ADAPTASI PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA DI LAHAN KERING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ADAPTASI PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA DI LAHAN KERING"

Transkripsi

1 ADAPTASI PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA DI LAHAN KERING SUPIJATNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Adaptasi Padi Gogo terhadap Cekaman Ganda di Lahan Kering adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Pebruari 2012 Supijatno NIM. A

3 ABSTRACT SUPIJATNO. Upland Rice Adaptation to Multiple Stress in Upland Area. Supervised by : DIDY SOPANDIE as the chairman, M. A. CHOZIN and TRIKOESOEMANINGTYAS as member of advisory committee. Utilization of upland with low light intensity for harvesting area and production increment will have some constrains such as low ph high Al, low soil fertility, drought, low light intensity and high erodibility. Appropriate genotype for such condition is not available due to lack of genetic material. As preliminary step, identification and study of upland rice adaptation mechanism to such condition is urgently required. The study for upland rice adaptation to multiple stress in dry land consist of three step : (1) evaluation of upland rice adaptability to multiple stress, (2) adaptation mechanism of upland rice to multiple stress and (3) rice water use efficiency. In the experiment 1 and 2, rice was performed under stress condition by low ph high Al, drought and 25% and 50% shading intensity. In experiment 3, rice genotypes were evaluated for water use efficiency. Genotypes responsed variedly to multiple stress. The shading intensity increased plant height and reduced yield and yield component. Jalihuhur genotype showed shading tolerant trait consistently, while B-850 E3-TB and Gajah Mungkur genotype were considered to be moderate tolerant. Jatiluhur and B850E3-TB reveal tolerance to multiple stress as indicated by better growth, higher yield and yield component, higher root length and root weight, lower klorofil a/b ratio. Water consumption among varieties was significantly different, ranged from l plant -1 for IR64 to l plant -1 for Jatiluhur, or equal with to m 3 ha -1. Jatiluhur was the most efficient variety in using water, each liter of water could produced gram grain. This higher efficiency was associated with thicker leave and lower stomatal number. Key words : low light intensity, mechanism of adaptation, yield component, water use efisiency.

4 RINGKASAN SUPIJATNO. Adaptasi Padi Gogo terhadap Cekaman Ganda di Lahan Kering. Komisi Pembimbing : DIDY SOPANDIE (Ketua), M. A. CHOZIN dan TRIKOESOEMANINGTYAS (Anggota) Pemanfaatan lahan kering untuk meningkatkan luas panen dan produksi padi gogo akan menghadapi kendala-kendala seperti reaksi tanah yang masam, tingkat kesuburan tanah yang rendah, kekeringan dan intensitas cahaya yang rendah. Pada saat ini genotipe yang toleran terhadap cekaman tersebut belum tersedia karena belum adanya material genetik untuk keperluan tersebut. Sebagai langkah awal perlu diidentifikasi dan dipelajari mekanisme adaptasi genotipegenotipe yang kemungkinan memiliki sifat toleran terhadap multi cekaman tersebut. Penelitian ini bertujuan : (1) mengevaluasi adaptasi genotipe-genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda di lahan kering di bawah naungan, (2) memperoleh informasi karakter dan mekanisme toleransi ganda (multitoleran) genotipe terpilih terhadap berbagai cekaman di lahan kering di bawah naungan dan (3) mempelajari efisiensi penggunaan air pada beberapa genotipe padi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan percobaan dalam tiga tahap. Pada percobaan 1 dan 2, cekaman diberikan berupa cekaman ph rendah Al tinggi, kekeringan dan intensitas naungan 25% dan 50%, menggunakan rancangan petak terbagi dengan tiga ulangan. Pada percobaan 3 dilakukan pengamatan terhadap tingkat efisiensi penggunaan air pada padi yang ditanam di dalam kontainer, menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Genotipe-genotipe yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap cekaman ganda yang diberikan. Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan peningkatan tinggi tanaman serta menekan hasil dan komponen hasil secara nyata. Genotipe Jatiluhur memiliki sifat toleran terhadap cekaman ganda, sedangkan genotipe B-850 E3-TB dan Gajah Mungkur memiliki sifat moderat toleran. Sifat toleran genotipe Jatiluhur dan B850E3-TB terhadap cekaman ganda ditunjukkan oleh pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang baik, akar yang lebih panjang dan bobot akar yang lebih tinggi serta rasio klorofil a/b yang lebih kecil. Terdapat variasi konsumsi air yang nyata antar genotipe yang diuji yaitu berkisar dari liter tanaman -1 pada varietas IR 64 sampai dengan liter tanaman -1 pada Jatiluhur. Jatiluhur merupakan varietas yang paling efisien menggunakan air yaitu setiap liter air yang dikonsumsi mampu menghasilkan gram gabah kering. Efisiensi penggunaan air yang tinggi ini didukung oleh daun yang lebih tebal dan jumlah stomata yang sedikit. Kata kunci : intensitas cahaya rendah, mekanisme adaptasi, komponen hasil, efisiensi penggunaan air.

5 @ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

6 ADAPTASI PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA DI LAHAN KERING SUPIJATNO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

7 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) 2. Dr Ir Ahmad Junaedi, MS (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Suwarno, MS (Balai Besar Penelitian Padi Muara Bogor) 2. Dr Ir Sudradjat, MS (Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

8 Judul Disertasi Nama Nomor Pokok : Adaptasi Padi Gogo terhadap Cekaman Ganda di Lahan Kering : Supijatno : A Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr Ketua Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M.Agr Anggota Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian : 30 Januari 2012 Tanggal Lulus :

9 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Adaptasi Padi Gogo terhadap Cekaman Ganda di Lahan Kering. Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dua orang Anggota Komisi Pembimbing yakni : Prof Dr Ir M. A. Chozin, MAgr dan Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang tulus atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan dalam mengarahkan dan membimbing penulis. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini dibiayai oleh Penelitian Hibah Bersaing dan Program I-MHERE B.2.C IPB Departemen Agronomi dan Hortikultura Fak. Pertanian IPB, karena itu penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada Dr Ir Ahmad Junaedi, MS selaku Ketua Tim serta Prof Dr Ir M.A. Chozin, MAgr, Dr Ir Iskandar Lubis dan Dr Ir Edi Santosa, MS sebagai anggota. Penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa terima kasih yang tulus, penulis sampaikan kepada juga kepada : 1. Dirjen DIKTI yang telah memberikan Beasiswa BPPS 2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian serta Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberi ijin dan menerima penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Kepada Ibu Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS dan Dr Ir Ahmad Junaedi, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua saran dan koreksi yang telah diberikan untuk perbaikan disertasi ini 4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Agus Purwito, MAgr Sc yang mewakili Dekan Fakultas pertanian dan Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS yang mewakili Program Studi Agronomi atas masukan dan koreksinya yang sangat bermanfaat bagi perbaikan disertasi ini.

10 5. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Suwarno, MS dan Dr Ir Sudradjat,MS yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. 6. Kepala dan Staf Kebun Percobaan IPB Cikabayan dan Kebun Percobaan Sawah Baru atas kerjasama dan bantuannya. 7. Staf Laboratorium Departemen Agronomi dan Hortikultura atas kerjasama dan bantuannya. 8. Ayahanda Kasmidjan (Almarhum) dan Ibunda Saini yang telah membesarkan, mendidik, serta selalu menyertai penulis hingga detik ini dengan kasih sayang dan doanya. 9. Istri tercinta Rahayu Tri Hapsari dan anak-anak tersayang : Wangi Firdausi, Fikri Azka Nugroho, Syifa Khairunnisa dan Muthi Azizah atas doa, dorongan, pengertian dan pengorbanannya. 10. Rekan-rekan staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas dorongan semangat dan motivasi yang tiada henti-hentinya. Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pertanian, amin. Bogor, Pebruari 2012 Supijatno

11 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 21 Juni 1961, merupakan putra kedua dari delapan bersaudara dari Ayah Kasmidjan (Almarhum) dan Ibu Saini. Penulis menikah dengan Ir Rahayu Tri Hapsari dan telah dikaruniai empat orang anak. Pada Juni 1980, diterima sebagai mahasiswa di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Proyek Perintis II (PP II). Pada Agustus 1981 diterima di Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan selesai pada September Jenjang pendidikan Strata Dua (S-2) diikuti pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Agronomi (Fisiologi Tanaman) pada tahun 1992 dan selesai pada tahun Selanjutnya, sejak Agustus 2002 mengikuti jenjang pendidikan Strata Tiga (S-3) di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1986 sampai sekarang, penulis menjadi staf pengajar pada Jurusan Agronomi (sekarang Departemen Agronomi dan Hortikultura) Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sebagian dari disertasi ini telah dipresentasikan pada Seminar Hasil-hasil Penelitian Hibah Bersaing serta pada ISSAAS International Congress di Bali pada tanggal Nopember 2010 dan pada The 7 th Asian Crop Science Association Conference di Bogor pada tanggal September Sebagian disertasi ini juga akan diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xiv xvi xix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah. 4 Tujuan Penelitian... 5 Kerangka Pemikiran 5 Hipotesis... 8 Ruang Lingkup Penelitian 8 TINJAUAN PUSTAKA... 9 Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya. 9 Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Naungan Toleransi terhadap Aluminium dan Efisiensi Hara Toleransi terhadap Kekeringan 18 EVALUASI ADAPTASI GENOTIPE PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA PADA LAHAN KERING DI BAWAH NAUNGAN ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN Latar Belakang.. 24 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat 25 Metode Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman. 28 Jumlah Daun Jumlah Anakan Jumlah Anakan Produktif Jumlah Gabah Isi Bobot Gabah Total. 33 Persentase Gabah Isi Bobot Gabah Isi. 35 SIMPULAN 37

13 STUDI MEKANISME TOLERANSI GENOTIPE PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA PADA LAHAN KERING DI BAWAH NAUNGAN ABSTRAK ABSTRACT. 39 PENDAHULUAN Latar Belakang BAHAN DAN METODE 41 Waktu dan Tempat. 41 Metode Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman. 44 Jumlah Daun Jumlah Anakan Akar Berat Kering Tajuk Rasio Tajuk Akar Bobot Akar Spesifik 49 Panjang Malai Jumlah Gabah Persentase Gabah Isi dan Bobot 1000 butir Hasil Kandungan Klorofil SIMPULAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR BEBERAPA GENOTIPE PADI GOG0 58 ABSTRAK ABSTRACT. 58 PENDAHULUAN Latar Belakang. 59 BAHAN DAN METODE 60 Waktu dan Tempat 60 Metode Analisis Data. 62 HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman. 63 Komponen Hasil dan Hasil. 65 Konsumsi Air dan Efisiensi Penggunaan Air 67 SIMPULAN 73 PEMBAHASAN UMUM. 74 SIMPULAN DAN SARAN. 80

14 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 91

15 DAFTAR TABEL No Halaman 1 Intensitas cahaya matahari di dalam rumah plastik Rekapitulasi analisis ragam pengaruh naungan, genotipe dan interaksinya terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil 28 3 Rata-rata tinggi tanaman genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Rata-rata jumlah daun genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Rata-rata jumlah anakan genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Rata-rata jumlah anakan produktif genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Rata-rata jumlah gabah isi/malai genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan 33 8 Rata-rata bobot gabah total genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan 34 9 Rata-rata persentase gabah isi genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Rata-rata bobot gabah isi/tanaman genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Nilai indeks sensitifitas genotipe yang diuji pada beberapa peubah yang diteliti Rekapitulasi analisis ragam pengaruh naungan, genotipe dan interaksinya terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap tinggi tanaman Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah daun Pengaruh genotipe dan naungan terhadap jumlah anakan dan anakan produktif... 46

16 16 Pengaruh genotipe terhadap panjang akar dan bobot kering akar Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap bobot kering tajuk Pengaruh genotipe dan naungan terhadap rasio tajuk/akar Pengaruh genotipe dan naungan terhadap bobot akar spesifik Pengaruh genotipe dan naungan terhadap panjang malai Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah gabah/ malai Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah gabah/ tanaman dan jumlah gabah isi/tanaman Pengaruh genotipe dan naungan terhadap persentase gabah isi dan bobot 1000 butir Pengaruh genotipe dan naungan terhadap hasil Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil a, b dan a/b Nilai proporsi dan eigenvalue komponen utama Koefisien korelasi antar peubah Tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan genotipe padi pada saat panen Panjang malai, jumlah gabah/malai dan kepadatan malai genotipe padi Bobot gabah, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir genotipe padi Produksi gabah dan total konsumsi air sejak pindah tanam hingga panen pada genotipe padi Karakteristik daun genotipe padi Koefisien korelasi beberapa peubah terhadap efisiensi penggunaan air... 71

17 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Bagan alur kerangka pemikiran Hubungan tiga komponen hasil terhadap berbagai kondisi kekeringan Kondisi bibit setelah ditanam dalam kontainer Efisiensi penggunaan air genotipe padi Konsumsi air masing-masing genotipe berdasarkan fase pertumbuhan... 72

18 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Genotipe-genotipe yang digunakan pada percobaan daya adaptasi Hasil analisis sifat kimia tanah yang digunakan pada percobaan evaluasi daya adaptasi 93 3 Suhu dan kelembaban rumah plastik selama masa percobaan Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah yang digunakan pada percobaan evaluasi konsumsi air Deskripsi genotipe padi yang diuji... 95

19 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pada saat ini sedang menghadapi beberapa masalah dalam menjaga ketahanan pangan untuk masa yang akan datang. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia sedang menghadapi perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming) yang tidak dapat dihindari dan akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan iklim berdampak terhadap kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola hujan, serta peningkatan suhu udara dan peningkatan permukaan air laut. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun, banjir dan kekeringan menyebabkan luas areal tanaman yang mengalami puso semakin luas dan peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al., 2011). Masalah lain adalah konversi lahan sawah ke peruntukan di luar bidang pertanian. Sebagai contoh, luas sawah di Indonesia cenderung berkurang akibat konversi, bahkan sekitar 3.1 juta hektar diantaranya terancam akan dialihfungsikan sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabaupaten/Kota seluruh Indonesia. Selain itu lahan sawah di pulau Jawa juga terancam dengan adanya rencana pembangunan jalan tol Trans Jawa yang secara langsung akan mengkonversikan lahan pertanian di sekitarnya seluas lebih dari hektar (Winoto, 2005). Selain luas yang berkurang, terdapat kecenderungan bahwa tingkat produktivitas di lahan sawah sudah cukup jenuh atau mengalami pelandaian (leveling off) akibat ketidakseimbangan hara yang dipicu oleh pemupukan P dan K yang terus menerus (Sofyan et al., 2004). Kondisi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap luas panen dan produksi pangan secara nasional. Dari sisi konsumsi, jumlah penduduk Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan penduduk Indonesia mencapai juta jiwa, jumlah ini meningkat sekitar 1.5 % dari tahun Di lain pihak, jumlah konsumsi beras per kapita Indonesia turun dari kg/kapita/tahun menjadi kg/kapita/ tahun (BPS, 2010). Walaupun tingkat

20 2 konsumsi/kapita beras menurun, secara keseluruhan swasembada beras masih belum dapat dicapai, sehingga perlu usaha-usaha untuk meningkatkan produksi pangan. Untuk menyikapi perubahan iklim, kemungkinan terjadinya penurunan produksi pangan dan mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak fosil maka strategi yang dilakukan pemerintah adalah : (1) menghindari kompetisi penyediaan pangan untuk ketahanan pangan dengan memprioritaskan penggunaan komoditas bioenergi non-pangan untuk bioenergi dan (2) menghindari kompetisi penggunaan lahan untuk kebutuhan pangan melalui pemanfaatan lahan sub optimal untuk pangan (Apriantono, 2009). Dengan tidak mengurangi peran usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi di lahan sawah, maka alternatif pemanfaatan lahan sub optimal (termasuk lahan kering) untuk meningkatkan luas areal panen dan produksi pangan merupakan pilihan yang bijaksana. Total luas lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian di Indonesia mencapai juta hektar. Sebagian besar lahan tersedia ini yaitu 20.4 juta hektar (66.4%) berada di kawasan budidaya hutan dan 10.3 juta hektar (33.6%) berada di kawasan budidaya pertanian. Jika ditinjau berdasarkan potensi dan kesesuaian biofisik, maka lahan yang tersedia untuk pertanian lahan kering tanaman semusim diperkirakan mencapai luas 7.08 juta hektar (Las dan Mulyani, 2008). Secara umum, lahan kering dan setengah kering daerah tropika basah didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol dan Oksisol. Oksisol dan Ultisol umumnya terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang tinggi. Tanah ini didominasi oleh mineral liat kaolinit, oksida-oksida besi dan aluminium serta dicirikan oleh tingkat kemasaman yang tinggi, kandungan unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Selain itu, P dan anion lain difiksasi dengan kuat, kadar air dan kapasitas simpan air tanah rendah dan rentan terhadap erosi. Sifat atau karakteristik seperti ini menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah, sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan

21 3 kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%), Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan semusim (Minardi, 2009). Keterbatasan air pada lahan kering juga mengakibatkan usaha tani di lahan kering tidak memungkinkan dilakukan sepanjang tahun. Perubahan iklim menyebabkan distribusi curah hujan yang tidak merata selama musim tanam dan berkurangnya curah hujan efektif sehingga menimbulkan periode kekeringan yang cukup berat. Oleh karena itu pengendalian penggunaan air merupakan faktor utama yang perlu diperhatian dalam teknis budidaya padi di lahan kering. Sopandie et al., (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan lahan marjinal pada prinsipnya harus menggunakan pendekatan teknik budidaya tanaman yang ramah lingkungan dengan menggunakan kombinasi pemanfaatan varietas yang adaptif dan optimalisasi teknik budidaya seperti pemanfaatan amelioran dan mikroba untuk meningkatkan kesuburan tanah; atau dengan pengaturan waktu tanam yang tepat dan pemanfaatan teknologi pengeloaan air (Surmaini et al., 2011). Usaha-usaha untuk mengembangkan genotipe padi gogo sudah pernah dilakukan (Kaher, 1993; Harahap et al., 1995;Chozin et al., 2000; Trikoesoemaningtyas, 2001; Sopandie et al., 2003). Penelitian yang dilakukan pada umumnya untuk mempelajari respon morfologi dan fisiologi tanaman padi gogo terhadap cekaman tertentu yang ada di lahan kering. Dari penelitianpenelitian tersebut sudah teridentifikasi beberapa genotipe padi gogo yang memiliki sifat toleran naungan, toleran tanah masam atau toleran kekeringan. Pada kondisi di lapangan, cekaman dapat dan sering terjadi secara bersamaan yaitu, kekeringan, ph rendah dengan Al tinggi, kahat hara, ketersediaan air yang terbatas serta penyakit blas/karat daun (Pyricularia oryzae Cav.). Bahkan pada lahan kering yang ditanami tanaman tahunan terdapat cekaman lain yaitu intensitas cahaya yang rendah. Dari semua kendala tersebut, intensitas cahaya yang rendah serta ketersediaan air akan merupakan faktor pembatas terpenting untuk produksi padi gogo sebagai tanaman sela tersebut, walaupun demikian perlu juga diperhatikan berbagai kendala lainnya.

22 4 Pengembangan padi gogo yang memiliki toleransi tinggi terhadap naungan dan faktor pembatas lainnya (multitoleran) pada sistem tanaman sela tersebut masih belum dilakukan karena belum tersedianya material genetik terpilih. Selain itu masih kurangnya informasi tentang karakter morfologi dan mekanisme daya adaptasi terhadap kondisi biofisik lahan kering dengan tingkat penetrasi pencahayaan rendah serta tingkat efisiensi penggunaan airnya. Rumusan Masalah Pemanfaatan lahan kering di bawah naungan merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan produksi padi melalui penambahan luas areal tanaman. Pada kondisi lahan tersebut terdapat berbagai kendala fisik yang akan menghambat pertumbuhan dan menurunkan tingkat produktivitas padi. Kendala-kendala tersebut antara lain reaksi tanah masam dengan kandungan Al tinggi, tingkat ketersediaan air yang rendah (kekeringan) dan kahat hara serta intensitas cahaya yang rendah. Oleh karena itu tanaman padi yang akan dibudidayakan pada kondisi lahan tersebut harus memiliki sifat toleran terhadap tanah masam, mampu memanfaatkan ketersediaan air yang terbatas dan intensitas cahaya rendah. Pada saat ini genotipe padi yang dihasilkan pada umumnya memiliki sifat toleran terhadap salah satu kendala yang ada pada lahan kering, seperti toleran tanah masam, toleran kekeringan dan toleran terhadap naungan atau kombinasi antara tanah masam dan kekeringan. Pada kenyataannya kondisi di lapangan cekaman yang terjadi berlangsung hampir bersamaan. Kondisi cekaman yang terjadi secara bersamaan ini kemungkinan akan direspon oleh genotipe tanaman padi gogo dengan cara yang berbeda jika dibandingkan dengan kondisi cekaman tunggal. Seperti diketahui karakteristik morfologi dan mekanisme adaptasi untuk suatu cekaman dengan cekaman yang lain dapat saling bertentangan, seperti daun tanaman yang toleran terhadap kekeringan cenderung lebih tebal sedangkan pada tanaman yang toleran naungan akan lebih tipis. Informasi yang berhubungan dengan respon tanaman padi gogo yang memiliki sifat toleransi pada berbagai cekaman ini masih belum tersedia, karena itu perlu dilakukan studi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut.

23 5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : a) Mengevaluasi adaptasi genotipe-genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda di lahan kering di bawah naungan. b) Memperoleh informasi karakter dan mekanisme toleransi ganda (multitoleran) genotipe terpilih terhadap berbagai cekaman di lahan kering di bawah naungan c) Mempelajari efisiensi penggunaan air antar genotipe padi. Kerangka Pemikiran Seperti diketahui pemanfaatan lahan kering di bawah naungan untuk dimanfaatkan sebagai lahan perluasan penanaman padi gogo akan menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemasaman serta kahat hara, kekeringan dan tingkat naungan yang cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan padi gogo tidak dapat berlangsung secara optimal. Pada saat ini untuk perluasan areal tanam dan peningkatan hasil padi gogo telah dilakukan dengan penyediaan teknologi yang meliputi : penyediaan varietas unggul, konservasi lahan, komponen teknologi budidaya, sistem usahatani dan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (Toha, 2008). Pada saat ini varietas yang dikembangkan umumnya memiliki daya adaptasi terhadap salah satu cekaman yang terjadi pada lahan kering (kekeringan, lahan masam atau naungan) atau kombinasi antar cekaman tersebut. Kondisi cekaman yang terjadi di lapangan sebenarnya berlangsung secara simultan yang menyebabkan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman padi gogo semakin berat. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada berbagai kendala yang sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan varietas yang berdaya hasil tinggi dengan sifat multitoleran terhadap faktor fisik di lahan kering. Pengembangan padi gogo yang memiliki sifat toleransi ganda masih belum dilakukan, hal ini disebabkan belum tersedianya materi genetik serta pemahaman mengenai mekanisme daya adaptasi pada cekaman ganda ini belum dilakukan secara terintegrasi.

24 6 Kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan tergantung kepada kemampuannya untuk melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orchutt (1987) berpendapat bahwa adaptasi terhadap naungan dapat melalui 2 cara: (a) meningkatkan luas daun untuk meningkatkan intersepsi cahaya dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Mohr dan Schoopfer, 1995). Selain itu tanaman juga meningkatkan tingkat kehijauan daun dengan mengubah orientasi kloroplas tanaman yang akan mengumpul pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Pada padi gogo yang toleran naungan juga terjadi penurunan kandungan klorofil a dan nisbah klorofil a/b. Pada cekaman cahaya rendah akan menyebabkan peningkatan tinggi tanaman dan gabah hampa serta akan menurunkan jumlah gabah per malai dan indeks panen (Sing, 2005). Pada kondisi kekeringan, tanaman toleran memiliki kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan dan kedalaman sistem perakaran dan kemampuan tanaman mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik (Tardieu, 1997). Kondisi di atas dapat dicapai dengan sistem perakaran yang efisien, peningkatan laju dan jumlah pengangkutan air ke tajuk dan mengurangi kehilangan air melalui epidermis serta mengurangi jerapan panas melalui penggulungan atau pelipatan daun. Dengan karakter-karakter tersebut diharapkan pada kondisi air yang terbatas efisiensi penggunaan air oleh tanaman padi masih dapat berlangsung dengan baik. Pada lahan masam selalu berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Mekanisme toleransi terhadap lahan masam ini dikelompokan menjadi : mekanisme eksternal melalui immobilisai Al pada dinding sel, selektivitas membran plasma terhadap Al, induksi ph di rhizosfir dan sekresi asam organik pengkelat Al; mekanisme internal melalui pengkelatan Al di sitoplasma oleh asam organik, kompartementasi Al di vakuola dan sintesis protein pengikat Al (Taylor, 1991). Salah satu bentuk adaptasi terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah adalah efisiensi hara. Efisiensi hara dapat dilihat

25 7 sebagai kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomasa kering yang lebih besar dan menunjukkan lebih sedikit gejala kahat hara ketika ditumbuhkan pada kondisi tercekam kahat hara (Clark, 1990). Hal ini dapat tercapai jika tanaman mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap hara; mentranspor dan mendistribusikan hara ke jaringan-jaringan yang aktif bermetabolisme; serta mempertahankan laju metabolisme yang tetap tinggi dalam cekaman kahat hara (Marschner, 1995). Karakter morfologi, anatomi dan mekanisme toleransi yang telah diuraikan di atas dihasilkan oleh masing-masing genotipe yang memiliki sifat toleransi pada satu cekaman saja. Interaksi karakter-karekter ini pada kondisi cekaman ganda masih belum banyak diketahui. Penelitian ini akan mencari informasi yang berhubungan dengan genotipe yang memiliki sifat toleran ganda, karakter dan mekanisme toleransi pada cekaman ganda. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. Potensi Lahan Kering di Indoensia Kendala Pemanfaatan Lahan Kering Potensi Genotipe Toleran Cekaman Ganda Genotipe Toleran Ganda Gambar 1 Bagan alur kerangka pemikiran penelitian.

26 8 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan tingkat toleransi terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan 2. Terdapat karakter yang mencirikan adaptasi padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan 3. Terdapat perbedaan tingkat efisiensi penggunaan air diantara genotipegenotipe padi yang diuji Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibagi ke dalam tiga bagian penelitian yaitu : (1) Evaluasi adaptasi genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan, (2) Studi mekanisme toleransi genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda pada lahan kering di bawah naungan dan (3) Efisiensi penggunaan air genotipe padi gogo. Pada percobaan pertama dilakukan kajian adaptasi genotipe-genotipe padi gogo terhadap cekaman ganda. Kajian lebih didasarkan pada karakter agronomi baik pertumbuhan maupun hasil dan komponen hasil. Hasil percobaan ini berupa genotipe-genotipe terpilih yang toleran terhadap cekaman ganda. Pada percobaan kedua dipelajari aspek agronomi dan kandungan klorofil dari genotipe-genotipe terpilih pada kondisi cekaman ganda. Diharapkan dari kajian percobaan kedua ini diperoleh karakter morfologi yang berperan dalam toleransi terhadap cekaman ganda. Pada percobaan ketiga dipelajari keragaman efisiensi penggunaan air pada genotipe padi. Kajian pada percobaan ketiga ini diarahkan untuk mendapatkan informasi mengenai efisiensi penggunaan air dari genotipe yang diuji. Diharapkan dari rangkaian percobaan ini akan diperoleh karakter genotipe padi gogo yang toleran terhadap cekaman ganda.

27 9 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya Usahatani padi gogo relatif kurang berkembang, yang dicerminkan oleh luas pertanaman padi gogo yang tidak meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari luas panen padi gogo dari juta hektar pada tahun 2007 hanya menjadi juta hektar pada tahun Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 hanya terjadi kenaikan luas panen sebesar 0.89 persen. Dengan rata-rata produktivitas ton/ha (tahun ) dewasa ini, sumbangan usahatani padi gogo terhadap produksi padi nasional baru mencapai 5.19 %, yaitu dengan produksi padi gogo nasional hanya sekitar juta ton. Dibandingkan dengan produktivitas padi sawah (rata-rata ton/ha), produktivitas padi gogo jauh lebih rendah yaitu 2.7 ton/ha. Hal ini disebabkan terbatasnya varietas unggul yang dapat dibudidayakan pada lahan marginal, seperti Podsolik Merah Kuning, sehingga masih banyak petani yang menanam varietas lokal berumur dalam dengan tingkat produksi yang rendah (<1.5 ton/ha) (Toha et al., 2005) Tingkat penggunaan varietas unggul padi gogo yang ada sekarang masih sangat rendah. Hal ini disebabkan kurangnya ketersediaan benih dan kurangnya minat penangkar untuk memproduksi benih. Menurut Kaher (1993), kesulitan peningkatan produksi padi gogo disebabkan oleh kendala fisik, biologi dan sosial ekonomi. Lahan pertanaman umumnya bereaksi masam dengan kejenuhan Al tinggi, selain itu sering terjadi kekeringan dan kahat hara. Selain itu petani umumnya menanam varietas lokal dan kualitas benihnya rendah, pengendalian gulma kurang intensif, pemupukan kurang tepat dan kurang berimbang, kurang modal, dan adanya gangguan penyakit blas leher dan hama (terutama tikus) (Toha et al., 2005) Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada berbagai kendala yang sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan varietas yang berdaya hasil tinggi dengan sifat multitoleran terhadap faktor biofisik di lahan kering. Sifat-sifat padi gogo yang diinginkan untuk kondisi biofisik semacam itu adalah berumur genjah hingga sedang, anakan

28 10 sedang, batang agak tegak, tahan blas dan toleran Al, kekeringan dan naungan (Lubis et al., 1993). Perbaikan varietas padi gogo untuk lahan kering telah dilakukan cukup lama oleh beberapa peneliti (Lubis et al., 1993; Kaher, 1993; Harahap dan Lubis, 1995; Suwarno dan Lubis, 1995; Harahap et al., 1995). Salah satu varietas yang dihasilkan adalah Jatiluhur dengan potensi hasil berkisar antara ton/ha pada berbagai kondisi yang beragam. Pada kondisi ternaungi 40 %, varietas Jatiluhur masih mampu berproduksi 2.0 ton/ha, 65 % lebih tinggi dari Dodokan. Selain toleran naungan, varietas Jatiluhur juga tahan penyakit blas, berumur genjah ( hari), namun tidak toleran Al serta rasa nasinya pera (Harahap et al., 1995). Hasil penyaringan di IPB terhadap 200 nomor pada berbagai kondisi naungan menghasilkan 25 genotipe toleran. Studi fisiologi dan biokimia (pertumbuhan dan hasil, klorofil, enzim Rubisco, PGA, SPS, karbohidrat, protein) menunjukkan perbedaan karakteristik antara genotipe toleran dan peka naungan, dimana genotipe toleran memiliki keunggulan dari semua aspek yang diteliti (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000; Juhaeti, 2000; Supriyono et al., 2000). Namun demikian, evaluasi terhadap daya adaptasi yang lebih luas (multitoleran) pada sistem tumpangsari tersebut seperti toleran cahaya rendah sekaligus toleran Al dan ph rendah dan toleran kekeringan belum pernah dilakukan secara terintegrasi. Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Naungan Defisit cahaya pada tanaman padi gogo, yang tergolong tanaman perlu cahaya, menyebabkan terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada tereduksinya laju fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty et al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo et al., 1994). Faktor ini secara langsung mempengaruhi tingkat produktivitas padi gogo yang rendah di bawah naungan. Oleh karena itu, sifat yang dicari untuk toleransi terhadap naungan ialah kemampuan yang tinggi untuk melakukan fotosintesis secara efisien dalam kondisi defisit cahaya. Ini berkaitan dengan sifat-sifat morfologi dan anatomi, daya adaptasi fisiologi dan biokimia tanaman yang berkaitan dengan

29 11 segala hal yang terkait dengan fotosintesis. Pada intensitas cahaya rendah, tanaman yang dapat berfotosintesis secara efisien akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan berhasil berkompetisi, seperti yang terjadi pada vegetasi yang rapat atau yang ternaungi (Lawlor, 1987). Aklimasi fotosintesis pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Daun yang dibentuk pada kondisi cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil dan rendahnya akumulasi karbohidrat (Evans, 1987). Tanaman yang memperoleh naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai 5 kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah daripada tanaman yang mendapat cahaya penuh sebab memiliki komplek pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor, 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transfer elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh transport elektron melalui ke dua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Sitokrom f dan b yang merupakan bagian transfer elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones, 1996). Tanaman yang memperoleh cahaya penuh yang terdiri dari berbagai tanaman di daerah tropis, mencapai kecepatan fotosintesis maksimum lebih besar dari 30 µmol CO 2 m -2 det -1 dan kecepatan respirasi gelap 2 µmol CO 2 m -2 det -1. Tanaman naungan mempunyai kecepatan fotosintesis lebih kecil dari 10 µmol CO 2 m -2 det -1 pada intensitas cahaya sekitar 1/10 dari tanaman cahaya penuh dan mungkin mengalami kerusakan oleh intensitas cahaya di atas ½ dari cahaya penuh (Lawlor, 1987). Hubungan antara kecepatan fotosintesis dan konduktans stomata memperlihatkan bahwa kecepatan pada 20 o C lebih tinggi 20-25% pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya tinggi. Konduktans stomata yang diukur 25 o C dan 20 o C lebih rendah pada tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah (Ohashi et al., 1998). Tanaman yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah dapat memacu regenerasi RuBP sehingga pada level CO2 yang rendah laju fotosintesis masih relatif tinggi. Stimulasi kapasitas regenerasi RuBP oleh suhu dan intensitas cahaya rendah mungkin disebabkan

30 12 oleh modifikasi atau perubahan enzim atau komponen yang berhubungan dengan regenerasi RuBP dan perubahan dalam level metabolik fotosintetik. Pada tanaman yang beradaptasi terhadap naungan atau daun yang tumbuh dalam naungan, fotosintesis neto mencapai kejenuhan pada PAR kurang dari 100 µmol m -2 det -1 atau mendekati 5% cahaya penuh. Titik kompensasi cahaya juga bervariasi dari µmol m -2 det -1 pada spesies yang ternaungi seperti Allocasia macrorhiza hingga lebih dari 40 µmol m -2 det -1 pada tanaman yang beradaptasi pada cahaya penuh (Jones, 1996). Salisbury dan Ross (1992) menyimpulkan bahwa spesies toleran naungan memiliki ciri yang khas : (1) mempunyai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah pada cahaya penuh, (2) laju fotosintesis mencapai jenuh pada tingkat radiasi yang lebih rendah, (3) pada tingkat cahaya yang sangat rendah mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi dan (4) memiliki titik kompensasi yang sangat rendah. Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan ialah tergantung kepada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orcutt (1987) berpendapat bahwa adaptasi terhadap naungan dapat melalui 2 cara: (a) meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit; contohnya perluasan daun ini menggunakan metabolit yang dialokasikan untuk pertumbuhan akar, (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Defisit cahaya pada tanaman padi gogo menyebabkan proses metabolisme terganggu yang berimplikasi kepada menurunnya laju fotosintasis dan sintesis karbohidrat (Sulistyono et al., 1999, Santosa et al., 2000, Sopandie et al., 2003). Pengaruh tercepat dari cekaman naungan adalah terhadap penurunan kandungan karbohidrat, terutama fruktosa dan sukrosa yang diikuti dengan berbagai perubahan dari proses metabolisme pada tanaman (Chaturvedi et al., 1994) Adaptasi anatomi dan morfologi. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Mohr dan Schoopfer, 1995). Intensitas cahaya juga mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar daripada daun tanaman yang ditanam pada areal terbuka,

31 13 yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger, 2002). Pada tanaman kedelai baik yang peka maupun yang toleran intensitas cahaya rendah melakukan adaptasi untuk meningkatkan kemampuan penangkapan dan penggunaan cahaya melalui mekanisme penghindaran (aviodance) melalui perubahan morfo-anatomi dan kandungan klorofil untuk efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran (tolerance) melalui perubahan aktivitas fotosintesis dan respirasi untuk efisiensi penggunaan cahaya (Muhuria, 2007). Kemampuan penangkapan cahaya diperoleh dengan cara meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap melalui peningkatan luas daun serta mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan melalui pengurangan kerapatan trikoma dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan melalui peningkatan kandungan klorofil. Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun genotipe padi gogo toleran berbeda dengan yang peka dilihat dari warna kehijauan (greeness), luas, ketebalan, serta ketegakan dan bentuknya (Sopandie et al., 1999; Chozin et al., 2000). Selain itu, anatomi daun seperti ukuran palisade, klorofil dan stomata sangat menentukan efisiensi fotosintesis (Sahardi, 2000). Pada padi gogo yang toleran naungan terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe yang peka, yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Sopandie et al., 2003) Perubahan kandungan klorofil daun. Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini bergantung pada cahaya, sehingga bila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas. Kekuatan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut, 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al., 1992). Ini ditunjukkan oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al., 1994; Sulistyono et al., 1999). Hidema et al. (1992) melaporkan penurunan rasio klorofil a/b karena meningkatnya klorofil b pada

32 14 tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Ketebalan dan susunan daun mempengaruhi kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun. Oleh karena itu daun yang tumbuh pada intensitas cahaya tinggi sering memiliki laju fotosintesis lebih tinggi karena memiliki kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun juga lebih tinggi, termasuk rubisco, komponen transport electron dan pembentukan ATP. Walaupun demikian, perubahan juga terjadi pada tingkat kloroplas, sebagai contoh rasio PS II terhadap PS I terlihat berbeda-beda tergantung tingkat intensitas cahaya (Murchie and Horton, 1998; Yamazaki et al., 1999) Tanaman yang ditanam pada intensitas cahaya tinggi, pada pusat reaksi PS II memiliki periperal komplek penangkapan cahaya lebih sedikit dan kandungan Rubisco serta komplek sitokrom b/f yang lebih rendah per unit klorofil (Murchie dan Horton, 1998). Perubahan fisiologi dan biokimia. Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu di antaranya perubahan kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya. Rubisco adalah enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, yaitu yang mengikat CO 2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas rubisco (Portis, 1992), dimana naungan menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco (Bruggeman dan Danborn, 1993). Penelitian pada padi genotipe toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi (Sopandie et al., 1999 dan 2001) dan kandungan N terlarut yang lebih rendah (Sulistyono et al., 1999) dibandingkan dengan yang peka. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembungaan pada padi menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat, protein, auksin, prolin dan sitokinin; namun kandungan giberelin dan N terlarut pada malai meningkat. Sterilitas yang tinggi pada padi dalam kondisi cahaya rendah tersebut disebabkan gangguan metabolisme N dan akumulasi N terlarut di panikel, yang menyebabkan gangguan dalam pengisian biji (Murty dan Sahu, 1987; Chaturvedi et al., 1994).

33 15 Pada intensitas cahaya rendah gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-n dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo saat vegetatif aktif memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % (Sopandie et al., 1999 dan 2001). Pada tanaman legum, beberapa karakter yang berhubungan dengan toleransi terhadap cahaya rendah terlihat pada perubahan morfologi dan komponen hasil. Karakteristik daun genotipe kacang hijau toleran naungan adalah jumlah bulu pada permukaan daun lebih sedikit, sel epidermis daun lebih tipis, jaringan palisade lebih panjang, daun lebih tebal, dan jumlah stomata lebih banyak dibandingkan genotipe sensitive (Sundari et al., 2008). Susanto dan Sundari (2011) menyatakan tanaman kedelai yang ternaungi mengakibatkan umur panen lebih cepat, batang lebih tinggi, jumlah polong isi lebih sedikit, ukuran biji lebih kecil dan bobot biji menjadi lebih rendah dibandingkan di lingkungan yang tanpa naungan. Toleransi terhadap Aluminium dan Efisiensi Hara Salah satu bentuk adaptasi terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah adalah efisiensi hara. Efisiensi hara dapat dilihat sebagai kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomasa kering yang lebih besar dan menunjukkan lebih sedikit gejala kahat hara ketika ditumbuhkan pada kondisi tercekam kahat hara (Clark, 1990). Hal ini dapat tercapai jika tanaman mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap hara; mentranspor dan mendistribusikan hara ke jaringan-jaringan yang aktif bermetabolisme; serta mempertahankan laju metabolisme yang tetap tinggi dalam cekaman kahat hara (Marschner, 1995). Oleh sebab itu, Blair (1993) berpendapat bahwa komponen efisiensi hara meliputi a) efisiensi penyerapan (uptake eficiency) yang diukur berdasarkan volume akar; b) efisiensi asimilasi (incorporation eficiency) dan c) efisiensi penggunaan

34 16 (utilization eficiency). Sementara itu, Marchsner (1995) juga memasukkan komponen efisiensi pengangkutan hara. Kemampuan tanaman untuk dapat menyerap hara dengan baik pada kondisi cekaman kahat hara, merupakan suatu bentuk adaptasi penghindaran terhadap cekaman kahat hara (Marchsner, 1995). Dengan kemampuan menyerap hara yang tinggi pada kondisi cekaman kahat hara, tanaman dapat tetap mempertahankan kandungan hara dalam jaringan tanaman, sehingga menghindarkan jaringan yang aktif bermetabolisme dari kondisi cekaman hara. Penyerapan hara yang efisien sangat ditentukan oleh morfologi akar. Volume akar yang besar akan memungkinkan tanaman mengeksploitasi volume tanah yang lebih luas. Genotipe yang efisien umumnya mempunyai nisbah akar tajuk yang besar (Vose, 1990; Duncan dan Baligar, 1990). Pada tanaman gandum (Triticum aestivum L.), ujung akar yang toleran Al mengakumulasi lebih sedikit Al dibandingkan dengan yang peka. Akumulasi ini dapat terjadi kurang dari 60 menit setelah kontak dengan Al, tetapi apakah Al masuk melalui simplas dengan cepat sehingga dapat menyebabkan penghambatan tersebut masih belum diketahui (Delhaize dan Ryan, 1995). Hasil penelitian Jagau (2000) dan Trikoesoemaningtyas (2001) menunjukkan bahwa terdapat keragaman dalam efisiensi hara N, dan K diantara galur-galur padi gogo. Galur-galur landrace seperti Krowal dan Banih Kuning mempunyai tingkat efisiensi hara yang lebih baik dibandingkan varietas unggul padi gogo. Bahtiar et al. (2009) menyatakan bahwa sifat resisten padi terhadap penyakit blas tidak hanya disebabkan oleh kandungan Si atau N di dalam jaringan tajuk tanaman. Ketahanan terhadap penyakit blas ini mungkin berhubungan dengan tingginya rasio Si/N di dalam jaringan daun. Sedangkan sifat toleransi dilihat dari sedikitnya penurunan pertumbuhan akar, bobot kering tajuk yang tinggi, kandungan Si yang tinggi di daun dan rasio Si/Al yang tinggi di akar. Respon tanaman terhadap tanah masam tidak selalu berhubungan dengan keracunan Al. Tanaman sorgum lebih peka terhadap defisiensi hara P dibandingkan cekaman Al (Agustina et al., 2010). Genotipe sorgum yang peka memiliki nilai total serapan P tinggi, akan tetapi nilai efisiensi penggunaan hara P nya lebih rendah daripada tanaman toleran. Total serapan P dan efisiensi

35 17 penggunaan P berkorelasi tinggi dengan diameter akar dan pembentukan biomasa tanaman. Pada percobaan cekaman Al dan P rendah di dalam rhizotron disimpulkan bahwa genotipe sorgum yang toleran menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang peka melalui peningkatan efisiensi penggunaan P internal. Efisiensi penggunaan P dan kadar P total jaringan tanaman berkorelasi tinggi dengan diameter sebaran akar dan pembentukan biomassa tanaman (Agustina, 2011). Pada penelitian tanaman padi yang toleran Al (Krowal) dan peka Al (IR 64) ditemukan bahwa pertumbuhan akar adventif kedua varietas tersebut sangat terhambat (memendek) pada konsentrasi Al 15 ppm. Pewarnaan akar dengan menggunakan hematoxylin menunjukkan bahwa ujung akar (1 mm) berwarna nila tua. IR 64 cenderung menyerap Al lebih banyak dibandingkan Krowal. Walaupun demikian tidak terdapat perbedaan yang nyata kandungan Al dalam akar pada kedua varietas pada berbagai konsentrasi dan periode perlakuan Al. Berdasarkan hasil penelitian ini, varietas Krowal yang sebelumnya termasuk toleran terhadap Al memiliki pertumbuhan akar dan respon fisiologi yang sama dengan varietas IR 64 yang peka terhadap Al (Miftahudin et al., 2007). Bakhtiar et al. (2009) menyatakan bahwa toleransi terhadap Al berhubungan dengan sedikitnya pengurangan pertumbuhan akar, berat kering tajuk yang tinggi, kandungan Si yang tinggi di tajuk dan rasio Si/Al yang tinggi di akar. Al akan menyebabkan penghambatan pada proses pembelahan dan pemanjangan sel akar sehingga akan diikuti dengan berkurangnya penyerapan air dan hara (Samac dan Tesfaye, 2003). Pada percobaan genotipe baru kedelai terhadap kondisi kahat P, (Bertham dan Nusantara, 2011) menyimpulkan bahwa genotipe baru kedelai memiliki mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan P dibandingkan dengan genotipe Slamet sebagai pembanding yaitu dengan translokasi lebih banyak karbon ke akar untuk meningkatkan pembentukan biomassa akar, eksudasi asam organik (oksalat, malat dan sitrat) yang lebih banyak di sekitar rhizosfir, dan mampu bersimbiosis dengan jasad renik. Asam organik yang dieksudasikan oleh akar berguna untuk mengkelat Al atau Fe untuk kemudian membebaskan P yang terikat sehingga dapat meningkatkan serapan P pada kondisi kahat P.

36 18 Secara agronomi padi gogo toleran cekaman Al memperlihatkan pertumbuhan karakter agronomi yang lebih baik seperti peningkatan BKA yang positif walaupun pada kondisi tercekam Al. Hal ini diduga sebagai bentuk adaptasi tanaman untuk mempertahankan pertumbuhannya, dengan lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhan akar dibandingkan energi untuk pertumbuhan tajuk. Kemampuan adaptasi varietas padi gogo terhadap cekaman - + Al terjadi melalui mekanisme fisiologi metabolisme NO 3 lebih tinggi, NH 4 + lebih rendah dan Ca 2 yang lebih tinggi. Hal ini diduga menyebabkan terjadinya perubahan ph dan perbedaan ini menyebabkan perbedaan varietas toleran dan peka dalam metabolisme NO - 3 (Utama, 2010). Sutaryo et al. (2005) yang melakukan percobaan pada 30 F 1 (Indica x Javanica) dan 4 varietas pembanding yaitu IR64 (rentan), Hawara Bunar (tahan), Kapuas (tahan), dan Batanghari (tahan) terhadap keracunan Al menyatakan bahwa jumlah gabah isi per malai berpengaruh secara langsung terhadap hasil gabah, dan mengkontribusi secara tidak langsung terhadap hubungan antara hasil gabah dengan tiap komponen hasilnya. Toleransi terhadap Kekeringan Pada lahan kering upaya pengembangan padi gogo akan dihadapkan pada kendala ketersediaan air yang rendah serta fluktuasi kadar air tanah yang besar. Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk melihat kemampuan tanaman dalam menghadapi cekaman kekeringan. Pendekatan pertama adalah dengan melihat kemampuan pengambilan air secara maksimal dengan perluasan dan kedalaman sistem perakaran. Pendekatan kedua adalah dengan melihat kemampuan tanaman mempertahankan turgor melalui penurunan potensial osmotik, mengingat tekanan turgor mutlak diperlukan bagi jaringan untuk menjaga tingkat aktivitas fisiologi (Tardieu, 1997). Cekaman kekeringan sebelum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, terlebih dahulu mengakibatkan dehidrasi dan menurunkan tekanan turgor sel tanaman, sehingga merangsang penutupan stomata, menghambat difusi CO2 dan fotosintesis (Levitt, 1980). Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan Ross (1992) akan membentuk asam absisat lebih banyak dan diangkut melalui xylem

37 19 menuju daun untuk menutup stomata, yaitu dengan cara menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP dan membran plasma sel penjaga. Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat melalui berbagai mekanisme seperti : drought escape dimana tanaman mampu penyelesaikan siklus hidupnya sebelum adanya kekeringan yang cukup serius. Mekanisme ini meliputi : perkembangan fenologi yang cepat (umur berbunga dan umur panen yang lebih awal), perkembangan plastisitas (variasi dalam periode pertumbuhan tergantung defisit air) dan remobilisasi asimilai preanthesis ke biji (Fukai dan Coper, 1995 ; Mitra, 2001) ; Dehydration avoidance dimana tanaman mampu untuk memelihara potensial air jaringan tetap tinggi meskipun pada kondisi kurang air, dengan cara memperbaiki serapan air, menyimpannya dalam sel tanaman, dan mengurangi hilangnya air. Hal ini dapat terjadi melalui peningkatan kedalaman akar, sistem perakaran yang intensif dan peningkatan laju dan jumlah pengangkutan air ke tajuk dan mengurangi kehilangan air melalui lapisan epidermis, mengurangi jerapan panas radiasi melalui penggulungan dan pelipatan daun dan mengurangi penguapan melalui permukaan daun (leaf area). Fukai dan Coper (1995) menjelaskan bahwa sebagian besar galur padi yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang relatif baik selama kekeringan adalah dengan memelihara potensial air daun tetap tinggi. Mostajeran dan Rahimi-Eichi (2009) menyatakan bahwa akumulasi solute dalam jaringan tanaman merupakan salah satu mekanisme toleransi tanaman padi terhadap cekaman kekeringan. Mekanisme toleransi lain terhadap kekeringan adalah Dehydration tolerance dimana tanaman mampu menjaga proses metabolisme tetap berlangsung normal meskipun pada kondisi kekurangan air dan potensial air jaringan rendah. Mekanisme ini menjaga turgor melalui pengaturan osmotik (osmotic adjustment, yaitu proses induksi akumulasi solute dalam sel), meningkatkan elastisitas sel dan mengurangi ukuran sel serta resistensi protoplasma (Fukai dan Coper, 1995 ; Mitra, 2001). Mekanisme lain adalah drought recovery, yang merupakan mekanisme penyembuhan dimana proses metabolisme berjalan normal kembali setelah mengalami stres kekeringan. Beberapa genotipe padi mampu menghasilkan beberapa anakan meskipun dalam kondisi kekeringan dan anakan

38 20 tersebut tetap produktif. Hal ini terkait dengan kemampuan tanaman untuk mempertahankan daun tetap hijau selama periode kering. Respon tanaman terhadap kekeringan merupakan hal yang sangat kompleks dan sangat tergantung pada tingkat cekaman dan perkiraan terjadinya kekeringan. Hubungan antar komponen pada tipe kekeringan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. Pada tingkat cekaman kekeringan yang rendah sampai sedang (hasil menurun kurang dari 50%), potensi hasil merupakan hal yang penting dalam menentukan hasil genotipe pada lingkungan tersebut. Pada tingkat cekaman yang lebih tinggi diperlukan mekanisme penghindaran atau toleran. Jika cekaman kekeringannya tinggi, dapat diperkirakan dan terjadi mendekati akhir pertumbuhan tanaman, maka hasil akan dapat dipertahankan melalui mekanisme penghindaran kekeringan seperti menanam varietas yang berumur pendek. Jika cekaman kekeringan tinggi, terjadi pada pertengahan musim dan tidak dapat diperkirakan maka diperlukan mekanisme toleransi kekeringan (Fukai et al., 1999). Pada kondisi kekeringan, karakter yang sesuai, potensi hasil dan kemampuan mempertahankan potensi air daun yang tinggi berhubungan langsung dengan hasil biji yang tinggi. Kondisi kekeringan juga menyebabkan perubahan transpirasi tanaman. Pada kondisi cekaman kekeringan padi gogo yang toleran tetap bertranspirasi tinggi dengan laju penurunan transpirasi yang rendah. Hal ini menunjukkan tanaman tetap dapat menyerap air walaupun dalam kondisi tercekam. Setelah cekaman kekeringan berkurang, pertumbuhan akar tanaman padi yang toleran juga lebih baik seperti terlihat pada diameter akar yang lebih besar dan kepadatan panjang akar yang lebih tinggi (Trillana et al., 2001). Pengaruh besarnya cekaman air pada padi gogo terhadap hasil telah dilakukan Sulistyono et al. (2005) melalui pemberian air setiap periode tertentu. Semakin tinggi total defisit evapotranspirasi menyebabkan penurunan hasil semakin besar. Total defisit evapotranspirasi sebesar mm menyebabkan penurunan hasil gabah sebesar 90% dan penurunan bobot kering tanaman sebesar 72.5%. Selain itu diketahui juga bahwa kelembaban tanah optimum untuk padi gogo adalah antara kapasitas lapang sampai kadar air 32%, kelembaban lebih rendah dari 32% akan menurunkan produksi. Evapotranspirasi harian dapat

39 digunakan sebagai indikator kekurangan air pada tanaman padi gogo (Sulistyono et al., 2005) 21 Gambar 2 Hubungan tiga komponen hasil terhadap berbagai kondisi kekeringan. (Fukai et al., 1999) Antar padi sawah juga akan memberikan respon yang berbeda terhadap kondisi kekeringan. Varietas padi sawah dengan potensi hasil tinggi jika ditanaman pada kondisi kekeringan akan mengalami penurunan yang lebih besar (51%) dibandingkan dengan varietas padi sawah dengan potensi hasil rendah (23%) (Rabello, 2008). Sifat ketahanan akan berbeda tergantung tipe kekeringannya (kekeringan di akhir musim, kekeringan pada fase vegetative atau kekeringan terputus-putus), tetapi pada kondisi tercekam, respon genotifik yang berkontribusi terhadap penghindaran kekeringan (seperti kedalaman dan ketebalan akar dan penggunaan air yang konservatif melalui ukuran tanaman sedang) dan mempertahankan statur air tanaman tetap tinggi sangat penting untuk hasil tinggi daripada mekanisme toleransi (Kamoshita et al., 2008). Cekaman kekeringan setelah fase masak susu tidak mengurangi hasil, bahkan secara tidak langsung meningkatkan mutu beras (Fofana et al., 2010). Pada percobaan tanaman barley yang diberi dua cakaman abiotik secara bersamaan akan memberikan respon yang berbeda dengan jika tanaman tersebut

40 22 hanya mengalami satu cekaman saja. Cekaman ganda merupakan hal yang sering terjadi di lapangan maka perlu studi lebih lanjut dengan analisis yang lebih baik untuk mendapatkan karakter yang dapat mewakili interaksi antar cekaman abiotik (Atienzaa et al., 2004).

41 EVALUASI ADAPTASI GENOTIPE PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA PADA LAHAN KERING DI BAWAH NAUNGAN ABSTRAK Pemanfaatan lahan kering merupakan salah satu alternatif untuk peningkatan luas areal tanam tanaman padi, tetapi pemanfaatan lahan kering ini akan menghadapi beberapa kendala, seperti tingkat kesuburan yang rendah, kekeringan, kemasan tanah dan mudah terjadi erosi. Pada lahan kebun, selain masalah tersebut juga terdapat kendala intensitas cahaya yang rendah. Potensi genotipe padi gogo yang memiliki sifat toleran pada satu cekaman merupakan potensi perlu dimanfaatkan. Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi daya adaptasi 15 genotipe padi gogo (toleran dan peka naungan, toleran kekeringan dan toleran tanah masam) terhadap cekaman kondisi lahan kering di bawah naungan. Penelitian ini dilakukan dalam rumah plastik, menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan. Petak utama adalah intensitas naungan yang terdiri atas 3 taraf, 0% (kontrol), 25% dan 50%, sedangkan anak petak terdiri atas 15 genotipe padi gogo. Padi gogo ditanam dalam polibag dengan media yang diberi cekaman tanah masam (ph rendah, Al tinggi) dan cekaman kekeringan dengan kadar air tanah 30-40% kapasitas lapang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan tinggi tanaman meningkat dan menekan hasil dan komponen hasil. Berdasarkan tingkat produksi dan uji sensitivitas, genotipe Jatiluhur termasuk toleran terhadap cekaman ganda sedangkan genotipe B-850 E3-TB dan Gajah Mungkur termasuk termasuk moderat toleran. Kata Kunci : adaptasi, genotipe padi gogo, cekaman ganda EVALUATION OF UPLAND RICE GENOTIPES ADAPTABILITY TO MULTIPLE STRESS CONDITION IN SHADING UPLAND AREAS ABSTRACT Utilization of upland areas is one of alternative to increase rice harvesting area, although it will face some constrains such as low soil fertility, drought, low ph and high erodibility. In addition, estate upland areas have other constrain, low light intensity. Recent specific tolerant genotypes were potential to be utilized. This study was conducted to evaluate the adaptability of 15 upland rice genotypes. The experiment was conducted in a vinyl house, using split plot design with three replications. As main plot was shading intensity: 0% (control), 25% and 50%, and as sub plot were 15 genotypes of upland rice. Plant was grown in polybag contained low ph, high Al soil stress and drought stress with 30-40% field capacity water content. The result showed that in multiple stress condition, increasing shading intensity increase plant height and reduce yield and yield components. Based on yield and sensitivity test, Jalihuhur genotype showed tolerant to multiple stress, while B-850 E3-TB and Gajah Mungkur genotypes were considered to be moderate tolerant. Keyword : adaptation, upland rice genotipes, multiple stress 23

42 24 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan sumber utama bahan pangan bagi lebih dari separuh penduduk di dunia. Kebutuhan akan beras ini akan terus bertambah dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia. Tingkat konsumsi beras di Indonesia ratarata pada tahun 2008 mencapai kg/kapita/tahun dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat pada tahun 2010 (Nainggolan, 2008). Di lain pihak produksi beras Indonesia pada tahun 2010 baru mencapai juta ton GKG dari luas lahan padi sebesar juta ha. Kondisi ini sangat mungkin menurunkan ketahanan pangan Indonesia. Peningkatan produksi padi melalui lahan sawah pada saat ini masih terus dilakukan baik melalui pengembangan varietas unggul baru atau perbaikan teknik budidaya. Masalah atau kendala yang dihadapi untuk peningkatan produksi pada lahan sawah adalah tingkat produktivitas lahan sawah yang sudah jenuh (leveling off) akibat menurunnya tingkat kesuburan tanah serta konversi lahan sawah ke peruntukan lain di luar bidang pertanian (Idjudin dan Marwanto, 2008). Alternatif lain untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan cara pemanfaatan lahanlahan kering yang masih potensial untuk dikembangkan. Kondisi lahan kering pada umumnya didominasi oleh tanah-tanah dengan tingkat kemasaman tinggi dan ketersediaan air yang terbatas (Minardi, 2009). Dua kondisi ini merupakan cekaman yang cukup berat bagi tanaman. Kondisi ini akan secara langsung menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Penelitianpenelitan yang berhubungan dengan pengembangan padi gogo dengan cekaman tertentu sudah dilakukan (Kaher, 1993; Harahap et al., 1995;Chozin et al., 2000; Sopandie et al., 2003; Trikoesoemaningtyas, 2001). Dari hasil penelitian tersebut sudah teridentifikasi beberapa genotipe padi gogo yang toleran pada cekaman tertentu. Pada saat ini varietas-varietas padi gogo yang dihasilkan ditujukan pada suatu kondisi fisik lahan dengan satu atau dua jenis cekaman tertentu seperti kekeringan, tanah masam atau naungan. Kenyataan di lapangan proses terjadinya cekaman sering berlangsung secara bersamaan dan simultan. Pada lahan kering upaya pengembangan padi gogo akan dihadapkan pada kendala kandungan hara

43 25 yang rendah serta kemungkinan keracunan aluminium, ketersediaan air tanah yang rendah serta fluktuasi kadar air tanah yang besar. Selain itu pada lahan perkebunan, padi gogo yang ditanam sebagai tanaman sela akan menghadapi kendala intensitas cahaya yang rendah. Oleh karena itu perlu dipelajari respon genotipe-genotipe padi gogo yang ada saat ini terhadap kondisi cekaman ganda tersebut. Potensi pengembangan genotipe seperti disebut di atas tetap terbuka. Hasil penelitian Jagau (2000) dan Trikoesoemaningtyas (2001) menunjukkan bahwa terdapat keragaman dalam efisiensi hara N, dan K diantara galur-galur padi gogo. Galur-galur landrace seperti Krowal dan Banih Kuning mempunyai tingkat efisiensi hara yang lebih baik dibandingkan varietas unggul padi gogo. Departemen Pertanian sendiri telah melepas beberapa varietas padi gogo yang memiliki sifat toleran pada satu atau dua jenis cekaman seperti Danau Tempe dan Jatiluhur yang toleran naungan, Limboto yang toleran kekeringan dan agak toleran aluminium dan Gajah Mungkur yang toleran kekeringan dan peka naungan (Suprihatno, et al., 2009). Sebagai tahap awal perlu dilakukan evaluasi daya adapasi genotipe padi gogo yang memiliki toleransi terhadap cekaman tertentu pada kondisi cekaman ganda. Percobaan ini bertujuan untuk mengevaluasi adaptasi genotipe-genotipe padi gogo toleran cekaman tunggal terhadap cekaman ganda di lahan kering di bawah naungan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di rumah plastik Departemen Agronomi dan Hortikultura Kebun Percobaan Cikabayan pada September 2003 sampai Januari Metode Bahan tanam yang digunakan adalah benih padi gogo yang terdiri atas : 9 genotipe toleran naungan, 2 genotipe toleran kekeringan, 2 genotipe toleran ph

44 26 rendah dan Al tinggi serta 2 genotipe peka naungan sebagai pembanding (Lampiran 1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Petak utama adalah cekaman naungan yang terdiri atas 3 taraf yaitu : 0%, 25% dan 50%, sedangkan anak petaknya adalah 15 genotipe padi gogo. Model statistik yang digunakan dalam percobaan ini adalah : Yijk = µ + Ri + Nj + RNij + Gk + NGjk + έijk Dimana : Yijk : nilai pengamatan ulangan ke i naungan ke j, genotipe ke k µ : nilai rata-rata umum Ri : nilai pengaruh ulangan ke i Nj : nilai pengaruh naungan ke j RNij : nilai galat pengaruh petak utama Gk : nilai pengaruh genotipe ke k NGjk : nilai pengaruh interaksi naungan ke j dan genotipe ke k έijk : nilai galat pengaruh anak petak Padi ditanam di dalam polibag yang berisi tanah dengan cekaman ph rendah dan Al tinggi dan cekaman kekeringan dengan kadar air tanah 30-40% kapasitas lapang. Perlakuan kekeringan mulai diberikan pada minggu ke tiga setelah tanam. Pada percobaan ini digunakan media tanah jenis tanah Ultisol dari lahan kering di Kabupaten Bogor dengan ph < 4.5 dan Kejenuhan Al 40% (Lampiran 2). Dengan demikian terdapat 45 kombinasi perlakuan dengan 135 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 3 buah polibag yang masing-masing polibag terdapat 2 rumpun padi gogo. Pemupukan diberikan dengan dosis 100 kg Urea, 150 kg SP36 dan 100 kg KCl/ha. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan Uji F dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α 5%. Tingkat toleransi dari 15 genotipe ditentukan oleh hasil per rumpun yang dianalisis dengan menggunakan indeks sensitivitas yang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukankan oleh Fischer dan Maurer (1978), yaitu :

45 27 S = 1 (Yp/Y) 1 (Xp/X) dimana : Yp = rata-rata genotipe yang mendapat cekaman Y = rata-rata genotipe yang tidak mendapat cekaman Xp = rata-rata seluruh genotipe yang mendapat cekaman X = rata-rata seluruh genotipe yang tidak mendapat cekaman Jika nilai S 0.5 = toleran; 0.5 < S 1.0 = medium toleran dan S 1 = peka Pada percobaan ini peubah-peubah pertumbuhan, hasil dan komponen hasil. yang diamati meliputi peubah Peubah pertumbuhan yang diamati antara lain : (a) tinggi tanaman, (b) jumlah daun, (c) jumlah anakan dan (d) jumlah anakan produktif. Untuk peubah hasil dan komponen hasil antara lain : (a) bobot gabah total, (b) bobot gabah isi, (c) jumlah gabah isi dan (d) persentase gabah isi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah yang digunakan dalam percobaan menurut kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983) menunjukan bahwa ph media (H 2 O) 4.0 (sangat rendah/masam); P 2 O ppm (rendah); K 2 O ppm (sedang); KTK me/100 g (rendah), kejenuhan basa % (sangat rendah sampai rendah); dan kandungan Aldd me/100 gram (Lampiran 2). Dengan sifat kimia seperti diuraikan di atas, kondisi tanah yang digunakan termasuk kategori tanah miskin dengan kandungan Al yang cukup tinggi. Kondisi tersebut sering ditemui pada lahan kering yang banyak tersebar di Indonesia. Hasil pengukuran intensitas cahaya di dalam dan di luar rumah plastik disajikan pada Tabel 1. Pada kondisi tanpa naungan, intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah plastik hanya mencapai Watt/m 2 sampai Watt/m 2 atau sekitar 60 sampai 72 % dibandingkan dengan intensitas cahaya di luar rumah plastik, sedangkan pada tingkat naungan 50% intensitas cahaya yang masuk hanya 17 sampai 41 % dibandingkan dengan intensitas cahaya yang masuk di dalam rumah plastik.

46 28 Dari 15 genotipe yang digunakan terdapat 3 genotipe yang tidak dapat tumbuh karena daya kecambah benih yang sangat rendah. tersebut adalah : B7291D-5M -12, S360F-PN-201 dan Dodokan. Tabel 1 Intensitas cahaya matahari di dalam rumah plastik Ketiga genotipe Naungan Waktu Pengamatan (Watt/m 2 ) 0% % (46.4) (63.5) (65.3) 50% (17.0) (37.8) 72.3 (41.1) Keterangan : angka dalam kurung merupakan persentase terhadap naungan 0% Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan cekaman dan genotipe berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati dan sedangkan interaksi antara cekaman dan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, jumlah anakan dan jumlah anakan produktif (Tabel 2). Tabel 2 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh naungan, genotipe dan interaksinya terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil Peubah Naungan (N) Genotipe (G) Interaksi N x G KT F-hit KT F-hit KT F-hit Tinggi Tanaman ** ** Jumlah Daun ** ** Jumlah Anakan ** * Jumlah Anakan Produktif ** * Bobot Gabah Total ** ** Bobot Gabah Isi ** ** Jumlah Gabah Isi ** ** Persentase Gabah Isi ** ** Keterangan : KT= Kuadrat Tengah; * = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada taraf 1%; Tinggi Tanaman. Pada kondisi cekaman ganda (ph rendah dan Al sedang), peningkatan intensitas naungan meningkatkan tinggi tanaman (Tabel 3). Hal ini terjadi pada semua genotipe kecuali pada Way Rarem yang menurun pada naungan 50% dan IRAT yang turun pada naungan 25%.

47 29 Tabel 3 Rata-rata tinggi tanaman genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) Rata-rata B 149F-MR (101) (110) f B-850 E3-TB (103) (102) bc Danau Tempe (104) (106) de C (112) (110) de Jatiluhur (109) (113) b TB 165E-TB (100) (114) ef Way Rarem (102) (96) cd Limboto (111) (116) bc Gajah Mungkur (106) (110) de IRAT (97) (102) bc Krowal (108) (109) de Grogol (105) (107) a Rata-rata c b a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom yang sama atau pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Pada tingkat naungan 50 % tinggi tanaman meningkat hampir mencapai 7.5 % jika dibandingkan dengan tanpa naungan. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Sing (2005) dan Sopandie et al. (2003) yang meneliti pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah pada berbagai tahap pertumbuhan. Peningkatan tinggi tanaman ini berhubungan dengan kemampuan tanaman untuk mendapatkan cahaya yang lebih banyak dengan cara memperpanjang ukuran sel (Taiz dan Zieger, 2002). Pada cekaman cahaya rendah akan menyebabkan peningkatan tinggi tanaman (Sing, 2005). Jumlah Daun Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan memberi pengaruh yang berbeda pada genotipe yang diuji (Tabel 4). Pada genotipe yang toleran naungan, hanya genotipe B 149F-MR-7 dan TB 165E-TB-6 memperlihatkan jumlah daun yang semakin berkurang dengan peningkatan intensitas naungan, sedangkan genotipe Jatiluhur, Danau Tempe dan B-850 E3- TB jumlah daunnya justru bertambah. Pada genotipe yang peka naungan (Way

48 30 Rarem dan Limboto) lain jumlah daunnya bertambah sampai intensitas naungan 25% dan berkurang lagi pada intensitas naungan 50. Pada genotipe toleran kering (Gajah Mungkur dan IRAT), peningkatan intensitas naungan menurunkan jumlah daun (IRAT) sedangkan Gajah Mungkur jumlah daunnya tetap. Tabel 4 Rata-rata jumlah daun genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) B 149F-MR ghi 23.8 kl(68) 24.8 kl(70) B-850 E3-TB 42.2 b-f 43.7 ab(104) 43.0 ab(102) Danau Tempe 42.3 b-e 44.9 a(106) 43.5 ab(103) C jk 26.8 jkl(97) 30.8 ij(111) Jatiluhur 35.5 ghi 36.9 fgh(104) 39.0 c-h(110) TB 165E-TB ij 25.8 kl(83) 22.9 k(73) Way Rarem 39.3 c-h 40.4 b-g(103) 39.1 c-h(99) Limboto 38.9 c-h 39.9 b-g(103) 34.5 hi(87) Gajah Mungkur 37.3 fgh 37.3 e-h(100) 37.4 d-h(100) IRAT 42.6 bcd 39.1 c-h(92) 39.7 b-g(93) Krowal 41.1b-f 42.5 b-e(103) 40.5 b-g(98) Grogol 41.3b-f 45.3 a(110) 41.9 b-f(101) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5%. Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Demikian pula pada genotipe toleran tanah masam (Krowal dan Grogol), memberikan respon yang berbeda pada jumlah daunnya. Jumlah daun merupakan salah satu peubah yang membedakan tanaman padi yang toleran dan peka terhadap naungan (Sulistyono et al., 1999). Jumlah daun yang lebih besar diduga dapat menangkap cahaya yang lebih besar. Jumlah Anakan Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan pada genotipe B-850 E3-TB, C22, Jatiluhur, Way Rarem dan Krowal tidak merubah jumlah anakan (Tabel 5). Sedangkan pada genotipe yang lain jumlah anakan semakin berkurang. Pada intensitas naungan 50%, genotipe B 149F-MR-7 dan TB 165E-TB-6 penurunan jumlah daun sebanyak 27 dan 37%. Genotipe toleran kekeringan (Gajah Mungkur dan IRAT) memiliki jumlah anakan yang semakin sedikit dengan meningkatnya intensitas naungan. Pada genotipe toleran tanah

49 masam, hanya Krowal yang mampu mempertahankan jumlah anakan. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas cahaya menghasilkan respon yang berbeda terhadap jumlah anakan. Sulistyono et al., (1999) menyatakan bahwa peningkatan intensitas naungan menyebabkan jumlah anakan tanaman padi akan semakin berkurang. Jumlah anakan yang semakin berkurang secara tidak langsung akan mengurangi potensi hasil yang akan diperoleh. Tabel 5 Rata-rata jumlah anakan genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) B 149F-MR d-i 4.9 k (64) 5.1 k (66) B-850 E3-TB 9.9 a-e 10.2 abc(103) 9.9 a-d(100) Danau Tempe 10.8 ab 10.3 abc(95) 10.1 abc(93) C k 4.8 k (98) 5.5 jk (112) Jati Luhur 8.4 c-g 8.2 c-h (98) 8.4 c-g (100) TB 165E-TB f-k 4.9 k (74) 4.8 k (73) Way Rarem 9.3 a-e 9.3 a-e (100) 9.3 a-e (100) Limboto 8.6 b-f 8.6 a-f (100) 7.6 e-j (88) Gajah Mungkur 6.3 g-k 5.9 h-k (94) 5.8 ijk (92) IRAT 10.2 abc 9.0 a-e (88) 8.8 abc (86) Krowal 10.3 abc 11.0 a (107) 10.3 abc (100) Grogol 8.8 a-f 8.7 a-f (99) 7.7 d-j (87) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5%. Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). 31 Jumlah Anakan Produktif Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan penuruan jumlah anakan produktif pada semua genotipe yang diuji. Semakin tinggi intensitas cekaman, jumlah anakan produktif semakin berkurang (Tabel 6). Genotipe B 149F-MR-7 dan TB 165E-TB-6 (toleran naungan) memperlihatkan penurunan jumlah anakan produktif yang banyak, sedangkan genotipe Jatiluhur, B 850 E3-TB, Way Rarem, Gajah Mungkur dan Krowal hanya sedikit mengalami penurunan jumlah anakan produktifnya. Dari data jumlah anakan dan jumlah anakan produktif terlihat bahwa genotipe Jatiluhur, B 850 E3- TB, Gajah Mungkur dan Krowal tetap mampu menghasilkan jumlah anakan yang

50 32 relatif sama dengan kondisi tanpa cekaman naungan. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe-genotipe tersebut mampu mempertahankan jumlah anakan produktifnya pada kondisi cekaman ganda. Sulistyono et al. (2002) menyatakan bahwa peningkatan intensitas naungan menyebabkan jumlah anakan padi gogo semakin berkurang. Sampai dengan jumlah anakan produktif terlihat beberapa genotipe yaitu : B 850 E3-TB, Danau Tempe, Jatiluhur, Way Rarem, Gajah Mungkur, IRAT dan Krowal memperlihatkan respon yang mengindikasikan toleran terhadap cekaman ganda. Tabel 6 Rata-rata jumlah anakan produktif genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase Naungan (%) B 149F-MR f-j 1.8 klm(50) 2.2 i-m(61) B-850 E3-TB 6.8 ab 6.6 abc(97) 5.7 a-d(84) Danau Tempe 6.9 ab 6.8 ab(99) 4.9 a-f(71) C i-m 2.0 j-m(83) 1.9 j-m(79) Jatiluhur 5.0 a-f 4.8 b-g(96) 4.1 d-h(82) TB 165E-TB h-m 1.4 l-m(50) 1.2 m(43) Way Rarem 5.6 a-e 4.8 b-g(86) 4.6 c-g(82) Limboto 6.0 a-d 5.7 a-d(95) 3.8 e-i(63) Gajah Mungkur 3.7 e-j 3.6 e-j(97) 3.2 g-l(86) IRAT 7.0 a 5.1 a-f(73) 5.1 a-f(73) Krowal 6.0 a-d 6.2 a-d(103) 5.7 a-d(95) Grogol 5.7 a-d 5.6 a-d(98) 3.7 e-i(65) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5%. Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Jumlah Gabah Isi Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan jumlah gabah isi/malai semakin berkurang pada semua genotipe yang diuji (Tabel 7). Pada kondisi cekaman ganda, genotipe B850 E3-TB, Danau Tempe, Limboto, IRAT dan Grogol memiliki jumlah bagah/malai yang banyak (lebih dari 200 butir). Penurunan jumlah gabah isi/malai ini terbesar terjadi pada genotipe Danau Tempe dan IRAT sedangkan penurunan terkecil ada pada genotipe Jatiluhur, Limboto, Way Rarem dan Gajah Mungkur. Sing (2005)

51 33 menyatakan bahwa pada intensitas cahaya rendah, gabah hampa semakin tinggi sehingga secara langsung mengurangi produksi padi. Pengaruh cekaman naungan sangat tergantung pada fase pertumbuhan padi. Jika cemakan naungan terjadi pada fase reproduktif akan berpengaruh terhadap kapasitas sink (jumlah gabah/malai). Bahkan jika cekaman naungan terjadi sampai memasuki fase pemasakan maka akan mengurangi hasil (Yoshida, 1981). Tabel 7 Rata-rata jumlah gabah isi/malai genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) Rata-rata B 149F-MR (76) (80) d B-850 E3-TB (83) (76) b Danau Tempe (91) (73) c C (96) 73.00(89) e Jatiluhur (101) (97) d TB 165E-TB (88) (87) d Way Rarem (97) (94) d Limboto (109) (97) b Gajah Mungkur (100) (92) c IRAT (79) (75) a Krowal (88) (81) c Grogol (81) (81) a Rata-rata a b b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom yang sama atau pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Bobot Gabah Total Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menurunkan bobot gabah total/tanaman pada semua genotipe yang diuji. Bobot gabah total berkurang secara nyata dengan semakin meningkatnya intensitas naungan (Tabel 8). Penurunan bobot gabah total mencapai 14.5 % pada naungan 25% dan 23.2 % pada naungan 50%. Penurunan bobot gabah total terkecil terjadi pada genotipe B850 E3-TB, Jatiluhur, Way Rarem, Gajah Mungkur, IRAT dan Krowal, sedangkan penurunnya terbesar terjadi pada C22, Limboto dan Danau Tempe. Penurunan

52 34 jumlah gabah disebabkan karena intensitas cahaya yang rendah akan menyebabkan kehampaan gabah mengalami peningkatan (Sing, 2005). Chaturvedi et al. (1994) menyatakan bahwa strilitas yang tinggi pada padi dalam kondisi cahaya rendah disebabkan gangguan metabolism N dan akumulasi N terlarut di panikel, yang menyebabkan gangguan dalam proses pengisian biji. Tabel 8 Rata-rata bobot gabah total genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) Rata-rata B 149F-MR (73) 12.45(71) cd B-850 E3-TB (93) 15.27(80) ab Danau Tempe (81) 7.47(61) 9.93 f C (63) 3.24(48) 4.71 h Jatiluhur (99) 17.70(93) a TB 165E-TB (81) 11.03(80) c Way Rarem (97) 7.11(88) 7.67 g Limboto (72) 11.20(56) bc Gajah Mungkur (97) 14.37(86) bc IRAT (84) 15.88(80) ab Krowal (91) 12.19(94) de Grogol (86) 10.58(73) de Rata-rata a b c Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom yang sama atau pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Persentase Gabah Isi Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan penurunan persentase gabah isi (Tabel 9). Persentase gabah isi yang dihasilkan dalam percobaan ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan kondisi pada umumnya. Hal ini diduga karena tingkat cekaman ganda (ph rendah Al tinggi, kekeringan dan naungan) yang dialami oleh genotipe padi yang diuji. Persentase gabah isi pada intensitas naungan 25% tidak berbeda nyata dengan intensitas naungan 50%. Persentase gabah isi yang rendah disebabkan oleh kerusakan pada kecambah tepung sari, sehingga tidak mampu memproduksi biji (Sing, 2005).

53 35 Genotipe Jatiluhur mampu mempertahankan persentase gabah isi dengan bertambahnya intensitas naungan. Respon ini masih perlu diteliti lebih lanjut karena berbeda dengan respon genotipe lainnya. Tabel 9 Rata-rata persentase gabah isi genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) Rata-rata B 149F-MR (96) 42.25(99) h B-850 E3-TB (95) 62.26(85) ab Danau Tempe (99) 56.99(96) cde C (91) 48.30(88) efg Jatiluhur (105) 59.82(115) def TB 165E-TB (93) 43.10(87) gh Way Rarem (80) 44.73(79) fgh Limboto (98) 62.30(95) abc Gajah Mungkur (88) 60.96(93) bcd IRAT (89) 71.34(95) a Krowal (78) 53.39(84) def Grogol (94) 67.85(92) a Rata-rata a b b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom yang sama atau pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Bobot Gabah Isi Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan bobot gabah isi semakin berkurang. Produksi gabah tertinggi dihasilkan oleh genotipe IRAT yaitu g rumpun -1 diikuti oleh B850 E3-TB dan Jatiluhur, sedangkan produksi terendah diperoleh dari genotipe C-22 yaitu 2.56 g (Tabel 10). Jika dilihat dari penurunannya, maka genotipe Jatiluhur, Gajah Mungkur, Krowal dan B-850 E3-TB paling sedikit mengalami penurunan. Penurunan bobot gabah ini sejalan dengan penurunan persentasi gabah isi dan penurunan bobot gabah total. Sampai dengan bobot gabah isi yang dihasilkan terlihat beberapa genotipe yaitu : B-850 E3-TB, Jatiluhur, Gajah Mungkur dan Krowal memperlihatkan penampilan yang baik.

54 36 Dari analisis terhadap peubah yang diamati tampak bahwa pada kondisi cekaman ganda, peningkatan cekaman intensitas cahaya rendah akan direspon oleh genotipe padi dengan cara berbeda dibandingkan dengan respon tanaman padi jika hanya mengalami cekaman intensitas cahaya rendah saja. Pada kondisi cekaman ganda, masih terdapat genotipe toleran naungan yang masih mampu mempertahankan pertumbuhan dan hasil. Atienzaa et al. (2004) menyatakan bahwa tanaman barley yang diberi cekaman abiotik secara bersamaan akan memberikan respon yang berbeda dengan jika tanaman tersebut hanya mengalami satu cekaman saja. Tabel 10 Rata-rata bobot gabah isi/tanaman genotipe yang diuji pada berbagai tingkat naungan Genotipe Persentase naungan (%) Rata-rata B 149F-MR (76) 6.07(83) 6.33 d B-850 E3-TB (87) 11.15(83) ab Danau Tempe (96) 4.25(58) 6.21 d C (58) 1.92(53) 2.56 e Jatiluhur (97) 10.59(99) bc TB 165E-TB (76) 4.72(70) 5.54 d Way Rarem (68) 3.22(61) 4.01 e Limboto (74) 7.33(59) 9.69 c Gajah Mungkur (89) 9.64(92) 9.84 c IRAT (75) 11.29(76) a Krowal (90) 6.23(87) 6.59 d Grogol (79) 8.53(73) 9.82 c Rata-rata 9.26 a 7.57 b 7.08 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom yang sama atau pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji DMRT pada taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Hasil analisis terhadap beberapa peubah pertumbuhan dan komponen hasil terlihat bahwa beberapa genotipe seperti Jatiluhur, B850 E3-TB, Gajah Mungkur, IRAT, Krowal, Way Rarem dan Limboto memiliki tampilan yang baik seperti penurunan jumlah anakan, jumlah anakan produktif dan bobot gabah total yang lebih sedikit. Jika dilihat dari penurunan bobot gabah isi maka genotipe Jatiluhur, Gajah Mungkur, Krowal, B-850 E3-TB dan IRAT termasuk yang terbaik. Hasil perhitungan indeks sensitivitas terhadap bobot gabah isi (Tabel 11)

55 menunjukkan bahwa genotipe Jatiluhur dan Gajah Mungkur termasuk kategori toleran terhadap cekaman ganda dengan nilai indeks sensitivitas kurang atau sama dengan 0.5, sedangkan Krowal dan B850 E3-TB termasuk kategori moderat toleran terhadap cekaman ganda dengan nilai indeks sensitivitas kurang dari 1 (satu). Tabel 11 Nilai indeks sensitvitas genotipe yang diuji pada beberapa peubah yang diteliti. No Genotipe Bobot gabah isi/tanaman B 149F-MR B-850 E3-TB Danau Tempe C Jatiluhur TB 165E-TB Way Rarem Limboto Gajah Mungkur IRAT Krowal Grogol Keterangan : Toleran IS 0.5; 0.5 IS 1.0 Moderat Toleran; IS 1.0 Peka Untuk Genotipe Danau Tempe terlihat masih termasuk toleran pada intensitas naungan 25 %. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Danau Tempe masih dapat digunakan pada kondisi cekaman ganda tetapi pada intensitas naungan yang rendah (25%). Kondisi seperti ini mungkin dapat terjadi pada sistem pertanaman tumpangsari dimana tingkat naungan dengan tanaman pangan yang lain tidak terlalu besar. 37 SIMPULAN Pada kondisi cekaman ph rendah Al tinggi, kekeringan dan naungan, genotipe padi gogo yang diuji memberikan respon pertumbuhan yang berbeda. Genotipe B 149F-MR-7, C 22 dan TB 165E-TB-6 memperlihatkan sifat peka terhadap cekaman ganda seperti terlihat dari penurunan yang besar pada jumlah anakan, anakan produktif dan bobot gabah isi yang rendah. Sedangkan Way

56 38 Rarem juga memperlihatkan sifat peka dari persentase gabah isi yang rendah serta produksi yang rendah. Genotipe IRAT dan Limboto memiliki karakter yang cukup baik pada pada kondisi cekaman ganda seperti terlihat dari jumlah anakan produktif, jumlah gabah dan persentase gabah isi. Genotipe Jatiluhur dan Gajah Mungkur memiliki sifat toleran terhadap cekaman ganda (ph rendah Al sedang, kekeringan dan naungan) sedangkan genotipe B-850 E3-TB dan Krowal memiliki sifat moderat toleran.

57 39 STUDI MEKANISME TOLERANSI GENOTIPE PADI GOGO TERHADAP CEKAMAN GANDA PADA LAHAN KERING DI BAWAH NAUNGAN ABSTRAK Pemanfaatan lahan kering di bawah naungan untuk pertanaman padi akan menghadapi beberapa kendala, seperti tingkat kesuburan yang rendah, kekeringan, kemasan tanah, intensitas cahaya rendah dan mudah terjadi erosi. Genotipe yang memiliki sifat toleran terhadap cekaman seperti itu belum ada karena belum tersedianya materi genetik yang sesuai. Sebagai tahap awal, perlu informasi tentang mekanisme adaptasi genotipe yang dianggap toleran cekaman tersebut. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari mekanisme adaptasi genotipe padi gogo terhadap cekaman kondisi lahan kering di bawah naungan. Penelitian ini dilakukan dalam rumah plastik, menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan tiga ulangan. Petak Utama adalah intensitas naungan yang terdiri atas 3 taraf, 0% (kontrol), 25% dan 50%, sedangkan anak petak terdiri atas 6 genotipe padi gogo yaitu : B850 E3-TB, Jatiluhur (toleran naungan), Gajah Mungkur (toleran kekeringan), Krowal (toleran tanah masam), CT 6510 dan Situ Gintung (toleran blast). Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe yang toleran cekaman ganda memberikan respon yang berbeda-beda terhadap cekaman yang diberikan. Genotipe Jatiluhur memperlihatkan toleransi yang baik terhadap cekaman ganda. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang baik, akar yang panjang dan bobot yang tinggi serta rasio klorofil a/b yang lebih kecil. Kata Kunci : mekanisme adaptasi, genotipe padi gogo, cekaman ganda TOLERANCE MECHANISM STUDY OF UPLAND RICE GENOTIPES TO MULTIPLE STRESS ON SHADED UPLAND ABSTRACT Utilization of upland with low light intensity for upland rice growing will have some constrains such as low fertility, drought, low ph, low light intensity and high erodibility. Appropriate genotypes for such condition is not available due to lack of genetic material. As preliminary step, information concerning genotypes tolerant to such condition is urgently required. This study was conducted to obtain information on the adaptability of upland rice genotypes grown in multiple stress. The experiment was conducted in a vinyl house, using split plot design with three replications. As main plot was shading intensity: 0% (control), 25% and 50%, and as sub plot were 6 genotypes of upland rice, namely : B850 E3-TB, Jatiluhur (shading tolerant), Gajah Mungkur (drought tolerant), Krowal (low ph tolerant), CT 6510 and Situ Gintung (blast resistant). The results showed that tolerant genotypes responsed variedly to multiple stress. Jatiluhur reveal tolerance to multiple stress as indicated by better growth, higher yield and yield component, greater root length and root weight and lower klorofil a/b ratio. Keyword : adaptation mechanism, upland rice genotipes, multiple stress

58 40 PENDAHULUAN Latar Belakang Seperti negara-negara lain di seluruh dunia, Indonesia juga menghadapai masalah peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu diikuti oleh peningkatan permintaan terhadap bahan pangan. Menurut hasil sementara Proyeksi Penduduk Indonesia , maka penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai juta jiwa, berarti jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk sebanyak 36.1 juta jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1.3 persen, atau 2.7 juta jiwa per tahun diperlukan tambahan penyediaan bahan pangan yang tidak sedikit setiap tahunnya. Di lain pihak, terjadi alih fungsi lahan (konversi) pertanian terutama lahan sawah ke lahan non pertanian cukup tinggi serta adanya kecenderungan pelandaian (leveling off) produktivitas padi. Hal ini tentu akan menurunkan produksi pangan secara nasional dan mengancam ketahanan pangan. Untuk menjawab tantangan tersebut dapat dilakukan beberapa upaya : (1) peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usahatani terobosan, (2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (3) peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah. Khusus untuk peningkatan produksi melalui perluasan areal sangat mungkin dilakukan karena masih cukup luasnya lahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor biofisik, terdapat lahan kering berpotensi sedang sampai tinggi seluas 5.09 juta ha dan berpotensi rendah seluas 7.81 juta ha. Untuk jangka pendek pengelolaan lahan kering ini perlu upayaupaya yang terkoordinasi untuk membangun pertanian lahan kering yang produktif dengan memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya lahan secara terpadu (Idjudin dan Marwanto, 2008).

59 41 Salah satu usaha untuk pemanfaatan lahan kering ini adalah penggunaan varietas unggul tahan kekeringan (Surmaini et al., 2011). Penelitian-penelitian yang bertujuan untuk mempelajari aspek morfologi dan fisiologi mekanisme toleransi terhadap cekaman cahaya rendah telah dilakukan oleh Chozin et al., (2000) dengan melakukan evaluasi lapangan terhadap 200 galur padi gogo, evaluasi dengan menggunakan naungan buatan (paranet) dan konfirmasi ketahanan galur-galur terpilih. Dari 200 galur yang diuji, diperoleh 25 galur toleran, 6 galur toleran sedang dan 2 peka. Karakter agronomi penting yang berhubungan dengan ketahanan terhadap cekaman cahaya rendah antara lain jumlah anakan, jumlah daun dan tinggi tanaman. Pada padi gogo yang toleran cahaya rendah memiliki jumlah daun, jumlah anakan dan bobot kering daun yang lebih besar dan kandungan klorofil a berkurang sedikit. Beberapa varietas padi gogo yang toleran terhadap kekeringan sudah dilepas oleh Kementrian Pertanian seperti : Dodokan dan Silugonggo, dan galur harapan S3382 dan BP23. Karakter penting yang berhubungan dengan ketahanan terhadap kekeringan adalah kondisi akar, dimana pada genotipe/varietas yang toleran kekeringan memiliki akar yang lebih panjang dan bobot yang lebih besar, daun yang lebih tebal dan jumlah stomata yang lebih sedikit. Seperti diketahui cekaman yang terjadi di lapangan berlangsung secara bersamaan dan simultan sehingga respon yang diberikan oleh genotipe juga akan berbeda. Oleh karena itu diperlukan varietas spesifik lokasi yang memiliki sifat toleransi ganda. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakter dan mekanisme toleransi ganda genotipe terpilih terhadap cekaman ganda di lahan kering di bawah naungan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Agronomi dan Hortikultur Kebun Percobaan Cikabayan pada Oktober 2004 sampai dengan Februari 2005.

60 42 Metode Bahan tanam yang digunakan adalah benih 4 genotipe padi gogo hasil Percobaan sebelumnya yaitu : B850 E3-TB, Jatiluhur (toleran naungan), Gajah Mungkur (toleran kekeringan), Krowal (toleran tanah masam) dan CT 6510 dan Situ Gintung (tahan blast). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Petak utama adalah tingkat naungan yang terdiri atas 3 taraf yaitu : 0%, 25% dan 50%, sedangkan anak petaknya adalah 6 genotipe padi gogo terpilih. Benih ditanam di dalam polibag yang berisi tanah dengan ph rendah dan Al tinggi dan diberi cekaman kekeringan dengan kadar air tanah 30-40% kapasitas lapang. Cekaman kekeringan mulai diberikan pada minggu ke tiga setelah tanam. Pada percobaan ini digunakan media tanah jenis tanah Ultisol dari lahan kering di Jasinga Kabupaten Bogor dengan kisaran ph 4.5 dan Kejenuhan Al 40%. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 3 buah polibag yang masing-masing polibag terdapat 2 rumpun padi gogo. Model statistik yang digunakan dalam percobaan ini adalah Yijk = µ + Ri + Nj + RNij + Gk + NGjk + έijk Dimana : Yijk : nilai pengamatan ulangan ke i naungan ke j, genotipe ke k µ : nilai rata-rata umum Ri : nilai pengaruh ulangan ke i Nj : nilai pengaruh naungan ke j RNij : nilai galatpengaruh petak utama Gk : nilai pengaruh genotipe ke k NGjk : nilai pengaruh interaksi naungan ke j dan genotipe ke k έijk : nilai galat pengaruh anak petak Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis Uji F dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5%. Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan tanaman yang meliputi : (a) Tinggi tanaman saat panen, (b) jumlah daun pada saat panen, (c) jumlah anakan dan anakan produktif, (d) panjang akar, (e) berat kering tajuk dan akar, (d) rasio tajuk/akar. Untuk peubah hasil dan komponen hasil meliputi : (a) panjang malai, (b) jumlah gabah/malai, (c) jumlah gabah/tanaman, (d) bobot 1000 butir, (e)

61 persentase gabah hampa, (f) jumlah gabah isi dan hasil. Selain itu diamati juga tingkat kehijauan dan kandungan klorofil a, klorofil b dan rasio klorofil a/b. 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji F menunjukkan bahwa perlakuan naungan memberikan pengaruh yang nyata pada tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan dan anakan produktif, berat kering tajuk, jumlah gabah/malai, jumlah gabah/tanaman, jumlah gabah isi/tanaman serta persentase gabah isi. Genotipe memberikan pengaruh yang nyata pada semua peubah yang diamati Interaksi antara naungan dan genotipe hanya berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk, jumlah gabah/malai, jumlah gabah/tanaman dan jumlah gabah isi/tanaman (Tabel 12). Tabel 12 Rekapitulasi analisis ragam pengaruh naungan, genotipe dan interaksinya terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil Peubah Naungan Genotipe Interaksi KT F-hit KT F-hit KT F-hit Tinggi tanaman * ** * Jumlah daun ** ** * Jumlah anakan * ** Jumlah anakan ** ** produktif Panjang akar ** Bobot kering akar ** Bobot kering tajuk ** ** * Rasio tajuk/akar ** Bobot akar spesifik ** Panjang malai ** Jumlah gabah malai ** ** * Jumlah gabah ** ** * tanaman -1 Jumlah gabah Isi ** ** * tanaman -1 Persentase gabah Isi * * Bobot 1000 butir ** Hasil ** ** Keterangan : KT= Kuadrat Tengah; * = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada taraf 1%;

62 44 Tinggi tanaman. Pada kondisi cekaman ganda, tinggi tanaman genotipe B850 E3-TB dan Krowal bertambah dengan semakin tingginya intensitas naungan, sedangkan pada genotipe lain penambahan tinggi hanya terjadi sampai cekaman naungan 25% (Tabel 13). Pada umumnya peningkatan intensitas naungan akan direspon tanaman dengan pertambahan tinggi (Susanto dan Sundari, 2011). Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat karena tanaman tidak mampu berfotosintesis dengan baik. Seperti diketahui bahwa untuk dapat menjalankan proses fotosintesis dengan baik diperlukan intensitas cahaya tertentu. Penambahan tinggi tanaman tersebut merupakan respon tanaman untuk mendapatkan cahaya yang lebih banyak dengan cara memperpanjang ukuran sel (Taiz dan Zeiger, 2002). Tabel 13 Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap tinggi tanaman No Genotipe Persentase Naungan (%) B850 E3-TB c-f bcd (107) b (118) 2 Jatiluhur bc b (103) bc (89) 3 Gajah Mungkur a-d a (117) b-e(107) 4 Krowal bc bc (102) b (104) 5 CT ef b-e (116) f (97) 6 Situ Gintung f b-f (116) ef(107) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Jumlah daun Pada semua genotipe yang diuji, peningkatan intensitas naungan menurunkan jumlah daun (Tabel 14). Penurunan jumlah daun yang terkecil terjadi pada genotipe Jatiluhur dan Gajah Mungkur sedangkan terbesar terjadi pada Situ Gintung. Pada percobaan ini terlihat bahwa pada intensitas naungan 50% terjadi penurunan yang signifikan pada jumlah daun. Defisit cahaya pada tanaman padi gogo,yang tergolong tanaman perlu cahaya, menyebabkan terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada tereduksinya laju fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty et

63 al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo et al., 1994). Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman padi pada intensitas cahaya rendah menjadi berkurang. Tabel 14 Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah daun No Genotipe Persentase Naungan (%) B850 E3-TB cd ef(86) g(67) 2 Jatiluhur cd ef(84) fg(79) 3 Gajah Mungkur h h(89) h(75) 4 Krowal cd de(89) g(68) 5 CT b ef(71) fg(63) 6 Situ Gintung a bc(83) fg(57) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). 45 Jumlah Anakan Pada kondisi cekaman ganda, jumlah anakan dan jumlah anakan produktif semakin berkurang dengan meningkatnya intensitas naungan sampai 25% (Tabel 15). Pada intensitas naungan yang lebih tinggi (50%), jumlah anakan dan jumlah anakan produktif yang dihasilkan tidak berbeda dengan intensitas naungan 25%. Jumlah anakan dan anakan produktif terbanyak diperoleh dari Situ Gintung, sedangkan antar genotipe yang lain tidak berbeda nyata. Genotipe B-850 E3-TB dan Jatiluhur paling sedikit mengalami penurunan jumlah anakan, sedangkan Krowal mengalami penurunan jumlah anakan yang paling banyak. Penurunan jumlah anakan produktif paling sedikit diperoleh pada genotipe Jatiluhur dan Situ Gintung, sedangkan paling banyak terjadi pada Krowal. Tampaknya genotipe Krowal lebih peka terhadap cekaman ganda yang diberikan.

64 46 Tabel 15 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap jumlah anakan dan anakan produktif No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata jumlah anakan 1 B850 E3-TB (86) 6.13(85) 6.53 b 2 Jatiluhur (81) 5.27(76) 5.95 b 3 Gajah Mungkur (74) 3.80(66) 4.62 b 4 Krowal (68) 3.83(60) 4.83 b 5 CT (76) 4.87(72) 5.59 b 6 Situ Gintung (82) 8.50(72) 9.98 a Rata-rata 7.47 a 5.88 b 5.40 b jumlah anakan produktif 1 B850 E3-TB (77) 2.50(61) 3.26 b 2 Jatiluhur (89) 3.27(81) 3.63 b 3 Gajah Mungkur (71) 1.87(66) 2.23 c 4 Krowal (64) 2.22(54) 2.98 b 5 CT (77) 2.83(65) 3.44 b 6 Situ Gintung (67) 3.87(80) 4.93 a Rata-rata 4.32 a 3.16 b 2.76 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Akar Pada kondisi cekaman ganda, panjang akar semakin berkurang dengan bertambahnya intensitas naungan, kecuali Jatiluhur (Tabel 16). Genotipe Jatiluhur menunjukkan akar yang terpanjang dengan kecenderungan bertambah panjang dengan peningkatan intensitas cekaman naungan yang diberikan. Hal yang sama juga terlihat pada bobot kering akar. Pada genotipe lain, peningkatan intensitas naungan menyebabkan panjang akar dan bobot kering akar berkurang. Jatiluhur termasuk padi gogo yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan, naungan dan dapat ditanam sebagai padi sawah. Kondisi ini didukung oleh kemampuan sistem perakaran genotipe Jatiluhur yang dapat berkembang baik (Santosa, 2002). Genotipe padi yang toleran kekeringan akan mampu mengambil air secara maksimal dengan perluasan dan kedalaman sistem perakaran, sehingga akarnya semakin panjang (Tardiue, 1997).

65 47 Tabel 16 Pengaruh genotipe terhadap panjang akar dan bobot kering akar No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata panjang akar 1 B850 E3-TB (95) 17.66(96) b 2 Jatiluhur (101) 20.49(105) a 3 Gajah Mungkur (90) 11.05(88) c 4 Krowal (91) 14.77(73) b 5 CT (84) 18.23(81) a 6 Situ Gintung (94) 18.62(95) a Rata-rata bobot kering akar (g) 1 B850 E3-TB (89) 4.53(84) 4.89 b 2 Jatiluhur (100) 5.71(102) 5.61 a 3 Gajah Mungkur (66.6) 3.00(54) 4.05 c 4 Krowal (98) 4.13(88) 4.45 bc 5 CT (81) 4.05(72) 4.72 b 6 Situ Gintung (90) 3.70(84) 4.03 c Rata-rata Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Berat Kering Tajuk Pada kondisi cekaman ganda, berat kering tajuk pada semua genotipe padi yang diuji berkurang dengan meningkatnya intensitas naungan (Tabel 17). Genotipe Jatiluhur, Krowal dan CT 6510 menunjukkan penurunan bobot kering tajuk yang paling sedikit, sedangkan Gajah Mungkur dan Situ Gintung mengalami penurunan bobot kering tajuk yang terbesar. Respon yang berbeda ini mengindikasikan genotipe Jatiluhur, Krowal dan CT 6510 lebih mampu membentuk biomassa pada kondisi intensitas cahaya yang rendah. Pembentukan biomassa yang lebih baik pada kondisi cekaman ganda diduga didukung oleh aktivitas rubisco yang masih mampu beraktivitas karena penurunan intensitas cahaya menyebabkan aktivitas rubisco menurun, sehingga pengikatan CO 2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA juga akan berkurang (Portis, 1992).

66 48 Tabel 17 Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap bobot kering tajuk No Genotipe Persentase Naungan (%) B850 E3-TB b f(75) fg(74) 2 Jatiluhur a c(88) e (76) 3 Gajah Mungkur a de(82) h(65) 4 Krowal bc de(89) f(79) 5 CT bc c(96) de(89) 6 Situ Gintung d gh(79) 8.87 i(67) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Rasio Tajuk Akar Rasio tajuk akar menggambarkan alokasi hasil fotosintesis pada tanaman. Pada kondisi cekaman ganda, terlihat bahwa dengan meningkatnya cekaman naungan, genotipe Gajah Mungkur dan CT 6510 rasio tajuk/akarnya meningkat, sedangkan genotipe yang lain rasio tajuk/akarnya menurun. Ini berarti Gajah Mungkur dan CT 6510 lebih banyak mengalokasikan hasil fotosintesis ke tajuk, sedangkan genotipe yang lain lebih banyak mengalokasikan hasil fotosintesisnya ke akar. Perbedaan pola alokasi fotosintat antar genotipe ini merupakan suatu yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Tabel 18 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap rasio tajuk/akar No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata 1 B850 E3-TB (85) 2.40(86) 2.51 c 2 Jatiluhur (87) 2.13(74) 2.51 c 3 Gajah Mungkur (118) 3.46(115) 3.33 a 4 Krowal (91) 2.76(89) 2.90 b 5 CT (117) 3.18(122) 2.95 b 6 Situ Gintung (90) 2.53(85) 2.73 bc Rata-rata Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan).

67 49 Bobot Akar Spesifik Bobot akar spesifik antar genotipe tidak berbeda nyata dengan peningkatan cekaman naungan (Tabel 19). Bobot akar spesifik Gajah Mungkur yang besar menggambarkan luas permukaan akar yang lebih besar tetapi juga paling terpengaruh oleh peningkatan intensitas naungan karena mengalami penurunan yang paling besar. Genotipe yang lain tidak banyak terpengaruh dengan peningkatan intensitas naungan, bahkan genotipe Krowal mengalami peningkatan bobot akar spesifik. Tabel 19 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap bobot akar spesifik No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata 1 B850 E3-TB (94) 2.68(93) 2.76 b 2 Jatiluhur (99) 2.79(97) 2.82 b 3 Gajah Mungkur (71) 2.78(60) 3.55 a 4 Krowal (110) 2.80(120) 2.56 b 5 CT (97) 2.22(98) 2.37 b 6 Situ Gintung (96) 1.99(88) 2.14 b Rata-rata Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Panjang Malai Pada kondisi cekaman ganda, panjang malai berkurang sedikit dengan meningkatnya intensitas naungan. Penurunan panjang malai terbesar terjadi pada Krowal sedangkan yang paling sedikit mengalami penurunan adalah Jatiluhur dan Situ Gintung. Gajah Mungkur bahkan tidak mengalami penurunan panjang malai (Tabel 20). Tampaknya karakter panjang malai tidak dipengaruhi oleh kondisi cekaman ganda. Hal ini terlihat dari penurunan panjang malai yang relatif sedikit pada semua genotipe yang diuji.

68 50 Tabel 20 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap panjang malai No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata 1 B850 E3-TB (95) 21.73(90) a 2 Jatiluhur (98) 22.80(98) a 3 Gajah Mungkur (99) 18.91(100) c 4 Krowal (93) 20.33(88) ab 5 CT (96) 20.62(95) b 6 Situ Gintung (99) 19.82(97) bc Rata-rata Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Jumlah Gabah Pada kondisi cekaman ganda, meningkatnya intensitas naungan menyebabkan jumlah gabah malai -1 berkurang (Tabel 21). Penurunan jumlah gabah/malai terbesar terjadi pada genotipe CT 6510, Krowal dan Situ Gintung, sedangkan genotipe B850 E3-TB, Jatiluhur dan Gajah Mungkur lebih sedikit mengalami penurunan. Genotipe B850 E3-TB, Jatiluhur dan Gajah Mungkur memiliki tampilan yang hampir sama yaitu memiliki jumlah anakan lebih sedikit dengan malai yang lebih pendek. Penurunan jumlah gabah/malai paling rendah yang dialami oleh genotype-genotipe ini kemungkinan berhubungan dengan karakter tersebut. Tabel 21 Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah gabah/malai No Genotipe Persentase Naungan (%) B850 E3-TB b b(99) bcd(97) 2 Jatiluhur ab b(98) de(89) 3 Gajah Mungkur fg h(84) h(86) 4 Krowal fg fg(76) i(76) 5 CT a bc(91) g(74) 6 Situ Gintung cd ef(93) h(76) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata Menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan).

69 Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan intensitas naungan menyebabkan jumlah gabah/tanaman berkurang. Naungan 25% menyebabkan jumlah gabah/tanaman berkurang 26 sampai 40% dan naungan yang lebih tinggi menyebabkan penurunan mencapai 28 sampai 55%. Genotipe yang mengalami penurunan jumlah gabah/tanaman terbesar adalah Situ Gintung dan yang paling sedikit adalah mengalami penurunan adalah Jatiluhur (Tabel 22). Pola yang hampir sama terjadi juga pada jumlah gabah isi/tanaman. Tabel 22 Pengaruh interaksi genotipe dan naungan terhadap jumlah gabah/ tanaman dan jumlah gabah isi/tanaman No Genotipe Persentase Naungan (%) jumlah gabah/tanaman 1 B850 E3-TB c g(74) i(59) 2 Jatiluhur c e(87) g(72) 3 Gajah Mungkur ij l(60) l(56) 4 Krowal f k(62) l(51) 5 CT b g(68) jk(49) 6 Situ Gintung a d(63) h(45) Jumlah gabah isi/tanaman 1 B850 E3-TB c fg(73) ij(55) 2 Jatiluhur d ef(87) h(71) 3 Gajah Mungkur j l(59) l(56) 4 Krowal e k(60) l(38) 5 CT b g(64) jk(45) 6 Situ Gintung a d(61) i(42) Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). 51 Persentase Gabah Isi dan Bobot 1000 butir Pada kondisi cekaman ganda, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir semakin berkurang dengan meningkatnya intensitas naungan (Tabel 23). Persentase gabah isi terjadi penurunan rata-rata 4.1 %. Genotipe Jatiluhur memiliki persentase gabah isi paling kecil yaitu 72% tetapi paling sedikit terpengaruh akibat peningkatan intensitas naungan. Sedangkan genotipe yang paling besar mengalami penurunan persentase gabah isi adalah Krowal.

70 52 Genotipe Jatilihur memiliki bobot 1000 butir yang terbesar dan paling sedikit mengalami penurunan akibat peningkatan intensitas naungan, sedangkan genotype yang mengalami penurunan bobot 1000 paling besar adalah CT Tabel 23 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap persentase gabah isi dan bobot 1000 butir No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata Persentase gabah isi 1 B850 E3-TB (96) 75.70(93) a 2 Jatiluhur (100) 72.33(99) b 3 Gajah Mungkur (100) 75.56(99) ab 4 Krowal (95) 72.59(91) ab 5 CT (94) 76.20(93) a 6 Situ Gintung (97) 73.58(93) ab Rata-rata a ab b bobot 1000 butir (g) 1 B850 E3-TB (90) 22.17(86) ab 2 Jatiluhur (96) 30.96(96) a 3 Gajah Mungkur (92) 27.93(92) a 4 Krowal (97) 18.03(95) c 5 CT (86) 17.61(80) bc 6 Situ Gintung (98) 18.75(92) bc Rata-rata a ab b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Hasil Pada kondisi cekaman ganda, peningkatan cekaman naungan menyebabkan penurunan hasil pada semua genotipe. Pada intensitas naungan 25%, terjadi penurunan hasil berkisar antara 15 sampai 46%, sedangkan pada intensitas 50% penurunan hasil bervariasi dari 31% pada Jatiluhur sampai 64% pada CT Hal ini menunjukkan bahwa cekaman ganda sangat menekan pertumbuhan dan hasil tanaman (Tabel 24). Hasil tertinggi diperoleh Jatiluhur dengan rata-rata sebesar 9.15 g gabah/tanaman sedangkan hasil yang terendah diperoleh dari Krowal yaitu 3.71 g gabah/tanaman.

71 53 Tabel 24 Pengaruh genotipe dan naungan terhadap hasil No Genotipe Persentase Naungan (%) Rata-rata 1 B850 E3-TB (66) 4.58(48) 6.85 b 2 Jatiluhur (85) 7.47(69) 9.15 a 3 Gajah Mungkur (55) 3.16(51) 4.23 c 4 Krowal (57) 2.08(36) 3.71 c 5 CT (54) 3.34(36) 5.94 bc 6 Situ Gintung (59) 4.19(39) 7.12 b Rata-rata 8.75 a 5.62 b 4.13 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5% Angka di dalam kurung adalah persentase terhadap naungan 0% (dibulatkan). Kandungan Klorofil Kandungan klorofil a pada genotipe-genotipe yang diuji semakin menurun dengan bertambahnya intensitas naungan kecuali pada genotipe Krowal, sedangkan kandungan klorofil b semakin meningkat dengan bertambahnya intensitas naungan (Tabel 25). Rasio klorofil a/b sebagai respon genotipe terhadap peningkatan intensitas naungan berbeda-beda. Pada umumnya tanaman yang toleran terhadap naungan akan memiliki rasio klorofil a/b lebih kecil sebagai akibat peningkatan kandungan klorofil b. Peningkatan klorofil b merupakan adaptasi terhadap naungan untuk meningkatkan kapasitas fotosintesis pada saat tercekam naungan (Stiers et al, 2002). Genotipe toleran padi gogo memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al., 1994; Sulistyono et al., 1999). Hidema et al. (1992) melaporkan penurunan rasio klorofil a/b karena meningkatnya klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil a dan b menyebabkan kemampuan dalam menangkap energi radiasi cahaya lebih efisien sehingga fotosintesis dapat berlangsung lebih tinggi. Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil b yang pada kondisi ternaungi berkaitan

72 54 dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al., 1992). Tabel 25 Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil a, b dan a/b Genotipe Naungan Klorofil a B850-E3-TB Jailuhur Gajah Mungkur Krowal CT Situ Gintung Klorofil b B850-E3-TB Jailuhur Gajah Mungkur Krowal CT Situ Gintung Klorofil a/b B850-E3-TB Jailuhur Gajah Mungkur Krowal CT Situ Gintung Klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Peningkatan kadar klorofil a dan b merupakan bukti kemampuan tanaman untuk tumbuh di bawah kondisi cahaya rendah dan menurut Sahardi (2000) bukti ini merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi terhadap naungan.

73 Berdasarkan analisis komponen utama, 72 % keragaman data dapat dijelaskan oleh tiga komponen utama (Tabel 26) yaitu : karakter pembeda pada komponen utama 1: berat kering akar dengan nilai komponen utama sebesar dan jumlah gabah/malai dengan nilai komponen utama Karakter pembeda pada komponen utama 2 : jumlah anakan dengan nilai komponen utama sebesar Karakter pembeda pada komponen utama 3: persentase gabah isi dengan nilai sebesar Tabel 26 Nilai proporsi dan eigenvalue komponen utama Komponen Utama Proporsi Eigenvalue Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perakaran dan komponen produksi sangat berperan dalam sifat toleransi ganda ini. Seperti diketahui, pada kondisi cekaman ph rendah dan Al tinggi serta kekeringan, bagian tanaman yang paling berperan adalah akar. Pada kondisi ph rendah dan Al tinggi, akar genotipe yang toleran akan mampu mengimobilisasi Al pada dinding sel, menginduksi peningkatan ph di rizosfir serta mengsekresi senyawa organik pengkelat Al (Taylor, 1991). Pada kondisi kekeringan, akar genotipe yang toleran harus tetap mampu mengambil air secara maksimal dengan perluasan dan system perakaran yang lebih dalam (Tardieu, 1997). Hasil analisis korelasi antar peubah pertumbuhan, komponen hasil dan hasil diperoleh bahwa semua karakter berkorelasi positif dengan hasil tetapi tinggi tanaman berkorelasi negatif terhadap hasil (Tabel 27). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi cekaman ganda, tanaman yang tinggi tidak menguntungkan karena akan mempunyai hasil yang rendah. Hasil analisis korelasi juga menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi negatif terhadap jumlah anakan dan berkorelasi positif terhadap bobot kering tajuk. Diduga, tanaman yang tinggi lebih banyak mengalokasikan hasil fotosintesis untuk pembentukan tajuk dan lebih sedikit untuk pembentukan anakan yang merupakan salah satu komponen hasil pada padi.

74 56 Tabel 27 Koefisien korelasi antar peubah X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X tn -0.37** tn tn tn 0.39** 0.20 tn 0.07 tn tn 0.05 tn tn tn tn X ** 0.82** 0.48** 0.56** tn tn 0.73** 0.23 tn 0.83** tn 0.82** 0.70** X ** * tn tn tn 0.42** 0.12 tn 0.81** tn 0.79** 0.71** X ** tn tn 0.52** 0.27 tn 0.87** tn 0.87** 0.81** X ** tn 0.31* 0.39** tn 0.57** 0.04 tn 0.33 tn 0.11 tn 0.32* 0.37* X tn 0.29* 0.48** -0.32* 0.64** 0.12 tn 0.64** 0.16 tn 0.63** 0.68** X tn 0.10 tn tn tn -0.28* 0.19 tn -0.39** 0.74 ** X ** 0.20 tn 0.23 tn 0.18 tn 0.32* 0.38** 0.32* 0.50** X ** 0.37** 0.14 tn 0.37** 0.24 tn 0.37** 0.49** X * tn tn 0.16 tn tn tn X tn 0.60** tn 0.59** 0.55** X * tn 0.39** 0.26 tn X tn 0.87** 0.85** X tn 0.39** X ** X16 1 Keterangan : X1: Tinggi tanaman; X2 : Jumlah daun; X3 :Jumlah anakan; X4 : Jumlah anakan produktif; X5 :Panjang malai; X6 : Jumlah gabah/malai; X7 :% Gabah isi; X8 : Bobot kering tajuk; X9: Bobot kering akar; X10 : Rasio tajuk/akar; X11 : Panjang akar; X 12 : % Gabah isi; X13 : Jumlah gabah/tanaman; X14 : Bobot 1000 butir; X15 : Jumlah gabah isi dan X16 : Hasil

75 SIMPULAN Peningkatan intensitas cekaman ganda (ph rendah Al tinggi, kekeringan dan naungan) menekan pertumbuhan tanaman (jumlah daun dan jumlah anakan) dan komponen hasil (jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah malai -1, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir ). Genotipe Jatiluhur memperlihatkan toleransi yang baik terhadap cekaman ganda yang ditunjukkan oleh pertumbuhan, komponen hasil dan hasil yang baik, akar yang panjang dan bobot akar yang tinggi serta rasio klorofil a/b yang kecil.

76 EFISIENSI PENGGUNAAN AIR BEBERAPA GENOTIPE PADI GOGO 58 ABSTRAK Ketersediaan air pada lahan kering sangat terbatas dengan periode ketersediaan yang sangat singkat serta tidak menentu. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan air pada padi gogo merupakan karakter yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan padi pada kondisi di lahan kering. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efisiensi penggunaan air antar genotipe padi. Penelitian dilakukan di dalam rumah plastik dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok satu faktor dengan tiga ulangan. Genotipe yang diuji terdiri atas : Jatiluhur, Silugonggo, IPB97-F-15, IR 64 dan Way Apo Buru. Bibit padi berumur 14 hari ditanam dalam wadah plastik yang berisi tanah yang dilumpurkan, 1 tanaman per lubang dan setiap wadah berisi 6 tanaman. Selama pertumbuhan tanaman, permukaan air dipertahankan 2 cm di atas permukaan tanah. Air ditambah dan dicatat setiap 2 sampai 3 hari sekali. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil. Konsumsi air antar genotipe berbeda sangat nyata, berkisar dari liter tanaman -1 untuk IR 64 sampai liter tanaman -1 untuk Jatiluhur, atau setara dengan 3,639 sampai 4,827 m 3 ha -1. Genotipe Jatiluhur paling efisien dalam penggunaan air yaitu mampu menghasilkan g gabah/liter air, sedangkan genotipe yang paling tidak efisien adalah Way Apo Buru yaitu g gabah/liter air. Kata kunci : padi, pengelolaan air, efisiensi penggunaan air ABSTRACT Water availability in upland was very limited with sort and uncertainty availability duration. Therefore. upland rice water use efficiency was appropriate character for plant growth in the upland. This study was conducted to determine water use efficiency among rice genotipes. The experiment was conducted in a vinyl house, using Randomized Complete Block Design, one factor with three replications. The genotipes were consist of Jatiluhur, Silugonggo, IR64, IPB97-F- 15, and Way Apo Buru. Rice seedlings at 14 days old were transplanted in a plastic container containing puddle soil, 1 plant per hill and 6 plants per container. During rice growing, water table was maintained at 2 cm above soil surface. Water was added and recorded each 2-3 day. The results showed that varieties reveal production components and yield were different significantly. Water consumption among varieties was significantly different, ranged from l plant -1 for IR64 to l plant -1 for Jatiluhur, or equal with 3,639 to 4,827 m 3 ha - 1. Jatiluhur was the most efficient variety in using water namely g spikelet/liter water, while Way Apo Buru genotipe was the less efficient namely g spikelet /liter water. Keywords : paddy rice, water management, water use efficiency

77 59 PENDAHULUAN Latar Belakang. Kelangkaan ketersediaan air merupakan salah satu masalah serius yang yang dihadapi dalam sistem produksi padi terutama di lahan kering. Masalah ini timbul karena adanya perubahan iklim, pola curah hujan serta peningkatan penggunaan air di luar sektor pertanian. Perubahan iklim menyebabkan distribusi curah hujan yang tidak merata selama musim tanam dan berkurangnya curah hujan efektif sehingga menimbulkan periode kekeringan yang cukup berat (Gani, 2001). Oleh karena itu, pemanfaatan air yang tersedia merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam teknis budidaya padi di lahan kering. Pemanfaatan air pada lahan kering sudah dilakukan dengan usaha-usaha untuk memanen air hujan. Cara yang umum dilakukan adalah membuat parit atau embung di sekitar lahan dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sehingga mampu meningkatkan kadar air tanah (Idjudin dan Marwanto, 2008). Selain usaha untuk mendapatkan air lebih banyak, pengelolaan air juga harus lebih difokuskan pada pemanfaatan kandungan air tanah yang tersedia dan efisiensi penggunaannya untuk pertumbuhan, pembentukan biomas dan produksi biji (Ng, 2009). Hasil percobaan sebelumnya mengindikasikan bahwa genotipe yang toleran cekaman ganda memiliki perakaran yang lebih panjang dan bobot akar yang lebih berat. Karakter ini kemungkinan berhubungan dengan kemampuan genotipe tersebut dalam memanfaatkan ketersediaan air yang ada secara lebih efisien. Program pengembangan pemuliaan padi di Indonesia telah banyak dilakukan untuk padi tipe baru (Herawati et al., 2010; Susilawati et al., 2010; Lestari et al., 2010), karakter ketahanan terhadap cekaman aluminium (Utama, 2010), karakter ketahanan kekeringan (Mulyaningsih et al., 2010), dan karakter ketahanan cekaman salinitas (Situmorang et al., 2010; Utama et al., 2009). Kajian tentang efisiensi penggunaan air pada genotipe padi tampaknya belum banyak dilakukan di Indonesia. Padi merupakan tanaman yang banyak mengkonsumsi air dan kurang efisien. Diperkirakan untuk menghasilkan 1 kg beras diperlukan air sebanyak liter (Gani, 2001), liter diantaranya digunakan untuk transpirasi.

78 60 Bouman (2009) secara rinci menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg gabah diperlukan 500 sampai liter air transpirasi atau kira-kira liter air evapotranspirasi. Seperti diketahui bahwa konsumsi air antar varietas yang dirakit untuk lahan sawah dan untuk lahan kering akan sangat berbeda. Padi sawah diarahkan untuk dapat tumbuh dengan baik pada lahan dengan status air tanah berada di atas kapasitas lapang dengan kebutuhan air sekitar 6-8 mm hari -1 atau curah hujan lebih dari 200 mm bulan -1 sepanjang pertumbuhan tanaman. Padi gogo masih dapat tumbuh dan berproduksi pada kondisi lahan status air tanah berada di bawah kapasitas lapang dengan kebutuhan air 4-6 mm hari -1 atau curah hujan lebih dari 100 mm bulan -1 (Puslitbang Tanaman Pangan, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penggunaan air antar genotipe padi. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan di rumah plastik Departemen Agronomi dan Hortikultura Kebun Percobaan Sawah Baru Darmaga pada bulan Mei sampai dengan September Metode Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih 5 genotipe padi, kontainer plastik berukuran panjang 67 cm, lebar 47 cm dan dalam 37 cm dan tanah kering angin yang telah diayak. Alat yang digunakan antara lain ember, gelas ukur, oven dan timbangan. Pengukuran tebal daun dan penghitungan jumlah stomata menggunakan mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Pengukuran kehijauan daun dilakukan dengan menggunakan SPAD. Percobaan ini merupakan percobaan faktor tunggal dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 ulangan. Faktor yang diuji adalah 5 genotipe padi yang terdiri atas : Jatilihur (padi gogo), Silugonggo (padi gogo), IPB 97 (padi sawah), IR 64 (padi sawah) dan Way Apo Buru (padi amfibi). Dengan demikian terdapat 15 satuan percobaan. Masing-

79 61 masing satuan percobaan terdiri atas 1 buah kontainer. Dalam satu kontainer terdapat 6 rumpun padi yang ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Model statistik yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut: Yij = µ + βi + δj + έij Dimana : Yij : nilai pengamatan kelompok ke i genotipe ke j µ : nilai rata-rata umum βi : nilai pengaruh kelompok ke i δj : nilai pengaruh perlakukan genotipe ke j έij : nilai pengaruh galat Tanah untuk media tanam diayak dengan saringan kawat ukuran 1 cm x 1 cm. Tanah yang telah halus dimasukan ke dalam kontainer dengan bobot total tanah masing-masing kontainer mencapai 83.1 kg tanah kering udara. Kontainer selanjutnya disusun pada masing-masing ulangan dengan posisi yang horizontal (kontainer dibenamkan ke dalam tanah). Selanjutnya kontainer disawahkan dengan menambahkan air ke dalam kontainer. Masing-masing kontainer diisi dengan air sebanyak 39 liter (untuk membuat tinggi genangan 2 cm di atas permukaan tanah). Untuk mendapatkan struktur lumpur, tanah dan air diaduk secara merata dan didiamkan selama 2 hari. Selanjutnya bibit yang berumur 12 hari ditanam dan permukaan air dipertahankan tetap berada pada ketinggian 2 cm di permukaan tanah. Penambahan air dilakukan setiap 2 atau 3 hari sekali. Kondisi bibit yang telah ditanam dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Kondisi bibit setelah ditanaman dalam kontainer

80 62 Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan pemberian pupuk dengan dosis 250 kg Urea, 200 kg SP-18 dan 100 kg KCl/ha. Pupuk Urea diberikan sebanyak 3 kali, sedangkan pupuk SP-18 dan KCl diberikan sekaligus pada 1 MST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai dengan tingkat serangan yang ada di lapangan. Pada percobaan ini peubah-peubah yang diamati meliputi peubah pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, bobot kering tajuk, luas daun), komponen produksi (jumlah malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi), produksi (bobot gabah isi per rumpun, indeks luas daun), konsumsi air (setiap kali penambahan air ke dalam kontainer) dan karakter daun (kehijauan daun, tebal daun dan jumlah stomata). Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan setiap dua minggu sekali, sedangkan peubah yang lain diamati pada saat tanaman dipanen. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis Uji F dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanah yang digunakan pada percobaan ini adalah tanah lahan kering di kebun percobaan Sawah Baru. Dari hasil analisis tanah diketahui bahwa tekstur tanah yang digunakan adalah lempung liat berpasir dengan kandungan pasir sebesar 21%, debu 24 % dan liat 25 %. Tekstur ini termasuk tekstur tanah yang sesuai untuk budidaya padi sawah (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Secara umum, tanah yang digunakan memiliki kandungan bahan organik yang rendah dengan kandungan P 2 O 5 yang tinggi, K 2 O sedang dan kation-kation yang rendah sampai tinggi (Lampiran 3). Kapasitas tukar kation tanah yang digunakan termasuk sedang dengan tingkat kejenuhan basa yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah yang digunakan termasuk sedang.

81 63 Dari pengamatan terhadap unsur iklim, maka suhu udara pada siang hari berkisar antara 26 sampai 31 o C. Pada tahap awal pertumbuhan sampai hampir 40 hari setelah tanam dimana tanaman mulai memasuki tahap pertumbuhan reproduktif suhu udara masih cukup tinggi yaitu antara 30 sampai 31 o C. Untuk kelembaban udara tidak banyak terjadi perubahan dari awal penanaman yaitu berkisar 70 % (Lampiran 4). Seperti diketahui semua genotipe yang digunakan pada percobaan ini memiliki umur tanaman kurang dari 125 hari. Yoshida (1981) menyatakan bahwa suhu optimum berbeda-beda tergantung dari fase pertumbuhan tanaman padi. Suhu o C sebenarnya sudah bukan termasuk suhu optimum lagi, tetapi juga belum termasuk suhu maksimum untuk tanaman padi. Suhu yang tinggi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, proses pembungaan dan penyerbukan yang menyebabkan produksi akan menurun. Berdasarkan hasil Uji F (ragam) diperoleh bahwa genotipe berbeda nyata pada semua peubah yang diamati selama percobaan. Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman digambarkan oleh tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan produktif dan jumlah anakan non-produktif. Pengaruh genotipe terhadap beberapa peubah pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 28. Pada peubah tinggi tanaman, genotipe Jatiluhur dan IPB 97-F-15 memperlihatkan tanaman yang paling tinggi yaitu cm dan cm sedangkan varietas IR 64 merupakan tanaman yang paling pendek yaitu 94.8 cm. Genotipe IPB 97-F-15 yang merupakan tanaman padi sawah tipe baru memiliki tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata dengan Jatiluhur. Jumlah daun genotipe padi sawah IR 64 dan Way Apo Buru nyata lebih banyak jika dibandingkan dengan genotipe Jatiluhur, kecuali genotipe Silugonggo yang merupakan padi gogo tetapi memiliki daun yang sama banyaknya dengan padi sawah. Sebaliknya, walupun termasuk padi sawah genotipe IPB 97-F-15 memiliki daun yang paling sedikit yaitu 39.6 helai daun. Salah satu ciri genotipe padi sawah yang saat ini dikembangkan adalah memiliki ciri tanaman rendah, jumlah anakan sedang dan jumlah daun banyak dan tegak. Padi tipe baru (PTB) merupakan padi yang mempunyai arsitektur/tipe baru dengan sifat batang kuat, anakan sedang (9-12) tetapi produktif semua, malai panjang dengan butir

82 gabah/malai, persentase gabah isi besar (90%), daun tegak, tebal, dan berwarna hijau tua, sistem perakaran dalam dan banyak, tinggi tanaman sedang pendek ( cm), umur genjah ( hari). Dengan sifat-sifat tersebut, PTB mampu mempunyai potensi hasil 20% lebih tinggi daripada varietas unggul yang ada (Abdullah et al., 2000). Dengan daun yang tegak dan tebal menungkinkan penetrasi cahaya yang lebih banyak sampai daun di bagian bawah kanopi. Walaupun ini akan menghasilkan indeks luas daun yang rendah, tetapi produksi yang dihasilkan sama atau lebih besar dibandingkan dengan kultivar tradisional. Tabel 28 Tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan genotipe padi pada saat panen Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah Daun Jumlah anakan produktif 64 Jumlah anakan tidak produktif Jatiluhur a 50.4 bc 7.3 ab 0.47 bc Silugonggo ab 69.7 ab 13.5 a 0.40 c IPB 97-F a 39.6 c 6.7 b 2.15 ab IR b 67.3 ab 11.8 a 2.43 a Way Apo Buru b 72.7 a 13.1 a 1.70 abc Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5% Genotipe padi gogo yang diwakili oleh varietas Jatiluhur dan Silugonggo memperlihatkan perbedaan respon jika genotipe tersebut ditanam di lahan sawah. Varietas Silugonggo memperlihatkan penampilan seperti padi sawah jika ditanam di sawah dengan cirri-ciri jumlah daun dan jumlah anakan yang banyak. Di dalam deskripsinya varietas Silugonggo memang dapat beradaptasi pada lingkungan gogo dan sawah (Suprihatno et al., 2009). Jumlah anakan produktif tertinggi diperoleh dari varietas Silugonggo, Way Apo Buru dan IR 64, sedangkan genotipe IPB97-F-15 dan Jatiluhur menghasilkan jumlah anakan produktif yang paling sedikit yaitu 6.7 dan 7.3 anakan. Jumlah anakan yang lebih besar ini memang merupakan salah satu ciri dari varietas-varietas untuk lahan sawah. Jumlah anakan produktif yang dihasilkan dalam percobaan ini masih berada di bawah potensi yang dimiliki masing-masing varietas.

83 65 Komponen Hasil dan Hasil Secara umum panjang malai varietas padi gogo (Jatiluhur dan Silugonggo) nyata lebih pendek jika dibandingkan dengan varietas padi sawah, sedang tipe amfibi (Way Apo Buru) tidak berbeda nyata dengan varietas padi sawah. Genotipe IPB97-F-15 menghasilkan malai terpanjang sedangkan varietas Jatiluhur menghasilkan malai terpendek (Tabel 29). Jumlah gabah malai -1 terbanyak dihasilkan oleh IPB97-F-15 dan Jatiluhur. Kedua genotipe ini walaupun berbeda habitat tumbuhnya tetapi memiliki jumlah gabah malai -1 yang tidak berbeda nyata yaitu lebih dari 230 butir malai -1. Tiga genotipe yang lain (Silugonggo, IR 64 dan Way Apo Buru) memiliki jumlah gabah malai -1 yang tidak berbeda nyata satu sama lain. gabah Varietas Jatiluhur memiliki kepadatan malai nyata paling besar (10.1 cm -1 ) dan selanjutnya diikuti oleh IPB 97-F-15. Hal ini disebabkan varietas Jatiluhur memiliki malai yang pendek tetapi jumlah gabah malai -1 banyak sedangkan IPB 97-F-15 memiliki malai yang panjang dengan jumlah gabah malai -1 banyak. Dari Tabel 27 dan 28 terlihat bahwa varietas Jatiluhur dan IPB 97-F-15 adalah tanaman yang tinggi dengan jumlah daun, anakan produktif sedikit, tetapi memiliki jumlah gabah yang banyak dan kepadatan malai tertinggi. Tabel 29 Panjang malai, jumlah gabah malai -1 dan kepadatan malai genotipe padi Genotipe Panjang Jumlah gabah Kepadatan malai malai (cm) malai -1 (butir cm -1 ) Jatiluhur 23.4 c a 10.1 a Silugonggo 23.7 bc b 5.7 b IPB 97-F a a 8.2 a IR bc b 4.8 b Way Apo Buru 26.4 b b 5.4 b Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5% Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa bobot total gabah per tanaman yang terbesar diperoleh pada varietas Jatiluhur, sedangkan keempat varietas yang lain tidak berbeda nyata (Tabel 30). Hal ini sesuai dengan peubah jumlah gabah malai -1 yang banyak atau kepadatan malai yang tinggi yang dihasilkan oleh varietas Jatiluhur tersebut. Bobot total gabah yang terendah dihasilkan oleh varietas IR 64. Hal ini lebih disebabkan oleh jumlah gabah malai -1

84 IR 64 dan kepadatan malai yang paling sedikit jika dibandingkan dengan varietas yang lain. Jika dilihat dari persentase gabah isi, maka semua varietas yang diuji menunjukkan tingkat kehampaan yang cukup tinggi, yaitu rata-rata di atas 40%. Tingkat kehampaan tertinggi dihasilkan oleh varietas Way Apo Buru, IR 64 dan Silugonggo. Hasil yang sama juga diperoleh Tubur (2011) yang melakukan penelitian respon beberapa genotipe padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah pada rumah plastik yang sama. Tingkat kehampaan yang diperoleh dari genotipe yang diuji berkisar antara 35 sampai 66 persen. Tingginya tingkat kehampaan pada semua genotipe yang diuji diduga disebabkan suhu rumah plastik yang tinggi (terutama pada siang hari) yang berkisar o C pada 50 hari pertama pertumbuhan tanaman (Lampiran 3) 66 terutama pada siang hari. Seperti diketahui, suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan tingkat kehampaan pada tanaman padi meningkat. Hal ini berubungan dengan berkurangnya viabilitas bunga betina dan tepung sari sehingga mengganggu proses penyerbukan (Harahap dan Lubis, 1995). Tabel 30 Bobot gabah, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir genotipe padi Genotipe Bobot gabah tanaman -1 (g) Persentase gabah isi (%) Bobot 1000 butir (g) Jatiluhur a 62.2 a a Silugonggo b 47.7 b ab IPB 97-F b 55.9 b a IR b 43.3 b b Way Apo Buru b 40.1 b ab Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5% Pada kondisi ketersediaan air yang cukup, suhu yang tinggi memiliki dampak yang kecil terhadap produksi padi karena adanya proses pendinginan transpirasi. Pada kondisi tersebut, pengaruh suhu tinggi berkaitan erat dengan kelembaban relatif (RH), sedangkan tingkat pendingin transpirasi lebih ditentukan oleh defisit tekanan uap air daripada suhu tinggi saja. Abeysiriwardena et al. (2002) menyatakan terjadi peningkatan suhu gabah 1.5 C pada kondidi terjadi peningkatan RH dari % menjadi 85-90%. Selain itu, Weerakoon et al.

85 67 (2008), menyatakan bahwa pada suhu tinggi (32-36 C) dengan RH rendah (60%) dan RH tinggi (85 %), terjadi peningkatan kehampaan gabah. Penurunan suhu gabah pada RH yang rendah merupakan mekanisme penghindaran, sedangkan varietas yang mampu mempertahankan persentase gabah isi yang tinggi pada kondisi suhu tinggi dan RH tinggi (defisit tekanan uap rendah) adalah varietas yang toleran suhu tinggi. Bobot 1000 butir terbesar dihasilkan oleh varietas Jatiluhur diikuti oleh varietas, IPB97-F-15 dan Silugonggo. Dari beberapa peubah ini tanpak bahwa Varietas Jatiluhur dan IPB97-F-15 memiliki keunggulan pada kedapatan malai dan bobot 1000 butir, sehingga secara tidak langsung menentukan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Bobot gabah isi tanaman -1 terbesar dihasilkan oleh varietas Jatiluhur yaitu sebesar g sedangkan yang terendah dihasilkan oleh varietas IR 64 dan Way Apo Buru yaitu masing-masing sebesar 7.41 g dan 7.47 g (Tabel 31). Bobot gabah isi yang besar pada varietas Jatiluhur didukung oleh bobot gabah total, bobot 1000 biji serta persentase gabah isi yang tinggi, sedangkan untuk varietas IR 64 dan Way Apo Buru lebih disebabkan oleh tingginya persentase gabah hampa. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu udara yang tinggi sangat menghambat proses penyerbukan dan pembuahan sehingga tingkat kehampaan gabah sangat tinggi. Gabah isi yang tinggi ini sangat berhubungan dengan jumlah butir polen yang berkecambah. Pada suhu tinggi ini genotipe padi merespon dengan mengekspresikan 13 protein yang berbeda antar genotipe, dimana terdapat protein yang berhubungan dengan respon terhadap suhu rendah dan suhu tinggi yang berkontribusi terhadap sifat toleran suhu tinggi selama masa anthesis pada genotipe yang toleran (Jagadish et al., 2010). Konsumsi Air dan Efisiensi Penggunaan Air Konsumsi air yang digunakan oleh tiap tanaman menunjukkan bahwa varietas Jatiluhur paling banyak menggunakan air selama pertumbuhan tanaman yaitu mencapai liter, sedangkan untuk varietas yang paling sedikit mengkonsumsi air adalah IR 64 yaitu liter (Tabel 31).

86 Tabel 31 Produksi gabah dan total konsumsi air sejak pindah tanam hingga panen pada genotipe padi Genotipe Bobot gabah isi Total konsumsi air tanaman -1 (g) tanaman -1 (l) Jatiluhur a a Silugonggo bc b IPB 97-F b b IR c c Way Apo Buru 7.47 c bc Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5% Kebutuhan volume konsumsi air dari genotipe yang diuji untuk luasan satu hektar dengan asumsi sebanyak 200,000 rumpun ha -1 berkisar antara 3,639 sampai 4,827 m 3 ha -1. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan melakukan pemilihan varietas yang sesuai terdapat selisih penggunaan air sekitar 1,200 m 3 ha -1. Informasi tersebut merupakan temuan penting dalam rangka program penghematan air melalui pemilihan varietas yang kebutuhan airnya tetap menghasilkan produktivitas yang optimum. Warna daun genotipe IPB 97-F-15 adalah yang paling hijau tua. Hal ini sesuai dengan deskripsi padi tipe baru yang memiliki daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua. Genotipe padi sawah yang lain termasuk Silugonggo memiliki warna daun yang sama, sedangkan Jatiluhur memiliki warna daun yang paling muda. Nilai warna daun bendera pada umur tanaman yang lebih tua pada umumnya lebih hijau tua dan lebih homogen jika dibandingkan pada tanaman yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan pengaruh akumulasi klorofil dan nitrogen yang lebih besar pada daun yang lebih tua (Gholizadeh et al., 2010). Jika dilihat dari karakter daun maka karakter daun varietas Jatiluhur yang cukup menonjol adalah daun yang tebal, jumlah stomata yang sedikit serta indeks luas daun yang kecil (Tabel 32). Genotipe padi sawah memiliki jumlah stomata yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan padi gogo (Jatiluhur). Ketebalan daun biasanya berhubungan dengan ketebalan lapisan kutikula sehingga mampu mengurangi kehilangan air. Pada tanaman padi yang toleran terhadap kekeringan jumlah stomata yang terdapat di permukaan daun lebih sedikit (Lestari, 2006). Menurut Salisbury dan Ross (1992) variasi yang besar dalam efisiensi 68

87 69 penggunaan air disebabkan adanya adaptasi yang bersifat anatomis dari daun yang bertranspirasi yang erat kaitannya dengan kerapatan stomata. Tabel 32 Karakteristik daun genotipe padi Genotipe Warna daun Ketebalan daun (nm) Jumlah stomata (mm -2 ) Indeks luas daun Jatiluhur 41.7 b a 388 c 4.04 bc Silugonggo 45.7 ab b 447 bc 3.26 c IPB 97-F a b 502 ab 4.34 bc IR a b 527 a 6.94 ab Way Apo Buru 44.4 ab b 505 ab 7.09 a Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5% Antara padi sawah dan padi gogo memang terdapat perbedaan sifat-sifat ketahanan struktural yang ditandai dengan perbedaan susunan anatomi daun yaitu tebal daun, tebal kutikula, jumlah stomata dan jumlah sel motor tiap deret. Varietas padi gogo memiliki daun lebih tebal, kutikula lebih tebal, jumlah stomata lebih sedikit dan jumlah sel motor tiap deret lebih banyak jika dibandingkan dengan padi sawah. Sebagai ciri tahan terhadap kekeringan dimana padi gogo lebih tahan dari padi Sawah (Imaningsih, 2006). Lamina atau helaian daun yang tebal menyebabkan rasio volume terhadap luas permukaan daun menjadi tinggi, oleh karena itu pada volume jaringan yang sama luas permukaan transpirasi lebih rendah, dengan demikian laju transpirasi lebih rendah walaupun kapasitas total tetap tinggi sehingga penggunaan air lebih efisien. Nisbah volume terhadap luas permukaan daun yang tinggi berasosiasi dengan ciri anatomi yang antara lain meliputi: mesofil yang tebal dan jaringan pagar yang lebih berkembang dari pada jaringan bunga karang. Hidayat (1995) menambahkan tanaman yang hidup pada habitat kering memiliki daun dengan kutikula yang tebal. Sedangkan pada daun tanaman yang sebagian besar hidupnya tergenang air dinding sel dan kutikulanya amat tipis. Tebalnya kutikula pada daun padi gogo akan mempengaruhi ketebalan daun secara keseluruhan. Ketebalan dan susunan daun mempengaruhi kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun. Oleh karena itu daun yang tumbuh pada intensitas cahaya tinggi sering memiliki laju fotosintesis lebih tinggi karena memiliki

88 70 kandungan komponen fotosintesis per unit luas daun juga lebih tinggi, termasuk Rubisco, komponen transpor elektron dan pembentukan ATP. Walaupun demikian, perubahan juga terjadi pada tingkat kloroplas, sebagai contoh rasio PS II terhadap PS I terlihat berbeda-beda tergantung tingkat intensitas cahaya (Murchie and Horton, 1998; Yamazaki et al., 1999) Konsumsi air yang hemat bukan satu-satunya kriteria bagi penentuan pemilihan varietas. Secara umum terlihat bahwa untuk menghasilkan bobot gabah yang lebih besar diperlukan jumlah air yang besar juga. Kriteria efisiensi penggunaan air yaitu bobot gabah yang dihasilkan untuk tiap satuan volume air yang dikonsumsi menjadi kriteria yang paling penting. Untuk melihat efisiensi penggunaan air, maka bobot gabah isi yang dihasilkan tiap tanaman dibandingkan dengan volume air yang digunakan selama masa pertumbuhan tanaman. Dari 5 genotipe yang diuji terlihat bahwa Jatiluhur merupakan varietas padi yang paling efisien menggunakan air dengan menghasilkan g gabah kering untuk setiap liter air yang dikonsumsi (Gambar 4), sedangkan varietas yang tidak efisien adalah Way Apo Buru dan IR 64. Pada penelitian lain Sulistyono (2005) menyatakan bahwa pada kondisi kapasitas lapang efisiensi penggunaan air padi gogo mencapai 0.01 g gabah/kg air sedangan pada kondisi kekurangan air (defisit evapotranspirasi sebesar mm) menyebabkan efisiensi penggunaan air menurun drastis menjadi g gabah/kg air atau berkurang 90% (Sulistyono et al., 2005).

89 71 Gambar 4. Efisiensi penggunaan air genotipe padi Peubah efisiensi penggunaan air ini nyata berkorelasi positif dengan tinggi tanaman, jumlah gabah, kepadatan malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi, bobot gabah tanaman -1 dan volume konsumsi air dan nyata berkorelasi negatif dengan jumlah anakan produktif dan jumlah stomata (Tabel 33). Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan air dapat mendorong produksi tinggi. Pada umumnya tingkat produksi yang tinggi tidak terpisah dengan proses transpirasi yang tinggi (Gani, 2001) Tabel 33 Koefisien korelasi beberapa peubah terhadap efisiensi penggunaan air No Peubah Koefisien korelasi 1 Tinggi tanaman 0.786** 2 Jumlah daun Jumlah anakan produktif Jumlah anakan tidak produktif * 5 Panjang malai Jumlah gabah/malai 0.637* 7 Kepadatan/malai 0.807** 8 Bobot 1000 butir 0.655** 9 Persentase gabah isi 0.785** 10 Warna daun Bobot gabah isi/tanaman 0.969** 12 Vol air/tanaman 0.726** 13 Indeks luas daun Tebal daun Jumlah stomata *

90 72 Konsumsi air pada setiap fase pertumbuhan disajikan pada Gambar 5. Variasi konsumsi air antar genotipe yang terbesar terdapat pada fase reproduktif, sedangkan pada fase vegetatif dan fase pemasakan relatif hampir sama. Konsumsi air yang banyak pada fase vegetatif selalu diikuti juga dengan konsumsi air yang banyak pada fase Gambar 5. Konsumsi air masing-masing genotipe berdasarkan fase pertumbuhan reproduktif. Dalam percobaan ini, varietas Jatiluhur mengkonsumsi air lebih banyak baik pada fase vegetatif maupun reproduktif. Gambar 5 memperlihatkan bahwa perbedaan konsumsi air pada padi yang diuji terjadi pada fase reproduktif tanaman. Chapagain dan Hoekstra (2010) menyatakan bahwa kebutuhan air evaporasi terus meningkat sampai 30 hari setelah tanam setelah itu melandai sampai 30 hari kemudian. Setelah memasuki fase pembungaan dan pemasakan kebutuhan air evaporasi berkurang lagi. Hal yang sama diperoleh pada percobaan yang dilakukan oleh Sulistyono (2005), dimana evapotranspirasi harian mulai meningkat setelah tanaman berumur 60 hari. Pada dua bulan pertama, evapotransporasi harian padi gogo hanya berkisar 3 4 mm per hari. Setelah memasuki fase reproduktif evapotranspirasi harian meningkat menjadi 6 8 mm per hari.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia pada saat ini sedang menghadapi beberapa masalah dalam menjaga ketahanan pangan untuk masa yang akan datang. Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia sedang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya 9 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela dan Kendalanya Usahatani padi gogo relatif kurang berkembang, yang dicerminkan oleh luas pertanaman padi gogo yang tidak meningkat dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional masih merupakan problema yang perlu diatasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia karena merupakan salah satu jenis sayuran buah

Lebih terperinci

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh

STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH. Oleh STUDI MORFO-ANATOMI DAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max (L) Merr.) PADA KONDISI CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH Oleh Baiq Wida Anggraeni A34103024 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun

yang dapat ditangkap lebih tinggi karena selain bidang tangkapan lebih besar, jumlah cahaya yang direfleksikan juga sedikit. Peningkatan luas daun PEMBAHASAN UMUM Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merrill) termasuk kelompok tanaman C-3 yang dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan cahaya penuh (McNellis dan Deng 1995). Namun dalam pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan sumber protein terpenting di Indonesia. Kandungan protein kedelai sangat tinggi, sekitar 35%-40%, persentase tertinggi dari seluruh

Lebih terperinci

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice

Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan. Shading Tolerance in Upland Rice Hayari. Juni 2003, hlrn. 7 1-75 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 2 Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan Shading Tolerance in Upland Rice DIDY SOPANDIE 1 *, MUHAMMAD AHMAD CHOZIN', SARSIDI SASTROSUMARJO', TIT1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kentang(Solanum tuberosum L) merupakan tanaman umbi-umbian dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kentang(Solanum tuberosum L) merupakan tanaman umbi-umbian dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Tanaman Kentang Kentang(Solanum tuberosum L) merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman berumur pendek. Tumbuhnya bersifat menyemak dan menjalar dan memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terlihat dari areal pertanaman cabai yang menempati areal terluas diantara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan memiliki batang berbentuk segi empat. Batang dan daunnya berwarna hijau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Botani Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L) Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman umbi-umbian dan tergolong tanaman berumur pendek. Tumbuhnya bersifat menyemak dan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PERSETUJUAN. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK viii ABSTRACT. ix RINGKASAN..

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Lahan Kering Masam Secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai di kawasan timur Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 71 PENDAHULUAN Latar Belakang Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan salah satu tanaman pangan utama dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data mengenai luas areal tanam, produksi dan kegunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air 4 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Objek yang digunakan pada penelitian adalah tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus, Lour), tanaman ini biasa tumbuh di bawah pepohonan dengan intensitas cahaya yang

Lebih terperinci

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH ,

124 tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH , PEMBAHASAN UMUM Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) mempunyai sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang yang terbentuk dari calon akar, akar sekunder,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015).

I. PENDAHULUAN. Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan. giling (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2015). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan terhadap bahan pangan impor sebagai akibat kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap komoditas beras sebagai bahan pangan utama cenderung terus meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Lahan Kering dan Potensinya di Bali Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi 12 TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi Ratun tanaman padi merupakan tunas yang tumbuh dari tunggul batang yang telah dipanen dan menghasilkan anakan baru hingga dapat dipanen (Krishnamurthy 1988). Praktek

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU BPTP RIAU 2012 PENDAHULUAN Kebutuhan beras sebagai sumber kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun

I. PENDAHULUAN. Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Keinginan untuk berswasembada kedelai telah beberapa kali dicanangkan, namun belum dibarengi dengan program operasional yang memadai. Melalui program revitalisasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditas padi memiliki arti strategis yang mendapat prioritas dalam pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Padi sawah dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu : padi sawah (lahan yang cukup memperoleh air, digenangi waktu-waktu tertentu terutama musim tanam sampai

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG PEMULIAAN TANAMAN

SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG PEMULIAAN TANAMAN EVALUASI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA JARAK TANAM YANG BERBEDA SKRIPSI OLEH : FRISTY R. H. SITOHANG 080307024 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Curah hujan selama penelitian dari bulan Oktober 2009 sampai Januari 2010 tergolong tinggi sampai sangat tinggi yaitu berkisar antara 242.1-415.8 mm/bulan dengan

Lebih terperinci

tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya

tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya 55 5 DISKUSI UMUM Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan

PENDAHULUAN. Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia. Kebutuhan kacang tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI DENGAN PEMBERIAN POLIMER PENYIMPAN AIR PADA SAWAH BUKAAN BARU SKRIPSI RYAN ISKANDAR 060301050 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A34103038 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman Morfologi tanaman kedelai ditentukan oleh komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji. Akar kedelai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar

Lebih terperinci

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif). PEMBAHASAN UMUM Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering masam di Indonesia. Tantangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,34%

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,34% BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LatarBelakang Pertambahan jumlah penduduk terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan 1,34% (BPS, 2013), sementara itu sebagian besar penduduk Indonesia (± 90%) masih menjadikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI /Pemuliaan Tanaman KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.)TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH: WIWIK MAYA SARI 080307008/Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sebagian besar petani menjadikan tanaman padi sebagai pilihan utama untuk dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak dibutuhkan oleh

Lebih terperinci

penyumbang devisa terbesar di sektor pertanian, oleh karenanya mempunyai peran

penyumbang devisa terbesar di sektor pertanian, oleh karenanya mempunyai peran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas ekspor penyumbang devisa terbesar di sektor pertanian, oleh karenanya mempunyai peran strategis terhadap perekonomian

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1)

Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) Evaluasi dan Seleksi Varietas Tanaman Kedelai Terhadap Naungan dan Intensitas Cahaya Rendah 1) (Selection and Evaluation of Soybean to Shade and Low Intensity of Light) Nerty Soverda 2, Evita 2 dan Gusniwati

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Bahan dan alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai Oktober 2007 di kebun percobaan Cikabayan. Analisis klorofil dilakukan di laboratorium Research Group on Crop Improvement

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar

I. PENDAHULUAN. Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum mempunyai daerah adaptasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman tomat memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, mulai dataran tinggi sampai dataran rendah. Data dari BPS menunjukkan rata-rata pertumbuhan luas panen, produktivitas,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditi sektor non-migas andalan yang berperan penting dalam menunjang pembangunan Indonesia. Produksi minyak sawit

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan komoditas kacang-kacangan kedua yang ditanam secara luas di Indonesia setelah kedelai. Produktivitas kacang tanah di Indonesia tahun 1986 tercatat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tinggi Tanaman Berdasarkan analisis sidik ragam lampiran 3a menunjukan bahwa perlakuan varietas berbeda nyata pada seluruh pengamatan tinggi tanaman yakni dari 1, 2,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Tanaman Gandum Tanaman gandum (Triticum aestivum L) merupakan jenis dari tanaman serealia yang mempunyai tektur biji yang keras dan bijinya terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan

I. PENDAHULUAN. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional adalah masalah sensitif yang selalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis

BAB I. PENDAHULUAN. mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Simatupang et al., 2005). Di antara jenis 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah padi dan jagung. Komoditas kedelai saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan pangan dan bahan baku

Lebih terperinci

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI 2.1. Iklim Ubi kayu tumbuh optimal pada ketinggian tempat 10 700 m dpl, curah hujan 760 1.015 mm/tahun, suhu udara 18 35 o C, kelembaban udara 60 65%, lama penyinaran

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI PROVINSI JAMBI OLEH DEDI PRASETYO A24052710 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan turut meningkatkan kebutuhan makanan yang bernilai gizi tinggi. Bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas

BAB I PENDAHULUAN. letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (G. max L.) dapat dibudidayakan di daerah katulistiwa sampai letak lintang 55º U atau 55º S dan pada ketinggian sampai 2000 m di atas permukaan laut. Suhu di

Lebih terperinci

UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Sari

UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Sari UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN 1 (THE ADAPTATION OF SOYBEAN TO SHADE) Nerty Soverda 2, Evita 2 dan Gusniwati 2 ABSTRACT The objectives of this research

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini. Beras mampu mencukupi 63% total kecukupan energi dan 37% protein.

I. PENDAHULUAN. ini. Beras mampu mencukupi 63% total kecukupan energi dan 37% protein. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Sembilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI EMPAT VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L) TERHADAP BERBAGAI TINGKAT GENANGAN AIR PADA BERBAGAI JARAK TANAM DISERTASI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI UJI DAYA HASIL LANJUTAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) TOLERAN NAUNGAN DI BAWAH TEGAKAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI OLEH MIRZAH FIKRIATI A24053678 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-700 ribu ton per tahun dengan kebutuhan kedelai nasional mencapai 2 juta ton

Lebih terperinci

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap

Latar Belakang. Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kalium merupakan salah satu hara makro setelah N dan P yang diserap tanaman dalam jumlah banyak. Pada tanaman jagung hara Kdiserap lebih banyak daripada hara N dan P. Lei

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Yogyakarta memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar hektar atau

I. PENDAHULUAN. Yogyakarta memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar hektar atau I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Yogyakarta memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar 13.000 hektar atau 4% dari luas wilayah secara keseluruhan. Lahan pasir pantai terbentang sepanjang 110 km di pantai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat Asia pada umumnya, termasuk Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci