BAB II. Pengaturan Hukum positif Indonesia mengenai Perdagangan Organ Tubuh Manusia. A. Pengaturan Tentang Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Pengaturan Hukum positif Indonesia mengenai Perdagangan Organ Tubuh Manusia. A. Pengaturan Tentang Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut"

Transkripsi

1 BAB II Pengaturan Hukum positif Indonesia mengenai Perdagangan Organ Tubuh Manusia A. Pengaturan Tentang Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut Ketentuan KUHPidana Pada Bab VII Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang. Di dalam KUHPidana tidak diatur secara langsung mengenai perdagangan organ tubuh manusia, tetapi mengatur tentang memperjualbelikan barang yang diketahui membahayakan nyawa dan jiwa. Dalam pasal 204 KUHPidana membahas tentang sanksi pidana bagi yang memperjualbelikan barang yang diketahui membahayakan nyawa atau kesehatan orang. Pada pasal 206 KUHPidana ditambah dengan pidana tambaha berupa pencabutan terhadap hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. 40 Pasal 204 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Pada pasal tersebut yang menjadi unsur subjektifnya adalah yang diketahuinya, dan yang menjadi unsur objektifnya adalah: 40 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal

2 32 a. Barang siapa, b. Menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang berbahaya, c. Pidana penjara maksimum 15 tahun dan dirumuskan tungal, artinya tidak ada pidana tambahan Unsur subjektif merupakan unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Dalam asas hukum pidana menyatakan tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan (an act does not make a person gulty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea). 41 Unsur subjektif pada pasal 204 KHUP yaitu yang diketahui artinya dimengertinya sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya). 42 Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). pada umumnya kealpaan mempunyai dua unsur: 43 ini terdiri atas: 1. Tidak berhati- hati 2. Dapat diduganya akibatnya Unsur objektif merupakan unsur yang berasal dari luar diri pelaku, unsur a. Perbuatan manusia, berupa: act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif dan omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan; b. Akibat (result) perbuatan manusia: akibat tersebut yang membahyakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang 41 Trini Handayani, Op. Cit., hal Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Amelia, Surabaya, 2005, hal Sudarto, Op. Cit., hal 125.

3 33 dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormataan, dan sebagainya; c. Keadaan-keadaan (circumstances): keadaan pada saat perbuataan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan; d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum: sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan suatu perintah. Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat mengakibatkan terdakwa dibebaskan pengadilan. 44 Sebagaimana dapat dijelaskan secara sederhana dalam bagan di bawah ini: PERUMUSAN DELIK perumusan delik sifat melawan hukum sifat tercela dipidana Pembentuk Undang-undang bertolak dari membuat rumusan delik, apabila sudah jelas rumusan deliknya, dapat dituduhkan kepada pelaku dan dibuktikan. Jenis rumusan delik ini ada dua, yaitu rumusan formal dan rumusan materiil. Delik formal menekankan pada perbuatannya, sedangkan delik materiil, yang dilarang dan dapat dipidana adalah apabila menimbulkan akibat tertentu. Sedangkan sifat melawan hukum atau kesalahan merupakan unsur dari Undangundang. Sifat tercela merupakan suatu sifat dapat dipidananya seseorang karena 44 Leden Marpaung, Op. Cit., hal 9-10.

4 34 orang tersebut dapat bertanggungjawab, sebaliknya tidak ada sifat tercela apabila perbuatan itu sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada sipembuat. Sebagaimana ketentuan pasal 44 KUHPidana: barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawanbkan padanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 45 Unsur objektif dalam rumusan pasal 204 KUHPidana adalah menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang berbahaya. Dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) menjual artinya memberikan sesuatu kepada orang lain untuk memperoleh uang pembayaran atau menerima uang. Menawarkan artinya menunjukkan sesuatu kepada,dan memasang harga. Menyerahkan artinya memberikan (kepada); menyampaikan (kepada), memberikan dengan penuh kepercayaan, memasrahkan. Membagi-bagikan berarti memberikan kepada orang banyak. Barang merupakan benda, sesuatu yang berwujud: benda cair, benda keras, dan sebagainya. Berbahaya brarti ada bahayanya (mendatangkan kecelakaan, dapat berupa bencana, kesengsaraan, kerugian dan sebagainya), mendatangkan bahaya, dalam keadaan terancam bahaya. 46 Dalam pasal 204 KUHPidana, perbuatan menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang berbahaya termasuk pada delik formil. Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. 47 Sedangkan perbuatan mengakibatkan orang mati termasuk delik materiil yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang 45 Trini Handayani, Op.Cit., hal Dessy Anwar, Op. Cit., hal Sudarto, Op. Cit., hal 57.

5 35 tidak dikehendaki (dilarang) dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang. 48 Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. 49 Unsur subjektif berupa adanya kesengajaan atau kealpaan sedangkan unsur objektif meliputi perbuatan manusia, akibat yang ditimbulkan, adanya sifat melawan hukum serta keadaan yang menyertainya. Dihubungkan dengan tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia, rumusan pasal ini tidak mengatur secara langsung tentang perdagangan organ tubuh manusia. Perbuatan menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang berbahaya yang disebutkan dalam pasal ini merupakan delik formil, yaitu menitik beratkan pada perbuatan tersebut. Maka orang yang menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang dapat dikenakan ancaman pidana. Tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sadar akan membahayakan kesehatan bahkan nyawa korban yang diambil organ tubuhnya. Sehingga seseorang yang melakukan perbuatan menjual, menawarkan, dan menyerahkan organ tubuh manusia dapat dikenakan ancaman pidana sekalipun perbuatan tersebut tidak sampai mengakibatkan suatu akibat. Tindakan mengakibatkan orang mati yang tertulis dalam ayat 2 (dua) pasal ini merupakan delik materiil dan termasuk delik yang ada pemberatannya (gequalificeerde delict). 50 Maka seseorang hanya dapat dikenakan pidana pemberatan apabila telah mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Seperti 48 Leden Marpaung, Op. Cit., hal Ibid. 50 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 57.

6 36 yang tertulis dalam Pasal 204 KUHPidana ayat (1) terhadap Pasal 204 KUHPidana ayat (2) disertai dengan pemberatan pidana karena adanya syaratsyarat tertentu. Jadi pelaku perbuatan perdagangan organ tubuh manusia yang diketahui dapat membahayakan kesehatan bahkan nyawa korban hanya dapat dikenakan pemberatan pidana apabila korban meninggal dunia diakibatkan oleh pengambilan organ tubuh korban. B. Pengaturan Tentang Perdagangan Organ Tubuh Manusia di luar KUHPidana a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan (pasal 4). Kesehatan merupakan hal yang penting dalam hidup manusia. Kesejahteraan manusia juga dapat dicapai apabila mempunyai tubuh yang sehat. Untuk mencapai kesehatan tersebut banyak orang menggunakan berbagai cara untuk dapat mencapainya bahkan sampai mengorbankan kesehatan orang lain. Untuk menghindari penyimpangan yang dapat terjadi maka hal tersebut perlu adanya pengaturan yang mengatur hal tersebut dalam undang-undang ini. Poin menimbang yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdiri dari 5 dasar pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu: 1. Kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur kesejahteraan, 2. Prinsip kegiatan kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan.

7 37 3. Kesehatan adaah investasi. 4. Pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Di dalam konsideran Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 secara jelas disebutkan bawah kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertera di dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dijelaskan kesehatan adalah : Keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dilihat dari azas dan tujuan, di dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dijelakan, pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan nondiskriminal dan norma-norma agama. Sedangkan tujuan pembangunan kesehatan berdasarkan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2009, pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaraan, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,

8 38 sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Perdagangan organ tubuh diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang tertuang dalam Pasal 64, dan Pasal 192. Sedangkan ketentuan sanksi pidana diatur dalam ketentuan Pasal 192 pada undang-undang ini. Pasal 64 Undang-Undang ini berbunyi : 1. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca. 2. Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. 3. Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. Pada Pasal 64 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini mengatur tentang penyembuhan penyakit maupun pemulihan penyakit melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implant obat dan/atau alat kesehatan serta bedah plastik dan rekonstruksi maupun penggunaan sel punca (stem cell). Selain itu juga ada tujuan kemanusiaan. Pada ayat (3) merupakan penjelasan tentang perbuatan jual beli organ dan/atau jaringan tubuh yang dilarang dan dijelaskan sanksi pidananya pada Pasal Trini Handayani, Op. Cit., hal 97.

9 39 Pasal 64 ayat (2) dan (3) dijelaskan bahwa, organ tubuh yang digunakan guna keperluan medis tidak diperbolehkan untuk tujuan komersialisasi. Komersialisasi yang dimaksud dari pasal tersbut adalah mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yang dilakukan oleh dokter atas tindakan medisnya yang mengakibatkan biaya yang dibutuhkan terlampau tinggi sehingga tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Selain itu, dalam pengadaan organ donor hanya diperbolehkan mendapatkan organ tersebut dari pendonor organ yang rela organnya diambil secara sukarela. Dan tidak diperbolehkan mendpatkan organ tersebut dengan cara-cara ilegal seperti mencuri dari orang yang telah mati ataupun membeli dari orang yang menginginkan organnya tau organ orang lain dijual demi mendapatkan keuntungan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juga mengatur ketentuan pidana mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia. Pasal 192 Undang-Undang ini berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 (satu miliar rupiah). Unsur-Unsur yang terdapat dalam rumusan pasal ini adalah : a. Unsur Subjektif : Dengan sengaja b. Unsur Objektif : Memperjual belikan organ tubuh atau jaringan tubuh Ketentuan pasal ini menjelaskan bahwa memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun akan mendapat sanksi. Sanksi pidana berupa pidana paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu milyar rupiah.

10 40 Pada pasal ini merupakan perumusan kumulatif dari Pasal 64 ayat (3) yang mengatur tentang larangan jual beli organ tubuh, sedangkan sanksinya dirumuskan pada pasal 192 Undang-Undang Nomor 36 Tahun Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah dipahami bahwa di dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan penjualan organ tubuh manusia dilarang dan bagi siapa saja yang terbukti bersalah melakukan jual beli organ tubuh manusia, maka pelakunya dapat dikenakan pidana. Pencantuman pasal 64 dan pasal 192 pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan salah satu cara pemerintah untuk melindungi resipien dari praktek-praktek ilegal dan untuk memberikan jaminan kesehatan bagi penderita atau resipien untuk mendapatkan organ yang dibutuhkannya demi kesembuhan penyakitnya. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsipprinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi: non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap hak anak. 53 Sesuai dengan Pasal 3 UU No.23 Tahun 2002, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, 52 Ibid. Hal Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 2

11 41 serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Anak sangat rentan terhadap tindakan eksploitasi dalam rangka pengambilan organ tubuh. Maka sebagai upaya menghindari hal tersebut telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 47 berbunyi : (1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain. (2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan : a. Pengambilan organ tubuh anak dan atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak. b. Jual beli organ dan atau jaringan tubuh anak; dan c. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik untuk anak. Pada Pasal 47 UU No 23 Tahun 2002 ini menjelaskan bahwa kewajiban negara, pemerintah, keluarga maupun orang tua dalam melindungi anak dari perbuatan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, jual beli organ tubuh atau jaringan tubuh anak serta penelitian kesehatan dengan objek penelitiannya menggunakan anak. 54 Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 47 disebutkan dalam Pasal 85 yang berbunyi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ( dua ratus juta rupiah ). Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini adalah: a. Unsur subjektif: Yang secara melawan hukum. 54 Trini Handayani, Op. Cit., hal 95

12 42 b. Unsur objektif: Negara, pemerintah, keluarga, setiap orang, transplantasi, jual beli organ dan/atau jaringan tubuh dengan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. 55 Sifat melawan hukum tidak hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan apa juga yang bertentangan dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat. 56 Lamintang menjelaskan, bahwa suatu perbuatan hanya dapat dipandang bersifat wederrechtelijk (melawan hukum) apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan suatu delik menurut Undang-undang. 57 Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk transplantasi merupakan perbuatan melawan hukum karena memenuhi unsur dalam rumusan delik. Transplantasi merupakan kegiatan pemindahaan jaringan tubuh daru suatu tempat ke tempat lain atau pentransplantasi. 58 Pasal 85 UU No.23 Tahun 2002 : (1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun (lima belas tahun) dan/atau denda paling banyak Rp. 300,000,000 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan 55 Sudarto, Op. Cit., hal Leden Marpaung, Op. Cit., hal Ibid. 58 Dessy Anwar, Op. Cit.,hal 372.

13 43 kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai obyek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidan de ngan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200,000,000 (dua ratus juta rupiah). Unsur-unsur dalam pasal ini adalah: a. Unsur subyektif dalam pasal ini adalah: yang secara melawan hukum. Melakukan berarti mengerjakan, mengadakan suatu perbuatan/tindakan. b. Unsur obyektifnya adalah jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh, pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh, sanksi pidana penjara paling lama lima belas tahun dan/atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah bagi yang melakukan jual beli organ tubuh manusia. Sedangkan bagi yang mengambil organ tubuh, sanksi pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Perdagangan Orang. Maraknya perdagangan manusia yang terjadi, berimbas pada terjadinya juga perdagangan organ tubuh manusia. Dimana, terjadinya perdagangan organ tubuh mausia ini memang sulit dihindarkan karena untuk memenuhi permintaan dari para penderita yang sangat membutuhkan organ tubuh yang sehat untuk menggantikan organ tubuhnya yang sudah tidak berfungsi dengan baik.

14 44 Dalam upaya mengantisipasi semakin maraknya perdagangan orang yang bertujuan untuk diperdagangkan organ tubuh korban, maka pemerintah Indonesia menyusun, membuat, mensahkan dan memberlakukan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Undang-undang ini mengatur tentang larangan untuk memperdagangkan organ tubuh manusia, hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 7 dan pasal 2, 3, 4, 5, 6, dan pasal 7, dimana dalam pasal-pasal ini tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia sudah termasuk di dalamnya. Pengaturan dalam hal pelarangan tertera pada pengaturan Pasal 2 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,-(Enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan Undang-undang ini disebutkan : Ayat (1) : Dalam ketentuan ini, kata untuk tujuan sebelum frasa mengeskploitasi orang tersebut menunjukan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil,

15 45 yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dioenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Berdasarkan penjelasan pasal 2 tersebut dapat diketahui bahwa rumusan kata untuk tujuan dalam rumusan pasal ini dikatakan bahwa pasal tersebut masuk dalam kategori delik formil. Delik formil adalah yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. 59 Berdasarkan pasal ini dikatakan ketika unsur-unsur dalam tindak pidana perdagangan orang telah dipenuhi maka dapat dikenakan sanksi pidana tanpa harus menimbulkan akibat. Unsur-unsur dalam pasal tersebut yakni: a. Unsur subyektif: setiap orang, sengaja melakukan. b. Unsur obyektif: melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi nayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia. Unsur pada pasal ini yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur pendukung delik formil yaitu terdapat pada unsur obyektif. Dimana unsur obyektif 59 Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hal 97.

16 46 merupakan unsur yang berasal dari luar diri manusia, berupa akibat, tindakan, keadaan-keadaan dan sifat melawan hukum. Rumusan pasal jika seseorang telah melakukan perbuatan perrekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, penipuan, penjeratan utang, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, atau memperdagangkan organ tubuh manusia akan mendapat hukuman penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Ketika salah satu perbuatan-perbuatan diatas telah terpenuhi maka sudah dapat dipidana tanpa melihat dulu akibat yang di timbulkan oleh perbuatan tersebut. Pengaturan pada ayat dua pasal ini mengancam untuk tindak pidana yang menimbulkan akibat seseorang tereksploitasi. Apabila dapat dibuktikan bahwa telah terjadi eksploitasi terhadap seseorang maka pelaku tindak pidana tersebut dapat diancam pidana seperti ketentuan pada ayat satu. Penjatuhan pidana dilakukan setelah terjadinya akibat dari suatu peruatan di karenakan pada ayat dua pasal ini merupakan delik materiil. Delik materiil merupakan perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana ketika perbuatan tersebut menimbulkan akibat tertentu. Peraturan mengenai perdagangan organ tubuh manusia dalam undang-undang ini terdapat pada defenisi eksploitasi, menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 menjelaskan definisi eksploitasi, yaitu: Eksploitasi adalah Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau, praktik, semacam, perbudakan, penindasan, pemerasan,pemanf atan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara hukum memindahkan

17 47 atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Pada definisi eksploitasi terdapat rumusan perbuatan yang dapat di pidana berupa pemindahan atau mentransplantasikan organ/jaringan tubuh untuk mendapat keuntungan baik materiil maupun immateriil. Ketentuan pelarangan lainnya tertera pada rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, yang berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilyah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (Enam ratus juta rupiah). Unsur-unsur dalam pasal tersbut : a. Unsur Subjektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Objektif : memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia, dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau di wilayah negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Unsur subyektif dari rumusan pasal ini adalah segaja sebagai maksud, karena pasal rumusan pasal ini menggunakan kalimat dengan maksud. Dengan demikian setiap orang yang dengan sengaja dan memiliki maksud untuk memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk

18 48 dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain maka dapat dikenakan pidana sesuai rumusan pasal ini. Jika dikaitkan dengan perdagangan organ tubuh manusia, maka sesuai dengan ketentuan pasal ini maka hukuman dapat dijatuhkan bukan hanya kepada perbuatan mengeksploitasi atau menjual organ tubuh manusia namun juga kepada perbuatan yang mendatangkan seseorang ke Indonesia dengan tujuan untuk diperdagangkan organ tubuhnya. Pada ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 ini berbunyi : Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (Enam ratus juta rupiah). Unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam rumusan pasal ini adalah: a. Unsur Subyektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Obyektif : membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia, untuk diekploitasi di luar wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan pasal ini maka yang menjadi unsur kesalahan dalam rumusan pasal ini yaitu sengaja dengan maksud. Dalam pasal ini yang perbuatan yang dikhususkan yakni perbuatan membawa warga negara Indonesia dengan tujuan untuk di eksploitasi. Dalam ketentuan pasal ini perbuatan mengeksploitasi warga negara Indonesia akan dapat diancam hukuman pidana sekalipun dilakukan di luar wilayah Indonesia.

19 49 Pada pasal 5 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (Enam ratus juta rupiah) Unsur-unsurnya yang terdapat dalam pasal 5: a. Unsur Subyektif : setiap orang, dengan maksud. b. Unsur Obyektif : pengangkatan anak, menjanjikan sesuatu atau memberi sesuatu, dipenjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Pada rumusan pasal ini mengatakan bahwa adanya larangan mengangkat anak dengan maksud untuk dieksploitasi. Karena rumusan pasal ini merupakan rumusan delik formil maka ketika telah dilakukannya perbuatan pengangkatan anak dengan maksud untuk dieksplotasi maka telah dapat dikenakan ancaman pidana bagi siapa yang melakukan perbuatan tersebut tanpa adanya akibat dari perbuatannya. Sehingga ketika seseorang melakukan perbuatan pengangkatan anak dengan maksud untuk memperjual belikan organ tubuh sang anak maka pelaku dapat dikenakan ancaman pidana. Terdapat perbedaan defenisi anak di Indonesia. Menurut Convention on right of the child (Konvensi Hak anak) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yang dimaksud dengan anak dalam konvensi ini adalah: semua orang yang di bawah umur 18 tahun. Kecuali undang-undang menetapkan kedewasaan dicapai lebih

20 50 awal.. menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Defenisi anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan. Defenisi anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah yang telah mencapai usia 8 tahun akan tetapi belum mencapai 18 tahun. Defenisi anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah (dalam hal ini anak yang berkonflik dengan hukum) seseorang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Pengaturan lain mengenai perdagangan organ tubuh manusia dimuat juga dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yaitu : Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp ,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp ,-(Enam ratus juta rupiah) Rumusan pasal ini merupakan rumusan delik materil sehingga perbuatan dapat dikenakan ancaman pidana apabila perbuatan tersebut telah mengakibatkan hal yang dilarang dalam pasal tersebut. Dalam pasal ini dikatakan bahwa dilarang mengakibatkan anak tereksploitasi. Ketika suatu perbuatan pengiriman anak keluar negeri atau kedalam negeri mengakibatkan anak tereksploitasi maka pelaku dalam dikenakan ancaman pidana. Bahkan ketika seseorang melakukan perbuatan pengiriman anak tanpa tujuan untuk mengeksploitasi anak namun anak merasa

21 51 tereksplotasi maka pelaku perbuatan pengiriman anak dapat diancam pidana sesuai dengan pasal tersebut. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 berbunyi : (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 (2) Jika tindak pidana sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp ,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp ,- (Lima milyar rupiah). Dalam penjelasan mengenai ketentuan Pasal 7 adalah : Ayat (1) Yang dimaksud dengan luka berat dalam ketentuan ini adalah: a. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; c. kehilangan salah satu pancaindera; d. mendapat cacat berat; e. menderita sakit lumpuh; f. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau

22 52 g. gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi. Menurut Jonkers bahwa dasar Umum strafverhogingsgroden, atau dasar pemberatan penambahan pidana umum adalah : Kedudukan sebagai pegawai negeri Unsur-unsur pegawai negeri sebagai berikut : a. Pengangkatan oleh pejabat yang berwenang; b. Memegang suatu jabatan tertentu; c. Melaksanakan sebagian tugas Negara dan badan-badannya; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. 2. Residive (pengulangan delik) 3. Semenloop (gabungan atau pembarengan dua atau lebih delik) atau concurus. Pemberatan pidana sebagaimana diungkapkan Jonkers memang tidak dimuat pada rumusan Pasal 7 undang-undang tersebut. Namun dalam rumusan pasal ini memuat ketentuan penambahan hukuman pidananya apabila korban menderita luka berat. Luka berat yang dimaksud sesuai dengan luka berat pada penjelasan pasal 7 (tujuh) undang-undang ini. Pemberatan pidana diberikan dengan 60 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesiadan Perkembangannya, Sofmedia, Jakarta, 2012, hal 324.

23 53 menambah ancaman pidana sepertiga dari ancaman pidana untuk dari ketentuan Pasal 2 ayat 2, Pasal 4, 5, dan Pasal 6. Sedangkan apabila perbuatan pengeksploitasian mengakibatkan korban meninggal dunia maka ancaman hukuman bagi pelaku bertambah menjadi paling singkat 5 tahun dan paling lama penjara seumur hidup. Pengaturan hukum yang mengatur mengenai perdagangan organ tubuh manusia yang diatur di dalam dan diluar kuhp melarang perdagangan organ tubuh manusia. Di dalam kuhp sendiri belum secara jelas melarang adanya perbuatan perdagangan organ tubuh manusia, begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang yang memasukkan perdagangan organ tubuh kedalam tindakan eksplotasi terhadap orang. Dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur dengan jelas bahwa organ tubuh manusia dilarang untuk diperdagangkan dalam kondisi apapun juga. Peraturan ini merupakam peraturan yang dengan jelas mengatur larangan untuk memperdagangankan organ tubuh manusia sehingga sangat bagus untuk digunakan untuk menanggulangi perdagangan organ tubuh manusia yang semakin marak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 juga mengatur secara jelas tentang perdagangan organ tubuh manusia yang korbannya merupakan anak-anak dibawah umur. Tepatnya pada Pasal 47,84, dan pasal 85.

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1. TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1 Abstraksi Perdagangan manusia di Indonesia merupakan suatu fenomena yang luar biasa

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 77 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan : a. diskriminasi terhadap anak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP Di dalam kitab undang-undang pidana (KUHP) sebelum lahirnya undangundang no.21

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Defenisi Human Trafficking Protokol Palermo Tahun 2000 : Perdagangan orang haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK C. Tindak Pidana Persetubuhan dalam KUHPidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (TRAFIKING) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN 1 HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN Saya akan mengawali bab pertama buku ini dengan mengetengahkan hak pekerja yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak-anak dalam dunia ketenagakerjaan. Sebagaimana

Lebih terperinci

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA Oleh I. Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani I.B. Putra Atmadja Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

Lebih terperinci

PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA UNTUK TUJUAN TRANSPLANTASI DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA J U R N A L

PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA UNTUK TUJUAN TRANSPLANTASI DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA J U R N A L PERDAGANGAN ORGAN TUBUH MANUSIA UNTUK TUJUAN TRANSPLANTASI DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA J U R N A L Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan beberapa peraturan, khususnya tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak fisik dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 80 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perdagangan Manusia untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar. Data Perdagangan Manusia di Indonesia sejak 1993-2003

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN DALAM PASAL 7 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Analisis Terhadap Penambahan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak Terdapat beberapa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang masih

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Anak dan Batasan Umur Anak Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai undang-undang. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] BAB XVI KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Ketentuan Pidana Pasal 183 74 1, dikenakan sanksi pidana

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak terjadi sepanjang abad kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci