BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
|
|
- Widya Yuwono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Teori-Teori Pemidanaan Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk 1 : 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana ialah suatu kekhususan hukum yang mana hubungan hukum ini adalah perseorangan dengan negara. Jadi biasanya jika ada pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana dijatuhi hukuman penjara yang mana hukuman tersebut berdasarkan Undang-undang yang berlaku di negara tersebut. Seperti halnya hukum pidana, hukum pidana dapat timbul jika terjadi pelanggaran ataupun kejahatan yang melanggar atau melawan Undang-Undang yang berlaku 1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, 2009, h. 1 12
2 13 dalam suatu negara. Sehingga dalam ilmu hukum pidana harus diterapkan asas legalitas yang biasa disebut dengan asas Nullum delictum nulla poena sine lege, yang menunjukan bahwa keseluruhan hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu Undang-Undang 2. Dalam sistem pemidanaan hukum di Indonesia, dikenal dengan sistem double track, yaitu suatu sistem pemidanaan yang terdiri dari sanksi pidana (straf) dan sanksi tindakan (maatregel). Perbedaan dari kedua sistem pemidanaan ini adalah, kalau sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan agar pelakunya menjadi jera, sedangkan sanksi tindakan lebih kepada upaya pemberian pertolongan kepada pelaku agar dapat berubah. Sering dikatakan juga, sanksi tindakan berbeda dengan sanksi pidana, sanksi tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat 3. Sehingga sanksi pidana lebih kepada unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan lebih kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan ataupun perawatan bagi pelakunya 4. Bisa dikatakan, double track system tadi sangat berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika. Karena dalam Tindak Pidana Narkotika, terdapat suatu tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yang mana menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut diselenggarakan 28 2 Roeslan Saleh, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Perspektif, Aksara Baru, 1981, h. 3 Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, 2012, h Abdul Affandi, Double Track System Pada Sistem Sanksi Hukum Pidana, dikunjungi pada 16 Desember 2014
3 14 berasaskan keadilan, pengayoman, kemanuasiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai ilmiah, dan kepastian hukum 5, artinya sebuah pertolongan tehadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yaitu rehabilitasi. Serta ada juga penjatuhan pidana penjara kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tertangkap tangan oleh pihak yang berwajib kedapatan sedang melakukan penyalahgunaan Narkotika. Jika dikaitkan dengan hukum pidana sendiri, dalam hukum pidana, tentu saja mempunyai tujuan dalam hal pemidanaan itu sendiri. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan hukuman (sanksi). Diantaranya teori absolut, relatif, dan gabungan 6. Teori absolut (Vergeldingstheori) merupakan teori yang mana hukuman tersebut dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat 7. Dalam teori ini, dapat dilihat bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana harus dikenakan sanksi yang setimpal, artinya suatu pembalasan terhadap tersangka berupa pidana, sebagai cermin pertanggungjawaban tersangka tersebut karena telah melawan hukum pidana yang berlaku, karena telah melakukan hal yang berakibat buruk atau pun sampai merugikan orang lain. Dalam teori absolut ini, jika dikaitkan dengan pidana penjara, maka pidana penjara tersebut dapat dijadikan suatu pembalasan yang setimpal terhadap h Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban Dan Saksi, Sinar Grafika, 2012, 6 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2005, h. 4 7 Ibid
4 15 tersangka. Bisa dikatakan suatu sanksi yang telah diatur oleh Undang-Undang yang berlaku dalam masyarakat, dan jika dilawan maka akan dikenakan sanksi yang telah diatur pula dalam pasal demi pasal yang ada pada Undang-Undang yang berlaku tersebut. Selain teori absolut, dikenal juga yang namanya Teori Relatif (Doeltheori). Teori ini dilandasi oleh tujuan dari hukum itu sendiri dibuat, yaitu dengan adanya tindakan menjerakan, memperbaiki pribadi terpidana, serta membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya 8. Dalam teori relatif, menjerakan disini merupakan suatu tindakan yang bertujuan agar terpidana memdapatkan efek jera dari perbuatan yang telah dilakukannya dengan pemidanaan, sehingga tidak melakukan perbuatannya lagi, serta diketahui oleh masyarakat, agar masyarakatnya juga tahu bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terpidana tersebut adalah salah dan dapat dikenai sanksi pidana. Selain itu, dalam teori relatif juga dikenal yang namanya memperbaiki pribadi dari terpidananya itu sendiri. Artinya dalam proses dilakukannya hukuman terhadap terpidana, selain mendapatkan efek jera terhadap perbuatan yang telah dilakukannya, terpidana tersebut juga mendapatkan suatu penyuluhan dan pendidikan, sehingga terpidana tersebut menjadi tahu akan kesalahannya dan menyesali perbuatannya, dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna. 8 Ibid
5 16 Lalu ada yang namanya membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya dalam teori relatif. Membinasakan disini adalah suatu hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana karena memang perbuatan yang dilakukan terpidana tersebut layak untuk dihukum mati. Sementara membuat terpidana tidak berdaya adalah hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana, sehingga terpidana tersebut sudah tidak berdaya lagi, dan menghabiskan sisa hidupnya didalam penjara. Sementara teori gabungan adalah penggabungan antara teori absolut dan teori relatif itu tadi. Yang mana teori gabungan merupakan suatu teori yang mana menjatuhkan suatu tindak pidana atau pembalasan dengan memasukan teori relatif itu tadi, yaitu contohnya dengan memberikan suatu penyuluhan dan pendidikan sambil menjalani pidana yang dijatuhkan. Terkait dengan hukum pidana, ancaman pidana dan pemidanaan bisa dikatakan suatu norma dalam hukum pidana. Bisa dibilang, sanksi adalah suatu norma yang ada dalam hukum pidana. Hukum pidana disini mempertegas suatu norma yang sudah ada, yaitu dengan adanya ancaman pidana dan pemidanaan itu sendiri 9. Melihat teori-teori diatas, keterkaitan teori-teori diatas dengan tindak pidana Narkotika merupakan sebuah pemberian hukuman atau sanksi terhadap pelaku tindak pidana, tetapi juga memberikan suatu tindakan, yang mana disini adalah rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. 9 Moeljatno, Loc.Cit, h. 9
6 17 Jika berbicara hukum pidana, biasanya hukum pidana dilakukan oleh pelaku dan merugikan orang lain, dimana orang tersebut telah diambil atau dirampas kebebasan untuk hidup dan perbuatan pelaku tersebut melanggar atau melawan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Sama dengan Tindak Pidana Narkotika, yang disini lebih kepadan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, juga dapat merembet kepada kerugian yang ditimbulkan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi. Sebagai contohnya, jika Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika tersebut sedang membutuhkan uang untuk membeli zat terlarang tersebut, maka sangat besar kemungkinan ia melakukan tindak pidana lain, seperti pencurian yang dapat menimbulkan kepada pihak lain yang menjadi korban pencurian yang dilakukan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut. Menimbulkan kerugian diatas bisa dikatakan dampak yang timbul daripecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dari ketergantungannya tadi akan zat terlarang tersebut yang harus dihilangkan dan diberi pertolongan akan ketergantungan dengan rehabilitasi ini, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, meskipun jika menyalahgunakan Narkotika merupakan suatu tindak pidana. Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu perbuatan pidana. Perbuatan ini ada yang menimbulkan kerugian secara langsung karena perbuatannya yang dilarang, serta ada yang tidak langsung, seperti halnya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi yang sampai melakukan pencurian karena ketergantungan akan zat terlarang tersebut. Sebagai contohnya perbuatan yang
7 18 dilarang sehingga menimbulkan kerugian langsung adalah Pengedar, Bandar Narkoba, Kurir, dan lain-lain yang berkaitan dengan Pengedaran dan Penggelapan Narkotika yang secara ilegal mengedarkan Narkoba dengan bebas, sampai dijadikan suatu mata pencaharian, yang sasarannya adalah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Selain Narkotika itu sendiri dalam Tindak Pidana Narkotika, juga dikenal yang namanya Prekursor. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor dijelaskan bahwa, Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. Jadi, disini bisa dikatakan, Narkotika sebelum jadi zat Narkotika tersebut juga sudah diatur, dan tidak hanya Narkotika saja yang dapat dikatakan legal, yang mana harus tetap diawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan Prekursor. Karena Prekursor merupakan bahan dari Narkotika itu sendiri, dan tidak boleh disalahgunakan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ialah Pengguna Narkotika yang menggunakan Narkotika tersebut dengan tidak legal. Dalam halnya Narkotika tidak lagi masuk dalam dimensi hukum, tetapi dimensi kesehatan, yang mana setiap orang mempunyai hak untuk hidup sehat dan menjunjung tinggi nilai kesehatan bagi kehidupannya. Jadi bisa dikatakan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika disini adalah orang sakit, yang harus disembuhkan.
8 19 Penggunaan putusan rehabilitasi merupakan sebuah upaya penanggulangan penggunaan Narkotika itu sendiri. Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan yang sedang dalam proses rehabilitasi tidak hanya mendapatkan suatu rehabilitasi secara medis, tetapi secara sosial juga. Secara sosial disini adalah suatu upaya proses pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas Pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa dikatakan, dalam proses rehabilitasi tersebut bukan hanya suatu pengobatan saja, tetapi sama seperti didalam penjara 10, tetapi hanya bahasanya saja diperhalus, karena memang proses rehabilitasi lebih kepada perlindungan kepada penyalahguna Narkotika dengan melindungi sumber daya manusia. Terkait masalah rehabilitasi, terdapat 2 (dua) bentuk penangan pengobatan, tergantung keputusan dari lembaga atau hakim yang berwenang memutuskan, yaitu rehabilitasi inap dan rehabilitasi jalan, seperti penanganan pengobatan pada umumnya pelayanan rumah sakit untuk masyarakat 11. Pengguna Narkotika sampai tahun 2014 ini sudah sekitar delapan belas ribu jiwa, serta Prevalensi dari tahun ke tahun cenderung meningkat 12. Maka harus dipulihkankan dan diberantas. Dengan proses rehabilitasi inilah, maka Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bisa dipulihkan dan diberantas. 10 Wawancara dengan Bapak Yogi, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 23 Juli Wawancara dengan dr. Beny, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 15 Agustus Anang Iskandar, Loc. Cit.
9 20 Terkait dalam hal rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dikenal yang namanya kerangka kerja dekriminalisasi dan depenalsasi, yang akan dibahas pada sub Bab 2.3. Kedua kerangka kerja tersebut bisa dikatakan suatu sanksi secara rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang bedanya adalah bagaimana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut bisa menjalani proses rehabilitasi tersebut. 2.2 Putusan Rehabilitasi Dalam Undang-Undang Narkotika Sebagai Bentuk Pemidanaan Manfaat Putusan Rehabilitasi Dalam Tindak Pidana Narkotika Rehabilitasi adalah suatu upaya berupa tindakan dalam hal memberikan pertolongan untuk melindungi sumber daya manusia agar dapat berubah dan pulih. Dalam rehabilitasi, terbagi kedalam 2 (dua) bentuk, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat 13. Bisa dikatakan rehabilitasi medis merupakan suatu pengobatan medis dan rehabilitasi sosial merupakan suatu pemulihan secara fisik, mental, dan sosial. 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143), Pasal 1 angka 16 dan 17
10 21 Dalam Tindak Pidana Narkotika dikenal dengan suatu proses yang bernama rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya dalam menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan Narkotika. Sehingga bisa dijadikan suatu upaya yang sangat tepat untuk menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan Narkotika itu tadi. Serta para Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga wajib menjalani rehabilitasi, seperti dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Narkotika tadi juga dijelaskan, bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial 14. Jika melihat mengenai ketentuan tentang rehabilitasi, maka jelas bahwa seorang Pecandu Narkotika ataupun seorang Korban Penyalahgunaan Narkotika harus sama-sama menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial itu tadi yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang disini, yaitu Badan Narkotika Nasional dan dari pihak lembaga rehabilitasi, yang mempunyai wewenang juga dalam hal memutuskan tentang apa saja yang diperlukan dan bagaimana penanganan rehabilitasi yang tepat untuk Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut, serta lamanya proses rehabilitasi. Putusan Rehabilitasi merupakan suatu putusan dimana selain Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika mendapatkan efek jera, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga mendapatkan penyuluhan serta pendidikan akan bahaya dari Narkotika itu sendiri, sehingga 14 Ibid, Pasal 54
11 22 Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat kembali kekehidupan normal dimasyarakat. Adapun beberapa kategori ketika Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat dikatakan pulih, sekaligus manfaat dan tujuan dari pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Kategori sekaligus manfaat tersebut yaitu tidak menggunakan Narkotika (Drugs Free), artinya tidak lagi menggunakan zat Narkotika lagi, lalu tidak melakukan tindakan kriminal (Criminalize Free), artinya tidak melakukan tindakan kriminal yang dilarang Undang-Undang, lalu hidup sehat (Healty Life Style), artinya menerapkan gaya hidup yang sehat, dan yang terakhir lebih produktif (Productivity), artinya dapat menjalankan hidup yang lebih produktif lagi dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar 15. Jika keempat kategori tersebut sudah bisa dilaksanakan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, maka baru bisa dikatakan pulih dan dapat kembali kemasyarakat. Melihat keempat kategori tersebut, bisa dikatakan proses rehabilitasi merupakan sebagai proses untuk mencapai beberapa manfaat bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar memenuhi keempat kategori di atas, sehingga dapat kembali dapat hidup normal dalam masyarakat Perbandingan Putusan Rehabilitasi dengan Putusan Pidana Penjara Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 15 Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 18 Agustus 2012
12 23 wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal tersebut jelas menerangkan, pelaku tindak pidana Narkotika yang terindikasi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi. Tetapi rehabilitasi disini juga dilakukan tidak hanya yang melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang tua/wali secara sukarela, tetapi juga yang sudah tertangkap tangan, yang mendapatkan putusan pidana penjara seperta halnya Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juga wajib direhabilitasi seperti halnya yang melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang tua/wali secara sukarela. Putusan Rehabilitasi dan Putusan Pidana Penjara adalah dua bentuk penegakan hukum yang ada dalam Tindak Pidana Narkotika. Jika dikaitkan dengan suatu penegakan hukum, rehabilitasi bisa dikatakan merupakan suatu upaya dalam hal penanggulangan Tindak Pidana Narkotika selain sanksi pidana. Perbedaannya jelas, rehabilitasi kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang melaporkan diri atas kesadaran sendiri atau dilaporkan oleh orang tua/wali 16, sementara untuk sanksi pidana penjara, kepada yang tertangkap tangan oleh Badan Narkotika Nasional/POLRI. Melaporkan atas dasar kesadaran diri sendiri dan tertangkap tangan sama-sama dapat direhabilitasi, tetapi perbedaannya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu untuk yang melapor atas kesadaran sendiri disebut Voluntary dan yang tertangkap tangan terlebih dahulu baru direhabilitasi ketika sudah tertangkap tangan disebut Compulsary Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 143), Pasal 55
13 24 Dalam hal kategori rehabilitasi, baik Voluntary maupun Compulsary, mempunyai perbedaan dalam hal pemberian keputusan mengenai lamanya masa rehabilitasi yang dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Untuk kategori Voluntary, keputusan mengenai lamanya masa rehabilitasi ditentukan oleh pihak Badan Narkotika Nasional, sementara untuk kategori Compulsary, ditentukan atau dijatuhkan dengan putusan hakim yang berwenang. Sehingga bisa dikatakan, untuk kategori Voluntary, adalah hubungan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan lembaga, dimana lembaga yang berwenang memutuskan lamanya masa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, karena dalam kategori Voluntary ini bersifat dengan sukarela agar diberikan pertolongan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar direhabilitasi, sementara untuk kategori Compulsary adalah hubungan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan hakim, dimana hakim yang memutuskan lamanya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika direhabilitasi, yang tecantum dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena kategori ini Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika statusnya sudah tertangkap tangan. Dalam proses atau kegiatan rehabilitasi, baik Voluntary maupun Compulsary, harus tetap menggunakan proses asesmen untuk mengukur sejauh mana kriteria tingkat kecanduan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan 17 Wawancara dengan Ibu Rini, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 23 Juli 2014
14 25 Narkotika. Asesmen disini tetap sama-sama menggunakan Tim Dokter dan Tim Hukum yang ditetapkan oleh Pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota. Dari situlah, mengapa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika lebih baik direhabilitasi dari pada dipenjara, karena Pecandu Narkotika sudah bisa dikatakan masuk keranah kesehatan yang harus dipulihkan, dan pemulihan tersebut, selain memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut harus direhabilitasi, serta karena prevalensi Pecandu di Indonesia ini cenderung meningkat dari tahun ketahunnya, karena memang ada beberapa Pecandu yang setelah dipenjara pun bukan malah dia mendapatkan efek jera, tetapi malah lebih lagi menggunakan zat tersebut, karena kurangnya penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi terhadap bahaya Narkotika tersebut bagi kehidupan, yang mana jika Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut hanya dipenjara, tidak direhabilitasi. Sehingga maka dari itulah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib untuk direhabilitasi, dengan rehabilitasi medis sebagai pengobatan, serta rehabilitasi sosial, sebagai pemulihan fisik, mental, maupun sosial Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Adapun perbandingan putusan rehabilitasi dengan putusan pidana penjara pada bagan dibawah ini.
15 26 Tabel Perbandingan Putusan Rehabilitasi Dengan Putusan Pidana Penjara Putusan Rehabilitasi 1. Diputus oleh lembaga rehabilitasi 2. Yang terindikasi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang mengalami ketergantungan Narkotika dan harus Putusan Pidana Penjara 1. Diputus oleh Hakim 2. Yang terindikasi kurir/bandar/pengedar Narkotika yang melakukan peredaran gelap Narkotika dipulihkan 3. Lebih kepada pemberian pertolongan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 4. Melalui proses asesmen 5. Terdapat proses dimana dilakukan tindakan pengobatan secara medis dan pemulihan secara fisik, mental, maupun sosial kepada Pecandu 3. Lebih kepada pemberian efek jera berupa sanksi pidana penjara kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 4. Tidak melalui proses asesmen 5. Tidak ada proses pengobatan dan pemulihan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 6. Tidak ada remisi atau potongan masa tahanan 6. Ada remisi atau potongan masa tahanan Sumber : Diolah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu; Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
16 27 Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi; Wawancara dengan Bapak Rachman, Staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional; dan Wawancara dengan dr. Beny, Salah Satu Dokter Di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. 2.3 Rehabilitasi Sebagai Bentuk Dekriminalisasi atau Depenalisasi Dekriminalisasi Proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang bisa dikatakan suatu perbuatan jahat karena dilarang dalam peraturan perundangundangan pidana, kemudian pasal tersebut dihapus dari perundang-undangan dan dengan demikian perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan yang dapat dipidana. Dekriminalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum pidana artinya perbuatan tersebut tidak dianggap jahat lagi 18. Dalam dekriminalisasi juga disebutkan bahwa dekriminalisasi ini merupakan seleksi peraturan hukum pidana yang sudah ada. Bisa dikatakan, seleksi ini adalah penyesuaian terhadap kejahatan-kejahatan yang pasalnya dicabut dan tidak lagi merupakan suatu perbuatan jahat, yang mana apabila peraturan yang sudah ada itu tidak dapat dijalankan lagi, bertentangan dengan kedudukan RI, ataupun tidak mempunyai arti lagi Sarwirini, Dekriminalisasi Penyalahgunaan Narkotika (Reorientasi Kebijakan Pemidanaan Bagi Penyalahguna Narkotika), Makalah disampaikan pada Seminar tanggal 24 September 2014, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 19 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana : Pengembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014, h. 233
17 28 Penerapan dekriminalisasi dan depenalisasi adalah sebuah penerapan untuk proses pemulihan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dari proses rehabilitasi tersebut. Perbedaannya, dekriminalisasi adalah proses rehabilitasi yang mana dilaksanakan untuk Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ketika sudah tertangkap tangan dan dilakukan diselasela sanksi pidana itu dilakukan, jadi bisa dikatakan, dalam proses pidana penjara juga ada proses rehabilitasi didalamnya 20. Dalam dekriminalisasi ini proses penjatuhan lamanya rehabilitasi dijatuhi oleh Hakim pengadilan yang berwenang menangani kasus tersebut. Dekriminalisasi merupakan sebuah rehabilitasi, bukan bagian dari sanksi. Rehabilitasi sebagai implikasi kegagalan sanksi pidana mencegah meningkatnya Pengguna Narkotika 21. Bisa dikatakan, rehabilitasi dari kerangka kerja dekriminalisasi ini adalah sebagai upaya pemulihan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan menggunakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam hal dekriminalisasi merupakan suatu upaya, yang dituangkan dalam proses rehabilitasi itu sendiri dengan tidak hanya memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang telah tertangkap tangan, tetapi juga memberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu tadi, yang mana diadakan khusus bagi terpidana Narkotika, agar bisa lebih mengerti lagi bahaya 20 Wawancara dengan Bapak Rachman, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 22 Juli Sarwirini, Loc. Cit., dikutip dari Herbert L. Packer, 1968
18 29 dari Narkotika itu sendiri bagi kehidupan, yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Selain dekriminalisasi, ada satu lagi kerangka kerja dalam hal rehabilitasi, yaitu depenalisasi. Depenalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang dulunya diancam pidana, karena perkembangan masyarakat, ia dianggap bukan perbuatan yang diancam pidana lagi, tetapi sifat perbuatan yang diancam pidana lagi, tetapi sifat perbuatan masih dianggap jahat Depenalisasi Proses depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam pidana, tetapi ancaman pidananya disini dihilangkan, tetapi dapat dituntut dengan sanksi yang lainnya. Dalam hal ini, hanya pidananya yang dihilangkan, tetapi sifat melawan atau melanggar hukumnya tetap dipertahankan. Bisa dikatakan, depenalisasi ini merupakan penghilangan pidana terhadap pelaku, tetapi tetap perbuatannya dianggap melawan atau melanggar hukum. Depenalisasi bisa dikatakan sebuah proses rehabilitasi yang dilaksanakan apabila Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika atau keluarga/wali tersebut melapor kepada pihak yang berwenang dan meminta sendiri untuk direhabilitasi (voluntair), yang melapor secara sukarela. Dalam proses depenalisasi ini, adalah sebuah pelayanan kepada masyarakat untuk menerapkan proses rehabilitasi oleh pihak yang berwenang disini adalah Badan 22 Sarwirini, Loc. Cit.
19 30 Narkotika Nasional kepada masyarakat yang ingin pulih dari ketergantungan terhadap zat Narkotika itu sendiri. Untuk melaksanakan proses ini, perlu adanya suatu tolak ukur terhadap sudah sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang secara sukarela tadi melapor kepada Badan Narkotika Nasional, Pecandu tersebut harus melakukan proses asesmen yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasionaltadi, sebelum akhirnya lamanya proses rehabilitasi ditentukan oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga rehabilitasi yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional. Tim Asesmen terdiri dari Tim Medis dan Tim Hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota, yang mana kedua tim tersebut bersatu dan bernama Tim Asesmen Terpadu 23. Adapun mekanisme pelaporan yang ada dalam kerangka kerja depenalisasi ini bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ini yang melapor secara sukarela kepada Badan Narkotika Nasional untuk direhabilitasi. Mekanisme pelaporan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) cara, yaitu 24 : 23 Peraturan Bersama Ketua Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional Republik IndonesiaTahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara RI Nomor 465 Tahun 2014) 24 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 46)
20 31 1. Pecandu melaporkan dirinya secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), akan menjalani proses kondisi pecandu Narkotika, yang meliputi aspek medis dan sosial. Asesmen dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis terhadap pecandu Narkotika. Wawancara tersebut meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial pecandu Narkotika. Setelah persyaratan administrasi lengkap, pecandu akan langsung ditempatkan ke pusat terapi dan rehabilitasi yang telah disepakati oleh pecandu Narkotika, orang tua/wali, atau keluarga pecandu Narkotika dan pimpinan IPWL tanpa melalui proses hukum. 2. Bagi pecandu yang sudah ditangani oleh penyidik, juga, akan menjalani proses asesmen terlebih dahulu. Selanjutnya hasil asesmen tersebut dikaji oleh Deputi Pemberantasan dan Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, apakah pelapor tersebut berhubungan dengan jaringan Narkoba atau pengguna Narkoba murni. Jika dia dinyatakan memiliki jaringan Narkoba, maka selanjutnya akan ditangani oleh hakim yang menangani kasus tersebut melalui proses peradilan. Melihat dari mekanisme diatas, depenalisasi merupakan sebuah penerapan rehabilitasi medis maupus sosial yang mana bersifat voluntair yang diberikan oleh Badan Narkotika Nasional kepada Pecandu Narkotika dan Korban
21 32 Penyalahgunaan Narkotika yang ingin pulih agar bisa kembali pulih. Seperti tujuan rehabilitasi juga yaitu sebagai suatu upaya dalam penanggulangan Tindak Pidana Narkotika, yang mana rehabilitasi merupakan suatu kegiatan pengobatan dan kegiatan pemulihan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar dapat mengerti tentang bahaya Narkotika itu sendiri dengan mendapatkan penyuluhan dan pendidikan serta efek jera dari perbuatannya, sehingga dapat pulih dan tidak mengulangi perbuatannya lagi untuk hidup yang lebih baik lagi. Melihat kedua kerangka kerja dekriminalisasi dan depenalisasi, ada suatu kesamaan dari kedua kerangka kerja tersebut. Yaitu kedua kerangka kerja diatas merupakan sebuah upaya untuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang mana sama-sama melaksanakan penerapan pengobatan serta pemulihan dengan cara rehabilitasi. Cuma hanya bedanya dekriminalisasi diputus oleh hakim terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dimana suatu kejahatan karena dilarang oleh Undang-Undang pidana, tetapi pasal yang mengatur dicabut, dan bukan lagi dianggap suatu perbuatan pidana, sementara depenalisasi adalah Pecandu yang melaporkan diri secara sukarela atau dilaporkan oleh orang tua/wali untuk dilakukan rehabilitasi kepada Pecandu tersebut, yang mana disini pidananya dihilangkan, dan diganti proses rehabilitasi dalam hal penanganan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, tetapi perbuatan melawan hukum atau melanggar hukumnya tetap ada.
22 33 Rehabilitasi disini bukan merupakan suatu sanksi, rehabilitasi adalah bentuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika baik secara medis maupun secara sosial. Karena sesungguhnya, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bukan pelaku kejahatan, melainkan orang yang sakit dan bisa dikatakan korban dari Narkotika itu sendiri. Lain halnya dengan bandar, kurir, atau pengedar Narkoba itu sendiri, mereka yang harus diberantas, karena merekalah pelaku kejahatan dari Tindak Pidana Narkotika yang sesungguhnya. Sehingga Pengguna Narkoba lebih baik direhabilitasi daripada dipenjara. Dalam proses rehabilitasi ada beberapa penerapan proses rehabilitasi yang akaan dijelaskan lebih rinci dalam Bab 3. Tetapi ada beberapa tahapan yang harus diketahui sebelum berlanjut masuk Bab 3. Tahapan rehabilitasi yaitu berawal dari proses asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu, yaitu Tim Medis dan Tim Hukum, setelah melaksanakan proses asesmen tersebut, Pecandu Narkotika telah mendapatkan tolak ukur, sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut mengetahui dan mengonsumsi Narkotika. Lalu, setelah proses asesmen tersebut, masuklah kedalam proses rehabilitasinya itu sendiri, sesuai kebijakan lembaga rehabilitasi. Dalam proses rehabilitasi ini, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika proses dan lamanya rehabilitasi sesuai hasil asesmen yang dikeluarkan oleh Tim Asesmen Terpadu beserta pihak lembaga rehabilitasi yang berwenang. Setelah itu, ada masanya suatu percobaan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dikembalikan kemasyarakat, artinya suatu percobaan untuk
23 34 bersosialisasi kembali ke masyarakat luar. Dan sampai akhirnya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dikatakan pulih dan bisa kembali kekehidupan normal lagi 25. Jadi, rehabilitasi disini, jika merujuk kepada tujuan dari hukum pidana itu sendiri untuk melindungi masyarakat 26, yang mana disini yang dilindungi adalah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan cara rehabilitasi yang merupakan suatu upaya, selain memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dalam proses rehabilitasi ini juga diberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika terhadap bahaya Narkotika bagi kehidupan yang bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap yang menyalahgunakannya, serta pemulihan disini bertujuan agar Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu sendiri dapat kembali kekehidupan normal seperti biasanya yang sehat dan terbebas dari Narkotika itu sendiri. Yang mana, disini dalam penerapannya, depenalisasilah yang menjadi suatu proses yang akan dibahas dalam rehabilitasi ini, karena merupakan suatu rehabilitasi yang bersifat penal dan voluntair, artinya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika secara sukarela memohonkan agar dapat direhabilitasi sehingga dapat pulih dan mengerti akan bahaya Narkotika yang nantinya tidak menjadi Pecandu Narkotika lagi. 25 Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, Tgl 18 Agustus Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1994, h
BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan
BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan Penyalahgunaan Narkotika merupakan suatu bentuk kejahatan.
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak Pidana Narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Tersebarnya peredaran gelap Narkotika sudah sangat banyak memakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.465, 2014 PERATURAN BERSAMA. Penanganan. Pencandu. Penyalahgunaan. Narkotika. Lembaga Rehabilitasi. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciPERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENANGANAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA PENYALAH GUNA, KORBAN PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,
1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.844, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Rehabilitasi. Penyalahgunaan. Pencandu. Narkotika. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 2009 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 2009 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa salah tujuan dari pengaturan narkotika adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan dan studi ilmiah sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan kajian-kajian per bab yang telah Penulis uraiakan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Mengenai Kualifikasi Tindak Pidana terhadap Penyalahguna Narkotika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dewasa ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini peredaran narkotika semakin merajalela dikarenakan Indonesia bukan lagi tempat transit, tetapi menjadi sasaran pemasaran, dan bahkan tempat produksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika sebagai bentuk tindakan yang melanggar hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
Lebih terperinciKEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA S. Dimas Aryo K., S.Psi. Program Manager Rumah Damping Siloam Yogyakarta 2016 APA SIH HUKUM ITU? KEADILAN KEPASTIAN BAGAIMANA PERATURAN DIBENTUK
Lebih terperinciUPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga
BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi politik, sosial budaya, kriminalitas
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena peredarannya melingkupi disemua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan
Lebih terperinciSARWIRINI. Seminar Kerjasama Badan Penanggulangan Narkotika Nasional dan Fakultas hukum Universitas Airlangga Surabaya, 24 September 2014
RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI LANDASAN FILOSOFI REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA (Implikasi Hasil Penelitian di Lapas Anak Blitar, Lapas Wanita Malang, Lapas Umum Porong, Lapas Narkotika Madiun, dan Lapas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peredaran narkoba secara tidak bertanggungjawab sudah semakin meluas dikalangan masyarakat. Hal ini tentunya akan semakin mengkhawatirkan, apalagi kita mengetahui yang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.844, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Rehabilitasi. Penyalahgunaan. Pencandu. Narkotika. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea Ke Empat yang menyebutkan bahwa tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah melindungi segenap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini merupakan ancaman yang serius bukan saja terhadap kelangsungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi individu, masyarakat, bahkan negara. Gagal dalam studi,gagal dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari semakin memprihatinkan terlebih di Indonesia. Narkotika seakan sudah menjadi barang yang sangat mudah
Lebih terperinciSOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA
SOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA PECANDU ATAU PENYALAHGUNA NARKOBA SILAHKAN MELAPOR/DATANG KE BNNP BANTEN TIDAK AKAN DIPIDANAKAN/DIPENJARAKAN TERMINOLOGI KELUARNYA
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan
BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting, penyalahgunaan narkotika dapat berdampak negatif, merusak dan mengancam berbagai aspek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil dan makmur, sejahtera, tertib dan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
Lebih terperinciBAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
43 BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA A. Sejarah Undang-undang Narkotika Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 9
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan narkoba memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial ekonomi, politik, sosial,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Indonesia memiliki banyak keanekaragaman budaya dan kemajemukan masyarakatnya. Melihat dari keberagaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat merusak, baik merusak mental maupun moral dari para pelakunya, terlebih korban yang menjadi sasaran peredaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman reformasi sekarang ini, berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan semakin meningkat. Dapat kita amati dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1961, 2015 KEJAGUNG. Lembaga Rehabilitasi. Pecandu. Korban. Narkoba. Penanganan. Juknis. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 029/A/JA/12/2015 TENTANG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.
Lebih terperinciBAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah
Lebih terperinci2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan
No.1942, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Standar Pelayanan Rehabilitasi. PERATURAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG STANDAR PELAYANAN REHABILTASI BAGI
Lebih terperinciBUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015
BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA
Lebih terperinciDalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :
Apa sanksi hukum penyalahguna narkoba? Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut : Pasal 111 UU RI No. 35 Tahun 2009 [bagi tersangka kedapatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu
A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Bahaya narkotika di Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Sehingga Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas
Lebih terperinciNo II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5419 KESEHATAN. Narkotika. Penggunaan. Larangan. Aturan Pelaksanaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 96) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
Lebih terperinci3 Badan Narkotika Provinsi Sulut, Op Cit, h.43 4 Pasal 1 angka 16 UU No 35 tahun 2009 tentang
TATA CARA PELAKSANAAN WAJIB LAPOR SERTA REHABILITASINYA BAGI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DITINJAU DARI UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 1 Oleh: Fernando Aditya Polii 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA UMUM Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, Kemauan,
Lebih terperinciBUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciInstitute for Criminal Justice Reform
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang oleh karena itu segala
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V A. Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Rehabilitasi Kepada Pengguna Narkotika, maka penulis dapat memberikan kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika akhir-akhir ini telah menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai implikasi dan dampak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciSTRUKTUR ORGANISASI BNNK SLEMAN
STRUKTUR ORGANISASI BNNK SLEMAN KEPALA Drs. Kuntadi, M.Si KEPALA SUBBAGIAN UMUM Dra Giyarni Perencana, Program, dan Anggaran Wasisno, S. Kom Pengadministrasi Umum Andree Kusuma Bendahara Pengeluaran Kabul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Nullum delictun, nulla poena sine praevia lege poenali yang lebih dikenal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perbuatan hanya dapat dikenakan pidana jika perbuatan itu didahului oleh ancaman pidana dalam undang-undang. Artinya bahwa suatu perbuatan hanya dapat dikenai
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN REHABILITASI SOSIAL PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI DALAM LEMBAGA REHABILITASI
Lebih terperinciPELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK
1 PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK Penyalahgunaan narkoba sebagai kejahatan dimulai dari penempatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika
Lebih terperinci2014, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega
No.303, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pelayanan. Lembaga Rehabilitasi Narkoba. Komponen Masyarakat. Pelaksanaan. Penelitian. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
Lebih terperinciPENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 MUHAMMAD AFIED HAMBALI Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta PROCEDDING A. Latar Belakang. Penyalahgunaan narkoba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan Narkotika dan Psikotrapika, merupakan kejahatan kemanusiaan yang berat, yang mempunyai dampak luar biasa, terutama pada generasi muda suatu bangsa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan peninggalan yang tidak ternilai harga dari para pejuang terdahulu. Sebagai generasi penerus bangsa selayaknya jika kita mengisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepentingan pengobatan manusia, yaitu sebagai obat untuk mengobati suatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah narkotika pada mulanya adalah zat yang dipergunakan untuk kepentingan pengobatan manusia, yaitu sebagai obat untuk mengobati suatu penyakit, danreaksi dari zat
Lebih terperinciREHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.
REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.GSK) Oleh : Arkisman ABSTRAK Narkotika adalah obat/ bahan berbahaya, yang
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,
Lebih terperinciBAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 A. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak kejahatan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dengan dibentuknya Undangundang Nomor 35 Tahun
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENILAIAN PELAKSANAAN PELAYANAN LEMBAGA REHABILITASI NARKOTIKA KOMPONEN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA
Lebih terperinciSKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)
SKRIPSI UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang) Diajukan Untuk Memenuhi Sebahagian Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN LEMBAGA REHABILITASI SOSIAL BAGI PECANDU DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
Lebih terperinciUpaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015 Permasalahan narkotika merupakan salah satu permasalahan global yang selalu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang
Lebih terperinciREHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Oleh : Made Ana Wirastuti I Ketut Suardita Hukum Pidana, Fakultas Hukum Program Ekstensi
Lebih terperinciPenerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan
1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL YANG DISELENGGARAKAN OLEH PEMERINTAH/ PEMERINTAH
Lebih terperinci2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2
No.1438, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Lembaga Rehabilitasi Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika I. PEMOHON Sutrisno Nugroho Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal
Lebih terperinci