari kehilangan biomasa terkait deforestasi diprediksi konstan pada rate 0,898 Gt CO 2 /thn. Sementara, rate sekuestrasi diasumsikan meningkat dari 0,505 Gt CO 2 /thn pada tahun 2005 menjadi 0,753 Gt CO 2 /thn pada tahun Peningkatan sekuestrasi tersebut merupakan hasil regenerasi hutan sekunder, rehabilitasi lahan (afforestasi dan reforestasi) serta pertumbuhan vegetasi berkayu. Pada sektor kehutanan, inventarisasi GRK masukkan ke dalam program Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory - NFI). Direktorat Jenderal Planologi adalah Eselon I yang secara operasional mendapat tugas untuk menyiapkan data aktivitas, NFI, dan klasifikasi penggunaan lahan. Salah satu kelemahan NFI adalah belum memasukkan semua pool karbon, karena NFI dirancang untuk keperluan inventarisasi potensi tegakan hutan, bukan inventarisasi biomasa/karbon hutan. Saat ini terdapat beberapa prakondisi yang dapat dijadikan modal untuk menuju perbaikan system inventarisasi GRK kehutanan ( Jaya dan Saleh, 2011), antara lain sebagai berikut: 1. Pengumpulan data biomassa dari kawasan hutan telah dilakukan melalui beberapa kegiatan rutin, di antaranya adalah inventarisasi hutan nasional (National Forest Inventory/NFI), pembuatan plot ukur permanen (Permanent Sample Plot/PSP) dan plot ukur sementara (temporary sample plot/tsp) oleh pihak swasta, Litbang, Demonstration Activity (DA), inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB), Inventarisasi tegakan sebelum penebangan serta data clearing house 2. Rancangan penerapan Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) 3. Pengukuran karbon oleh DA [MRPP, Ulumasen, Meru Betiri, Berau, ALREDDI] 4. Web GIS kehutanan sudah terbangun, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal 5. IDSN sedang dibangun [Bakosurtanal] 6. Penutupan lahan telah dapat diupdate setiap 3 thn [1990, 1996, 2000, 2003, 2006, 2009], sehingga peta tematik kehutanan telah tersedia secara periodik 7. Data-data lain yang telah tersedia adalah: Data statistik kehutanan, Neraca Sumber Daya Hutan (NSDH), data hasil inventarisasi hutan. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 13

32 Perangkat implementasi inventarisasi GRK Perangkat implementasi inventarisasi GRK meliputi Monitoring, Reporting dan Verification. Monitoring mencakup segala bentuk tindakan pengumpulan data, pengukuran, perhitungan dan analisis, manajemen data serta data sharing. Reporting mencakup prosedur pelaporan, jenis dan elemen yang dilaporkan, kewenangan lembaga pelapor serta lembaga yang menerima laporan. Adapun verification mencakup upaya melakukan validasi data dan informasi yang dilaporkan, validasi dapat dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal. Elemen monitoring disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diulas mengenai basis data, teknik pengukuran, dan metode perhitungan pada kondisi faktual dan kebutuhan penyempurnaannya. Tabel 3. Kondisi Faktual Monitoring GRK Kehutanan dan Kebutuhan Penyempurnaan Komponen Monitoring Kondisi Faktual Kebutuhan Penyempurnaan Basis data Base year nasional adalah , sementara base year sektor kehutanan diusulkan Sampai saat ini belum ada kesepakatan penggunaan base year untuk perhitungan REL Data aktivitas mengandalkan cita satelit, kombinasi dengan ground check (dalam bentuk PUP pada NFI) Pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten) banyak menggunakan data aktivitas dan FE dari data nasional Kemenhut, kecuali daerah-daerah yang menjadi lokasi project tertentu. Banyaknya penyedia data potensial : operator tanaman, organisasi industry, lembaga/badan lingkungan, badan statistic nasional, lembaga internasional, peneliti dan akademisi, literature, inventori lainnya. Telah memiliki SNI 7724 dan 7725/2011, berlaku nasional Nilai fraksi karbon belum berdasarkan data local, masih menggunakan data default IPCC NFI tidak dirancang untuk inventarisasi GRK kehutanan, saat ini dikembangkan untuk digunakan sebagai sumber data penghitungan biomasa/karbon hutan Ditjen Planologi sesegera mungkin melakukan konsolidasi internal dan konsolidasi dengan KLH Meng-up grade NFI sehingga sesuai dengan kebutuhan data pemantauan biomasa hutan Puspijak (Badan Litbang Kehutanan) segera menetapkan default nasional dan sub nasional sebagai acuan semua entitas. Organisasi penyedia jasa potensial dapat dilibatkan secara partisipatif Harus dipastikan bahwa SNI 7724 dan 7725/2011diaplikasikan pada setiap PUP yang dibangun Melakukan penelitian fraksi karbon secara langsung terhadap berbagai spesies kayu di Indonesia yang belum diketahui fraksi carbonnya Melakukan improvement pada proses pengukuran PUP pada NFI Mengukur karbon pada 5 pool karbon 14 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

33 Komponen Monitoring Teknik pengukuran biomasa/ karbon hutan Metode perhitungan Kondisi Faktual Pool karbon yang diukur sangat bervariasi, sebagian besar above ground biomass, sebagian kecil lengkap meliputi semua carbon pool Pengukuran PUP yang berkelanjutan masih menjadi issu lokal, pembiayaan masih menjadi tantangan utama Perhitungan deforestasi dan degradasi hutan difokuskan di kawasan hutan, bukan pendekatan tree cover lost Kegiatan yang dihitung pada inventarisasi GRK nasional: menggunakan data perubahan tutupan lahan hasil interpretasi Ditjen Planologi Kehutanan Belum memperhitungkan kapasitas konservasi untuk dasar perhitungan insentif tanpa additionality Terdapat 3 metode perhitungan REL: historical, historical adjusted, dan forward looking Estimasi emisi menggunakan pendekatan stock different, belum menggunakan gain loss Kebutuhan Penyempurnaan Mencari pembiayaan PUP di daerah dari sumber non APBD yang tidak mengikat Perlu menetapkan terminology deforestasi dan degradasi sehingga diakui legitimasinya lintas sektoral, bukan hanya sektor kehutanan saja Data deforestasi dan degradasi hasil interpretasi citra harus di-cross check dengan data aktivitas/kegiatan dari eselon I teknis untuk meningkatkan akuasi Konsep additionality pada areal konservasi perlu ditinjau ulang untuk dilebur, basis perhitungan insentif dapat menggunakan pendekatan opportunity cost Tingkat nasional menggunakan metode historical, tingkat sub nasional menggunakan metode historical, adjusted, atau forward looking Perbaikan perhitungan menjadi gain loss method membutuhkan kelengkapan data, waktu, biaya, sumberdaya manusia, dan metode yang digunakan konsistensi. Tingkat kedetaian untuk nasional cukup tier 2, untuk sub nasional bisa tier 3 Terkait elemen pelaporan, dari Tabel 4 dapat dilihat informasi apa saja yang harus dielaborasi dalam laporan-laporan terkait inventarisasi GRK baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Untuk laporan ke pihak internasional baik BUR maupun komunikasi nasional terlihat terdapat beberapa hal yang harus dilaporkan, sedangkan pada laporan di tingkat nasional tidak dilaporkan yaitu detail pelaksanaan inventarisasi itu sendiri, metodologi, asumsi-asumsi yang digunakan, serta hambatan-hambatan dalam penyelenggaraan inventarisasi GRK. Sementara untuk pelaporan di tingkat nasional dari Lampiran 1 dan Lampiran 2 dapat dilihat bahwa pada intinya informasi terkait inventarisasi GRK yang disajikan dalam laporan inventarisasi GRK kepada Kementerian LH dengan laporan RAD-GRK/RAN GRK adalah serupa. Lembaga pelapor di tingkat nasional terjadi dualisme antara KLH (menjalankan PP no 71/2011) dan Bappenas (menjalankan PP no 61/2011). Dalam konteks pelaporan ini, Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 15

34 Bappenas menempati posisi yang benar jika mengambil sumber dari hasil inventarisasi KLH, Kementerian/Lembaga teknis terkait dan Pemerintah Daerah. Jika Bappenas melakukan atau mengkoordinir pelaksanaan inventarisasi kendati terkait pelaksanaan RAN GRK, maka Bappenas menyalahi kewenangan KLH. Selain itu, kejelasan laporan estimasi emisi harus mendapatkan kejelasan untuk berbagai skema yang tersedia. Pertanyaan pentingnya antara lain: 1. Apakah laporan penurunan emisi yang dicapai Indonesia sudah jelas batasnya antara hasil performance domestic dan bantuan internasional 2. Apakah laporan penurunan emisi yang dicapai Indonesia telah dibagi dengan jelas antara RAN, REDD+, pasar karbon atau dengan skema laiinya. Adapun terkait verifikasi, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 15 tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim (Tabel 5). Peraturan Menteri LH ini memberi arah yang lebih jelas terhadap elemen monitoring dan reporting, namun belum cukup memberikan arahan bagi elemen verifikasi, khususnya komponen pelaksana dan persyaratannya. Tabel 4. Pelaporan Hasil Inventarisasi Gas Rumah Kaca ke Pihak Nasional dan Internasional Unsur Pelaporan Inventarisasi GRK RAD RAN Biennial Update Report (BUR) Komunikasi Nasional Periode pelaporan 1 tahun sekali 1 tahun sekali 1 tahun sekali 2 tahun sekali 4 tahun sekali Pemberi laporan Bupati/ Gubernur/ KLTerkait Gubernur Kementerian/ Lembaga Terkait Negara Negara Penerima laporan KLH Bappenas Bappenas UNFCCC UNFCCC Kegiatan yang dilaporkan Informasi berkala status dan tren emisi dan serapan GRK termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten Rencana kerja kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai dengan target pembangunan daerah Rencana kerja pelaksanaan kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK sesuai target pembangunan nasional Informasi status nasional dan pengaturan kelembagaan untuk persiapan komunikasi nasional; Pelaksanaan inventarisasi nasional; Informasi kegiatan mitigasi dan kontribusi penurunan emisi (metodologi dan asumsi) Informasi status nasional dan pengaturan kelembagaan untuk persiapan komunikasi nasional; Pelaksanaan inventarisasi nasional; Informasi kegiatan mitigasi dan kontribusi penurunan emisi (metodologi dan asumsi) 16 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

35 Unsur Pelaporan Inventarisasi GRK RAD RAN Biennial Update Report (BUR) Komunikasi Nasional Informasi pencapaian penurunan emisi GRK dan kegiatan mitigasi perubahan iklim nasional Hambatan dan kebutuhan teknis dan peningkatan kapasitas, Informasi bantuan yang diperoleh untuk penyusunan BUR; Informasi laporan pengukuran domestik dan verifikasi Hambatan dan kebutuhan teknis dan peningkatan kapasitas, Informasi bantuan yang diperoleh untuk penyusunan BUR; Informasi laporan pengukuran domestik dan verifikasi Sumber: Panduan Teknis Penghitungan Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Lahan Pada Skenario BAU dan Aksi Mitigasi, Buku I: Landasan Ilmiah (draft), Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku I Pedoman Umum; Report of the Conference of the Parties on its Seventeenth Session: Decisions adopted by the COP 17; Report of the Conference of the Parties on its Sixteenth Session: Decisions adopted by the COP 16. Tabel 5. Pengaturan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim No. Komponen Uraian 1 Pelaksana Internal dan eksternal, ditunjuk oleh penanggung jawab aksi mitigasi 2 Persyaratan verifikator Tidak terlibat langsung dalam aksi mitigasi, memiliki sertifikat verifikator aksi mitigasi 3 Elemen verifikasi Batas luasan aksi (meliputi: rencana aksi dan target mitigasi, lokasi, waktu pelaksanaan) Baseline Kesesuaian metodologi Jenis GRK yang tercakup (salah satu dan/atau meliputi: CO 2, CH 4, PFCs, HFCs, N 2 O, SF 6 ) Kesesuaian capaian dengan target Sumber: Permen LH No. 15/2013 (diolah) 3.2 Rekomendasi Sistem Inventarisasi, Monitoring dan Pelaporan GRK Kehutanan Mencermati sistem inventarisasi GRK kehutanan yang di dalamnya meliputi organisasi dan tata kerja serta perangkat implementasi inventarisasi GRK, berikut ini disajikan hasil analisis Structure Conduct Performance sebagaimana Tabel 6. Tabel tersebut mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan organisasi tingkat nasional dan sub nasional, overlapping kewenangan, serta ketidaksetaraan tingkat kedetailan data antar daerah. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 17

36 Tabel 6. Resume hasil analaisis Structure Conduct Performance Structure Conduct : M-R-V Performance DNPI BPREDD Bappenas KLH Depdagri Ditjen Planologi Kemenhut Pemda / Bappeda DA/Project Focal poin komunikasi nasional dan negosiasi Focal poin pencapaian RAN GRK dan negosiasi Menghitung REL focus kepada defoerstasi, lahan gambut dan kebakaran Inventarisasi GRK untuk pencapaian RAN Menghitung REL berdasarkan agregasi RAD Inventarisasi GRK untuk National Communication, UNFCCC dan BUR Pemantauan dan evaluasi pencapaian penurunan emisi GRK di daerah Penyiapan data activitas, REL dan status emisi sektor kehutanan Penyiapan data activitas, REL dan status emisi sub nasional Penyiapan data activitas, REL dan status emisi di tingkat tapak Organisasi dan tata kerja: banyak di tingkat pusat, sedikit di tingkat daerah dan tapak. Beberapa urusan overlap satu sama lain (misal: inventarisasi GRK dan penyusunan REL). Kedetailan data di tingkat nasional lebih rendah dibanding tingkat tapak, namun kedetailan di tingkat sub nasional relative sama dengan tingkat nasional. Namun demikian, sebaran data di tingkat tapak tidak merata di semua wilayah. Elemen yang dilaporkan masih belum memenuhi unsur kelengkapan, namun terus ditingkatkan dengan prinsip improvement pada masa pelaporan berikutnya. Konsep system verifikasi belum dilakukan pengujian di tingkat nasional maupun sub nasional Memperhatikan kondisi di atas, berikut ini beberapa langkah penting yang harus diambil untuk memperbaiki situasi system MRV di Indonesia, yaitu: 1. Sistem inventarisasi GRK a. Kombinasi sistem yurisdiksi dan sektoral belum efektif untuk tingkat nasional. Data sektoral lebih detail dan lebih maju dibandingkan data dari sub nasional. Tingkat sub nasional (provinsi) memiliki tingkat pemahaman yang lebih rendah terhadap sistem secara keseluruhan, dan data yang diacu sebagian besar berasal dari data Kementerian Kehutanan (pusat). Pembagian tugas inventarisasi GRK di tingkat provinsi dan kabupaten banyak menghadapi hambatan organisatoris. b. Pada tingkat nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK dapat dilakukan menggunakan pendekatan sektoral. c. Pada tingkat sub nasional, perbaikan sistem inventarisasi GRK menggunakan pendekatan sektoral juga. Jika sektor tertentu di SKPD yang berwenang sudah memiliki kapasitas melakukan inventarisasi GRK maka dapat memperkuat 18 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

37 (mendetailkan) data dan informasi sektoral pada tingkat di atasnya. Namun jika sektor tertentu di SKPD terkait masih memiliki kapasitas yang lemah, maka dapat dibantu oleh sektor di tingkat yang lebih tinggi (pusat). Menteri Kehutanan Menteri Lingkungan Hidup Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Ditjen Bina Usaha Kehutanan Data Kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan - Prosedur Pengukuran - Metodologi Penghitungan - Faktor Emisi/Serapan Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Data Kegiatan Ditjen Planologi Kehutanan Data Kegiatan Inventarisasi GRK Faktor Emisi/ serapan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Data Kegiatan Pusat Standarisasi dan Lingkungan Sinkronisasi Metodologi Nasional dengan Metodologi Internasional (IPCC) Registry/pendaftaran mitigasi Gambar 5. Usulan Struktur Pelaksanaan Inventarisasi GRK Sektor Kehutanan 2. Monitoring a. Pembentukan satu portal database faktor emisi dan serapan di Indonesia untuk menyatukan semua studi, project dan aktivitas pendataan factor emisi dan serapan yang tersebar. b. Melakukan penetapan default value nasional dan sub nasional sesegera mungkin. c. Pelaku inventarisasi, monitoring dan pelaporan GRK kehutanan sudah banyak sampai ke tingkat tapak. KPH dapat dijadikan sebagai unit manajemen yang melakukan kegiatan tersebut. PSP harus dibangun di semua provinsi, kabupaten dan mewakili semua type tutupan hutan. d. Dualism pelaksana inventarisasi GRK antara KLH dan Bappenas harus diperjelas dalam pembagian kewenangan antara kedua lembaga. Jika harus dipertahankan overlap, harus dipastikan dipahami secara clear oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah (Bappeda/BLH). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 19

38 3. Pelaporan a. Laporan inventarisasi GRK idealnya dilakukan berjenjang dari tingkat tapak ke pusat. System inventarisasi berbasis jaringan dan aplikasinya perlu dibangun dan diperluas. System ini jika sudah terbangun dapat menggabungkan pendekatan sektoral dan yurisdiksi. Melalui sistem online, updating data, koreksi data dan sharing data dapat dilakukan secara sistematis dan cepat. b. Pengarusutamaan data inventarisasi karbon hutan dapat dijalanakan melalui upaya memasukkan data tersebut ke dalam elemen statistik wilayah yurisdiksi secara mandatoris. c. Pentingnya Bappenas, KLH, DNPI dan Badan Pengelola REDD+ melakukan pendefinisian terkait capaian penurunan emisi pada berbagai skema di Indonesia. 4. Verifikasi a. Pengakuan verifikator di tingkat nasional harus diselaraskan dengan pengakuan di tingkat internasional. b. Kompetensi verifikator perlu dinyatakan lebih detail apakah diatur lebih lanjut atau dapat mengacu kepada kompetensi verifikator lainnya yang serumpun. 20 Sistem Inventarisasi GRK Kehutanan

39 Bab 4 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan 4.1 Persamaan Alometrik Lahan gambut Lahan Gambut Sumatera 1. Allometrik lahan gambut Sumatera dari remote sensing Penelitian teknik perhitungan simpanan C pada areal tegakan A. crassicarpa di hutan tanaman lahan gambut dilakukan dengan metode remote sensing, untuk menghitung C pada tegakan, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan kayu mati, serta pada tanah gambut. Metode transformasi citra terbaik untuk mengestimasi kandungan biomassa (karbon) pada HTI jenis A. crassicarpa adalah dengan menggunakan metode Principle Component Analysis (PCA). Estimasi simpanan biomassa (karbon) pada tegakan hutan tanaman A. crassicarpa menggunakan metode remote sensing dan GIS menghasilkan tingkat ketelitian diatas 80%. Hasil Persamaan antara biomassa (karbon) tegakan pada hutan tanaman jenis Acacia crassicarpa dan nilai pixel citra adalah: Y = 5478,59 PC1 (-0, PC1), dengan r² = 0.83 Dimana Y : nilai simpanan biomassa (Karbon) dan PC1 : nilai pixel pada citra yang telah diproses dg metode PCA. 2. Allometrik lahan gambut Sumatera dari pengukuran terestris Metode kuantifikasi simpanan dan emisi karbon pada hutan tanaman di lahan gambut dengan jenis tanaman A. crassicarpa. Sasaran penelitian adalah tersedianya data dan informasi jumlah karbon yang hilang akibat penebangan dan terjadinya kebakaran hutan tanaman di lahan gambut. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 21

40 Hasil persamaan allometrik masing-masing jenis pohon tingkat pancang disajikan pada Tabel 7. Hasil persamaan ini diperoleh dengan melalukan penebangan pada masingmasing jenis (destruction sampling). Hasil persamaan allometrik ini akan digunakan untuk menghitung biomassa pada masing-masing jenis pohon tingkat pancang, dengan hanya mengukur diameternya saja. Tabel 7. Hasil persamaan allometrik untuk perhitungan biomassa pancang No. Jenis Persamaan R 2 Jenis Regresi Keterangan 1. Sepungol Y = 1812,4x 2,418 0,99 Power x=diameter (cm) 2. Samak Y = 14337x ,88 Linier Y=Biomassa pancang (gr) 3. Prepat Y = 622,97x 3,4022 0,99 Power 4. Beriang Y = 5073,5ln(x) + 0,73 Logaritmik 4278,4 5. Gerunggang Y = 1897e 0,7039x 0,92 Eksponensial 6. Gelam Y = 1771,8x 2,1909 0,995 Power Sumber: Prakosa, et al. (2011) Lahan Gambut Kalimantan 1. Allometrik lahan gambut Kalimantan dari pengukuran terestris Pada lahan gambut di Kalimantan Tengah diperoleh model-model penduga potensi karbon vegetasi pohon dalam bentuk komunitas di hutan rawa gambut, dan mengetahui stok karbon vegetasinya, dengan sasaran jenis-jenis dominan yang tumbuh di suatu hutan rawa gambut. Model penduga diperoleh secara destructive (penebangan pohon) dengan 3 jenis tanaman family Dipterocarpaceae di hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah, yaitu : Meranti Putih (Shorea parvifolia Dyer), Resak (Cotylelobium burckii Heim), Keruing (Dipterocarpaceae kerrii King). Masing-masing jenis terdiri dari 20 sampel tanaman yang dilakukan penebangan, data yang diperoleh dari masing-masing sampel pohon yang ditebang antara lain: 1. Tinggi pohon; 2. Diameter pohon; 3. Panjang batang; 4. Berat daun; 5. Berat ranting, 6. Berat batang; 7. Berat cabang. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel kayu untuk mengetahui berat jenis pada masing-masing individu pohon. Informasi perhitungan faktor emisi dan serapan karbon di hutan rawa gambut telah dihasilkan 12 model persamaan penduga biomassa dari 3 jenis pohon Dipterocarpaceae di 22 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

41 hutan alam gambut. (Shorea farvifolia Dyer, Dipterokarpus kerrii King dan Cotylelobium burckii Hein). Selain itu juga dilakukan estimasi Model Persamaan Penduga karbon jenis Non- Dipterocarpaceae Alau, Bintangur, dan Nyatoh di HRG yang berlokasi di Hutan Alam gambut Kabupaten Barito Selatan. Hasil studi menunjukkan bahwa dari data dimensi pohon, kadar air, berat jenis, dan kadar karbón organik telah dihasilkan lima belas model persamaan alometrik untuk menduga kandungan karbon organik dari tiga jenis pohon non-dipterocarpaceae di rawa gambut yaitu Alau, Bintangur, dan nyatoh. Disimpulkan bahwa untuk menghitung karbon jenis non-dipterocarpaceae dapat digunakan 15 persamaan tersebut. Dalam aplikasinya, penggunaan rumus paling praktis disarankan untuk menghitung potensi karbon per satuan luas dengan mengukur diameter. Tabel 8. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Alau (Dacridium pectinatum De Laub) No Variabel Model Persamaan N R² F Signifikansi 1. TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB=0,132(DBH) 2, ,80 73,40 0, TAGB(kg)-DBH(cm) LnTAGB=10,484-2,272LnDBH 20 0,35 11,17 0, TAGB(kg)-DBH(cm) -WD(gr/cm³) 5. TBGB(kg)-DBH(cm) -TBH(m) 3. TAGB(kg)-DBH(cm) TBH(m)- LnTAGB=- 4,409+1,204LnDBH+1,670LnTBH LnTAGB=1,777+0,342LnDBH-0,452Ln WD 20 0,88 62,19 0, ,73 9,61 0,010 TBGB=0,027(DBH²TBH) 0, ,46 6,59 - Tabel 9. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Bintangur (Calophyllum soulatri) No Variabel Model Persamaan N R² F 1. TAGB (kg)-dbh (cm) TAGB=0,175(DBH) 2, ,96 500,09 0, TAGB (kg)-dbh (cm) LnTAGB=1,741-2,523LnDBH 20 0,96 500,09 0, TAGB (kg)-dbh (cm) TBH (m) 4. TAGB (kg)-dbh (cm) WD(gr/cm³) 5. TBGB (kg)-dbh (cm) TBH (m) Signifikansi LnTAGB=- 2,175+2,452LnDBH+0,223LnTBH 20 0,97 240,45 0,000 LnTAGB=0,838+0,366LnDBH-0,076 WD 10 0,94 56,18 0,000 TBGB=0,001(DBH²TBH) 1, ,63 8,16 - Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 23

42 Tabel 10. Model Persamaan Hubungan Biomassa dengan Dimensi dan Berat Jenis Nyatoh (Palaquium cochleria) No Variabel Model Persamaan N R² F Signifikansi 1. TAGB (kg)-dbh (cm) TAGB=0,118(DBH) 2, ,93 252,86 0, TAGB (kg)-dbh (cm) LnTAGB=2,135+2,586LnDBH 20 0,93 252,86 0, TAGB (kg)-dbh (cm)- TBH(m) 4. TAGB (kg)-dbh (cm)- WD (gr/cm³) 5. TBGB (kg)-dbh (cm)- TBH (m) LnTAGB=- 2,238+2,533LnDBH+0,095LnTBH LnTAGB=0,852+0,388LnDBH-0,244Ln WD 20 0,93 119,93 0, ,98 215,89 0,000 TBGB=0,027(DBH²TBH) 0, , Keterangan: TAGB = Total Biomassa Atas, DNH= Diamater setinggi dada, TBH=Tinggi total Pohon, BGB=Total Biomassa Bawah Hasil penelitian lain adalah di hutan rawa gambut Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Pola hubungan antara ukuran diameter dengan kandungan biomassanya dari jenis S. farvifolia yang tumbuh di hutan rawa gambut menunjukan adanya dua model persamaan yang memiliki nilai koefisien determinasi (R²) yang sama yaitu lebih besar dari 90%. Tabel 11. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Shorea farvifolia Dyer N Variabel Model Persamaan R² F Signifi Kansi 20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -2,36+2,58 Ln(DBH) 0, ,81 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,09 (DBH) 2,58 0, ,81 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- TBH(m) 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- WD(gr/cm3) Ln(TAGB)=-2,99+2,35Ln(DBH)+0,44Ln (TBH) Ln(TAGB)=-1,03+2,08Ln(DBH)-0,51Ln (WD) Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis 0,99 745,52 0,00 0,99 221,53 0,00 Berbeda dengan pola hubungan diameter dengan biomssa pada jenis meranti putih, maka pola hubungan tersebut pada jenis keruing sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Perbedaan tersebut terletak pada nilai intercept dan koefisien regresi (slope). Sedangkan jenis persamaan yang diterapkan adalah sama yaitu persamaan linier sederhana dengan transpormasi Ln, persamaan model power dan persamaan kuadratik. 24 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

43 Tabel 12. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Dipterocarpus kerrii King N Variabel Model Persamaan R² F Signifikansi 20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -1,53+2,38 Ln(DBH) 0,96 441,11 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,217 (DBH) 2,38 0,96 441,11 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- TBH(m) 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- WD(gr/cm3) Ln(TAGB)=-2,24+2,12Ln(DBH)+0,52Ln(TBH) 0,97 299,19 0,00 Ln(TAGB)=-2,61+2,78Ln(DBH)+0,80Ln(WD) 0,98 56,31 0,01 Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis Pada jenis pohon resak rawa, model persamaan yang sama menunjukan nilai koefisien dan konstanta yang berbeda dengan dua jenis sebelumnya. Persamaan linier sederhana dengan transformasi Ln menunjukan bahwa untuk nilai diameter 1 cm akan menghasilkan kandungan biomasa kering sebesar anti Ln -1,21 yaitu sebesar 0,30 kg biomassa kering. Demikian pula pada persamaan kedua menunjukan bahwa pada nilai diameter 1 cm akan menghasilkan nilai biomassa sebesar 0,30 kg biomassa kering (Tabel 13). Tabel 13. Model-model Persamaan Hubungan Biomasa dengan Dimensi dan Berat Jenis Pohon Cotylelobium burckii Hein N Variabel Model Persamaan R² F Signifi Kansi 20 TAGB(kg)-DBH(cm) Ln(TAGB) = -1,21+2,29Ln(DBH) 0,97 652,63 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm) TAGB= 0,30 (DBH) 2,29 0,97 652,63 0,00 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- TBH(m) 20 TAGB(kg)-DBH(cm)- WD(gr/cm3) Ln(TAGB)=-2,10+2,09Ln(DBH)+0,55Ln(TBH) 0,98 364,45 0,00 Ln(TAGB)=1,40+2,00Ln(DBH)-1,82Ln(WD) 0,95 19,31 0,04 Keterangan: TAGB=Total biomasa atas, DBH=Diameter setinggi dada, TBH= Tinggi total, WD= Berat jenis Hasil perbandingan antara total biomassa kering dengan bobot karbon organik dari masing-masing jenis disajikan dalam Tabel 13. Tiga jenis Dipterocarpaceae memiliki faktor konversi sedikit berbeda. Meranti putih rawa memiliki faktor konversi karbon terbesar (0,54), diikuti oleh jenis keruing rawa (0,53) dan resak rawa (0,52) (Tabel 14). Dengan demikian untuk setiap 1 kg biomassa kering jenis meranti rawa akan menghasilkan Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 25

44 karbon 1X 0,54 = 0,54 kg karbon organik. Setiap 1 kg biomassa kering jenis keruing rawa akan menghasilkan 1X 0,52 = 0,52 kg karbon organik, dan setiap 1 kg biomassa kering rekas rawa akan menghasilkan 1X 0,52 = 0,52 kg karbon organik. Faktor konversi aktual tersebut masih berada dalam kisaran kandungan karbon dalam biomassa kering menurut Brown yaitu antara 0,45-0,69 (Brown, 1995). Tabel 14. Fraksi Karbon Organik dari Jenis Shorea farvifolia (MP), Dipterocarpus kerrii (KG) dan Cotylelobium burckii (RK) di Hutan Alam Gambut TAGBMP (kg) Kdr C Org(%) TAGBKG (Kg) Kdr C Org (%) TAGBRK (Kg) Kdr C Org(%) CMP(Kg) CKG(Kg) CRK(Kg) 21,75 54,72 97,26 54,05 290,99 50,18 11, , , ,36 54,52 326,83 51,64 377,31 51,2 146, , , ,08 55,45 231,96 54,48 176,99 51,2 17, , , ,56 55,44 59,37 52,06 458,1 52,26 74, , , ,08 54,84 87,6 52,98 51,12 53,92 55, , , ,4 54,88 115,69 53,08 25,53 53,61 46, , , ,69 52,95 23,92 54,59 460,42 53,31 61, , , ,66 55,48 130,54 53,38 71,21 50,58 28, , , , ,15 51,48 35,58 52,73 7, , , ,54 53,22 24,21 52,45 130,86 53,36 330, , , ,717 54,45 127,153 53, ,811 52,235 78, , , ,717 54,45 127,153 0, ,811 0, , , ,0982 Faktor Konversi MP=0,54 KG=0,53 RK=0,52 Keterangan: TAGBMP = Biomassa kering S. Farvifolia, TAGBKG = Biomassa kering D. Kerrii, TAGBRK = Biomassa kering C. Burckii, CMP = Karbon S.farvifolia, CKG= Karbon D.kerrii, CRK = Karbon C burckii. 2. Tanah gambut Kandungan karbon bahan organik gambut bervariasi dari berbagai kedalaman. Kisaran nilai yang diperoleh dari lapangan antara maksimum dan minimum adalah antara nilai 38,61% dengan 57,95%. Nilai tertinggi diperoleh dari Blok 3 kedalaman 75 cm yaitu sebesar 57,95%. Pada blok 1, nilai tertinggi kadar karbon gambut mencapai 57,87% dan terendah 38,61%. Dari blok 2 diperoleh kandungan karbon tertinggi 57,79% sedangkan nilai terendah 22,09% (Akbar, et al. 2013). 26 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

45 Blok 3 menunjukkan nilai kadar karbon tertinggi 57,95% dan kadar terendah 49,06%, sedangkan dari Blok 4 diperoleh nilai kadar karbon tertinggi 57,51% dan terendah 47,18%. Hasil rata-rata dari keempat blok diperoleh suatu kecenderungan nilai-nilai kandungan karbon pada berbagai kedalaman menuju kearah bentuk yang sama. Hasil uji analisis model persamaan yang menjadi model persamaan dasar dari model pengembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bentuk persamaan regresi adalah kubik dan kuadratik (Tabel 15). Penentuan model persamaan dengan mempertimbangkan nilai-nilai koefisien korelasi dan determinasi, nilai signifikansi F dan t. Sebagai ilustrasi nilai observasi dihubungkan dengan prediksi kecenderungan regresi tersaji dalam Gambar 6. Ilustrasi gambar regresi bentuk persamaan kubik ternyata lebih mendekati kearah kecenderungan data observasi (Tabel 15). Tabel 15. Perbandingan Kemiripan Model Regresi dari Faktor Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Karbon Model Persamaan Korelasi (r) R 2 Sign.F Sign.t Linear Y=59,931-0,028X 0,504 0,254 0,094 0,094 0,000 Logaritmik Y=67,212-2,438lnX 0,362 0,131 0,247 0,247 0,000 Kuadratik Y=52,369+0,101X-0,001X 2 0,739 0,546 0,029 0,101 0,040 0,000 0,883 0,780 0,005 0,098 Kubik Y=62,735-0,219X+0,002X 2 +-4,9 x 10-6 X 3 0,043 0,019 0,000 Hasil penelitian oleh Akbar dan Priyanto (2011) untuk memperoleh model hubungan dan kecenderungan antara berat jenis dengan kedalaman gambut pada dua tingkat kematangan gambut (Fibrik dan Hemik) menunjukkan bahwa kedalaman tanah gambut memiliki hubungan fungsi yang erat dengan nilai kerapatan jenis gambut. Tinggi rendahnya kerapatan jenis dapat diakibatkan oleh proses pembentukan gambut, proses dekomposisi, kadar air, dan ukuran partikel dalam material gambut. Kecenderungan hubungan yang diperoleh antara tingkat kedalaman tanah gambut dengan berat jenis gambut lebih membentuk model persamaan regresi kuadratik daripada bentuk logaritmik dan kubik. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 27

46 Kadar_C Observed Linear Logarithmic Quadratic Cubic Gambar Kedalaman 200 Model-model Persamaan Regresi Hubungan Kedalaman Gambut dengan Kadar Karbon Gambut Variasi nilai kadar air pada berbagai kedalaman gambut menujukkan adanya variasi ukuran partikel dan porositas tanah gambut pada setiap tingkat kedalaman. Dalam penelitian ini telah dibuktikan adanya hubungan kedalaman gambut dengan kadar airnya yang cenderung berbentuk persamaan fungsi kuadratik. Kadar karbon organik dalam gambut khususnya pibrik dan hemik memiliki korelasi dengan tingkat kedalaman sehingga membentuk hubungan fungsi kubik dan kuadratik Lahan Mineral Hutan Lahan Kering Sumatera Model pendugaan biomassa pohon E. pellita sebagai jenis hutan tanaman industri penghasil kayu pulp di lahan mineral (jenis tanah ultisol) dengan umur tanaman 1-5 tahun, adalah sebagai berikut : 1. Model biomasa batang : LnB= LnD 2. Model biomasa akar : LnB= LnD 3. Model biomasa ranting : LnB= LnD 28 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

47 4. Model biomasa daun : = D D 2 Akasia krasikarpa: Hutan Lahan Kering Kalimantan Persamaan allometrik telah disusun untuk menduga biomassa di atas tanah untuk jenis Dipterokarpa di PT. Intracawood Manufacturing, Kab. Bulungan, Kalimantan Timur. Persamaan allometrik dibangun berdasarkan pengukuran-pengukuran contoh secara destruktif melalui pengumpulan komponen biofisik, seperti diameter setinggi dada (D), tinggi pohon total (H) dan berat jenis kayu (WD). Persamaan allometrik Y = a Xb yang digunakan untuk menghitung total biomassa pohon bagian atas (kg), total biomassa pada bagian dahan atau cabang pohon (kg/cabang pohon) serta total biomassa pada bagian kulit pohon (kg) untuk jenis Dipterokarpa di areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing. Tabel 16. Analisa regresi biomasa dypterocarpaceae di Kalimantan No. Y X a b R 2 1 Total biomassa pohon bagian atas (kg) 2 Total biomassa pada bagian cabang pohon (kg) Diameter batang pohon (cm) Diameter cabang pohon (cm) Total biomassa pada bagian kulit pohon (kg) Tebal kulit pohon (cm) Penelitian lain di hutan alam tanah mineral areal PT. Inhutani I Wilayah Tarakan UMH Kunyit, Kab. Nunukan, Kalimantan Timur dan di areal PT. Inhutani I Wilayah Tarakan UMH Pimping, Kab. Bulungan, Kalimantan Timur menghasilkan persamaan allometrik jenis Shorea macrophylla, yaitu : 1. Total biomassa pohon bagian atas (kg/pohon) dengan menggunakan diameter batang pohon (cm), B = 0,185 D 2,035 dengan R 2 (adj) 98,60%, dan 2. Total biomassa pada bagian dahan atau cabang pohon (kg/cabang pohon) dengan menggunakan diameter cabang pohon (cm) adalah B = 0,41 D 0,349 dengan R 2 (adj) 92,20%. Sedangkan hasil penelitian di areal PT Hutan Sanggam Labanan Lestari (PT HLL), Kab. Berau, Kalimantan Timur, didapatkan model persamaan alometrik biomassa total di atas permukaan tanah yang terbaik merupakan model persamaan B = ad b Ttot c, dengan dua Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 29

48 peubah bebas diameter setinggi dada (cm) dan tinggi bebas cabang (m) adalah B tot = 0,2729 D 3,53 Tbc -0,332, dengan nilai R 2 (adj) 96,10%. Model persamaan alometrik lebih akurat dengan menggunakan dua peubah yaitu diameter setinggi dada dan tinggi pohon, namun kenyataan di lapangan, jika data tinggi tidak diperoleh maka pendugaan biomassa di atas permukaan tanah sebaiknya cukup menggunakan variabel bebas diameter pohon saja. Pengukuran diameter di lapangan dapat dilakukan lebih akurat dibandingkan dengan mengukur tinggi pohon (Noor an et al., 2012) Hutan Lahan Kering Sulawesi Pendugaan biomasa menggunakan citra satelit di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara oleh Wahyuni, et al. (2012). Model dibuat untuk mengetahui apakah citra ALOS PALSAR dapat menggambarkan korelasi antara nilai- nilai hamburan balik (backscatter) dengan nilai biomasa di lapangan. Nilai biomasa merupakan jumlah total dari komponen-komponen biomasa yang diukur yaitu pohon, tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa. Berdasarkan analisis beberapa model penduga biomasa, diperoleh hasil sebagaimana terangkum dalam Tabel 17 berikut. Tabel 17. Persamaan regresi untuk menduga biomasa Model Parameter R 2 adj RMSE Linier Y=a+b*HH a = 9501,80 b = 987,38-0,875 2,02 Y=a+b*HV a = 16211,03 b = 1135,69-0,867 1,85 Eksponensial Y=a*e (b*hh) a = 10,33 b = -0,06-0,836 3,60 Y=a*e (b*hv) a = 13,16 b = -0,04-0,805 4,63 Polinomial Y=a*HH 2 +b*hh+c a =684,61 b = -20,73 c =8454,43 0,876 - Y=a*HV 2 +b*hv+c a = 861,16 b = -11,19 c = 14550,63 0,867 - Keterangan: Y=biomasa (ton/ha); a,b,c=nilai estimasi parameter Berdasarkan Tabel 17 di atas, model linier yaitu Y=a+b*HH dan Y=a+b*HV menghasilkan nilai RMSE terkecil yaitu sebesar 2,02 dan 1,85. Dan model dengan polarisasi HV memiliki RMSE lebih kecil daripada model dengan polarisasi HV. Sehingga bila dibandingkan dengan model eksponensial dan model polinomial, maka model linier inilah yang terpilih digunakan untuk interpolasi nilai biomasa dan memetakan biomasa pada SPTN II Doloduo dan SPTN III Maelang. 30 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

49 Hutan Lahan Kering Papua Persamaan allometrik dibangun berdasarkan genera jenis kayu komersial, yakni Palaquium dan Vatica. Masing-masing genera dibangun persamaan allometrik spesifik serta persamaan gabungan dari kedua genera tersebut yang menggambarkan persamaan allometrik untuk genera jenis komersial. Data yang dikumpulkan berupa diameter (DBH), tinggi kayu komersial (CBH), dan berat jenis (WD) melalui pendekatan destruktif pada daerah hutan tropis di Papua Barat. Model persamaan dasar yang dipilih adalah (Basuki et al., 2009): ln(tagb) = c + αln(dbh), ln(tagb) = c + αln(dbh) + βln(cbh), dan ln(tagb) = c + αln(dbh) + βln(wd), dengan hasil disajikan pada Tabel 18. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 31

50 Tabel 18. Hasil Penyusunan Persamaan Penduga Biomassa Atas Tanah Species Grouping (Genera) Intsia; N Persamaan Allometrik Log TAGB = c + α Log DBH Log TAGB = c + α Log WD Koefisien Standard Errort Simbol Nilai of the Coefficien [T -statistics] C Α C α Maulana dan Asmoro (2010) 13 α β TAGB = c + α DBH + β DBH 2 c Pometia; 15 TAGB = c + α WD + β WD 2 α c β Log TAGB = c + α Log DBH c α Log TAGB = c + α Log WD c α TAGB = c + α DBH + β DBH 2 c α β TAGB = c + α WD + β WD 2 α c β Log TAGB = c + α Log DBH c α Log TAGB = c + α Log WD c α Palaquium 13 α β TAGB = c + α DBH + β DBH 2 c TAGB = c + α WD + β WD 2 c α β R R 2 2 adjusted F -statistics Average Deviation (%) 98.60% 98.50% % 96.00% % 93.90% % 97.10% % 98.70% % 98.40% % 97.40% % 97.00% % 97.10% % 96.20% % 97.90% % 97.00% Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

51 Species Grouping (Genera) N Persamaan Allometrik Log TAGB = c + α Log DBH Log TAGB = c + α Log WD Vatica 8 Log TAGB = c + α Log DBH Log TAGB = c + α Log WD Commercial Species 49 Log TAGB= c + α Log DBH + β Log WD Koefisien Standard Errort Simbol Nilai of the Coefficien [T -statistics] c α c α α β TAGB = c + α DBH + β DBH 2 c TAGB = c + α WD + β WD 2 α c β c α c α c α β TAGB = c + α DBH + β DBH 2 c α β TAGB = c + α WD + β WD 2 c α β R R 2 2 adjusted F -statistics Average Deviation (%) 99.00% 98.80% % 94.60% % 97.40% % 94.90% % 94.90% % 74.20% % 96.90% % 95.00% % 62.80% Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 33

52 Berdasarkan hasil pengolahan data, persamaan Log(TAGB) = c + αlog(dbh) merupakan model yang paling sesuai dalam pendugaan total biomassa atas tanah pada tingkat genera. Namun, khusus untuk pendugaan pada tingkat kelompok jenis komersial, model persamaan yang paling sesuai adalah Log(TAGB) = c + αlog(dbh) + βlog(wd). Penambahan variabel WD (wood density; gr/cm 3 ) untuk pendugaan biomassa pada tingkat kelompok jenis komersial sangat penting dalam rangka meminimalisir disproporsionalitas hasil pendugaan. Informasi berikut adalah persamaan untuk menduga biomas diatas tanah jenis komersial di hutan tropis Papua. Persamaan ini lebih tepat digunakan untuk menduga biomas diatas tanah jenis komersial di hutan tropis Papua dari pada persamaan yang telah disusun oleh Basuki et al. (2009), Brown (1997), dan Ketterings et al. (2001). Tabel 19. Perbandingan Persamaan Terpilih Dengan Berbagai Persamaan Allometrik yang Telah Dipublikasikan Sebelumnya. No. Persamaan 1 Log(TAGB) = Log(DBH) Log(WD) {persamaan terpilih hasil penelitian} Selang Diameter R 2 adj 5-40 cm 96.90% 2 Ln(TAGB) = Ln(DBH) Ln(WD) {Basuki et al. (2009)} cm 98.50% 3 TAGB = DBH 2.32 {Brown (1997)} 5-40 cm 89.00% 4 TAGB = DBH 2.59 {Ketterings et al. (2001)} 8-48 cm 95.40% Keterangan: TAGB = Total Above Ground Biomass (Kg/Pohon); DBH=Diameter at Breast Height (cm); WD=Wood Density (gr/cm 3 ). Berbagai persamaan allometrik telah dibangun untuk pengukuran biomassa pada hutan hujan tropis (Arau jo et al., 1999; Brown, 1997; Chambers et al., 2001; Chave et al., 2001, 2005; Keller et al., 2001; Nelson et al., 1999). Namun, belum ada persamaan allometrik yang dibangun khusus untuk pendugaan biomassa atas tanah pada genera jenis komersial hutan tropis Papua. Berdasarkan hasil pengolahan data, persamaan Log(TAGB) = c + αlog(dbh) merupakan model yang paling sesuai dalam pendugaan total biomassa atas tanah pada tingkat genera. Kesesuaian tersebut terbukti dari besarnya nilai R-sq (adj) yang mencapai 99.50% dengan maksimum simpangan rata-rata hanya sebesar 1.27%. sedangkan dari nilai F-hitung yang didapat terlihat bahwa hasil yang didapat baik untuk genus Duabanga dan Anthocepalus melebihi nilai F tabel pada selang kepercayaan 99% sebesar , yang berarti sisi penduga/predictor berpengaruh sangat nyata terhadap sisi response/hasil dugaan. Selain itu Kemudahan dalam pengukuran variabel independen DBH juga menjadi 34 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

53 dasar pertimbangan penentuan persamaan pertama sebagai persamaan yang paling sesuai untuk menduga total biomasa atas tanah pada genera Duabanga dan Anthocephalus. Berdasarkan hasil penerapan persamaan hasil penelitian dengan persamaan-persamaan yang telah dipublikasikan sebelumnya terhadap data aktual, dapat disarankan bahwa penerapan persamaan yang spesifik terhadap situs dan genera harus diutamakan pada kegiatan pendugaan densitas karbon pada tegakan hutan alam Ekosistem Hutan Savana Nusa Tenggara Timur memiliki kekhasan ekosistem yang berupa savana. Oleh karena itu penelitian inventory GRK Kehutanan di Nusa Tenggara diarahkan pada penyusunan allometrik jenis-jenis yang ada di savana tersebut yang kemudian digunakan untuk melakukan inventarisasi potensi simpanan karbon savana. Ekosistem savanna di Indonesia dijumpai di daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Menurut Monk, et al (1997) paling sedikit ada 8 (delapan) tipe savana di kedua provinsi tersebut yang didasarkan pada spesies pohon yang dominan yang ada pada savana, yakni : 1. Albizia chinensis savana, merupakan tipe savana di Nusa Tenggara Barat yang umumnya tahan terhadap api. 2. Palm Savanna, yang didominasi oleh lontar (Borrasus flabelife)r atau gewang (Corypha utan), merupakan tipe savana yang dominan di Pulau Komodo, Rote, Sawu dan sebagian besar di Timor. 3. Eucalyptus alba savana terdapat di Flores Tengah ke timur sampai di Wetar. Juga merupakan tipe savana yang dominan di Timor, terjadi bersama dengan asosiasi semak dan pohon 4. Melaleuca cajuputi savanna, lebih sering terlihat mulai dari Flores Tengah memanjang ke timur sampai Maluku 5. Acacia leucophloea savanna merupakan karakteristik pohon di savana NTT 6. Casuarina junghuhniana savanna, merupakan karakter savanna yang khas di Sumba dan Timor 7. Ziziphus mauritiana savanna, terlihat diseluruh wilayah NTT yang tumbuh secara sporadis 8. Tamarind savanna, ditemukan di sepanjang NTT. Adapun tipe-tipe savana yang telah dilakukan penelitian adalah savana huek (Eucalyptus alba) (2011), savana gewang (Corypha utan) dan savana lontar (Borassus flabellifer) (2012), savana kasuari (Casuarina junghuhniana) (2013) dan terakhir savana Acacia leucophloea (2014) Persamaan allometrik huek (Eucalyptus alba) untuk menduga biomasa telah berhasil disusun yaitu : 1. biomassa batang adalah Y = 7,725 e 0,119dbh., Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 35

54 2. biomassa daun adalah y = 0,010 dbh 1,764, 3. biomassa cabang adalah y = 0,005 dbh 2.683, 4. biomassa ranting adalah y = dbh Sedangkan persamaan allometrik untuk pendugaan simpanan karbon pohon huek (E. alba) adalah sebagai berikut : 1. Daun y = dbh ; 2. batang y = dbh ; 3. cabang y = dbh ; dan 4. ranting y = dbh Persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa vegetasi jenis gewang (Corypha utan) adalah sebagai berikut : 1. Batang Y = X 1,735, 2. Daun Y = 8448 X 0,680 dan 3. Pelepah Y = X 0,491 (X = tinggi (m), Y = biomasa (gr)) Model persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa jenis tanaman lontar (Borassus flabelifer ) adalah : 1. Batang y = 4236 x 2,026, (x=tinggi total) 2. Daun y = 7,353 x 1,597 (x= keliling pangkal batang) 3. Pelepah y = 8643e 0,007x (x= keliling pangkal batang) Model persamaan allometrik untuk pendugaan karbon secara langsung pada jenis tanaman gewang (Corypha utan) : 1. Daun y = dbh 0,721, 2. Pelepah y = dbh 0, Batang y = dbh 1,823. (X = tinggi (m), Y = biomasa (gr)) Model persamaan allometrik untuk pendugaan karbon secara langsung pada jenis tanaman lontar (Borassus flabellifer) 1. Daun y = 5,493 x 2,275, (x = keliling pangkal batang) 2. Pelepah y = x -0,871 (x = tinggi) 3. Batang y = 6133 dbh 2,084.(x = tinggi) 36 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

55 Gambar 7. Ekosistem Savana 4.2 Kandungan biomasa dan karbon untuk pengayaan faktor emisi lokal Bioregion Sumatera Pengukuran kandungan biomasa dan karbon pada beberapa type hutan di Sumatera dilakukan antara lain pada hutan lahan kering, hutan rawa gambut dan hutan tanaman. Beberapa diantara hasil inventarisasi kandungan karbon di Sumatera disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Kandungan karbon pada beberapa type hutan di Sumatera No. Jenis/type hutan 1 Hutan rawa gambut primer 2 Hutan rawa gambut sekunder Kandungan C (ton/ha) Keterangan Sumber 126,01 Pelalawan, Riau Rochmayanto, et al.(2010) 83,49 Pelalawan, Riau Rochmayanto, et al.(2010) 3 HTI Acacia crassicarpa 4,59 39,51 Umur 1-5 tahun, di Pelalawan, Riau Rochmayanto, al.(2010) et Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 37

56 No. Jenis/type hutan Kandungan C (ton/ha) Keterangan 4 HTI Acacia crassicarpa 29,92 48,35 Umur 2 dan 3 tahun, PT SBA, Sumatera Selatan 5 HTI Acacia crassicarpa 64,14 HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Woodbased Industries. Metode konversi biomassa: rata-rata potensi serapan karbon menurut kelas umur (1-8 th) dari bagian akar, batang, cabang dan daun 6 Areal HT 8 thn pasca kebakaran 7 Aral HA 1 thn pasca kebakaran Sumber Rahmat, et al. (2007) Andriono, ,42 Sumatera Selatan Prakosa et al. (2011) 1,296 Sumatera Selatan, diantaranya merupakan komponen pohon mati sebesar 0,452 ton/ha Prakosa et al. (2011) Informasi kandungan C pada areal bekas kebakaran belum banyak dijumpai. Pada kajian Prakosa, et al. (2011) pada hutan tanaman di lahan gambut, diketahui bahwa kebakaran hutan tidak mengakibatkan semua cadangan karbon habis terbakar, kecuali kebakaran dengan kategori berat. Sisa cadangan biomassa karbon pada lahan yang terbakar ringan sebesar 65,14 m3/ha, terbakar sedang 28,0 m3/ha dan terbakar berat hanya dijumpai tumbuhan bawah sebesar 24,7 ton/ha. Pada hutan alam gambut bekas terbakar, setelah 8 tahun tingkat pertumbuhan pohonnya baru pada tingkat pancang dan tidak terdapat pohon mati dan kayu mati. Diperoleh 6 jenis pohon tingkat pancang yang dominan di lahan gambut bekas terbakar, yaitu sepungol, prepat, gelam, beriang, gerunggang dan samak. Telah diperoleh 6 persamaan allometrik untuk menentukan besarnya kandungan biomassa tingkat pancang untuk 6 jenis pohon pada hutan alam gambut bekas terbakar. Cadangan karbon rata-rata pada lahan gambut bekas terbakar yang sudah tidak terbakar kurang lebih selama 8 tahun adalah sebesar 21,42 ton/ha. Cadangan karbon pada hutan alam gambut yang terbakar setahun yang lalu hanya 1,296 ton/ha, dan yang terbesar berada pada pohon mati (0,452 ton/ha). Kandungan karbon pada serasah hutan alam gambut setelah kurang lebih 8 tahun tidak terbakar berkisar antara 1,250-3,975 ton/ha, sedangkan kandungan karbon pada tumbuhan bawah antara 0,435-1,310 ton/ha. Kandungan karbon pada pohon tingkat pancang antara 1,33-57,65 ton/ha. Setelah dirata-rata ternyata kandungan karbon total di atas permukaan tanah pada lahan gambut yang telah terbakar 8 tahun yang lalu adalah 21,42 ton/ha. Pertumbuhan pohon baru pada tingkat pancang (diameter 2 - < 10 cm), 38 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

57 karena untuk tingkat tiang dan pohon belum ada. Selain itu pohon mati dan kayu mati juga tidak ada pada plot yang diukur. Kebakaran hutan pada hutan tanaman Acacia crassicarpa tidak ada serasah yang tersisa, namun pada hutan alam gambut sekunder masih terdapat serasah, baik yang terbakar 1 tahun dan 8 tahun yang lalu. Demikian juga antara hutan alam gambut sekunder yang terbakar 8 tahun dan 1 tahun yang lalu juga kondisinya sangat berbeda. Lokasi yang terbakar 8 tahun yang lalu sudah mulai tumbuh pohon tingkat pancang dan tiang. Selain itu tumbuhan bawahnya juga cukup rapat, karena masih agak terbuka, sehingga sinar matahari masih dapat menembus lantai hutan. Sedangkan kondisi hutan alam gambut sekunder yang baru 1 tahun terbakar, masih belum tumbuh jenis-jenis pohon, tiang, pancang dan semai yang dominan. Namun demikian masih terdapat serasah, nekromassa dan tumbuhan bawah. Melihat kondisi dari 3 lokasi plot yang berbeda, maka dapat di duga bahwa kebakaran pada lahan gambut di hutan tanaman yang didrainase, dampaknya lebih berat dibandingkan di hutan alam. Hal ini dapat dilihat dari sisa biomassa yang masih ada setelah terjadinya kebakaran. Kebakaran gambut yang didrainase lebih tebal (dalam) dibandingkan dengan yang masih alami (hutan alam). Dengan demikian pengendalian kebakaran di lahan gambut yang dikelola dengan HTI harus lebih ketat, dibandingkan dengan yang di hutan alam, karena tinggi muka airnya lebih dalam.hal ini yang mengakibatkan gambut yang terbakar lebih besar dibandingkan dengan di hutan alam. Selain data cadangan karbon di atas, berikut ini adalah beberapa hasil pengukuran pada PSP di Simancung, Sumatera Barat yang dihitung menurut 4 macam persamaan allometrik (Tabel 21). Hutan Nagari Simancung merupakan hutan lahan kering primer dan sekunder di ekoregion Sumatera. Tabel 21. Kandungan Karbon Berdasarkan Carbon Pool pada PSP di HN. Simancuang No Carbon Pools Total Karbon (ton/ha) A B C D 1 Above Ground Carbon (AGC) 90,79 114,79 65,88 49,77 2 Below Ground Carbon (BGC) 24,97 31,57 18,12 13,69 3 Nekromasa 0,057 0,057 0,057 0,057 4 Serasah 5,54 5,54 5,54 5,54 Sumber: BPK Aek Nauli. (2012) Keterangan: A : Perhitungan berdasarkan Persamaan Chave et al. (2005) B : Perhitungan berdasarkan Persamaan Kettering et al. (2001) C : Perhitungan berdasarkan Persamaan Dharmawan & Siregar (2009) D : Perhitungan berdasarkan Persamaan Thojib et al. (2002) dalam Krisnawati et al. (2012) Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 39

58 4.2.2 Bioregion Jawa Informasi kandungan biomasa dan karbon hutan di Bioregion jawa berasal dari hutan alam tanah mineral pada kawasan konservasi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) menggunakan persamaan alometrik Chave et. al (2005). TNGHS memiliki potensi simpanan karbon yang cukup besar sebagai berikut (Arifanti, 2012): 1. Atas permukaan (above ground) sebesar ton C/ha, 2. Bawah permukaan (below ground) sebesar tonc/ha, 3. Serasah (litter) sebesar tonc/ha, 4. Nekromas (necromass) sebesar 5,77 tonc/ha, dan 5. Tanah (soil) sebesar 134,41 tonc/ha. Beberapa hasil penelitian cadangan karbon pada berbagai tipe hutan di Jawa disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa Tipe hutan Nilai min. (ton C/ ha) Nilai maks. (ton C/ ha) Rerata (ton C/ ha) N Sd Keterangan Hutan lahan kering primer Diolah dari berbagai sumber Hutan lahan kering Diolah dari berbagai sumber sekunder Hutan gambut primer Tidak terdapat hutan gambut Hutan gambut sekunder Tidak terdapat hutan gambut Hutan mangrove primer Hapsari (2011) Hutan mangrove sekunder Heriyanto & Subiyandono (2012) Hutan tanaman Diolah dari berbagai sumber Bioregion Kalimantan Kandungan karbon di Kalimantan diantaranya berasal dari HL Sungai Wain, yang terletak di kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara dan Kelurahan Karingau, Kecamatan Balikpapan Barat, Wilayah Kota Balikpapan, Propinsi Kalimantan Timur. Secara geografis kawasan HL Sungai Wain terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Cadangan biomassa pada tiga tipe hutan di Sungai Wain didominasi oleh tegakan non dipterokarpa dengan rata-rata kehadiran tegakan berdiameter 10 cm berkisar 540,74 pohon/ha yang didominasi oleh jenis Syzygium sp, Madhuca sp, Artocarpus sp 40 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

59 dan Pternandra sp dengan potensi biomassa rata-rata berkisar 22,46 ton/ha. Pada tegakan dipterokarpa yang didominasi oleh jenis Shorea spp, Dipterocarpus spp dan Vatica sp dengan rata-rata kehadiran tegakan berdiameter 10 cm berkisar 83,95 pohon/ha dan potensi biomassa rata-rata berkisar 4,13 ton/ha (Gambar 8). Gambar 8. Cadangan biomassa tegakan dipterokarpa dan non dipterokarpa (ton/ha) berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010). Hutan lindung Sungai Wain dibagi menjadi tiga tipe hutan dengan luasan sama dengan pembagian tipe hutan pada analisis potensi tegakan sebelumnya. Secara berurutan biomassa tegakan berdasarkan tipe hutan adalah: (1) tipe hutan berpotensi tinggi seluas 2.445,8 ha dengan biomassa sebesar ,87 ton (warna hijau tua dalam peta); (2) tipe hutan berpotensi sedang seluas 911,63 ha dengan biomassa sebesar ,45 ton (warna hijau muda dalam peta); dan (3) tipe hutan berpotensi rendah seluas 2.490,8 ha dengan biomassa sebesar 5.653,83 ton (warna kuning dalam peta) tersaji pada Gambar 9. Estimasi cadangan karbon tegakan total yang tersimpan di hutan lindung Sungai Wain melalui interpretasi citra digital dan pengukuran langsung di lapangan tersaji pada Tabel 23. Cadangan karbon tersimpan dalam tegakan dipterokarpa di HL Sungai Wain berkisar antara 0,94 3,91 ton C/ha, sedangkan tegakan non dipterokarpanya memiliki cadangan karbon berkisar antara 10,37 12,37 ton C/ha (Hardjana, et al, 2010). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 41

60 Gambar 9. Sebaran cadangan biomassa berdasarkan tipe potensi hutan di Hutan Lindung Sungai Wain (Hardjana, et al., 2010). Tabel 23. Perbandingan hasil perhitungan karbon total di Hutan Lindung Sungai Wain dengan interprestasi citra dan pengukuran langsung di lapangan No. Tipe Hutan Interpretasi Citra Perhitungan Karbon (ton C/ha) Manual Lapangan 1. Potensi Tinggi 15,79 14,85 2. Potensi Sedang 13,72 13,72 3. Potensi Rendah 1,13 11,31 Jumlah Total C 30,64 39,88 Sebagai perbandingan, hasil penelitian Hiratsuka et al. (2006) menyatakan bahwa hutan sekunder bekas kebakaran hutan sejak 5 tahun lalu di Kalimantan Timur memiliki cadangan biomassa berkisar antara 44,2 55,3 ton/ha dan bila dihitung cadangan karbonnya berkisar antara 22,1 27,65 ton C/ha. Rahayu et al. (2006) juga menyebutkan bahwa cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai system penggunaan lahan di Kalimantan Timur berkisar antara 4,2 230 ton C/ha. 42 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

61 Informasi cadangan karbon hutan alam bioregion Kalimantan diperoleh juga dari kawasan konservasi di areal PT. Aya Yayang Indonesia, Kab. Tabalong, Kalimantan Selatan, PT. Suka Jaya Makmur (SJM), Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, dan PT. Erna Djuliawati, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah. Kandungan biomassa karbon untuk pohon jenis Dipterocarpaceae dengan DBH >20 cm di PT. SJM lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, yaitu sebesar 27,83 ton CO2/ha (dengan menggunakan persamaan Basuki et al., 2009). Kandungan biomassa karbon untuk pohon jenis Dipterocarpaceae dengan DBH <20 cm di PT. AYI lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya, yaitu sebesar 152,86 ton CO 2 /ha (dengan menggunakan persamaan Basuki et al., 2009). Kandungan karbon organik tanah di tiga lokasi penelitian tergolong rendah yaitu berkisar antara 1,12 % - 1,47 %, dengan potensi karbon organik tanah sedalam 20 cm berkisar antara 2,11 ton C/ha 3,3 ton C/ha Bioregion Sulawesi Informasi kandungan biomasa dan karbon hutan di Bioregion Sulawesi diperoleh dari berbagai daerah, yaitu : 1. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW), Sulawesi Utara dan Gorontalo 2. Cagar Alam Tangkoko Dua Saudara, Kota Bitung, Sulawesi Utara 3. KPH Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow 4. Hutan Lindung Gunung Tumpa, Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) oleh Wahyuni, et al. (2012) secara geografis terletak antara 0⁰20 0⁰51 LU dan 123⁰06 123⁰18 BT, serta masuk dalam wilayah dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dari luas keseluruhan ha, seluas ha (62,32%) berada di Sulawesi Utara dan ha (37,68%) termasuk dalam wilayah Gorontalo. Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, wilayah TN BNW termasuk dalam tipe iklim A, B dan C, dengan curah hujan rata-rata antara mm per tahun dan suhu rata- rata antara 20⁰-28⁰ C. Sedangkan topografi kawasan ini sangat beragam mulai dari datar hingga berbukit terjal dengan ketinggian antara m dpl. Kondisi tiga lokasi pengambilan data cukup beragam, mulai dari kawasan Bukit Lingua (SPTN II Doloduo) dengan penutupan tajuk berkisar antara 65-80% yang merupakan hutan sekunder yang biasa dilewati masyarakat saat masuk kawasan hutan untuk memasang jerat. Hal ini sedikit berbeda dengan lokasi di Puncak Biyango dan Kayu Lawang (SPTN III Maelang) yang terletak cukup dekat dengan bekas perambahan pada tahun 2000an. Kedua lokasi ini termasuk dalam hutan sekunder dengan penutupan tajuk berkisar antara 60-70% pada hutan dataran rendah dan 80-90% pada hutan dataran tinggi (Tabel 24). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 43

62 Tabel 24. Rata-rata biomasa dan karbon di lokasi pengukuran Komponen biomasa Ht Dataran Rendah Lingua SPTN II Doloduo Tipe ekosistem per lokasi Ht Dataran Rendah Tumokang Ht Dataran Rendah Melang SPTN III Maelang Ht Dataran Tinggi Maelang Pohon (ton/ha) 578,05 981, ,21 462,24 Tumbuhan Bawah (ton/ha) 0,92 0,08 0,74 1,45 Serasah (ton/ha) 4,26 4,12 7,84 6,05 Nekromasa (ton/ha) 0,02 0,01 0,04 0,01 Total biomasa (ton/ha) 583,25 985, ,8 469,76 Rentang nilai biomasa (ton/ha) 223, ,80 44, ,27 225, ,80 280,96-709,12 Total karbon (ton C/ha) 274,13 463, ,35 220,79 Rentang nilai karbon (ton C/ha) 104,92-495,29 20, ,33 105, ,73 132,05-333,29 Keterangan: fraksi karbon 0,47 (SNI 7724:2011), selang kepercayaan nilai biomasa α: 0,05 Dari empat tipe ekosistem, diketahui hutan dataran rendah Maelang memiliki cadangan biomasa dan karbon tertinggi dibandingkan lokasi lainnya sebanyak 2.968,8 ton/ ha dan 1.395,35 ton C/ha. Sebaliknya hutan dataran tinggi Maelang memiliki cadangan biomasa dan karbon terendah sejumlah 462,24 ton/ha dan 220,79 ton C/ha. Kedua tipe ekosistem hutan ini terdapat dalam satu kawasan SPTN, namun memiliki jumlah cadangan biomasa yang berbeda. Walaupun hutan dataran rendah terletak berdekatan dengan Kayu Lawang, yaitu lokasi perambahan yang dijadikan kebun cengkeh oleh masyarakat namun vegetasi di dalam plot pengukuran lebih rapat dibandingkan dengan plot pengukuran pada hutan dataran tinggi. Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan cadangan biomasa tersebut antara lain kondisi tegakan, jumlah pohon dalam plot pengukuran, ketebalan serasah, jumlah tumbuhan bawah dan nekromasa. Jumlah pohon berpengaruh pada penutupan tajuk dan ketebalan serasah. Terdapat lebih banyak serasah pada hutan dataran rendah, hal ini juga berdampak pada jumlah tumbuhan bawah dalam plot pengukuran (Tabel 25). 44 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

63 Tabel 25. Prosentase tiap komponen biomasa terhadap total biomasa Komponen biomasa Hutan Dataran Rendah Lingua SPTN II Doloduo Tipe ekosistem per lokasi Hutan Dataran Rendah Tumokang Hutan Dataran Rendah Maelang SPTN III Maelang Hutan Dataran Tinggi Maelang Pohon (%) 99,11 99,57 99,71 98,40 Tumbuhan Bawah (%) 0,16 0,01 0,02 0,31 Serasah (%) 0,73 0,42 0,26 1,29 Nekromasa (%) 0,004 0,001 0,001 0,002 Total Biomasa (%) Berdasarkan data pengukuran, biomasa suatu tegakan sebagian besar disusun oleh biomasa pohon yang nilainya berkisar antara 98-99% dari total biomasa (Tabel 25). Kemudian berturut-turut serasah, tumbuhan bawah dan nekromasa. Dibandingkan tumbuhan bawah, serasah memiliki biomasa yang lebih besar (0,26-1,29%) karena selain tersusun dari daun juga ranting-ranting. Sedangkan nekromasa memiliki jumlah biomasa terkecil hanya 0,001-0,004% bila dibandingkan dengan komponen biomasa yang lain. Sehingga deforestasi sekecil apapun akan berdampak signifikan terhadap cadangan biomasa hutan karena sebagian besar biomasa di lokasi pengukuran tersusun oleh biomasa pohon. Jenis- jenis pohon yang ditemukan dalam plot pengukuran sebagian besar merupakan jenis yang sering ditemukan di dalam hutan di Sulawesi Utara. Karena lokasi penelitian merupakan hutan alam, maka pohon yang berada dalam plot cukup beragam. Beberapa jenis pohon tersebut antara lain Meliosma nitida Blume., Myristica fatua Houtt., Cratoxylum celebicum Blume., Talauma candolei Blume, Alangium javanicum Wang., Drypetes longifolia (Bl.) Pax.et.Hoffm., Ardisia villosa Roxb., dan Calophyllum soulattri Burm.f. Selain di TN BNW, informasi kandungan karbon juga terdapat di CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa. Secara geografis CA Tangkoko-Dua Saudara seluas ha terletak di antara BT dan LU dan termasuk pada wilayah Kota Bitung. Ekosistem yang menyusun kawasan ini adalah hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan lumut. Topografi kawasan ini antara landai sampai bergunung dengan ketinggian m dpl dan curah hujan mm/tahun. Beberapa jenis vegetasi yang bisa ditemukan adalah beringin (Ficus spp), aras (Duabanga moluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), kayu hitam (Diospyros spp), cempaka (Elmerillia ovalis), dan Woka (Livistonia rotundifolia). Kawasan ini juga merupakan habitat bagi beberapa satwa yaitu kera hitam (Macaca tongkeana), tangkasi Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 45

64 (Tarsius spectrum), Kus-kus (Phalanger ursinus), maleo (Macrocephalon maleo) dan elang laut (Haliaetus leucogaster). KPHP Model Poigar memiliki luas areal ha yang terbentang dari hingga LU dan dari hingga BT, dimana secara administratif mencakup dua kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dengan luas kawasan hutan ha (60,13 %) dan Kabupaten Minahasa Selatan dengan luas kawasan hutan ha (39,87 %). Kondisi topografi bervariasi mulai dari landai hingga sangat curam dengan curah hujan tahunan rata-rata 2411 mm. Kawasan hutan di KPHP Model Poigar termasuk dalam hutan dataran rendah dan pegunungan serta terdapat pula lahan budidaya masyarakat seperti kebun kelapa dan cengkeh. Beberapa jenis vegetasi yang terdapat di sana adalah Jabon (Anthocepallus micropillus Miq), Aras (Ficus variegate), Kenanga (Cananga odorata Hook.f.et.Th), dan Nantu (Palaquium obtusifolium). Sedangkan satwa yang sering dijumpai masyarakat antara lain babi hutan (Sus scrofa), burung taon/ julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), yaki/ kera hitam (Macaca tongkeana), Kus-kus (Phalanger ursinus) dan maleo (Macrocephalon maleo). Adapun Hutan Lindung Gunung Tumpa memiliki luas 215 ha dan secara geografis terletak antara 1 o 30-1 o 40 LU dan 124 o o 50 BT. Secara administratif terletak pada dua wilayah yaitu Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Utara. Topografi kawasann ini berbukit dengan puncak tertinggi mencapai 610 m dpl dan curah hujan antara mm/tahun. Beberapa jenis vegetasi yang dapat ditemui adalah Caryota sp, Livistoa rotundifolia, Pigafetta filaris, Balanophora sp, Diospyros sp, Dillenia celebica dan Osmoxylon masarangense. Total biomasa pada tiap tipe hutan merupakan penjumlahan biomasa atas permukaan tanah, biomasa bawah permukaan tanah, biomasa serasah dan biomasa nekromasa. Komponen tanah tidak termasuk dalam penghitungan biomasa karena akan langsung diperoleh nilai karbon organik tanah. Nilai biomasa tiap komponen dan total biomasa berdasarkan ekosistem hutan terdapat dalam Tabel 26. Tabel 26. Kandungan biomasa dari CA Tangkoko Dua Saudara, KPH Poigar dan HL Gunung Tumpa Lokasi dan Tipe AGB Komponen Biomasa BGB Hutan Chave Kettering Litbang Chave Kettering Litbang I. CA Tangkoko-Dua Saudara Hutan Pantai Hutan Dataran Rendah Nekromasa Serasah Total Biomasa* (ton/ha) Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

65 Lokasi dan Tipe Hutan AGB Komponen Biomasa BGB Chave Kettering Litbang Chave Kettering Litbang Nekromasa Serasah Total Biomasa* (ton/ha) Hutan Dataran Tinggi Hutan Lumut II. KPHP Poigar Hutan Dataran Rendah Hutan Dataran Tinggi III. HL Gunung Tumpa Hutan Dataran Rendah Keterangan: AGB = Above Ground Biomass (biomasa di atas permukaan), BGB = Below Ground Biomass (biomasa di bawah permukaan), *nilai AGB dan BGB yang dihitung adalah dari persamaan Litbang (2010) Nilai biomasa tertinggi berada pada ekosistem hutan dataran rendah Gunung Tumpa sebesar 475,10 ton/ha. Sedangkan nilai biomasa terendah berada pada ekosistem hutan dataran rendah Poigar sebesar 211,27 ton/ha. Komponen penyusun biomasa terbesar secara berturut-turut adalah biomasa atas permukaan, biomasa bawah permukaan, biomasa serasah dan biomasa nekromasa. Jika dilakukan perbandingan biomasa berdasarkan tipe ekosistem yang terdapat di 3 lokasi yaitu hutan dataran rendah, secara berturut-turut lokasi dengan biomasa terbesar hingga terkecil adalah Gunung Tumpa, CA Tangkoko- Dua Saudara dan KPHP Poigar. Perbedaan nilai total biomasa selain disebabkan oleh lokasi plot di berbagai kawasan mulai hutan konservasi (CA Tangkoko-Dua Saudara) dan hutan lindung (KPHP Poigar dan Gunung Tumpa) serta kondisi vegetasi dan aksesibilitas hutan dari masyarakat. Namun pada kawasan hutan Tangkoko, biomasa hutan pantai, hutan dataran rendah dan hutan lumut tidak jauh berbeda yaitu berkisar 200 ton/ha. Sedangkan nilai biomasa hutan dataran rendah dan hutan dataran tinggi di KPHP Poigar masing-masing sebesar 211,27 ton/ha dan 251,72 ton/ha. Kondisi di kedua ekosistem ini tidak jauh berbeda namun hutan dataran tinggi terletak pada lokasi yang cukup sulit diakses dengan topografi curam. Sedangkan plot pengukuran di Gunung Tumpa memberikan hasil nilai biomasa tertinggi untuk tipe ekosistem hutan dataran rendah dibandingkan lokasi Poigar dan Gunung Tumpa yaitu sebesar 475,10 ton/ha. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 47

66 Perbedaan biomasa pada tiap lokasi pengukuran antara lain disebabkan perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen penyusun ekosistem tersebut. Kompleksitas ekosistem ini akan mempengaruhi cepat atau lambatnya siklus karbon yang melalui tiap komponennya. Pada lokasi pembuatan plot, perbedaan nilai biomasa pada satu lokasi dengan lokasi lainnya dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi tegakan, topografi, keragaman vegetasi penyusun dan intensitas gangguan terhadap kawasan Bioregion Nusa Tenggara NTT memiliki kekhasan ekosistem yang berupa savana. Dua jenis dominan di savanna diantaranya adalah ampupu (Eucalyptus urophylla) sebagai jenis dominan pada hutan tanaman dataran tinggi, dan jati (Tectona grandis) sebagai jenis yang dominan pada hutan tanaman dataran rendah. Selain dua jenis di atas, terdapat juga savana huek (Eucalyptus alba), savana gewang (Corypha utan), savana lontar (Borassus flabellifer), savana kasuari (Casuarina junghuhniana), dan savana Acacia leucophloea. Inventarisasi potensi simpanan karbon pada hutan tanaman ampupu dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Simpanan karbon hutan tanaman ampupu pada umur 12 tahun sebesar 38,95 ton/ha, pada umur 26 tahun sebesar 117,94 ton/ha dan pada umur 27 tahun sebesar 166,70 ton/ha. Inventarisasi potensi simpanan karbon pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) dilakukan di 2 (dua) kabupaten di Prop. NTT. Stok karbon tertinggi pada kawasan hutan tanaman jati (Tectona grandis) di Kabupaten Kupang menurut allometrik Ketterings sebesar 148,48 ton/ha dan allometrik Pérez, L.D. & Kanninen sebesar 145,32 ton/ha yang terletak pada kelas umur III. Stok karbon terendah pada kawasan hutan tanaman jati di Kabupaten Kupang menurut allometrik Ketterings sebesar 106,59 ton/ha dan menurut allometrik Pérez, L.D. & Kanninen sebesar 107,04 ton/ha yang terletak pada kelas umur V. Hutan tanaman jati di Kab. Belu memiliki memiliki keragaman kandungan karbon sesuai kelas umurnya. Tahun tanam tertua adalah 1936, dan tahun tanam termuda adalah tahun 1992, dengan potensi stok karbon disajikan pada Tabel Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

67 Tabel 27. Potensi stok/simpanan karbon pada KU II KU Kategori Biomasa (ton/ha) Ketterings Pérez, L.D. & Kanninen Simpanan C (ton/ha) Ketterings Pérez, L.D. & Kanninen Keterangan II Pohon JT 3x2 m, Nekromas 30 up lokasi Bifemnasi- Nekromas Sonmahole Seresah Tumbuhan bawah Tanah Jumlah IV Pohon Kelompok hutan Nekromas Seresah Tumbuhan bawah Tanah Jumlah Lakaan Mandeu lokasi Fatubesi, tahun tanam 1978, JT 3 x 1 m V Pohon 30 up Kelompok hutan Pohon Nekromas Seresah Tumbuhan Bawah Tanah Jumlah Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1965, JT 3 x 1 m VI Pohon 30 up Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1955, JT awal 3 x 1 m Pohon Nekromas Seresah Tumbuhan Bawah Tanah Jumlah VII Pohon 30 up Kelompok hutan Udukama lokasi Nekasa,tahun tanam 1946, JT 2 x 1 m Pohon Nekromas 30 up Seresah Tumbuhan Bawah Tanah Jumlah (ton/ha) VIII Pohon 30 up Kelompok hutan Pohon Nekromas Seresah Tumbuhan Bawah Tanah Jumlah Udukama lokasi Nekasa, tahun tanam 1937, JT 2 x 1 m Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 49

68 Type ekosistem savana lain yang dijumpai di Nusa Tenggara Timur adalah ekosistem savana Eucalyptus alba. Potensi karbon per hektar pada ekosistem tersebut menurut metode perhitungan langsung berkisar antara 48,03 115,68 ton/ha, atau rata-rata 70,67 ton/ha. Nilai tesebut meliputi karbon di atas tanah, di bawah tanah, tumbuhan bawah, seresah, nekromas tidak berkayu, dan karbon tanah (Tabel 28). Tabel 28. Kandungan karbon Eucalyptus alba menurut klasifikasi pool karbon Lokasi Pohon Nekromas Seresah Biomasa (ton/ha) Tumbuhan bawah Tanah Jumlah C (ton/ha) Teba Lapeom Noebaun Naiola Rerata Gambar 10. Ekosistem savanna Eucalyptus alba di Nusa Tenggara Timur 50 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

69 Adapun potensi simpanan karbon savana gewang (Corypha utan) di Desa Nekbaun adalah 58,21 ton/hektar dan potensi simpanan karbon savana lontar (Borassus flabellifer) di Desa Kuanheun adalah 52,68 ton/hektar Bioregion Maluku dan Papua Maluku Besarnya kandungan biomassa pada masing-masing stratum di hutan topis Maluku diperoleh dari desa Murnaten dan desa Soya, Pulau Ambon. Gambaran mengenai kondisi cadangan biomassa dan besarnya jumlah C tersimpan pada masing-masing strata hutan di lokasi penelitian dapat dilihat dalam Tabel 29 serta Gambar 11 dan 12. (a) (b) Gambar 11. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b) di Desa Murnaten (a) (b) Gambar 12. Grafik Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan Primer (a) dan Strata Hutan Sekunder (b) di Desa Soya Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 51

70 Tabel 29. Rekapitulasi Jumlah Kandungan Biomassa dan Jumlah C Tersimpan menurut Strata Hutan di Desa Murnaten dan Desa Soya No Tipe Hutan Plot Atas Permukaan (ton/ha) Bawah Permukaan (ton/ha) Serasah (ton/ha) Nekromassa (ton/ha) Tanah (ton/ Total C (ton/ha) Biomassa C-tersimpan Biomassa C-tersimpan Biomassa C-tersimpan Biomassa C-tersimpan ha) Biomassa C-tersimpan Desa Murnaten (Kab. SBB) 1 Hutan Primer Dataran Rendah I II III Rata-rata Hutan Sekunder Dataran Rendah I II III Rata-rata Desa Soya (Kota Ambon) 1 Hutan Primer Dataran Rendah IV V VI Rata-rata Hutan Sekunder Dataran Rendah I II III Rata-rata Sumber: Universitas Pattimura, Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

71 Tabel 29 menjelaskan bahwa jumlah kandungan biomassa berbeda antara strata hutan primer dan sekunder. Secara keseluruhan jumlah kandungan biomassa pada strata hutan primer lebih tinggi daripada strata hutan sekunder. Kondisi ini berdampak pula pada jumlah C tersimpan dari kedua strata hutan tersebut, karena 50% total biomassa yang dihasilkan adalah karbon. Tingginya jumlah kandungan karbon pada strata hutan primer dibandingkan strata hutan sekunder disebabkan lahan hutan primer mampu menyimpan karbon karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan lahan hutan sekunder. Jumlah kandungan karbon pada strata hutan sekunder lebih sedikit karena lahan hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya seperti aktivitas penebangan maupun akibat kebakaran hutan. Hal ini dipertegas juga dalam Anonim, 2010, bahwa pengurangan jumlah karbon pada strata hutan sekunder disebabkan karena kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuan menyimpan karbon. Besarnya jumlah kandungan karbon pada masing-masing strata dipengaruhi oleh jumlah kandungan karbon pada masing-masing karbon pool, dengan jumlah kandungan karbon tanah lebih besar daripada karbon pool lainnya. Jumlah kandungan karbon tanah ini salah satunya dipengaruhi oleh faktor kesuburan tanahnya. Kondisi ini yang menyebabkan pada strata hutan sekunder di desa Murnaten jumlah kandungan karbonnya lebih besar dibandingkan strata hutan primer pada plot II, karena kesuburan tanahnya baik jika dibandingkan dengan plot I dan III. Dijelaskan pula bahwa untuk kondisi areal penelitian di Desa Murnaten besarnya jumlah C tersimpan pada strata hutan primer berkisar antara 201, 2458 ton/ha 241,6208 ton/ha, dengan rata-ratanya sebesar 224,9441 ton/ha. Nilai ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah C tersimpan hasil penelitian Litbang Kehutanan, 2010 pada hutan alam primer dataran rendah sebesar 230,10 ton/ha 264,70 ton/ha. Untuk strata hutan sekunder besarnya C tersimpan berkisar antara 175,1545 ton/ha 201,9408 ton/ ha, dengan rata-rata 185,0125 ton/ha. Hasil penelitian ini lebih tinggi Jika dibandingkan dengan hasil penelitian litbang kehutanan, 2010 jumlah C tersimpan sebesar 113, 20 ton/ha. Di desa Soya besarnya jumlah C tersimpan pada strata hutan primer berkisar antara 432, 7776 ton/ha 472,7711 ton/ha, dengan rata-ratanya sebesar 455,5730 ton/ha. Untuk strata hutan sekunder besarnya C tersimpan berkisar antara 239,9776 ton/ha 260,2251 ton/ha, dengan rata-rata jumlah C tersimpan sebesar 251,8058 ton/ha. Hasil penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Litbang Kehutanan, Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 53

72 2010. Perbedaan ini cenderung disebabkan oleh kerapatan vegetasi, struktur dan komposisi tegakan, diameter pohon, jenis pohon serta kondisi lahannya. Perbedaan kandungan C di kedua lokasi dipengaruhi oleh keadaan lokasi tempat tumbuh dan tingkat kerapatan vegetasi serta ukuran diameter tegakan yang dijumpai pada kedua lokasi penelitian. Areal penelitian di Desa Soya merupakan areal hutan lindung yang termasuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Unit XIV propinsi Maluku, sedangkan di Desa Murnaten merupakan hutan produksi yang termasuk dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Unit IV Propinsi Maluku Papua Kandungan karbon beberapa type hutan di wilayah di Papua telah diinventarisasi dengan metode non destructive dan menggunakan persamaan alometrik yang relevan. Sebagian informasi cadangan karbon berasal dari hutan alam dan sebagian lagi berasal dari Hutan Penelitian yang merupakan hutan tanaman (Tabel 30). Tabel 30. Kapasitas simpanan karbon pada hutan alam Papua Type Hutan Pohon Akar Karbon vegetasi (ton C/ha) Tumbuhan bawah Nekromasa berkayu Nekromasa tidak berkayu Jumlah C vegetasi 0-10 cm C tanah (ton C/ha) cm cm Jml C tanah Total C (ton C/ ha) Hutan pegunungan rapat Hutan pegunungan sedang Hutan perbukitan rapat Hutan perbukitan sedang Hutan dataran rendah rapat Hutan dataran rendah sedang Hutan rawa rapat Hutan rawa sedang Non hutan (kelapa sawit) Sumber: Maulana (2010) 54 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

73 Sebagai komparasi, kapasitas simpanan karbon pada hutan tropis areal konsesi PT Papua Satya Kencana dapat dihitung dari hasil IHMB dengan menggunakan persamaan alometrik berikut. W = 0.11*BJ* D 2.62 (Ketterings, et. al., 2001) W = 0,118 D 2,53 (Brown, 1997) Hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan allometrik di atas dari data diameter sebagaimana Tabel 31, 32 dan 33 diperoleh bahwa kisaran kandungan karbon hutan di Papua Barat berkisar antara 219,40 ton/ha (menurut persamaan alometrik Ketterings) sampai 289,87 ton/ha (menurut persamaan allometrik Brown) (Tabel 31). Tabel 31. Estimasi kandungan karbon berdasarkan data IHMB Kelas diameter Jumlah phn/ha Kettering (ton/ ha) Brown (ton/ha) cm (nilai tengah 15 cm) ,81 81, cm (nilai tengah 25 cm) ,65 73,13 >30 up (nilai tengah 45 cm) ,94 135,73 Total kandungan C/ha 219,40 289,87 Berdasarkan sumber data IHMB yang sama, kalkulasi kandungan karbon dapat dilakukan dengan menggunakan data volume dan nilai BEF (Biomass Expansion Factor) sebesar 1,3 (kisaran 0,9 1,6 untuk hutan alam tropis basah pada level growing stock m 3 ) (IPCC, 2006). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kandungan karbon hutan Papua Barat antara 89,89 159,81 ton/ha denga nilai tengah 129,84 ton/ha (Tabel 32). Nilai tersebut lebih kecil dari hasil perhitungan alometrik Kettering maupun Brown, namun mendekati hutan dataran rendah rapat dan sedang menurut Maulana (2010) sebagaimana Tabel 32. Tabel 32. Estimasi kandungan karbon berdasarkan data IHMB (volume) dengan BEF Estimasi biomasa (ton/ha) Estimasi kandungan C (ton/ha) Kelas diameter Vol (m3/ha) Kisaran bawah Kisaran atas Nilai tengah Kisaran bawah Kisaran atas Nilai tengah cm cm >30 up Jumlah /ha Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 55

74 Adapun kapasitas simpanan karbon pada beberapa jenis hutan tanaman di Papua Barat disajikan pada Tabel 33. Berdasarkan tabel tersebut terlihat adanya variasi yang dibentuk oleh jenis tanaman dan umur tanaman tersebut. Tabel 33. Kapasitas simpanan karbon pada beberapa type hutan di Papua Barat No. Ekosistem / Lokasi Kandungan C (ton/ha) Sumber 1 Potensi karbon jenis endemic Papua 156,6-164,4 Asmoro, Carbon Stock in Pometia, Palaqium amboinensis and Swietinia macrophyla standing tree at Anggresi Plantation Forest, Manokwari, West Papua. 3 Tegakan matoa di hutan tanaman wanariset Anggresi Kabupaten Manokwari 4 Tegakan Araucaria cunninghamii dan Dracontomelum adule di arboretum Angggori, Manokwari. 5 Tegakan Swietinia macrophyla di Hutan Tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. 6 Tegakan Palaquium amboinensis di Hutan Tanaman Wanariset Anggresi Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari. P. coreacea = 264,67 ton/ha, S macrophyla = 181,93 ton/ha P amboinensis = 141,73 ton/ha. Jonni Marwa, Reinaldus L. Cabuy, Jacob Manusawai, ,73 SC Wattimury, 2010 Tegakan A. cuninghamii tahun 2010 sebesar 9,4 ton/ha dan pada tahun 2011 sebesar 12,2 ton/ha. Tegakan D. edule tahun 2010 sebesar 86,7 ton/ha dan tahun 2011 sebesar 95,5 ton/ha. Jumlah karbon tersimpan pada tahun 2009 adalah 1,05 ton/ha. Intan Debora OM Ndun, 2011 Johanes P Sanadi, ,098 ton/ha/thn Ferdinand K. Yafdas, Rekomendasi Teknik Perhitungan Karbon dan Perbaikan Faktor Emisi Sejak tahun 2009 sampai dengan 2013, RPI 17 telah menghasilkan beberapa informasi penting yang dapat dijadikan sumber acuan di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Beberapa nilai penting tersebut adalah: 1. Tambahan database persamaan alometrik pada berbagai ekosistem hutan di Indonesia 2. Kandungan karbon sebagai acuan factor emisi dan factor serapan local dari berbagai type hutan di Indonesia 3. Persamaan allometrik hutan savanna dan faktor emisi berbagai jenis tanaman dan type hutan dari Indonesia Bagian Timur (Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) merupakan sumbangan yang signifikan bagi database Indonesia. 56 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

75 Berdasarkan temuan ini dapat direkomendasikan untuk perbaikan faktor emisi dan serapan sebagai berikut: 1. Penggunaan tambahan persamaan alometrik untuk tanaman pada ekosistem savanna. 2. Penetapan default value FE nasional dan sub nasional dalam pendekatan bioregion. Provinsi dapat menggunakan FE menurut region yang sesuai. Usulan angka default disajikan pada Tabel berikut. Tabel 34. FE/FS pada berbagai tipe hutan tingkat nasional Tipe tutupan lahan Nilai min. (ton/ha) Nilai maks (ton/ha) Median (ton/ha) Rerata (ton/ha) N Sd SE Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan gambut primer Hutan gambut sekunder Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan tanaman Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 35. FE/FS pada kebakaran hutan Kondisi kebakaran Hutan Gambut (ton/ha) Hutan Tanaman lahan gambut (ton/ ha) Pasca terbakar 1 tahun Pasca terbakar 3 tahun Pasca terbakar 8 tahun Sumber: Prakosa, et al. (2012) Tingkat keparahan kebakaran di hutan alam gambut Sisa cadangan C (ton/ha) Aral HA 1 thn pasca kebakaran 1,296 Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran ringan 65,14 m3/ha Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran sedang 28,0 m3/ha Sisa cadangan karbon pada areal bekas kebakaran berat 24,7 ton/ha. Sumber: Dharmawan, et al. (2013) Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 57

76 Tabel 36. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Sumatera Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ha) Median (ton/ha) Rerata (ton/ha) N Sd SE Keterangan Ht. lahan kering primer Diolah dari berbagai sumber Ht. lahan kering sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. gambut primer Rochmayanto, et al. (2010) Ht. gambut sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. mangrove primer Sadelie, et al. (2011) Ht. mangrove sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. tanaman Diolah dari berbagai sumber Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 37. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Jawa Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ ha) Nilai maks (ton/ha) Median (ton/ ha) Rerata (ton/ ha) N Sd SE Keterangan Ht. lahan kering primer Diolah dari berbagai sumber Ht. lahan kering sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. gambut primer Tidak terdapat hutan gambut Ht. gambut sekunder Tidak terdapat hutan gambut Ht. mangrove primer Hapsari (2011) Ht. mangrove sekunder Heriyanto & Subiyandono (2012) Ht. tanaman Diolah dari berbagai sumber Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 38. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Kalimantan Tipe hutan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ha) Rerata (ton/ ha) N Sd Keterangan Hutan lahan kering primer ,07 Krisnawati, et al. (2014) Hutan lahan kering sekunder ,25 Krisnawati, et al. (2014) Hutan gambut primer ,31 Krisnawati, et al. (2014) 58 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

77 Tipe hutan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ha) Rerata (ton/ ha) N Sd Keterangan Hutan gambut sekunder ,78 Krisnawati, et al. (2014) Hutan mangrove primer ,96 Krisnawati, et al. (2014) Hutan mangrove sekunder ,87 Krisnawati, et al. (2014) Hutan tanaman ,7 - - Hardjana (2011) Keterangan: N = Jumlah plot; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 39. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Bali-Nusa Tenggara Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ ha) Median (ton/ha) Rerata (ton/ ha) N Sd SE Keterangan Ht. lahan kering primer Diolah dari berbagai sumber Ht. lahan kering sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. gambut primer Tidak ada hutan gambut Ht. gambut sekunder Tidak ada hutan gambut Ht. mangrove primer Dinas Kehutanan NTB, 2013 Ht. mangrove sekunder Dinas Kehutanan NTB, 2013 Ht. tanaman Diolah dari berbagai sumber Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 40. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Sulawesi Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ ha) Median (ton/ ha) Rerata (ton/ ha) N Sd SE Keterangan Ht. lahan kering primer Ht. lahan kering sekunder Ht. gambut primer Diolah dari berbagai sumber Diolah dari berbagai sumber Tidak ada hutan rawa gambut Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 59

78 Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ ha) Median (ton/ ha) Rerata (ton/ ha) N Sd SE Keterangan Ht. gambut sekunder Tidak ada hutan rawa gambut Ht. mangrove primer ND Ht. mangrove sekunder Ht. tanaman Diolah dari berbagai sumber Diolah dari berbagai sumber Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Tabel 41. FE/FS pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Maluku-Papua Tipe tutupan lahan Nilai min (ton/ha) Nilai maks (ton/ha) Median (ton/ ha) Rerata (ton/ ha) N Sd SE Keterangan Ht. lahan kering primer Ht. lahan kering sekunder Diolah dari berbagai sumber Diolah dari berbagai sumber Ht. gambut primer Diolah dari berbagai sumber Ht. gambut sekunder Diolah dari berbagai sumber Ht. mangrove primer Prasetyo, et al. (2012) Ht. mangrove sekunder Prasetyo, et al. (2012) Ht. tanaman Diolah dari berbagai sumber Keterangan: N = Jumlah data; Sd : Standar deviasi; SE : Standar eror Catatan : 1. Nilai cadangan karbon pada Tabel 1 dan 2 adalah nilai di atas permukaan tanah, sehingga nilai tersebut tidak mencakup nilai karbon di bawah permukaan tanah dan karbon tanah. 2. Dalam tabel disajikan : nilai minimum dan maksimum (nilai terendah dan tertinggi dari data), media, dan rata-rata untuk dipilih yang paling kuat representasinya. 3. Faktor emisi dan faktor serapan dikonversi dari tabel di atas, dan dapat dilakukan sebagaimana contoh berikut. Contoh 1 pada level nasional: a. Tipe hutan awal : Hutan Lahan Kering Primer = 176,10 ton/ha b. Tipe hutan akhir : Hutan Lahhan Kering Sekunder = 103,59 ton/ha 60 Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

79 c. Maka faktor emisi : 176,10 103,59 = 72,51 ton/ha d. Artinya : Faktor emisi pada kasus HLKP berubah menjadi HLKS sebesar 72,51 ton/ha. Contoh 2 pada level nasional: a. Tipe lahan awal : Tanah terbuka = 0 ton/ha b. Tipe hutan akhir : Hutan Tanaman = 98,38 ton/ha c. Maka faktor serapan : 98,38 0 = 98,38 ton/ha d. Artinya : Faktor serapan pada kasus Tanah Terbuka berubah menjadi HT sebesar 98,38 ton/ha. Contoh 3 pada level nasional peristiwa kebakaran: a. Tipe hutan awal : Hutan Gambut Sekunder = 103,59 ton/ha b. Tipe hutan akhir : Hutan Gambut Sekunder Terbakar pada tahun pertama = 7,85 ton/ha c. Maka faktor serapan : 103,59 7,85 = 95,74 ton/ha d. Artinya : Faktor emisi dalam kasus kebakaran pada HGS sebesar 95,74 ton/ha. 3. Jenis tutupan lahan yang tidak termasuk di dalam buku ini (misalnya: padang rumput, tanah terbuka, dll.) dapat mengacu kepada asumsi yang selama ini diacu. 4. FE dan FS Sub Nasional dibangun berdasarkan bioregion menurut pulau besar. Provinsi dapat mengacu nilai FE/FS pada bioregion yang bersangkutan atau memilih data paling relevan pada Bab 4 jika tersedia data. 1. Pengayaan faktor serapan diperlukan untuk menggambarkan riap atau pertumbuhan biomassa tahunan dari setiap type hutan. Hingga saat ini angka pertumbuhan biomasa belum ada, sehingga hutan yang tetap hutan (tidak ada perubahan lahan) masih dianggap konstan, padahal pada kondisi huutan belum klimaks masih mengalami pertumbuhan. 2. Pengayaan keterwakilan persamaan alometrik dan cadangan karbon di seluruh Indonesia. Distribusi temuan persamaan allometrik dan kandungan biomasa/ karbon hutan dapat dicermati pada Gambar 13. Secara spasial, semua pulau besar di Indonesia sudah memiliki keterwakilan alometrik dan informasi kandungan biomasa/ karbon hutan. Focus pengayaan kedepan dapat ditujukan ke provinsi yang belum memiliki keterwakilan persamaan alometrik adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara) Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), NTB, Maluku dan Papua Barat. Adapun provinsi yang belum memiliki keterwakilan informasi kandungan biomasa/karbon dari RPI ini adalah : Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi (kecuali Sulawesi Utara), dan NTB. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 61

80 Keterangan: : distribusi persamaan allometrik : distribusi informasi kandungan biomasa/karbon hutan Gambar 13. Distribusi persamaan alometrik dan kandungan biomasa/karbon hutan dari kontribusi RPI Teknik Perhitungan Karbon untuk Perbaikan Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan

81 Bab 5 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan 5.1 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK untuk wilayah Sumatera Untuk mendukung upaya penurunan emisi yang dapat dihitung (Measurable), dilaporkan (Reportable) dan dapat di verifikasi (Verifiable), diperlukan metode perhitungan emisi yang handal dan diakui internasional. ampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi IPCC Guideline 2006 untuk menghitung emisi, dengan studi kasus di Wilayah Sumatera Selatan, menginventarisasi kebutuhan data dan informasi serta berbagai kendala yang ditemui, guna memberikan masukan atau rekomendasi dalam pelaksanaan Perpres No 61 dan 71. Berdasarkan kajian tersebut diketahui aplikasi IPCC GL, termasuk kebutuhan data dan hambatan pelaksanaan, dan mengetahui besarnya emisi pada sebagian wilayah di Sumatera dengan menggunakan metode perhitungan emisi IPCC GL Beberapa catatan pentingnya menunjukkan bahwa: 1. Aplikasi IPCC GL 2006 untuk menghitung emisi memerlukan dua data pokok, yaitu data kegiatan dan data faktor emisi atau serapan. Data kegiatan yang berhubungan dengan perubahan lahan perlu disusun dalam bentuk Matriks Perubahan Lahan (Land Change Matrix atau LCM) yang yang didasarkan kepada enam kategori lahan menurut IPCC GL 2006, yaitu : Lahan hutan, lahan pertanian, padang rumput, lahan basah, pemukiman dan lahan lain. 2. Untuk matriks perubahan lahan, institusi yang paling relevan dengan sistim inventarisasi dan monitoring perubahan penutupan lahan di Indonesia adalah Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 3. Tabel-tabel perhitungan emisi menurut IPCC GL 2006 terdiri dari 39 Tabel yang memerlukan data rinci. Berbagai data pada umumnya belum tersedia, misalnya data faktor emisi pada tanah, jenis dan volume kayu bakar, data illegal logging, serangan hama penyakit, data nekromas, serasah dan data terkait lahan gambut. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 63

82 4. Pada tahun Provinsi Sumatera Selatan masih menjadi emiter dengan besarnya emisi dibandingkan dengan serapan. Emisi rata-rata per tahun adalah ton CO2-e. 5. Sumber emisi terbesar adalah emisi dari lahan gambut yaitu 26% pada tanaman Acacia crassicarpa di lahan gambut dan 27% pada tanaman karet di lahan gambut. Emisi terbesar selanjutnya adalah pemanenan biomasa hutan yang terjadi akibat konversi dan degradasi. 6. Dalam kaitannya dengan perbuahan iklim, hutan juga mempunyai fungsi serapan CO2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber serapan lahan hutan adalah karena perrtumbuhan tegakan atau pertambahan karbon karena pertumbuhan biomasa. 5.2 Aplikasi Template IPCC Guideline 2006 untuk Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Kehutanan Hasil review terhadap penerapan aplikasi template IPCC guideline 2006, pembelajaran dari studi untuk wilayah Kalimantan Barat dan Timur (Tim Badan Litbang Kehutanan dan Ditjen Planologi, 2009), ditemui berbagai hambatan dalam penerapan IPCC GL 2006 yang mengakibatkan tingginya tingkat uncertainty dalam estimasi GRK dari sektor LULUCF, yaitu : 1. Untuk skala nasional misalnya dalam penyusunan SNC, data perubahan lahan secara spatial sesuai dengan kriteria IPCC tidak tersedia, sehingga digunakan data statistik dengan tingkat kerincian yang rendah (Tier 1). 2. Untuk skala propinsi, perbedaan pembagian kategori lahan Kementerian Kehutanan dan IPCC masih merupakan kendala. Selain itu terjadinya penutupan awan menyulitkan identifikasi penutupan lahan. 3. Secara umum masih sulit untuk menyusun land change matrix karena keterbatasan spatial data sesuai kategori IPCC. 4. Keterbatasan data kegiatan lain seperti degradasi: kayu yang dipanen, kebakaran, pengambilan kayu bakar, dan kerusakan lainnya. 5. LULUCF melibatkan juga sektor lainnya yaitu pertanian dan perkebunan. Data kegiatan spatial atau data statistik untuk berbagai komoditi perkebunan dan pertanian masih sangat terbatas. 6. Keterbatasan data menyangkut sumber karbon lainnya misalnya nekromas, serasah, dan tanah 7. Masih terbatasnya data faktor emisi/serapan lokal karena kondisi keanekaragaman tipe hutan dan jenis vegetasi mengakibatkan masih digunakan angka default IPCC dalam perhitungan emisi. 64 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

83 Beberapa catatan penting dari kajian tersebut menyatakan bahwa: 1. Dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK), sektor Kehutanan yang termasuk dalam sektor LULUCF adalah salah satu sektor penting dengan kontribusi di tingkat nasional mencapai 48%. 2. Metode IPCC Guideline 2006 adalah metode inventarisasi gas rumah kaca yang dikembangkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) dan telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. 3. Metode IPCC GL 2006 membagi kelas lahan kedalam enam kategori yaitu forest land, cropland, grassland, wetland, settlement dan other land. Aplikasi metode IPCC GL memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Selain itu diperlukan informasi spesifik mencakup faktor emisi yang tidak hanya menggunakan angka default yang ada dalam IPCC GL guna mendapatkan ketelitian yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3). 4. Indonesia penting untuk menerapkan metode IPCC Guideline dalam inventarisasi gas rumah kaca agar hasil inventarisasi lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. 5. Aplikasi IPCC GL juga digunakan untuk penghitungan dalam kegiatan karbon seperti REDD dan proyek karbon lainnya. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dengan menggunakan metode internasional yang disepakati yaitu IPCC Guideline 2006, beberapa hal perlu dilakukan oleh Indonesia, yaitu : 1. Menjaga dan menambah permanen plot untuk mendapatkan estimasi pengukuran karbon pada berbagai kondisi hutan di Indonesia. 2. Kerjasama dengan organisasi penelitian (nasional dan internasional) untuk melakukan penelitian terkait country specific (misal data pertumbuhan untuk masing-masing jenis/hutan dan jenis hutan tanaman, potensi karbon, berat jenis dsb) 3. Membentuk atau menugaskan unit organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap monitoring karbon stok di sektor kehutanan yang juga terintegrasi dengan sektor pertanian. 5.3 Penentuan Reference Emission Level (REL) Reference Emission Level (REL) dalam mekanisme REDD+ sangat penting untuk menunjukkan besar emisi yang akan terjadi apabila kegiatan REDD+ tidak dilakukan dan besarnya emisi yang akan diturunkan apabila REDD+ dilaksanakan. Penentuan REL berguna untuk mendukung upaya penuruan emisi yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (MRV). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 65

84 Dalam proses penghitungan besarnya REL tingkat nasional, data perubahan penutupan lahan pada Tabel 42 digunakan untuk menyusun matriks perubahan lahan (LCM, Land Change Matrix) berdasarkan kategori IPCC Dalam IPCC Guidline 2006 kelas penutupan lahan dibedakan menjadi 6, yaitu : (1) Forestland; (2) Cropland; (3) Grassland; (4) Wetland; (5) Settlement; dan (6) Otherland. Sedangkan kelas penutupan lahan dari data landsat & ETM+ berdasarkan kategori penutupan lahan Direktorat Jenderal Planalogi Kementerian Kehutanan sebanyak 23 kelas. Sehingga diperlukan penyesuaian dari 23 kelas menjadi 6 kelas penutupan lahan IPCC Perubahan Lahan di Indonesia Penggunaan lahan di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2011 mengalami perubahan. Dalam rentang waktu 11 tahun telah terjadi penurunan tutupan hutan seluas 6,46 juta ha, atau laju penurunan sebesar 587,7 ribu ha per tahun. Seiring dengan penurunan luas hutan, terjadi peningkatan luas areal non hutan sebesar 6,59 juta ha, dengan laju peningkatan sebesar 598,7 ribu ha per tahun. Tutupan hutan yang paling banyak berkurang adalaj hutan lahan kering primer dan hutan rawa sekunder, yaitu masing-masing 5,54 juta ha dan 1,89 juta ha. Di sisi lain ditemukan peningkatan hutan lahan kering sekunder seluas 1,65 juta ha dan hutan gambut sekunder seluas 6,2 ribu ha, sehingga terindikasi banyak terjadi degradasi hutan (Tabel 42). Perubahan areal non hutan yang secara keseluruhan mengalami peningkatan, ditemukan penambahan luas paling besar terjadi pada perkebunan, pertanian lahan kering dan hutan gambut terdegradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan hutan (deforestasi) sebagian besar mengarah kepada perkebunan, lahan pertanian, dan beberapa diantaranya dibiarkan terlantar menjadi belukar di hutan rawa gambut (terdegradasi berat) (Tabel 42). Tabel 42. Perubahan penutupan lahan Indonesia tahun No. Jenis Penutupan Lahan Perubahan (ha) Keterangan A. Hutan 1 Hutan lahan kering primer (5,536,760.08) Berkurang 2 Hutan lahan kering sekunder 1,645, Bertambah 3 Hutan lahan gambut primer (57,787.66) Berkurang 4 Hutan lahan gambut sekunder 6, Bertambah 5 Hutan rawa primer (554,102.68) Berkurang 6 Hutan rawa sekunder (1,893,650.19) Berkurang 66 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

85 No. Jenis Penutupan Lahan Perubahan (ha) Keterangan 7 Hutan mangrove primer (101,642.19) Berkurang 8 Hutan mangrove sekunder (116,104.93) Berkurang 9 Hutan tanaman * 143, Bertambah Jumlah Hutan (6,464,950.53) Laju penurunan luas hutan per tahun (587,722.78) B. Non Hutan 10 Hutan lahan gambut terdegradasi 1,095, Bertambah 11 Semak/Belukar 150, Bertambah 12 Belukar rawa 627, Bertambah 13 Savana 149, Bertambah 14 Perkebunan 1,853, Bertambah 15 Pertanian lahan kering 1,409, Bertambah 16 Pertanian lahan kering dan Semak 361, Bertambah 17 Transmigrasi 1, Bertambah 18 Sawah 93, Bertambah 19 Tambak 141, Bertambah 20 Tanah terbuka 570, Bertambah 21 Pertambangan 190, Bertambah 22 Permukiman 187, Bertambah 23 Rawa (248,666.13) Berkurang 24 Pelabuhan Udara/Laut 1, Bertambah 25 Badan air (17.83) Jumlah Non Hutan 6,585, Laju peingkatan areal non hutan per tahun 598, Analisis lebih lanjut menemukan bahwa hutan berubah menjadi kebun (tanaman perkebunan), lahan pertanian, sawah, belukar, lahan basah dan pemukiman. Luasnya bervariasi antar periode, namun terlihat dominan menjadi padang rumput/belukar. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi degradasi hebat dimana hutan ditebang kemudian terlantar menjadi semak belukar. Perubahan hutan yang besar lainnya ditemukan menjadi lahan pertanian dan perkebunan (Tabel 43). Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 67

86 Tabel 43. Perubahan tutupan hutan menjadi penutupan lahan lain di Indonesia Perubahan hutan menjadi areal lain Periode tahun Kebun 30, , , , Pertanian 108, , , , Sawah , , Pd rumput/belukar 504, , , , Lahan basah , , , Pemukiman , , Lainnya 89, , , , ND , , Dengan mencermati pola perubahan antar waktu, sebagian puncak perubahan terjadi pada periode tahun untuk belukar dan kebun, sedangkan puncak perubahan lahan pertanian terjadi pada periode tahun Secara kumulatif, perubahan hutan paling progresif selama 11 tahun sejak tahun 2000 sampai tahun 2011 adalah perubahan menjadi belukar, lahan pertanian dan lahan kebun/perkebunan. Semua konversi/perubahan menurun pada periode (Gambar 14). Gambar 14. Pola perubahan tutupan hutan menjadi tutupan lain antar periode (kiri) dan kumulatif perubahan luas selama periode analisis (kanan) Hal ini diperkuat dengan data perkembangan komoditas perkebunan besar di Indonesia. Dari beberapa komoditas perkebunan besar, perkebunan kelapa sawit merupakan komoditas dengan perkembangan paling pesat sejak tahun Peningkatan tajam 68 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

87 luas perkebunan kelapa sawit terjadi pada periode dan periode (Gambar 15). Gambar 15. Kecenderungan luas perkebunan utama di Indonesia Sebaliknya, selama periode teridentifikasi telah terjadi perubahan tutupan lahan lain menjadi hutan. Tutupan lahan lain yang dimaksud meliputi lahan pertanian, padang rumput/belukar, lahan basah, pemukiman dan tipe lahan lainnya. Adapun hutan dibedakan menjadi hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman (Tabel 44). Tabel 44. Perubahan tutupan lahan lain menjadi hutan di Indonesia Periode Tahun No. Perubahan Sub kategori CL dikonversi ke FL HKP HKS 6, , , HT , , , Jumlah (1) 7, , , , GL dikonversi ke FL HKP 14, HKS 2, , , , HT 32, , , , Jumlah (2) 49, , , , WL dikonversi ke FL HKP HKS , Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 69

88 No. Perubahan Sub kategori Periode Tahun HT 3, , , , Jumlah (3) 4, , , , S dikonversi ke FL HKP HKS HT Jumlah (4) OL dikonversi ke FL HKP HKS HT 43, , , , Jumlah (5) 44, , , , Perubahan lahan menjadi hutan tertinggi berasal dari padang rumput/belukar seluas ,16 ha, disusul oleh lahan lain (tanah kosong/penggunaan lain) dan lahan basah masing-masing seluas ,36 ha dan ,08 ha. Pola perubahannya terlihat ada 2 macam, yaitu dengan puncak dan tanpa puncak perubahan. Asal hutan yang memiliki puncak perubahan adalah padang rumput/belukar (dengan pucak perubahan tertinggi terjadi pada periode tahun ) dan pertanian serta type tutupan lain (dengan puncak perubahan tertinggi pada periode tahun ). Adapun lahan basah menjadi hutan terlihat polanya tanpa puncak selama periode, dimana cenderung meningkat terus dari periode ke periode. (Gambar 16). Gambar 16. Pola perubahan lahan menjadi hutan antar periode (kiri) dan kumulatif perubahan selama periode analisis (kanan) 70 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

89 Gambaran tersebut menunjukkan bahwa selama periode telah terjadi reforestasi yang dapat berasal dari berbagai program. Program dimaksud dapat berupa rehabilitasi, hutan rakyat atau reforestasi secara alami akibat suksesi alam. Namun demikian, jika dibandingkan dengan perubahan hutan menjadi non hutan di Indonesia, reforestasi jauh lebih kecil jumlahnya dibanding deforestasi Tingkat Emisi Rujukan Nasional Berdasarkan perubahan tutupan lahan sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, maka prediksi emisi dan serapan dapat dilakukan. Selama periode tahun pada sektor kehutanan dan lahan gambut berhasil melakukan serapan C sebesar 443,18 Mt, namun memiliki emisi sebesar 2.379,60 Mt. Dengan demikian pada periode tersebut terdapat net emisi sebesar 1.936,42 Mt. Perilaku serapan antar periode bersifat fluktuatif, dengan serapan tertinggi terjadi pada periode tahun Berbeda dengan serapan, perilaku emisi terlihat cenderung terus meningkat baik emisi antar periode maupun ratarata emisi tahunannya (Tabel 45). Tabel 45. Pendugaan tingkat serapan dan emisi sektor kehutanan dan lahan gambut Indonesia Uraian Unit Periode tahun Tingkat Serapan Ton C 115,600, ,702, ,234, ,639, Tingkat Emisi Ton C (557,798,135.43) (599,317,247.88) (615,678,398.38) (606,806,624.52) Net Emisi Ton C (442,197,218.72) (488,614,555.07) (506,443,607.88) (499,167,471.14) Net Sequestrasi Ton C Rata-rata Emisi C Ton C/th (147,399,072.91) (162,871,518.36) (168,814,535.96) (249,583,735.57) Mt C/th (147.40) (162.87) (168.81) (249.58) Rata-rata Emisi CO2 Ton CO2/th (540,463,267.32) (597,195,567.31) (618,986,631.86) (915,140,363.76) Mt CO2/th (540.46) (597.20) (618.99) (915.14) Data historis dapat menghasilkan alat bantu persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memproyeksikan emisi pada tahun-tahun berikutnya. Persamaan yang dihasilkan adalah: Dimana Y = Emisi (Mega ton C) X = Tahun [R2 : 99,34% ; SE : 49,68] Y = , ,1535X Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 71

90 Menurut pendekatan historis, proyeksi emisi dari sektor kehutanan dan lahan gambut pada tahun 2020 diketahui sebesar 3.403,27 Mega ton C atau setara dengan ,64 Mega ton CO2-e. Proyeksi emisi tersebut terlihat bersifat linier karena secara historis kenaikan emisi juga mendekati bentuk linier (Gambar 17). Gambar 17. Tingkat emisi rujukan sektor kehutanan dan lahan gambut Indonesia Selain pendekatan historis, pendekatan lain yang dapat digunakan adalah historical adjusted yang menggunakan faktor lain untuk menduga emisi. Faktor tersebut dipilih karena kaitannya secara kausal berkorelasi kuat dengan perubahan tutupan lahan. Dalam kajian ini adjustment faktor yang digunakan adalah jumlah penduduk dan PDB perkapita. Kedua faktor tersebut memiliki hubungan kausal yang sangat kuat, dimana pertumbuhan penduduk akan menyebabkan tekanan terhadap lahan semakin tinggi. Kebutuhan lahan dapat terbagi ke dalam beberapa kebutuhan, antara lain pemukiman serta sumber ekonomi (pertanian dan perkebunan). Adapun PDB per kapita memiliki hubungan kausal dimana sumberdaya hutan merupakan asset ekonomi yang dapat berkontribusi terhadap PDB secara makro maupun sumber ekonomi masyarakat secara mikro. Dengan demikian semakin tinggi penggunaan sumberdaya hutan untuk aktivitas ekonomi dapat berkontribusi terhadap peningkatan PDB dan PDB per kapita. Jumlah penduduk Indonesia dan PDB per kapita yang memiliki korelasi kuat dapat digunakan dalam melakukan proyeksi emisi pada masa yang akan dating. Persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut. 1. Persamaan penduga emisi dari jumlah penduduk Indonesia Y = *P 72 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

91 Dimana Y = emisi (Mega ton C) P = jumlah penduduk Indonesia (jiwa) [R2 : 99,41% ; SE : 46,99] 2. Persamaan penduga emisi dari PDB per kapita Y = ( *10-5 )*PK Dimana Y = emisi (Mega ton C) PK = PDB per kapita (Rp.) [R2 : 97,59% ; SE : 94,77] Menurut pendekatan historical adjusted ini diperoleh proyeksi emisi pada tahun 2020 adalah 3.248,94 Mega ton C (atau setara dengan ,79 Mega ton CO 2 -e) dari faktor populasi penduduk Indonesa. Adapun pendekatan historical adjusted dari faktor PDB per kapita menghasilkan proyeksi emisi tahun 2020 sebesa 3.335,28 Mega ton C (setara dengan ,38 Mega ton CO 2 -e) (Gambar 18). Gambar 18. REL menurut pendekatan historical adjusted Dengan membandingkan dua pendekatan penentuan REL terlihat pada Gambar 19 ternyata tidak berbeda jauh (dilihat dalam satuan Mt C maupun CO2). Namun demikian, tidak berbarti berbeda nyata diantara keduanya. Dari gambar tersebut dapat dicatat bahwa pendekatan REL dengan metode historis menghasilkan proyeksi emisi lebih tinggi dibanding metode adjusted. Pada metode adjusted sendiri yang menggunakan 2 parameter, diketahui bahwa parameter PDRB per kapita menghasilkan proyeksi emisi lebih tinggi daripada parameter populasi penduduk. Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) 73

92 Gambar 19. Komparasi REL menurut pendekatan historis dengan historical adjusted Gambar 19 juga mengindikasikan bahwa pengaruh jumlah penduduk dan PDB per kapita bersifat linier. Berbeda dengan dugaan sebelumnya bahwa pertumbuhan penduduk umumnya bersifat eksponensial, namun dalam kasus ini tidak berlaku. Perilaku eksponensial bisa jadi dapat ditemukan pada pertambahan penduduk dalam rentang waktu yang panjang, sementara pada periode tergolong rentang waktu pendek sehingga menunjukkan perilaku linier. 5.4 Identifikasi Kegiatan-Kegiatan Yang Mengurangi Emisi Karbon Melalui Peningkatan Serapan Karbon Dan Stabilisasi Simpanan Karbon Hutan Berdasarkan hasil analisis terhadap kegiatan-kegiatan sektor kehutanan, diketahui potensi penurunan emisi yang besar (diperbandingkan dari nilai tengah potensi penurunan emisi masing-masing kegiatan) menurut laporan Ekawati, et al. (2012). Lima kegiatan paling tinggi potensinya adalah: rehabilitasi hutan dan lahan, pengendalian perambahan, pembangunan HKm, dan pengendalian konversi hutan. Adapun kegiatan HTR, pengendalian kebakaran, pengendalian illegal logging dan SFM berperan relatif kecil dalam penurunan emisi, di bawah 100 juta ton C (Gambar 20). Namun perlu disadari bahwa potensi ini sangat dipengaruhi oleh target mitigasi yang sering sangat ambisius jika dibandingkan dengan rata-rata realisasi dalam lima tahun terakhir. 74 Aplikasi Perhitungan Emisi GRK Kehutanan

Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory)

Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan (Inventory) KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Sintesis Penelitian Integratif Pengembangan

Lebih terperinci

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN

TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN TRAINING UPDATING DAN VERIFIKASI DATA PSP UNTUK MRV KARBON HUTAN PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN LITBANG KEHUTANAN, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610. PO BOX 272. Telp +622518633944;

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor; Telp.: 0251 8633944; Fax: 0251 8634924; Email:

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN

OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN OVERVIEW DAN LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012-2013 Tim Puspijak Disampaikan di Kupang, 16-17 Oktober 2014 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PLOT SAMPEL PERMANEN

PLOT SAMPEL PERMANEN PLOT SAMPEL PERMANEN DAN WEB-GIS PEMANTAUAN KARBON HUTAN Donny Wicaksono Disampaikan pada acara Gelar IPTEK Hasil Litbang dan Inovasi Tahun 2016 Auditorium Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, 12 Mei 2016

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Mataram, 7-8 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012

LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 LESSON LEARNED DARI PEMBANGUNAN PSP UNTUK MONITORING KARBON HUTAN PADA KEGIATAN FCPF TAHUN 2012 Disampaikan pada Lokakarya Strategi Monitoring PSP di Tingkat Provinsi Ambon, 27-28 Mei 2013 PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING

BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING BABV. PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING Sebagai suatu bahan negosiasi, aksi REDD+ mempunyai banyak isu yang terkait dengan lawas, skala spasial, pendekatan dan metode

Lebih terperinci

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c No.163, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Inventarisasi GRKN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.73/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN APLIKASI DATABASE PEMANTAUAN KARBON HUTAN

PERKEMBANGAN APLIKASI DATABASE PEMANTAUAN KARBON HUTAN PERKEMBANGAN APLIKASI DATABASE PEMANTAUAN KARBON HUTAN Disampaikan pada Pelatihan Verifikasi dan Updating Data PSP untuk Mendukung Sistem Pemantauan Karbon Hutan yang Sesuai Prinsip MRV Bogor, 23-24 Juni

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 2085-787X Policy Volume 4 No. 3 Tahun 2010 Melihat Demonstration Activity

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

MEMBANGUN INVENTARISASI GRK

MEMBANGUN INVENTARISASI GRK MEMBANGUN INVENTARISASI GRK INVENTARISASI GAS RUMAH KACA ADALAH KEGIATAN UNTUK MEMANTAU DAN MENGHITUNG TINGKAT DAN STATUS GRK DARI BERBAGAI SUMBER EMISI (SOURCE) DAN PENYERAPNYA (SINK) AKIBAT KEGIATAN

Lebih terperinci

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global

(RAD Penurunan Emisi GRK) Pemanasan Global PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM (RAD Penurunan Emisi GRK) Oleh : Ir. H. Hadenli Ugihan, M.Si Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumsel Pemanasan Global Pengaturan Perubahan Iklim COP 13 (2007) Bali menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

Frida Sidik (P3SEKPI-KLHK, ASEAN-US S&T Fellow); Virni Budi Arifanti (P3SEKPI-KLHK); Haruni Krisnawati (P3H-KLHK)

Frida Sidik (P3SEKPI-KLHK, ASEAN-US S&T Fellow); Virni Budi Arifanti (P3SEKPI-KLHK); Haruni Krisnawati (P3H-KLHK) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN INFO BRIEF April 017 www.puspijak.org

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD

PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Draft 18 Maret 2009 LAMPIRAN 1 PEDOMAN PEMBERIAN REKOMENDASI PEMERINTAH DAERAH UNTUK PELAKSANAAN REDD Untuk pemberian rekomendasi pelaksanaan REDD, Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan penilaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.72/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGUKURAN, PELAPORAN DAN VERIFIKASI AKSI DAN SUMBERDAYA PENGENDALIAN

Lebih terperinci

PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN

PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN PEDOMAN DAN APLIKASI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN PEDOMAN PENGUKURAN KARBON UNTUK MENDUKUNG PENERAPAN REDD+ DI INDONESIA 45 51 47 MUTAN Model Ekonomi Usaha Tani Hutan 49 SOFTWARE NERACA SUMBER DAYA HUTAN Untuk

Lebih terperinci

KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM

KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF TAHUN 2015 2019 KODEFIKASI RPI 13 KONTRIBUSI (PERAN) SEKTOR KEHUTANAN DALAM PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM Koordinator Ari Wibowo Sub Koordinator Niken Sakuntaladewi Deden Djaenudin

Lebih terperinci

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG Draft 10 November 1 2008 Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/200930 /Menhut- II/20092009 TENTANG TATA CARA PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA IMPLEMENTASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA Ir. Wahyuningsih Darajati, M.Sc Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Disampaikan ik dalam Diskusi

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop Sistem

Lebih terperinci

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk

Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi grk Aplikasi perhitungan grk di wilayah sumatera Aplikasi Perhitungan GRK di Wilayah Sumatera Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 17. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)

KODEFIKASI RPI 17. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) KODEFIKASI RPI 17 Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) Lembar Pengesahan Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 745 Daftar Isi Lembar Pengesahan... 745 Daftar Isi...

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah

Perkiraan Sementara Emisi CO 2. di Kalimantan Tengah B Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Desember, 2013 Perhitungan sederhana emisi CO 2 dari komponen deforestasi dan dekomposisi lahan gambut Penulis:

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4. Oleh: Task Force Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua dan Papua Barat Isi Paparan 1. Pendahuluan REL Tanah Papua Tahun 2001-2020 dari Sektor Kehutanan 3. Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

Ringkasan. Pendahuluan

Ringkasan. Pendahuluan Mega Lugina; Kirsjianti Ginoga; Galih Kartikasari; Bayu Subekti Ringkasan Penghitungan emisi dari sektor kehutanan memerlukan data aktivitas berupa perubahan lahan dan faktor emisi/ serapan (selanjutnya

Lebih terperinci

Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia

Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi REDD+ Indonesia Disampaikan dalam Lokakarya Peta Jalan Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+ Jakarta, 28 November 2013 MRV (Measurement, Reporting, Verification)

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF

RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF RENCANA KERJA 2015 DAN PENELITIAN INTEGRATIF 2015-2019 PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Bogor, 7 Agustus 2014 OUTLINE Visi dan Misi Rencana Kerja 2015 RPI Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Penanganan

Lebih terperinci

BAB 3. Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi

BAB 3. Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi BAB 3 Pengembangan Sistem Monitoring PSP yang Terintegrasi dan Partisipatif di Provinsi Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen di Provinsi Sumatera Barat 25 3.1 Strategi

Lebih terperinci

BAB 2. Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi

BAB 2. Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi BAB 2 Strategi Monitoring PSP untuk Mencapai Target RAD dan SRAP Provinsi Prosiding Workshop Strategi Monitoring dan Pelaporan Plot Sampel Permanen di Provinsi Sumatera Barat 13 2.1 Program dan Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 15.11.2011 In cooperation with 14.05.2012 Page Seite 1 ISI PRESENTASI 1. Latar Belakang 2. Kemajuan Penyusunan Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional

Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional Pemanfaatan Data PSP untuk Penetapan REL REDD+ Nasional Teddy Rusolono Fakultas Kehutanan IPB/ WorkingGroup MRV BPREDD+ Disampaikan pada Pelatihan Verifikasi dan Updating data PSP untuk mendukung Sistem

Lebih terperinci

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK

STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK STATUS PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK PROGRES DAN POTENSI OUTLINE HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK PEROLEHAN HAKI PUSPIJAK IDENTIFIKASI POTENSI HAKI POTENSI PEROLEHAN HAKI 1 HAKI DARI SUDUT PANDANG PUSPIJAK LITBANG

Lebih terperinci

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT INTEGRASI NFI KE DALAM SISTEM MONITORING KARBON HUTAN YANG AKAN DIBANGUN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Iman Santosa Tj. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan Ditjen Planologi Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

VALIDASI DATA PENGUKURAN KARBON HUTAN

VALIDASI DATA PENGUKURAN KARBON HUTAN VALIDASI DATA PENGUKURAN KARBON HUTAN I WAYAN SUSI DHARMAWAN Email: salifa03@yahoo.co.id (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan) Disampaikan pada acara

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

PENGARUSUTAMAAN PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PENGARUSUTAMAAN PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN Dr. Medrilzam Direktorat Lingkungan Hidup Kedeputian Maritim dan Sumber Daya Alam Diskusi Koherensi Politik Agenda Pengendalian Perubahan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KEBIJAKAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & SISTEM INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL Sulistyowati Asisten Deputi Urusan Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer Jakarta, 26 Januari

Lebih terperinci

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk

Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan grk Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Penelitian Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Koordinator RPI : Ir. Ari Wibowo,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA ATAU INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION

Lebih terperinci

Jambi, Desember 2013 Penulis

Jambi, Desember 2013 Penulis Laporan pelaksanaan Sosialisasi Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (PEP RAD GRK) ini, menguraikan tentang : pendahuluan, (yang terdiri dari latar belakang,

Lebih terperinci

Perkembangan RAN/RAD - GRK

Perkembangan RAN/RAD - GRK Ministry of National Development Planning/ National Development Planning Agency (BAPPENAS) Perkembangan RAN/RAD - GRK Wahyuningsih Darajati Direktur Lingkungan Hidup/Ketua Tim Teknis ICCTF CSO Forum Jakarta,

Lebih terperinci

Ministry of National Development Planning/ National Development Planning Agency (BAPPENAS)

Ministry of National Development Planning/ National Development Planning Agency (BAPPENAS) RAD - GRK Ministry of National Development Planning/ National Development Planning Agency (BAPPENAS) Perkembangan RAN/RAD - GRK Wahyuningsih Darajati Direktur Lingkungan Hidup/Ketua Tim Teknis ICCTF CSO

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KONSEP DAN METODE SISTEM MRV DALAM REDD+

KONSEP DAN METODE SISTEM MRV DALAM REDD+ KONSEP DAN METODE SISTEM MRV DALAM REDD+ I WAYAN SUSI DHARMAWAN Email: salifa03@yahoo.co.id (Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan) Disampaikan pada acara

Lebih terperinci

PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP

PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP 3 PEMBAGIAN URUSAN DAN RUANG LINGKUP 3.1. Pembagian Urusan Gubernur selaku pimpinan daerah provinsi dalam menyusun RAD GRK harus berpedoman pada Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang RAN GRK. Penyusunan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN SKALA 1:250.000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI Koordinator DEDEN DJAENUDIN TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 SINTESA OUTPUT 1: OUTPUT 2: OUTPUT 3: OUTPUT 4: OUTPUT 5: Sosial

Lebih terperinci

Ari Wibowo 1 1. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor, 16610,

Ari Wibowo 1 1. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor, 16610, APLIKASI IPCC GUIDELINE 2006 UNTUK PERHITUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA KEHUTANAN DI SUMATERA SELATAN (Application of IPCC Guideline 2006 for Estimation of Emission from Forestry Sector in South Sumatera)

Lebih terperinci

Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan dari Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah

Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan dari Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS) Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan dari Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. /Menhut-II/2012 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN KYOTO PROTOCOL TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA Dr. Etti Ginoga Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan BADAN LITBANG

Lebih terperinci

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc

Bogor, November 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Dr. Ir Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas tersusunnya Prosiding Workshop MRV dalam rangka REDD+ di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Prosiding ini merupakan hasil dari workshop dengan judul yang sama yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA Forest Rehabilitation and Forestry Climate Change Mitigation in North Sulawesi Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima No.161, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Perangkat REDD+. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15 PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15 Daftar Paparan 1. Mitigasi Perubahan Iklim (M.P.I.) 2. Skenario Mitigasi Perubahan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2012

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2012 GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD - GRK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

Istilah dalam Perubahan Iklim

Istilah dalam Perubahan Iklim MENGHITUNG CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN Ari Wibowo PUSAT LITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN Jambore Nasional Penyuluh Kaliurang, Yogyakarta, Mei 2013 Istilah dalam Perubahan

Lebih terperinci

PENYEMPURNAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) UNTUK INVENTARISASI STOK DAN ESTIMASI EMISI KARBON HUTAN TINGKAT PROVINSI

PENYEMPURNAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) UNTUK INVENTARISASI STOK DAN ESTIMASI EMISI KARBON HUTAN TINGKAT PROVINSI PENYEMPURNAAN NATIONAL FOREST INVENTORY (NFI) UNTUK INVENTARISASI STOK DAN ESTIMASI EMISI KARBON HUTAN TINGKAT PROVINSI Untuk mendukung Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Dokumen NFI no.2 Daftar Isi

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

INVENTARISASI GAS RUMAH KACA DAN MONITORING PELAPORAN DAN VERIFIKASI

INVENTARISASI GAS RUMAH KACA DAN MONITORING PELAPORAN DAN VERIFIKASI INVENTARISASI GAS RUMAH KACA DAN MONITORING PELAPORAN DAN VERIFIKASI Direktorat Inventarisasi GRK dan MPV Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Inventarisasi

Lebih terperinci

Knowledge Management Forum April

Knowledge Management Forum April DASAR HUKUM DIREKTORAT JENDERAL BINA PEMBANGUNAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI PERAN PEMDA UNTUK MEMBERDAYAKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN IKLIM INDONESIA UU 23 tahun 2014 tentang

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 49 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD-GRK)

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 49 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD-GRK) GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 49 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAD-GRK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Gas Rumah Kaca (GRK) adalah jenis gas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan secara alami, yang jika terakumulasi di atmosfer akan mengakibatkan suhu bumi semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci