22/07/2010 TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN. Sandra Widya Setia P.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "22/07/2010 TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN. Sandra Widya Setia P."

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN TUGAS AKHIR PW LATAR BELAKANG Tidak ada penanganan pada lahan bekas (ditinggalkan) Sandra Widya Setia P Dosen Pembimbing : Putu Gde Ariastita, ST, MT Lahan bekas 1. Degradasi Lingkungan (perubahan topografi, penurunan produktifitas lahan, erosi, longsor, penurunan citra kawasan) 2. Terjadi penyerobotan lahan Surabaya, 07 Juli 2010 Pada saat ini upaya yang dilakukan pemerintah Kab. Tuban belum bisa mengatasi nya lahan bekas di Kab. Tuban 1.2 RUMUSAN MASALAH BAB I PENDAHULUAN Adanya lahan bekas yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, produktifitas lahan menurun dan penyerobotan lahan (okupasi ilegal) Upaya yang dilakukan pemerintah saat ini belum bisa mengatasi nya lahan bekas di Kab. Tuban PERTANYAAN PENELITIAN 1. Faktor faktor apa saja yang menyebabkan lahan bekas? 1.3 TUJUAN & BAB I PENDAHULUAN TUJUAN : merumuskan prioritas penggunaan lahan pada lahan bekas di Kabupaten Tuban : 1. Identifikasi karakteristik lahan bekas. 2. Menentukan tipologi lahan bekas. 3. Merumuskan prioritas penggunaan lahan bekas untuk masing masing tipologi. 4. Merumuskan instrument penanganan lahan bekas berdasarkan penyebabnya. 5. Merumuskan arahan pemanfaatan lahan bekas 1.4 MANFAAT PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN MANFAAT PENELITIAN TEORITIK Dapat memberikan pengetahuan mengenai pananganan lahan bekas yang. Sebagai rujukan kpd pemerintah Kab. Tuban untuk menyempurnakan arahan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan bekas di Kabupaten Tuban. Ruang lingkup wilayah studi: Seluruh lahan bekas di Kabupaten Tuban. Ruang lingkup Pembahasan: Mengidentifikasi karakteristik lahan bekas Menentukan tipologi lahan bekas Merumuskan prioritas penggunaan lahan bekas PRAKTIS Memberikan informasi kpd masyarakat, khusunya pemilik lahan bekas bahwa lahan tidak hanya dapat memberikan manfaat pada saat kegiatan pertambnagan berlangsung tetapi juga setelah selesai. Ruang lingkup Substansi: Peran Lahan bekas. Lahan bekas yang Reklamasi Penggunaan lahan Penanganan lahan. 1

2 BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA SINTESA TEORI SUBSTANSI PERTAMBANGAN LAHAN BEKAS TAMBANG YANG TERLANTAR PENGGUNAAN LAHAN PENGGUNAAN LAHAN BEKAS TAMBANG INSTRUMEN PENANGANAN LAHAN TERLANTAR 1 TEORI: Lahan bekas Lahan bekas yang Penggunaan lahan Penggunaan lahan bekas Disintesakan Indikator penelitian untuk mengidentifikasi karakteristik lahan bekas dan tipologi lahan bekas : Kondisi fisik lahan Kesuburan tanah Faktor pertimbangan ekonomi Resiko kerusakan lingkungan Lokasi Ukuran lahan bekas BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA SINTESA TEORI 2 TEORI: Penggunaan lahan Penggunaan lahan bekas Lahan Bekas Disintesakan Indikator penelitian untuk merumuskan prioritas penggunaan lahan bekas : Alternatif penggunaan lahan bekas Kemampuan ekonomi kota Ketersediaan sumberdaya mineral Investasi dan fasilitas usaha Kondisi fisik lahan Lokasi lahan Status kepemilikan lahan Modal Ijin uasaha Fungsi dokumen arahan Instrumen penanganan SINTESA TEORI 3 TEORI: Instrumen penanganan lahan bekas Disintesakan Indikator penelitian untuk merumuskan instrumen penanganan lahan bekas : Instrumen insentif Instrumen disinsentif BAB II KAJIAN PUSTAKA SINTESA TEORI 4 TEORI: Penggunaan lahan Penggunaan lahan bekas Lahan Bekas Instrumen penanganan lahan bekas Disintesakan Indikator penelitian untuk merumuskan arahan penggunaan lahan bekas : Alternatif penggunaan lahan bekas Kemampuan ekonomi kota Ketersediaan sumberdaya mineral Investasi dan fasilitas usaha Kondisi fisik lahan Lokasi lahan Status kepemilikan lahan Modal Ijin uasaha Fungsi dokumen arahan Instrumen penanganan Instrumen insentif Instrumen disinsentif 3.1 PENDEKATAN PENELITIAN Positivistik : suatu pendekatan yang memiliki kebenaran berdasarkan empiri sensual yakni kebenaran yang bersumber dari empiri fakta pada suatu obyek yang spesifik untuk melakukan analisis terhadap obyek yang spesifik pula. 3.2 JENIS PENELITIAN Deskriptif untuk membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat mengenai karakteristik lahan bekas di Kabupaten Tuban dilakukan untuk mengidentifikasi tipologi pada lahan bekas. Perskriptif digunakan untuk merumuskan langkah atau tindakan untuk memecahkan masalah merumuskan arahan penggunaan pada lahan bekas yang sesuai untuk dilakukan berdasarkan karakteristiknya dan kemampuan serta permintaan yang ada di wilayah studi. 2

3 PENELITIAN No. YANG INGIN DICAPAI 1 Identifikasi karakteristik kawasan bekas INDIKATOR DEFINISI OPERASIONAL kondisi fisik lahan jenis jenis galian C yang dapat berupa batu kapur, tanah liat, fosfat, pedel, pasir kuarsa, atau jenis golongan C lainnya. Luas lahan bekas jenis kerusakan lingkungan tingkat kesuburan tanah luasan yang dimiliki oleh lahan bekas berbagai jenis kerusakan/ gangguan lingkungan yang dialami lahan bekas. Tingkat kesuburan tanah pasca. Kesuburan rendah jika lapisan top soil telah hilang dan tidak memiliki kelembaban tanah (gersang) dan struktur lapisan t h t diid ibbt No. YANG INGIN DICAPAI 2 Menentukan tipologi lahan bekas INDIKATOR DEFINISI OPERASIONAL kondisi fisik lahan jenis jenis galian C yang dapat berupa batu kapur, tanah liat, fosfat, pedel, pasir kuarsa, atau jenis golongan C lainnya. Luas lahan bekas jenis kerusakan lingkungan tingkat kesuburan tanah luasan yang dimiliki oleh lahan bekas berbagai jenis kerusakan/ gangguan lingkungan yang dialami lahan bekas. Tingkat kesuburan tanah pasca. Kesuburan rendah jika lapisan top soil telah hilang dan tidak memiliki kelembaban tanah (gersang) dan struktur lapisan tanahnya terdiri dari bebatuan. K b d di i ik No. YANG INGIN DICAPAI 3 Perumusan prioritas pemanfaatan lahan bekas INDIKATOR jenis peruntukan lahan berdasarkan tipologi Perubahan struktur ekonomi kota Kegagalan pasar lahan jenis pemanfaatan lahan Ketersediaan sumber daya mineral kondisi fisik lahan terhadap kegiatan pemanfaatan lahan Lokasi lahan DEFINISI OPERASIONAL berbagai jenis pemanfaatan lahan berdasarkan tipologinya yang dapat berupa permukiman, industri, wisata, waduk, tempat penimbunan barang, pertanian, kawasan militer, fasum, perdagangan, maupun habitat satwa liar. kandungan sumber daya pada lahan bekas Dukungan kondisi fisik lahan bekas Lokasi lahan bekas Kendala Status kepemilikan Keterkaitan antara status YANG No. INGIN DICAPAI 4 Perumusan instrumen penanganan lahan bekas INDIKATOR instrumen pemanfaatan lahan insentif disinsentif DEFINISI OPERASIONAL tindakan pemerintah yang sifatnya mendorong ke arah perkembangan yang diinginkan seperti mempromosikan lahan, pemabngunan lahan terpadu, revitalisasi,rehabilitasi, pengurangan pajak, bantuan dana dan pemberian kredit, kemudahan administrasi. tindakan pemerintah yang sifatnya membatasi hal-hal yang bertentangan atau tidak mendukung kea rah perkembangan, seperti memperketat perijinan usaha, jaminan reklamasi, pencabutan hak atas lahan, teguran dan peringatan tertulis, keharusan menyewakan lahan, No. YANG INGIN DICAPAI 5 Perumusan arahan pemanfaatan lahan bekas INDIKATOR jenis peruntukan lahan berdasarkan tipologi Perubahan struktur ekonomi kota jenis pemanfaatan lahan Ketersediaan sumber daya mineral DEFINISI OPERASIONAL berbagai jenis pemanfaatan lahan berdasarkan tipologinya yang dapat berupa permukiman, industri, wisata, waduk, tempat penimbunan barang, pertanian, kawasan militer, fasum, perdagangan, maupun habitat satwa liar. kandungan sumber daya pada lahan bekas METODE ANALISIS DATA ALAT ANALISA Identifikasi karakteristik lahan Analisa deskriptif bekas Merumuskan tipologi lahan bekas Analisa kluster Merumuskan prioritas Analitical Hierarchy Proses (AHP) penggunaan lahan bekas pada masing masing tipologi Merumuskan instrumen Analisa skoring likert penanganan lahan bekas Kegagalan pasar lahan kondisi fisik lahan terhadap kegiatan pemanfaatan lahan Lokasi lahan Dukungan kondisi fisik lahan bekas Lokasi lahan bekas Kendala Status kepemilikan Keterkaitan antara status Merumuskan arahan pemanfaatan lahan bekas Analisa Deskriptif 3

4 4

5 PENYEBAB LAHAN BEKAS TAMBANG DI KAB. TUBAN TERLANTAR: 1. Habisnya sumber daya pada lahan bekas sehingga hasilnya tidak mampu untuk mendukung proses/kegiatan selanjutnya. 2. Kondisi fisik lahan tidak mendukung untuk digunakan kembali karena terjadi perubahan kondisi topografi. 3. Lokasi lahan bekas jauh dari pusat kota. 4. Status kepemilikan lahan sebagai hak milik menyebabkan sulitnya pemerintah memaksa pengusaha untuk melakukan kewajibannya mereklamasi lahan bekas. 5. Keterbatasan modal 6. Kemudahan dalam proses ijin usaha. 7. Kurang optimalnya fungsi dokumen AMDAL, RKl, dan RPL sebagai dokumen arahan dan pengendalian kegiatan peran. 8. Belum ada instrument penanganan lahan bekas yang sehingga semakin banyak lahan bekas yang. 4.2 ANALISA DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Bekas Tambang Jenis Tambang Berdasarkan jenis nya, lahan bekas di Kabupaten Tuban dapat dikelopmpokkan menjadi 3 katagori: Lahan bekas pasir kwarsa Lahan bekas tanah liat lahan bekas golongan batu kapur (batu kapur, batu gamping, pedel, tanah urug, dan dolomite) JUMLAH JUMLAH LAHAN BEKAS TAMBANG BERDASARKAN JENIS TAMBANGNYA 0 16 pasir kwarsa Jenis terbanyak yang ada di Kab. Tuban 12 tanah liat batu gamping 5 4 batu kapur LAHAN BEKAS TAMBANG 1 tanah urug 6 dolomit 2 pedel Luas Lahan Bekas Tambang dikelopmpokkan menjadi 3 katagori: Luas 0 6 ha Luas 6,1 12,1 ha Luas > 12,1 ha PROPORSI LAHAN BEKAS TAMBANG BERDASARKAN LUASANNYA 9% 9% 82% 0 6 ha ha lebih dari 12.1 ha Luas Lahan Bekas Tambang dikelopmpokkan menjadi 3 katagori: Luas 0 6 ha Luas 6,1 12,1 ha Luas > 12,1 ha PROPORSI LAHAN BEKAS TAMBANG BERDASARKAN LUASANNYA 9% 9% 82% 0 6 ha ha lebih dari 12.1 ha Lokasi Lahan Bekas Tambang dikelopmpokkan menjadi 2 katagori: Dekat dengan pusat kota (apabila terletak di Kec. Tuban, Jenu, Merakurak, Semanding, Pal ang) Jauh dengan pusat kota (bila terletak pada kec. Selain yang telah disebutkan) (dapat dilihat pada peta persebaran) PROPORSI JUMLAH LAHAN BEKAS TAMBANNG BERDASARKAN JARAKNYA DENGAN PUSAT KOTA 33% 67% jauh dekat Lokasi Lahan Bekas Tambang dikelopmpokkan menjadi 2 katagori: Dekat dengan pusat kota (apabila terletak di Kec. Tuban, Jenu, Merakurak, Semanding, Pal ang) Jauh dengan pusat kota (bila terletak pada kec. Selain yang telah disebutkan) (dapat dilihat pada peta persebaran) PROPORSI JUMLAH LAHAN BEKAS TAMBANNG BERDASARKAN JARAKNYA DENGAN PUSAT KOTA 33% 67% jauh dekat Tingkat Kerusakan dikelopmpokkan menjadi 3 katagori tingkatan berdasarkan jenis kerusakannya: Tingkat kerusakan ringan yaitu lahan bekas yang mengalami perubahan topografi saja. Tingkat kerusakan sedang yaitu lahan bekas yang mengalami perubahan topografi dan berkurangnya jenis flora fauna Tingkat kerusakan berat yaitu lahan bekas yang mengalami perubahan topografi, berkurangnya jenis flora fauna dan memiliki potensi longsor Tingkat Kesuburan Tanah Pasca Tambang dikelopmpokkan menjadi 2 katagori: Tingkat kesuburan sedang Tingkat kesuburan rendah PROPORSI JUMLAH LAHAN BEKAS TAMBANG BERDASARKAN TINGKAT KERUSAKANNYA 76% 24% JUMLAH LAHAN BEKAS TAMBANG BERDASARKAN TINGKAT KERUSAKANNYA sedang rendah JUMLAH rendah sedang berat Akses Ketersediaan akses pada lahan bekas di Kab. Tuban telah terpenuhi semua (100%) tingkat kerusakan 5

6 4.2.2 Tipologi Lahan Bekas Tambang Penentuan tipologi lahan bekas dilakukan dengan mengelompokkan lahan bekas berdasarkan karakteristiknya. Pengelompokkan ini dilakukan dengan alat analisa cluster hirarkhi. HASIL CLUSTER (DENDOGRAM) HASIL CLUSTER (DENDOGRAM) HASIL CLUSTER (DENDOGRAM) Berdasarkan dendogram (hasil analisa cluster) dengan memotong dendogram pada jarak 0 5 maka tipologi lahan bekas yang terbentuk ada 8 tipologi. Pada jarak 0 5 ini karakteristik lahan bekas masing masing anggota dalam cluster (tipologi) telah sesuai (spesifik) Adapun tipologi hasil analisa cluster yang terbentuk adalah sbb: TIPOLOGI I: Lahan Bekas Tambang Pasir Kwarsa Luasan Kecil Sedang Merupakan Lahan Bekas pasir Kwarsa Memiliki luasan 0 6 ha dan 6,1 12,1 ha Terletak pada lokasi yang Jauh dari Pusat Kota Memiliki tingkat kesuburan rendah Memiliki tingkat kerusakan berat Anggota tipologi : lahan bekas dengan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 28, 29, 39, 40, 41, 42, 43, dan 44 TIPOLOGI II: Lahan Bekas Tambang Tanah Liat Dengan Luasan Kecil Jauh dari Pusat Kota Merupakan Lahan Bekas tanah liat Memiliki luasan 0 6 ha Terletak pada lokasi yang jauh dari pusat kota Memiliki tingkat kesuburan sedang Memiliki tingkat kerusakan sedang Anggota tipologi : lahan bekas dengan nomor 6, 11, 19, dan 26 TIPOLOGI III: Lahan Bekas Tambang Golongan Batu Kapur Dengan Luasan Kecil Jauh dari Pusat Kota Merupakan Lahan Bekas batu gamping, batu kapur, pedel, dan dolomit yang merupakan golongan batu kapur Memiliki luasan 0 6 ha Terletakpada lokasi yang jauh dari pusat kota Memiliki tingkatkesuburan rendah Memiliki tingkatkerusakan ringan Anggotatipologi : lahan bekas dengan nomor 7, 8, 9, 10, 27, 30, 31, 32, 33, 34, dan 35 6

7 TIPOLOGI IV: Lahan Bekas Tambang Pasir Kuarsa Dengan Luasan Sedang Besar Merupakan Lahan Bekas pasir kwarsa Memiliki luasan 6,1 12,1 ha dan >12,1 ha Terletak pada lokasi yang jauh dari pusat kota Memiliki tingkat kesuburan rendah Memiliki tingkat kerusakan berat Anggota tipologi : lahan bekas dengan nomor 12, 13, dan 36 TIPOLOGI V: Lahan Bekas Tambang Tanah Liat Luasan Sedang Besar Dekat dari Pusat Kota Merupakan Lahan Bekas tanah liat Memiliki luasan 6,1 12,1 ha dan >12,1 ha Terletak pada lokasi yang dekat dari pusat kota Memiliki tingkat kesuburan sedang Memiliki tingkat kerusakan sedang Anggota tipologi : lahan bekas dengan nomor 14, 15, dan 46 TIPOLOGI VI: Lahan Bekas Tambang Golongan batu Kapur Dengan Luasan Kecil Dekat dari Pusat Kota Merupakan Lahan Bekas batu gamping, tanah urug, dan pedel yang merupakan golongan batu kapur Memiliki luasan 0 6 ha Terletakpada lokasi yang dekatdari pusat kota Memiliki tingkatkesuburan rendah Memiliki tingkatkerusakan ringan Anggotatipologi : lahan bekas dengan nomor 16, 22, 23, 24 dan 25 TIPOLOGI VII: Lahan Bekas Tambang Tanah Liat Dengan Luasan Kecil Dekat dari Pusat Kota MerupakanLahanBekas tanah liat Memiliki luasan 0 6 ha Terletakpada lokasi yang dekatdari pusat kota Memiliki tingkatkesuburan sedang Memiliki tingkatkerusakan sedang Anggotatipologi : lahan bekas dengan nomor 17, 18, 20, 21, dan 45 TIPOLOGI VIII: Lahan Bekas Tambang Batu Kapur Dekat dari Pusat Kota MerupakanLahanBekas batu Kapur Memiliki luasan 0 6 ha, 6,1 12,1 ha dan >12,1 ha Terletakpada lokasi yang dekatdari pusat kota Memiliki tingkatkesuburan rendah Memiliki tingkatkerusakan ringan Anggotatipologi : lahan bekas dengan nomor 37 dan 38 Untuk proses selanjutnya ditetapkan tiga tipologi yaitu Tipologi IV, Tipologi V, dan Tipologi VIII. Ketiga tipologi ini ditetapkan untuk proses selanjutnya dengan dasar bahwa masing masing tipologi dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan juga pada tipologi ini memiliki besaran luas sedang besar sehingga lebih utama untuk diselesaikan daripada tipologi lainnya. Adapun tipologi ini selanjtnya akan dinamai berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebagai berikut: Tipologi IV disebut sebagai Tipologi A : Lahan Bekas Tambang Pasir Kwarsa. Tipologi V disebut sebagai Tipologi B : Lahan Bekas Tambang Tanah Liat. Tipologi VIII disebut sebagai Tipologi C : Lahan Bekas Tambang Batu Kapur Prioritas Penggunaan Lahan Bekas Tambang Pada Masing masing Tipologi Analisa yang digunakan adalah analisa AHP Pada penentuan prioritas penggunaan lahan ini, variabel yang akan di analisa yaitu jenis penggunaan lahan dan faktor penyebab lahan bekas terlntar. Tahap AHP 1. Penyusunan hirarki 2. Penilaian kriteria dan alternatif yang dilakukan melalui kuisioner dan diujikan kepada stakeholder (3 instansi pemerintahan dan 6 pemilik lahan). 3. Penentuan prioritas yang akan dilakukan melalui expert choice. 7

8 Untuk mencari prioritas penggunaan lahan terlebih dahulu ditentukkan alternatif penggunaan lahan yang sesiai dengan karakteristik masing masing tipologi lahan bekas. Alternatif penggunaan lahan ini ditentukkan berdasarkan studi terkait, rencana tata ruang wil. Kab. Tuban dan juga karakteristik lahan bekas. HASIL ANALISA TIPOLOGI A NO. 1 TIPOLOGI Tipologi A : Lahan Bekas Tambang Pasir Kwarsa Tipologi B : Lahan 2 Bekas Tambang Tanah Liat Tipologi C : Lahan 3 Bekas Tambang Batu Kapur Sumber : Hasil Analisis, 2010 ALTERNATIF PENGGUNAAN LAHAN o Perumahan o Peternakan o Pertanian o Tempat penimbunan bahan o Waduk o Tempat rekreasi o Tempat rekreasi o Perumahan HASIL ANALISA TIPOLOGI B HASIL ANALISA TIPOLOGI C Instrumen Penanganan Lahan Bekas Tambang Terlantar Untuk menganalisa instrumen penanganan lahan bekas yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lahan bekas berdasarkan penyebabnya digunakan analisa skoring likert, Tahap analisa skoring 1. Kuisioner 9 stakeholder (3 instansi pemerintahan dan 6 pemilik lahan ) 2. Penghitungan tingkat kemungkinannya Pada analisa ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena respondennya merupakan stakeholder (ahli) yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap permasalahn lahan bekas di Kab. Tuban. 8

9 4.2.5 Arahan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Mineral Non Logam Untuk merumuskan arahan pemanfaatan lahan bekas dilakukan dengan analisis deskriptif. Dengan prioritas penggunaan lahan (hasil analisis AHP) serta instrumen penanganan lahan bekas (hasil analisis skoring likert) sebagai input nya. arahan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Tipologi A arahan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Tipologi B arahan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang Tipologi C BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagian besar lahan bekas bahan galian golongan C di Kabupaten Tuban merupakan lahan bekas pasir kwarsa, memiliki luas kecil (0 6 ha), terletak pada lokasi yang jauh dari pusat kota, memiliki tingkat kerusakan rendah, memiliki tingkat kesuburan rendah, dan telah terpenuhi akses untuk menuju lokasi lahan bekas. 5.1 KESIMPULAN 2. Berdasarkan karakteristiknya, pada lahan bekas bahan galian golongan C di Kabupaten Tuban ditemukan 8 (delapan) tipologi lahan bekas. Dan dari 8 tipologi ini ditentukan tipologi IV, V, dan VIII yang akan dirumuskan arahan pemanfaatan lahannya karena masing masing tipologi dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda satu sama lain dan juga pada tipologi ini memiliki besaran luas sedang besar sehingga lebih utama untuk diselesaikan daripada tipologi lainnya 9

10 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 KESIMPULAN 5.1 KESIMPULAN 3. Instrument/perangkat penanganan lahan bekas digunakan untuk menangani lahan bekas sesuai dengan penyebabnya pada masing masing tipologi yang terbagi antara instrument regulasi yaitu jaminan reklamasi, teguran dan peringatan tertulis, memperketat perijinan usaha, keharusan menyewakan lahan, pengurangan pajak, pemberian kemudahan administrasi dan perijinan dan instrument teknis yang dapat digunakan untuk mengatasi lahan bekas adalah revitalisasi kawasan. 4. Arahan pemanfaatan lahan bekas tipologi A yang merupakan lahan bekas pasir kuarsa luas sedang besar adalah sebagai pertanian. Arahan pemanfaatan lahan bekas tipologi B yang merupakan lahan bekas tanah liat luas sedang besar adalah sebagai waduk, dan arahan pemanfaatan lahan bekas tipologi C yang merupakan lahan bekas batu kapur adalah sebagai perumahan. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 REKOMENDASI Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan hasil temuan yang telah dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Perumusan ARAHAN pemanfaatan lahan bekas mineral non logam di Kabupaten Tuban pada penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan terkait perencanaan peran sebagai arahan dan pengendalian kegiatan peran di Kabupaten Tuban, serta diterapkan secara tegas agar lahan bekas di Kabupaten Tuban tidak semakin banyak. 2. Perlu adanya kajian terhadap kebijakan formal dalam penerapan instrument penanganan lahan bekas. 3. Perlu adanya penelitian serupa dengan lokasi yang berbeda atau dengan jenis bahan galian yang berbeda (golongan A dan B). 10

Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto

Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-36 Pemanfaatan Lahan pada Lokasi Bekas Tambang Tanah Urug di Kecamatan Ngoro, Mojokerto Linda Purba Ningrum, Ardy Maulidy Navastara

Lebih terperinci

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP :

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP : OLEH : TOMI DWICAHYO NRP : 4301.100.036 LATAR BELAKANG Kondisi Kab. Blitar merupakan lahan yang kurang subur, hal ini disebabkan daerah tersebut merupakan daerah pegunungan berbatu. Sebagian Kab. Blitar

Lebih terperinci

PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN

PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN POSITIVISTIK Merupakan pendekatan penelitian yang bersumber pada fakta dan berlandaskan teori untuk menganalisis obyek spesifik di lapangan. KAUSAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam,

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam, baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR

JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR JUDUL RUMUSAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN GIANYAR OLEH : NGAKAN GEDE ANANDA PRAWIRA 3610100004 DOSEN PEMBIMBING : PUTU GDE ARIASTITA ST., MT. JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP Tugas Akhir PW 09-1333 Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dikabupaten Siak-Riau Ikhlas Saily NRP 3607 100 027 Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP PROGRAM

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERMUKIMAN GOLONGAN MASYARAKAT PENDAPATAN MENENGAH BAWAH DI KECAMATAN DRIYOREJO, KABUPATEN GRESIK

PENGEMBANGAN PERMUKIMAN GOLONGAN MASYARAKAT PENDAPATAN MENENGAH BAWAH DI KECAMATAN DRIYOREJO, KABUPATEN GRESIK PENGEMBANGAN PERMUKIMAN GOLONGAN MASYARAKAT PENDAPATAN MENENGAH BAWAH DI KECAMATAN DRIYOREJO, KABUPATEN GRESIK OLEH PALUPI SRI NARISYWARI SIDANG TUGAS AKHIR PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

Penentuan Nilai Insentif dan Disinsentif Pada Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Instrumen Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Sidoarjo

Penentuan Nilai Insentif dan Disinsentif Pada Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Instrumen Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Sidoarjo JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (26) 2337-352 (23-928X Print) F-47 Penentuan Nilai Insentif dan Disinsentif Pada Pajak Bumi dan Bangunan Sebagai Instrumen Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

fungsi jalan, harga lahan, pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan ketersediaan sarana prasarana. C uste s r te I Cluster II

fungsi jalan, harga lahan, pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan ketersediaan sarana prasarana. C uste s r te I Cluster II KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan yang terjadi di sekitar Jalan Lingkar Utara Kabupaten Pemalang berdasarkan hasil analisis likert antara lain adalah : fungsi

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG Sidang Ujian PW 09-1333 ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG IKA RACHMAWATI SURATNO 3606100051 DOSEN PEMBIMBING Ir. SARDJITO, MT 1 Latar belakang Luasnya lahan

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG Menimbang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH PERATURAN PRESIDEN NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) Kesesuaian Lahan Perikanan berdasarkan Faktor-Faktor Daya Dukung Fisik di Kabupaten Sidoarjo Anugrah Dimas Susetyo dan Eko Budi Santoso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PENGENDALIAN LAHAN USAHA PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI PROPINSI DAERAH

Lebih terperinci

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Arahan Pemanfaatan Lahan Kritis Pasca Tambang Pasir di Desa Ranji Kulon Kecamatan Kasokandel Agar Dapat Mengembalikan Produktifitas dan Nilai Ekonomis

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... viii DAFTAR PETA... ix INTISARI.... x ABSTRACT.... xi BAB I. PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena 4 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan di Sumatera Utara Sekitar 100.000 Ha hutan di Sumatera Utara diperkirakan rusak setiap tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

Lebih terperinci

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc Oleh : CUCU HAYATI NRP. 3606 100 018 Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI GIANYAR PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN GIANYAR NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN

BUPATI GIANYAR PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN GIANYAR NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN BUPATI GIANYAR PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN GIANYAR NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GIANYAR, Menimbang : a. bahwa bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pertambangan adalah bagian dari kegiatan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI Preview Sidang 3 Tugas Akhir ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KECAMATAN BANGOREJO, KABUPATEN BANYUWANGI Disusun: Nyimas Martha Olfiana 3609.100.049

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa pada umumnya setelah manusia berhasil menguasai sebidang

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa bahan galian pertambangan

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE (KERANGKA ACUAN KERJA) KEGIATAN PEMBUATAN PROFIL INVESTASI DI JATENG SERTA PENINGKATAN KERJASAMA DAN PROMOSI PERTAMBANGAN

TERM OF REFERENCE (KERANGKA ACUAN KERJA) KEGIATAN PEMBUATAN PROFIL INVESTASI DI JATENG SERTA PENINGKATAN KERJASAMA DAN PROMOSI PERTAMBANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Jl. Madukoro AA-BB No. 44, Semarang 50144 Telepon : (024) 7608203, 7610121, 7610122 / Fax: (024) 7608379 www.esdm.jatengprov.go.id TERM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan Intruksi Presiden nomor 16 tahun 2005 tentang Kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PENGARUH PERKEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR (SUBSEKTOR PENGGALIAN) TERHADAP PENDAPATAN PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN TUBAN

PENGARUH PERKEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR (SUBSEKTOR PENGGALIAN) TERHADAP PENDAPATAN PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN TUBAN PENGARUH PERKEMBANGAN INDUSTRI MANUFAKTUR (SUBSEKTOR PENGGALIAN) TERHADAP PENDAPATAN PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN TUBAN Lailatul Karmiratin Universitas Negeri Surabaya lailatulkarmiratin@ymail.com

Lebih terperinci

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan Skala peta = 1: 100.000 Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Fungsi : Menciptakan keserasian pembangunan kota inti dengan Kawasan Perkotaan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KEC. BANGOREJO KAB. BANYUWANGI Nyimas Martha Olfiana, Adjie Pamungkas Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

TAHAPAN PENELITIAN & ALUR PIKIR

TAHAPAN PENELITIAN & ALUR PIKIR 1 PENDEKATAN & JENIS PENELITIAN 2 VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL 3 METODA (pengumpulan data/analisis) 4 5 6 METODA SAMPLING METODA PENELITIAN TERKAIT KONSEP PENGEMBANGAN TAHAPAN PENELITIAN & ALUR PIKIR

Lebih terperinci

BUPATI MERAUKE PERATURAN BUPATI MERAUKE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

BUPATI MERAUKE PERATURAN BUPATI MERAUKE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN BUPATI MERAUKE PERATURAN BUPATI MERAUKE NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menyimpan air yang berlebih pada

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA 1 PEMERINTAH KABUPATEN TOLITOLI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara besar besaran, maka akan terjadi perubahan ekosistem yang mendasar. Agar

BAB I PENDAHULUAN. secara besar besaran, maka akan terjadi perubahan ekosistem yang mendasar. Agar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan kegiatan yang memanfaatkan sumber daya alam untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan secara besar besaran,

Lebih terperinci

PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN

PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN (Studi Kasus : Pertambangan Kapur dan Tanah Liat PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

Lebih terperinci

Arahan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Petani Jeruk Siam berdasarkan Perspektif Petani di Kec. Bangorejo Kab. Banyuwangi

Arahan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Petani Jeruk Siam berdasarkan Perspektif Petani di Kec. Bangorejo Kab. Banyuwangi JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 3, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-239 Arahan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Petani Jeruk Siam berdasarkan Perspektif Petani di Kec. Bangorejo Kab. Banyuwangi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat Undang-undang Nomor 24 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang No.771, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN PU-PR. Bendungan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI TAHUN 013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa bahan tambang merupakan

Lebih terperinci

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN DRIYOREJO BERDASARKAN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN DRIYOREJO BERDASARKAN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN DRIYOREJO BERDASARKAN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR CHRISTIANINGSIH/368143 DOSEN PEMBIMBING : PUTU GDE ARIASTITA, ST. MT PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

EKSEKUTIF INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

EKSEKUTIF INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH P E M E R I N T A H D A E R A H KABUPATEN JOMBANG Jl. KH Wahid Hasyim NO. 137 Jombang RINGKASAN EKSEKUTIF INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2016 Ringkasan Eksekutif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan dalam hal

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor yang memiliki derajat pengaruh terbesar adalah faktor kerentanan fisik dan faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik berupa minyak dan gas bumi, tembaga, emas dan lain-lain. Kekayaan alam Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan hakekatnya merupakan usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi. Sudah sejak lama, komitmen pertambangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat hal ini sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah semakin maju, hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan peta yang saat ini berbentuk digital. Peta permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan ekploitasi sumberdaya mineral atau bahan galian seperti pasir merupakan salah satu pendukung sektor pembangunan baik secara fisik, ekonomi maupun sosial.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 42 TAHUN : 2011 PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG REKLAMASI TAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO, Menimbang :

Lebih terperinci

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran K-13 Geografi K e l a s XI BARANG TAMBANG INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kegiatan pertambangan. 2. Memahami

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: -2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); Dengan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Tingkat implementasi Advice Planning di wilayah penelitian dapat dikategorikan rendah.

Lebih terperinci

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN

ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN ARAHAN ADAPTASI KAWASAN RAWAN ABRASI BERDASARKAN KERENTANAN MASYARAKAT DI PESISIR KABUPATEN TUBAN Oleh : Veranita Hadyanti Utami (3609100055) Dosen Pembimbing : Adjie Pamungkas, ST. M. Dev. Plg. PhD Prodi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TATA RUANG KABUPATEN BANDUNG PEMERINTAH KABUPATEN BANDUNG BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Latar Belakang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai salah satu pedoman perencanaan daerah yang bersifat

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PENGENDALIAN LAHAN USAHA PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI PROPINSI DAERAH

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN PENDEKATAN PENELITIAN TAHAPAN PENELITIAN METODE PENGUMPULAN DATA METODE ANALISA VARIABEL PENELITIAN METODE SAMPLING BAB III METODE PENELITIAN 10 PENDEKATAN PENELITIAN Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

Lebih terperinci

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM

Lebih terperinci

BAB 1 : Pendahuluan BAB 2 : Tinjauan Teori BAB 3 : Metodologi Penelitian BAB 4 : Hasil dan Pembahasan BAB 5 : Kesimpulan dan Saran

BAB 1 : Pendahuluan BAB 2 : Tinjauan Teori BAB 3 : Metodologi Penelitian BAB 4 : Hasil dan Pembahasan BAB 5 : Kesimpulan dan Saran BAB 1 : Pendahuluan BAB 2 : Tinjauan Teori BAB 3 : Metodologi Penelitian BAB 4 : Hasil dan Pembahasan BAB 5 : Kesimpulan dan Saran Siak Sri Indrapura merupakan ibukota kabupaten Siak. Secara administratif,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

KONSEP PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA DILI TIMOR LESTE

KONSEP PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA DILI TIMOR LESTE Tesis RA092389 KONSEP PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA DILI TIMOR LESTE JOSÉ MANUEL MANIQUIN 3208205003 Dosen Pembimbing Dr. Ir. Rima Dewi Suprihardjo, M.I.P Ir. Putu Rudy Satiawan, MSc PROGRAM

Lebih terperinci