METODE PENELITIAN di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara. penelitian dalam dilihat pada Gambar 3.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE PENELITIAN di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara. penelitian dalam dilihat pada Gambar 3."

Transkripsi

1 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Desember 2016 sampai Januari 2017 di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Pengidentifikasian mangrove dan makrozoobenthos dilakukan di Laboratorium Terpadu Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan dan analisis substrat dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian. Peta lokasi penelitian dalam dilihat pada Gambar 3. dan jadwal kegiatanpenelitiandapatdilihatpadalampiran 11. Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (Google Earth, 2016)

2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Position System (GPS), refraktometer, termometer, ph meter, DO meter, tali rapia, meteran, pisau, tool box, toples plastik, pipet tetes, pipa paralon 4,5 inchi, papan 1m x 1m, saringan, sekop, kamera digital, alat tulis dan kertas milimeter. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel mangrove, sampel makrozoobenthos, tisu, kertas label, karet gelang, kantong plastik, plastik putih ukuran 5kg, lakban, alkohol 70%, akuades, dan buku penuntun identifikasi mangrove dan makrozoobenthos. Alat dan bahan dapat dilihat pada Lampiran 4. dan RincianbiayapenelitiandapatdilihatpadaLampiran 12. Metode Pengambilan Sampel Metode yang digunakan adalah purposive random sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun, berdasarkan tujuan pemanfaatan. Setiap stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 3 transek sepanjang garis yang dibentangkan mulai dari batas laut tumbuhnya mangrove sampai dengan batas daratan di mana mangrove masih tumbuh. Transek pada tiap stasiun dibagi masing-masing 3 plot. Deskripsi Area Desa Jaring Halus merupakan salah satu desa pesisir yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Desa ini merupakan sebuah perkampungan yang letaknya jauh dari pusat kota. Secara geografis, Desa Jaring Halus terletak pada 3º51'30" - 3º59'45" LU

3 dan 98º30' - 98º42' BT dengan ketinggian ± 1 m dpl. Adapun batas-batasnya antara lain : Sebelah barat : Desa Tapak Kuda Sebelah utara dan timur : Selat Malaka Sebelah Selatan : Desa Selontong Stasiun I Stasiun ini merupakan kondisi mangrove alami yang tidak ditemukan adanya kegiatan masyarakat. Stasiun ini terletak diantara daerah perbatasan antara muara dan laut. Yang secara geografis berada pada titik koordinat 03 56'21,6" LU '21,75" LUdan '44,0" BT '27,42" BT. Stasiun dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Lokasi Stasiun I (Dokumentasi Pribadi) Stasiun II Stasiun ini merupakan daerah muara yang dimanfaatkan masyarakat untuk kegiatan penangkapan ikan. Stasiun ini berada pada titik koordinat 03 56'21,1"

4 LU-03 56'23,55" LU dan '58,7" BT '13,61" BT. Stasiun dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Lokasi Stasiun II (Dokumentasi Pribadi) Stasiun III Stasiun ini merupakan stasiun yang berada dekat dengan pemukiman rumah warga dan langsung berbatasan dengan laut. Stasiun ini secara geografis berada pada titik koordinat 03 56'44,21" LU '47,5" LU dan '09,11" BT '12,3" BT. Stasiun dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Lokasi Stasiun III (Dokumentasi Pribadi)

5 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah berupa data vegetasi mangrove, sampel makrozoobenthos, parameter fisika kimia perairan, tipe substrat dan kandugan C-organik. Pengumpulan data dilakukan secara pengamatan langsung (insitu) pada saat perairan surut sebanyak tiga kali sampling dengan interval waktu 2 minggu selama 2 bulan, dan pengamatan laboratorium (ex situ). Pengambilan Sampel Mangrove Pengambilan sampel untuk analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan transek garis (line transect). Transek garis ditarik dari titik acuan (pohon mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis pantai sampai ke daratan. Identifikasi jenis mangrove dapat langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu pada buku identifikasi Noor dkk (2006). Pada transek pengamatan dan identifikasi mangrove dengan mengacu kepada Kusmana (1997) : 1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dan 10 cm pada petak contoh 10 x 10 meter. 2. Pancang, adalah anakan yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contok 5 x 5 meter. 3. Semai, adalah anakan mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak contoh 2 x 2 meter. Bentuk transek dan petak contoh untuk analisis vegetasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 7.

6 10 m 5 m 2 m 5m 5m 35 m 2 m 10 m 2 m 2 m 5 m 10 m Arah rintis 5m 10 m 10 m Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove berdasarkan Kategori Pohon (10 x 10 m), Pancang (5 x 5 m), dan semai (2 x 2 m) (Kusmana, 1997) Pengambilan SampelMakrozoobenthos Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada plot/transek yang sama dengan pengambilan mangrove. Sampel makrozoobenthos diambil secara acak dengan melempar papan ukuran 1m x 1m. Substrat yang ada pada petakan tersebut diangkat dengan sekop untuk kemudian dilakukan pemisahan. Sampel makrozoobenthos yang di atas permukaan substrat maupun menempel pada pohon juga diambil. Pemisahan antara makrozoobenthos dan substrat dilakukan di lapangan. Sampel makrozoobenthos kemudian dimasukkan ke dalam botol plastik yang diberi alkohol 70% untuk diidentifikasi.

7 Pengambilan Sampel Substrat Pengambilan sampel substrat diambil menggunakan pipa paralon 4,5 inchi. Proses ini dilakukan pada saat perairan surut bersamaan dengan pengambilan sampel mangrove dan makrozoobenthos. Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan membenamkan pipa paralon sedalam 20 cm dan memindahkan substrat ke dalam kantong plastik untuk dianalisis di laboratorium. Pengambilan Data Fisika Kimia Perairan Pengambilan data parameter fisika kimia ini dilakukan saat keadaan perairan surut. Parameter kualitas air dan metode analisis pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter Fisika Kimia Perairan Parameter Satuan Metode Analisis/Alat Lokasi Suhu 0 C Termometer In situ ph - ph meter In situ DO mg/l DO meter In situ Salinitas ppt Refraktometer In Situ Substrat % Pipa Paralon Ex Situ Analisis Data A. Analisis Mangrove Analisis data yang dilakukan menurut prosedur Kusmana (1997) mencakup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif. 1. Kerapatan (K) Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Petak Contoh (ind/ha)

8 2. Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan Relatif (KR) = ni n x 100 % B. Analisis Makrozoobenthos 1. Kepadatan Biota Keterangan : K : Kepadatan ni : Jumlah individu suatu jenis A : Luas Area K = ni A 2. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener : ss H = Pi ln Pi ii=1 Keterangan: H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah jumlah individu total yaitu Pi = ni/n dengan ni : jumlah suatu spesies i N : total jumlah spesies. Kriteria: H'< 1 : keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah, dan komunitas biota rendah (tidak stabil). 1<H'<3: keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah, dan komunitas biota sedang. H'> 3 : keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi, dan komunitas biota tinggi (stabil). 3. Indeks Dominansi Indeks Dominansi dihitung dengan rumus Dominance of Simpson (Odum, 1993).

9 nn DD = nnnn2 NN ii=1 Dimana : D : Indeks Dominansi ni : Jumlah individu jenis ke-i N : Jumlah total individu Keterangan : D = 0 : berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. D = 1 : berarti terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologi (stres). 4. Indeks Keseragaman E = H H max Keterangan : E : Indeks Keseragaman H' : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner H max (Ln S) : S = Jumlah spesies yang ditemukan Analisis Substrat Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu : 1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi pasir 45%, debu 30% dan liat 25%. 2. Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir. 3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat

10 menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA) dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA) (Ritung dkk., 2007) Analisis Regresi Analisis regresi digunakan untuk menguji seberapa besar variasi variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel bebas dan menguji apakah estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak. Rumus yang digunakan Steel dan Torrie (1980) adalah : Y = a + bx Keterangan : Y : Kelimpahan Makrozoobenthos X : Kerapatan Mangrove

11 a b : Konstanta : Slope Analisis Korelasi Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini merupakan uji korelasi pearson (r). nilai r, berkisar antara 0,0 (ada korelasi) sampai dengan 1,0 (korelasi yang sempurna). Selain berdasarkan angka korelasi, tanda juga berpengaruh pada penafsiran hasil. Tanda (negatif) pada output menunjukkan adanya korelasi yang berlawanan arah, sedangkan tanda + (positif) menunjukkan arah korelasi yang searah. Tingkat hubungan nilai indeks korelasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi No Koefisien Tingkat Hubungan 1 0,00-0,199 Sangat Rendah 2 0,20-0,399 Rendah 3 0,40-0,599 Sedang 4 0,60-0,799 Kuat 5 0,80-1,000 Sangat Kuat Sumber : Steel and Torrie (1980)

12 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan Hasil analisis vegetasi di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara pada stasiun I ditemukan 8 jenis mangrove, yaitu Achantus ilicifolius, Avicennia alba, Bruguiera sexangula, Excoecaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophoraapiculata, Rhizophora stylosa, danxylocarpus granatum (Lampiran 8).Kerapatan jenis mangrove yang tertinggi pada kategori semai, pancang dan pohon adalah jenis Avicennia alba. Kerapatan jenis mangrovekategori semai dapat dilihat pada Gambar 9. Kerapatan jenis mangrove kategori pancang dapat dilihat pada Gambar 10. dan Kerapatan jenis mangrove kategori pohon dapat dilihat pada Gambar 11. Analisis data vegetasi mangrove dapat dilihat pada Lampiran 1. Kerapatan Mangrove (ind/ha) Avicennia alba Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa a. Semai Gambar 9. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Semai

13 Kerapatan Mangrove (ind/ha) b. Pancang Gambar 10. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pancang Kerapatan Mangrove (ind/ha) c. Pohon Gambar 11. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pohon Hasil analisis vegetasi di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara pada stasiun II ditemukan 8 jenis mangrove, yaitu Ceriopsdecandra, Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Nypa fruticans, Rhizophoraapiculata,Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,dan Xylocarpus granatum (Lampiran 8).Kerapatan jenis mangrove yang tertinggi pada kategori

14 semai, pancang dan pohon adalah jenis Rhizophora mucronata. Kerapatan jenis mangrovekategori semai dapat dilihat pada Gambar 12. Kerapatan jenis mangrove kategori pancang dapat dilihat pada Gambar 13. dan Kerapatan jenis mangrove kategori pohon dapat dilihat pada Gambar Kerapatan Mangrove (ind/ha) Nypa fruticans Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa a. Semai Gambar 12. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Semai 3000 Kerapatan Mangrove (ind/ha) Ceriops tagal 800 Excoecaria Agallocha 1600 Rhizophora apiculata 2400 Rhizophora mucronata 533 Rhizophora stylosa b. Pancang Gambar 13. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pancang

15 Kerapatan Mangrove (ind/ha) c. Pohon Gambar 14. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pohon Hasil analisis vegetasi di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara pada stasiun III ditemukan 6 jenis mangrove, yaitu Avicennia alba,excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata,rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,dan Xylocarpus granatum (Lampiran 8).Kerapatan jenis mangrove yang tertinggi pada kategori semai, pancang dan pohon adalah jenis Rhizophora apiculata. Kerapatan jenis mangrovekategori semai dapat dilihat pada Gambar 15. Kerapatan jenis mangrove kategori pancang dapat dilihat pada Gambar 16. dan Kerapatan jenis mangrove kategori pohon dapat dilihat pada Gambar 17.

16 Kerapatan Mangrove (ind/ha) Avicennia alba Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa a. Semai Gambar 15. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Semai Kerapatan Mangrove (ind/ha) Avicennia alba Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa b. Pancang Gambar 16. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pancang

17 Kerapatan Mangrove (ind/ha) Avicennia alba Excoecaria agallocha Rhizophora apiculata Rhizophora Rhizophora Xylocarpus mucronata stylosa granatum c. pohon Gambar 17. Kerapatan Jenis Mangrove Kategori Pohon 2. Keanekaragaman Makrozoobenthos Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobenthos Hasil makrozoobenthos yang hidup di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ditemukan 16 spesies yaitu, Achatina fulica, Dardanus calidus, Cerithidae alata, Cymatium labiosum, Murex trapa, Nerita balteata, Nerita grossa, Nerita undata, Penaeus merguiensis, Pitar alabastrum, Polinices didyma, Polymesoda erosa, Saginafusus pricei, Telescopium telescopium, Tutritidae terebra, dan Uca spp. (Lampiran 7).Komposisi spesies makrozoobenthos tertinggi dari seluruh stasiun adalah Uca spp. dengan persentase sebesar 41%. Komposisi spesies makrozoobenthos dapat dilihat pada Tabel 4.

18 Tabel 4. Komposisi Spesies Makrozoobenthos pada Seluruh Stasiun Pengamatan No. Nama Spesies Jumlah Rata-rata Persentase (%) 1 Achatina fulica Dardanus calidus Cerithidae alata , Cymatium labiosum 25 8,3 4 5 Murex trapa Nerita balteata Nerita grossa Nerita undata 10 3,3 2 9 Pitar alabastrum 1 0, Polymesoda erosa 1 0, Polinices didyma Penaeus merguiensis 1 0, Saginafusus pricei 8 2, Telescopium telescopium 16 5, Tutritidae terebra 1 0, Uca spp ,7 41 Total Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobenthos Nilai indeks keanekaragaman tertinggi di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara ialah pada stasiun II, yaitu sebesar 1,36 dan nilai indeks keanekaragaman terendah pada stasiun I dengan nilai 1,18. Selanjutnya nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,81 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,73. Nilai dominansi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,39 dan nilai dominansi terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,32. Hasil nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi makrozoobenthos secara spasial dapat dilihat pada Tabel 5.

19 Tabel 5. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Makrozoobenthos secara Spasial Indeks Stasiun I II III H' (Keanekaragaman) 1,18 1,36 1,34 E (Keseragaman) 0,74 0,81 0,73 D (Dominansi) 0,39 0,32 0,36 3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Kisaran dari hasil pengukuran masing-masing parameter yang dilakukan di lapangan disajikan pada Tabel 6. Analisis data dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 6. Data Kisaran Kualitas Air Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III Suhu ( C) DO (mg/l) Salinitas ( ) ph ,0-5, ,1-7, ,9-5, ,8-7, ,1-5, ,9-7,3 4. Karakteristik Substrat Tabel 7. Karakteristik Fisika-Kimia Substrat Stasiun C- Organik (%) Parameter Tekstur (Hydrometer) (%) Fraksi Pasir Debu Liat Tekstur St. I. U 1 4, Llip St. I U 2 4, Llip St. I U 3 4, L St. II. U 1 4, Llip St. II. U 2 4, Llip St. II. U 3 4, L St. III U 1 4, Lp St. III U 2 3, Lp St. III U 3 3, Lp Keterangan : L = Lempung ; Llip = Lempung liat berpasir ; Lp = Lempung berpasir

20 5. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Tabel 8. menunjukkan hubungan antara kerapatan spesies mangrove terhadap kelimpahan makrozoobenthos di pesisirdesa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Tabel 8. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Stasiun Kerapatan Rata-rata Kelimpahan Rata-rata Mangrove (ind/ha) Makrozoobenthos (ind/m 2 ) I II III Model hubungan antara kerapatan mangrove terhadap kelimpahan makrozoobenthos ditunjukkan dengan persamaan y = 0,0808x + 24,225dengan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,7526 dan koefisien korelasi r = 0,867 (Lampiran 5). Kelimpahan Makrozoobenthos (ind/m2) y = 0,080x + 24,22 R² = 0, Kerapatan Mangrove (ind/ha) Gambar 18. Grafik Regresi Hubungan KerapatanMangrove terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos

21 6. Hubungan Kandungan C-Organik terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Tabel 9. menunjukkan hubungan antara kandungan C-Organik terhadap kelimpahan makrozoobenthos di pesisirdesa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Tabel 9. Hubungan Kandungan C-Organik terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Stasiun Kandungan Rata-rata Kelimpahan Rata-rata C-Organik (%) Makrozoobenthos (ind/m 2 ) I 4,3 83 II 4,17 55 III 3,96 49 Model hubungan antara kandungan C-Organik terhadap kelimpahan makrozoobenthos ditunjukkan dengan persamaan y = 93,20x 323,8 dengan koefisien determinasi R 2 sebesar 0,776 dan koefisien korelasi r = 0,881 (Lampiran 6). Kelimpahan Makrozoobenthos (ind/m2) y = 93,20x - 323,8 R² = 0,776 3,9 3,95 4 4,05 4,1 4,15 4,2 4,25 4,3 4, Kandungan C-Organik (%) Gambar 19. Grafik Regresi HubunganKandungan C-Organik terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos

22 Pembahasan 1. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan Berdasarkan hasil penelitian lapangan diketahui bahwa pada seluruh stasiun kerapatan mangrove di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara masih tergolong baik. Dengan nilai kerapatan pada stasiun I sebesar individu/hektar, pada stasiun II sebesar individu/hektar, dan stasiun III sebesar individu/hektar. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 (Lampiran 10). kondisi mangrove dengan kerapatan >1.500 individu/hektar dikategorikan masih dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat. Stasiun I merupakan stasiun dengan kondisi mangrove alami. Kerapatan pohon tertinggi terdapat pada spesies mangrove yaitu Avicennia alba seluas ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu Achantus ilicifolius seluas 167 ind/ha. Nilai kerapatan pohon tertinggi pada stasiun II terdapat pada spesies mangrove yaitu R. mucronata seluas 800 ind/ha, dan nilai kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu Nypa fruticansdan Rhizophora apiculata seluas 333 ind/ha. Stasiun ini merupakan stasiun yang dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan. Stasiun III ialah stasiun yang terdapat pemukiman bagi masyarakat setempat. Kerapatan pohon tertinggi pada stasiun ini terdapat pada spesies mangrove yaitu Rhizophora apiculata seluas 400 ind/ha, dan kerapatan terendah terdapat pada spesies mangrove yaitu Xylocarpus granatum seluas 167 ind/ha.

23 Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan pemanfaatan di setiap stasiun yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat di kawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies yang telah beradaptasi terhadap gradien ini, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh lebih efisien daripada spesies lain. 2. Keanekaragaman Makrozoobenthos Komposisi dan Kepadatan Makrozoobenthos Spesies makrozoobenthos di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dengan frekuensi kehadiran 100% terdapat 16 spesies dari semua stasiun penelitian diantaranya adalahachatina fulica, Bedeva blovillei, Cerithidae alata, Cymatium labiosum, Murex trapa, Nerita balteata, Nerita grossa, Nerita undata, Penaeus merguiensis, Pitar alabastrum, Polinices didyma, Polymesoda erosa, Saginafusus pricei, Telescopium telescopium, Tutritidae terebra, dan Uca spp. Persentase tertinggi dari seluruh spesies makrozoobenthos yang ditemukan ialah spesies Uca spp., sebesar 41%, dan terdapat 3 spesies dengan persentase terendah dari seluruh spesies makrozoobenthos yang ditemukan diantaranya Pitar alabastrum, Polymesoda erosadanpenaeus merguensissebesar 0%. Hal ini sesuai dengan Hartoni dan Agussalin (2013) yang menyatakan bahwa biota pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada

24 ekosistem tersebut, karena sifat hidupnya yang cenderung menetap akan menyebabkan biota yang hidup di dalamnya menerima setiap perubahan lingkungan ataupun perubahan dari hutan mangrove, misalnya perubahan fungsi lahan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun lahan tambak. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Makrozoobenthos Nilai indeks keanekaragaman secara spasial tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 1,36 dan nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun III dengan nilai 1,18. Selanjutnya nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 0,81 dan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,73. Nilai dominansi tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,39 dan nilai dominansi terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,32 (Tabel 5). Stasiun I memiliki keanekaragaman terendah dibandingkan dua stasiun lainnya yang merupakan lokasi mangrove yang dimanfaatkan untuk penangkapan ikan dan pemukiman masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I terdapat spesies yang mendominasi di dalamnya yaitu spesies Uca spp. sehingga keanekaragamannya menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan Ernanto dkk (2010) jika spesies mampu memenangkan kompetisi baik ruang maupun makanan maka spesies tersebut umumnya akan mendominasi suatu habitat. 3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Hasil pengukuran suhu perairan pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara o C pada stasiun I dan stasiun II dan III berkisar antara o C

25 (Tabel 6). Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi suatu organisme. Kisaran suhu yang terdapat pada setiap stasiun pengamatan merupakan kisaran suhu yang mampu mendukung kehidupan makrozoobenthos. Dan pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu dengan kisaran o C. Hal ini sesuai dengan Sukarno (1988) suhu perairan yang ditolerir oleh makrozoobentos yakni berkisar o C. Selanjutnya Nybakken (1992), menyatakan bahwa suhu memberikan pengaruh terhadap migrasi, lajumetabolisme dan mortalitas makrozoobenthos. Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) pada setiap stasiun diperoleh dengan kisaran pada stasiun I 4,0-6,0 mg/l, stasiun II 4,9-5,2 mg/l dan stasiun III 5,1-5,4 mg/l (Tabel 6). Oksigen merupakan gas yang amat penting bagi hewan. Perubahan kandungan oksigen sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bagi biota air. Semakin tinggi kadar oksigen di perairan maka semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan Syamsurial (2011) yang menyatakan nilai oksigen yang dibutuhkan oleh organisme makrozoobenthos berkisar antara 1,00-3,00 mg/l. Nilai derajat keasaman (ph) perairan yang terukur pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berkisar 7,1-7,4 untuk stasiun I, stasiun II berkisar 6,8-7,1 dan stasiun III berkisar 6,9-7,3 (Tabel 6). Setiap jenis benthos atau organisme perairan lainnya mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai ph. Namun pada umumnya biota air dapat hidup layak pada kisaran 5-9. Hal ini sesuai dengan Wahyuni dkk (2015), menyatakan bahwa untuk ukuran ph yang bagus bagi kelangsungan hidup makrozoobenthos berkisar antara 6,8-8,5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing

26 stasiun penelitian mempunyai derajat keasaman (ph) yang cukup baik bagi kehidupan organisme. Kisaran salinitas pada stasiun I berkisar 15-18, stasiun II berkisar dan stasiun III Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air tawar dari sungai. Kisaran salinitas pada ketiga stasiun pengamatan berada pada kisaran nilai yang masih layak bagi makrozoobenthos. Salinitas tidak memiliki pengaruh besar terhadap makrozoobenthos karena memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas. Hal ini sesuai dengan Monika (2013) yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang layak bagi kehidupan makrozoobenthos adalah Karakteristik Substrat Karakteristik substrat yang diamati meliputi kadar C-Organik dan fraksi substrat (Tabel 7). Hasil analisis rata-rata kadar C-Organik pada setiap stasiun berkisar 3,96-4,3 %. Hasil rata-rata kadar C-Organik tertinggi ditemukan pada stasiun I 4,3%. Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada disekitarnya. Kondisi lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak cenderung mempunyai bahan organik yang relatif rendah. Rustam (2003) menyatakan bahwa ombak akan menghanyutkan sedimen dan menghanyutkan bahan organik. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 3 stasiun memiliki subtrat yang berbeda. Dimana untuk stasiun I dan II berupa lempung liat berpasir dan lempung, dan stasiun III lumpur berpasir (Tabel 7). Dapat dilihat bahwa dari karakteristik substratnya merupakan substrat yang disukai kelas crustacea, gastropoda maupun

27 bivalvia. Mayoritas organisme kelas gastropoda lebih suka hidup di subtrat berlumpur berpasir. Syamsurial (2011) menyatakan bahwa gastropoda cenderung memilih subtrat lempung berpasir dikarenakan pasir mudah untuk bergeser dan bergerak ketempat lain, sedangkan subtrat lumpur cenderung memiliki kadar oksigen yang sedikit, oleh sebab itu organisme yang hidup di dalamnya harus bisa beradaptasi. Makrozoobenthos hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur di bawah mangrove. Fraksi pasir mengakibatkan terjadinya penekanan kepadatan makrozoobenthos di hutan mangrove. Pasir dibutuhkan dalam kehidupan makrozoobenthos, yakni untuk memperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika benthos menyusup ke dalam substrat ataupun tempat beristirahat (Arief, 2003). 5. Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap KelimpahanMakrozoobenthos Hasil analisis regresi linear antara kerapatan mangrove terhadap kelimpahan makrozoobenthos di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara menghasilkan model hubungan antara kelimpahan makrozoobenthos dengan kerapatan spesies magrove ditunjukkan dengan persamaan y = 0,0808x + 24,225. Koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh adalah sebesar 0,7526 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kelimpahan makrozoobenthos sebesar 75,26%. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah r = 0,867 (Gambar 18) artinya antara kerapatan mangrove dengan kelimpahan makrozoobenthos berkorelasi serarah yang sangat kuat.hal ini sesuai dengan Rumalutur (2004) yang menyatakann kerapatan mangrove baik dilihat pada

28 tingkat pohon, semai dan pancang berpengaruh signifikan terhadap kelimpahan makrozoobenthos. 6. Hubungan Kandungan C-Organikterhadap KelimpahanMakrozoobenthos Hasil analisis regresi linear antara kandungan C-organik terhadap kelimpahan makrozoobenthos di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara menghasilkan model hubungan antara kelimpahan makrozoobenthos dengan kerapatan spesies magrove ditunjukkan dengan persamaan y = 93,20x 323,8. Koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh adalah sebesar 0,776 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kelimpahan makrozoobenthos sebesar 77,6%. Koefisien korelasi yang diperoleh adalah r = 0,881 (Gambar 19) artinya antara kandungan C-organik dengan kelimpahan makrozoobenthos berkorelasi serarah yang sangat kuat. Pamuji dkk (2015) menyatakan kelimpahan makrozoobenthos disebabkan karena material-material padatan yang terbawa arus danmengendap mengandung tekstur yang cocok bagi organismebenthos, selain karena tekstur yang cocok faktor lain adalahkarena material yang mengendap yang mengandung kadarbahan organik yang tinggi sebagaipendukung kehidupan hewan makrozoobenthos. Selanjutnya Tis in (2008) tidak semua makrozoobenthos memiliki asosiasi atau hubungan yang erat dengan vegetasi mangrove. Kerapatan mangrove terkait erat dengan ketersediaan bahan organik yang terdapat pada lingkungan yang mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan penguraian bahan organik, seperti oksigen terlarut (DO), salinitas dan substrat.

29 Rekomendasi Pengelolaan Ekosistem mangrove memiliki peran dan arti penting dalam kehidupan, baik dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh itu diperlukan pengelolaan yang baik untuk tetap menjaga keberlanjutan kelestariannya. Ekosistem mangrove di desa ini masih dalam keadaan baik maka rekomendasi pengelolaan untuk kawasan ekosistem mangrove di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten langkat Sumatera Utara setelah dilakukannya penelitian ini agar masyarakat bekerja sama dengan pemerintah setempat melestarikan kawasan hutan mangrove guna tetap menjaga kelestariannya di masa mendatang.

30 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kerapatan mangrove di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara memiliki termasuk kategori kerapatan yang sangat padat, Stasiun I memiliki kerapatan pohon ind/ha. Stasiun II terdapat ind/ha pohon. Selanjutnya Stasiun III terdapat ind/ha pohon. 2. Kelimpahan makrozoobenthos di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara memiliki Stasiun I sebesar 249 ind/m 2, Stasiun II sebesar 163 ind/m 2 dan Stasiun III sebesar 147 ind/m Kerapatan mangrove dan kandungan C-organik berkorelasi sangat kuat dan nyata terhadap kelimpahan makrozoobenthos di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara. Saran 1. Kondisi hutan mangrove yang masih baik perlu diawasi instansi terkait dan dilakukan pembinaan terhadap masyarakat lokal untuk tidak menebang hutan mangrove sembarangan. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara terkait perikanan maupun kelautan.

Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara 1 Hubungan Kerapatan Mangrove terhadap Kepadatan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara 1 Icha Andari Ritonga, 2 Hasan Sitorus, 2 Yoes Soemaryono 1 Mahasiswa Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2010 pada 3 (tiga) lokasi di Kawasan Perairan Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BB III BHN DN METODE PENELITIN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Tempat penelitian di Desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan analisis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR Lili Kasmini 11 ABSTRAK Desa Ladong memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tinggi yang berpotensi untuk tetap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2016 di Muara Sungai Nipah Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purpossive Random Sampling dengan menentukan tiga stasiun pengamatan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara umum berada di Kabupaten Indramayu tepatnya di Desa Brondong Kecamatan Pasekan. Wilayah pesisir di sepanjang pantai

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian 3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu: BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2012. Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek,

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan dilakukan dengan Metode Purpossive Random Sampling pada tiga stasiun penelitian. Di masing-masing stasiun

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 5 3 '15 " 5 3 '00 " 5 2 '45 " 5 2 '30 " BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo pada bulan September-Oktober 2012. B.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 31 Juli 2013. Penelitian meliputi kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo pada bulan Mei sampai Juli

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo pada bulan Mei sampai Juli 19 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Pelaksanaan kegiatan penelitian ini dilakukan di Desa Lamu, Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo dan Labolatorium Jurusan Teknologi Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Perairan Estuari Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove 6 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian a. Materi Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove pada area restorasi yang berbeda di kawasan Segara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung,

BAB III METODE PENELITIAN. data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung, serta menentukan

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Indeks Keanekaragaman ( H) dari Shannon-Wiener dan Indeks Nilai Penting

BAB III METODE PENELITIAN. adalah Indeks Keanekaragaman ( H) dari Shannon-Wiener dan Indeks Nilai Penting BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskrtiptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksploratif, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 pada 4 lokasi di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pb, Cd, dan Hg di Pantai perairan Lekok Kabupaten Pasuruan.

BAB III METODE PENELITIAN. Pb, Cd, dan Hg di Pantai perairan Lekok Kabupaten Pasuruan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode transek. Pengambilan sampel menggunakan metode eksploratif dengan pengamatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Amna dajafar, 2 Abd Hafidz Olii, 2 Femmy Sahami 1 amanjadjafar@yahoo.co.id 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Juni 2013. Lokasi Penelitian adalah Teluk Banten, Banten.Teluk Banten terletak sekitar 175

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Metode Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian terhadap sejumlah individu yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013. Lokasi penelitian adalah Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah.

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan

LAMPIRAN. Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan tingkat salinitas di Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014)

III. METODE PENELITIAN. Gambar 3.1. Lokasi Penelitian (Google Map, 2014) III. METODE PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah, International Tropical Marine and Earth Science Laboratory

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 36 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi (Hadi, 1983). Dilakukan dengan mengadakan pengamatan untuk mengetahui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta.

III. METODE PENELITIAN. zona intertidal pantai Wediombo, Gunungkidul Yogyakarta. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilakukan selama 3 bulan, yaitu pada bulan Juli 2015 sampai September 2015 pada saat air surut. Tempat penelitian di zona intertidal

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 17 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Dramaga, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat (Gambar 4.1). Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yakni dari

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di perairan pantai Pulau Tujuh Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah dengan tiga stasiun sampling yang ditempatkan sejajar

Lebih terperinci

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province 1 Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province By Elfrida Hasugian 1), Adriman 2), and Nur El Fajri 2) Elfrida.hasugian@yahoo.co.id Abstract

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Nama Ind plot. Lampiran 1. Data Analisis Vegetasi Mangrove. Stasiun I. Semai. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Nama Ind plot. Lampiran 1. Data Analisis Vegetasi Mangrove. Stasiun I. Semai. Universitas Sumatera Utara 1 LAMPIRAN Nama Ind plot K (Ind/h) KR (%) F FR(%) INP Avicenia alba 34 2 85000 38,636 0,66666 33,33333 71,9696969 Avicenia lanata 44 2 110000 50 0,66666 33,33333 83,3333333 Ceriops 10 2 25000 11,36363

Lebih terperinci

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

Utara, (  Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE TERHADAP KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI DESA TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI SUMATERA UTARA (The Relationship of Mangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BAB III METODE PENELITIAN Pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung selama 2 bulan dihitung mulai Oktober 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di Desa Ponelo

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Menempuh Derajat Sarjana S-1 Program Studi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA Mangrove Community Structure in Mangrove Forest, Village Belawan Sicanang, District

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

KONDISI EKOLOGI MANGROVE DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA

KONDISI EKOLOGI MANGROVE DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA 15 KONDISI EKOLOGI MANGROVE DI PANTAI BALI DESA MESJID LAMA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATU BARA PROVINSI SUMATERA UTARA The Ecological Condition of Mangrove in Bali Beach, Mesjid Lama Village, Talawi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA KEANEKARAGAMAN MANGROVE DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTHOS DI DESA BAGAN ASAHAN KECAMATAN TANJUNG BALAI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Mangrove Diversity and Macrozoobenthos Abudance in Bagan Asahan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2010.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. Bahan dan Metode

III. Bahan dan Metode III. Bahan dan Metode A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksaanakan pada bulan Mei - Juni 2013. Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan pada saat keadaan air laut surut, jam 10.00-12.30

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian Meteran ph Meter Alat Tulis Tool Box Pipet Tetes Tali Rafia Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian. Lanjutan Jaring Thermometer Alkohol 70% Aquades Tissue

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci