HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15"

Transkripsi

1 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen BMPR-1B dan BMP-15 Amplifikasi fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG-Lombok menghasilkan DNA target dengan masing-masing panjang produk 140 bp (base pair/pasangan basa) dan 141 bp. Hasil produk PCR dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Gambar 9 Produk PCR gen BMPR-1B pada DEG Lombok. Gambar 10 Produk PCR gen BMP-15 pada DEG Lombok. Amplifikasi gen BMPR-1B diperoleh dengan penempelan/annealing primer pada temperatur 60 o C selama 30 detik, temperatur yang sama digunakan oleh Davis et al. (2002) untuk mengamplifikasi gen BMPR-1B pada domba Garole dan persilangan Garole X Malpura (GM), sedangkan amplifikasi gen BMP-15 diperoleh dengan penempelan primer pada temperatur 63 o C selama 45 detik, temperatur dan waktu annealing ini juga telah berhasil mengamplifikasi gen BMP-15 pada domba ekor tipis Han di Cina (Chu et al. 2007). Keberhasilan amplifikasi fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target), bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin thermalcycler.

2 26 Genotiping Gen BMPR-1B Genotiping terhadap gen BMPR-1B dilakukan dengan pendekatan metode PCR-RFLP menggunakan enzim AvaII (G GWCC) sebagai enzim pemotong, enzim AvaII mengenali situs pemotong G GWCC. Mutasi FecB disebabkan oleh perubahan (transisi) basa dari adenin (A) menjadi guanin (G) pada posisi basa ke 746 (Mulsant et al. 2001; Souza et al. 2001; Wilson et al. 2001). Perubahan basa A menjadi G pada sekuens gen BMPR-1B dapat dilihat pada Gambar 11. Alel + : 5...AATATATCAGACCGTGTTGA...3 Alel B : 5...AATATATCGGACCGTGTTGA...3 Gambar 11 Perubahan (garis bawah) basa A pada alel + menjadi basa G pada alel B akibat mutasi pada gen BMPR-1B. Hasil amplifikasi gen BMPR-1B (140 bp) (produk PCR) yang diperoleh kemudian dipotong dengan enzim AvaII, diperoleh tiga macam genotipe pada gen BMPR-1B yaitu genotipe ++ (140 bp dan 140 bp), B+ (109 bp;31 bp dan 140 bp) dan BB (109 bp dan 31 bp) disajikan pada Gambar 12. Keterangan: M (marker) = Ladder 100 bp BB (1) = Individu homozigot (109 bp, 31 bp) B+ (3,5) = Individu heterozigot (140 bp, 109 bp dan 31 bp) ++ (2,4,6,7) = Individu homozigot (140 bp) Gambar 12 Genotipe gen BMPR-1B dengan enzim AvaII. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa domba betina DEG-Lombok mengalami mutasi pada gen yang sama (genotipe BB dan B+) seperti yang ditemukan pada domba Boroola Merino di Australia dan domba ekor tipis Han di Cina yaitu mutasi FecB pada gen BMPR-1B (Chu et al. 2007). Mutasi FecB yang terjadi mengakibatkan keragaman pada gen BMPR-1B pada DEG-Lombok. Mulsant et al. (2001) menyatakan bahwa mutasi yang terjadi pada alel + yaitu

3 27 perubahan (transisi) basa adenin (A) menjadi guanin (G) pada posisi basa ke 746 pada asam amino 249 (Q249R) yang mengakibatkan perubahan asam amino glutamine (CAG) menjadi asam amino arginin (CGG). Mutasi yang terjadi pada gen BMPR-1B terekspresi pada ovari yang menstimulasi perkembangan dan differensiasi granulosa Cells dan teca cells yang menyebabkan meningkatnya laju ovulasi pada domba. Genotiping Gen BMP-15 Genotiping terhadap gen BMP-15 dilakukan dengan pendekatan metode PCR-RFLP menggunakan enzim HinfI (G ANTC) sebagai pemotong, enzim HinfI mengenali situs pemotong G ANTC. Mutasi pada gen BMP-15 terjadi disebabkan oleh perubahan basa yaitu perubahan (transisi) basa sitosin (C) menjadi timin (T) pada posisi basa ke 718. Perubahan basa C menjadi T pada sekuens gen BMP-15 dapat dilihat pada Gambar 13. Alel + :5...TTCAATGACAGTCAGAGTGT... 3 Alel G :5...TTCAATGATAGTCAGAGTGT... 3 Gambar 13 Perubahan (garis bawah) basa C pada alel + menjadi basa T pada alel G akibat mutasi pada gen BMP-15. Hasil amplifikasi gen BMP-15 (141 bp) (produk PCR) kemudian dipotong dengan menggunakan enzim HinfI (G ANTC), diperoleh dua macam genotipe yaitu genotipe ++ (110 bp dan 31) dan G+ (141 bp, 110 bp dan 31 bp) (Gambar 14). Keterangan: M (marker) = Ladder 100 bp G+ (3,6) = Individu heterozigot (141 bp, 110 bp dan 31 bp) ++ (1,2,4,5,7) = Individu homozigot (110 bp, 31 bp) Gambar 14 Genotipe gen BMP-15 dengan enzim HinfI.

4 28 Genotipe GG merupakan genotipe yang mengalami mutasi dan tidak ditemukan pada DEG-Lombok. Chu et al. (2007) menyatakan bahwa pada gen BMP-15 terdapat mutasi yaitu perubahan (transisi) basa sitosin (C) menjadi timin (T) pada posisi basa ke 718 yang menyebabkan terjadinya premature akibat stop codon pada asam amino ke 239 (Q239R). Mutasi tersebut menyebabkan hilangnya aktivitas dan tidak sempurnanya fungsi dari gen BMP-15 (Montgomery et al.1992). Keragaman Gen BMPR-1B dan Gen BMP-15 Analisis keragaman gen BMPR-1B menghasilkan alel + dan B dengan genotipe ++, B+ dan BB, sedangkan pada gen BMP-15 menghasilkan alel G dan + yang memiliki dua genotipe yaitu genotipe G+ dan ++ (Tabel 6). Tabel 6 Frekuensi genotipe dan alel gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG Lombok. Gen Frekuensi Genotipe Alel BMPR-IB ++ B+ BB B (96) (38) 0.02 (3) BMP-15 GG G+ ++ G (0) (15) (122) Hasil penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa gen BMPR-1B dan BMP- 15 memiliki frekuensi alel + yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel B dan G. Frekuensi alel + pada gen BMPR-1B sebesar dan pada gen BMP-15 sebesar Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen BMPR-1B dan BMP-15 bersifat polimorfik. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa nilai frekuensi alel yang lebih besar dari 1% dalam populasi dapat dikatakan sebagai gen yang bersifat polimorfik. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Chu et al. (2007) pada domba ekor tipis Han di Cina yaitu pada gen BMPR-1B alel B lebih tinggi daripada alel +, sedangkan pada gen BMP-15 menunjukkan pola yang sama dengan DEG-Lombok. Analisis keragaman genetik pada gen BMPR-1B dan BMP-15 menghasilkan genotipe ++ yang memiliki frekuensi lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya (BB, B+, dan G+), sedangkan genotipe

5 29 GG pada gen BMP-15 tidak ditemukan pada DEG-Lombok. Frekuensi genotipe ++, B+ dan BB pada gen BMPR-1B masing-masing sebesar 0.70, 0.28 dan 0.02, sedangkan genotipe ++ dan G+ pada gen BMP-15 memiliki frekuensi masingmasing sebesar 0.89 dan Berbeda dengan hasil yang diperoleh Kumar et al. (2006), pada domba Garole, frekuensi genotipe homozigot (BB) sebesar 0.859, heterozigot (B+) sebesar dan genotipe ++ sebesar Hanrahan et al. (2004) menyatakan bahwa pada domba betina Camridge dengan genotipe GG ditemukan infertil (steril), sehingga betina yang membawa genotipe GG tidak bisa menghasilkan keturunan. Genotipe GG tidak ditemukan pada DEG-Lombok diduga karena sampel domba yang digunakan jumlahnya sedikit sehingga genotipe GG tidak ditemukan, pejantan yang tersedia sebagai pemacek jumlahnya sangat terbatas pada populasi, selain itu juga diduga pejantan yang ada membawa genotipe ++. Keseimbangan Gen dalam Populasi Uji chi-square (χ 2 ) terhadap gen BMPR-1B dan BMP-15 telah dilakukan, hasil yang diperoleh tidak berbeda terhadap populasi DEG-Lombok. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi genotipe kedua gen pada populasi DEG- Lombok masih dalam keadaan seimbang (keseimbangan Hardy-Weinberg) yang menunjukkan bahwa pada populasi DEG-Lombok belum pernah dilakukan seleksi, terutama berdasarkan pada kedua gen tersebut. Hasil uji χ 2 sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil survey (Lampiran 7) bahwa peternak tidak memahami prinsip-prinsip seleksi dan inbreeding pada ternak sehingga peternak DEG-Lombok tidak pernah melakukan seleksi terhadap ternak yang akan mereka pelihara, seperti seleksi berdasarkan jumlah kelahiran anak domba. Bibit domba yang dipelihara petani biasanya diperoleh dari orang lain melalui sistem bagi hasil (masyarakat Lombok menyebutnya dengan sistem kadasan) sehingga tidak bisa memilih domba sesuai degan keinginannya, selain itu bibit domba juga diperoleh dengan cara membeli dari pasar yang dipilih berdasarkan ukuran besar tubuh dan kesehatan tanpa menanyakan bahwa domba yang dipilih berasal dari induk yang memiliki tipe kelahiran tunggal atau kembar. Keseimbangan gen dalam populasi terjadi bila frekuensi genotipe (p 2, 2pq dan q 2 ) konstan berada pada populasi tersebut dari generasi ke generasi, akibat

6 30 dari penggabungan gamet yang terjadi secara acak pada populasi yang besar (Vasconcellos et al. 2003). Keseimbangan gen dalam populasi terjadi jika tidak adanya seleksi, mutasi, migrasi dan genetic drift. Sebaliknya, jika terjadi akumulasi genotipe, mutasi, seleksi, migrasi dan perkawinan dalam kelompok/populasi yang sama (endogami) maka dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan frekuensi genotipe atau alel dalam populasi tersebut (Noor 2004). Pendugaan Nilai Heterozigositas Keragaman genetik (genetic variation) dalam suatu populasi dapat diukur dengan menghitung nilai heterozigositas (H) dari fragmen gen yang diamati. Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai hetrozigositas harapan (H e ) untuk fragmen gen BMPR-1B pada DEG Lombok disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) untuk fragmen gen BMPR-1B dan gen BMP-15 pada DEG-Lombok Gen N H pengamatan H harapan ±SE BMPR-IB ± BMP ± Tabel diatas menunjukkan bahwa pada fragmen gen BMPR-1B memiliki nilai heterozigositas pengamatan sebesar dan nilai heterozigositas harapan sebesar ± 0.025, sedangkan nilai heterozigositas dari fragmen gen BMP-15 yaitu nilai heterozigosiats pengamatan sebesar dengan nilai heterozigositas harapan sebesar ± Hasil analisis nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan nilai heterozigositas harapan (H e ) pada DEG-Lombok tidak menunjukkan adanya perbedaan yang besar dari kedua fragmen gen tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa frekuensi genotipe dari populasi DEG-Lombok dalam keadaan keseimbangan baik pada penciri PCR-RFLP fragmen gen BMPR-1B maupun gen BMP-15. Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ), maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidak seimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Demikian juga Machado et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas pengamatan

7 31 (H o ) lebih rendah dari heterozigositas harapan (H e ) dapat mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari adanya proses seleksi yang intensif. Hart dan Clark (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan (H o ) dan heterozigositas harapan (H e ) juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Secara umum nilai heterozigositas harapan (H e ) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik. Pendugaan Nilai PIC Nilai PIC merupakan salah satu parameter yang menunjukkan tingkat informatifnya suatu penciri/marker. Nilai PIC dikategorikan dalam tiga kriteria yaitu rendah jika PIC 0.25, nilai PIC sedang dan nilai PIC tinggi apabila 0.5 Botstein et al. (1980). Analisis nilai PIC terhadap penciri PCR- RFLP fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 terhadap DEG-Lombok disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai PIC fragmen gen BMPR-1B dan BMP-15 Gen N PIC BMPR-1B BMP Keterangan : n = jumlah ternak Tabel diatas menunjukkan bahwa pada DEG-Lombok nilai PIC gen BMPR-1B termasuk dalam kategori sedang, sedangkan gen BMP-15 memilki nilai PIC yang tergolong dalam kategori rendah. Berdasarkan nilai PIC tersebut maka gen BMPR-1B memiliki potensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gen BMP- 15 sebagai penciri genetik untuk sifat prolifik pada DEG-Lombok. Botstein et al. (1980) menyatakan bahwa nilai PIC tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan informatifnya suatu penciri, akan tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya alel yang polimorfik, selain didasarkan pada nilai heterozigositas. Hildebrand (1992) menyatakan bahwa nilai PIC selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai heterozigositas, karena nilai PIC merupakan nilai heterozigositas yang dikoreksi.

8 32 Pengaruh Genetik Gen BMPR-1B dan BMP-15 terhadap Litter size Rataan jumlah anak sekelahiran atau ukuran litter size pada penelitian ini adalah sebesar ekor/induk/kelahiran, diperoleh dari 8 kelompok ternak dengan total populasi sebesar 137 ekor. Sebaran data kelahiran yang diperoleh pada penelitian ini yaitu induk beranak antara 3-8 kali, diantaranya 64.22% (88 ekor) induk dengan kelahiran tunggal, 32% (44 ekor) induk pernah beranak kembar (twins) dan 3.65% (5 ekor) induk pernah beranak 3 (triplets). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian sebelumnya pada domba ekor tipis (DET) Indonesia yaitu nilai rataan litter size 1.77 ekor/induk/kelahiran dengan sebaran 44.5% tunggal, 37.6% kembar dua, 14.5% kembar tiga, 3.1% kembar empat, dan 0.3% kembar lima (Inounu 1996). Perbedaan rataan litter size yang diperoleh disebabkan karena lingkungan pemeliharaan berbeda yaitu pada DEG-Lombok dipelihara pada peternakan rakyat secara ekstensif sedangkan DET dipelihara pada stasiun percobaan dengan sistem pemeliharaan intensif. Salah satu sumber keragaman pada jumlah anak yang dilahirkan oleh induk DEG-Lombok adalah genotipe dari setiap induk. DEG- Lombok dengan kelahiran lebih dari satu ditemukan pada induk yang membawa gen mutasi BMPR-1B, BMP-15 atau mutasi pada keduanya, tetapi dari data yang diperoleh dijumpai juga ada 5 ekor induk pernah beranak kembar/twin dengan genotipe ++. Hasil analisis perbedaan genotipe dari gen BMPR-1B, BMP-15 dan kombinasi kedua gen tersebut berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rataan litter size DEG-Lombok (Tabel 9). DEG pada gen BMPR-1B dengan genotipe BB dan B+ memiliki rataan litter size masing-masing sebesar 1.443±0.140 ekor dan 1.435± ekor, kedua tipe genotipe ini berbeda sangat nyata (P<0.01) bila dibandingkan dengan genotipe ++ yang memiliki rataan litter size sebesar 1.052±0.138 ekor. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Davis et al. (2002) pada DET yang dipelihara pada kondisi pemeliharaan intensif yaitu sebesar 1.24, 1.95 dan 2.59 diperoleh dari domba dengan genotipe ++, B+ dan BB. Penelitian pada domba Garole meghasilkan rataan litter size sebesar 1.98±0.10, 1.88±0.22 pada genotipe BB dan B+ sedangkan pada domba persilangan Garole Malpura (GM)

9 33 menghasilkan litter size sebesar 2.00, 1.93 dan 1.00 pada genotipe BB, B+ dan ++ (Kumar et al. 2006). Tabel 9 Rataan nilai litter size pada DEG-Lombok dengan gen BMPR-1B, BMP-15 dan kombinasinya. Genotipe Jumlah domba Litter size Genotipe BMPR-1B BB ± a B ± a ± b Genotipe BMP-15 G ± a ± a Genotipe kombinasi B+/G ± a BB/ ± b G+/ ± b B+/ ± b ++/ ± c BB/G+ 0 0 Keterangan: rataan dengan superscrip yang beda menunjukkan beda nyata (P<0.01). Nilai rataan litter size DEG-Lombok juga berbeda sangat nyata (P<0.01) pada gen BMP-15, domba dengan genotipe G+ memiliki rataan litter size lebih besar yaitu sebesar 1.554±0.243 ekor dari pada genotipe ++ dengan rataan litter size sebesar 1.115±0.216 ekor. Tingginya nilai rataan litter size pada domba heterozigot (G+) disebabkan oleh terjadinya peningkatan laju ovulasi yang disebabkan karena mutasi pada gen BMP-15, domba yang membawa mutasi ini akan mengalami kehilangan fungsi pada sistem BMP-15, yang mengakibatkan aktivitas gen BMP-15 semakin direduksi. Berkurangnya aktifitas gen BMP-15 menyebabkan berkurangnya pengaturan sirkulasi FSH sehingga ekspresi hormon ini semakin tinggi dan memicu proses follikullogenesis pada sel-sel ovarium (Mayorga et al. 2000). Berdasarkan data pada Tabel 9 bahwa DEG-Lombok juga membawa variasi (kombinasi genotipe) dari kedua gen tersebut seperti domba ekor tipis Han di Cina. Apabila nilai rataan litter size dari induk-induk pada DEG- Lombok dikelompokkan berdasarkan nilai keragaman kombinasi genotipe dari kedua gen tersebut dapat memberikan nilai rataan yang berbeda bila dibandingkan dengan nilai rataan dari masing-masing gen. Kombinasi genotipe yang diperoleh

10 34 dari kedua gen tersebut pada DEG-Lombok yaitu B+G+, BB++, G+++, B+++ dan Nilai rataan litter size dengan kombinasi genotipe dari kedua gen tersebut (B+/G+) meberikan rataan litter size yang paling tinggi yaitu 1.781±0.123 ekor dan rataan paling rendah pada genotipe ++/++ degan nilai rataan 1.015±0.063 ekor. Pola genotipe kombinasi B+/G+ gen BMPR-1B dan BMP-15 juga ditemukan pada domba ekor tipis Han di Cina, yang menghasilkan rataan litter size sebesar 2.55± 0.09 ekor, sedangkan genotipe ++/++ memiliki rataan litter size sebesar 1.10±0.13 (Chu et al. 2007). Sifat prolifik pada domba dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu major gene (BMPR-1B, BMP-15 dan GDF9). Mutasi pada gen utama seperti mutasi gen BMP-15 menyebabkan kehilangan fungsi pada BMP-15 yang menghambat ekspresi reseptor FSH pada granulosa cells menurun sehingga membuka peluang sensitifitas FSH menjadi lebih tinggi dan meningkatkan ekspresi dari gen BMP-15 (Davis 2005). Peningkatan sensitifitas ini mendukung perkembangan dan differensiasi granulosa cells dan teca cells pada ovarium yang semakin aktif dan mendorong terjadinya seleksi folikel dominan, sedangkan domba yang membawa mutasi gen BMPR-1B dalam kondisi heterozigote dan homozigote memiliki granulosa cells yang lebih sensitif terhadap FSH, sehingga sel-sel tersebut semakin aktif membelah dan menyebabkan folikel ovarium menjadi cepat dewasa dan matang. Hubungan antara mutasi BMP-15 dengan laju ovulasi didasarkan pada konsep bahwa semakin aktivitas BMP-15 direduksi, laju ovulasi akan semakin meningkat, akan tetapi apabila level BMP-15 terlalu rendah akan menyebabkannya tidak berfungsi secara total, maka follikulogenesis akan dihambat pada tahap awal, seperti yang ditemukan pada domba betina homozygot FecX mut (alel I, H, B dan G) (Fabre et al. 2006). Jumlah granulosa cells yang banyak di dalam folikel ovarium menandakan semakin banyak folikel ovarium dominan yang terbentuk, kemudian menyebabkan terjadinya ovulasi (Davis 2005; Fabre et al. 2006). Sifat prolifik terjadi berdasarkan pada konsep bahwa laju ovulasi mengakibatkan semakin banyak oosit yang diovulasikan dan apabila dibuahi dan daya hidup embrio berhasil dipertahan kan oleh induk maka diikuti oleh kelahiran anak yang lebih dari satu (Gambar 15) (Wilson et al. 2001).

11 35 Berdasarkan rataan litter size yang diperoleh, gen BMPR-1B dan BMP-15 pada DEG-Lombok berpotensi dijadikan sebagai penciri dalam kegiatan MAS sifat prolifik pada domba (Gambar 15). Pemanfaatan MAS dapat mempercepat laju perbaikan genetik karena memiliki ketepatan seleksi yang lebih akurat dan mengurangi interval generasi. Domba dikatakan prolifik bila seekor induk memiliki rataan litter size 1.75 ekor/induk yang diperoleh dari minimal 3 kali kelahira (Fahmy 1996). Gambar 15 Tipe kelahiran triplets pada DEG-Lombok dengan genotipe B+/G+. Pengaruh Lingkungan terhadap Litter Size Selain faktor genetik, faktor lingkungan juga sangat berperan terhadap tingkat kelahiran anak domba. Ekspresi gen BMPR-1B dan BMP-15 bervariasi pada jenis domba yang berbeda dan pada kondisi lingkungan yang berbeda atau interaksi antara jenis domba dan lingkungan akan memberikan ekspresi yang berbeda (Fogerty 2008). Peningkatan produksi ternak khususnya ternak ruminansia akan berhasil baik jika ketersediaan pakan hijauan sebagai sumber pakan dapat dipenuhi secara kualitas dan kuantitas dan tersedia secara kontinyu. Jenis dan kualitas hijauan dipengaruhi oleh kondisi ekologi dan iklim disuatu wilayah. Ketersediaan hijauan pakan ternak di Indonesia tidak tersedia sepanjang tahun, dan hal ini merupakan suatu kendala yang perlu dipecahkan. Secara geografis lokasi penelitian ini berada di kecamatan Sambelia yang berlokasi di belahan utara kaki gunung Rinjani pada posisi 116º BT dan 60-80º LS dan memiliki topografi lahan berbukit-bukit, kondisi tanah bebatuan, dengan posisi pada ketinggian di atas permukaan laut. Iklim di wilayah ini

12 36 tergolong tipe kering yaitu 3-4 bulan basah dan 8-9 bulan kering. Musim hujan dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, rata-rata curah hujan sepanjang tahun 98.5 mm/bulan, kelembaban udara 77% dan temperatur lingkungan maksimum 31 o C dan minimum 17 o C (Lampiran 7). Kondisi iklim yang panas dan kondisi lahan bebatuan menyebabkan tanaman pakan dan rumput mengalami maturasi dini (penuaan) dan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sehingga kualitas pakan rendah. DEG-Lombok dipelihara secara ekstensif yaitu pada musim kemarau digembalakan dipinggir jalan, lahan-lahan pertanian kosong dan pada musim penghujan penggembalaan dipindahkan ke dataran yang lebih tinggi (tanah perbukitan) yang tidak ditanami dengan tanaman padi atau tanaman produksi. Pakan yang dikonsumsi oleh domba hanya diperoleh saat penggembalaan tanpa diimbangi dengan pemberian pakan tambahan. Penggembalaan domba setiap harinya dilakukan selama 6 jam dengan menempuh jarak hingga 2 km dari kandang, hal ini tentu saja mengeluarkan energi yang besar bagi ternak domba. Pola pemeliharan seperti ini mengakibatkan ternak domba selalu berada dalam kondisi kekurangan pakan dalam jangka waktu yang lama, karena pada musim kemarau lahan penggembalaan luas tapi kualitas pakan rendah, sedangkan pada musim hujan pakan berlimpah tetapi areal pengembalaan menyempit, karena sebagian besar lahan ditanami dengan padi dan tanaman produksi lainnya. Jenis pakan dilokasi penggembalaan sebagian besar terdiri atas rumput lapangan, sisa hasil pertanian seperti jerami kedelai, kacang hijau, pohon jagung yang sudah selesai panen dan leguminosa. Dahlannudin (2000) menyatakan bahwa ternak ruminansia kecil (kambing) yang diberikan rumput lapangan sebagai satu-satunya komponen ransum yang diberikan secara ad libitum hanya dapat mempertahankan atau bahkan kehilangan berat badan, sedangkan yang diberikan campuran rumput dan daun-daunan dapat meningkatkan berat badan sekitar g/hari. Defisien energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk adalah dapat menyebabkan kematian.

13 37 Jumlah kelahiran anak DEG-Lombok (Lampiran 4) tampak sangat bervariasi pada masing-masing genotipe. Beberapa induk yang membawa mutasi salah satu gen atau kedua gen yang semestinya melahirkan twin atau triplets hanya mampu melahirkan single (tunggal). DEG-Lombok yang membawa mutasi gen-gen tersebut dengan kelahiran tunggal kemungkinan disebabkan karena sewaktu mengalami ovulasi kurang mendapatkan pakan yang berkualitas baik. Selain itu DEG lombok tidak melahirkan secara terus-menerus, interval kelahiran yang panjang (18 bulan), tingkat kematian anak yang tinggi hingga 40%, kematian terjadi pada umur 1 minggu terutama pada kelahiran pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pengaruh dari kondisi pakan buruk yang mempengaruhi kondisi induk pada awal kebuntingan atau melahirkan anak dalam kondisi lemah sehingga mengakibatkan kematian anak pada awal kelahiran. Selain kondisi pakan yang buruk, rendahnya rataan litter size pada DEG- Lombok disebabkan oleh pola pemeliharaan yang buruk baik pada sistem penggembalaan, manajemen reproduksi (perkawinan domba) dan sanitasi kandang. Pemeliharaan DEG-Lombok dilakukan secara berkelompok dengan jumlah domba antara ekor, setiap kelompok memiliki pejantan 1-3 ekor, yang terus-menerus bersama betina, sehingga domba bebas untuk kawin setiap saat. Hal ini menyebabkan siklus reproduksi yang kurang tertata yaitu domba melahirkan setiap bulan sepanjang tahun tanpa memperthatikan kondisi iklim dan tingkat ketersdiaan pakan. Berdasarkan keterangan dari peternak pada Lampiran 7 yang menjelaskan bahwa bahwa kelahiran kembar pada DEG-Lombok terjadi pada saat musim hujan, hal ini memiliki hubungan yang erat dengan ketersediaan pakan yang lebih mencukupi. Daya hidup embrio (DHE) pada induk DET dengan genotipe FecJ FF (FecB BB ) pada saat domba-domba dipelihara dengan manajemen petani dan pemberian pakan seadanya mengalami kematian embrio hingga 47% dan kematian anak yang sangat tinggi, sebaliknya pada induk DET dengan genotipe FecJ ++ (FecB ++ ) dalam kondisi pakan buruk masih mampu mempertahankan kehidupan dan menyusui anaknya dengan baik. DET yang pernah beranak lebih dari satu dengan perbaikan mutu pakan mengalami kenaikan laju ovulasi dan

14 38 meningkatkan rataan litter size. Selain itu peningkatan bobot badan induk sebesar 1 kg diikuti pula dengan meningkatnya laju ovulasi sebesar 3% (Inounu 1996). Secara keseluruhan perbaikan manajemen dapat menyebabkan kenaikan nilai rataan litter size pada induk domba. DET yang dipelihara secara kontinyu pada kondisi manajemen pemeliharaan yang berbeda menunjukkan peningkatan kenaikan rataan litter size sebesar 4.3%, seiring dengan perbaikan manajemn pemeliharaan yang diterapkan (Inounu 1996). Selain faktor lingkungan kenaikan rataan litter size juga dipengaruhi oleh umur induk. Angka kelahiran kembar pada DEG-Lombok di kabupaten Lombok Timur meningkat pada kelahiran pertama dan kedua (rataan litter size masing-masing 1.2 dan 1.4 ekor), selanjutnya mencapai optimal pada kelahiran ketiga (rataan litter size 1.6 ekor) sesudah itu angka kelahiran kembar menurun pada kelahiran keempat dan kelima dengan rataan litter size masing-masing 1.3 dan 1.2 ekor (Prasetyo et al. 1992). Guan et al. (2006) menyatakan bahwa ekspresi gen pada domba Garole dan HU bervariasi antara lokasi yang berbeda, rataan litter size pada domba Garole dari Sunderband Bengal Barat sebesar 2.27 dan terjadi penurunan pada daerah yang lebih gersang yaitu pada daerah Maharashtra dan Rajhastan masing-masing sebesar 1.74, Rata-rata litter size domba Hu di Cina lebih tinggi (P<0.05) pada daerah konservasi yaitu sebesar 2.12 pada kelahiran pertama sedangkan dua daerah sampling pada daerah panas yaitu Shanghai dan Suzhou masing-masing sebesar 1.78 dan Hal ini mengindikasikan bahwa gen BMPR-1B atau gen-gen lainnya ekspresinya diatur oleh faktor lingkungan (Pardeshi et al. 2008). Kecukupan pakan bagi ternak yang dipelihara merupakan tantangan yang cukup serius dalam pengembangan peternakan di Indonesia.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ekor Gemuk (DEG) - Lombok

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ekor Gemuk (DEG) - Lombok 4 TINJAUAN PUSTAKA Domba Ekor Gemuk (DEG) - Lombok Menurut Gatendby (1991) di Asia Tenggara ditemukan dua tipe domba yaitu domba ekor tipis (DET) atau Thin tailed sheep, terdapat di daerah Jawa Barat,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

Identifikasi Mutasi FecX Pada Gen BMP15 dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Prolifik pada Kambing Lokal di Kabupaten Lombok Barat

Identifikasi Mutasi FecX Pada Gen BMP15 dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Prolifik pada Kambing Lokal di Kabupaten Lombok Barat Volume 1 (1) : 1 7; Desember 2015 ISSN : 2460-6669 Identifikasi Mutasi FecX Pada Gen BMP15 dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Prolifik pada Kambing Lokal di Kabupaten Lombok Barat (Identification of Mutation

Lebih terperinci

Abstrak Thesis Mochamad Syaiful Rijal Hasan G

Abstrak Thesis Mochamad Syaiful Rijal Hasan G Abstrak Thesis Mochamad Syaiful Rijal Hasan G352090161 Mochamad Syaiful Rijal Hasan. Achmad Farajallah, dan Dyah Perwitasari. 2011. Polymorphism of fecundities genes (BMPR1B and BMP15) on Kacang, Samosir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

POTENSI GEN BMPR-1B DAN BMP-15 SEBAGAI PENCIRI UNTUK SELEKSI SIFAT PROLIFIK PADA DOMBA EKOR GEMUK (DEG) LOMBOK TAPAUL ROZI

POTENSI GEN BMPR-1B DAN BMP-15 SEBAGAI PENCIRI UNTUK SELEKSI SIFAT PROLIFIK PADA DOMBA EKOR GEMUK (DEG) LOMBOK TAPAUL ROZI POTENSI GEN BMPR-1B DAN BMP-15 SEBAGAI PENCIRI UNTUK SELEKSI SIFAT PROLIFIK PADA DOMBA EKOR GEMUK (DEG) LOMBOK TAPAUL ROZI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Geografis Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah dataran yang sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian wilayahnya dimanfaatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan Amplifikasi fragmen gen hormon pertumbuhan (GH) yang dilakukan pada sapi pesisir, sapi bali, sapi limousin, dan sapi simmental menunjukkan adanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS Subandriyo dan Luis C. Iniguez (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan/Small Ruminant-CRSP) PENDAHULUAN Sekitar 50% dari populasi domba

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi susu sangat menentukan bagi perkembangan industri susu sapi perah nasional. Susu segar yang dihasilkan oleh sapi perah di dalam negeri sampai saat ini baru memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Pra Sapih Konsumsi pakan dihitung berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Pakan

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT P a g e 1 MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT TERNAK DOMBA POTONG EKOR GEMUK (DEG) DAN DOMBA EKOR TIPIS (DET )DI INDONESIA UNTUK SIFAT PRODUKSI DAGING MELALUI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA

SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA AgroinovasI SILASE TONGKOL JAGUNG UNTUK PAKAN TERNAK RUMINANSIA Ternak ruminansia seperti kambing, domba, sapi, kerbau dan rusa dan lain-lain mempunyai keistimewaan dibanding ternak non ruminansia yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ternak Domba Domba diklasifikasikan sebagai hewan herbivora (pemakan tumbuhan) karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba lebih menyukai rumput dibandingkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km

PEMBAHASAN. Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km 23 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografis Pulau Sumba terletak di Barat-Daya Propinsi NTT, berjarak sekitar 96 km di sebelah selatan Pulau Flores, 295 km di sebelah Barat-Daya

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Keadaan Umum Balai Pengembangan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam Uraian Materi Variasi Genetik Terdapat variasi di antara individu-individu di dalam suatu populasi. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan genetis. Mutasi dapat meningkatkan frekuensi alel pada individu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data

Lebih terperinci

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen.

PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG. Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENGUJIAN KESETIMBANGAN HARDY-WEINBERG Tujuan : Mempelajari kesetimbangan Hardy-Weinberg dengan frekuensi alel dan gen. PENDAHULUAN Pada tahun 1908, ahli Matematika Inggris G.H. Hardy dan seorang ahli

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya alam dengan keragaman genetik yang melimpah. Salah satu diantaranya adalah ternak kambing lokal Indonesia yang telah beradaptasi dengan kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang kan oleh peternak di Lampung. Populasi kambing di Lampung cukup melimpah, tercatat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan TINJAUAN PUSTAKA Geografi Desa Celawan a. Letak dan Geografis Terletak 30677 LU dan 989477 LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Pantai Cermin dengan ketinggian tempat 11 mdpl, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

MINGGU VI UJI CHI SQUARE. Dyah Maharani, Ph.D.

MINGGU VI UJI CHI SQUARE. Dyah Maharani, Ph.D. MINGGU VI UJI CHI SQUARE Dyah Maharani, Ph.D. PENGERTIAN CHI-SQUARE Chi square adalah pengujian hipotesis mengenai perbandingan antara frekuensi observasi atau yang benar-benar terjadi dengan frekuensi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station Local Duck Breeding and Production Station merupakan suatu unit pembibitan dan produksi itik lokal yang berada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang TINJAUAN PUSTAKA SistematikaTernak Kambing Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besarbagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsumsi ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Satelit dan Denah Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea (http://maps.google.com, 5 Agustus 2011)

Gambar 3. Peta Satelit dan Denah Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea (http://maps.google.com, 5 Agustus 2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabotabek. Secara geografis,

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kambing adalah salah satu jenis ternak penghasil daging dan susu yang sudah lama dikenal petani dan memiliki potensi sebagai komponen usaha tani yang penting

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan jumlah konsumsi pakan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat. Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan jumlah konsumsi pakan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat. Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Konsumsi Pakan Rataan jumlah konsumsi pakan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan konsumsi pakan ayam kampung super yang diberi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

Identifikasi Mutasi Gen Bmpr-1b dan Bmp15 pada Domba Ekor Gemuk

Identifikasi Mutasi Gen Bmpr-1b dan Bmp15 pada Domba Ekor Gemuk JITV Vol. 15 No. 1 Th. 2010: 16-21 Identifikasi Mutasi Gen Bmpr-1b dan Bmp15 pada Domba Ekor Gemuk MASKUR 1 dan CHAIRUSSYUHUR ARMAN 2 Laboratorium Pemuliaan 1 dan Laboratorium Reproduksi Ternak 2 Jurusan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

MEMBUAT SILASE PENDAHULUAN

MEMBUAT SILASE PENDAHULUAN MEMBUAT SILASE Oleh : Drh. Linda Hadju BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2014 PENDAHULUAN Hijauan merupakan sumber pakan utama untuk ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba). Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO BAB 7 Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO Beberapa kajian dilaporkan bahwa genotip Msp1+/+danMsp1+/- dapat digunakan sebagai gen kandidat dalam seleksi ternak sapi untuk program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Ciamis, Jawa Barat Kabupaten Ciamis merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki luasan sekitar 244.479 Ha. Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak

Lebih terperinci

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN RIJANTO HUTASOIT Loka Penelitan Kambing Potong, P.O. Box 1 Galang, Medan RINGKASAN Untuk pengujian terhadap tingkat adopsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Peternakan Sri Murni

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Peternakan Sri Murni HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Setiap peternakan memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi sejarah pendirian dan tujuan dari pendirian peternakan serta topografi dan letak koordinat. Perincian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Lokal Ayam lokal di Indonesia telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia dan biasanya sering disebut dengan ayam buras. Ayam buras di Indonesia memiliki perkembangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI

PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI PENGARUH SUBSTITUSI RUMPUT GAJAH DENGAN LIMBAH TANAMAN SAWI PUTIH FERMENTASI TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI DOMBA LOKAL JANTAN EKOR TIPIS SKRIPSI Oleh : ETTY HARYANTI UTAMI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketersediaan Limbah Pertanian Pakan ternak sangat beragam tergantung varietas tanaman yang ditanam petani sepanjang musim. Varietas tanaman sangat berdampak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci merupakan ternak mamalia yang mempunyai banyak kegunaan. Kelinci dipelihara sebagai penghasil daging, wool, fur, hewan penelitian, hewan tontonan, dan hewan kesenangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK PTP101 Dasar Produksi Ternak 3(2-3) Mata kuliah ini memberikan pengetahuan kepada mahasiswa untuk dapat menjelaskan, memahami tentang arti, fungsi jenis

Lebih terperinci

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Embriani BBPPTP Surabaya Gambar. Tanaman Tebu Yang Terserang Tikus Hama/pest diartikan sebagai jasad pengganggu bisa berupa jasad renik, tumbuhan, dan hewan. Hama Tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano 23 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kecamatan Leles dan Desa Dano 4.1.1 Keadaan Umum Kabupaten Garut Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat sebelah selatan, di antara 6

Lebih terperinci

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian I. PENDAHULUAN Populasi penduduk

Lebih terperinci