Analisa Media Edisi April 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisa Media Edisi April 2013"

Transkripsi

1 Ujian Nasional Yang Merampas Hak Konstitusional Pembuka Ujian nasional merupakan tahapan yang harus dilalui semua anak didik di seluruh Indonesia untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Ujian nasional (UN) adalah pengukuran dan penilaian capaian kompetensi kelulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Pelaksanaan ujian nasional ini diatur dalam pasal 57 Undang- Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal ini dinyatakan: (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Ujian nasional sendiri telah mengalami berkali-kali pergantian nama. Dulu tahun 1990-an ujian nasional dikenal dengan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), kemudian awal tahun 2000-an dikenal UAN (Ujian Akhir Nasional), lalu dikenal dengan Ujian Nasional (UN). Sebagai tahapan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, ujian nasional dilakukan setiap tahun mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA sederajat. Artinya, ujian nasional bukan hal yang baru untuk negara ini. Namun walaupun sudah dilakukan setiap tahun, ujian nasional selalu mengalami berbagai persoalan. Tahun 2013 ini ujian nasional untuk tingkat SMA/SMK sederajat tidak dapat dilakukan secara serentak di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Tahun ini ada 11 provinsi yang jadwal ujian nasionalnya bergeser dari jadwal semula, 15 April 2013 menjadi 19 April 2013, berbagai alasan yang dibuat-buat (misalnya, pengepakan naskah soal di percetakan mengalami kendala teknis). Ke 11 provinsi yang mengalami penundaan UN adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Gorontalo. Jumlah siswa di 11 provinsi tersebut mencapai 1,1 juta orang, tersebar di SMA/MA dan SMK. Persoalan lain yang terjadi pada ujian nasional 2013 ini yakni lembar jawaban yang sangat tipis. Hal tersebut menjadikan pelajar mengalami kesulitan ketika mengisi jawaban. Selain itu, ujian tahun ini juga menggunakan penjagaan yang ketat. Pemerintah menyebarkan aparat keamanan, seperti TNI dan Polisi saat ujian sedangkan berlangsung. Hal itu tentu menambah beban mental bagi pelajar yang sedang melaksanakan ujian nasional. Secara psikologis, ujian nasional yang merupakan syarat kelulusan menjadi tekanan bagi pelajar, ditambah dengan kehadiran polisi dan TNI, tentu meneror mental para pelajar.

2 Dengan berbagai persoalan terkait ujian nasional tahun 2013, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) berencana melayangkan gugatan hukum terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan jika Ujian Nasional terus diadakan. Mereka menuntut agar UN dihapuskan sebagai syarat kelulusan dan syarat masuk perguruan tinggi negeri (PTN). FSGI berpendapat bahwa guru dan murid menjadi pihak yang paling dirugikan dari kekacauan pemerintah. Tertundanya pelaksanaan UN tahun 2013 untuk beberapa daerah merupakan momentum yang tepat untuk menghapuskan UN. FGSI sendiri menyatakan tidak mempersoalkan pelaksanaan UN, jika negara sudah memenuhi segala kewajiban, seperti memberikan fasilitas yang baik, menyamaratakan akses informasi, hingga meningkatkan kualitas guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri tak menggubris permintaan sejumlah pihak, termasuk DPR agar hasil Ujian Nasional 2013 tidak dijadikan sebagai salah satu syarat kelulusan siswa. Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepakat untuk mengkaji lebih dalam apakah ujian nasional tahun ini tetap akan dipakai untuk persyaratan kelulusan siswa. Kesepakatan itu diambil sebagai hasil rapat dengar pendapat Komisi X DPR dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyusul terlambatnya pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA di 11 provinsi. Walaupun mengalami banyak persoalan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengklaim bahwa Ujian Nasional untuk tingkat SMA sederajat tahun 2013 dinyatakan sah. Tidak serentaknya penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ini menjadi suatu yang sangat disesalkan oleh banyak pihak. Hal tersebut terjadi karena ketidakserentakan pelaksanaan ujian nasional, yang berpotensi melahirkan ketidakadilan, memberikan dampak psikologis yang negatif pada para peserta ujian, serta memunculkan implikasi anggaran. Siswa Hamil Dilarang Ikut Ujian Nasional Persoalan tidak serentaknya ujian nasional hanya salah satu soalan yang muncul. Berbagai soalan lain kerap muncul setiap pelaksanaan ujian nasional. Salah satu soal yang selalu muncul adalah boleh tidaknya siswa hamil mengikuti ujian nasional. Tak dipungkiri, di sejumlah sekolah, siswa hamil masih mengalami diskriminasi, seperti dicibir, tidak boleh ikut Ujian nasional, hingga dikeluarkan dari sekolah. Selain siswa hamil, mereka yang sudah menikah juga sering tidak diperbolehkan mengikuti ujian nasional. Sekolah mengeluarkan mereka yang hamil dan sudah menikah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh sendiri telah menyatakan tidak sepakat dengan adanya pelarangan bagi siswa hamil ikut ujian. Menurut M. Nuh, pendidikan diperuntukan bagi siapa pun tanpa melihat kondisi yang dialami siswa. Menurutnya, pendidikan hak tiap orang. Oleh karena itu, tidak boleh dibatasi untuk memperoleh pendidikan karena persoalan status, entah menikah atau belum menikah, status kaya miskin, dll. Mendikbud bahkan meminta pihak sekolah memikirkan ulang apa ruginya mengikutsertakan siswa yang tengah hamil dalam UN. Menurutnya, adanya larangan siswa hamil ikut ujian merupakan sikap diskriminasi

3 bagi siswa hamil, sementara laki-laki yang menghamilinya tetap bisa melanjutkan sekolah. Untuk mengantisipasi adanya larangan siswa hamil ikut ujian nasional, Mendikbud mengatakan pihaknya akan segera memberikan teguran kepada Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah yang melakukan pelarangan. Bahkan, Mendikbud juga menegaskan agar ruangan untuk siswi hamil tidak perlu dibedakan. Namun apa yang disampaikan Mendikbud tidak diindahkan oleh para pembuat kebijakan di banyak sekolah dan dinas pendidikan. Banyak sekolah dan kepala dinas yang terang-terangan melarang siswa hamil ikut ujian nasional. Di Batam misalnya, Dinas Pendidikan Kota Batam mengatakan bahwa siswa hamil di luar nikah wajib tidak boleh ikut Ujian Nasional. Larangan tersebut berkait dengan etika dan moral (?) Tetapi kalau ada siswa yang mencuri dan menyalahgunakan narkoba dan ditangkap polisi, masih bisa ikut UN di tempat tahanan (?) Apa yang diungkapkan oleh Dinas Pendidikan Kota Batam itu memperlihatkan perlakuan yang diskriminatif antara siswa yang hamil dengan siswa yang berbuat kejahatan, karena mencuri dan menyalahgunakan narkoba. Kehamilan siswa dianggap lebih buruk daripada mencuri maupun memakai narkoba. Maka mereka yang tertangkap tangan karena berbuat kejahatan tetap dibolehkan ikut ujian di tempat tahanan, tapi bagi siswa yang hamil sama sekali tidak diijinkan ikut ujian nasional. Larangan mengikuti ujian nasional tidak hanya disampaikan oleh Dinas Pendidikan Kota Batam. Banyak kepala Dinas Pendidikan yang melarang siswa hamil ikut ujian. Di Jepara misalnya, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga menyarankan siswa yang hamil untuk mengikuti ujian paket C. Sementara di Jawa Timur, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur meminta siswa yang hamil mengerjakan ujian di ruang khusus atau disendirikan agar tidak mengganggu peserta ujian lainnya. Di beberapa sekolah, banyak siswa yang hamil tidak dapat mengikuti ujian nasional walaupun sudah terdaftar. Hal itu terjadi karena sekolah melarang siswa hamil ikut ujian dan mengeluarkannya. Ada juga siswa hamil yang karena mengalami banyak diskriminasi dan cibiran, maka mereka memutuskan untuk keluar dari sekolah. Dalam Ujian Nasional tahun 2013 ini, beberapa kasus siswa hamil yang tidak boleh ikut ujian nasional: - Di SMA Negeri 1 Sipora Selatan, Sioban, Kepulauan Mentawai, 4 siswa yang tidak diperbolehkan mengikuti ujian nasional. Keempat siswa tersebut dinilai melanggar komitmen sekolah; dua di antaranya kedapatan hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari sekolah. Sekolah sendiri memiliki beberapa peraturan yang bisa membuat siswa dikeluarkan, yakni melawan kepada guru, terlibat narkoba, absen berturut-turut. Tingginya angka kehamilan di luar nikah di SMA Negeri Sipora terjadi lantaran sarana tempat tinggal yang tidak memadai. Diperkirakan ada 600-an siswa yang datang dari desa memilih tinggal di

4 pondok, hal ini mengancam keamanan dengan kurangnya pengawasan bagi mereka. - Di Cirebon, seorang siswa SMK yang tidak bisa mengikuti ujian nasional karena dikeluarkan dari sekolah akibat kehamilan tidak diinginkan. - Di Garut, tiga siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cisewu, dilarang mengikuti ujian nasional. Pihak sekolah telah mengeluarkan tiga siswa tersebut karena dituduh hamil. Sebelum dikeluarkan, ketiga siswa tersebut dipaksa menandatangani surat pengunduran diri di atas materai. Perbuatan sekolah ini bukan yang pertama kali. Pihak sekolah juga telah mengeluarkan empat siswa kelas XI dan kelas X dengan tuduhan yang sama, yakni hamil. Padahal tuduhan pihak sekolah itu tidak dilengkapi dengan bukti lengkap, seperti keterangan medis. - Di Subang, seorang siswa SMK PGRI 2 tidak dapat mengikuti ujian nasional karena hamil dan mengundurkan diri. - Di SMPN 1 Magetan, dua siswa hamil tidak dibolehkan mengikuti ujian nasional. Walaupun orang tua siswa yang hamil menginginkan anaknya mengikuti ujian nasional, pihak sekolah merasa keberatan, karena kedua siswa tersebut dianggap membawa aib bagi sekolah. Akibatnya kedua siswa tersebut harus mengikuti ujian kejar paket B yang diselenggarakan Dinas Pendidikan setempat. - Di SMA Katolik Warta Bakti Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengar Utara, Nusa Tenggara Timur, dua orang siswa tidak diperbolehkan untuk mengikuti ujian nasional karena diketahui sedang hamil. Salah satu siswa sempat memaksa untuk dapat ikut ujian nasional, tetapi setelah diperiksa ke dokter oleh guru BP, ternyata hamil empat bulan, lantas dilarang mengikuti ujian. - Di Kabupaten Sumba Timur, NTT, 20 siswa SMA dan SMK tidak bisa ikut ujian nasional karena hamil dan diduga menghamili. Walaupun para siswa dan orangtuanya berkeinginan untuk tetap bisa mengikuti ujian nasional, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan setempat bersikukuh tidak akan memberikan ijin. Siswa yang hamil ataupun terlibat masalah bisa tetap ikut ujian nasional namun lewat jalur ujian paket C. Desakan pelbagai pihak termasuk Komnas Perlindungan Anak agar siswa yang hamil tetap bisa ikut ujian nasional ditanggapi dengan dalil penegakkan tata tertib sekolah juga pendidikan akhlak. - Di MAN 2 Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, seorang siswa yang sedang hamil dilarang mengikuti ujian nasional. Siswa tersebut telah mengadukan nasibnya ke Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Beberapa kasus tidak diperbolehkannya siswa hamil ikut ujian nasional hanya sebagian yang berhasil dilaporkan dan dipublikasikan media massa. Masih banyak kasus yang tidak dilaporkan dan diidenfikasi oleh media massa, karena merupakan fenomena gunung es, yang hanya tampak di permukaan, sementara yang tak terlaporkan lebih banyak. Namun demikian, larangan tersebut tidak terjadi di semua wilayah. Beberapa Kepala Dinas justru membolehkan siswa hamil ikut ujian nasional. Di Depok misalnya, Kepala Dinas Kota Depok menyatakan akan mencopot kepala sekolah yang

5 melarang siswa hamil ikut ujian nasional. Menurutnya, kehamilan siswa tidak ada kaitannya dengan akademis. Di Depok sendiri, ada seorang siswa kelas 3 SMA swasta yang hamil. Untuk itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok telah menginstruksikan kepala sekolah untuk mengijinkan siswa tersebut mengikuti ujian nasional. Sementara Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat menegaskan bahwa sekolah yang dengan sengaja tidak mengikutkan siswanya dalam ujian nasional akan dikenai sanksi berat. Sanksi tersebut adalah pembatalan dan juga penghapusan nama sekolah dari daftar Batuan Operasional Sekolah (BOS) yang rencananya akan diserahkan pada Juli 2013 mendatang. Demikian juga di Bengkulu, walaupun belum mendapat laporan dari sekolah-sekolah adanya siswa yang masuk dalam daftar nominasi tetap (DNT) yang telah hamil, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, tetap mengijinkan siswa hamil yang telah masuk dalam daftar nominasi tetap mengikuti ujian nasional. Sementara itu, terkait dengan siswa yang telah menikah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan belum dapat memutuskan hal tersebut, karena masih diperlukan rapat internal di tingkat instansi untuk memutuskannya. Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, lima siswa hamil dari tiga sekolah diijinkan mengikuti ujian nasional. Mereka diperbolehkan mengikuti ujian nasional setelah diperjuangkan oleh Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A), sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat serta didukung oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Demikian juga di Surabaya, berdasarkan data Hotline Surabaya, 7 orang siswa hamil baik tingkat SMA dan SMP, diijinkan mengikuti ujian nasional. Perlu Aturan Yang Jelas Boleh tidaknya siswa hamil ikut ujian nasional hingga kini masih menjadi perdebatan. Walaupun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menyampaikan bahwa siswa hamil tetap dibolehkan mengikuti ujian nasional dan tidak boleh diperlakukan berbeda, nyatanya masih banyak sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan yang menyatakan melarang siswa hamil ikut ujian nasional. Tak heran kemudian muncul banyak protes oleh berbagai kalangan. Tak hanya murid dan orang tua yang merasa dirugikan dengan adanya larangan tersebut, yang melakukan protes, tetapi juga kalangan Komnas Perlindungan Anak dan Federasi Guru Independi Indonesia (FGII). Menurut FGII, pelarangan itu melanggar hak asasi anak atas pendidikan. Menurutnya, siswa yang hamil sudah mendapat sanksi dari masyarakat, untuk itu jangan ditambah dengan sanksi tidak boleh mengikuti ujian nasional. FGII juga menyayangkan sanksi yang diberikan hanya kepada siswa yang hamil, sementara siswa yang menghamilinya tetap bisa ikut ujian nasional. Protes lainnya juga disampaikan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, yang menyayangkan adanya siswa hamil yang dikeluarkan dan dilarang mengikuti ujian nasional. Aturan mengenai boleh tidaknya siswa hamil ikut ujian nasional belum tertera dengan jelas dan menjadi keputusan Menteri Pendidikan. Seharusnya, Kementerian

6 Pendidikan dan Kebudayaan membuat sebuah peraturan yang tegas tentang diperbolehkan atau tidaknya siswa hamil ikut ujian. Sementara jika mengacu pada ketentuan Badan Standar Nasional Pendidikan No 0016/SDAR/BSNP/IV/2013 perihal strategi mengatasi permasalahan yang muncul selama pelaksanaan UN 2013, pada poin satu menyebutkan, Peserta UN yang hamil atau sedang tersangkut masalah hukum berhak mengikuti ujian nasional. Dengan adanya pernyataan Menteri Pendidikan Nasional dan ketentuan BSNP seharusnya bisa menjadi ucuan bagi sekolah dan Dinas Pendidikan dalam menangani siswa hamil atau menikah. Namun yang terjadi di lapangan, Dinas Pendidikan dan sekolah mengabaikan aturan yang ada dan dengan terang-terangan melarang siswa hamil ikut ujian. Demikian juga di beberapa wilayah, telah memiliki peraturan daerah yang menyangkut tentang pendidikan. Di NTT misalnya, sesuai dengan Perda NTT No. 7/2012 pasal 31 menyebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang mengalami kehamilan di luar penikahan dan anak korban penularan HIV/AID dilindungi hak-haknya guna memperoleh pendidikan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika dimaknai pasal tersebut jelas mengatakan bahwa anak usia sekolah atau yang masih sekolah dijamin haknya untuk memperoleh pendidikan meskipun mereka diperhadapkan dengan hukum atau mengalami kehamilan atau melahirkan di luar nikah atau menjadi korban HIV/AIDS. NTT menjadi salah satu daerah yang memiliki Perda yang mengatur tentang perlindungan anak. Walaupun kenyataannya perda tersebut tidak diimplementasikan dengan baik karena di wilayah ini lebih dari 20 orang siswa tidak bisa mengikuti ujian nasional sebagai syarat kelulusan sekolah. Salah satu daerah yang tidak memiliki Perda tentang boleh tidaknya siswa hamil ikut ujian nasional adalah Kabupaten Cianjur. Untuk itu, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cianjur, Jimmi Perkasa menilai pemerintah seharusnya memiliki Perda yang mengatur persoalan tersebut. Pasalnya, menurutnya siswa hamil tersebut menjadi polemik ketika peraturan sekolah mengatur melarang adanya siswa hamil di sekolah, namun siswa tersebut memiliki hak untuk mendapatkan ijazah. Menurutnya, Perda tersebut akan menjadi jalan tengah dan menjadi jawaban bagi persoalan secara objektif tentang polemik siswa hamil yang ingin mengikuti ujian nasional. Selama ini memang tidak ada aturan yang melarang siswa hamil tidak boleh ikut ujian nasional. Biasanya aturan tersebut ada dalam peraturan sekolah dan kesepakatan antara murid dan sekolah ketika mendaftar. Seharusnya, ada aturan yang jelas tentang hal tersebut dan harus pula aturan tersebut tidak mendiskriminasi pihak mana pun, mengingat semua siswa mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, seharusnya tiap sekolah mempunyai standar dalam menangani siswa hamil. Penanganan siswa hamil tidak boleh merugikan siswa secara psikologi, fisik dan sosial. Standar tersebut mesti terlebih dulu dikomunikasikan kepada siswa dan orang tua secara terbuka sehingga apa yang dilakukan sekolah akuntabel.

7 Ada Apa Dengan Kehamilan Kehamilan tak diinginkan pada masa remaja memang menjadi soalan tersendiri. Apalagi mereka masih dalam tahap menempuh pendidikan. Maka harus ada penanganan yang hati-hati terhadap siswa hamil, agar tidak ada yang merasa dirugikan. Kehamilan pada remaja yang masih sekolah bisa disebabkan banyak hal, misalnya karena bujuk rayu orang dewasa, perkosaan dan ingin coba-coba. Ingin coba-coba menjadi satu hal yang biasa mengingat masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Di masa ini, ada perubahan pada organ reproduksi di mana ketika tidak ada informasi yang jelas, maka bisa disalahgunakan. Pihak sekolah juga mempunyai tanggungjawab atas terjadinya kehamilan pada siswanya. Hal tersebut karena bisa saja selama ini pihak sekolah tidak memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif yang dibutuhkan muridmuridnya. Banyak sekolah yang merasa tabu untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada siswa-siswinya. Kehamilan pada remaja bisa terjadi karena disengaja. Hal tersebut karena di banyak daerah masih memiliki tradisi dan budaya hamil atau menikah di usia muda. Tidak dipungkiri, di Indonesia pernikahan usia dini masih banyak terjadi. Di Malang misalnya, tahun 2011 tercatat peristiwa pernikahan (8.250 atau 30,6 persen perkawinan dilakukan oleh pasangan antara 16 sampai 18 tahun), di mana merupakan usia memperoleh pendidikan SMA/SMK sederajat. Sementara di Jawa Barat, kasus pernikahan dini usia di bawah 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki masih tergolong tinggi, yakni sekitar 18,5%. Padahal, tingginya jumlah pernikahan di kalangan remaja selain menganggu proses pendidikan, tentu turut memacu laju pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan ada peningkatan jumlah kelahiran dari orang tua usia remaja, tahun. Baik kelahiran melalui pernikahan atau di luar pernikahan. Kenaikan tersebut tidak hanya terjadi di perkotaan, tapi juga di pedesaan. Berdasarkan hasil penelitian Autralian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi tahun 2010 dengan jumlah sampel responden dengan usia tahun, terindikasi 20,9 persen remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, sedangkan 38,7 persen remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Penutup Kasus siswa hamil atau kehamilan tidak diinginkan di kalangan pelajar tidak dapat dilihat secara picik, yakni soalan moralitas semata, namun harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Banyak hal menjadi penyebab terjadinya kehamilan di kalangan remaja. Pola pendidikan di sekolah menjadi salah satu penyebab terjadinya kehamilan tak diinginkan di kalangan remaja. Hal tersebut karena remaja tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksinya dan seksualitasnya. Di mana masa remaja merupakan masa pencarian jati diri, masa

8 ingin mencoba sesuatu yang belum mereka ketahui. Maka, peran sekolah sangat diperlukan untuk memberikan pendidikan seksualitas. Namun karena selama ini seksualitas dianggap tabu untuk dibicarakan, terutama di kalangan sekolah apalagi sampai masuk kurikulum, maka remaja yang dalam masa pancaroba ingin mengetahui banyak hal mencoba mencari sendiri informasi yang dibutuhkan. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mulai mencoba sesuatu yang berhubungan dengan alat-alat reproduksinya. Ketidaktahuan remaja akan alat-alat reproduksinya ini kemudian menjerumuskannya ke jurang yang paling dalam yang dapat menghancurkan masa depannya. Mereka harus meninggalkan bangku sekolah dan kehilangan keceriaan masa remajanya. Mereka harus menanggung beban kehidupan yang belum siap dihadapinya akibat ketidaktahuannya. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang benar, tidak semata-mata ditujukan untuk mencegah perilaku seksual beresiko, tetapi juga menciptakan remaja yang memiliki konsep diri mantap dan mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab. *****

POLICY BRIEF. Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil dikeluarkan dari Sekolah?

POLICY BRIEF. Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil dikeluarkan dari Sekolah? POLICY BRIEF Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Agustus 2013 Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil

Lebih terperinci

POLICY BRIEF. Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil Dikeluarkan dari Sekolah?

POLICY BRIEF. Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil Dikeluarkan dari Sekolah? POLICY BRIEF Analisis Ketimpangan Kebijakan dalam Pendidikan karena Barier Kesehatan Reproduksi; Perlukah Siswa Hamil Dikeluarkan dari Sekolah? Siti Masfiah Outline Pendahuluan Hak atas Pendidikan Kebijakan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM, KATHOLIK, KRISTEN, HINDU, BUDDHA) SD, SMP,SMA/SMK

PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM, KATHOLIK, KRISTEN, HINDU, BUDDHA) SD, SMP,SMA/SMK PEDOMAN PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN PA) TAHUN PELAJARAN 2012/2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA (ISLAM, KATHOLIK, KRISTEN, HINDU, BUDDHA) SD, SMP,SMA/SMK KEMENTERIAN AGAMA DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Sifat khas remaja mempunyai rasa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang memiliki remaja yang kuat serta memiliki kecerdasan spiritual,intelektual serta emosional yang kuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan)

PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan) PERSEPSI MASYARAKAT MENGENAI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH DI KALANGAN REMAJA (Studi Kasus di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan) NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

KODE ETIK ANGGOTA KOMISI PARIPURNA DAN ANGGOTA BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

KODE ETIK ANGGOTA KOMISI PARIPURNA DAN ANGGOTA BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN KODE ETIK ANGGOTA KOMISI PARIPURNA DAN ANGGOTA BADAN PEKERJA KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam dokumen ini yang dimaksud dengan: 1. Kode Etik Anggota

Lebih terperinci

Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Anak yang berhadapan dengan hukum menunjukkan bahwa situasi sulit yang dihadapi oleh anak tidak hanya disebabkan oleh tindakan orang per orang tetapi juga dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

No : 0062/SDAR/BSNP/IX/ September 2015 Lampiran : satu berkas Perihal : Surat Edaran UN Perbaikan Tahun Pelajaran 2014/2015

No : 0062/SDAR/BSNP/IX/ September 2015 Lampiran : satu berkas Perihal : Surat Edaran UN Perbaikan Tahun Pelajaran 2014/2015 No : 0062/SDAR/BSNP/IX/2015 25 September 2015 Lampiran : satu berkas Perihal : Surat Edaran UN Perbaikan Tahun Pelajaran 2014/2015 Yang terhormat 1. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi 2. Kepala Kantor Wilayah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF BAGI TENAGA KESEHATAN DAN PENYELENGGARA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TINDAKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

alam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi

alam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi Kata Pengantar alam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 6 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah salah satu bagian terpenting yang tidak dapat terpisahkan dengan keberlangsungan perjuangan suatu Negara. Oleh karena pentingnya peran anak ini, di dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN VERIFIKASI KELENGKAPAN DOKUMEN PEMBERHENTIAN ANTARWAKTU, PENGGANTIAN ANTARWAKTU,

Lebih terperinci

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Cluster 1 Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Oleh: Jumono, Abdul Waidil Disampaikan pada kegiatan Simposium Pendidikan 23 Febuari 2015 Ki Hadjar Dewantara: Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Pasal 150 Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.19, 2011 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL. Ujian Sekolah. Ujian Nasional. SD.Ibtidaiyah. SD Luar Biasa.

BERITA NEGARA. No.19, 2011 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL. Ujian Sekolah. Ujian Nasional. SD.Ibtidaiyah. SD Luar Biasa. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.19, 2011 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL. Ujian Sekolah. Ujian Nasional. SD.Ibtidaiyah. SD Luar Biasa. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, sebutan UN atau Ujian Nasional sudah tidak asing

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, sebutan UN atau Ujian Nasional sudah tidak asing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia pendidikan, sebutan UN atau Ujian Nasional sudah tidak asing lagi di telinga. Menteri Pendidikan Nasional, Muhamad Nuh (dalam Haryo, 2010) menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Penyebab terjadinya

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Penyebab terjadinya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda. Usia muda artinya, usia yang belum matang secara medis dan psikologinya. Usia

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. panti tidak terdaftar yang mengasuh sampai setengah juta anak. Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. panti tidak terdaftar yang mengasuh sampai setengah juta anak. Pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia menempati urutan pertama di dunia sebagai negara dengan jumlah panti asuhan terbesar yaitu mencapai 5000 hingga 8000 panti terdaftar dan 15.000 panti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian.

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SD, SMP,SMA/ SMK TAHUN PELAJARAN 2010/2011 I.

PEDOMAN PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (USBN) MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SD, SMP,SMA/ SMK TAHUN PELAJARAN 2010/2011 I. PEDOMAN PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2010/2011 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SD, SMP, SMA/SMK KEMENTERIAN AGAMA RI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM DIREKTORAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

ANGGARAN RUMAH TANGGA ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN

ANGGARAN RUMAH TANGGA ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN 1 ANGGARAN RUMAH TANGGA ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN Pasal 1 1. Anggota AJI adalah jurnalis yang telah memenuhi syarat profesional dan independen yang bekerja untuk media massa cetak, radio, televisi, dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2007 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini.

BAB I PENDAHULUAN. terkecuali setiap individu akan mengalami masa peralihan ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti psikologis, tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi semua aspek perkembangan

Lebih terperinci

RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN

RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA LAMONGAN BIDANG KEGIATAN : PKM GT Diusulkan oleh : Okky Wicaksono 09 / 282652 / SA / 14854 English Department UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, DHARMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan pada remaja adalah masalah serius dan sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan pada remaja adalah masalah serius dan sedang berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehamilan pada remaja adalah masalah serius dan sedang berkembang diseluruh dunia dan juga di negara berkembang seperti Indonesia. Kehamilan pada remaja disebabkan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN IPA DALAM MENGHADAPI UJIAN AKHIR SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (Studi Situs Di SD Negeri Batursari 6 Mranggen Demak) TESIS

PENGELOLAAN PEMBELAJARAN IPA DALAM MENGHADAPI UJIAN AKHIR SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (Studi Situs Di SD Negeri Batursari 6 Mranggen Demak) TESIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN IPA DALAM MENGHADAPI UJIAN AKHIR SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL (Studi Situs Di SD Negeri Batursari 6 Mranggen Demak) TESIS Diajukan Kepada Program Studi Magister Manajemen Pendidikan

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGISIAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGISIAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGISIAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA TUNTUTAN GANTI KERUGIAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa setiap kerugian daerah yang

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI KABUPATEN BADUNG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI KABUPATEN BADUNG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN DI KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang

Lebih terperinci

MASYARAKAT DIMINTA LAPORKAN PUNGLI PENDIDIKAN

MASYARAKAT DIMINTA LAPORKAN PUNGLI PENDIDIKAN MASYARAKAT DIMINTA LAPORKAN PUNGLI PENDIDIKAN pontianak.tribunnews.com Maraknya pungutan liar terkait biaya pendidikan memang mengkhawatirkan. Karena itu, Ombudsman dan Indonesia Corruption Watch (ICW)

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KOMISI PENYELENGGARA PERLINDUNGAN ANAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KOMISI PENYELENGGARA PERLINDUNGAN ANAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 48 TAHUN 2015 TENTANG KOMISI PENYELENGGARA PERLINDUNGAN ANAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang Mengingat : : 1. 2. 3. 4. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan generasi muda mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Banyaknya remaja yang melakukan perilaku seksual pranikah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja adalah harapan bangsa, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan bangsa yang akan datang akan ditentukan pada keadaan remaja saat ini. Remaja

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN GRATIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

ALOKASI ANGGARAN. No Kode Satuan Kerja/Program/Kegiatan Anggaran (Ribuan Rp) (1) (2) (3) (4) 01 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

ALOKASI ANGGARAN. No Kode Satuan Kerja/Program/Kegiatan Anggaran (Ribuan Rp) (1) (2) (3) (4) 01 Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 103 TAHUN 2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2013 TENTANG KRITERIA KELULUSAN PESERTA DIDIK DARI SATUAN PENDID

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 97 TAHUN 2013 TENTANG KRITERIA KELULUSAN PESERTA DIDIK DARI SATUAN PENDID KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jl. Jenderal Sudirman Senayan, Jakarta JAKARTA Telepon No. 5711144 (Hunting) Laman: www.kemdikbud.go.id Nomor : Lampiran: 1 (satu) berkas Hal : Penyampaian Salinan

Lebih terperinci

BUPATI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BIMA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TANYA-JAWAB PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL

TANYA-JAWAB PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL 1 2 D Kata Pengantar alam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2009 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. adalah penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan penggunaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. adalah penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan penggunaan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah penyakit HIV/AIDS di ibaratkan seperti fenomena gunung es, dimana yang tampak hanyalah puncaknya saja. Sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang tampak hanyalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENERIMAAN SISWA BARU (PSB) TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK TAHUN PELAJARAN 2010/2011 KOTA TANJUNGPINANG

PETUNJUK TEKNIS PENERIMAAN SISWA BARU (PSB) TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK TAHUN PELAJARAN 2010/2011 KOTA TANJUNGPINANG Lamp Lampiran : Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Tanjung Pinang Nomor : 422.1/1451/SET/2010 Tanggal : 7 Juni 2010 utusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Tanjungpinang NomLLlkl=ts.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja ialah suatu waktu kritis seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV PROSES ADVOKASI PLAN INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN DOMPU PADA TAHUN

BAB IV PROSES ADVOKASI PLAN INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN DOMPU PADA TAHUN BAB IV PROSES ADVOKASI PLAN INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN PERMASALAHAN PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN DOMPU PADA TAHUN 2011-2013 A. Proses Advokasi Plan Internasional untuk Menurunkan Angka Pernikahan

Lebih terperinci

Analisa Media Edisi Agustus 2013

Analisa Media Edisi Agustus 2013 Tes Keperawanan: Bentuk Kegagalan Negara Dalam budaya patriarkhal, tubuh perempuan menjadi objek utama untuk dimasalahkan. Dalam budaya ini selalu dicari cara untuk mengaturnya, mulai dari bagaimana perempuan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bukan merupakan hal yang tabu ketika terdapat fenomena pernikahan dini yang masih terjadi dewasa ini, pernikahan dini yang awal mulanya terjadi karena proses kultural

Lebih terperinci

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja

Pentingnya Sex Education Bagi Remaja Pentingnya Sex Education Bagi Remaja Oleh: Diana Septi Purnama, M.Pd dianaseptipurnama@uny.ac.id WWW.UNY.AC.ID Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan hormon pada fase remaja tidak saja menyebabkan perubahan fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan. Perubahan

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Jakarta, Januari Tim Penyusun

Kata Pengantar. Jakarta, Januari Tim Penyusun Kata Pengantar Dalam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 65/DPD RI/IV/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Seorang remaja, memiliki tugas perkembangan dan fase

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Seorang remaja, memiliki tugas perkembangan dan fase BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Seorang remaja, memiliki tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena pernikahan muda pada dasarnya merupakan bagian dari budaya masyarakat tertentu. Minimnya akses mendapatkan fasilitas kesehatan, tingkat pendidikan yang rendah,

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN YAPEN

BUPATI KEPULAUAN YAPEN RAFT 4 RANPERDA final BUPATI KEPULAUAN YAPEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN YAPEN,

Lebih terperinci

U r a i a n. Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Pendidikan Nonformal dan Informal

U r a i a n. Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Pendidikan Nonformal dan Informal SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN KEPADA GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMBERHENTIAN, DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1)

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang potensial adalah generasi mudanya. Tarigan (2006:1) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu golongan masyarakat yang termasuk dalam kategori generasi muda, dikaitkan dengan pembangunan suatu negara, sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan mereka kelak. Kehidupan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN DEMAK NOMOR 422.1/ 1378 / 2017

KEPUTUSAN KEPALA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN DEMAK NOMOR 422.1/ 1378 / 2017 PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jalan Sultan Trenggono Nomor 89 Demak Kode Pos 59516 Telp. (0291) 685242 Fax. (0291) 685364 web. : http://dindikbud.demakkab.go.id - e-mail :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selalu melakukan perubahan dalam kehidupannya, hal ini terlihat dari banyaknya perubahan yang terjadi, terutama dalam bidang teknologi transportasi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU PROVKABUPAT BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI ROKAN HULU NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI ROKAN HULU NOMOR 28 TAHUN 2017 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (multi-ethnic society). Kesadaran akan kemajemukan tersebut sebenarnya telah ada sebelum kemerdekaan,

Lebih terperinci