a. Ruang Lingkup. Ruang lingkup pembahasan buku petunjuk teknis ini memuat pengenalan informasi dasar tentang HIV-AIDS, tata cara penemuan kasus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "a. Ruang Lingkup. Ruang lingkup pembahasan buku petunjuk teknis ini memuat pengenalan informasi dasar tentang HIV-AIDS, tata cara penemuan kasus"

Transkripsi

1 TENTARA NASIONAL INDONESIA MARKAS BESAR Lampiran Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/680/VIII/2012 Tanggal 13 Agustus 2012 BUKU PETUNJUK TEKNIS PENATALAKSANAAN KASUS HIV-AIDS DI LINGKUNGAN TNI BAB I PENDAHULUAN 1. Umum. a. Human Immunodeficiency Virus (HIV) - Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu ancaman penyakit yang harus diwaspadai karena penyebarannya yang sangat cepat dan dapat menyerang siapa saja termasuk prajurit TNI, PNS dan keluarganya. Disadari pula upaya pengendalian HIV-AIDS di lingkungan TNI sampai saat ini belum berjalan sesuai yang diharapkan, dimana upaya untuk menekan munculnya kasus baru masih mengalami hambatan. Untuk itu perlu dukungan dan komitmen dari seluruh prajurit TNI dalam mewujudkan program pengendalian HIV-AIDS, menurunkan jumlah kasus serta pentingnya meningkatkan kemampuan petugas dalam penatalaksanaan kasus HIV-AIDS. b. Penatalaksanaan kasus HIV-AIDS adalah suatu kegiatan mulai dari pengenalan informasi HIV-AIDS, penemuan kasus secara dini sampai dengan perawatan maupun pengobatannya. Penemuan kasus secara dini merupakan tindakan pencegahan agar penderita HIV tidak menularkannya kepada orang lain dan dapat menjalani terapi sedini mungkin sehingga dapat meningkatkan harapan hidup penderita. c. Oleh karena itu, guna mendukung keberhasilan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS diperlukan suatu pedoman yang disusun dalam buku petunjuk teknis yang berisi tentang ketentuan-ketentuan penanganan kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI. 2. Maksud dan Tujuan. a. Maksud. Buku petunjuk teknis ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk dalam melaksanakan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI. b. Tujuan. Buku petunjuk teknis ini disusun dengan tujuan agar dapat dijadikan pedoman bagi petugas kesehatan dalam melakukan tatalaksana kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI sehingga diperoleh kesamaan persepsi, sikap dan tindakan yang aman serta bermutu sesuai dengan standar nasional. 3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. a. Ruang Lingkup. Ruang lingkup pembahasan buku petunjuk teknis ini memuat pengenalan informasi dasar tentang HIV-AIDS, tata cara penemuan kasus

2 4 secara dini dan panduan tata laksana klinis termasuk pemberian obat anti retroviral (ARV) bagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA) di lingkungan TNI. b. Tata Urut. Buku petunjuk teknis ini disusun dengan tata urut sebagai berikut: 1) Bab I Pendahuluan. 2) Bab II Ketentuan umum. 3) Bab III Kegiatan yang dilakukan. 4) Bab IV Hal-hal yang diperhatikan. 5) Bab V Komando dan pengendalian. 6) Bab VI Penutup. 4. Kedudukan. Buku Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus HIV-AIDS di Lingkungan TNI ini merupakan penjabaran dari Buku Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV-AIDS di Lingkungan TNI. 5. Dasar. a. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. b. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 426/Kepmenkes/ III/2011 tanggal 14 Maret 2011 tentang Pedoman Konseling dan Testing HIV pada Berbagai Tatanan. c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 565/Kepmenkes/ IX/2011 Tanggal 17 September 2011 tentang Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. d. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/12/III/2009 tanggal 11 Maret 2009 tentang Naskah Stratifikasi Doktrin di Lingkungan TNI. e. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/64/IX/2010 tanggal 15 September 2010 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV-AIDS di Lingkungan TNI. f. Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/49/VII/2011 tanggal 5 Juli 2011 tentang Buku Petunjuk Administrasi Penyusunan dan Penerbitan Doktrin dan Bujuk TNI. g. Keputusan Panglima TNI Nomor 174 Tahun 2011 tanggal 29 Desember 2011 tentang Penyusunan Produk Hukum di Lingkungan TNI.

3 5 6. Pengertian. Sublampiran B. BAB II KETENTUAN UMUM 7. Umum. Agar penatalaksanaan kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI dapat terlaksana dengan baik dan dilakukan dengan profesional maka perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku sesuai dengan tujuan, sasaran, sifat, prinsip, organisasi, tugas dan tanggung jawab, syarat personel, organisasi, alat peralatan yang digunakan dan faktor-faktor yang memengaruhi sehingga memperoleh kesamaan persepsi, sikap dan tindakan yang aman, bermutu, efektif dan efisien. 8. Tujuan. Agar petugas kesehatan di lingkungan TNI mampu melakukan tindakan penemuan kasus HIV secara dini, memberikan perawatan dan pengobatan yang benar dalam menangani penderita yang terinfeksi HIV-AIDS sehingga dapat meningkatkan harapan hidup penderita tersebut. 9. Sasaran: a. tersedianya layanan konseling dan testing HIV yang bermutu; b. teridentifikasinya kasus baru HIV-AIDS secara lebih dini di lingkungan TNI; c. tersedianya layanan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA di lingkungan TNI secara optimal; dan d. terwujudnya penatalaksanaan kasus HIV-AIDS yang optimal sesuai pedoman nasional. 10. Sifat. Penatalaksanaan kasus HIV-AIDS di lingkungan TNI ini memiliki sifat ilmiah, objektif, teliti dengan memperhatikan etika profesi sehingga didapatkan hasil yang optimal dan bisa dipertanggungjawabkan. 11. Prinsip. a. Kerahasiaan. Setiap melakukan kegiatan harus selalu memperhatikan kerahasiaan dari ODHA tanpa mengabaikan realitas tujuan yang diharapkan. b. Diskriminasi. Penyelenggaraan kegiatan diharapkan tidak memberikan perbedaan perlakuan dan sikap terhadap ODHA. c. Stigma. Penyelenggaraan kegiatan agar tidak memberikan citra negatif pada ODHA. d. Dedikasi. Petugas yang melakukan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS memerlukan keikhlasan, pengorbanan berupa tenaga, pikiran dan waktu untuk mencapai keberhasilan. e. Tertutup. Penyelenggaraan kegiatan harus dilakukan dengan tidak diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan.

4 6 f. Keamanan. Petugas yang menangani kasus HIV-AIDS harus selalu memperhatikan keamanan dari kemungkinan tertular HIV. g. Disiplin. ODHA mempunyai kesadaran diri untuk mematuhi aturan penggunaan ARV demi keberhasilan pengobatannya. 12. Pengorganisasian. Dalam penyelenggaraan kegiatan perlu disusun organisasi tim Penatalaksanaan kasus HIV-AIDS yang dapat dioperasionalkan secara tepat, cepat dan terpadu. Struktur organisasi tim Penatalaksanaan kasus HIV-AIDS tercantum pada sublampiran C. 13. Tugas dan Tanggung Jawab. a. Tingkat Puskes TNI: 1) menyusun kebijakan terkait status ODHA di lingkungan TNI; 2) merencanakan pelaksanaan kegiatan, pengawasan dan pengendalian kegiatan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS sesuai dengan yang direncanakan; 3) menjamin secara administrasi terselenggaranya penatalaksanaan kasus HIV-AIDS; dan 4) tanggung jawab di tingkat Mabes TNI berada pada Kapuskes TNI dan dukungan adminitrasi logistik berada di Puskes TNI. b. Tingkat Dit/Dis Kesehatan Angkatan: 1) merencanakan dan menyiapkan serta mengatur penyelenggaraan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS sesuai dengan petunjuk perencanaan dari komando atas; 2) melakukan pembinaan baik sumber daya manusia maupun sarana prasarana yang berhubungan dengan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS; 3) mengendalikan dan menjaga keberlangsungan pelaksanaan program sehingga terjamin pencapaian sasaran secara efektif dan efisien; 4) menyusun catatan laporan atas penemuan kasus HIV-AIDS dan menetapkan status kesehatan seseorang untuk kepentingan selanjutnya; dan 5) tanggung jawab berada pada Dir/Ka Dinas Kesehatan Angkatan dan memberikan dukungan adminitrasi logistik terhadap penyelenggaraan kegiatan. c. Tingkat Kesehatan Kotama Angkatan: 1) merencanakan, menyusun, menyiapkan dan mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan sesuai petunjuk perencanaan;

5 7 2) menyelenggarakan pelaksanaan kegiatan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS; 3) menyiapkan adminitrasi dukungan logistik baik perbekalan umum maupun khusus untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan kegiatan; 4) melakukan koordinasi dengan satuan pelaksana sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan; dan 5) tanggung jawab berada pada Kepala Kesehatan Kotama Angkatan dan mampu menjamin ketersediaan dukungan logistik. d. Tingkat Fasilitas Kesehatan Angkatan: 1) merencanakan, menyusun, menyiapkan tim Pokja HIV-AIDS di Rumkit TNI dan mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan sesuai petunjuk perencanaan; 2) berkoordinasi dengan dinas terkait untuk menyiapkan perbekalan umum dan khusus agar menjamin terselenggaranya pelaksanaan kegiatan; dan 3) tanggung jawab berada pada Dansat/Ka Kesehatan Faskes Angkatan dan mampu menjamin ketersediaan dukungan administrasi logistik dalam penyelenggaraan kegiatan. e. Tingkat Koordinator Layanan HIV-AIDS di Fasilitas Kesehatan Angkatan: 1) merencanakan, menyusun dan menyiapkan penyelenggaraan kegiatan pada tiap layanan HIV-AIDS di Rumkit TNI dan mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan sesuai petunjuk perencanaan; 2) berkoordinasi dengan dinas terkait untuk menyiapkan dukungan administrasi logistik agar menjamin terselenggaranya pelaksanaan kegiatan HIV-AIDS pada tiap layanan; dan 3) tanggung jawab berada pada Koordinator Layanan HIV-AIDS di Faskes Angkatan dan mampu menjamin ketersediaan dukungan administrasi logistik. 14. Syarat Personel. Untuk dapat melakukan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS secara optimal maka Pejabat/personel yang terlibat harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki kompetensi keilmuan yang sesuai dengan bidang tugasnya; b. mempunyai kecakapan, mental yang stabil, berdedikasi tinggi untuk rela bekerja demi keselamatan semua pihak; c. memiliki kemampuan untuk melakukan pengendalian dan pengawasan dalam penyelenggaraan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS;

6 8 d. mempunyai kewewenangan langsung dalam menangani penatalaksanaan kasus HIV-AIDS; dan e. mempunyai kemampuan menganalisis berbagai kasus HIV-AIDS sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. 15. Alat Peralatan/Sarana Prasarana. a. Alat Peralatan. Alat peralatan yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dalam penatalaksanaan kasus HIV-AIDS meliputi: 1) rapid test berupa stick pemeriksaan darah; 2) elisa berupa larutan pemeriksaan darah; 3) handscoon (sarung tangan); dan 4) disposible syringe. b. Tempat Ruangan. Tempat ruangan yang digunakan untuk penatalaksanaan kasus HIV-AIDS antara lain: 1) ruang konseling dan test HIV; 2) ruang laboratorium; 3) ruang layanan perawatan, dukungan dan pengobatan; 4) ruang layanan farmasi; dan 5) ruang kesekretariatan. 16. Faktor-Faktor yang Memengaruhi. a. Sumber Daya Manusia. Faktor sumber daya manusia merupakan elemen yang mendasar dalam keberhasilan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS. Pemenuhan sumber daya manusia ini dilakukan melalui pendidikan formal maupun melalui berbagai pelatihan. b. Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan Kegiatan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai sangat mempengaruhi keberhasilan tercapainya penyelenggaraan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS dengan optimal. c. Kebijakan. Keberhasilan dalam penyelenggaraan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS dipengaruhi adanya kebijakan dari Pimpinan yang berupa aturan atau produk hukum yang menjamin kegiatan tersebut.

7 9 BAB III KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN 17. Umum. Untuk menjamin pengelolaan penatalaksanaan kasus HIV-AIDS berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan langkah-langkah yang sistematis mulai dari pengenalan kasus HIV-AIDS, penemuan kasus HIV-AIDS secara dini dan penatalaksanaan kasusnya. 18. Pengenalan Kasus HIV-AIDS. a. Perjalanan Infeksi HIV. 1) HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh disebabkan oleh HIV. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Infeksi HIV tidak segera menghancurkan sistem kekebalan tubuh tetapi akan terus bereplikasi dan menginfeksi. Ini bisa bertahun-tahun lamanya sampai akhirnya sistem kekebalan tubuh hancur dan tubuh tidak dapat melawan infeksi lain yang menyerang tubuh. Pada saat kekebalan tubuh melemah dan tidak sanggup lagi melawan infeksi yang menyerang tubuh maka gejalagejala akan muncul yang disebut AIDS. 2) Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T helper atau cluster of difference 4 (CD 4) dan makrofag). HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa sejak infeksi hingga terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini disebut masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratorium masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini dengan gejala demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa keluhan dan gejala untuk jangka waktu cukup lama bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium. Sesudah jangka waktu tersebut virus akan memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan limfosit CD 4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah sindroma kekurangan daya kekebalan tubuh yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome). Adapun gambar siklus perjalanan HIV tercantum pada sublampiran D. b. Cara Penularan HIV. 1) Media Penularan HIV. Media yang menjadi sumber penularan HIV adalah: a) darah;

8 10 b) cairan sperma; c) cairan vagina; dan d) air susu ibu (ASI). 2) Prinsip penularan HIV. Untuk bisa terjadinya penularan HIV harus terpenuhi 4 prinsip di bawah ini: a) Exit. Exit artinya adanya pintu keluar penularan dari ODHA. b) Survive. Survive artinya virus berkembang biak di tubuh ODHA dalam keadaan sehat. c) Sufficient. Sufficient artinya jumlah virus cukup untuk menginfeksi pada orang lain. d) Entry. Entry artinya adanya pintu masuk ke dalam tubuh orang lain dan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah. 3) HIV dapat ditularkan melalui: a) Kontak atau hubungan seksual. Penularan melalui hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HIV merupakan cara yang paling dominan dari semua cara penularan. Penetrasi atau senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral. b) Pajanan oleh darah terinfeksi, produk darah atau transplantasi organ dan jaringan. Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak dilakukan uji saring untuk antibodi HIV, penggunaan ulang jarum dan spuit atau penggunaan alat medis lainnya. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat tusuk/jarum juga pada pengguna napza suntik/injecting drug use (IDU). Pajanan HIV pada organ dapat terjadi dalam proses transplantasi jaringan/organ di pelayanan kesehatan. c) Penularan dari ibu ke anak. Kebanyakan infeksi HIV pada anak diperoleh dari ibu positif HIV yang ditularkan pada saat dalam kandungan, proses kelahiran, dan menyusui. Risiko penularan tanpa intervensi, sangat bervariasi di satu negara dengan negara lain dan umumnya diperkirakan antara 25-40% di negara berkembang dan 16-20% di Eropa dan Amerika Utara. 4) HIV tidak menular melalui: a) bersalaman; b) berpelukan; c) berciuman;

9 11 d) tinggal serumah; e) penggunaan toilet bersama; f) penggunaan kolam renang bersama; g) penggunaan alat makan atau minum secara bersama; dan h) gigitan serangga seperti nyamuk. c. Pencegahan HIV. Penyebaran HIV dapat dicegah dengan konsep ABCDE, yaitu: 1) abstinence yaitu berpantang melakukan hubungan seksual (puasa seks), terutama diperuntukkan bagi mereka yang masih bujang atau yang sedang jauh dari pasangannya; 2) be faithful yaitu berlaku saling setia dengan satu pasangan saja; 3) condom yaitu selalu gunakan kondom saat melakukan hubungan seks berisiko; 4) don t inject drug yaitu jangan menyuntik narkoba secara bergantian dengan alat suntik yang sama. Jangan menggunakan alat tusuk dan alat iris secara bergantian misalnya untuk tattoo atau tindik, serta pastikan semua peralatan medis yang digunakan untuk melakukan tindakan pada pasien dalam keadaan baru atau telah disterilkan; dan 5) education yaitu pemberian informasi yang benar tentang HIV-AIDS sehingga terjadi pemahaman yang benar tentang HIV-AIDS dengan pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat bisa dan mau melakukan tindakan pencegahan terhadap penularan HIV. d. Penilaian Stadium Klinis Infeksi HIV. Tahapan klinis HIV-AIDS dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Stadium I: a) tidak ada gejala; dan b) limfadenopati generalisata persisten. 2) Stadium II: a) penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya); b) infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis); c) herpes zoster;

10 12 d) keilitis angularis; e) ulkus mulut yang berulang; f) ruam kulit berupa papel yang gatal (papular pruritic eruption); g) dermatitis seboroik; dan h) infeksi jamur pada kuku. 3) Stadium III: a) penurunan berat badan bersifat berat yang tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya); b) diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan; c) demam menetap yang tidak diketahui penyebabnya; d) kandidiasis pada mulut yang menetap; e) oral hairy leukoplakia; f) tuberkulosis paru; g) infeksi bakteri yang berat (contoh pnemonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, bakterimia, penyakit inflamasi panggul yang berat); h) stomatitis necroticans ulseratif akut, gingivitis atau peroidontitis; dan i) anemia yang tidak diketahui penyebabnya (< 8g/dl), netropenia (< 0,5x10 9 /l) dan/atau trombositopeni kronis (< 50x10 9 /l). 4) Stadium IV: a) sindrom wasting HIV; b) pneumonia pneumocysts jiroveci; c) pneumonia bakteri berat yang berulang; d) infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital atau anorectal selama lebih dari 1 bulan atau viseral dibagian manapun); e) tuberkulosis ektra paru; f) sarkoma kaposi;

11 13 g) penyakit cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening); h) toksoplasma di sistem saraf pusat; i) ensefalopati HIV; j) Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner termasuk meningitis; k) Infeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar; l) leucoencephalopathy multifocal progressive (PML); m) kriptosporidiosis kronik; n) isosporiasis kronik; o) mikosis diseminata (histoplasmosis ekstra paru, coccidiomycosis); p) septikemi yang berulang (termasuk salmonela non tifoid); q) limfoma (serebral atau Sel B non Hodgkin); r) karsinoma servik invasif; s) leishmaniasis diseminata atypical; dan t) nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatis. e. HIV dan Infeksi Lainnya. 1) HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang terutama ditularkan melalui hubungan seksual. IMS dapat menyebabkan individu menjadi rentan terhadap infeksi HIV. IMS dalam populasi merupakan faktor utama pendorong terjadinya pandemi HIV di negara berkembang. Proporsi infeksi baru HIV dalam populasi IMS, lebih tinggi pada awal dan pertengahan epidemi HIV. Perilaku yang menempatkan individu dalam risiko tinggi tertular HIV antara lain bergantiganti pasangan seksual, hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi, dan tidak konsisten menggunakan kondom. 2) HIV dan Tuberkolosis (TB). Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB yang berakibat meningkatnya jumlah penderita TB di tengah masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA. Kolaborasi TB-HIV adalah upaya mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional dalam pengendalian kedua penyakit, baik pada aspek manajemen kegiatan

12 14 program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien, sehingga mampu mengurangi beban kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien. 3) Infeksi Oportunistik (IO). Infeksi oportunistik merupakan infeksi yang muncul pada keadaan sistem kekebalan tubuh melemah. Infeksi oportunistik bisa disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. Infeksi dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh termasuk kulit, paru-paru, mata dan otak. Infeksi oportunistik bisa disembuhkan bahkan dapat dicegah sebelum muncul dengan terapi pencegahan yang disebut terapi profilaksis. Profilaksis dapat juga digunakan untuk mencegah timbulnya kembali infeksi oportunistik yang pernah diperoleh dan telah sembuh diobati. Infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah: a) herpes zoster; b) pruritus papul eruption (PPE); c) berbagai jamur seperti jamur di mulut (oral and oesophagus candidiasis); d) tuberkulosis paru dan ekstra paru; e) infeksi paru seperti pneumocytis carinii pneumonia (PCP); f) herpes simplex; dan g) toxoplasmosis di otak. 19. Penemuan Kasus Secara Dini. Dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan, TNI mengembangkan berbagai pendekatan guna penemuan kasus HIV secara dini di lingkungan TNI. Penemuan kasus HIV-AIDS secara dini dilakukan dengan cara: a. Tes Wajib (mandatory testing and counseling). Tes wajib di lingkungan TNI dilakukan dengan menggunakan strategi 1 (A1) yaitu pemeriksaan dengan menggunakan rapid test yang memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%). Tes dengan strategi 1 ini biasa digunakan untuk kepentingan skrining. Bagan alur pemeriksaan terdapat pada sublampiran E. Tes HIV wajib ini diberlakukan untuk: 1) Seleksi Calon Anggota TNI. a) Dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan lainnya namun tetap diperlukan inform consent sebagai antipasi hal-hal yang tidak diinginkan dari aspek legalitas. b) Tidak dilakukan konseling secara khusus. Jika terdeteksi adanya HIV reaktif maka yang bersangkutan dinyatakan unfit dan tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota TNI. Hasil pemeriksaan tidak diinformasikan kepada yang bersangkutan dan keputusan panitia tidak dapat diganggu gugat. Selanjutnya kepada yang bersangkutan diberikan surat rujukan untuk kontrol di fasilitas kesehatan terdekat di mana yang bersangkutan tinggal atau berasal atas biaya sendiri.

13 15 2) Pra dan Purna Tugas Operasi. a) Pra Tugas Operasi. Pelaksanaan pemeriksaan HIV dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan yang lain dengan didahului edukasi kelompok. Apabila dikehendaki (ada anggota yang ingin konseling lebih pribadi) maka dapat dilakukan konseling perseorangan sesuai kebutuhan. Hasil pemeriksaan didapatkan: (1) reaktif, maka yang bersangkutan dinyatakan unfit dan tidak diijinkan melaksanakan tugas operasi. Segera dilakukan tindakan lebih lanjut dan dirujuk ke layanan voluntary conselling and testing (VCT) yang ada di fasilitas kesehatan TNI; dan (2) test non-reaktif proses selanjutnya sesuai dengan program keberangkatan. b) Purna Tugas Operasi. Pemeriksaan terpusat dilakukan saat anggota TNI tersebut baru datang/kembali dari penugasan (sebelum kembali ke keluarga/satuan). Didahului dengan edukasi kelompok dan bila diperlukan dapat dilakukan konseling perseorangan. Hasil pemeriksaan didapatkan: (1) reaktif, maka segera dirujuk ke layanan VCT yang ada di fasilitas kesehatan TNI; dan (2) non-reaktif, maka anggota tersebut langsung dikembalikan ke satuan asal dengan tetap diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat. 3) Seleksi Pendidikan Pengembangan Umum (Dikbangum) TNI. Pelaksanaan pemeriksaan HIV dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan yang lain sesuai prosedur seleksi pendidikan. Apabila hasil pemeriksaan didapatkan: a) reaktif, maka yang bersangkutan dinyatakan unfit serta segera dirujuk ke layanan VCT yang ada di fasilitas kesehatan TNI. Jika anggota tersebut telah menikah dan atau memiliki anak di bawah usia 5 lima tahun maka pasangan dan anaknya juga disarankan untuk ditest; dan b) non-reaktif, maka prosedur selanjutnya akan sesuai dengan program seleksi Dikbangum. 4) Pranikah bagi Anggota TNI dan Calon Pasangannya. Pemeriksaan kesehatan pranikah pada anggota TNI dan calon pasangannya telah biasa dilakukan dan merupakan syarat pengajuan permohonan menikah. Pelaksanaan pemeriksaan HIV ini dilaksanakan bersamaan dengan pemeriksaan kesehatan lainnya. Apabila hasil pemeriksaan didapatkan:

14 16 a) reaktif pada salah satu atau kedua calon maka dengan tindakannya sebagai berikut: (1) dirujuk ke layanan VCT yang ada di fasilitas kesehatan TNI untuk memastikan hasilnya (tes strategi III untuk diagnose); dan (2) calon pengantin yang reaktif wajib membuka status kepada calon pasangannya dengan diketahui komandan atau kepala satuan kerjanya sehingga keputusan untuk tetap menikah atau tidak diserahkan kepada pasangan tersebut. Surat izin menikah dari atasan atau komandan baru dikeluarkan setelah pasangan tersebut menjalani konseling pranikah pasangan. b) non-reaktif, maka prosedur selanjutnya akan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di satuan kerja tersebut. 5) Pemeriksaan HIV atas Dasar Kepentingan Dinas. Demi kesiapan anggota untuk dapat bertugas dengan baik, maka atas perintah dinas dapat diadakan skrining dengan menggunakan strategi satu (A1). Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemberian edukasi kelompok terlebih dahulu. Apabila anggota berkehendak melanjutkan konseling secara pribadi maka dapat dilakukan konseling sesuai kebutuhannya dan dilanjutkan dengan pengambilan sampel darah. Apabila hasil dari pemeriksaan didapatkan: a) reaktif, maka yang bersangkutan dirujuk ke layanan VCT yang ada di fasilitas kesehatan TNI dan segera dilakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan atau dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi. Jika anggota tersebut telah menikah dan atau memiliki anak berusia di bawah lima tahun, maka pasangan dan anaknya juga dites; dan b) non-reaktif, maka prosedur selanjutnya akan sesuai dengan aturan yang berlaku di satuan kerja tersebut. b. Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS)/(voluntary conseling and testing (VCT) ). KTS atau VCT adalah konseling dan tes atas inisiatif klien. Di lingkungan TNI pelaksanaan KTS tetap mengacu pada pedoman nasional konseling dan tes dengan tenaga konselor yang sudah terlatih. Apabila hasil yang ditemukan: 1) reaktif, maka segera dilakukan tindakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan atau merujuk ke tingkat yang lebih tinggi. Apabila anggota tersebut telah menikah dan atau memiliki anak berusia di bawah lima tahun, maka pasangan dan anaknya juga diwajibkan mengikuti tes; dan 2) non-reaktif, maka perlu dilakukan tes ulang 3 bulan lagi apabila mempunyai faktor risiko dan diberikan edukasi tentang perubahan perilaku berisikonya. Bila tidak ditemukan perilaku berisiko maka hanya diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat agar tetap non-reaktif.

15 17 c. Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan(KTIP)/ (provider initiated testing and counseling (PITC) ). KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di semua layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV pada: 1) ibu hamil; 2) pasien TB; 3) pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinik diduga HIV; dan 4) pasien dari kelompok berisiko seperti pengguna napza suntik (penasun), seks bebas, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien dengan infeksi menular seksual (IMS), dan seluruh pasangan seksualnya. Apabila pemeriksaan KTIP pada klien seperti di atas dan ditemukan hasil: 1) reaktif, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan kasus sesuai dengan statusnya. Jika anggota tersebut telah menikah dan/atau memiliki anak berusia di bawah lima tahun, maka pasangan dan anaknya juga disarankan untuk menjalani pemeriksaan HIV; dan 2) non-reaktif, maka prosedur selanjutnya diberikan konseling pengetahuan perilaku hidup yang sehat. d. Penawaran Rutin (routine offer). Penawaran rutin merupakan salah satu bentuk layanan PITC di lingkungan TNI. Penawaran rutin dapat dilakukan pada pemeriksaan kesehatan atau uji badan (Rikkes/Ubad) berkala. Dokter atau petugas kesehatan yang berwenang dapat menawarkan tes HIV kepada anggota yang sedang melaksanakan Rikkes/Ubad. Peserta Rikkes/Ubad menandatangi informed consent sesuai dengan pilihannya (setuju atau tidak setuju untuk diperiksa). Jika setuju maka akan dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan HIV akan diserahkan kepada anggota bersangkutan secara langsung. Apabila hasil ditemukan dengan: 1) reaktif, maka dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang ditunjuk. 2) non-reaktif: a) perilaku berisiko, diberikan edukasi untuk mengubah perilaku berisikonya tersebut dan diminta tes ulang setelah 3 bulan; dan b) perilaku berisiko, diberikan edukasi tentang perilaku hidup sehat agar tetap non-reaktif. 20. Diagnosa Infeksi HIV. Diagnosa infeksi HIV didasarkan pada penemuan antibodi dalam darah orang yang terinfeksi. Adapun diagnosa infeksi HIV melalui: a. konseling pra tes atau informasi singkat sebagai pendahulu untuk diagnosa tes HIV; b. tes cepat (rapid test) dengan menggunakan strategi 3 prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV yaitu:

16 18 1) Pemeriksaan pertama (A1) harus menggunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%). 2) Pemeriksaan selanjutnya (A2) menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi ( 99%) dengan merek rapid test yang berbeda. 3) Pemeriksaan selanjutnya ( A3) menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi ( 99%) dengan merek rapid test yang berbeda. Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu dua minggu hingga tiga bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut Masa Jendela. Bila test HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil non-reaktif ( negatif ), maka perlu dilakukan test ulang setelah satu bulan, terutama bila masih ditemukan perilaku berisiko pada masa jendela tersebut. Bagan alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dapat dilihat pada sublampiran F. 21. Penatalaksanaan Kasus HIV-AIDS. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinik, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan, apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan menentukan paduan obat ARV yang sesuai. Tahapan dalam penatalaksanaan kasus HIV- AIDS sebagai berikut: a. Penilaian Stadium Klinik. Penilaian stadium klinik harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu. b. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD 4). Pemeriksaan jumlah CD 4 merupakan cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD 4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata-rata penurunan CD 4 adalah sekitar sel/mm 3 /tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara sel/mm 3 /tahun. Jumlah limfosit total/total limphosyte count (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD 4. c. Pemeriksaan Laboratorium. Pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD 4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumber daya memungkinkan maka dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis. Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan sebelum memulai antiretroviral terapi (ART) apabila sumber daya memungkinkan antara lain: 1) darah lengkap; 2) jumlah CD 4;

17 19 3) SGOT/SGPT; 4) kreatinin serum; 5) urinalisa; 6) HbsAg; 7) anti-hcv (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU); 8) profil lipid serum; 9) gula darah; 10) VDRL/TPHA/PRP; 11) rontgen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru); 12) test kehamilan (perempuan usia reproduktif dan perlu anamnesis menstruasi terakhir); 13) Pap smear (IFA-IMS untuk menyingkirkan adanya Ca Cervix yang pada ODHA bisa bersifat progresif); dan 14) jumlah virus/viral load RNA HIV dalam plasma (bila tersedia dan bila pasien mampu). d. Persyaratan Lain Sebelum Memulai ARV. Persyaratan lain sebelum memulai ARV adalah: 1) Konseling kepatuhan. Konseling kepatuhan ini sangat penting karena terapi ini akan berlangsung seumur hidupnya. 2) Pemberian Kotrimoksasol. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD 4 di bawah 200 sel/mm 3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk: a. mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat; dan b. menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol. e. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK). Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis yaitu Profilaksis primer untuk pemberian pengobatan pencegahan guna mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita dan profilaksis sekunder untuk pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan guna mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka

18 20 kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk pencegahan primer maupun sekunder terjadinya PCP. Adapun PPK dianjurkan bagi: 1) ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD 4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol; dan 2) ODHA dengan jumlah CD 4 di bawah 200 sel/mm 3 (apabila tersedia pemeriksaan dan hasil CD 4). f. Tujuan pemberian ARV: 1) mengurangi morbiditas dan mortalitas karena HIV; 2) memperbaiki dan memelihara fungsi imunitas; 3) menekan replikasi virus selama mungkin; 4) meminimalkan toksisitas karena obat; 5) membuat pertumbuhan fisik dan perkembangan neurokognitif normal; dan 6) memperbaiki kualitas hidup ODHA. g. Macam Anti Retroviral (ARV). Adapun macam dari ARV adalah: 1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang bekerja dengan cara menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA (Proses virus bereplikasi). Golongan yang termasuk dalam NRTI antara lain: a) abacavir (ABC); b) didanosine (DDI); c) emtricitabine (FTC); d) lamivudine (3CT); e) stavudine (D4T); f) zidovudine (ZDV); dan g) tenofovir (TDF).

19 21 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dengan sistim kerja hampir sama yaitu menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Golongan obat yang termasuk dalam NNRTI antara lain: a) delavirdine (DLV); b) efavirenz (EFV); dan c) nevirapine (NVP). 3) Protease Inhibitor (PI). Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Golongan obat yang termasuk dalam PI antara lain: a) amprenavir (APV); b) atazanavir (ATV); c) darunavir (DRV); d) fosamprenavir (FPV); e) indinavir (IDV); f) lopinavir (LPV); g) nelfinavir (NFV); h) ritonavir (RTV); i) saquinavir (SQV); j) hard gel (HGC); k) tablet INV; l) tipranavir (TPV); dan m) lopinavir/ritonavir (LPV). 4) Fusion Inhibitor (FI). Golongan obat yang termasuk dalam FI antara lain: a) enfuvirtide; dan b) T-20. h. Tatalaksana Mulai Pemberian ARV. 1) Terapi ARV pada ODHA dewasa. Untuk dapat memberikan terapi ARV pada ODHA dewasa dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

20 22 a) apabila tidak tersedia pemeriksaan CD 4, maka penentuan mulai terapi ARV berdasarkan pada penilaian klinis; dan b) apabila tersedia pemeriksaan CD 4 maka rekomendasi yang diberikan adalah: (1) mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD 4 <350 sel/mm 3 tanpa memandang stadium klinisnya. (2) terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD 4. Ketentuan saat mulai terapi ARV dapat dilihat pada sublampiran I. 2) Paduan terapi ARV lini pertama. Paduan terapi ARV lini pertama yang dianjurkan bagi ODHA dewasa adalah: 2 NRTI + 1 NNRTI Untuk lebih lengkap dari terapi antiretroviral lini pertama ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). (1) Memulai paduan NNRTI. Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam paduan ARV ini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam pada hari ke 15 dan selanjutnya. (2) cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI. Untuk menghentikan paduan yang mengandung NNRTI sebagai berikut: (a) hentikan NVP atau EFV; dan (b) teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI. (3) penggunaan NVP dan EFV: (a) NVP dan EFV mempunyai efikasi yang setara; (b) ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain, dan harga;

21 23 (c) NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV; (d) dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi; (e) gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trisemester 1 atau triple NRTI jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama; (f) perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD 4 >250 sel/mm 3 atau yang tidak diketahui jumlah CD 4-nya dan pada laki-laki dengan jumlah CD 4 > 400 mm 3 atau yang tidak diketahui jumlah CD 4-nya; (g) perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 hari sekali; (h) EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan NVP. (i) toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat (SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat teratogenik bila diberikan pada trisemester 1 (tetapi tidak pada trismester dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien; (j) EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trismester pertama; (k) EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan koinfeksi TB/HIV yang mendapat terapi berbasis Rifampisin; dan (l) dalam keadaan penghentian sementara dari NVP dan EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing..

22 24 b) Pilihan Pemberian Triple NRTI. Pemberian regimen triple NRTI yang di anjurkan adalah: AZT+3TC+TDF Penggunaan triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah itu pasien perlu dikembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi virologisnya kurang kuat. Penggunaan rejimen triple NRTI dalam keadaan berikut: (1) Ko-Infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin; (2) ibu hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV; dan (3) hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI. c) Penggunaan AZT dan TDF. Penggunaan AZT dan TDF dapat diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal; (2) indeks massa tubuh (IMT/BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD 4 yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh penggunaan AZT; (3) perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut; (4) TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar 0,5% sampai 2%; (5) TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan; dan (6) TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA. d) Penggunaan d4t. Penggunaan d4t dalam hal ini stavudin (d4t) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun dari penggunaan d4t, mempunyai efek samping permanen yaitu lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menye-

23 25 babkan kematian. Efek samping karena penggunaan d4t berkorelasi dengan lama penggunaan d4t (semakin lama d4t digunakan semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman tahun 2006 merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4t dengan Tenofovir (TDF). e) Penggunaan protease inhibitor (PI). Penggunaan obat ARV golongan protease inhibitor (PI) tidak dianjurkan untuk terapi lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (efavirenz atau nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk lini kedua, mengingat sumber daya yang masih terbatas. i. Terapi Antiretroviral Pada Populasi Tertentu. Terapi Antiretroviral pada populasi tertentu pada beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan suatu perhatian khusus ketika akan memulai terapi antiretroviral antara lain: 1) Terapi ARV untuk ibu hamil. Terapi antiretroviral pada ibu hamil highly active antiretroviral therapy (HAART) dalam program prevention mother to chlid transmision (PMTCT) atau Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT tercantum pada sublampiran G. 2) Terapi ARV pada Ko-infeksi. Terapi ARV pada Ko-infeksi meliputi: a) Ko-infeksi hepatitis B (HBV). Hepatitis merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui darah (blood borne disease) dan merupakan salah satu penyakit ko-infeksi pada HIV khususnya hepatitis B & C. Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat. b) Ko-infeksi hepatitis C. Terapi hepatitis C dianjurkan dimulai pada saat CD 4 > 350 sel/mm 3 dan setelah terapi ARV stabil untuk mencapai tingkat SVR yang lebih tinggi. Paduan terapi ARV pada keadaan ko-infeksi HIV/HCV adalah mengikuti infeksi HIV pada orang dewasa. Hanya saja perlu memantau ketat karena risiko hepatotoksisitas yang berhubungan dengan obat dan interaksi antar obat. c) Ko-infeksi tuberkulosis. Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada tingkat individu dan

24 26 sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan rekurensi TB sebesar 50%. Rekomendasi terapi ARV pada Ko- Infeksi tuberkulosis: (1) Pilihan NRTI. Paduan triple NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas. Paduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah: AZT + 3TC + TDF akan tetapi paduan triple NRTI tersebut kurang poten dibanding dengan paduan berbasis NNRTI (lihat di hal 23 b) tentang Pilihan pemberian Triple NRTI); dan (2) Pilihan NNRTI. EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan kadar dalam darah akibat interaksi dengan Rifampisin adalah lebih kecil dan efek hepatotoksik yang lebih ringan. Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI. 3) Terapi ARV pada Pengguna NAPZA Suntik. Kriteria klinik dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada pasien dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pengguna NAPZA suntik yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan terapi ARV harus pula dijamin dapat menjangkau obat. Perhatian khusus untuk populasi tersebut adalah berhubungan dengan gaya hidup yang tidak menentu sepanjang hidupnya sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan terapinya. Selain itu perlu diperhatikan kemungkinan terjadi interaksi antara terapi ARV dengan zat-zat yang mereka gunakan seperti misalnya Metadon. Dianjurkan pengembangan suatu program yang memadukan perawatan ketergantungan obat (termasuk terapi substitusi) dengan HIV sehingga pasien terpantau dengan lebih baik. Penggunaan paduan ARV dengan dosis sekali sehari masih dalam penelitian untuk diterapkan sehingga bisa untuk mempermudah terapi. 4) Terapi ARV pada keadaan Nefropati yang berhubungan dengan HIV (HIV-associated nephropathy = HIVAN). Beberapa hal yang terkait dengan HIVAN antara lain: a) biasanya ditemukan pada stadium lanjut infeksi HIV dan bisa ditemukan pada berapapun jumlah CD 4; b) semua pasien HIV dengan proteinuria perlu dicurigai sebagai HIVAN; c) HIVAN hanya dapat didiagnosis berdasarkan biopsi ginjal; d) paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau NVP;

25 27 e) tenofovir (TDF) mempunyai efek samping pada fungsi ginjal, maka tidak digunakan bila pasien dalam keadaan gangguan fungsi ginjal; dan f) sangat direkomendasikan untuk memulai terapi ARV pada kasus HIVAN tanpa memandang CD 4. 5) Terapi ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) atau post exposure prophylaxis (PEP). Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk PPP terutama untuk kasus pajanan di tempat kerja (occupational exposure). Risiko penularan HIV melalu tusukan jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP dapat juga dipergunakan dalam beberapa kasus seksual yang khusus misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri. Beberapa hal tentang PPP: a) waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal dalam jam setelah kejadian; b) paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + LPV/r (Lopinavir/Ritonavir); c) nevirapine (NVP) tidak digunakan untuk PPP; d) ARV untuk PPP diberikan selama 1 bulan; dan e) perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP; f) ARV tidak diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV menunjukkan hasil reaktif (karena berarti yang terpajan sudah HIV positif sebelum kejadian); g) perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum; h) perlu dilakukan Tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP; dan i) pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita Hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare. 22. Pemantauan Klinis dan Laboratoris Selama Terapi ARV Lini Pertama. Pemantauan pasien dengan infeksi HIV dilakukan baik pada pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral dan yang sudah memulai terapinya. Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan penting. Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan imunologis ke arah yang lebih baik, meskipun hal tersebut kadang tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Berbagai faktor mempengaruhi perbaikan klinis maupun imunologis sejak memulai ART, antara lain beratnya keadaan klinis dan rendahnya jumlah CD 4 saat memulai. Selain itu perlu diingat juga bahwa pemulihan keadaan klinis dan imunologis tersebut memerlukan waktu untuk bisa terjadi dan menunjukkan hasil. Beberapa hal yang perlu dipantau antara lain:

26 28 a. Pasien yang belum memenuhi syarat Terapi ARV. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral (terapi ARV) perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD 4-nya setiap 6 bulan sekali. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan jumlah CD 4 tersebut digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis pada setiap kunjungan dan menentukan saat pasien mulai memenuhi syarat untuk terapi profilaksis kotrimoksazol dan atau terapi ARV. Berbagai faktor mempengaruhi perkembangan klinis dan imunologis sejak terdiagnosis terinfeksi HIV. Penurunan jumlah CD 4 setiap tahunnya adalah sekitar 50 sampai 100 sel/mm3. Evaluasi klinis dan jumlah CD 4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai terapi ARV. b. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral. Pemantauan pasien dalam terapi Antiretroviral meliputi: 1) Pemantauan Klinis. Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Sebagai batasan minimal, pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pada setiap kunjungan perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis dan atau infeksi oportunistik lainnya) ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan. 2) Pemantauan Laboratoris: a) pemantauan laboratoris dilakukan untuk pemantauan CD 4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis. Angka limfosit total (TLC) tidak direkomendasikan untuk digunakan memantau terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan terapi; b) untuk pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia. Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin. Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD 4 antara sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis; c) evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF. Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama D4T atau DDI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah pada asidosis laktat; dan

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP Pemberian ARV pada PMTCT Dr. Janto G. Lingga,SpP Terapi & Profilaksis ARV Terapi ARV Penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah MTCT Profilaksis

Lebih terperinci

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

Lebih terperinci

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak:

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Menuju akses universal Oleh: WHO, 10 Juni 2010 Ringkasan eksekutif usulan. Versi awal untuk perencanaan program, 2010 Ringkasan eksekutif Ada

Lebih terperinci

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV Tuberkulosis (TB) mewakili ancaman yang bermakna pada kesehatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS. DI RSAU Dr.M.SALAMUN

KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS. DI RSAU Dr.M.SALAMUN DINAS KESEHATAN ANGKATAN UDARA RSAU Dr.M.SALAMUN KEPUTUSAN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN Nomor : Skep/ /IX/20 TENTANG KEBIJAKAN PANDUAN RUJUKAN PASIEN HIV/AIDS DI RSAU Dr.M.SALAMUN KEPALA RSAU Dr.M.SALAMUN

Lebih terperinci

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS INFORMASI TENTANG HIV/AIDS Ints.PKRS ( Promosi Kesehatan Rumah Sakit ) RSUP H.ADAM MALIK MEDAN & TIM PUSYANSUS HIV/AIDS? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan

Lebih terperinci

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS Astrid Wiratna Psikologi dan HIV-AIDS HIV-AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV Virus HIV bisa menginfeksi tubuh seseorang karena perilakunya Psikologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan HIV AIDS 1. Singkatan dan Arti Kata HIV WINDOW PERIOD AIDS STIGMA ODHA OHIDHA VCT DISKRIMINASI 2. Mulai Ditemukan 1981 1987 1993 3. Cara Infeksi - Sex yang tidak aman - Napza suntik 4. Cara Pencegahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi Prakata Dengan semakin banyak perempuan di Indonesia yang terinfeksi HIV, semakin banyak anak juga terlahir dengan HIV. Walaupun ada cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT), intervensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome HIV merupakan virus Ribonucleic Acid (RNA) yang termasuk dalam golongan Retrovirus dan memiliki

Lebih terperinci

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV

Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) IV. Meyakinkan Diagnosis Infeksi HIV Bagian ini merangkum usulan WHO untuk menentukan adanya infeksi HIV (i) agar memastikan

Lebih terperinci

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak

V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) V. Kapan mulai terapi antiretroviral pada bayi dan anak Proses pengambilan keputusan untuk mulai ART pada bayi dan anak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Dr. Muh. Ilhamy, SpOG Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI Pertemuan Update Pedoman Nasional PMTCT Bogor, 4

Lebih terperinci

VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak

VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) VI. Mulai dengan apa rejimen lini pertama yang diusulkan untuk bayi dan anak Pertimbangan untuk pengobatan dengan pendekatan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS. HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus

PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS. HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS Apakah HIV itu? HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus Penyebab AIDS. Virus ini menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI BALI Jl. Melati No. 21 Denpasar Telpon/Fax:

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI BALI Jl. Melati No. 21 Denpasar Telpon/Fax: KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI BALI Jl. Melati No. 21 Denpasar Telpon/Fax: 0361 228723 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS DAN NARKOBA MADE SUPRAPTA 9/13/2011 1 JUMLAH KUMULATIF KASUS HIV-AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

Katalog Dalam Terbitan.Kementerian Kesehatan RI

Katalog Dalam Terbitan.Kementerian Kesehatan RI 616.979 Ind P 616.979 Ind P Katalog Dalam Terbitan.Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS TAMBAR KEMBAREN Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU 1 PENGENALAN HIV(Human Immunodeficiency Virus) ad alah virus yang menyerang SISTEM KEKEBALAN tubuh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS (Ramaiah, 2008). Target dari HIV adalah sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular? Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada negara- negara berkembang, HIV/AIDS merupakan salah satu ancaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human immunodeficiency virus atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyebab utama kematian global (Saraceni et. al., 2014). Banyak

Lebih terperinci

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi

X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) X. Perubahan rejimen ARV pada bayi dan anak: kegagalan terapi Kepatuhan yang kurang, tingkat obat yang tidak cukup, resistansi

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR072010031 Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Asuhan Keperawatan Wanita Dan Anak Dengan HIV/AIDS 1. Pencegahan Penularan HIV pada Wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS (Aquired Immune Deficiency Sindrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Penyebab AIDS adalah virus yang mengurangi kekebalan tubuh secara perlahan-lahan.

Lebih terperinci

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENGETAHUAN DAN PERSEPSI PENDERITA HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG TENTANG PENYAKIT AIDS DAN KLINIK VCT TERHADAP TINGKAT PEMANFAATAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIS DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN HIV / AIDS Pada keadaan Sumber Daya Terbatas

PEDOMAN PRAKTIS DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN HIV / AIDS Pada keadaan Sumber Daya Terbatas PEDOMAN PRAKTIS DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN HIV / AIDS Pada keadaan Sumber Daya Terbatas Agung Nugroho Divisi Peny. Tropik & Infeksi Bag. / SMF Ilmu penyakit Dalam FK-UNSRAT / RSUP. Prof. Dr. R.D. kandou

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Jika diterjemahkan secara bahasa : Acquired artinya didapat, jadi bukan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

2013, No.978 BAB I PENDAHULUAN

2013, No.978 BAB I PENDAHULUAN 5 2013, No.978 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK BAB I PENDAHULUAN A.

Lebih terperinci

TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI

TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO SALINAN BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti Ragu? Jangan cuma Ikut VCT, hidup lebih pasti Sudahkah anda mengetahui manfaat VCT* atau Konseling dan Testing HIV Sukarela? *VCT: Voluntary Counselling and Testing 1 VCT atau Konseling dan testing HIV

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PUSKESMAS LAYANAN SATU ATAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian dan penularan Human Immnunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh manusia melemah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di Indonesia dan hal ini sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. enzim reverse transcriptase, yaitu enzim yang memungkinkan virus merubah 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam golongan virus RNA, yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau I. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusiaakibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih

spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih spiritia Pelatihan Pendidik Pengobatan TB-HIV Buku Pedoman untuk Pelatih Disusun oleh Chris W. Green 2014 Pendahuluan Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang yang hidup dengan HIV-AIDS (Odha) yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yaitu pada sel-sel darah putih yang bertugas

Lebih terperinci

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 ) STUDI PENGGUNAAN ANTIRETROVIRAL PADA PENDERITA HIV(Human Immunodeficiency Virus) POSITIF DI KLINIK VOLUNTARY CONSELING AND TESTING RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Periode 1 Agustus 2007-30 September 2008 SKRIPSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Infeksi HIV pada anak : Situasi saat ini dan tantangan ke depan. Ida Safitri Laksono Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM / RSUP Dr.

Infeksi HIV pada anak : Situasi saat ini dan tantangan ke depan. Ida Safitri Laksono Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM / RSUP Dr. Infeksi HIV pada anak : Situasi saat ini dan tantangan ke depan Ida Safitri Laksono Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM / RSUP Dr. Sardjito isi presentasi Pengantar tentang Virus HIV Epidemiologi kasus HIV

Lebih terperinci

HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan spiritia

HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan spiritia SERI BUKU KECIL HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan spiritia HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan Buku ini adalah terjemahan dan penyesuaian dari HIV, Pregnancy

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab sekumpulan gejala akibat hilangnya kekebalan tubuh yang disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA)

PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA) RSUD Sangatta Jl. Soekarno - Hatta Tel 0549-5523215 Sangatta PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA) 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya. LAMPIRAN 1 KUESIONER LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER Saya bertandatangan di bawah ini: Nama : Umur : Setelah membaca penjelasan di atas, maka dengan ini menyatakan saya bersedia ikut berpatisipasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK Endang Retnowati Departemen/Instalasi Patologi Klinik Tim Medik HIV FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 15 16 Juli 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi oleh epidemi ini ditinjau dari

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Disampaikan di hadapan: Workshop P2 HIV&AIDS di Kabupaten Bantul 30 Mei 2011

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr.

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam, dengan fokus untuk mengetahui jenis-jenis efek samping pengobatan OAT dan ART di RSUP dr. Kariadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 8 Anak menderita HIV/Aids Catatan untuk fasilitator Ringkasan Kasus: Krishna adalah seorang bayi laki-laki berusia 8 bulan yang dibawa ke Rumah Sakit dari sebuah

Lebih terperinci

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP

Lebih terperinci

PEGANGAN INSTRUKTUR MANUAL KETERAMPILAN KLINIK KEDOKTERAN TROPIS KONSELING HIV

PEGANGAN INSTRUKTUR MANUAL KETERAMPILAN KLINIK KEDOKTERAN TROPIS KONSELING HIV PEGANGAN INSTRUKTUR MANUAL KETERAMPILAN KLINIK KEDOKTERAN TROPIS KONSELING HIV Disusun oleh : dr Yenni Yusuf, M.Inf.Dis Dr. dr. Risna Halim Mubin, SpPD Disajikan pada CSL 5 Semester VI Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus HIV/AIDS bermunculan semakin banyak dan menyebar ke berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia, dilaporkan bahwa epidemi HIV dan AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV and BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 SERI B.25 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KOLABORASI TB-HIV (TUBERKULOSIS-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) KABUPATEN

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI AIDS FOR : MAHASISWA FARMASI UNISSULA

FARMAKOTERAPI AIDS FOR : MAHASISWA FARMASI UNISSULA FARMAKOTERAPI AIDS FOR : MAHASISWA FARMASI UNISSULA Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Total Populasi 240 juta Prevalensi HIV 0,2% dan estimasi ODHA 186.000 HIV Prevalence Estimation PLHIV Estimation Apa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HIV/AIDS 1. Pengertian HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN HIV / AIDS

PENANGGULANGAN HIV / AIDS RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NO 5 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN HIV / AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG: Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS. Oleh: KHOIRUL HARIS

SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS. Oleh: KHOIRUL HARIS SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS Oleh: KHOIRUL HARIS KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN KEPERAWATAN PRODI KEPERAWATAN MALANG 2012 SATUAN ACARA PENYULUHAN Bidang studi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian HIV/AIDS Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus golongan Rubonucleat Acid (RNA) yang spesifik menyerang system kekebalan tubuh/imunitas

Lebih terperinci

HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan

HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan SERI BUKU KECIL HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan Jl. Johar Baru Utara V No. 17, Johar Baru, Jakarta 10560 Telp: (021) 422 5163, 422 5168, Fax: (021) 4287 1866, E-mail: info@spiritia.or.id, Situs

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama di seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1 Definisi HIV merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus lentivirus, genus ini memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya

Lebih terperinci

Pedoman Tatalaksana Infeksi

Pedoman Tatalaksana Infeksi B A K T I H U S A A D Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci