Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
|
|
- Yandi Tedja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab VIII Penutup Ruang publik di wilayah perkotaan merupakan magnet yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha sektor informal. PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar, aktivitasnyapun memberi dampak terhadap lingkungan di mana mereka beraktivitas, sehingga pemerintah selalu memberi perhatian terhadap eksistensi mereka. Tidak jarang terjadi persoalan yang menyita waktu, tenaga dan materi dalam menata wilayah tersebut sesuai peruntukannya. Banyak pemerintah daerah yang disibukkan dengan berbagai persoalan dalam hal penataan wajah kota dari berbagai permasalahan, salah satu sumber permasalahan yang ditemui pada kota-kota besar adalah terganggunya aktivitas masyarakat kota karena banyaknya pelaku sektor informal yaitu munculnya PKL yang tidak terkendali. Fenomena penertiban PKL di kota-kota besar selalu menjadi peristiwa harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL harus bersiap perihal kejadian-kejadian penertiban tempat berdagang karena menempati ruang publik tanpa seizin pemerintah daerah. Dengan banyaknya persoalan yang diakibatkan oleh eksistensi PKL di kotakota besar, maka pemerintah membuat kebijakan melalui regulasi yang melarang PKL berjualan di tempat-tempat umum. Kebijakan dimaksud untuk mengendalikan perkembangan jumlah PKL secara tidak terkendali, sekaligus mengurangi permasalahan yang muncul akibat aktivitas PKL di ruang publik. Kebijakan pemerintah daerah untuk melakukan penataan fisik kota dengan memperindah tampilan wajah kota agar lebih menarik, dengan ruang publik yang aman dan nyaman sudah sepatutnya 235
2 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial dilakukan oleh pemerintah. Tetapi penggusuran dan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap PKL sebagai implementasi peraturan daerah adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dari segi hukum, kemanusiaan dan keadilan (Handoyo, 2012). Realita tersebut menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah dengan dampak yang kompleks karena pemerintah diperhadapkan pada situasi dilematis. Pertentangan antara kebutuhan hidup warga masyarakat dan kepentingan pemerintah akan berbenturan kuat dan menimbulkan friksi di antara keduanya. Para PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus dihadapi di antaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti adanya perda yang melarang keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Berangkat dari fakta tersebut maka pemerintah daerah ketika merumuskan sebuah kebijakan, perlu mengakomodir berbagai kepentingan dengan melibatkan pihak-pihak berkepentingan untuk bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi di kota. Pengalaman partisipasi PKL dan semua stakeholder di Kota Salatiga dalam mengupayakan sebuah regulasi untuk mengatur aktivitas PKL secara bijak sehingga terwujud sebuah kondisi yang aman dan damai, merupakan pengalaman berharga yang patut ditelaah dari kaca mata ilmiah dan dapat dijadikan contoh bagi kota ataupun daerah lain dalam penataan PKL secara bijak. Langkah bijak yang telah dilakukan pemerintah daerah Kota Salatiga dengan mengakomodir kepentingan masyarakat melalui partisipasi publik dalam perumusan penataan pedagang kaki lima, dengan melibatkan PKL dan stakeholder lainnya adalah sebuah langkah preventif yang menghasilkan terwujudnya harmoni sosial di atara semua pihak tanpa larut dalam konflik berkepanjangan. Nilainilai kebersamaan dalam partisipasi merupakan modal utama bagi langgengnya sebuah partisipasi dan harmoni sosial, sehingga sekalipun 236
3 Penutup telah lama dilewati proses implementasi dari sebuah kebijakan, tetapi partisipasi dan harmoni sosial tetap terjaga. Melalui pengalaman partisipasi publik dalam perumusan penataan PKL Kota Salatiga, serta peran PKL dan stakeholder dalam partisipasi, penulis menemukan pula nilai-nilai yang mengikat di antara PKL dan stakeholder, sehingga sekalipun prosesnya telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama tetapi partisipasi dan harmoni sosial tetap terjaga. Model penataan PKL Kota Salatiga dapat diadopsi ataupun direplikasi di daerah lain, karena konflik dengan eskalasi tinggi dapat diredam melalui upaya bersama tanpa ada tendensi politik dari pahak-pihak yang berkepentingan. Harus diakui bahwa kondisi tersebut seringkali dijadikan komoditas politik oleh elit birokrat maupun elit politik, dalam konteks partisipasi PKL dan stakeholder Kota Salatiga ditemukan juga upaya-upaya dari para elit melalui tawaran dana serta fasilitas untuk mencari panggung. PKL dan stakeholder secara tegas menolak pendekatan dimaksud dengan lebih mengedepankan kebersamaan melalui swadaya menggunakan potensi internal yang mereka miliki, sehingga perjuangan mereka bebas dari kepentingan elit. Dari realita tersebutlah penulis menyimpulkan tulisan ini. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa fenomena menarik terkait eksistensi PKL serta partisipasi dalam perumusan kebijakan penataan PKL yang muncul dari masyarakat. Inisiatif untuk membuat sebuah regulasi berasal dari masyarakat sendiri sehingga konflikpun dapat diredam dalam beberapa waktu tanpa berlarut-larut. Berdasarkan pengalaman tersebut maka pada bagian ini sebagai akhir dari penelusuran penelitian maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: Pertama, partisipasi yang dilakukan oleh PKL dan stakeholder merupakan sebuah tanggung jawab atas kesadaran bersama dalam membangun hubungan di antara mereka demi terwujudya sebuah tatanan kehidupan yang baik. Tanpa adanya rasa memiliki serta 237
4 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial tanggung jawab dari semua pihak maka tidak akan mungkin resolusi konflik terlaksana dengan baik jika masing-masing pihak merasa yang paling benar tanpa memikirkan kepentingan bersama. Partisipasi yang terbangun pada PKL dan stakeholder dalam mengupayakan adanya sebuah kebijakan pemerintah kota melalui Perda Nomor 2 tahun 2003 dilandasi oleh kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan untuk saling menghargai dan menopang keberlangsungan kehidupan baik pribadi mapun kelompok. Partisipasi memiliki wajah yang multidimensi karena di dalamnya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak. Partisipasi semakin baik apabila keinginan masyarakat untuk membangun tatanan kehidupan yang lebih baik, direspon positif oleh pihak pemerintah sehingga masyarakat merasa diberi ruang untuk kreativitas mereka. Tanpa adanya peran pemerintah dalam merespon niat baik warga sebagai wujud partisipasi dalam mencari solusi terhadap suatu persoalan maka sangat sulit menemukan kesamaan persepsi dari semua pihak yang terlibat dalam proses partisipasi. Kedua, pondasi utama dari partisipasi adalah seberapa baiknya komunitas masyarakat di suatu tempat, mampu mencari solusi ataupun keluar dari persoalan yang melilit mereka. Bagaimana kemampuan mereka dalam mengelola persoalan yang dimulai dari tahap assessment, tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi adalah wujud partisipasi aktif dalam menjawab persoalan. Peran PKL dan stakeholder Kota Salatiga dalam partisipasi perumusan kebijakan publik sangat luar biasa. Melalui aktor partisipasi baik berasal dari pihak PKL sendiri maupun stakeholder secara proaktif menggerakkan partisipasi dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki adalah kunci suksesnya partisipasi. Dengan ditetapkannya Perda Nomor 2 tahun 2003, maka hal tersebut menunjukkan bahwa partisipasi PKL bersama seluruh stakeholder berjalan dengan baik dan sukses. Aktor intelektual yang merancang konsep resolusi konflik serta partisipasi yang ditopang oleh PKL dan seluruh stakeholder berasal dari FMPS sendiri, sebagai bagian dari masyarakat Kota Salatiga yang peduli dengan kondisi saat itu. Dari kolaborasi yang solid antara aktor dan PKL, serta seluruh stakeholder maka kondisi kota yang semrawut serta konflik dengan berbagai dampakpun dapat dihidari melalui partisipasi bersama. 238
5 Penutup Ketiga, sejak terbangunnya partisipasi PKL dan stakeholder tahun 2002 serta adanya kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka sampai saat ini kondisi kota Salatiga tetap kondusif dan terhindar dari konflik. Konflik multidimensi karena melibatkan banyak pihak dapat diredam melalui partisipasi aktif semua pihak dalam menyikapi sejumlah permasalahan khususnya eksistensi PKL di Kota Salatiga. Hal tersebut tidak terjadi dengan sendirinya tetapi situasi kondusif dalam waktu yang cukup lama dipengaruhi oleh nilai kebersamaan, komitmen dan nilai kemanusiaan baik dalam mencari nafkah maupun saling peduli untuk sama-sama membangun tatanan kehidupan yang lebih baik. Baik PKL maupun stakeholder utama, kekuatan lain yang mempersatukan mereka adalah faktor ekonomi, dimana mereka merasa sama-sama harus saling menopang demi menghidupi keluarga dan memenuhi kebutuhan lainnya. Seiring dengan dinamika perkembangan PKL maka terjadi perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 menjadi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun Perubahan tersebut semakin menguatkan bangunan partisipasi sebagai warisan yang telah dibangun sejak tahun Harmoni sosial yang terbangun antara PKL dan stakeholder didasarkan pada nilai budaya yang secara umum dikenal oleh masyarakat Jawa dan menjadi corak budaya Nusantara yaitu demokrasi, gotong royong, egaliter, dan religius. Nilai-nilai inilah yang diyakini oleh PKL di Kota Salatiga dan stakeholder sebagai sebuah panutan dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk sehingga konsep Bhineka Tunggal Ika benar-benar dipraktekkan dalam wujud saling menopang dalam perbedaan. Langgengnya harmoni sosial diikat oleh keyakinan pada nilai luhur budaya bangsa merupakan local wisdom yang patut dilestarikan oleh setiap warga masyarakat sehingga keseimbangan hidup dalam perbedaan tetap terjaga. Kontribusi Teori Partisipasi publik dalam perumusan sebuah kebijakan pada umumnya diawali oleh arahan ataupun perintah dari atas, ketika para elit melihat sejumlah problematika ataupun kebutuhan masyarakat 239
6 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial yang harus disikapi untuk mencari solusi bersama. Karena itu jarang sekali masyarakat yang menjadi penggerak utama dalam setiap perumusan kebijakan, sebab pada prinsipnya kebijakan adalah kewenangan pemerintah. Penelitian ini memiliki kontribusi teori terhadap tahapan proses partisipasi serta tahap-tahap dalam proses penyusunan kebijakan publik. Menurut Pujualwanto (2012), partisipasi merupakan proses yang mempunyai makna dan nilai signifikan bagi peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola masalah. Partisipasi adalah proses untuk memecahkan masalah pembangunan yang terjadi dalam sebuah komunitas, melalui interaksi antara masyarakat dan negara dalam aktivitas nyata, dengan pengelolaan dan mekanisme tertentu untuk mencapai tujuan, berbasis nilai tradisional yang rasional sebagai perwujudan realitas dinamika kehidupan sosial bermasyarakat dalam satu komunitas. Berdasarkan penjelasan tersebut jika disinkronkan dengan realitas kehidupan masyarakat dalam mencari solusi bersama atas setiap problematika yang mereka alami, maka relasi antar sesama masyarakat adalah modal untuk membangun relasi dengan pihak pemerintah sebagai penentu sebuah kebijakan. Relasi yang dibangun oleh masyarakat sebagai pemangku kepentingan akan mempererat serta memperkuat ikatan emosional dalam komunitas formal sehingga semakin besar partisipasi dalam mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian maka tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat tergantung juga pada seberapa kuat relasi yang terbangun di antara mereka. Dalam hubungan dengan proses partisipasi yang terjadi di masyarakat, terdapat pemikiran dari beberapa ahli yang secara khusus membahas tahapan partisipasi. Tahapan partisipasi menurut Uphoff (1986: 127), terdiri atas empat bagian besar yaitu: perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Sedangkan menurut Ndraha (Pujoalwanto 2012:277), melihat tahapan partisipasi terdiri atas: infomasi, perencanaan, penentuan anggaran, hasil, evaluasi. Seirama dengan kedua ahli di atas, Kaho (Pujoalwanto 2012), membahas tahapan partisipasi terdiri atas: pembuatan keputusan, pelaksanaan, 240
7 Penutup pemanfaatan, monitoring, dan evaluasi. Berdasarkan pemikiran terkait proses partisipasi jika dihubungkan dengan konteks partisipasi PKL dan stakeholder di Kota Salatiga, maka semua unsur telah dilaksanakan secara baik mulai dari perencanaan sampai dengan tahap evaluasi. Penelitian ini melihat bahwa kekuatan utama dari partisipasi PKL dan stakeholder adalah kemampuan mereka dalam membangun relasi melalui konsolidasi untuk mengorganisir diri dengan membentuk paguyuban-paguyuban serta saling menopang antara satu dengan lainnya. Ketika mengkaji teori partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1969). Secara spesifik mengemukakan untuk mengetahui kualitas relasi antar pemangku kepentingan, khususnya antara masyarakat dan negara dalam pengelolaan pembangunan, relevan diketahui derajat partisipasi yang terjadi. Derajat partisipasi menjadi salah satu hal yang menarik dalam partisipasi terkait dengan kualitas partisipasi yang dihasilkan. Menurut Arnstein (1969), derajat partisipasi sering juga disebut dengan tangga partisipasi. Tahapan yang paling rendah adalah ketika masyarakat hanya sebagai pengikut, sedangkan pada tahapan yang paling tinggi ketika masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengontrol suatu kegiatan. Inilah derajat partisipasi yang menjadi impian masyarakat dalam era demokrasi sekarang ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa derajat partisipasi masyarakat (PKL dan stakeholder) Kota Salatiga berada pada tangga yang paling tinggi karena delegasi kekuasaan, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada rencana tertentu. Kendali masyarakat, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Pada konteks delegasi kekuasaan dan kendali masyarakat sebagaimana dijelaskan Arnstein, berada pada tangga tertinggi sehingga partisipasi dalam memperjuangkan kepentingan bersama lewat patisipasi publik dalam perumusan kebijakan penataan PKL yang melahirkan regulasi (Perda Nomor 2 Tahun 2003) adalah wujud suksesnya partisipasi masyarakat. 241
8 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial 242 Gambar 8. 1 Model Partisipasi PKL dan Stakeholder dalam Perumusan Kebijakan Publik Penelitian ini membuktikan bahwa tahapan partisipasi diawali dari adanya masalah sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan tentang konflik multidimensi, baik yang berasal dari atas atau dari bawah, kemudian dikuti dengan identifikasi kebutuhan (assessment), penentuan prioritas, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi (lihat Gambar 8.1). Hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap tahapan partisipasi masyarakat dimulai dari identifikasi permasalahan, penentuan prioritas, kemudian diikuti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Tahapan tersebut merupakan sebuah urutan dalam rangkaian yang utuh untuk mencapai tujuan. Membangun partisipasi masyarakat dalam konteks PKL dan stakeholdernya bukan perkara yang mudah, karena begitu kompleks dan heterogen didorong oleh kepentingan masing-masing golongan. Belum lagi adanya persoalan laten di antara paguyuban PKL itu sendiri, sehingga tidak memungkinkan terbangunnya sebuah partisipasi. Mengatasi persoalan ini, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan resolusi konflik, baik itu antar paguyuban PKL maupun dengan stakeholder. Melalui resolusi konflik ini, diharapkan terbangunnya kepedulian bersama terhadap persoalan penataan PKL, sehingga dapat terbangun sebuah kekuatan yang solid untuk menciptakan sebuah kondisi yang kondusif memungkinkan bagi semua pihak untuk mencari nafkah
9 Penutup tanpa merugikan siapapun. Gambar 8.1 merupakan sebuah model dari partisipasi PKL dan stakeholder dalam merumuskan kebijakan publik pada konteks PKL di Kota Salatiga. Model tersebut dapat diadopsi dan diimplementasikan di wilayah lain dengan karakteristik dan dinamika persoalan yang sama dengan Kota Salatiga. Dengan hasil ini, kiranya tahapan tersebut dapat menjadi panduan, agar tujuan dari partisipasi dapat tercapai. Berfungsinya organisasi dalam komunitas masyarakat baik paguyuban-paguyuban maupun kelompok kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan bersama, memperoleh secara langsung manfaat bagi kepentingan lebih besar dalam hubungan dengan eksistensi semua pihak, dan adanya pengendalian oleh masyarakat, menjadi basis partisipasi masyarakat. Terkait dengan temuan penelitian ini, maka terdapat beberapa hal yang dapat dicermati dari proses partisipasi, yaitu: telah berlangsung praktek penyelesaian masalah dengan tindakan sukarela di tataran level terendah yaitu komunitas masyarakat, melalui prinsip kebersamaan baik dalam wilayah atau zona yang sama ataupun berbeda. Dengan dilakukannya diskusi homogen antar sesama PKL maupun dengan stakeholder menunjukkan pemecahan masalah sosial yang sesungguhnya lahir dari komitmen bersama. Masyarakat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mengetahui apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan. Dengan demikian maka kebijakan penataan PKL yang diimplementasikan pada tahun 2003 merupakan hasil partisipasi secara langsung dari semua pihak yang mengalami dampak permasalahan PKL. Kontribusi Kebijakan Hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pemerintah daerah dalam hal penentuan kebijakan daerah yang bertujuan mensejahterakan masyarakat secara umum. Konflik yang terjadi di kota-kota besar dalam menangani eksistensi PKL terkadang tidak diawali dengan kajian yang menyeluruh dengan melibatkan semua 243
10 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial pihak yang punya kepentingan sehingga banyak kendala yang ditemui pada saat mengimplementasikan kebijakan dimaksud. Kebijakan publik sendiri dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan atau kegiatan yang dicetuskan oleh individu, kelompok dalam masyarakat maupun pemerintah di dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatasi hambatan atau keadaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat wilayah tersebut. Nantinya, dengan adanya kebijakan publik tersebut, dapat berguna di dalam masyarakat untuk mengatasi hambatan atau kendala dalam rangka untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat di suatu wilayah. Penentapan kebijakan publik juga bertujuan meminimalisir terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Dengan demikian suatu kebijakan yang dihasil bukan untuk menghadirkan resistensi yang destruktif terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat dalam sebuah komunitas sehingga tidak terkesan pemerintah menggunakan kewenangan dengan semena-mena tanpa melibatkan masyarakat pada tahap perencanaan. Karena itu relasi yang baik dengan melibatkan semua pihak dalam setiap perumusan kebijakan publik akan meminimalisir dampak pada saat implementasi sebuah kebijakan. Tahap-tahap kebijakan publik juga diartikan sebagai suatu pola dimana di dalam pola tersebut terdapat ketergantungan yang bersifat kompleks terhadap keputusan yang menentukan suatu tindakan yang dibuat oleh kelompok badan yang dimiliki oleh pemerintah. Arti kebijakan publik yang seperti ini menekankan bahwa hanya badan yang berwenanglah dalam hal ini adalah pemerintah yang dapat menentukan dan menetapkan suatu kebijakan publik yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Tentunya kebijakan publik yang ditentukan untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya didasarkan pada asas-asas pokok demokrasi di Indonesia agar masyarakat merasa dilibatkan dalam menentukan suatu kebijakan yang nantinya akan mengatur kehidupan masyarakat itu sendiri. Ketika menilik proses partisipasi masyarakat di Kota Salatiga dalam merumuskan arah kebijakan untuk menggapai kehidupan yang baik dalam kompleksitas kepentingan, menunjukkan bahwa 244
11 Penutup masyarakat memiliki kemampuan dalam mengelola permasalahan yang mereka hadapi karena itu pemerintah tidak memposisikan masyarakat sebagai objek dari implementasi sebuah kebijakan tetapi sebaliknya. Pemerintah bersama masyarakat membangun relasi yang saling menopang serta saling melengkapi sehingga setiap perencanaan kebijakan publik, pemerintah sebaiknya menggunakan sumber daya yang ada di dalam masyarakat itu sendiri sehingga merekapun merasa memiliki terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah memiliki otoritas dalam menentukan sebuah kebijakan sebagaimana pemikiran Anderson (1984:12), ia memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Lebih tegas ia menyatakan bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini menurutnya berimplikasi pada beberapa hal: Pertama, kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kedua, kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. Ketiga, kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kelima, kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Dari pemikiran Anderson dapat dipahami bahwa peran pemerintah sangatlah besar untuk menentukan kebijakan publik tetapi tidak serta merta pemerintah memiliki kewenangan untuk memposisikan diri sebagai satu-satunya penentu setiap kebijakan tanpa melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Belajar dari pengalaman perumusan kebijakan penataan PKL Kota Salatiga maka kontribusi dari tulisan ini terhadap pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan publik adalah bagaimana 245
12 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial masyarakat diberi ruang untuk terlibat aktif dalam perumusan sebuah kebijakan, sebab keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik yang sepihak. Jika masyarakat telah dilibatkan untuk mengkritisi kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem karena merekapun merasa memiliki dan telah menjadi bagian dari sebuah kebijakan yang diambil. Masyarakat harus diberi ruang dalam praktek demokrasi, sehingga mereka sebagai warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang yang diberikan harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik yang di dalamnya mengatur seluruh tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu negara. Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri, sehingga berbagai perbedaan yang berpotensi konflik dapat dihindari. Adanya keterlibatan masyarakat dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki maka suksesnya sebuah kebijakan dapat dipastikan, karena semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab bersama pula sehingga implementasi dari sebuah kebijakan akan direspon positif oleh masyarakat. Sebuah kebijakan pemerintah harus dibuat berdasarkan kajian komprehensif dengan melihat sumber daya yang ada pada masyarakat. Pengalaman perumusan kebijakan penataan PKL kota Salatiga pada tahun 2003, merupakan sebuah proses demokrasi deliberatif yang dapat dijadikan contoh bagi daerah lainnya. Karena itu menurut penulis pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang bertujuan mengembangkan institusi, berupa pemberdayaan organisasi ataupun 246
13 Penutup paguyuban yang telah ada sehingga setiap program yang dicanangkan dapat dengan mudah disosialisasikan melalui wadah yang ada. Menyikapi pengalaman partisipasi PKL dan stakeholder Kota Salatiga maka perlu dibentuk forum bersama antara PKL dan stakeholder, forum ini sangat penting dalam rangka menggerakkan partisipasi masyarakat. Gaung partisipasi yang telah terlaksana sejak tahun 2002 sampai 2015 dan sekalipun Perda Nomor 2 Tahun 2003 tidak lagi berlaku, tetapi masih berdampak pada kehidupan PKL dan stakeholder sampai saat ini. Karena itu dengan adanya forum bersama maka peranya tidak hanya untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat interaksi antara PKL dengan stakeholder tetapi lebih pada pengembangan komunitas yang lebih mengedepankan pemberdayaan ekonomi, dan kehidupan masyarakat bermartabat yang saling menopang dalam berbagai hal. Keterbatasan Penelitian dan Agenda Penelitian Selanjutnya Penelitian penulis lakukan dengan mendasarkannya pada fakta empirik serta kajian berdasarkan data-data lapangan yang bersumber dari mereka yang terlibat dalam proses partisipasi sejak awal sampai akhir dan mereka adalah pelaku ataupun aktor partisipasi itu sendiri. Mengingat begitu banyaknya pelaku partisipasi yang tersebar di hampir seluruh daerah Salatiga maka tidak mungkin penggalian informasi melalui pengamatan dan wawancara dapat dilakukan penulis secara menyeluruh pada obyek dan pelaku, dengan demikian maka tidak dapat dipungkiri bahwa pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan pada obyek dan pelaku tertentu saja kemudian dianalisis secara ilmiah tidak menghindari kesan subjektif. Sebab itu penulis sadar bahwa tingkat subjektifitas peneliti adalah konsekuensi yang sulit dihindari ketika menginterpretasikan data yang diperoleh dari lapangan dalam pembahasan maupun analisisnya. Berdasarkan fakta tersebut maka terbuka ruang untuk studi selanjutnya dalam mengungkap fakta dan model yang berbeda dari obyek serta pelaku 247
14 Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial yang berbeda pula sehingga dapat diperoleh analisis yang paripurna atas semua proses yang terjadi. Penelitian ini dilakukan semenjak tahun 2015 karena itu sangatlah besar kemungkin kondisi sosial masyarakatnyapun mengalami perubahan seirama berjalannya waktu. Kondisi masyarakat yang dinamis membuka ruang untuk bagaimana penelitian selanjutnya dilakukan, selain itu kebijakan pemerintahpun dari waktu ke waktu akan dievaluasi sesuai kondisi masyarakatnya sehingga perubahan terhadap setiap regulasi yang tidak sesuai konteks ataupun persoalan yang dihadapi akan diperbaharui berdasarkan kajian terbaru. Dengan demikian ruang bagi peneliti selanjutnya tetap terbuka dan analisnyapun lebih komprehensif. Ruang lainnya adalah fokus penelitian ini ada pada proses partisipasi publik dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, dengan demikian dinamikanyapun dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Karena itu penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan mengkaji permasalahan selanjutnya karena masyarakatnya serta PKL juga dari waktu ke waktu turut mengikuti arus perubahan. Salah satu contoh untuk kasus penataan PKL di Kota Salatiga, peraturan daerahnya pun telah mengalami perubahan dari Perda Nomor 2 Tahun 2003 ke Perda Nomor 4 Tahun 2015, dengan realita tersebut terbuka ruang bagi penelitian selanjutnya. 248
BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian
BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Lebih terperinciBab VI Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
Bab VI Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003 Setelah melewati perjalanan panjang pasca implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka pada bagian ini penulis melihat kondisi kekinian PKL
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan
Lebih terperinciV. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan berikut ini secara rinci menjabarkan secara rinci situasi dan kondisi poktan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tembakau merupakan tanaman dilematis bagi Indonesia yang melahirkan dua sisi yang saling bertentangan. Pada satu sisi tembakau dianggap sebagai komoditas yang harus dibatasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap kekuatan kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan kekuatan
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. dapat mendorong proses penganggaran khususnya APBD Kota Padang tahun
BAB VI PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Pada awalnya penulis ingin mengetahui peran komunikasi dalam hal ini melalui konsep demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dapat mendorong proses penganggaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada
Lebih terperinciREVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana
Lebih terperinciSekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan
Bab 9 Kesimpulan Di era ekonomi global persaingan industri semakin ketat. Peran teknologi informasi sangat besar yang menyebabkan cakupan wilayah produksi dan pemasaran barang dan jasa tidak dapat dibatasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam suatu proses pembangunan, selain dipertimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan, juga dipertimbangkan dampak aktivitas ekonomi terhadap kehidupan sosial masyarakat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan terus menjadi topik yang diperbincangkan oleh banyak pihak. Pendidikan seperti magnet yang sangat kuat karena dapat menarik berbagai dimensi dalam
Lebih terperinciPELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM
PELEMBAGAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DESA MELALUI PEMBANGUNAN BKM Oleh: Donny Setiawan * Pada era demokratisasi sebagaimana tengah berjalan di negeri ini, masyarakat memiliki peran cukup sentral untuk menentukan
Lebih terperinciKekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan
KMA Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Proses Pembuatan Kebijakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial. Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Parson Tentang Perubahan Sosial Perubahan Sosial dalam soejono soekanto (2003), adalah segala perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang tercakup atas aspek-aspek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah seperti diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan otonomi daerah seperti diatur dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas nyata
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang. telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa
282 BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan penutup dari berbagai data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya yang pernyataannya berupa kesimpulan dan saran yang diperlukan. A. Kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah
BAB VIII PENUTUP A. Kesimpulan Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah Kabupaten Nagekeo dalam pembangunan saluran irigasi Mbay kiri dipicu oleh masalah ketidakadilan
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012
1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciBAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada
BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada Proses peralihan kepemilikan lahan kosong terjadi sejak akhir 2004 dan selesai pada tahun 2005, dan sejak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik merupakan sesuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari
Lebih terperinciBAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH
BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah berimplikasi pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Ini memberikan implikasi terhadap perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. generasi muda untuk mempunyai jiwa kemanusiaan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sebuah tindakan yang fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar kehidupan bangsa sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang Beras sangat penting dalam memelihara stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional, karena beras merupakan bahan
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras sangat penting dalam memelihara stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional, karena beras merupakan bahan pangan pokok utama sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya terdapat berbagai kepentingan negara dan masyarakat sipil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan anggaran dipandang sebagai produk dari proses politik karena didalamnya terdapat berbagai kepentingan negara dan masyarakat sipil sebagai institusi yang memiliki
Lebih terperinciPENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan ciri utama sistem pemerintahan yang demokratis. Sedangkan salah satu fungsi dari partai politik adalah pendidikan politik, ini merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah mencanangkan reformasi birokrasi termasuk di bidang keuangan negara. Semangat reformasi keuangan ini telah menjadi sebuah kewajiban dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda, dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai
Lebih terperinciPAPARAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PAPARAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Rapat Koordinasi Nasional
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN SARAN
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari hasil analisis terhadap keberlanjutan komunitas Kampung Adat Cireundeu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai akhir kajian : Kelembagaan adat sebagai salah
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
IMPLEMENTASI PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus pada LPMK Kelurahan Joyosuran Kecamatan Pasar Kliwon Kota
Lebih terperinciPilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang
Bab Dua Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang berhubungan dengan persoalan penelitian tentang fenomena kegiatan ekonomi pedagang mama-mama asli Papua pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi dan mobilitas penduduk menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perpindahan tempat yang dilakukan manusia ke tempat lainnya dilakukan dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai sektor formal. Selama kurun waktu 5 tahun (2005-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Perda Nomor 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima, hal ini dilakukan untuk menjadikan sektor ekonomi informal
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Arti pembangunan masyarakat yang sebenarnya adalah pembangunan masyarakat dari bawah (bottom up), di mana masyarakat sebagai subyek pembangunan memiliki hak untuk berperan serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciSTUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro)
STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro) TUGAS AKHIR Oleh : RINA NAZLA ULFAH L2D 098 461 JURUSAN PERENCANAAN
Lebih terperinciPENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda
YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan
Lebih terperinciII.TINJAUAN PUSTAKA. dengan teori-teori yang telah dikemukakan oleh ahli. Untuk menghubungkan hasil penelitian dengan teori yang dikemukakan oleh
11 II.TINJAUAN PUSTAKA Setelah merumuskan latar belakang masalah yang menjadi alasan dalam mengambil masalah penelitian, pada bab ini penulis akan merumuskan konsepkonsep yang akan berkaitan dengan objek
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan
Lebih terperinciakibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga kini belum ada upaya kongkrit untuk mengatasi tawuran pelajar di Kota Yogya, akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang
Lebih terperinciBAB V POLA KOMUNIKASI ANTARA FORUM JURNALIS SALATIGA DENGAN PEMERINTAH KOTA SALATIGA Pola Komunikasi FJS dan Pemerintah Kota Salatiga
BAB V POLA KOMUNIKASI ANTARA FORUM JURNALIS SALATIGA DENGAN PEMERINTAH KOTA SALATIGA 5. 1. Pola Komunikasi FJS dan Pemerintah Kota Salatiga Kebebasan Pers secara subtansif tidak saja dijadikan indikator
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami bangsa Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total diseluruh aspek kehidupan masyarakat. Disamping
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain
Lebih terperinciRINGKASAN. vii. Ringkasan
RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, memberi kekuatan hidup serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban. tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era Reformasi yang lahir pasca runtuhnya Orde Baru mengemban tugas yang tidak mudah, salah satunya untuk mencari solusi alternatif dalam menyelesaikan berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diakui dan dihormatinya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa di Indonesia merupakan perwujudan penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah
Lebih terperinciKERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
53 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Kemiskinan Proses pembangunan yang dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan berakhirnya era Orde Baru, diakui atau tidak, telah banyak menghasilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan semakin meningkat secara pesat karena kota saat ini, dipandang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa kebanyakan, kota bagaikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi
Lebih terperincipembangunan (misalnya dalam Musrenbang). Oleh sebab itu, pemerintah tidak mengetahui secara tepat apa yang sebenarnya menjadi preferensi lokal
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan desentralisasi pembangunan di Indonesia pada era otonomi daerah tidak dapat terpisahkan dari upaya perwujudan demokrasi dalam pembangunan. Sebagaimana
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan
288 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan hasil penelitian, pada akhir penulisan ini akan dijabarkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi
Lebih terperinciBAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN. Pelaksanaan otonomi daerah secara nyata diarahkan
BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Pelaksanaan otonomi daerah secara nyata diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam upaya meningkatkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi tercatat mengalami sejarah panjang di Indonesia. Semenjak tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang menjadi
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa kerjasama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui bahwasannya desa secara formal diakui dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan. kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Strategi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) adalah dengan melakukan penguatan kelembagaan masyarakat. Keberdayaan kelembagaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia yang dibuat oleh
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan sebagai konsep yang terkait dengan pembangunan, merupakan sebuah perubahan atau pembangunan berkesinambungan yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis yang berkepanjangan.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP DAN IMPLIKASI TEORI
BAB V PENUTUP DAN IMPLIKASI TEORI 5.1. Temuan-Temuan di Lapangan Berdasarkan penulusuran secara seksama melalui pengamatan terlibat yang cukup lama dengan pihak PKL, Preman dan aparat, maka diperoleh beberapa
Lebih terperinciTelaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S.
Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Kusumah Pendahuluan Pergeseran tata nilai dalam kehidupan sehari-hari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain itu bab ini juga menjelaskan tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah melalui kegiatan pendidikan. Sebagai bagian dari masyarakat, kegiatan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mayoritas masyarakat memiliki keinginan untuk maju berkembang menjadi lebih baik. Keinginan tersebut diupayakan berbagai cara, salah satunya adalah melalui kegiatan
Lebih terperinciBab 4 PENUTUP. Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus
Bab 4 PENUTUP Semenjak berakhirnya kekuasaan Orde Baru (negara) akibat desakan arus liberalisasi, ruang-ruang publik di tanah air mulai menampakkan dirinya. Namun kuatnya arus liberalisasi tersebut, justeru
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah
Lebih terperinciPANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK
PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK Disampaikan oleh : Ir. Apri Hananto Sukandar, M.Div Nomor Anggota : A- 419 Yang terhormat Pimpinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena
Lebih terperincipengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.
Bab Enam Kesimpulan Masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), seringkali diabaikan dan kurang diberikan peran dan tanggung jawab dalam mendukung aktivitas
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi pada beberapa negara di dunia yang melaksanakan sistem pemerintahan desentralisasi. Transfer antar pemerintah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semestinya bukan sebagai media periklanan, isinya didominasi dari iklan motor,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini memaparkan kegiatan kolektif anti sampah visual di Yogyakarta. Sampah visual yang dimaksud adalah media promosi atau iklan yang berada di luar ruangan
Lebih terperinciPARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA. Dr. H. Kadri, M.Si
PARTAI POLITIK DAN KEBANGSAAN INDONESIA Dr. H. Kadri, M.Si Outline Peran dan Fungsi Partai Politik Nilai-Nilai Kebangsaan Indonesia Realitas Partai Politik saat ini Partai Politik sebagai Penjaga Nilai
Lebih terperinci