STUDI PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN DAN KADAR AIR TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN MODEL PRODUK GORENGAN SKRIPSI DIMAS SUPRIYADI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN DAN KADAR AIR TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN MODEL PRODUK GORENGAN SKRIPSI DIMAS SUPRIYADI F"

Transkripsi

1 STUDI PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN DAN KADAR AIR TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN MODEL PRODUK GORENGAN SKRIPSI DIMAS SUPRIYADI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 STUDY ON EFFECTS OF AMYLOSE-AMYLOPECTIN RATIO AND WATER CONTENT TO CRISPINESS AND HARDNESS OF FRIED PRODUCT MODEL Dimas Supriyadi and Sugiyono Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Nowadays fried products are becoming the popular food. Most of them are using rice or glutinous rice flour for giving textural properties, especially crispiness and hardness. Starch is one of food components that contribute in defining textural properties of fried product. The difference of amylose-amylopectin ratio in starch plays important role in microstructural properties of food and may cause any different crispiness and hardness to fried food. In addition, the water content of fried food also affects the crispiness and hardness. This research studied the effect of amylose-amylopectin ratio, water content, and time of storage to crispiness and hardness using fried food model based rice flour and glutinous rice flour. Amylose-amylopectin ratio could be altered by changing the ratio of rice flour and glutinous rice flour and water content could be altered by changing the time of frying. Crispiness and hardness were analysed by trained panelists using Profile Texture Sensory Method. Rice type IR64 and glutinous rice type Ciasem were used in this research for getting wide range of amylose-amylopectin ratio. There were four ratio of amylose-amylopectin that were 0.04, 0.2, 0.4, and 0.58 as treatment to know the effects of amylose-amylopectin ratio to crispiness and hardness. Times of frying as a treatment of water content effect which were used were 10, 12, 16, 18 minutes. The last treatment of storage time was ratio of amylose-amylopectin 0.04 and 0.58 which were stored on 2, 4, and 6 hours to know the changing of crispiness and hardness. The comparation of flour and water that showed the best batter consistency was comparation between flour and water 1:0.7. Ratio of amylose-amylopectin 0.04 had the highest crispiness and lowest hardness. The time of frying 18 minutes resulted the lowest water content which gave the highest crispiness and lowest hardness. The ratio of amylose-amylopectin 0.04 had a more crispiness decreasing and hardness increasing than ratio of amylose-amylopectin 0.58 after 6 hours storage. Amylopectin increased the crispiness butdecreasedthe hardness. Water content of fried product also became a factor to crispiness and hardness. Fried product which hada low water content gave a high crispiness and low hardness. Amylopectin and water were easier to interact more than amylose and water on storage. On certain time, this interaction gave a more decreasing crispiness than amylose-water although amylopectin was a main factor to increase crispiness and lower hardness. Keywords : Fried product model, amylose-amylopectin ratio, water content, crispiness, hardness, storage time 1

3 DIMAS SUPRIYADI. F Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M. AppSc RINGKASAN Tekstur dari produk gorengan merupakan aspek kualitas terpenting yang menentukan penerimaan konsumen. Bagian penting dari tekstur gorengan adalah kerenyahan dan kekerasan. Pada umumnya masyarakat menambahkan tepung beras ataupun tepung beras ketan ke dalam adonan gorengan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi kekerasan dari produk gorengan tersebut. Tepung beras dan tepung beras ketan memiliki komponen utama yaitu pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Akan tetapi belum diketahui secara pasti pengaruh amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang pengaruh secara langsung amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin dan kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan model produk gorengan. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu (1) karakterisasi tepung beras dan tepung beras ketan, (2) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, dan (3) kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan. Pada tahap persiapan bahan dilakukan penepungan beras dan beras ketan. Penepungan dilakukan dengan menggunakan alat Pin Disc Mill. Pada proses penepungan dihasilkan rendemen tepung beras IR64 sebesar 73.84% dan ketan Ciasem sebesar 52.99%. Karakterisasi terhadap tepung beras dan tepung beras ketan meliputi perhitungan proksimat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, densitas kamba, dan profil gelatinisasi pati. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat tepung beras IR64 secara berurutan sebesar 9.23%, 0.35%, 8.25%, 0.29%, dan 81.88%, sedangkan tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.99%, 0.63%, 8.14%, 0.29%, dan 81.95%. Kadar pati tepung beras IR64 sebesar 72.37% dan ketan Ciasem sebesar 71.31%. Kadar amilosa tepung beras IR64 (26.58%) lebih tinggi dibandingkan dengan ketan Ciasem (2.46%). Kadar amilopektin tepung beras IR64 (45.80%) lebih rendah dibandingkan dengan ketan Ciasem (68.85%). Hasil perhitungan densitas kamba tepung beras IR64 sebesar 0.75 g/ml dan ketan Ciasem 0.78 g/ml. Hasil analisis profil gelatinisasi menunjukkan bahwa viskositas puncak tepung beras IR64 (4921 cp) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (3789 cp). Viskositas puncak yang tinggi menunjukkan tepung beras IR64 memiliki kemampuan pengembangan granula pati yang lebih besar dari ketan Ciasem. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 ( C) lebih tinggi daripada ketan Ciasem ( C). Tepung beras IR64 memiliki viskositas breakdown ( cp) yang lebih rendah daripada ketan Ciasem (1975 cp) sehingga tepung beras IR64 lebih tahan terhadap pengadukan dan pemanasan. Viskositas akhir tepung beras IR64 ( cp) lebih tinggi daripada ketan Ciasem (2989 cp). Begitu pun nilai viskositas setback tepung beras IR64 (5144 cp) yang lebih tinggi daripada ketan Ciasem (1175 cp). Akan tetapi, tepung beras IR64 memiliki nilai viskositas breakdown ( cp) yang lebih rendah daripada tepung beras ketan Ciasem (1975 cp). Waktu puncak tepung beras IR64 (9.1 menit) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (5.3 menit). Begitu juga suhu gelatinisasi tepung beras IR64 ( C) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem ( C). Pada tahap formulasi adonan, dilakukan pencampuran 50% tepung beras IR64-50% tepung beras ketan Ciasem dengan air 50%, 60%, 70%, dan 80%. Berdasarkan percobaan, perbandingan tepung beras-tepung beras ketan dan air yang memiliki konsistensi adonan terbaik adalah 1:0.7. 2

4 Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan model produk gorengan yang terdiri dari pembuatan adonan, pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air (1:0.7). Kemudian adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g dan dicetak. Adonan dicetak membentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14 menit. Penelitian ini menggunakan metode sensori profil tekstur untuk menguji atribut kerenyahan dan kekerasan. Pengujian dilakukan secara kuantitatif dengan membandingkan terhadap standar yang nilainya telah ditentukan saat pelatihan. Pada kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, menunjukkan bahwa rasio amilosa-amilopekti 0.04 memiliki kerenyahan tertinggi diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.2, 0.4, dan Rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki kekerasan tertinggi diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.4, 0.2, dan Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi amilopektin dan rendah amilosa maka kerenyahan semakin meningkat dan kekerasan semakin menurun, begitupun sebaliknya. Pada kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan, menunjukkan bahwa sampel lama goreng 18 menit memiliki kadar air yang terendah, kerenyahan tertinggi, dan kekerasan terendah diikuti oleh sampel lama goreng 16, 12, dan 10 menit. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan maka semakin rendah kerenyahan dan tinggi kekerasan bahan pangan tersebut. Pengujian selanjutnya yaitu kajian pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan. Sampel yang digunakan rasio amilosaamilopektin 0.04 dan Sampel disimpan selama 2, 4, dan 6 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel rasio amilosa-amilopektin 0.04 yang memiliki kandungan amilopektin tinggi dapat memberikan tingkat kerenyahan yang tinggi dan kekerasan yang rendah daripada rasio amilosaamilopektin 0.58 yang memiliki kandungan amilosa tinggi. Akan tetapi ketika bahan pangan tersebut disimpan pada jangka waktu tertentu maka bahan pangan tersebut akan mudah menyerap air sehingga terjadi penurunan kerenyahan dan peningkatan kekerasan yang lebih tinggi daripada bahan pangan dengan amilosa tinggi. 3

5 STUDI PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN DAN KADAR AIR TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN MODEL PRODUK GORENGAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh DIMAS SUPRIYADI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

6 Judul Skripsi :Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan Nama : Dimas Supriyadi NIM : F Menyetujui Pembimbing, (Dr. Ir. Sugiyono, M. AppSc.) NIP Mengetahui Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, (Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc.) NIP Tanggal ujian akhir sarjana: 20April

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Model Produk Gorengan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademis, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 20April 2012 Yang membuat pernyataan Dimas Supriyadi F

8 BIODATA PENULIS Penulis memiliki nama lengkap Dimas Supriyadi. Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 6 Januari 1989 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Dimyat Subarsyah dan Siti Mulyani. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah SD Negeri 09 Pagi Jakarta ( ), SLTP Negeri 7 Jakarta ( ), dan SMA Negeri 31 Jakarta ( ). Penulis lulus seleksi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa jenjang S1 dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor (IPB) ( ). Penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan antara lain Ketua Departemen Mitra Desa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) IPB (2010), Staf Departemen Sosial dan Kemasyarakatan BEM FATETA IPB (2009), Staf Departemen Human Resource and Development (HRD) International Association of Students In Agriculture and Related Science (IAAS) IPB (2009). Penulis juga merupakan salah satu peserta pertukaran pelajar Malaysia- Indonesia-Thailand (MIT) Mobility Programme di Universiti Tenologi Mara (UiTM) Malaysia (2010). Penulis juga aktif dalam mengikuti perlombaan antara lain penerima penghargaan setara Emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXIII di Bali (2010) dan 15 besar The Craziest Business Plan Competition di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta (2011). Penulis juga pernah menjadi presentator poster dalam acara International Conference on Agriculture and Agro-Industry (ICAAI) di Thailand (2010). Penulis juga mengikuti Gamelan Workshop Programme di UiTM Malaysia (2010). Selain itu, penulis juga mendapat kesempatan untuk menjadi asisten praktikum Teknologi Pengolahan Pangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB pada tahun

9 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor yang berjudul Studi Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin dan Kadar Air terhadap Kerenyahan dan Kekerasan menggunakan Model Produk Gorengan berbahan dasar Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) dan SEAFAST IPB. Bersama dengan selesainya kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papa, mama, dan seluruh anggota keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan baik berupa kasih sayang, doa,materiil, dan semangat yang tak mungkin dapat dibalas oleh penulis. 2. Dr. Ir. Sugiyono, M. AppSc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi bimbingan dan didikan hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Dr.Tjahja Muhandri, STP, MT dan Ir. Subarna, M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam tugas akhir ini. 4. Seluruh staff Laboratorium ITP dan SEAFAST antara lain Pak Jun, Pak Rojak, Pak Wahid, Mbak Vera, Pak Yahya, Bu Rubiah, Mbak Ari, Bu Antin, Pak Iyas, Pak Sobirin, dan Bu Sri atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis. 5. Desir dan Reni sebagai teman satu bimbingan atas semangat yang diberikan selama penelitian berlangsung. 6. Sahabat-sahabat ITP 44 : Marisa, Septiyanni, Andri, Adi, Dinda, Nisa, Mike, Irsyad, Iman, Mike, Daniel, Amelinda, Trancy, Mumun, Vita, Elvita, Sarah, Wima, Onye, Agy, Arief, Okky, Betty, Cherish, dan sahabat ITP lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kebersamaan dan keceriaan selama menjalani masa perkuliahan. 7. Teman-teman organisasi Mitra Desa BEM FATETA : Septiyanni, Nurul, dan Tjut atas kebersamaan dan pengalamannya di Desa Cikarawang. 8. Teman-teman IAAS, khususnya HRD : Solihin, Kak Dewi, dan anggota lainnya atas keceriaan selama berorganisasi. 9. Teman-teman MIT : Murdiati, Nico, Ghea, Anisa, William Suhari, Wlliam Gunawan, Ferdy, dan Maher atas semangat yang diberikan. 10. Teman-teman IPB : Udin, Khosim, Bang Tegar, Ade, Feri, Roma, Hafiz, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas pertemanan selama di IPB. 11. Seluruh staff pengajar dan administrasi ITP atas segala didikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga skripsi hasil penelitian akhir ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pangan. Bogor, 20 April 2012 Penulis iii

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN PENELITIAN... 2 C. MANFAAT PENELITIAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. TEPUNG BERAS... 3 B. TEPUNG BERAS KETAN... 3 C. AMILOSA DAN AMILOPEKTIN... 5 D. PENGGORENGAN... 7 III. METODE PENELITIAN... 8 A. BAHAN DAN ALAT... 8 B. METODE PENELITIAN Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Profil Gelatinisasi Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Analisis Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan iv

11 B. KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP PROFIL GELATINISASI C. KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran Tepung Beras dan Ketan Formulasi Adonan Pembuatan Model Produk Gorengan Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan D. KAJIAN PENGARUH AMILOSA DAN AMILOPEKTIN DALAM PENYIMPANAN TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN E. KAJIAN PENGARUH KADAR AIR BERDASARKAN LAMA GORENG TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA v

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa dan (b) amilopektin... 6 Gambar 2. Pin Disc Mill... 8 Gambar 3. Diagram alir penelitian... 9 Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung beras atau tepung beras ketan Gambar 5. Rapid Visco Analyzer Gambar 6. Deep Fat Fryer Gambar 7. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras ketan Ciasem Gambar 8. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR Gambar 9. Adonan hasil pencampuran tepung dan air pada empat rasio berbeda Gambar 10. Hasil pencetakan adonan pada empat rasio amilosa-amilopektin berbeda Gambar 11. Model produk gorengan pada empat rasio amilosa-amilopektin berbeda Gambar 12. Hubungan viskositas akhir terhadap kerenyahan Gambar 13. Hubungan viskositas akhir terhadap kekerasan Gambar 14. Sampel yang disimpan dalam plastik Gambar 15. Pengaruh lama penyimpanan terhadap tingkat kerenyahan Gambar 16. Pengaruh lama penyimpanan terhadap tingkat kekerasan Gambar 17. Hubungan kadar air terhadap kerenyahan dalam penyimpanan Gambar 18. Hubungan kadar air terhadap kekerasan dalam penyimpanan Gambar 19. Hubungan kadar air terhadap kerenyahan Gambar 20. Hubungan kadar air terhadap kekerasan vi

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras menurut SNI 3549:2009 (BSN 2009)... 4 Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras ketan menurutsni (BSN 1998)... 5 Tabel 3. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dalam penentuan rasio amilosa-amilopektin Tabel 4. Formulasi pembuatan adonan sampel Tabel 5. Rendemen tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Tabel 6. Hasil analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Tabel 7. Hasil analisis proksimat pembanding tepung beras varietas lain Tabel 8. Hasil analisis kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Tabel 9. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Tabel 10. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Tabel 11. Profil gelatinisasi pati berbagai jenis tepung beras berdasarkan kandungan amilosa (Lin et al. 2011)* Tabel 12. Profil gelatinisasi pati dari sampel Tabel 13. Hasil rasio amilosa-amilopektin berdasarkan pencampuran tepung beras dan ketan Tabel 14. Hasil penetapan standar atribut sensori berdasarkan organoleptik Tabel 15. Hasil uji sensori profil tekstur sampel dengan berbagai rasio amilosa-amilopektin Tabel 16. Hasil uji sensori profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan Tabel 17. Hasil uji sensori profil tekstur pengaruh kadar air vii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel Luff Schoorl Lampiran 2. Formulir pendaftaran panelis terlatih Lampiran 3. Scoresheet uji identifikasi rasa dan aroma dasar Lampiran 4. Scoresheet uji segitiga Lampiran 5. Scoresheet Uji Ranking Kerenyahan dan Kekerasan Lampiran 6. Daftar kandidat panelis terlatih yang terpilih Lampiran 7. Latihan menskala Lampiran 8. Scoresheet pelatihan panelis atribut kerenyahan dan kekerasan Lampiran 9. Scoresheet penentuan nilai standar Lampiran 10. Scoresheet uji profil tekstur Lampiran 11. Hasil analisis proksimat tepung Beras IR64 dan ketan Ciasem Lampiran 12. Hasil analisis kadar pati tepung Beras IR64 dan ketan Ciasem Lampiran 13. Kurva standar amilosa Lampiran 14. Hasil analisis kadar amilosa tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Lampiran 15. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Lampiran 16. Data penentuan standar kerenyahan dan kekerasan Lampiran 17. Data analisis profil tekstur kerenyahan berdasarkan rasio amilosa-amilopektin Lampiran 18. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan Lampiran 19. Data analisis profil tekstur kekerasan berdasarkan rasio amilosa-amilopektin Lampiran 20. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kekerasan Lampiran 21. Data analisis kadar air pada perlakuan rasio amilosa-amilopektin Lampiran 22. Analisis ragam kadar air pada perlakuan rasio amilosa-amilopektin Lampiran 23. Data analisis profil tekstur kerenyahan berdasarkan lama goreng Lampiran 24. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh lama goreng terhadap kerenyahan Lampiran 25. Data analisis profil tekstur kekerasan berdasarkan lama goreng Lampiran 26. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh lama goreng terhadap kekerasan Lampiran 27. Data analisis kadar air pada perlakuan lama goreng viii

15 Lampiran 28. Analisis ragam kadar air pada perlakuan lama goreng Lampiran 29. Profil gelatinisasi rasio amilosa-amilopektin Lampiran 30. Data analisis profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kekerasan Lampiran 31. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kekerasan Lampiran 32. Data analisis profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan Lampiran 33. Analisis ragam data profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan Lampiran 34. Data analisis kadar air pada perlakuan lama penyimpanan Lampiran 35. Analisis ragam kadar air pada perlakuan lama penyimpanan ix

16 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Produk pangan dalam bentuk gorengan banyak beredar di masyarakat. Produk pangan gorengan tersebut antara lain opak, rempeyek, kerupuk, emping, dan rengginang. Produk pangan gorengan tersebut sebagian besar berbahan dasar tepung. Tekstur produk pangan gorengan yang renyah menjadi daya tarik untuk mengonsumsinya. Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air (Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma, dan tekstur yang khas (Saguy & Dana 2003). Produk gorengan yang beredar di masyarakat menggunakan teknik penggorengan deep fat frying. Menurut Ediati et al (2006), pemilihan pati sebagai bahan baku produk gorengan pada umumnya didasarkan pada komposisi amilosa-amilopektinnya. Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur (Winarno 1981). Komposisi amilosa-amilopektin setiap pati berbeda-beda dan menentukan perbedaan sifat pengembangannya. Kandungan amilopektin yang tinggi dapat menyebabkan suspensi pati membutuhkan waktu yang lama untuk beretrogradasi dibandingkan dengan suspensi pati yang memiliki kadar amilosa yang tinggi (Eliasson, 2006). Karakteristik seperti tekstur, viskositas, dan stabilitas dipengaruhi secara nyata oleh kadar dan berat molekul amilosa dan amilopektin (Munarso 1998). Pada tahun 2009, Indonesia mempunyai luas panen padi sebesar Ha dengan produktivitas Ku/Ha dan angka produksi padi sebesar ton. Pada tahun 2010, terjadi peningkatan luas panen sebesar Ha dengan produktivitas sebesar Ha dan total angka produksi padi ton (BPS 2012). Data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 menunjukkan luas panen menjadi Ha, produktivitas Ku/Ha, dan angka produksi padi menjadi ton. Hal ini menunjukkan bahwa angka produksi padi di Indonesia setiap tahun terus bertambah. Komponen utama beras dan beras ketan adalah pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Beras ketan memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%), dan beras beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997). Tekstur dari produk gorengan merupakan aspek kualitas terpenting yang menentukan penerimaan konsumen. Bagian penting dari tekstur gorengan adalah kerenyahan dan kekerasan. Pada umumnya masyarakat menambahkan tepung beras ataupun tepung beras ketan ke dalam produk pangan gorengan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi kekerasan dari produk gorengan tersebut. Tepung beras dan tepung beras ketan memiliki komponen utama yaitu pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Akan tetapi belum diketahui secara pasti pengaruh amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang pengaruh secara langsung amilosa dan amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan tersebut. 1

17 B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin dan kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan model produk gorengan. C. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh secara nyata amilosa dan amilopektin terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya dalam berbagai produk gorengan. 2

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi utama yaitu amilosa dan amilopektin. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat bagian yaitu beras ketan (1-2%), beras beramilosa rendah (9-20%), beras beramilosa sedang (20-25%) dan beras beramilosa tinggi (25-33%) (Winarno 1997). Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan, dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau campuran tepung beras dan terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik. Beras yang mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (20-27%) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi dapat digunakan sebagai bahan bakupembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur atau remuk (Siwi & Damardjati 1986). Tepung beras diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari tanaman padi (Oryza sativa Linn). Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 1. Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepung. Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir halus (>10 mesh), tepung kasar atau bubuk (40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung halus ( 100 mesh) (Hubeis 1984). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta bahan baku industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah. Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita & Bean 1982). B. TEPUNG BERAS KETAN Tepung beras ketan berasal dari penggilingan beras ketan putih (Oryza sativa glutinosa) sampai mencapai ukuran granula yang diinginkan. Spesifikasi persyaratan mutunya dapat dilihat pada Tabel 2. Komposisi kimia tepung beras ketan hampir sama dengan komposisi kimia beras ketan utuh (Liu & Luh 1980). Suhu gelatinisasi tepung beras ketan biasanya berkisar antara C. Tepung beras ketan mempunyai kekentalan puncak pasta yang lebih rendah daripada beberapa pasta tepung beras biji pendek, kemungkinan karena kegiatan amilolitiknya dan hampir tidak mempunyai kekentalan balik sama sekali (Haryadi 2008). 3

19 Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras menurut SNI 3549:2009 (BSN 2009) No. Jenis Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan: 1.1 Bentuk - Serbuk halus 1.2 Bau - Normal 1.3 Warna - Putih, khas tepung beras 2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada 3. Serangga (dalam bentuk setadia dan - Tidak boleh ada potongan) 4. Jenis pati lain selain pati ketan - Tidak boleh ada 5. Kehalusan : Lolos ayakan 80 mesh % b/b Air % b/b Maksimum Abu % b/b Maksimum 1,0 8. Residu SO 2 - Tidak boleh ada 9. Silikat % b/b Maksimum 0,1 10. ph Cemaran logam : 11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 0, Kadmium (Cd) mg/kg Maksimum 0, Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0, Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5 13. Cemaran mikroba: 13.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maksimum 1,0 x Escherichia Coli APM/gram Maksimum Bacillus cereus Koloni/gram Maksimum 1 x Kapang Koloni/gram Maksimum 1,0 x 10 2 Tepung beras ketan berbeda dengan tepung beras lainnya atau pati-pati lainnya dalam hal ketahanan terhadap pelepasan air dari olahannya yang banyak mengandung air pada saat pelelehan esnya dari penyimpanan beku (thawing). Tepung beras ketan dan patinya mempunyai ciri paling baik diantara pati-pati dan tepung padian lainnya karena pastanya lebih tahan pada perlakuan beku-leleh daripada tepung-tepung ataupun pati-pati lainnya. Perilaku ini kemungkinan besar karena kandungan amilosanya yang sangat sedikit (Haryadi 2008). Deobald (1972) menyatakan bahwa selain kandungan amilopektin yang meningkat, kestabilan tepung ketan sebagai pengental juga disebabkan oleh penyimpangan struktur kimia atau oleh kecilnya ukuran granula pati. Amilopektin merupakan molekul yang bercabang, sehingga molekul air yang terikat padanya tidak mudah lepas. Hal ini menyebabkan stabilnya produk selama penyimpanan. Ketan memiliki suhu gelatinisasi yang tidak jauh berbeda dengan beras. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai mengembang dalam air panas bersamaan dengan hilangnya bentuk kristal dari pati tersebut. Juliano (1972) mengungkapkan bahwa suhu gelatinisasi ketan berkisar antara ºC, sedangkan suhu gelatinisasi beras berkisar antara 58-79ºC. Suhu gelatinisasi pati ketan ini juga berkorelasi dengan sifat konsistensi gelnya. Konsistensi gel merupakan ukuran kecepatan relatif dari retrogradasi pada gel. Ketan memiliki kandungan 4

