BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKASI USAHA PARIWISATA. 2.1 Pengertian Sertifikasi Usaha Pariwisata dan Dasar Hukumnya

Transkripsi

1 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKASI USAHA PARIWISATA 2.1 Pengertian Sertifikasi Usaha Pariwisata dan Dasar Hukumnya Pengertian Kepariwisataan Menurut Barth dalam Hospitality Law mengatakan, Tourism consist of the activities directly related to pleasure travel. Sedangkan menurut kamus Glosari Pariwisata Kontemporer, istilah pariwisata berarti semua proses yang ditimbulkan oleh arus perjalanan lalu lintas orang-orang dari luar ke suatu negara atau daerah dan segala sesuatu yang terkait dengan proses tersebut seperti makan/minum, transportasi, akomodasi dan objek atau hiburan. 1 Kemudian pengertian pariwisata berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kepariwisataan adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Kepariwisataan, yang dimaksud dengan kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi dan multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Sebagaimana dimaksud dalam pengertian kepariwisataan diatas, bahwa kepariwisataan bersifat multidimensi dan multidisiplin. Multidimensi yaitu bahwa kegiatan pariwisata dapat dilakukan oleh setiap golongan masyarakat, tidak terbatas 1 Nyoman S Pendit, 2005, Glosari Pariwisata Kontemporer, PT Pradnya Paramita, Jakarta. 17

2 18 pada golongan tertentu saja. Dimulai dari golongan masayarakat kelas bawah sampai golongan atas dan pemerintah baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan multidisiplin yang dimaksudkan disini bahwa kepariwisataan disini tidak dapat terlepas dari kajian ilmu ekonomi dalam menunjang usaha pariwisata, ilmu hukum dalam mengkaji perijinan maupun tata aturan yang berlaku sehingga dapat terlahir suatu kebijakan yang mendukung berkembangnya pariwisata itu sendiri, ilmu sosial yang mengkaji efek positif dan negatif dari adanya kegiatan pariwisata baik bagi masyarakat sekitar kawasan wisata maupun pemerintah daerah dan pemerintah pusat, serta disiplin ilmu lainnya yang turut berperan dalam keseluruhan kegiatan pariwisata Pengertian Sertifikasi Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Kepariwisataan, yang dimaksud dengan sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Sertifikasi disini sangat diperlukan demi menciptakan kondisi pariwisata yang memiliki standar di dalam menopang kegiatan pariwisata sehingga nantinya para wisatawan mendapatkan jaminan akan keselamatan dan keamanan dalam melakukan kegiatan wisatanya Pengertian Usaha Pariwisata Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Kepariwisataan, yang dimaksud dengan usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Usaha pariwisata yang dimaksud disini meliputi daya tarik wisata, kawasan pariwisata,

3 19 jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyediaan akomodasi, penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa konsultan pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan, spa. Beberapa jenis usaha pariwisata yang paling diminati oleh para wisatawan di Bali adalah kegiatan luar ruangan berupa arum jeram, diving, snorkling, maupun paraseling. Kegiatan wisata luar ruangan tersebut memiliki resiko yang cukup besar apabila tidak dilakukan dibawah pengawasan para profesional dibidangnya masingmasing sehingga berpeluang menimbulkan kerugian baik materiil maupun imateriil Tujuan Sertifikasi Usaha Pariwisata Setiap usaha pariwisata wajib untuk memiliki sertifikat usaha pariwisata melalui proses sertifikasi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepariwisataan dan produktivitas usaha pariwisata. Peningkatan kualitas pelayanan dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM wisatawan dengan menyediakan produk/jasa pariwisata yang memiliki standar yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

4 Relevansi Hak Asasi Manusia Dengan Kegiatan Kepariwisataan Pengertian HAM dan Dasar Hukum Terkait Sertifikasi Istilah hak asasi manusia (HAM) berasal dari bahasa Perancis Droits L Homme yang berarti hak-hak manusia. Dalam bahasa Inggris HAM diistilahkan dengan Human Rights dan Menselijke Rechten dalam bahasa Belanda. Secara etimologi HAM merupakan hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia dari Sang Pencipta. Dengan kata lain, HAM bukanlah pemberian manusia, hukum positif, terlebih aparatur suatu negara. Pada kerangka relasi tersebut, HAM berarti melekat (inherent) pada manusia sejalan dengan kodrat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sertifikasi usaha pariwisata merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap HAM wisatawan. Dasar hukum dari sertifikasi usaha pariwisata dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 54 UU Kepariwisataan dan ketentuan Pasal 24 PP 52/2012, dimana dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut dengan sangat jelas dinyatakan bahwa sertifikasi usaha bersifat wajib untuk dimiliki oleh setiap pengusaha pariwisata dalam menjalankan kegiatan usahanya.

5 Keterkaitan HAM Dengan Kepariwisataan Dalam perspektif Internasional, pengakuan hak berwisata sebagai HAM tertuang dalam Article 24 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan bahwa Everyone has the rights to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay. Selanjutnya dalam Article 7 huruf D International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 menyatakan pengakuan bahwa berwisata merupakan hak dari setiap orang. Sejalan dengan itu, pengakuan bahwa berwisata merupakan salah satu hak dari setiap manusia terdapatdalam ketentuan Article 7 Global Code Ethics for Tourism, yang menyatakan bahwa The prospect of direct and personal access to the discovery and enjoyment of the planet s resources constitutes a right equally open to all the world s inhabitants; the increasingly extensive participation in national and international tourism should be regarded as one of the best possible expressions of the sustained growth of free time, and obstacles should not be placed in its way. Dalam perspektif nasional, secara implisit refleksi pengakuan kegiatan berwisata sebagai HAM terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28C ayat (1), dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Menyangkut batasan kesejahteraan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial lantas

6 22 menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pengakuan yang lebih tegas terdapat dalam menimbang huruf b UU Kepariwisataan, dinyatakan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 huruf b UU Kepariwisataan, dinyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan kepariwisataan yaitu menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal. Pengakuan selanjutnya dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf a, dinyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata. Di dalam kegiatan kepariwisataan baik yang dilakukan di dalam maupun diluar ruangan, harus senantiasa memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan dari setiap pengguna jasa. Hak wisatawan untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan dalam berwisata harus senantiasa diperhatikan dengan adanya standarisasi melalui sertifikasi usaha pariwisata. 2.3 Teori Negara Hukum Dalam Sertifikasi Usaha Pariwisata Dalam kaitannya terhadap hak asasi manusia, hukum berfungsi sebagai pembatas sehingga hak asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai hak masyarakat untuk bertindak sebebas-bebasnya, karena melalui hukum pula hak asasi manusia tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Oleh sebab itu hukum menjadi dasar bertindaknya masyarakat maupun pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

7 23 Doktrin tentang HAM sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari perlakuan yang tidak adil. 2 Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut sebagai rechtsstaat. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini secara implisit memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara Indonesia berkedudukan sangat mendasar dan tertinggi (supreme). Rechtstaat adalah sebuah konsep dalam pemikiran hukum Eropa Kontinental yang awalnya dipinjam dari hukum Jerman, yang dapat diterjemahkan sebagai legal state, state of law, state of justice, atau state of rights, dimana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh hukum. Jaminan perlindungan HAM bagi wisatawan secara jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 20 UU Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa Setiap wisatawan berhak memperoleh: a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; c. perlindungan hukum dan keamanan; d. pelayanan kesehatan; e. perlindungan hak pribadi; dan f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi. 2 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 85.

8 24 Berdasarkan hal tersebut, maka wisatawan memiliki hak untuk memperoleh jaminan keamanan dalam melakukan kegiatan pariwisata. Terkait hal tersebut, pelaku usaha pariwisata dalam menyediakan jasa pariwisata memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan wisata yang dapat memenuhi standar-standar keamanan dan kenyamanan, sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 26 huruf d, yang menyatakan bahwa Setiap pengusaha pariwisata wajib untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan. Salah satu upaya untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata yang mampu memenuhi standar-standar tertentu, adalah melalui sertifikasi usaha pariwisata. Saat ini terkait sertifikasi usaha pariwisata telah diatur di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, khususnya dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1), yang menyatakan bahwa Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha, selanjutnya dalam ketentuan ayat (2), dinyatakan bahwa Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi usaha. Berdasarkan hal tersebut, sertifikasi usaha pariwisata telah mendapatkan pengaturan di dalam hukum positif Indonesia, namun Bali yang menjadikan pariwisata sebagai lokomotif perekonomian, belum memiliki pengaturan secara lex specialis berupa Peraturan Daerah yang khusus mengatur mengenai sertifikasi usaha pariwisata Bali, atau dengan kata lain terdapat kekosongan norma hukum terkait sertifikasi usaha pariwisata di Bali. Oleh sebab itu, sebagai negara hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan baik pemerintah maupun masyarakat harus

9 25 berdasarkan atas hukum, maka perlu adanya pengaturan hukum berupa Perda, terkait kebijakan sertifikasi usaha pariwisata di Bali. 2.4 Aspek Sosiologis Dalam Sertifikasi Usaha Pariwisata Bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Kebijakan sertifikasi usaha pariwisata merupakan salah satu upaya pembangunan kepariwisataan Indonesia dengan menyediakan produk-produk pariwisata baik yang berupa barang/jasa yang memiliki standar kualitas yang telah ditetapkan. Wisatawan pengguna produk/jasa pariwisata disini memperoleh apa yang memang menjadi hak mereka dan pelaku usaha dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap pembangunan kepariwisataan di Indonesia. Dengan berkembangnya kepariwisataan di Indonesia melalui kebijakan sertifikasi usaha ini memiliki dampak positif terhadap kehidupan perekonomian masyarakat sekitar kawasan wisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kepariwisataan tidak hanya membawa dampak positif saja. Disatu sisi pariwisata mampu memberikan nilai ekonomi di dalam kehidupan masyarakat sekitar, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, disisi lain pariwisata juga memliki dampak negatif berupa perubahan nilai-nilai kebudayaan yang hidup di masyarakat

10 26 lokal. Dampak negatif lainnya yang timbul adalah semakin jelasnya stratifikasi ekonomi di dalam masyarakat, dimana perbedaan kemampuan ekonomi dapat berujung pada timbulnya kecemburuan sosial dan mengarah pada tindakantindakan yang bertentangan dengan hukum. Hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil rekaan bebas manusia, tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat dengan masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan, dan pada sisi lain gejalagejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum. 3 Gustav Radbruch mengidentifikasikan tiga tujuan keberadaan hukum. Menurutnya, hukum dibuat untuk mencapai tujuan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan (Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, und Zweckmachtigkeit). Adapun hakikat tujuan hukum adalah kepastian. Penegakan hukum adalah demi menjunjung tinggi kepastian hukum dan penegakan hukum tersebut adalah identik dengan penegakan keadilan. 4 Oleh sebab itu dengan adanya kepastian hukum dalam hal sertifikasi usaha pariwisata, maka dapat memberikan kemanfaatan dan rasa adil bagi masyarakat maupun wisatawan. 3 Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h Antonius Cahyadi, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor, Jakarta, h. 249.