20 amilopektin lebih banyak dibandingkan dengan amilosanya. Kandungan amilosa ketan berkisar antara 1-2%. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket, tidak mengembang dalam pemasakan, dan juga tetap lunak setelah dingin. Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung beras ketan menurutsni (BSN 1998) No. Jenis Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan: 1.1 Bau - Normal 1.2 Rasa - Normal, tidak berbau apek 1.3 Warna - Normal 2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada 3. Serangga (dalam bentuk setadia dan - Tidak boleh ada potongan) 4. Jenis pati lain selain pati ketan - Tidak boleh ada 5. Kehalusan : Lolos ayakan 60 mesh Lolos ayakan 80 mesh % b/b % b/b 99% 70% 6. Air % b/b Maksimum Abu % b/b Maksimum 1,0 8. Abu silikat % b/b Maksimum 0,2 9. Serat kasar % b/b Maksimum 0,2 10. Amilosa % b/b Maksimum Derajat asam ml NaOH Maksimum 4,0 1N/100g 12. Pengawet - Sesuai SNI Residu SO 2 - Sesuai SNI Cemaran logam : 10.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 1, Tembaga (Cu) mg/kg Maksimum 10, Seng (Zn) mg/kg Maksimum 40, Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0, Cemaran Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5 12. Cemaran mikroba: 12.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maksimum 1,0 x Escherichia Coli APM/gram Maksimum Kapang dan Khamir Koloni/gram Maksimum 1,0 x 10 2 C. AMILOSA DAN AMILOPEKTIN Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Amilosa merupakan molekul linier polisakarida dengan ikatan α-1,4 dengan derajat polimerasi (DP) beberapa ratus unit glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai struktur amilosa pada rantai lurus dan juga memiliki konfigurasi bercabang yang terdapat pada setiap residu glukosa dengan ikatan α-1,6 (Whistler & Daniel 1984, diacu dalam Munarso 1998). 5

21 Amilosa memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau mengalami retrogradasi. Semakin banyak amilosa pada pati akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya. Viskositas pasta amilosa memiliki hubungan linear dengan konsentrasi. Pada selang konsentrasi amilosa 0-0.6%, peningkatan konsentrasi amilosa akan meningkatkan viskositasnya (Ulyarti 1997). Sifat amilosa yang penting jika dibandingkan dengan amilopektin adalah amilosa lebih mudah keluar dari granula dan memiliki kemampuan untuk mudah berasosiasi dengan sesamanya. Seperti pada umumnya polimer linear, amilosa mampu membentuk film dan serat (fibers) dengan kekuatan mekanik yang tinggi sehingga memungkinkan untuk dipergunakan sebagai pelapis makanan yang transparan sekaligus dapat dimakan (Ulyarti 1997). Struktur cabang pada amilopektin merupakan salah satu hasil mekanisme enzim yang memecah rantai linier yang panjang. Hasil pecahan berupa rantai-rantai pendek dengan 25 unit glukosa yang kemudian bergabung membentuk struktur yang berantai banyak (Ulyarti 1997). Derajat polimerasi amilopektin sangat bervariasi. Bila dibandingkan dengan amilosa yang hanya memiliki derajat polimerisasi sebesar unit glukosa yang berarti berat molekul amilopektin ± 10 7 Dalton. Amilopektin merupakan komponen pati yang membentuk kristalinitas granula pati. Viskositas pasta amilopektin akan meningkat apabila konsentrasinya dinaikkan (0-3%). Akan tetapi hubungan ini tidak linier sehingga diperkirakan terjadi interaksi atau pengikatan secara acak diantara molekul-molekul cabang (Ulyarti 1997). (a) (b) Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa dan (b) amilopektin Amilopektin yang memiliki rantai cabang lebih panjang memiliki kecendrungan yang kuat untuk membentuk gel. Adanya amilopektin pada pati akan mengurangi kecendrungan pati dalam membentuk gel. Karakteristik seperti tekstur, viskositas, dan stabilitas dipengaruhi secara nyata oleh kadar dan berat molekul amilosa dan amilopektin (Luallen 1988, diacu dalam Munarso 1998). Perbandingan amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur (Winarno 1981). 6

22 D. PENGGORENGAN Menggoreng adalah salah satu unit operasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas cerna (eating quality) dari makanan. Menggoreng juga merupakan proses pengawetan yang diperoleh dari pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim, dan pengurangan kadar air (Fellows 2000). Berdasarkan prosesnya, menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma, dan tekstur yang khas (Saguy dan Dana 2003, diacu dalam Juanita 2008). Proses penggorengan ada dua jenis yaitu proses gangsa (pan frying) dan menggoreng terendam (deep fat frying). Pada pan frying, bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak, sedangkan deep fat frying merupakan teknik menggoreng yang dicirikan dengan terendamnya seluruh bagian bahan pangan. Energi panas yang dihantarkan menghasilkan perubahan warna dan flavor yang diinginkan (Fellows 2000). Suhu yang digunakan pada proses penggorengan umumnya berkisar antara C (Orthoefer & Cooper 2004). Penggorengan ditujukan untuk meningkatkan karakteristik warna, flavor, dan aroma yang merupakan kombinasi dari reaksi Maillard dan komponen volatil yang diserap dari minyak (Fellows 2000). Fellows (2000) juga menyatakan bahwa ketika makanan ditaruh dalam minyak panas, suhu permukaan makanan akan meningkat cepat menuju tingkat panas minyak, sedangkan suhu bagian dalam makanan meningkat secara perlahan. Pematangan terhadap bahan pangan merupakan akibat dari terjadinya transfer panas selama proses penggorengan (Blumenthal 1996). Terdapat delapan hal yang terjadi selama proses menggoreng terendam, yaitu : 1. Penguapan air dari bahan pangan Temperatur permukaan produk meningkat. Menggoreng merupakan proses dehidrasi, yaitu keluarnya air dan udara panas dari produk akibat adanya panas dari minyak 2. Pemanasan produk sesuai suhu yang diinginkan untuk mencapai karakteristik yang diinginkan 3. Meningkatnya suhu permukaan produk untuk mencapai warna kecoklatan dan kerenyahan 4. Perubahan dimensi produk. Produk dapat mengecil, membesar maupun sama dengan ukuran sebelumnya 5. Terjadi perpindahan lemak dari minyak ke produk. Dalam beberapa kasus terjadi perpindahan lemak dari produk ke minyak seperti pada ayam 6. Terdapat sistem pergantian minyak yang dipindahkan dari produk atau kelebihan minyak ke sistem penggorengan oleh produk 7. Tidak hanya perubahan ukuran tetapi juga densitas 8. Perubahan kimia minyak dan kemampuan mentransfer panas yang berakibat terhadap kualitas produk (penyerapan minyak, tingkat pencoklatan produk, rasa, dan lain-lain) Beberapa faktor yang memengaruhi masuknya minyak ke dalam produk gorengan selama penggorengan antara lain (1) suhu dan lama penggorengan, (2) kadar air, khususnya di lapisan permukaan bahan, (3) tipe, ukuran dan bentuk produk yang digoreng, (4) perlakuan sebelum penggorengan, misalnya aplikasi batter, serta (5) tipe dan kualitas dari minyak goreng yang digunakan (Pokorny 1999). 7

23 III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras (Oryza sativa Linn) dan beras ketan (Oryza sativa glutinosa) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH 0.25%, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4 pekat, 60% NaOH-5% Na 2 S 2 O 3, H 3 BO 3, indikator metilen red-metilen blue, HCl 0.02 N, heksana, Na 2 S 2 O 3.5H 2 O, Na 2 CO 3, KIO 3, KI, HCl 2 N, indikator pati, HCl 25%, indikator phenolptalein, NaOH 45%, pereaksi Luff Schoorl, KI 20%, H 2 SO %, Na 2 S 2 O N, amilosa murni, etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1 N, dan larutan iod. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Texture Analyzer XT-2i (Stable Micro System Ltd, UK), Rapid Visco Analyzer (RVA) TechMaster (Newport Scientific Pty Limited, Australia), Deep Fat Fryer (Cecilware Corp., USA), wadah stainless steel, kain kasa, kertas saring, oven, neraca digital, spektrofotometer, pengaduk gelas, termometer, hot plate, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, nampan, botol semprot, kemasan alumunium, timbangan, wadah untuk merendam, blender kering, ayakan 100 mesh, cawan alumunium, desikator, gegep, neraca analitik, sudip, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes, pengaduk kaca, alat destilasi, erlenmeyer, buret, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, kertas saring, kapas, gelas piala, labu takar, pendingin balik, alumunium foil, corong, dan kuvet. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) karakterisasi tepung beras dan tepung beras ketan, (2) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap profil gelatinisasi, (3) kajian pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan, (4) kajian pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan, dan (5) kajian pengaruh kadar air berdasarkan lama goreng terhadap kerenyahan dan kekerasan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan a. Penepungan Beras dan Beras Ketan Pada tahap persiapan bahan dilakukan penepungan beras dan beras ketan. Penepungan dilakukan dengan menggunakan alat Pin Disc Mill (Gambar 2). Diagram alir pembuatan tepung beras dan tepung beras ketan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 2. Pin Disc Mill 8

24 Beras atau Ketan Tahap I : Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan 1. Penepungan beras dan beras ketan 2. Analisis kimia dan fisik tepung beras dan tepung beras ketan Tahap II : Kajian Pengaruh Rasio Amilosa- Amilopektin terhadap Profil Gelatinisasi Tahap III : Kajian Pengaruh Rasio Amilosa- Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan 1. Perhitungan rasio amilosaamilopektin 2. Formulasi adonan 3. Penentuan suhu dan lama goreng 4. Pembuatan model produk gorengan 5. Pengaruh rasio amilosaamilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan Tahap IV : Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Tahap V : Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Gambar 3. Diagram alir penelitian 9

25 Beras atau Beras ketan Direndam 1 malam Ditiriskan 30 menit Dikeringkan dalam oven 60 C, 120 menit Ditepungkan dengan Pin disc mill Dikeringkan dalam oven 60 C, 120 menit Diayak 100 mesh Tepung beras atau tepung beras ketan 100 mesh Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung beras atau tepung beras ketan (Suksomboon & Onanong (2006) dengan modifikasi) b. Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Karakterisasi terhadap tepung beras dan tepung beras ketan meliputi perhitungan proksimat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, densitas kamba, dan profil gelatinisasi pati. 1) Kadar Air, Metode Oven (AOAC 2006) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 C selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: 10

26 dimana: bb = basis basah bk = basis kering 2) Kadar Abu, Metode Tanur (AOAC 2006) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Cawan porselin dipanaskan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang (B) kemudian dibakar di dalam cawan porselin sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur suhu C selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Kemudian abu beserta cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). 3) Kadar Protein, Metode Mikro Kjehldal (AOAC 2006) Sampel sebanyak ± mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1±0.1 g K 2 SO 4, 40±10 mg HgO dan2±0.1 ml H 2 SO 4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit hingga cairan menjadi jernih. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml, kemudian ditambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH-5% Na 2 S 2 O 3. Labu tersebut disambungkan dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H 3 BO 3. Destilasi dilakukan sampai diperoleh volume destilat sebanyak 15 ml, kemudian destilat dititrasi dengan HCl 0.02N sampai larutan berubah warna dari hijau menjadi abu-abu. Indikator yang digunakan dalam titrasi ini adalah campuran dua bagian 0.2% metil merah dalam etanol dan satu bagian 0.2% metilen biru dalam etanol. Sebelum digunakan, HCl terlebih dahulu distandardisasi menggunakan NaOH dengan indikator fenolftalein. NaOH sebelumnya distandarisasi menggunakan larutan kaliumhidrogenftalat (KHP) dengan indikator fenolftalein. Kadar protein contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: 4) Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 2006) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan, dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Sebanyak 5 gram contoh (B) dalam bentuk potongan kecil dibungkus dengan kertas saring, kemudian kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan ke dalam alat ekstraksi dan sokhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya 11

27 dan labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refuks selam 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 C hinggga mencapai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak ditimbang (C). Berat lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut: 5) Kadar Karbohidrat (by difference) Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by different dengan persamaan: dimana: A = kadar air (% bb) B = kadar abu (% bb) C = kadar lemak (% bb) D = kadar protein (% bb) 6) Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al 1997) Pembuatan larutan Luff Schoorl Air sebanyak 1 ml dicampurkan dengan 2.5 gram CuSO 4.5H 2 O lalu diaduk. Larutan ini disebut larutan A. Air sebanyak 5 ml dicampurkan dengan 5 gram asam sitrat. Larutan ini disebut larutan B. Air mendidih sebanyak 40 ml dicampurkan dengan 38,8 gram soda murni (Na 2 CO 3.10H 2 O). Larutan ini disebut larutan C. Larutan A dan B kemudian dicampurkan ke dalam larutan C (sambil digoyang-goyangkan), lalu didinginkan. Larutan tersebut kemudian ditera di dalam labu takar 100 ml. Standardisasi larutan Na 2 S 2 O 3 0,1 N Sebanyak 12,5 gram Na 2 S 2 O 3.%H 2 O dicampurkan dengan 0,15 gram Na 2 CO 3 dalam labu takar 500 ml lalu ditera. Titrat dibuat dengan cara melarutkan 20 mg KIO 3 dalam 10 ml akuades lalu ditambahkan larutan KI 20% sebanyak 10 ml dan HCl 2 N sebanyak 10 ml, kemudian dititrasi dengan larutan larutan Na 2 S 2 O 3 yang telah dibuat sebelumnya. Titrasi dilakukan sampai titrat berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan indikator pati sebanyak 5 tetes, kamudian titrasi dilanjutkan sampai warna biru menghilang. Penghitungan normalitas larutan Na 2 CO 3 adalah sebagai berikut : 12

28 Pengukuran sampel Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25% dimasukkan ke dalam gelas piala pendingin balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan ph larutan dengan larutan NaOH 45%. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Setelah 10 menit, dinginkan larutan secara cepat dengan merendam larutan dalam air es. Selanjutnya, 15 ml KI 20% dan 25 ml H 2 SO % ditambahkan ke dalam larutan. Lakukan titrasi dengan larutan Na 2 S 2 O N yang telah distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan lanjutkan titrasi hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata. Penetapan bobot glukosa dilakukan dengan membandingkan volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan dalam tabel Luff Schoorl (Lampiran 1). Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: dimana: Vb = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi blanko Vs = volume Na 2 S 2 O 3 yang digunakan untuk titrasi sampel FP = faktor pengenceran 7) Kadar Amilosa (Apriyanto et al. 1989) Pembuatan kurva standar Sebanyak 40 g amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml etanol 95%, dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 C selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetat 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I 2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu takar, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar yang diperoleh menunjukkan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi. 13

29 Pengukuran sampel Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 C selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100, ditambahkan air destilata hingga tanda tera, dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Tambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut: dimana: C = konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = volume akhir contoh (ml) W = bobot sampel (mg) FP = faktor pengenceran 8) Kadar Amilopektin Penentuan kadar amilopektin dihitung dari selisih antara kandungan pati dengan amilosa. Kadar amilopektin (%) = kadar pati (%) kadar amilosa (%) 9) Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a gram) kemudian sampel dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml. Gelas ukur yang telah berisi sampel diketuk-ketukkan ke meja hingga tidak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 50 ml. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b gram) 10) Profil Gelatinisasi Pati (Singh et al. 2010) Analisis profil gelatinisasi pati dilakukan dengan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Sebelum dilakukan pengukuran dengan RVA, kadar air sampel harus diukur terlebih dahulu. Sejumlah sampel dan air destilata ditimbang dan dimasukkan ke dalam canister. Jumlah sampel dan air destilata ditentukan oleh program pada alat RVA sesuai dengan kadar air sampel. Selanjutnya, campuran tersebut diaduk menggunakan paddle plastik hingga bercampur sempurna untuk menghindari pembentukan gumpalan sebelum dimasukan ke dalam RVA. Sampel kemudian dimasukkan pada alat RVA dan dilakukan analisis. Selanjutnya,dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan yang diatur selama 23 menit. Sampel dipanaskan hingga suhu 30 C dan dipertahankan selama 1 menit. Kemudian sampel dipanaskan lagi hingga suhu 95 C selama 7.5 menit. 14

30 Suhu 95 C dipertahankan selama 5 menit sebelum didinginkan hingga suhu 50 C selama 7.5 menit.suhu 50 C dipertahankan selama 2 menit. Parameter yang diamati adalah suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum (peak viscosity), viskositas pada suhu 95 C, viskositas pada suhu 50 C, viskositas breakdown, dan viskositas setback. Gambar 5. Rapid Visco Analyzer 2. Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Profil Gelatinisasi Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Kemudian setiap sampel dengan rasio amilosa-amilopektin tersebut diujikan sifat amilografinya dengan menggunakan RVA. Uji ini dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan rasio amilosa-amilopektin terhadap sifat amilografi setiap sampel. 3. Kajian Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan a. Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran Tepung Beras dan Ketan Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan sehingga diperoleh beberapa sampel yang mewakili berbagai rasio amilosa-amilopektin. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan. Tabel 3. Jumlah tepung beras dan ketan yang digunakan dalam penentuan rasio amilosaamilopektin Jumlah Tepung Beras (gram) Jumlah Tepung Beras Ketan (gram)

31 b. Formulasi Adonan Tahap ini bertujuan untuk menentukan jumlah air yang ditambahkan pada tepung gorengan sehingga diperoleh adonan dengan konsistensi terbaik. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan campuran tepung beras-ketan dengan air. Pembuatan adonan ini dilakukan dengan metode trial and error hingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan terbaik. Konsistensi dan campuran adonan terbaik ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Campuran tepung beras-ketan dibuat dalam berbagai perbandingan dengan air. Perbandingan tepung dan air yang diujikan sebanyak 4 formula (Tabel 4). Tabel 4. Formulasi pembuatan adonan sampel Formula yang Diujikan Perbandingan Tepung dan Air A 1:0.5 B 1:0.6 C 1:0.7 D 1:0.8 c. Penentuan Suhu dan Lama Penggorengan Adonan Pada tahap ini dilakukan penentuan suhu dan lama penggorengan adonan agar diperoleh model produk gorengan terbaik. Suhu yang digunakan pada proses penggorengan umumnya berkisar antara C (Orthoefer & Cooper 2004). Adonan kemudian digoreng dengan menggunakan Deep Fat Fryer (Gambar 6). Suhu penggorengan dijaga tetap saat memasukkan sampel ke dalam penggorengan. Suhu tersebut merupakan suhu penggorengan terendam (Orthoefer & Cooper 2004). Penentuan suhu dan lama penggorengan dilakukan dengan metode trial and error. d. Pembuatan Model Produk Gorengan Gambar 6. Deep Fat Fryer Pembuatan model produk gorengan dilakukan pada setiap rasio amilosaamilopektin. Tahapan pembuatan model produk gorengan terdiri dari pembuatan adonan, 16

32 pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air. Banyaknya penambahan air berdasarkan hasil uji formulasi adonan. Adonan diaduk dengan menggunakan tangan sehingga diperoleh konsistensi dan campuran adonan yang rata. Konsistensi dan campuran adonan yang rata ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk dan tidak mudah hancur. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan adonan. Adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g. Kemudian adonan dicetak dengan menggunakan cetakan berbentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14 menit. e. Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Tahapan analisis pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih. Tahapan analisis tersebut terdiri dari seleksi panelis, pelatihan panelis, dan pengujian. 1) Seleksi Panelis Pemilihan panelis dilakukan dengan menyeleksi 24 orang sehingga didapatkan 8-12 orang yang selanjutnya akan dilatih hingga menjadi panelis terlatih (Adawiyah & Waysima 2009). Tahapan seleksi panelis terlatih meliputi uji identifikasi rasa dan aroma dasar, uji ketepatan dengan menggunakan uji segitiga, dan uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Formulir pendaftaran panelis terlatih dapat dilihat pada Lampiran 2. Uji pertama pada tahapan seleksi panelis terlatih adalah uji identifikasi rasa dan aroma dasar. Scoresheet identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Lampiran 3. Uji ketepatan yang dilakukan menggunakan uji segitiga dimana sampel merupakan keripik produk komersial yang dibagi dalam tiga kelompok. Penyajian setiap kelompok terdiri dari tiga sampel dimana terdapat dua produk yang sama dan satu produk yang berbeda. Calon panelis diinstruksikan untuk menulis kode sampel yang berbeda. Scoresheet uji segitiga dapat dilihat pada Lampiran 4. Uji rangking dilakukan dengan mengurutkan intensitas kerenyahan dan kekerasan dari tiga produk komersial yang berbeda. Scoresheet uji ranking dapat dilihat pada Lampiran 5. Panelis yang terpilih sebagai kandidat panelis terlatih adalah panelis yang menjawab benar 75% dari uji identifikasi rasa dan aroma dasar, 60% dari sepuluh seri uji segitiga yang dilakukan, dan dapat mengurutkan dengan benar kerenyahan dan kekerasan sampel pada uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Daftar kandidat panelis terlatih yang terpilih dapat dilihat pada Lampiran 6. 2) Pelatihan Panelis dan Penentuan Standar Panelis yang telah lolos seleksi diberi pelatihan untuk melatih kepekaan sensori terhadap atribut tekstur yang terdiri dari kerenyahan dan kekerasan. Setelah diperoleh kandidat panelis terlatih, diadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan seorang panel leader yang memimpin diskusi tersebut. Selanjutnya, dilakukan penyamaan persepsi antarpanelis dengan pengenalan terminologi istilah kerenyahan dan kekerasan. Kerenyahan menggambarkan seberapa kuat suatu bahan menahan gaya tekan yang menyebabkannya hancur. Kekerasan menggambarkan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Larsen et al 2005). Semakin 17

33 mudah bahan tersebut hancur maka semakin renyah, sedangkan semakin kuat bahan menahan untuk tidak hancur maka semakin tidak renyah. Semakin kuat daya tahan bahan untuk tidak pecah maka semakin keras sedangkan semakin mudah bahan untuk pecah maka semakin tidak keras. Panelis dilatih untuk dapat menilai intensitas suatu sampel pada skala garis sepanjang 15 cm. Pada tanda awal dan akhir diberi label berupa ekspresi kata-kata yang menunjukkan intensitas dari atribut yang diuji. Panelis memberi tanda berupa garis vertikal atau menyilang pada kisaran respon yang dideteksi. Dalam analisis deskriptif, penggunaan skala garis telah terbukti sangat efektif (Stone & Sidel 2004). Scoresheet untuk latihan menskala terdapat pada Lampiran 7. Setelah panelis mengetahui terminologi dan cara mendeteksi atribut kerenyahan dan kekeresan, panelis diminta untuk mendeskripsikan atribut kerenyahan dan kekerasan menggunakan skala garis. Penetapan terminologi atribut sensori dilakukan untuk menyamakan konsep atribut sensori sehingga dapat dikomunikasikan antar panelis satu dengan yang lainnya (Stone & Sidel 2004). Sampel yang digunakan antara lain keripik kentang A, keripik kentang B, dan keripik jagung. Panelis dilatih untuk menilai intensitas kerenyahan dan kekerasan dengan melakukan uji rating pada skala garis untuk setiap sampel. Scoresheet untuk melatih kemampuan menilai panelis pada skala garis dapat dilihat pada Lampiran 8. Pelatihan bertujuan untuk melatih kepekaan sensori para panelis terhadap atribut sensori yang akan sangat membantu pada pengujian selanjutnya. Uji rating tersebut dilakukan berulang kali hingga panelis dapat membuat urutan yang tepat untuk setiap sampel. Uji rating pada skala garis tersebut akan menghasilkan nilai-nilai intensitas aroma menurut subjektivitas panelis yang terukur melalui garis yang ditandai. Penentuan standar menggunakan sampel dengan menggunakan perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Nilai intensitas standar yang digunakan berdasarkan hasil penilaian panelis terlatih. Scoresheet penilaian intensitas standar dapat dilihat pada Lampiran 9. 3) Pengujian Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras dan tepung beras ketan yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Dari sampel tersebut dilakukan uji kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui pengaruh rasio amilosa-amilopektin terhadap kerenyahan dan kekerasan. Pengujian sampel produk gorengan menggunakan metode sensori profil tekstur. Pada saat pengujian, sampel produk gorengan ditempatkan dalam wadah plastik tertutup agar atribut kerenyahan dan kekerasan tidak berubah. Penilaian dilakukan pada skala garis sepanjang 15 cm (diasumsikan skala 0-100) sesuai dengan intensitas atribut kerenyahan dan kekerasan yang terdapat di dalamnya dengan bantuan standar. Adanya standar pada setiap atribut membantu panelis untuk mengingat dan menyamakan persepsi dengan panelis lainnya. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk melihat konsistensi panelis dan menghindari bias. Scoresheet uji profil tekstur dapat dilihat pada Lampiran 10. Berikut kajian analisis yang dilakukan pada penelitian ini. 18

34 4. Kajian Pengaruh Amilosa dan Amilopektin dalam Penyimpanan terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui seberapa besar laju penurunan kerenyahan serta efek yang terjadi terhadap kekerasan produk gorengan. Pada dasarnya kajian ini berhubungan erat dengan peningkatan kadar air produk dan efek kandungan amilosa dan amilopektin. Produk tersebut disimpan di ruang terbuka. Skala waktu penyimpanan ditentukan selama 6 jam berdasarkan trial and error. Pengukuran kerenyahan dan kekerasan menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. 5. Kajian Pengaruh Kadar Air berdasarkan Lama Goreng terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Kajian pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan dilakukan dengan mengukur kadar air berdasarkan lamanya penggorengan. Sampel yang digunakan adalah perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan 1:1. Kemudian setiap sampel diukur tingkat kerenyahan dan kekerasannya menggunakan panelis terlatih yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Kajian ini membuktikan pengaruh kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasan gorengan. 6. Analisis Data Analisis data sensori pengaruh rasio amilosa-amilopektin, kadar air, dan lama penyimpanan terhadap kerenyahan dan kekerasan produk gorengan masing-masing diolah dengan SPSS 16.0 for Windows pada program ANOVA (Analysis of variants). Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95% (α = 0.05). Jika nilai Sig. pada tabel output SPSS lebih kecil dari 0.05, terdapat perbedaan nyata antar perlakuan yang diberikan terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan. Sebaliknya, nilai Sig. yang lebih besar dari 0.05 menunjukkan perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang tidak berbeda nyata. Jika perlakuan yang diberikan menghasilkan atribut kerenyahan dan kekerasan produk gorengan yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk melihat perbedaan antara atribut kerenyahan dan kekerasan untuk masing-masing perlakuan. 19

35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang sudah disosoh sehingga hanya terdiri dari komponen endosperma. Pembuatan tepung beras IR64 dan beras ketan Ciasem menggunakan metode penggilingan kering dengan penambahan perlakuan perendaman sebelum penggilingan merujuk pada penelitian Suksomboon & Onanong (2006). Chiang & Yeh (2002) melaporkan perendaman menyebabkan struktur biji beras melonggar dan melunak akibat hidrasi sehingga menghasilkan partikel tepung yang kecil dengan kerusakan pati yang sedikit. Semakin tinggi tingkat difusi air, semakin lunak biji beras. Selama perendaman, protein, lipid, dan abu juga tercuci keluar (Chiang & Yeh 2002). Biji beras dan beras ketan dikeringkan dalam tray dryer yang berguna untuk mengurangi kadar air butir beras dan beras ketan sehingga memudahkan dalam proses penepungan menggunakan pin disc mill. Jika kadar air terlalu tinggi, maka butir beras dan beras ketan akan menempel pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan dalam alat tersebut. Di sisi lain, jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Penggilingan bertujuan untuk memperhalus ukuran butir beras dan beras ketan menjadi tepung dengan menggunakan pin disc mill. Untuk memperoleh tepung beras dan beras ketan dengan ukuran partikel yang seragam, pengayakan dilakukan menggunakan saringan berukuran 100 mesh. Penggunaan ayakan 100 mesh merujuk pada SNI yang menyebutkan bahwa kehalusan tepung beras harus dapat lolos ayakan 80 mesh minimal sebanyak 90%, sedangkan SNI menyebutkan bahwa tepung beras ketan harus dapat lolos ayakan 60 mesh minimal sebanyak 99% dan ayakan 80 mesh minimal sebanyak 70%. Hasil rendemen penepungan beras IR64 dan beras ketan Ciasem pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rendemen tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Bahan Baku Berat Awal (kg) Berat Akhir (kg) Rendemen (%) Beras IR Beras ketan Ciasem Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa rendemen tepung beras ketan Ciasem lebih rendah (52.99%) dibandingkan dengan tepung beras IR64 (73.84%). Ketan memiliki kandungan amilopektin lebih banyak dibandingkan dengan amilosanya. Hal inilah yang menyebabkan ketan memiliki sifat lengket. Pada saat penepungan, tepung beras ketan lebih mudah menempel pada pin disc mill dibandingkan tepung beras. Hal ini dapat menyebabkan rendemen yang dihasilkan menjadi rendah. Kadar air yang terlalu tinggi pada butir beras dan beras ketan juga menyebabkan menempelnya tepung pada pin disc mill saat ditepungkan sehingga mengurangi rendemen. 20

36 2. Karakter Kimia dan Fisik Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan a. Proksimat Analisis proksimat pada bahan pangan dilakukan untuk mengetahui nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat tepung beras IR64 secara berturut-turut sebesar 9.23%, 0.35%, 8.25%, 0.29%, dan 81.88%, sedangkan untuk tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.99%, 0.63%, 8.14%, 0.29%, dan 81.95%. Pada Tabel 7, dapat dilihat hasil analisis proksimat tepung beras varietas lainnya sebagai pembanding. Tabel 6. Hasil analisis proksimat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Proksimat Tepung Beras IR64 (%bb) Tepung Beras Ketan Ciasem (%bb) Kadar air 9.23± ±0.09 Kadar abu 0.35± ±0.01 Kadar protein 8.25± ±0.03 Kadar lemak 0.29± ±0.00 Kadar karbohidrat Keterangan: pengujian proksimat dilakukan sebanyak dua kali ulangan Hasil kadar air tepung beras IR64 dan ketan Ciasem memenuhi standar SNI tepung beras dengan kadar air maksimum 13%bb dan SNI tepung beras ketan dengan kadar air maksimum 12%bb sehingga telah memenuhi syarat untuk disimpan pada suhu ruang. Daya tahan suatu bahan dapat diperpanjang dengan menghilangkan sebagian air dalam bahan tersebut (Winarno 1997). Kadar air tepung ditentukan oleh pengeringan yang dilakukan sebelum pengayakan tepung. Proses pengeringan harus dilakukan dengan baik agar tepung yang diperoleh benar-benar kering. Jika tepung belum kering dengan sempurna, tepung akan menempel dan terasa dingin di tangan. Penyimpanan tepung dalam kondisi tidak kering sempurna menyebabkan kerusakan pada tepung. Menurut Winarno (1997) pengeringan dapat menghilangkan molekul air yang berikatan dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti karbohidrat, protein, atau garam dalam bentuk hidrat. Tabel 7. Hasil analisis proksimat pembanding tepung beras varietas lain Karakteristik Kimia Jenis Tepung Beras (%bb) Cisadane* Cisadane** PB36** IR36*** Semeru*** Cisadane*** Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat *Yusfik (1998), **Artika (1987), ***Lestari (1987) 21

37 Unsur mineral dalam bahan pangan dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu pada tepung beras IR64 sebesar 0.35%bb dan tepung ketan Ciasem sebesar 0.63%bb. Berdasarkan SNI 3549:2009, kadar abu maksimum untuk tepung beras sebesar 1.0%bb, sedangkan kadar abu maksimum untuk tepung beras ketan sebesar 1.0%bb berdasarkan SNI Hal ini menunjukkan bahwa tepung beras IR64 dan ketan Ciasem pada penelitian ini memenuhi standar SNI. Kandungan abu yang rendah disebabkan perlakuan perendaman. Menurut Chen et al. (1999), bahwa perendaman menyebabkan larutnya sebagian mineral, vitamin larut air, albumin,dan gula ke dalam air perendam. Kadar protein tepung beras IR64 sebesar 8.25%bb dan kadar protein tepung beras ketan Ciasem sebesar 8.14%bb. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan pada nitrogen yang terkandung dalam bahan (Apriyantono et al. 1989). Kandungan protein berperan penting dalam kemampuan pengembangan granula pati. Protein mengelilingi granula pati, membatasi pengembangan granula, dan sifat kohesinya menghambat keluarnya material dari dalam granula selama proses gelatinisasi (Charles et al. 2007). Pada proses perendaman sebelum penggilingan, terjadi proses aktivasi enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi komponen sederhana seperti peptida dan asam amino yang lebih larut (Chiou et al. 2002). Protein melekat pada permukaan granula pati dan mengisi ruang diantara granula pati. Perlakuan perendaman mengakibatkan penyerapan air sehingga struktur granula pati retak dan protein keluar (Chiang &Yeh 2002). Hal ini dapat mengakitkan kandungan protein menjadi rendah. Tepung beras IR64 dan ketan Ciasem memiliki kandungan lemak yang sama yaitu sebesar 0.29%bb. Selama perendaman, kemungkinan lemak terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim-enzim. Enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak terdapat pada semua jaringan yang mengandung lemak (Winarno 1997). Gliserol lebih mudah larut ke dalam larutan perendam sehingga kadar lemaknya menurun. Menurut Chiang & Yeh (2002) bahwa perlakuan perendaman pada beras menghasilkan tepung dengan jumlah lemak yang lebih sedikit. Selain itu, kadar lemak yang rendah pada tepung beras dan ketan disebabkan adanya proses pemisahan lembaga pada saat penyosohan brown rice. Penentuan kadar karbohidrat tepung beras IR64 dan ketan Ciasem menggunakan cara perhitungan kasar atau juga disebut carbohydrate by difference. Menurut Winarno (1997), perhitungan carbohydrate by difference adalah penentuan karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar dan hasilnya biasanya dicantumkan dalam daftar komposisi bahan pangan. Kandungan karbohidrat pada tepung beras IR 64 sebesar 81.88%bb dan tepung beras ketan Ciasem sebesar 81.95%bb. b. Kadar Pati, Amilosa, dan Amilopektin Pada penelitian ini, penentuan kadar pati tepung beras IR64 dan ketan Ciasem menggunakan metode Luff Schoorl. Metode tersebut menggunakan cara titrasi untuk menentukan kadar pati sampel. Hasil kadar pati sampel dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil penelitian menunjukkan kadar pati tepung beras IR64 (72.37%) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem sebesar (71.31%). Pada penelitian Setyaningsih (2008) kadar pati beras IR64 sebesar 73.7%bb. Pada penelitian Argasasmita (2008), kadar pati beras ketan Ciasem sebesar 81.31%bb. Kadar pati tepung beras IR64 dan ketan Ciasem pada 22

38 penelitian ini lebih rendah dibandingkan pati beras IR64 penelitian Setyaningsih (2008) dan ketan Ciasem penelitian Argasasmita (2008). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-d-glikosida, sedangkan amilopektin mempunyai cabang α-(1,6)-d-glikosida sebanyak 4-5% berat total (Winarno 1997). Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin sampel dapat dilihat pada Tabel 8. Amilosa dan amilopektin berpengaruh besar terhadap karakteristik gelatinisasi dan retrogradasi pati (Jane et al. 1999). Tabel 8. Hasil analisis kadar pati, amilosa, dan amilopektin tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Karakteristik Kimia Tepung Beras IR64 (%bb) Tepung Beras Ketan Ciasem (%bb) Kadar pati 72.37± ±0.25 Kadar amilosa 26.58± ±0.02 Kadar amilopektin 45.80± ±0.23 Keterangan: pengujian kadar pati, amilosa, dan amilopektin dilakukan sebanyak dua kali ulangan Analisis kadar amilosa dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar amilosa murni (Lampiran 13) digunakan untuk menentukan konsentrasi amilosa yang terkandung dalam sampel pati yang diuji. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kandungan amilosa pada tepung beras ketan Ciasem (2.46%) lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras IR64 (26.58%). Berdasarkan penelitian Lestari (1987), kadar amilosa tepung beras IR36, Semeru, dan Cisadane berturut-turut sebesar 27.75%, 27.55%, dan 22.12%. Tepung beras ketan Ciasem memiliki kadar amilosa yang paling rendah, sedangkan tepung beras IR64 memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung beras ketan Ciasem dan Cisadane tetapi masih lebih rendah dibandingkan IR36 dan Semeru. Semakin tinggi kandungan amilosa suatu bahan maka semakin kecil kandungan amilopektin bahan tersebut. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kandungan amilopektin tepung beras IR64 sebesar 45.80% dan ketan Ciasem sebesar 68.85%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Argasasmita (2008), kadaramilosa beras ketan Ciasem sebesar 7.32% dan amilopektin sebesar Beras IR64 memiliki kadaramilosa sebesar 24.6% dan amilopektin sebesar 49.2% (Setyaningsih 2008). Kadar amilosa berpengaruh besar pada gelatinisasi dan retrogradasi pati (Fredriksson et al. 1998), viskositas pasta (Yanagisawa et al. 2006), pembentukan gel (Biliaderis dan Zawistowski 1990), dan daya cerna α-amylase (Skrabanja et al. 1999). Kadar amilosa dilaporkan bervariasi sesuai sumber penghasil patinya dan dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah selama pertumbuhan biji (Singh et al. 2006). c. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan bobot terhadap volume suatu bahan. Pengukuran densitas kamba pati sorgum dilakukan dengan memasukkan sejumlah 23

39 tepung ke dalam wadah yang telah diketahui volumenya. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis densitas kamba tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Jenis Densitas Kamba (g/ml) Tepung beras IR ±0.00 Tepung beras ketan Ciasem 0.78±0.00 Keterangan: pengujian densitas kamba dilakukan sebanyak dua kali ulangan Densitas kamba tepung beras IR64 (0.75 g/ml) lebih rendah dibandingkan dengan tepung beras ketan Ciasem (0.78 g/ml). Semakin tinggi densitas kamba suatu bahan, semakin besar bobot untuk setiap volumenya. Bahan dengan densitas kamba yang tinggi membutuhkan volume yang lebih kecil dibanding bahan dengan densitas kamba yang rendah pada bobot yang sama. Densitas kamba suatu bahan ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan dengan ukuran partikel yang lebih besar akan memiliki densitas kamba yang lebih kecil. Ukuran partikel meningkat menyebabkan pori-pori ruang diantara partikel meningkat sehingga menurunkan densitas kamba (Chevananet al. 2010). Pada penelitian ini, ukuran partikel tepung beras IR64 dan ketan Ciasem tidaklah sama. Hal ini dikarenakan tepung hanya diayak dengan ayakan 100 mesh sehingga keragaman ukuran partikel tepung dapat berada diantara 100 mesh atau lebih besar. Pengukuran densitas kamba berguna untuk mengetahui seberapa besar volume yang diperlukan untuk menyimpan sejumlah besar bahan. d. Profil Gelatinisasi Pati Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dianalisis dengan menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). Menurut Winarno (1997), mekanisme gelatinisasi pati terdiri dari tiga tahap. Pertama, air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula. Kemudian pada suhu 60 C-85 C granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence -nya. Pada tahap ketiga, jika temperatur terus naik maka molekul-molekul pati akan terdifusi dari granula. Kurva gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8. Tabel 10. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 dan ketan Ciasem Sampel Tepung Beras IR64 Tepung Beras Ketan Ciasem Viskositas puncak (cp) Viskositas trough (cp) Viskositas breakdown (cp) Viskositas akhir (cp) Viskositas setback (cp) Waktu puncak (menit) Suhu gelatinisasi (⁰C) Keterangan: pengujian profil gelatinisasi pati dilakukan sebanyak dua kali ulangan 24

40 Pada Tabel 10 terlihat bahwa tepung beras IR64 memiliki viskositas puncak (4921 cp) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (3789 cp). Lin et al. (2011) melaporkan viskositas puncak tepung beramilosa sedang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beramilosa rendah. Viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak. Kompleks amilosa dengan lemak akan meningkatkan suhu gelatinisasi sehingga viskositas puncak, akhir, dan setback meningkat (Lee et al. 2002). Hal ini terlihat dari nilai viskositas akhir tepung beras IR64 ( cp) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (2989 cp). Begitu pun nilai viskositas setback tepung beras IR64 (5144 cp) yang lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem (1175 cp). Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Pada Tabel 11 dapat dilihat hasil penelitian Lin et al. (2011) mengenai profil gelatinisasi rata-rata tepung beras beramilosa rendah, sedang, dan tinggi dari berbagai macam jenis beras sebagai pembanding. Viskositas trough merupakan viskositas minimum pada fasa suhu konstan yang mengukur kemampuan pati untuk bertahan terhadap breakdown selama proses pemanasan. Viskositas trough tepung beras IR64 lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem. Viskositas breakdown menunjukkan stabilitas granula pati selama pemanasan dan pengadukan. Tepung beras IR64 memiliki nilai viskositas breakdown ( cp) yang lebih rendah daripada tepung beras ketan Ciasem (1975 cp). Viskositas breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002). Hasil penelitian menunjukkan tepung beras IR64 lebih tahan terhadap pengadukan dan pemanasan. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Tabel 11. Profil gelatinisasi pati berbagai jenis tepung beras berdasarkan kandungan amilosa (Lin et al. 2011)* Tepung Beras Beramilosa Rendah Tepung Beras Beramilosa Sedang Tepung Beras Beramilosa Tinggi Viskositas puncak (cp) Viscositas Hot Pasting (cp) Viskositas breakdown (cp) Viskositas akhir (cp) Viskositas setback (cp) Suhu gelatinisasi (⁰C) *Data tersebut merupakan nilai rata-rata berbagai macam tepung beras 25

41 Viskositas setback merupakan parameter yang dipakai untuk melihat kecendrungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Sineresis adalah keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati (Winarno 1997). Retrogradasi merupakan terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula pati setelah pasta didinginkan. Menurut Goodfellow & Wilson (1990), proporsi amilosa dan struktur amilopektin memiliki peranan penting pada kecepatan dan derajat retrogradasi pati. Nilai viskositas setback tepung beras IR64 lebih tinggi dibandingkan tepung beras ketan Ciasem. Berdasarkan penelitian Lin et al.(2011), nilai viskositas setback tepung beramilosa tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beramilosa rendah dan sedang. Tepung beras IR64 memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung beras ketan Ciasem. Nilai viskositas setback yang tinggi akan menghasilkan sifat kohesif dan hardness yang tinggi pada mi serta kelengketan dan cooking loss yang rendah. Retrogradasi pati berhubungan dengan perubahan tekstur dan daya cerna produk pangan berbasis pati selama penyimpanan (Matalanis et al. 2009). Waktu puncak merupakan parameter waktu pemasakan pasta pati. Waktu puncak tepung beras IR64 lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem. Hal ini berarti tepung beras IR64 memiliki waktu pemasakan pasta pati yang lebih lambat daripada tepung beras ketan Ciasem. Hal tersebut menyebabkan tepung beras IR64 lebih lambat mengental dan mencapai viskositas puncaknya. Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana mulai terdeteksi adanya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pembengkakan granula pati. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 ( C) lebih tinggi daripada tepung beras ketan Ciasem ( C). Lin et al. (2011) melaporkan suhu gelatinisasi tepung beras lebih tinggi daripada tepung beras ketan. Suhu gelatinisasi tepung beras IR64 yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama dan energi termal yang lebih besar selama proses. Suhu gelatinisasi yang tinggi mengindikasikan stabilitas kristal molekul pati (Moorthy 2002). Viskositas puncak Viskositas akhir Viskositas breakdown Viskositas setback Suhu awal gelatinisasi Viskositas trough Waktu puncak = Viskositas = Suhu Gambar 7. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras ketan Ciasem 26

42 = Viskositas = Suhu Viskositas akhir Viskositas puncak Viskositas setback Viskositas breakdown Suhu awal gelatinisasi Viskositas trough Waktu puncak Gambar 8. Profil gelatinisasi pati dari tepung beras IR64 B. KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP PROFIL GELATINISASI Sebelum dilakukan analisis sensori, adonan diuji profil gelatinisasinya dengan menggunakan alat RVA. Profil gelatinisasi keempat rasio amilosa-amilopektin dapat dilihat pada Tabel 12. Profil gelatinisasi menunjukkan rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki viskositas puncak, trough, akhir, setback, dan suhu gelatinisasi tertinggi diikuti oleh rasio amilosaamilopektin 0.4, 0.2, dan terendah Hal ini menunjukkan viskositas puncak, trough, akhir, setback, dan suhu gelatinisasi berkorelasi positif dengan kandungan amilosa pada tepung. Tabel 12. Profil gelatinisasi pati dari sampel Rasio Amilosa-Amilopektin Viskositas puncak (cp) Viskositas trough (cp) Viskositas breakdown (cp) Viskositas akhir (cp) Viskositas setback (cp) Waktu puncak (menit) Suhu gelatinisasi (⁰C) Keterangan: pengujian profil gelatinisasi pati dilakukan sebanyak dua kali ulangan Viskositas puncak dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan lemak. Kompleks amilosa dengan lemak akan meningkatkan suhu gelatinisasi sehingga viskositas puncak, akhir, dan setback meningkat (Lee et al. 2002). Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. 27

43 Viskositas trough merupakan viskositas minimum pada fasa suhu konstan yang mengukur kemampuan pati untuk bertahan terhadap breakdown selama proses pemanasan. Viskositas breakdown diperoleh dari hasil pengurangan viskositas puncak dengan viskositas trough. Peningkatan nilai viskositas breakdown menunjukkan bahwa pati semakin tidak tahan terhadap pemanasan dan pengadukan (Lee et al. 2002). Semakin tinggi kandungan amilosa pada tepung maka semakin tinggi nilai viskositas trough. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Semakin banyak amilosa pada sampel akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya (Ulyarti 1997). Viskositas setback merupakan parameter yang dipakai untuk melihat kecendrungan retrogradasi maupun sineresis dari suatu pasta. Retrogradasi merupakan terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula pati setelah pasta didinginkan. Sampel dengan amilosa tinggi mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur, atau remuk. Nilai viskositas setback yang tinggi akan menghasilkan sifat kohesif dan kekerasanyang tinggi. Suhu gelatinisasi yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama dan energi termal yang lebih besar selama proses. Suhu gelatinisasi yang tinggi mengindikasikan stabilitas kristal molekul pati (Moorthy 2002). Lin et al. (2011),melaporkan tepung beramilosa tinggi memiliki gel tepung yang lebih keras, adesif, dan kompak dibandingkan tepung beramilosa rendah dan sedang. C. KAJIAN PENGARUH RASIO AMILOSA-AMILOPEKTIN TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN 1. Perhitungan Rasio Amilosa-Amilopektin berdasarkan Campuran Tepung Beras dan Ketan Penentuan rasio amilosa-amilopektin dilakukan dengan mencampurkan tepung beras IR64 dan tepung beras ketan Ciasem sehingga diperoleh beberapa sampel yang mewakili berbagai rasio amilosa-amilopektin. Empat perlakuan rasio amilosa-amilopektin yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel

44 Tabel 13. Hasil rasio amilosa-amilopektin berdasarkan pencampuran tepung beras dan ketan Jumlah Tepung Beras (gram) Jumlah Tepung Ketan (gram) Rasio Amilosa-Amilopektin Formulasi Adonan Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan campuran tepung beras IR64- tepung beras ketan Ciasem dengan air. Pembuatan adonan ini dilakukan dengan metode trial and error. Perbandingan tepung beras dan tepung beras ketan yang digunakan adalah 50:50. Perbandingan tepung dan air yang diujikan sebanyak 4 formula, yaitu formula A = 1:0.5, formula B = 1:0.6, formula C = 1:0.7, dan formula D = 1:0.8. Berdasarkan perlakuan trial and error yang telah dilakukan, perbandingan tepung beras-tepung beras ketan dan air yang memiliki konsistensi dan campuran adonan terbaik adalah 1:0.7 (Gambar 9). Pada formula A (1:0.5) dan formula B (1:0.6), adonan yang terbentuk mudah hancur sehingga tidak bisa dicetak. Formula C (1:0.7) menghasilkan konsistensi dan campuran adonan terbaik ditandai dengan tidak menempelnya adonan pada telapak tangan, tidak ada bagian kering tepung yang masih terlihat pada adonan, dan adonan terikat kuat sehingga mudah dibentuk, dicetak, dan tidak mudah hancur. Formula D (1:0.8) menghasilkan adonan yang cair, lengket, dan sulit dicetak. 1:0.5 1:0.6 1:0.7 1:0.8 Perbandingan tepung : air Gambar 9. Adonan hasil pencampuran tepung dan air pada empat rasio berbeda 3. Pembuatan Model Produk Gorengan Pembuatan model produk gorengan dilakukan pada setiap rasio amilosa-amilopektin. Tahapan pembuatan model produk gorengan terdiri dari pembuatan adonan, pencetakan adonan, dan penggorengan adonan. Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan tepung dan air. Perbandingan tepung dan air yang digunakan adalah 1:0.7 berdasarkan uji sebelumnya. Adonan diaduk dengan menggunakan tangan sehingga diperoleh konsistensi dan pencampuran antara tepung dan air yang rata. Tahap selanjutnya yaitu pencetakan 29

45 adonan. Adonan dibagi dalam ukuran yang lebih kecil dengan berat seragam yaitu 5 g. Kemudian adonan dicetak dengan menggunakan cetakan berbentuk tabung dengan dimensi 3.5 cm x 3.5 cm x 0.5 cm. Hasil dari pencetakan adonan dapat dilihat pada Gambar 10. Kemudian adonan digoreng dalam deep fat fryer pada suhu 160⁰C selama 14 menit. Suhu dan lama penggorengan adonan tersebut merupakan hasil trial and error. Hasil penelitian menunjukkan suhu dan lama penggorengan optimum yang menghasilkan model produk gorengan terbaik yaitu 160⁰C selama 14 menit. Pada Gambar 11 dapat dilihat hasil penggorengan dari model produk gorengan pada keempat perlakuan rasio amilosaamilopektin Rasio amilosa-amilopektin Gambar 10. Hasil pencetakan adonan pada empat rasio amilosa-amilopektin berbeda Rasio amilosa-amilopektin Gambar 11. Model produk gorengan pada empat rasio amilosa-amilopektin berbeda 4. Pengaruh Rasio Amilosa-Amilopektin terhadap Kerenyahan dan Kekerasan Analisis sensori profil tekstur digunakan ketika contoh yang diujikan banyak dan bervariasi untuk atribut tekstur. Selain itu, analisis sensori profil tekstur membutuhkan 30

46 panelis terlatih dalam pengujiannya (Setyaningsih et al. 2010). Analisis sensori profil tekstur meliputi seleksi panelis, pelatihan panelis, dan analisis kuantitatif kerenyahan dan kekerasan sampel. a. Seleksi Panelis Seleksi panelis bertujuan untuk memperoleh panelis yang dapat mengenali dan mengetahui secara umum perbedaan intensitas kerenyahan dan kekerasan pada produk gorengan secara umum. Pemilihan panelis dilakukan dengan menyeleksi sejumlah orang sehingga didapatkan 8-12 orang yang selanjutnya akan dilatih hingga menjadi panelis terlatih (Adawiyah & Waysima 2009). Tahap seleksi panelis terdiri dari tiga tahap antara lainuji identifikasi rasa dan aroma dasar, uji ketepatan dengan menggunakan uji segitiga, dan uji ranking (Meilgaard et al. 1999). Panelis yang terpilih kemudian dilatih menjadi panelis terlatih untuk digunakan pada pengujian atribut kerenyahan dan kekerasan sampel dengan bahan dasar tepung beras IR64 dan tepung beras ketan Ciasem pada berbagai macam perlakuan. Seleksi panelis pertama adalah uji identifikasi rasa dan aroma dasar. Uji identifikasi bertujuan untuk mengetahui kemampuan panelis dalam membedakan dan mendeskripsikan beberapa stimulus rasa dan aroma dasar. Scoresheet uji identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada tahap ini diperoleh 18 panelis dari total 24 panelis yang mengikuti seleksi panelis terlatih. Panelis yang terpilih merupakan panelis yang dapat mengidentifikasi secara benar minimal 75% dari keseluruhan rasa dan aroma dasar yang diujikan. Panelis yang lolos uji identifikasi rasa dan aroma dasar diseleksi kembali menggunakan uji segitiga atribut kerenyahan dan kekerasan menggunakan sampel komersil. Uji segitiga atribut kerenyahan dan kekerasan dilakukan sebanyak 10 set dalam waktu 3 hari. Setiap set terdiri dari dua sampel yang sama dan satu sampel yang berbeda. Dari uji segitiga yang telah dilakukan, dihasilkan 15 panelis yang dapat memenuhi persyaratan, yaitu panelis yang mempunyai jawaban benar minimal 60% dari contoh standar aroma yang diberikan. Selanjutnya panelis yang lolos uji segitiga mengikuti uji ranking dimana calon panelis yang lolos adalah yang mampu menjawab dengan benar. Panelis yang lolos tahap ini sebanyak 12 orang. Personal interview dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran apakah kandidat memiliki kemauan yang serius dan untuk konfirmasi minat kandidat dalam tahapan berikutnya, yaitu pelatihan. Dari hasil interview, kedua belas panelis bersedia mengikuti serangkaian pelatihan panelis. Hasil seleksi panelis terlatih dapat dilihat pada Lampiran 6. b. Pelatihan Panelis Pelatihan panelis terdiri dari FGD (Focus Group Discussion), penetapan terminologi atribut sensori, pengenalan uji deskriptif profil tekstur, dan pelatihan standardisasi atribut kerenyahan dan kekerasan. FGD dilakukan untuk menyamakan persepsi antar panelis dengan pengenalan terminologi kerenyahan dan kekerasan. Penetapan terminologi atribut sensori dilakukan untuk menyamakan konsep atribut sensori sehingga dapat dikomunikasikan antar panelis satu dengan yang lainnya (Stone & Sidel 2004). Terminologi kerenyahan dan kekerasan mengacu pada Larsen et al. (2005). Kerenyahan menggambarkan seberapa kuat suatu bahan menahan gaya tekan yang menyebabkannya hancur. Kekerasan menggambarkan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan (Larsen et al. 2005). Kekerasan berbanding 31

47 terbalik dengan kerenyahan suatu produk, semakin tinggi kekerasan produk menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki kerenyahan yang rendah, begitupun sebaliknya semakin rendah nilai kekerasan suatu produk menunjukkan semakin tinggi kerenyahannya (Buckle et al. 1987). Pelatihan berikutnya yaitu pengenalan uji deskriptif sensori profil tekstur. Metode ini didasarkan pada klasifikasi sistematik sifat-sifat tekstur yang diterapkan pada definisi dan deskripsi masing-masing atribut. Metode sensori profil tekstur biasanya menggunakan skala garis (Setyaningsih 2010). Skala garis mempunyai panjang 15 cm dengan penilaian rating intensitas dimana 0 cm menunjukkan tidak terdekteksinya suatu atribut dan 15 cm menunjukkan deteksi atribut tertinggi (Meilgaard et al. 1999). Pada tahap pelatihan digunakan tiga sampel komersial. Scoresheet pelatihan panelis dapat dilihat pada lampiran 10. Pelatihan dilakukan hingga tercapai konsistensi dalam penilaian atribut kerenyahan dan kekerasan. Tahap selanjutnya yaitu penentuan standar untuk stribut kerenyahan dan kekerasan. Standar yang digunakan berasal dari bahan sama dengan perlakuan yang sama pula. Penggunaan bahan dan perlakuan yang sama dengan sampel dapat menghindari bias dalam pemberian nilai kerenyahan dan kekerasan. Hal ini dikarenakan penampakan visual, rasa, dan aroma sama tetapi berbeda dalam tingkat kerenyahan dan kekerasan saja. Standar yang digunakan adalah perbandingan tepung beras IR64 dan ketan Ciasem 50:50. Lama waktu penggorengan dan suhu yang digunakan adalah selama 14 menit pada suhu 160⁰C berdasarkan trial and error. Nilai intensitas atribut kerenyahan dan kekerasan ditentukan oleh panelis terlatih yang dilakukan sebanyak dua ulangan. Hasil penilaian intensitas standar kerenyahan dan kekerasan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil penetapan standar atribut sensori berdasarkan organoleptik Atribut Sensori Intensitas Kerenyahan 6.94±0.16 Kekerasan 12.11±0.06 Keterangan: penentuan standar dilakukan sebanyak dua kali ulangan c. Pengujian Sembilan orang panelis terlatih melakukan penilaian atribut kerenyahan dan kekerasan pada tiga jenis perlakuan berbeda sampel. Pengujian dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode sensori profil tekstur dengan membandingkan terhadap standar yang nilainya telah ditentukan pada tahap pelatihan. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada setiap sampel. Ulangan dapat membantu mengkondisikan panelis terlatih agar dapat melakukan penilaian secara konsisten (Piggot et al. 1998) dengan membandingkan dengan standar yang nilainya telah ditentukan saat tahap pelatihan. Analisis kuantitatif atribut kerenyahan dan kekerasan menggunakan standar (R) pada skala tidak terstruktur sepanjang 15 cm. Pengukuran intensitas atribut kerenyahan dan kekerasan dilakukan dengan penggaris, nilai yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi skala 100. Jumlah set per sesi analisis tergantung derajat kelelahan panelis dalam menilai dan mengisi lembar uji. Umumnya 4-6 sampel per hari dan jika produk yang dinilai rumit atau atribut sensori yang dianalisis banyak, maka cukup tiga sampel per hari. Apabila sampel terlalu sedikit akan mengakibatkan variasi yang terlalu 32

48 besar dan apabila sampel terlalu banyak akan mengakibatkan antar contoh kelihatannya berbeda tetapi sebenarnya tidak (Setyaningsih et al. 2010). Sembilan orang panelis terlatih melakukan penilaian terhadap atribut kerenyahan dan kekerasan sampel dengan rasio amilos-amilopektin 0.04, 0.2, 0.4, dan Hasil uji sensori profil tekstur atribut kerenyahan dan kekerasan beserta kadar air dapat dilihat pada Tabel 15. Pada atribut kerenyahan, hasil uji profil tekstur menunjukkan rasio amilosa-amilopektin 0.04 memiliki nilai kerenyahan tertinggi (58.67±10.91 c ) diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.2 (53.63±9.63 bc ) kemudian 0.4 (48.47±9.99 b ) dan kerenyahan terendah dimiliki oleh rasio amilosa-amilopektin 0.58 (36.62±10.64 a ). Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, kerenyahan rasio amilosaamilopektin 0.58 berbeda nyata dengan ketiga rasio lainnya. Kerenyahan rasio amilosaamilopektin 0.4 berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 dan 0.04 tetapi tidak berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.2. Kerenyahan rasio amilosaamilopektin 0.2 berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 dan 0.04 tetapi tidak berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.4. Kerenyahan rasio amilosaamilopektin 0.04 berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 dan 0.4 tetapi tidak berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.2. Rasio amilosa-amilopektin 0.04 menunjukkan jumlah amilopektin yang semakin tinggi sedangkan rasio amilosaamilopektin 0.58 menunjukkan jumlah amilosa yang semakin tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa amilopektin berperan dalam meningkatkan kerenyahan dibandingkan amilosa. Tabel 15. Hasil uji sensori profil tekstur sampel dengan berbagai rasio amilosaamilopektin Rasio Amilosa-Amilopektin Kerenyahan* Kekerasan* Kadar air (%) ±10.64 a 82.90±4.23 c 4.20±0.07 a ±9.99 b 72.20±8.69 b 5.02±0.04 b ±9.63 bc 64.84±11.39 a 5.72±0.07 c ±10.91 c 63.61±7.24 a 6.20±0.06 d Keterangan: Nilai yang diikutioleh huruf yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Duncan. *Nilai kerenyahan dan kekerasan merupakan hasil organoleptik dengan skala maksimum 100 Pada atribut kekerasan, hasil uji sensori profil tekstur menunjukkan produk dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki nilai kekerasan tertinggi (82.90±4.23 c ) diikuti oleh rasio amilosa-amilopektin 0.4 (72.20±8.69 b ) kemudian 0.2 (64.84±11.39 a ) dan kekerasan terendah dimiliki oleh rasio amilosa-amilopektin 0.04 (63.61±7.24 a ). Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, kekerasan rasio amilosaamilopektin 0.58 berbeda nyata dengan ketiga rasio lainnya. Kekerasan rasio amilosaamilopektin 0.4 juga berbeda nyata dengan ketiga sampel lainnya. Kekerasan rasio amilosa-amilopektin 0.2 berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 dan 0.4 tetapi tidak berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin Kekerasan rasio amilosa-amilopektin 0.04 berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.58 dan 0.4 tetapi tidak berbeda nyata dengan rasio amilosa-amilopektin 0.2. Rasio amilosaamilopektin 0.04 menunjukkan jumlah amilopektin yang semakin tinggi sedangkan rasio amilosa-amilopektin 0.58 menunjukkan jumlah amilosa yang semakin tinggi. Hasil ini 33

49 menunjukkan bahwa amilosa berperan dalam meningkatkan kekerasan dibandingkan amilopektin. Berdasarkan penelitian Ediati et al. (2006), semakin tinggi kandungan amilosa maka semakin menghasilkan tingkat pengembangan dan kerenyahan yang tinggi. Ediati et al. (2006) melaporkan diantara kandungan amilosa 21, 25, 29, 33, dan 37%, kandungan amilosa 37% menghasilkan pengembangan volume dan kerenyahan terbaik. Hasil penelitian yang dilakukan Ediati et al. (2006) bertentangan dengan hasil penelitian ini. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain sampel yang digunakan oleh Ediati et al. (2006) merupakan campuran tepung beras dan maizena, dimana semakin tinggi kadar amilosa maka penggunaan maizena semakin banyak. Hal ini memungkinkan komponen protein pda maizena berperan dalam derajat pengembangan dan mempengaruhi kerenyahan. Tingkat Kerenyahan (skala maksimum 100) Viskositas akhir (cp) Gambar 12. Hubungan viskositas akhir terhadap kerenyahan Tingkat kekerasan (skala maksimum 100) Viskositas akhir (cp) Gambar 13. Hubungan viskositas akhir terhadap kekerasan Rasio amilosa-amilopektin 0.58 memiliki viskositas akhir tertinggi diikuti rasio amilosa-amilopektin 0.4, 0.2, dan terendah Viskositas akhir berkorelasi positif secara signifikan dengan kandungan amilosa pada tepung. Semakin tinggi kandungan amilosa tepung, maka semakin tinggi viskositas akhirnya (Lin et al. 2011). Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin tinggi viskositas akhir maka semakin rendah kerenyahan model produk gorengan, sedangkan pada Gambar 13 terlihat bahwa semakin semakin tinggi viskositas akhir maka semakin tinggi kekerasan model produk gorengan. Viskositas akhir merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk 34

50 membentuk pasta kental atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan serta ketahanan pasta terhadap gaya geser yang terjadi selama pengadukan. Menurut Jane et al. (1999), molekul linier dan kuatnya asosiasi antar molekul amilosa menjaga integritas granula dan menjadi lebih tahan terhadap pemanasan dan pengadukan atau gaya mekanis yang diberikan. Semakin banyak amilosa pada sampel akan membatasi pengembangan granula dan mempertahankan integritas granula. Semakin tinggi kadar amilosa maka semakin kuat ikatan intramolekulnya (Ulyarti 1997). Hal ini menyebabkan konsistensi kekerasan sampel meningkat jika kandungan amilosa semakin tinggi sedangkan kerenyahan sampel mengalami penurunan. Sampel yang telah digoreng kemudian diukur kadar airnya (Tabel 15). Rasio amilosa-amilopektin 0.04 memiliki kadar air tertinggi (6.20% d ), diikuti rasio amilosaamilopektin 0.2 (5.72% c ), kemudian 0.4 (5.02% b ), dan terendah rasio amilosaamilopektin 0.58 (4.20% a ). Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, kadar air keseluruhan rasio amilosa-amilopektin saling berbeda nyata satu sama lain. Hal ini menunjukkan semakin tinggi kadar amilopektin maka semakin tinggi penyerapan air yang ditandai oleh tingginya kadar air. Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati (Harper 1981). Amilosa mempunyai ikatan intramolekul yang lebih kuat dibandingkan amilopektin sehingga ikatan hidrogen antara molekul amilosa dan air lebih sulit terbentuk dibandingkan amilopektin. Hal inilah yang menyebabkan semakin tinggi kandungan amilopektin maka akan semakin tinggi tingkat kadar airnya. Kadar air yang tinggi pada sampel ini tidak berpengaruh signifikan terhadap kerenyahan dan kekerasan sampel. Hal ini ditunjukkan oleh rasio amilosa-amilopektin 0.04 memiliki kadar air tertinggi tetapi kerenyahan yang dihasilkan tertinggi dan kekerasan yang dihasilkan terendah. D. KAJIAN PENGARUH AMILOSA DAN AMILOPEKTIN DALAM PENYIMPANAN TERHADAP KERENYAHAN DAN KEKERASAN Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan sehingga dapat diketahui seberapa besar laju penurunan kerenyahan serta efek yang terjadi terhadap kekerasan produk gorengan. Pada dasarnya kajian ini berhubungan erat dengan peningkatan kadar air produk dan efek kandungan amilosa dan amilopektin. Sampel yang digunakan adalah rasio amilosa-amilopektin 0.04 dan Kedua rasio tersebut telah mewakili sampel lainnya karena masing-masing sampel memiliki kandungan amilosa tertinggi dan amilopektin tertinggi. Produk tersebut disimpan di ruang terbuka. Skala waktu penyimpanan ditentukan selama 6 jam. Selang waktu 2 jam, sampel dimasukkan ke dalam plastik seperti yang terlihat pada Gambar 14. Hal ini dilakukan untuk mencegah perubahan kadar air, kerenyahan, dan kekerasan yang berkelanjutan. Hasil uji sensori profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan produk gorengan terhadap kerenyahan dan kekerasan dapat dilihat pada Tabel

51 Gambar 14. Sampel yang disimpan dalam plastik Tabel 16. Hasil uji sensori profil tekstur pengaruh amilosa dan amilopektin dalam penyimpanan Rasio Amilosa-Amilopektin Lama Penyimpanan (jam) Kadar Air (%) Kerenyahan* Kekerasan* ±0.04 a 44.63±10.74 bc 63.40±11.71 ab ±0.04 b 39.92±10.31 ab 70.08±13.82 c ±0.09 c 36.03±9.68 a 73.60±13.98 c ±0.01 d 56.58±11.20 d 58.85±11.13 a ±0.09 e 48.50±9.78 c 64.56±12.29 b ±0.05 f 34.89±7.15 a 79.56±15.49 d Keterangan: Nilai yang diikutioleh huruf yang berbeda dalam satu baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Duncan. *Nilai kerenyahan dan kekerasan merupakan hasil organoleptik dengan skala maksimum 100 Pada atribut kerenyahan, penyimpanan 2 jam pertama sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 (44.63±10.74 bc ) memiliki kerenyahan yang lebih rendah dibandingkan sampel 0.04 (56.58±11.20 d ). Pada penyimpanan 4 jam, sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 (39.92±10.31 ab ) memiliki kerenyahan yang masih lebih rendah dibandingkan sampel 0.04 (48.50±9.78 c ). Akan tetapi setelah sampel disimpan selama 6 jam, ternyata penurunan kerenyahan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.04 (34.89±7.15 a ) lebih tinggi dibandingkan dengan sampel 0.58 (36.03±9.68 a ). Hal ini menyebabkan kerenyahan yang dimiliki oleh sampel rasio amilosaamilopektin 0.58 menjadi lebih tinggi dibandingkan sampel Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, kerenyahan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 berbeda nyata dengan sampel 0.04 saat penyimpanan 2 dan 4 jam. Akan tetapi setelah penyimpanan 6 jam, kerenyahan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 tidak berbeda nyata dengan sampel Pada atribut kekerasan, penyimpanan 2 jam pertama sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 (63.40±11.71 ab ) memiliki kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan sampel 0.04 (58.85±11.13 a ). Pada penyimpanan 4 jam, sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 (70.08±13.82 c ) memiliki kekerasan yang masih lebih tinggi dibandingkan sampel 0.04 (64.56±12.29 b ). Akan tetapi setelah sampel disimpan selama 6 jam, ternyata kenaikan kekerasan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.04 (79.56±15.49 d ) lebih tinggi dibandingkan dengan sampel 0.58 (73.60±13.98 c ). Hal ini menyebabkan kekerasan yang dimiliki oleh sampel rasio amilosa-amilopektin 0.04 menjadi lebih tinggi dibandingkan sampel Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, kekerasan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 tidak berbeda nyata dengan sampel 0.04 saat penyimpanan 2 jam. Pada saat penyimpanan 4 jam dan 6 jam, kekerasan sampel rasio amilosa-amilopektin 0.58 berbeda nyata dengan sampel

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

1. Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan

1. Karakterisasi Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras (Oryza sativa Linn) dan beras ketan (Oryza sativa glutinosa) yang diperoleh dari daerah Bogor, Jawa

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan untuk membuat beras analog dan analisis. Bahan yang digunakan untuk pembuatan beras analog

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai

Lebih terperinci

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah 3. MATERI DAN METODE Proses pemanasan dan pengeringan gabah beras merah dilakukan di Laboratorium Rekayasa Pangan. Proses penggilingan dan penyosohan gabah dilakukan di tempat penggilingan daerah Pucang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Rion Viscotester Model VT-04F). Sebelum

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI TEPUNG BERAS DAN TEPUNG BERAS KETAN 1. Penepungan Tepung Beras dan Tepung Beras Ketan Penelitian ini menggunakan bahan baku beras IR64 dan beras ketan Ciasem yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, K

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 24 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Penelitian dilaksanakan di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Lampiran 1 BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Bahan Tepung ubi jalar Putih Coklat collata Margarin Gula pasir Telur Coklat bubuk Kacang kenari Jumlah 250 gr 350 gr 380 gr 250 gr 8 butir 55 gr 50 gr Cara Membuat:

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai pengambilan sampel di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

A. WAKTU DAN TEMPAT B. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN. 1. Penelitian Tahap I

A. WAKTU DAN TEMPAT B. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN. 1. Penelitian Tahap I III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, bertempat di Laboratorium Rekayasa dan Proses Pengolahan Pangan Departemen Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan dan Hasil Pertanian, Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat dan penurunan mutu produk kopi instan formula a. Kadar air (AOAC, 1995) Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip dari metode

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Alat dan Bahan. B. Metode Penelitian. 1. Persiapan Sampel

METODE PENELITIAN. A. Alat dan Bahan. B. Metode Penelitian. 1. Persiapan Sampel III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Sampel yang digunakan untuk pengukuran ripitabilitas yaitu isolat protein kedelai, kedelai yang ditambahkan dekstrin, dan kacang kedelai, sedangkan untuk pengukuran

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODOLOGI PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk pembuatan beras artificial dan bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan beras terdiri

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) LAMPIRAN 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) METODE PENGUJIAN Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Untuk pengujianan total oksalat ke dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Brookfield Digital Viscometer Model

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratorium. Faktor perlakuan meliputi penambahan pengembang dan pengenyal pada pembuatan kerupuk puli menggunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian tentang pengaruh variasi konsentrasi penambahan tepung tapioka dan tepung beras terhadap kadar protein, lemak, kadar air dan sifat organoleptik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, sementara pengujian mutu gizi dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kecipir yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Bandung. Bahan kimia yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat B. Metode Penelitian 1. Penentuan Kombinasi Gula Merah dan Gula Pasir 2. Formulasi Minuman Instan Coro

METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat B. Metode Penelitian 1. Penentuan Kombinasi Gula Merah dan Gula Pasir 2. Formulasi Minuman Instan Coro METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah bahan untuk formulasi dan bahan untuk analisis. Bahan untuk formulasi diantaranya gula merah, gula pasir,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT, III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Industri Rumah Tangga Produksi Kelanting MT, Gantiwarno, Pekalongan, Lampung Timur, dan Laboratorium Politeknik Negeri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT 3.1.1. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ubi jalar varietas Ceret, air, gula halus, margarin, tepung komposit (tepung jagung dan tepung

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006)

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) Prosedur pengujian daya serap air: 1. Sampel biskuit dihancurkan dengan menggunakan mortar. 2. Sampel

Lebih terperinci

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958)

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958) LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI 01-3546-2004 yang dimodifikasi*) Penentuan Total Padatan Terlarut (%Brix) saos tomat kental dilakukan dengan menggunakan Hand-Refraktometer Brix 0-32%*.

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007)

LAMPIRAN. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007) LAMPIRAN Lampiran 1. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007) Cara kerja: a. Timbang kerupuk samiler yang sudah dihaluskan sebanyak 1-2 gram dalam botol timbang konstan yang sudah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 15 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Januari 2012. Preparasi bahan baku, perhitungan rendemen, dan analisis morfometrik dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 28 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa serta Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Pertanian,

Lebih terperinci

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya. 57 Lampiran I. Prosedur Analisis Kimia 1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). Timbang contoh yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan sebanyak 1-2 g dalam botol timbang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental di bidang teknologi pangan. B. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pembuatan chips tempe dan tempat uji organoleptik

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat LAMPIRAN 37 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan aluminium kosong dioven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Penentuan Formulasi Bubur Instan Berbasis Tepung Komposit : Tepung Bonggol Pisang Batu dan Tepung Kedelai Hitam Tujuan: - Mengetahui

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode 16 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011, bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium

Lebih terperinci

4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat)

4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat) LAMPIRAN Lampiran 1. Karakterisasi Komposisi Mutu Cairan Fermentasi dan Tapioka Asam 1. ph (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 25 ml aquades. Pengukuran ph menggunakan alat ph meter yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 sampai dengan Januari 2017. Bertempat di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai 13 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai penjual di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 18 hingga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi kandungan oksalat. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

Kadar protein = % N x 6.25

Kadar protein = % N x 6.25 LAMPIRAN Lampiran Analisis karakterisasi mutu kimia a. Kadar air Sejumlah sampel (± g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukan ke dalam oven bersuhu 00 o C sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih ANALISIS KARBOHIDRAT Analisis Zat Gizi Teti Estiasih 1 Definisi Ada beberapa definisi Merupakan polihidroksialdehid atau polihidroksiketon Senyawa yang mengandung C, H, dan O dengan rumus empiris (CH2O)n,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci