V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 81 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proses Kebijakan dan Indikator Pemekaran Kabupaten Raja Ampat Dalam pelaksanan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, yang membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran daerah. Bersamaan dengan itu, muncullah aspirasi masyarakat Papua untuk memisahkan diri (merdeka) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak Tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan alasan sudah hampir 37 tahun ( ) Papua bergabung dengan NKRI tetapi terus tertinggal di berbagai aspek kehidupan pembangunan. Masyarakat Papua merasa sumberdaya alamnya melimpah namun miskin di atas kekayaan alam tersebut, karena selama pemerintahan sentralistik (orde baru), semua kekayaan alam Papua di bawa ke pusat sedangkan daerah hanya memperoleh sebagian kecil saja. Tuntutan dan kekecewaan masyarakat Papua tersebut, langsung ditanggapi oleh pemerintahan Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mencari solusi terbaik untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI dengan menerbitkan suatu produk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus). Dengan adanya produk Undangundang tersebut dan diperkuat dengan UU No.22 Tahun 1999 dan juga PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui DPRD mengusulkan 14 calon daerah otonom baru di Papua ke pemerintah pusat. Dengan adanya usulan tersebut, maka pada tanggal 11 Desember 2002 pemerintah RI menetapkan 14 kabupaten baru di Tanah Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Waropen, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang.

2 82 Pembentukan 14 kabupaten baru di Provinsi Papua melalui hak inisiatif DPR yang didasarkan pada hak legislasi DPR dalam membentuk Undang-undang yang salah satunya adalah UU Pembentukan Daerah. DPR mengajukan usulan UU Pembentukan Daerah berdasarkan usulan masyarakat yang disampaikan kepada DPR. Dengan demikian pembentukkan 14 kabupaten baru di Papua termasuk Kabupaten Raja Ampat, alasan politik lebih dominan dibandingkan dengan alasan teknis sebagaimana diamanatkan dalam PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Hal ini berkaitan dengan belum sepenuhnya disosialisasikannya PP No.129 Tahun 2000 pada Tahun 2001, sehingga belum secara optimal diperketat kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Di dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 bahwa kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan harus dilakukan dengan kajian akademik yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Negeri. Namun pembentukan 14 Kabupaten baru di Provinsi Papua tidak dilakukan kajian akademik oleh perguruan tinggi negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat (2008), bahwa pada saat usulan pemekaran Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2001 data indikator dalam PP No.129 Tahun 2000 sebagian besar sudah dipenuhi, namun datanya tidak tersedia untuk peneliti. Dengan tidak adanya data pada Tahun 2001 terkait usulan pembentukan Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2002, maka untuk menilai apakah indikator pemekaran sudah atau belum dipenuhi setelah 3 tahun pemekaran, peneliti menggunakan data BPS (Kabupaten Sorong dan Raja Ampat Dalam Angka) dan sumber data lainnya pada Tahun Data tersebut dilihat pada Lampiran 3. Dijelaskan dalam Undang-undang tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pemekaran, khususnya Kabupaten Raja Ampat adalah untuk memacu pembangunan di Provinsi Papua pada umumnya, serta Kabupaten Sorong khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaran pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas dan perkembangan kemampuan

3 83 ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lainnya, maka dipandang perlu untuk membentuk Kabupaten Raja Ampat. Pemekaran ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Respon masyarakat Raja Ampat juga sangat tinggi terhadap pembentukan Kabupaten Raja Ampat, hal ini dapat dilihat dari kemauan masyarakat Raja Ampat dalam menantikan terbentuknya kabupaten baru yaitu mengadakan seminar, lobi dan pendekatan dengan pemerintah pusat untuk mendukung terbentuknya Kabupaten Raja Ampat. Dukungan masyarakat juga dibuktikan dengan pemberian cuma-cuma tanah adat seluas 600 hektar untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan di Ibukota Kabupaten Raja Ampat di Waisai, serta pada setiap Ibukota Distrik tanpa diminta ganti rugi tanah. Disamping itu telah dijelaskan bahwa adanya Undang-Undang RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Daerah dan Pusat, ikut mendorong respon masyarakat Kabupaten Raja Ampat dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Indikator pemekaran wilayah berdasarkan PP N0.129 Tahun 2000 serta UU No.32 Tahun 2004 pasal 5 dinyatakan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik wilayah. Syarat administrasi telah dipenuhi Kabupaten Raja Amat dengan adanya persetujuan dari DPRD Kabupaten Sorong dan persetujuan dari DPRD Provinsi Papua dan Gubernur Papua pada tahun 2001 serta adanya rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah dan pertimbangan lainnya. Dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, dijelaskan tata cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan daerah sebagai berikut :

4 84 1. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2006 berjumlah jiwa, sedangkan Kabupaten Raja Ampat jiwa. Jumlah penduduk kedua kabupaten ini selisih jiwa, ini karena Kabupaten Sorong merupakan kabupaten induk yang sudah lama dan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang sudah maju serta adanya transmigrasi nasional asal Jawa dan Bali yang menetap di sana. Kepadatan penduduk di Raja Ampat 5 jiwa/km 2 sedangkan Kabupaten Sorong 4 jiwa/km 2. Secara lengkap jumlah, laju dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Lampiran Kemampuan Ekonomi Pengukuran kemampuan ekonomi untuk Kabupaten Raja Ampat yang dimekarkan pada akhir 2002 dapat didekati dengan menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dengan membandingkan PDRB perkapita dan pertumbuhan ekonomi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PDRB perkapita Kabupaten Raja Ampat setelah 3 tahun dimekarkan bernilai Rp ,56 juta; sedangkan Kabupaten Sorong bernilai Rp ,96 juta. Untuk pertumbuhan ekonomi menunjukan nilai 1,32% untuk Kabupaten Sorong dan 7,85% untuk Kabupaten Raja Ampat. Kemudian kontribusi PDRB non migas untuk Kabupaten Sorong sebesar 0,20% sedangkan kontribusi PDRB non migas untuk Kabupaten Raja Ampat sebesar 0,05%. 3. Kemampuan Keuangan Kemampuan ekonomi juga bisa didekati dengan Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) yang dihitung berdasarkan penerimaan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk dan rasio penerimaan daerah sendiri terhadap PDRB. Hasil yang diperoleh menunjukkan rasio penerimaan daerah sendiri terhadap jumlah penduduk Kabupaten Sorong bernilai Rp ,34 juta sedangkan Kabupaten Raja Ampat bernilai Rp ,08 juta. Untuk rasio PDS terhadap PDRB menunjukkan nilai Rp ,38 juta sedangkan untuk Kabupaten Raja Ampat dan nilai Rp ,38 juta untuk Kabupaten Sorong.

5 85 Dari kedua indikator syarat pemekaran wilayah tersebut menunjukkan nilai yang sangat berbeda antara kabupaten induk dan hasil pemekaran dimana Kabupaten Raja Ampat nilainya agak tinggi dari Kabupaten Sorong, yang mengindikasikan pemekaran layak dilakukan untuk Kabupaten Raja Ampat. 4. Potensi Daerah Indikator potensi daerah menunjukan kemampuan Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten hasil pemekaran masih belum memiliki potensi daerah yang memadai jika dibandingkan dengan kabupaten induknya. Ini bisa dilihat dari masih sangat minimnya sarana perbankan yang hanya satu unit yaitu Bank Papua Cabang Waisai untuk melayani jiwa. Begitu pula dengan sarana dan prasarana ekonomi seperti pertokoan dan pasar yang tersedia masih sangat minim jumlahnya dan dalam skala yang sangat kecil. Dimana hanya terdapat 265 toko, 2 buah pasar permanen, 80 Sekolah Dasar, 16 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 3 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 75 fasilitas kesehatan dan 557 Pegawai Negeri Sipil. Ini juah lebih sedikit bila dibandingkan dengan potensi daerah yang dimiliki kabupaten induk Sorong. Namun sarana dan prasarana pemerintah di Kabupaten Raja Ampat sudah tercukupi dengan baik, hal ini bisa dilihat dari tersedianya gedung perkantoran untuk masing-masing dinas dan instansi pemerintahan di ibukota kabupaten di Waisai. Lahan yang tersediapun masih cukup luas dan memungkinkan untuk dibangunnya gedung perkantoran yang baru. Indikator potensi lainnya juga masih menunjukkan jumlah yang sangat terbatas. Hal ini tentu saja bukan kendala bagi daerah yang baru dimekarkan, dengan adanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diharapkan ke depan potensi daerah tersebut dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 5. Sosial Budaya dan Sosial Politik Sosial budaya dan sosial politik masyarakat di Kabupaten Raja Ampat menunjukkan hal yang baik, dengan rasio sarana peribadatan per penduduk bernilai 36,36. Kabupaten Sorong telah memiliki sarana peribadatan yang jauh lebih baik dengan nilai 71,01. Fasilitas lapangan olahraga di Raja Ampat hanya bernilai 33,56 dengan jumlah balai pertemuannya sebanyak 14 unit. Ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan Kabupaten Sorong yang jumlah

6 86 fasilitas lapangan olahraga dan balai pertemuannya cukup banyak (namun data tidak tersedia). Jumlah organisasi kemasyarakatan di Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong terutama partai politik sampai saat ini ada 34 partai politik peserta pemilu legislatif dan Presiden RI 2009 di kedua wilayah tersebut. Serta adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup di Raja Ampat berjumlah 8 LSM. 6. Luas Daerah Luas wilayah daratan keseluruhan untuk Kabupaten Sorong adalah km 2. Sedangkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat secara keseluruhan (daratan dan perairan) adalah 46,106 km 2, sedangkan luas wilayah daratannya sendiri adalah 6.084, 50 km 2. Keadan topografi pada wilayah Kabupaten Raja Ampat sebagian besar ± 70% merupakan daerah perairan yang memisahkan pulau yang satu dengan pulau yang lainnya, sehingga perbandingan wilayah darat dan laut adalah 1:6, dengan wilayah perairan yang lebih dominan. 7. Pertahanan dan Keamanan Untuk keamanan dan ketertiban, Kabupaten Raja Ampat maupun Kabupaten Sorong cukup aman dari bentuk gangguan dan ancaman dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Jumlah personil aparat keamanan di Kabupaten Sorong lebih banyak jika dibandingkan dengan Kabupaten Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat memiliki peranan sangat penting sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah luar negeri. Pulau Fani yang terletak diujung paling utara dari rangkaian Kepulauan Raja Ampat, berbatasan langsung dengan Republik Palau, sehingga banyak sekali kapal-kapal nelayan luar negeri yang dapat mencari ikan di perairan Raja Ampat. Hal ini harus diwaspadai oleh personil TNI/Polri untuk menempatkan kapal-kapal patroli yang beroperasi secara rutin di perairan Raja Ampat, sehingga keamanan di wilayah perairan Raja Ampat dan sekitarnya terkendali.

7 87 8. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan melihat tiga aspek kehidupan manusia, yaitu usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge) dan standar hidup layak (decent living). Berdasarkan data IPM dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia Papua (BPS Papua, 2004), menyatakan bahwa harapan hidup di Kabupaten Raja Ampat adalah 64,4 tahun, melek huruf (butuh huruf) 76,9 tahun, lama sekolah 6,0 tahun, standar layak hidup yaitu rata-rata konsumsi riil yang disesuaikan sebesar Rp.572,8; sehingga rata-rata IPM Kabupaten Raja Ampat adalah 59,8. Sedangkan harapan hidup di Kabupaten Sorong adalah 65,3 tahun, melek huruf (butuh huruf) 89,9 tahun, lama sekolah 6,9 tahun, standar layak hidup yaitu rata-rata konsumsi riil yang disesuaikan sebesar Rp.572,8 sehingga rata-rata IPM Kabupaten Sorong adalah 64,6. Nilai IPM Kabupaten Raja Ampat lebih kecil dari Kabupaten Sorong, kesenjangan ini mungkin disebabkan oleh kondisi geografisnya dan kondisi infrastruktur di bagian pedalaman pulau-pulau di Raja Ampat yang sangat buruk sehingga menciptakan daerah-daerah yang terisolasi. Dengan demikian, maka mengindikasikan pemekaran layak dilakukan untuk Kabupaten Raja Ampat agar mengejar ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya. 9. Rentang Kendali Rentang kendali bisa dilihat dari dari jarak distrik ke pusat pemerintahan (Kabupaten Induk). Rata-rata jarak distrik di Kabupaten Sorong ke pusat pemerintahan bernilai 59,67 km 2. Sedangkan rata-rata jarak distrik di Kabupaten Raja Ampat ke pusat pemerintahan bernilai 66,40 km 2. Jarak yang sangat jauh ini memungkinkan suatu wilayah tidak bisa terlayani dengan baik, sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan sangat lambat karena adanya kendala jarak dan waktu tempuh yang cukup lama. Oleh karena itu, sangat layak apabila wilayah Raja Ampat dimekarkan menjadi Kabupaten baru yaitu Kabupaten Raja Ampat. Lebih jelas tentang hasil perbandingan perhitungan indikator kelayakan pemekaran seperti terlihat pada Lampiran 5.

8 Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Struktur Ekonomi Pertumbuhan Struktur Ekonomi Wilayah a. PDRB Migas dan Nonmigas serta Laju Pertumbuhannya Pertumbuhan struktur ekonomi wilayah (Kabupaten Sorong dan Raja Ampat) didekati dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada saat sebelum dan sesudah pemekaran. Data PDRB merupakan cerminan jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit usaha produksi dalam jangka waktu tertentu (1 tahun). Data PDRB Kabupaten Sorong dan Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Jumlah PDRB dengan minyak dan gas bumi (migas) dan PDRB tanpa minyak dan gas bumi (Nonmigas) dan laju pertumbuhan untuk Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Lampiran 9, 10 dan pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14. Jumlah PDRB Migas dan Nonmigas serta Laju Pertumbuhannya di Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Sorong Kabupaten Raja Ampat Tahun PDRB Migas PDRB Nonmigas PDRB Migas PDRB Nonmigas Rp Laju Rp Laju Rp Laju Rp Laju (Juta) (%) (Juta) (%) (Juta) (%) (Juta) (%) ,90-328, ,56 139,47 545,14 65, ,55-9,64 659,73 21, ,19 22,11 544,91-17, ,92-1,21 576,65 5, ,35 5,40 576,57-0,01 Rata 2 781,70 31,23 646,35 15, ,82 8,49 654,57 13,53 184,12-184, ,15 9,84 782,94 19,61 195,73 6,30 195,73 6, ,50-11,66 840,89 7,40 514,10 162,66 196,11 0, ,20 0,04 852,02 1,32 515,24 0,22 211,52 7, ,67 3,26 903,25 6,01 529,36 2,74 225,35 6,54 Rata ,37 1,99 806,73 9,57 387,71 42,98 202,56 5,22 Sumber : BPS Kabupaten Sorong dan Raja Ampat Sebelum pemekaran PDRB Migas atas harga konstan 2000 Kabupaten Sorong mempunyai nilai sebesar 571,90 milyar rupiah pada Tahun 1997 menjadi 1.501,35 trilyun rupiah pada Tahun 2002 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 31,27% setiap tahunnya. Laju pertumbuhannya cenderung menurun dari 139,47% Pada Tahun 1998 menjadi 5,40% dan tumbuh negatif pada Tahun 1999

9 89 (-9,64%) dan pada Tahun 2001 (-1,21%). Hal ini terjadi karena pada tahun 1998, dampak terjadinya krisis ekonomi secara nasional berimbas pada PDRB Kabupaten Sorong Tahun Sedangkan PDRB Nonmigas mempunyai nilai sebesar 328,75 milyar rupiah pada Tahun 1997 menjadi 576,57 milyar rupiah pada Tahun 2002 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 15,05% setiap tahunnya. Laju pertumbuhannya juga cenderung menurun dari 65,82% Pada Tahun 1998 menjadi -0,01% pada Tahun 2002 (Gambar 5). Perbandingan PDRB Migas dan Nonmigas, pada saat pemekaran Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan pada Tahun 2002 dari kabupaten induk Sorong, dapat meningkatkan PDRB dengan migas Kabupaten Sorong dari Tahun 2001 yang sebesar Rp ,30 juta menjadi Rp ,50 juta dengan laju pertumbuhan yang positif yaitu 5,40% pada tahun 2002 tersebut. PDRB Kabupaten Sorong 2.000, , , ,00 Rp (Juta) 1.200, ,00 800,00 600,00 400,00 200,00 0, PDRB Migas PDRB Nonmigas Sebelum pemekaran Tahun Setelah pemekaran Gambar 5. PDRB Migas dan Nonmigas Kabupaten Sorong berdasar harga konstan Tahun 1993 dan Sedangkan PDRB nonmigas sebesar Rp ,29 pada Tahun 2001 mengalami penurunan menjadi Rp ,63 pada saat pemekaran berlangsung di Tahun 2002 dengan mengalami penurunan laju sebesar -0,01%. Hal ini mengindikasikan bahwa selama ini wilayah Raja Ampat dan Sorong Selatan

10 90 hanya sedikit menyumbang sebagian kontribusi sektor lapangan usaha pada perekonomian Kabupaten Sorong khususnya PDRB dengan Migas. Setelah pemekaran (tahun 2003) PDRB Migas Kabupaten Sorong terus tumbuh dari Rp ,11 juta hingga Tahun 2007 menjadi Rp ,43 juta dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,99%. Namun laju pertumbuhannya mengalami penurunan dari 8,49% pada Tahun 2003 menjadi 3,26% di Tahun Hal mengindikasikan bahwa sektor yang menyumbang kontribusi terbesar bagi perekonomian Kabupaten Sorong adalah minyak dan gas bumi, bukan nonmigas. Sedangkan setelah pemekaran laju pertumbuhan PDRB nonmigas, terus tumbuh secara positif, namun cenderung mengalami penurunan dari 13,53% pada Tahun 2003 menjadi 6,01% pada Tahun Sementara PDRB dengan Migas Kabupaten Raja Ampat yang pada awal terbentuknya mencapai Rp ,22 juta, hingga mencapai Rp ,78 juta pada tahun 2007 dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 42,98%. Laju pertumbuhannya selalu tumbuh positif namun menurun dari 6,30% pada Tahun 2004 menjadi 2,74% pada Tahun Sebaliknya laju PDRB nonmigas Kabupaten Raja Ampat terus mengalami peningkatan dari 6,30% pada awal pemekaran menjadi 6,54%, hal ini mengindikasikan bahwa sektor yang menyumbang kontribusi terbesar bagi perekonomian Kabupaten Raja Ampat adalah nonmigas, terutama sektor pertanian bukan migas (Gambar 6, 7 dan 8). Setelah pemekaran PDRB kedua kabupaten ini tumbuh secara positif. 600,00 500,00 PDRB Kabupaten Raja Ampat Rp (Juta) 400,00 300,00 200,00 100,00 Migas Nonmigas 0, Tahun Gambar 6. PDRB Migas dan Nonmigas Kabupaten Raja Ampat.

11 91 Sorong (Migas) Raja Ampat (Migas) Laju (%) Tahun Gambar 7. Laju Pertumbuhan PDRB Migas Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan Tahun 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran. Sorong (Nonmigas) Raja Ampat (Nonmigas) Laju (%) Tahun Gambar 8. Laju Pertumbuhan PDRB Nonmigas Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan Tahun 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran. b. PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhannya Angka PDRB per kapita merupakan cerminan kondisi perekonomian suatu daerah/wilayah yang lebih riil dibandingkan angka PDRB saja. Hal ini karena telah memperhitungkan jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhannya di Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran dapat dilihat pada Tabel 15. Laju pertumbuhan PDRB /jumlah penduduk di Kabupaten Sorong sebelum dimekarkan cenderung tumbuh positif dengan rata-rata mencapai 27,62%. Penurunan sempat terjadi pada Tahun 1999 karena masih pengaruh dari adanya krisis ekonomi pada Tahun 1998 hingga mencapai laju kontraksi sebesar -15,79% dan juga terjadi pada Tahun 2001 (-4,01%) dan 2002 (2,28%).

12 92 Tabel 15. Perkembangan PDRB per Kapita (Ribu Rp/tahun/orang) Daerah Induk (Kabupaten Sorong) dan Daerah Otonom Baru (Kabupaten Raja Ampat) Sebelum dan Setelah Pembentukan Tahun Sebelum Pembentukan Rata2 Daerah Induk , - Pertumbuhan (%) * 139,47-15,79 20,74-4,01-2,28 27,62 Daerah Otonom Baru Pertumbuhan (%) Tahun Setelah Pembentukan Rata2 Daerah Induk Pertumbuhan (%) 114,83 6,73-14,17-2,79 1,25 21,17 Daerah Otonom Baru Pertumbuhan (%) * 2,80 155,19-2,62-4,35 37,75 Sumber : BPS Kabupaten Sorong dan Raja Ampat Setelah pemekaran, laju PDRB per kapita di Kabupaten Sorong terus mengalami penurunan dari Rp ,80 juta pada Tahun 2003 dan menjadi Rp ,17 juta pada Tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan mencapai 21,17%. Tingginya laju ini dipicu karena tidak dihitung lagi penduduk yang ada di dua wilayah pemekaran baru yaitu Raja Ampat dan Sorong Selatan pada Tahun 2002, sehingga secara nominal pembaginya menjadi kecil. Berbeda dengan di Raja Ampat, awal terbentuknya pemerintahan ini ditandai dengan angka PDRB perkapita relatif tinggi mencapai Rp ,59 pada Tahun 2003 menjadi Rp ,43 juta dan terus tumbuh dengan laju ratarata mencapai 37,75%. Rendahnya PDRB per kapita Kabupaten Raja Ampat bila dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sorong disebabkan karena Raja Ampat merupakan kabupaten yang baru, sehingga sektor-sektor ekonominya belum berkembang secara maksimal. Secara umum ekonomi wilayah Kabupaten Sorong (Daerah Induk) ratarata menunjukkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang meningkat dibandingkan Daerah Otonom Baru (Kabupaten Raja Ampat). Namun rata-rata tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat setelah pemekaran umumnya mendekati daerah induknya Kabupaten Sorong. Akan tetapi pertumbuhan PDRB perkapitanya semakin menurun, namun laju pertumbuhannya terus meningkat. Pada awal pemekaran laju pertumbuhannya positif dan

13 93 meningkat tajam pada Tahun 2005 melebihi pertumbuhan di Daerah Induk Sorong, namun pada tahun 2006 dan 2007 pertumbuhannya negatif lebih menurun dari Kabupaten Sorong. Hal ini diperkuat dengan data perkembangan pertumbuhan ekonomi di Daerah Induk (Kabupaten Sorong) dan di Daerah Otonom Baru (DOB) yang dapat dilihat pada Tabel 19. Dimana perkembangan struktur ekonomi wilayah kedua kabupaten tersebut meningkat, namun Kabupaten Raja Ampat baru meningkat di Tahun 2006 dan Artinya perkembangan kinerja di Daerah Otonom Baru relatif tidak lebih baik dibandingkan perkembangan kinerja di daerah induknya. c. Struktur Perekonomian dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Struktur perekonomian daerah ditentukan oleh sektor yang terbesar sumbangan terhadap pembentukan PDRB. Proporsi peranan sektoral terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Sorong atas dasar harga konstan 1993 dan 2000 dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Proporsi (%) Peranan Sektoral terhadap Pembentukan PDRB Kabupaten Sorong Atas Dasar Harga Berlaku 1993 dan 2000 Peranan Sektor PDRB (%) Tahun Pertanian Pertambangan Industri Listrik & Air Bangunan Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa ,20 45,45 6,18 0,16 3,24 2,51 2,83 0,69 7, ,06 60,45 4,44 0,11 1,58 1,84 1,67 0,57 5, ,11 48,78 5,34 0,13 2,30 2,49 1,87 0,36 7, ,97 64,09 14,50 0,06 1,32 1,75 0,70 0,14 5, ,48 64,47 11,17 0,07 1,45 1,93 0,80 0,13 6, ,81 61,75 13,50 0,07 1,45 1,89 0,81 0,12 6,58 Rata 2 20,94 57,49 9,19 0,10 1,89 2,07 1,45 0,33 6, ,19 59,97 16,37 0,07 1,44 1,83 0,78 0,12 6, ,62 56,45 21,17 0,07 1,91 1,71 0,76 0,12 5, ,10 47,04 26,39 0,08 2,28 2,13 0,94 0,16 6, ,62 47,07 25,71 0,08 2,40 2,18 0,99 0,15 7, ,57 45,02 26,49 0,08 2,49 2,18 1,06 0,17 7,93 Rata 2 13,82 51,11 23,23 0,07 2,10 2,01 0,91 0,14 6,73 Total Rata 2 17,38 54,30 16,21 0,08 1,99 2,04 1,18 0,23 6,62 Sumber : BPS Kabupaten Sorong

14 94 Terlihat bahwa baik sebelum dan setelah pemekaran penyumbang terbesar PDRB Sorong berturut-turut adalah sektor pertambangan dan penggalian, pertanian, indusri pengolahan dan jasa-jasa. Sebelum pemekaran ( ) rata-rata peranan sektor pertambangan dan penggalian menyumbang sebesar 57,49%, pertanian 20,94%, indusri pengolahan 9,19% dan jasa-jasa 6,52%. Sementara sektor usaha lain seperti bangunan/kontruksi, listrik dan air minum, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi dan komunikasi serta keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menyumbang di bawah 3%. Setelah pemekaran ( ) sektor pertanian menyumbang 13,82%, pertambangan dan penggalian 51,11%, industri pengolahan 23,23% dan jasa-jasa 6,73%. Sementara sektor usaha lain seperti bangunan/kontruksi, listrik dan air minum, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi dan komunikasi serta keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menyumbang di bawah 3% pada PDRB Kabupaten Sorong (Gambar 9). Proporsi (%) Pertanian Proporsi (%) PDRB Sektoral Kabupaten Sorong Berdasar Atas Harga Berlaku Tahun 1993 dan 2000 Pertambangan Industri Listrik & Air Minum Konstruksi Perdagangan Sektor Transportasi Keuangan Jasa-jasa Sebelum Setelah Gambar 9. Proporsi sektor PDRB Kabupaten Sorong Berdasar Harga Berlaku Tahun 1993 dan Tahun 2000 Sebelum dan Setelah Pemekaran. Setelah pemekaran Kabupaten Raja Ampat, sektor pertanian mendominasi PDRB dengan rata-rata proporsi 51,35% disusul sektor pertambangan dan penggalian 36,24%, sektor jasa-jasa 4,11% (Gambar 10). Sektor-sektor lainnya rata-rata menyumbang di bawah 3% seperti terlihat pada Tabel 17. Kondisi sektor-sektor penyumbang PDRB Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran seperti terlihat Tabel 18 dan 19. Dapat disimpulkan bahwa

15 95 sektor pertanian yang dapat memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian wilayah kepulauan Raja Ampat dimana menunjukkan keunggulan peringkat pertama bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Tabel 17. Proporsi Peranan Sektoral terhadap PDRB Kabupaten Raja Ampat Atas Dasar Harga Berlaku 2000 (%). Peranan Sektor PDRB (%) Tahun Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik & Air Bangunan Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa ,42 0,39 0,45 0,10 3,00 3,38 4,98 0,24 4, ,05 0,38 0,46 0,10 3,73 4,24 4,79 0,23 5, ,84 62,81 0,17 0,04 1,65 1,61 0,97 0,09 2, ,39 59,47 0,19 0,04 2,27 1,88 0,87 0,09 3, ,04 58,14 0,19 0,04 2,69 2,06 0,88 0,09 4,86 Rata 2 51,35 36,24 0,29 0,06 2,67 2,63 2,49 0,15 4,11 Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat Proporsi (%) Pertanian Proporsi (%) PDRB Sektoral Kabupaten Raja Ampat Berdasar Atas Harga Berlaku Tahun 2000 Pertambangan Industri Listrik & Air Minum Konstruksi Perdagangan Sektor Transportasi Keuangan Jasa-jasa Gambar 10. Proporsi Sektor PDRB Kabupaten Raja Ampat Berdasar Harga Berlaku Tahun 2000 Setelah Pemekaran.

16 96 Tabel 18. Pertumbuhan sektor PDRB Kabupaten Sorong sebelum & setelah pemekaran Sektor PDRB (milyar rupiah) Tahun Pertanian Pertambangan Industri Listrik & Air Bangunan Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa-jasa ,17 245,20 35,15 1,09 16,24 15,06 16,53 4,63 28, ,45 827,15 60,70 1,47 21,57 25,14 22,84 7,78 72, ,69 580,68 107,28 1,58 27,41 29,62 22,23 4,53 92, ,91 968,48 219,17 0,94 19,90 26,37 10,61 2,12 82, ,05 918,41 159,17 1,06 20,75 27,46 11,42 1,88 92, ,35 927,14 202,74 1,14 21,79 28,42 12,12 1,79 98,84 Rata 2 247,60 744,51 130,70 1,21 21,27 25,34 15,96 3,78 77,84 Laju 6,32 45,02 42,28 3,69 6,96 13,57-0,50-7,17 32, ,92 976,76 266,62 1,19 23,43 29,67 12,76 1,98 101, , ,87 378,67 1,23 34,23 30,61 13,57 2,17 92, ,82 743,51 417,14 1,28 36,16 33,72 14,86 2,59 108, ,22 744,25 406,53 1,32 37,99 34,56 15,78 2,39 117, ,87 735,00 432,51 1,43 40,63 35,73 17,25 2,83 129,41 Rata 2 226,52 841,88 380,29 1,29 34,48 32,86 14,84 2,39 109,93 Laju 2,07-4,83 11,21 3,77 12,75 3,84 6,27 7,93 5,38 Sumber : BPS Kabupaten Sorong Tabel 19. Pertumbuhan sektor-sektor PDRB Kabupaten Raja Ampat setelah pemekaran Sektor PDRB (milyar rupiah) Tahun Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik & Air Minum Bangunan Perdagangan Transportasi & Komunikasi Keuangan Jasa-jasa ,21 0,74 0,79 0,11 5,74 5,94 9,37 0,44 5, ,91 0,78 0,85 0,12 7,46 7,80 9,68 0,46 7, ,86 318,82 0,90 0,13 9,25 8,53 5,53 0,49 12, ,35 304,69 0,97 0,13 11,91 9,50 4,98 0,52 17, ,48 305,15 1,03 0,14 14,20 10,43 5,27 0,53 22,12 Rata 2 161,96 186,04 0,91 0,13 9,71 8,44 6,96 0,48 13,05 Laju 2, ,09 5,05 3,34 18,94 8,59-10,52 3,64 33,45 Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat

17 97 a. Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan rangkuman dari beberapa subsektor yang meliputi tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan dan hasilnya, kehutanan dan perikanan. Sebelum pemekaran sektor ini memiliki proporsi mencapai rata-rata 21,49% atau setara dengan Rp ; tiap tahunnya. Pertumbuhan sektor pertanian dalam menyumbang PDRB migas sebelum dan sesudah pemekaran dapat dilihat pada Gambar 11. Dari kelima subsektor di atas, subsektor perikanan menyumbang terbesar (41,59%), kemudian diikuti kehutanan (29,98%) dan tanaman bahan makanan (23,20%). Sebelum pemekaran (1997 hingga 2002) terlihat bahwa sektor pertanian tumbuh positif dengan rata-rata mencapai 6,32% per tahun. Peranan sektor ini pada PDRB Kabupaten Sorong sebesar 21,49% dan berada pada peringkat kedua setelah sektor pertambangan dan penggalian. Tidak seperti sektor lainnya, krisis ekonomi yang terjadi pada Tahun 1998 tidak membuat goncangan yang berarti bagi sektor pertanian, disini terlihat dengan tidak terjadi penurunan yang signifikan. Hal ini dimungkinkan karena komponen impor dari faktor produksi pertanian relatif sedikit, sehingga tidak terpengaruh oleh goncangan kurs rupiah terhadap dolar Amerika. Penurunan di sektor ini hanya terjadi di Tahun 2000 dengan laju negatif sebesar -51,32% dan tumbuh kembali hingga Tahun Setelah pemekaran, sektor pertanian turun ke peringkat ketiga dengan ratarata menyumbang sebesar 13,82% per tahun pada PDRB Kabupaten Sorong, sedangkan di Kabupaten Raja Ampat sektor pertanian merupakan penyumbang pertama dengan rata-rata proporsi sebesar 52% per tahun. Di Kabupaten Sorong pada Tahun 2003 menyumbang Rp ,29 juta (13,19%) sedangkan di kabupaten hasil pemekaran (Raja Ampat) menyumbang sebesar Rp ,44 juta (84,31%). Laju pertumbuhan pada 5 Tahun setelah pemekaran ( ) menunjukkan kecenderungan tumbuh positif pada tingkat 2,07% untuk Kabupaten Sorong dan 2,40% untuk Kabupaten Raja Ampat. Setelah pemekaran subsektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar di sektor pertanian (35,14%), disusul subsektor tanaman bahan makanan yang menyumbang sebesar (27,47%). Berbeda dengan Kabupaten Sorong, di Kabupaten Raja Ampat subsektor perikanan

18 98 merupakan penyumbang terbesar yaitu sebesar 74,02% kemudian diikuti oleh subsektor kehutanan menyumbang sebesar 14,27%. Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 11. PDRB sektor pertanian Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran b. Sektor Pertambangan dan penggalian Kabupaten Sorong yang lebih dikenal dengan sebutan Kota Minyak, karena di daerah ini terdapat banyak sumur minyak yang menghasilkan tambang berupa minyak dan gas bumi. Tidak heran kalau perekonomian daerah ini banyak dipengaruhi oleh besar kecilnya laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian. Perekonomian Kabupaten Sorong sebelum pemekaran masih didominasi oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi. Sumbangan sektor tersebut selama Periode mencapai 56,75% per tahun dan tumbuh dengan laju rata-rata 45,02% per tahun, merupakan peringkat pertama terhadap perekonomian daerah Sorong. Setelah pemekaran, sektor ini tetap menjadi penyumbung terbesar dan peringkat pertama bagi perekonomian Kabupaten Sorong. Pada Tahun 2003 sektor ini menyumbang Rp ,19 juta (59,97%), kenaikan tertinggi terjadi pada Tahun 2004 mencapai 56,45% (Rp ,11 trilyun); sedangkan di Kabupaten Raja Ampat hanya menyumbang sebesar Rp.741,86 juta (0,40%) (Gambar 12). Laju pertumbuhan pada 4 tahun data pengamatan menunjukkan kecenderungan mengalami kontraksi -4,83% untuk Kabupaten Sorong, tetapi kecenderungan positif dengan laju 8.155,09% untuk Kabupaten Raja Ampat. Karena pada Tahun 2005 sektor pertambangan di wilayah Raja Ampat yang

19 99 semula dikelola pemerintah Kabupaten Sorong diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya (PDRB). Laju ini sangat berkontraksi dibanding saat sebelum pemekaran Kabupaten Sorong. Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 12. PDRB sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran c. Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan meliputi industri besar dan kecil, industri kecil kerajinan rumah tangga dan industri penggilangan minyak. Sektor ini dari Tahun 1997 sampai 2002 tumbuh relatif stabil dengan laju rata-rata mencapai 42,28%. Kenaikan tertinggi terjadi di Tahun 2000 yang mencapai 14,50% (Gambar 13). Saat terjadi krisis ekonomi, sektor ini mampu tumbuh dengan tingkat yang lebih rendah dari sebelumnya. Proporsi relatif terhadap sektor lain juga menunjukkan pertumbuhan positif tiap tahunnya dari 6,15% pada Tahun 1997 menjadi 13,50% pada Tahun Sektor ini merupakan penyumbang peringkat ketiga terhadap perekonomian daerah Sorong selama Periode , dimana subsektor yang banyak memberikan sumbangan terbesar adalah industri penggilangan minyak bumi (61,91%), sehingga tidak heran kalau daerah ini mendapat julukan Kota Minyak. Setelah pemekaran, sektor industri pengolahan Kabupaten Sorong pada Tahun 2003 menjadi Rp ,39 juta atau naik 16,37% dari sebelum

20 100 dimekarkan, sementara di Kabupaten Raja Ampat hanya menyumbang sebesar Rp.797,14 juta (0,43%). Hingga Tahun 2007, sektor ini tumbuh positif, baik di Kabupaten Sorong (11,21%) dan di Kabupaten Raja Ampat sebesar 5,05%. Selama periode , sektor ini naik menjadi peringkat kedua terhadap perekonomian daerah Sorong dengan sumbangan sebesar 23,23%, sehingga menggeser sektor pertanian yang sebelum pemekaran di peringkat kedua menjadi peringkat ketiga. Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 13. PDRB sektor industri pengolahan Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran d. Sektor Listrik dan Air Minum Sektor ini mencakup produksi listrik baik oleh PLN maupun non PLN serta air minum yang dikelola oleh perusahaan negara. Sebelum pemekaran, sektor ini menyumbang rata-rata 0,11% dari total PDRB Kabupaten Sorong. Peningkatan agak tinggi terjadi pada Tahun 1999 hingga mencapai Rp.1.585,20 (0,19%), dan kemudian tumbuh kembali dengan perlahan (Gambar 14). Selama Periode sektor ini terus tumbuh dengan laju rata-rata 3,69% per tahun yaitu dari Rp.1.098,49 juta menjadi Rp.1.145,29 juta.

21 101 Sorong Raja Ampat RP(Juta) Tahun Gambar 14. PDRB sektor listrik dan air minum Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran Setelah pemekaran, sektor listrik dan air minum tumbuh relatif lebih rendah dibanding sebelum dimekarkan, baik di Kabupaten Sorong maupun Raja Ampat. Di Kabupaten Sorong pada Tahun 2003, sektor ini hanya menyumbang Rp.1.191,53 juta (0,07%) dan pada Tahun 2007 sebesar Rp.1.426,09 juta (0,08%). Sementara di Kabupaten Raja Ampat, sektor ini menyumbang Rp.116,97 juta (0,06%) pada Tahun 2003 dan terus tumbuh hingga mencapai Rp.139,44 juta (0,03%) pada Tahun 2007 dengan laju rata-rata mencapai 3,34%. e. Sektor Bangunan dan Konstruksi Sektor ini mencakup semua kegiatan pembangunan fisik konstruksi baik berupa gedung, jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, irigasi, pasar dan fasilitas umum lainnya. Sektor ini menyumbang Rp ,66 juta (2,84%) pada Tahun 1997 dari total PDRB Kabupaten Sorong, dan terus tumbuh sampai pada puncak tertinggi di Tahun 1999 sebesar Rp ,82 (2,21%) dan pertumbuhan ini tidak terpengaruh dengan dampak krisis ekonomi di Tahun Namun sampai Tahun 2000 proporsinya menurun hingga 1,32% dan mengalami laju negatif sebesar - 27,38% dan kembali tumbuh dengan positif pada Tahun (Gambar 15). Setelah pemekaran, sektor bangunan dan konstruksi tumbuh positif. Pada Tahun 2003 di Kabupaten Sorong, sektor ini menyumbang Rp ,33 juta (1,44%) dan Rp ,91 juta (2,49%). Sementara di Kabupaten Raja Ampat, sektor ini menyumbang Rp.5.743,02 juta (3,12%) pada Tahun 2003 dan terus tumbuh hingga mencapai Rp ,68 juta (2,68%) pada Tahun 2007.

22 102 Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 15. PDRB sektor bangunan dan konstruksi Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran f. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang Rp ,83 juta (2,63%) pada Tahun 1997 dan terus meningkat hingga Tahun Krisis ekonomi pada Tahun 1998 tidak menyebabkan penurunan yang terlalu besar pada sektor ini, hanya saja di Tahun 2000 proporsinya menurun hingga tinggal 1,75% dan laju tumbuhnya mengami penurunan sebesar-10,94% dan kembali tumbuh dengan positif dari Tahun (Gambar 16). Sebelum pemekaran, sektor ini laju pertumbuhannya selalu positif tiap tahun dengan rata-rata 13,57%. Setelah pemekaran, sektor ini menyumbang Rp ,58 juta (1,83%) pada Tahun 2003 dan terus tumbuh menjadi Rp ,33 juta (2,18%) pada Tahun 2007 di Kabupaten Sorong. Sementara di Kabupaten Raja Ampat, sektor ini menyumbang Rp.5.940,90 juta (3,23%) pada Tahun 2003 dan Rp ,85 juta (1,97%) pada Tahun Sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh bersamaan dengan adanya perbaikan-perbaikan sarana infrastruktur di kedua kabupaten sehingga potensi interaksi dengan daerah-daerah lainnya menjadi lebih meningkat.

23 103 Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 16. PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 & 2000 g. Sektor Transportasi dan Komunikasi Sektor ini mencakup kegiatan transportasi umum untuk barang dan penumpang baik melalui jalan raya, udara, laut, sungai, termasuk jasa penunjang angkutan dan komunikasi. Sebelum pemekaran, Tahun 1997 hingga 2002 sektor ini tumbuh negatif dengan laju rata-rata mencapai -0,50% per tahun. Kecenderungan tumbuh negatif ini terutama terjadi pada Tahun 1999 (-2,71%) dan Tahun 2000 (-52,27%), namun pada Tahun 2001 dan 2002 kembali tumbuh dengan laju yang positif (Gambar 17). Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 17. PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 & 2000 sebelum dan setelah pemekaran

24 104 Setelah pemekaran, sektor transportasi dan komunikasi menyumbang Rp ,76 juta (0,78%) pada Tahun 2003 dan Rp ,15 juta (1,06%) pada Tahun 2007 di Kabupaten Sorong. Sementara di Kabupaten Raja Ampat, pada Tahun 2003 sektor ini menyumbang Rp.9.274,70 juta (5,09%) dan pertumbuhannya menurun menjadi Rp.5.269,10 juta (1,00%). Penurunan ini terjadi akibat dari hilangnya nilai tambah subsektor angkutan udara, sebagai akibat dipindahkannya bandar udara Yefman ke Kota Sorong pada Tahun h. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor yang meliputi kegiatan bank, keuangan bukan bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan ini, menyumbang Rp.4.633,54 juta (0,81%) pada Tahun 1997 dan berkembang hingga Tahun 1998 sebesar 0,57%, namun karena pengaruh krisis ekonomi yang terjadi pada Tahun 1998 menyebabkan penurunan sektor ini dari Tahun 1999 hingga 2002 dengan rata-rata laju negatif sebesar -27,71% (Gambar 18). Setelah pemekaran, sektor ini tumbuh secara positif, di Kabupaten Sorong pada Tahun 2003 dengan menyumbang PDRB sebesar Rp.1.980,15 juta (0,12%) dan terus tumbuh hingga mencapai Rp.2.834,85 juta (0,17%) pada Tahun sementara di Kabupaten Raja Ampat, sektor ini menyumbang Rp.442,54 juta (0,24%) pada Tahun 2003 dan Rp.535,15 juta (0,10%) pada Tahun Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 18. PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran

25 105 i. Sektor Jasa-Jasa Sektor jasa-jasa mencakup jasa pemerintahan umum, jasa sosial kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi, jasa perseorangan dan rumah tangga. Sektor ini menyumbang Rp ,67 juta (4,92%) pada Tahun 1997 dan tumbuh terus hingga Tahun 1999 dengan proporsi 7,49%, namun tumbuh negatif dengan laju -10,80% pada Tahun 2000, kemudian kembali tumbuh positif hingga Tahun Setelah pemekaran, sektor ini menyumbang Rp ,87 juta (6,22%) pada Tahun 2003, namun tumbuh dengan negatif sebesar -8,18% pada Tahun 2004 di Kabupaten Sorong, kemudian kembali tumbuh secara positif hingga Tahun 2007 dengan rata-rata laju mencapai 11,94%. Sedangkan di Kabupaten Raja Ampat, sektor ini menyumbang Rp.5.757,65 juta (3,13%) pada Tahun 2003 dan Rp ,31 juta (4,18%) pada Tahun 2007 (Gambar 19). Sorong Raja Ampat Rp (Juta) Tahun Gambar 19. PDRB sektor jasa-jasa Kabupaten Sorong dan Raja Ampat berdasar harga konstan 1993 dan 2000 sebelum dan setelah pemekaran Perkembangan Struktur Ekonomi Wilayah Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) PDRB mencerminkan tingkat perkembangan sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Sorong dan Raja Ampat saat sebelum dan setelah dimekarkan. Perhitungan Indeks Diversitas Entropi (IDE) PDRB Kabupaten Sorong dan Raja Ampat dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12 Nilai IDE Kabupaten Sorong sebelum dimekarkan meningkat pada Tahun 1997

26 106 dan 1999, namun menurun pada Tahun 1998 karena terjadinya krisis ekonomi, dan juga menurun pada Tahun 2000, kemudian cenderung meningkat sampai terjadi pemekaran (Tabel 20). Tabel 20. Nilai Indeks Diversitas Entropi (IDE) PDRB Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran Nilai IDE PDRB Kab. Sebelum Pemekaran Setelah Pemekaran Sorong 1,40 1,18 1,40 1,15 1,17 1,21 1,23 1,26 1,40 1,41 1,43 Raja Ampat 0,69 0,75 0,96 1,02 1,06 Sumber : Data diolah (2008) Krisis ekonomi telah menggeser proporsi relatif sektor-sektor dengan menurunkan secara nyata proporsi aktivitas sektor pertanian, pengangkutan dan komunikasi serta keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Setelah pemekaran, terlihat adanya perkembangan masing-masing sektor di Kabupaten Sorong. Sektor pertanian, industri pengolahan, bangunan dan konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran serta pengangkutan dan komunikasi. Tingkat perkembangan nilai IDE Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran dapat dilihat pada Gambar 20 di bawah ini. 1,6 1,4 Nilai IDE PDRB 1,2 1 0,8 0,6 0,4 Sorong Raja Ampat 0, Sebelum Tahun Setelah Gambar 20. Tingkat perkembangan nilai IDE PDRB Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran

27 107 Sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Raja Ampat diawal pemekaran menunjukkan tingkat perkembangan yang lebih rendah dibanding sebelum pemekaran. Hal ini disebabkan dominasi sektor pertanian terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya. Namun pada Tahun 2007 mulai terjadi perkembangan terlihat meningkatnya nilai IDE dari 0,69 menjadi 1,06. Secara umum pendekatan nilai IDE, menunjukkan adanya kecenderungan arah positif perkembangan sektorsektor ekonomi di Sorong dan Raja Ampat setelah terjadinya pemekaran wilayah. Jika ditilik dari teori klasik, dimana peran pemerintah diharapkan sekecil mungkin, agar pasar yang mendistribusikan potensi-potensi ekonomi, Tarigan (2005) disita Agusniar (2006) menyarankan agar pemerintah daerah memberikan kebebasan kepada setiap orang/badan untuk berusaha (pada lokasi yang diperkenankan); tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang; tidak membuat tarif pajak daerah lebih tinggi dari daerah lain sehingga pengusaha enggan berusaha di daerah tersebut; menjaga keamanan dan ketertiban; menyediakan berbagai fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi dengan efisien serta tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit; berusaha menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga investor tertarik menanamkan modalnya di wilayah tersebut. Modal pertumbuhan klasik akan berjalan jika asumsi pasar sempurna dapat terpenuhi, terutama terkait kesempurnaan akses terhadap informasi. Namun demikian, Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat melalui kewenangannya diharapkan mampu memberi arah menuju pada kondisi pasar sempurna, seperti mencegah adanya monopoli maupun monopsoni serta menjamin informasi yang mudah diakses bagi seluruh masyarakat Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Kapasitas Daerah Pertumbuhan Kapasitas Fiskal Daerah Kapasitas fiskal daerah didekati dari data penerimaan daerah (APBD) yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan lain-lain penerimaan yang sah. Data realisasi penerimaan dan pengeluaran pemerintah Kabupaten Sorong Tahun Anggaran dan Kabupaten Raja Ampat Tahun Anggaran dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Angka-angka

28 108 ini merupakan cerminan atas kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan Raja Ampat dalam memanfaatkan potensi di daerahnya. Proporsi dan Laju Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong Tahun dan Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Gambar 21 dan Lampiran 15 dan 16. Sebelum pemekaran, pendapatan daerah Kabupaten Sorong tumbuh positif dengan rata-rata laju mencapai 38,03% dari Rp ; milyar pada Tahun 1998 menjadi Rp ; milyar pada Tahun 2002 (Tabel 21). Berdasar angka rata-rata, unsur dana perimbangan memiliki proporsi yang lebih besar yaitu Rp ,84 milyar per tahun (93,06%) di Kabupaten Sorong, bila dibandingkan dengan penerimaan pendapatan lainnya. Sebelum pemekaran proporsi penerimaan dana perimbangan terbesar yaitu Rp ,50 milyar (81,47%) pada Tahun Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Disatu sisi, PAD Kabupaten Sorong terus tumbuh positif sebelum pemekaran dengan laju rata-rata mencapai 37,54%, namun secara proporsi relatif masih kecil bila dibandingkan penerimaan dari dana perimbangan yang mencapai laju rata-rata sebesar 41,86%. Setelah pemekaran, dana perimbangan terus tumbuh pesat sebagai unsur penerimaan daerah Kabupaten Sorong maupun Kabupaten Raja Ampat. Sementara PAD sebagai cerminan kemampuan aparat pemerintah daerah yang bersangkutan di dalam memanfaatkan potensi daerahnya, terlihat pertumbuhan yang cukup signifikan dibanding sebelum pemekaran Kabupaten Sorong. Data sebelum pemekaran, rata-rata penerimaan lain-lain di Kabupaten Sorong mencapai Rp ,42 milyar (3,34%) dari total penerimaan selama Periode Sementara PAD, dari proporsi masih relatif kecil, namun secara nominal rata-rata tumbuh positif. Hal ini mengindikasikan masih belum terlihatnya hasil upaya pemerintah daerah di dalam memanfaatkan potensi melalui usaha nyata.

29 109 Tabel 21. Kapasitas fiskal daerah Kabupaten Sorong dan Raja Ampat sebelum dan setelah pemekaran Kabupaten Sorong (Juta) Kabupaten Raja Ampat (Juta) PAD Dana Perimbangan Penerimaan lainlain Jumlah PAD Dana Perimbangan Penerimaan lain- Jumlah Tahun sah Rp (Juta) lain sah Rp (Juta) Rp (Juta) (%) Rp (Juta) (%) Rp (Juta) (%) Rp (Juta) (%) Rp (Juta) (%) Rp (Juta) (%) ,71 4, ,91 95, , ,85 3, ,80 94, ,64 1, ,79 3, ,86 96, , ,44 2, ,13 97, , ,78 3, ,50 81, ,21 15, ,50 Rata ,11 3, ,84 93, ,42 3, ,47 Laju 37,54 41,86-38, ,78 1, ,00 81, ,69 16, ,48 -* -* -* -* -* -* -* ,79 6, ,28 92, ,55 0, , ,51 5, ,70 92,42 946,00 1, , ,35 1, ,52 94, ,00 3, , ,50 1, ,00 90, ,61 8, , ,28 1, ,70 98, ,00 0, , ,52 0, ,86 97, ,97 1, , ,53 1, ,75 93, ,90 5, , ,26 0, ,91 98, ,00 0, ,17 Rata ,15 2, ,05 92, ,83 5, , ,45 2, ,62 94, ,64 3, ,71 Laju 13,56 20,04 383,84 17,67 13,77 114,85 395,77 109,58 Sumber : BPS dan Bagian Keuangan Bupati Sorong dan Raja Ampat. Keterangan : -* Tahun 2003 Kabupaten Raja Ampat belum memiliki pendapatan daerah sendiri, semua pembiayaan rutin dan pembangunan masih dibiayai oleh kabupaten induk Sorong selama 1 tahun.

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PENILAIAN SYARAT TEKNIS I. FAKTOR DAN INDIKATOR DALAM RANGKA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 54 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kabupaten Mamasa 5.1.1 Analisis Kelayakan Pembentukan Kab. Mamasa Berdasarkan Syarat Teknis PP. No. 78 Tahun 2007 Pembentukan daerah otonom

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAMBERAMO RAYA DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013 No. 37/08/91/Th. VII, 02 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013 Besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan II-2013 mencapai Rp 11.972,60 miliar, sedangkan menurut harga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abe, A Perencanaan Daerah Partisipatif. Pondok Edukasi, Solo.

DAFTAR PUSTAKA. Abe, A Perencanaan Daerah Partisipatif. Pondok Edukasi, Solo. 168 DAFTAR PUSTAKA Abe, A. 2002. Perencanaan Daerah Partisipatif. Pondok Edukasi, Solo. Adrianto, L and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of Environmenal Disasters in Small Island

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MAYBRAT DI PROVINSI PAPUA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 No. 28/05/72/Thn XVII, 05 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014 Perekonomian Sulawesi Tengah triwulan I-2014 mengalami kontraksi 4,57 persen jika dibandingkan dengan triwulan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 TABEL-TABEL POKOK Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 Tabel 1. Tabel-Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lamandau Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 26/DPD RI/II/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KOTA SEBATIK SEBAGAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU

PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PERSYARATAN DAN PROSEDUR PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU www. luwukpos.blogspot.co.id I. PENDAHULUAN Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2001. Pada hakekatnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014 No. 47/08/72/Thn XVII, 05 Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada triwulan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 No. 68/11/33/Th.VIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014 Perekonomian Jawa Tengah yang diukur berdasarkan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5 IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN.1. Kondisi Geografi dan Topografi Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012 No. 09/02/91/Th. VII, 05 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2012 Ekonomi Papua Barat tahun 2012 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 15,84

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2013 No. 09/02/91/Th. VIII, 05 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2013 Ekonomi Papua Barat tahun 2013 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) meningkat sebesar 9,30

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis Location Quetiont (LQ), analisis MRP serta Indeks Komposit. Kemudian untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 19/05/14/Th.XI, 10 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas y-on-y Triwulan I Tahun sebesar 5,93 persen Ekonomi Riau dengan migas pada triwulan I tahun mengalami kontraksi sebesar 1,19

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini memaparkan sejarah dan kondisi daerah pemekaran yang terjadi di Indonesia khususnya Kota Sungai Penuh. Menguraikan tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Latar Belakang dan Kelayakan Pemekaran Wilayah 5.1.1. Latar Belakang Pemekaran Kota Tangerang Selatan Mengangkat daerah otonom baru Kota Tangerang Selatan yang merupakan daerah

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 27/DPD RI/II/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KABUPATEN CIBALIUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/DPD RI/I/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/DPD RI/I/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 7/DPD RI/I/2013-2014 PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP ASPIRASI MASYARAKAT DAN DAERAH PEMBENTUKAN KABUPATEN TAYAN SEBAGAI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 No. 027/05/63/Th XVII, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013 Perekonomian Kalimantan Selatan triwulan 1-2013 dibandingkan triwulan 1- (yoy) tumbuh sebesar 5,56 persen, dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 08/02/34/Th. XI, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun

Lebih terperinci

PENYEDIAAN SARANA DAN PRASARANA UPTD METROLOGI KABUPATEN KAIMANA MELALUI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) SUB BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017

PENYEDIAAN SARANA DAN PRASARANA UPTD METROLOGI KABUPATEN KAIMANA MELALUI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) SUB BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017 PROPOSAL PENYEDIAAN SARANA DAN PRASARANA UPTD METROLOGI KABUPATEN KAIMANA MELALUI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) SUB BIDANG SARANA PERDAGANGAN TAHUN ANGGARAN 2017 DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOPERASI UMKM

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Katalog BPS : 9302008.53 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 Anggota Tim Penyusun : Pengarah :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014 No. 048/08/63/Th XVIII, 5Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II- tumbuh sebesar 12,95% dibanding triwulan sebelumnya (q to q) dan apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 11/02/73/Th. VIII, 5 Februari 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN IV 2013 BERKONTRAKSI SEBESAR 3,99 PERSEN Kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan IV tahun

Lebih terperinci

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014

KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 46/08/73/Th. VIII, 5 Agustus 2014 KINERJA PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN II 2014 Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan II tahun 2014 yang dihitung berdasarkan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau Dalam mencari sektor ekonomi unggulan di Kabupaten Malinau akan digunakan indeks komposit dari nilai indeks hasil analisis-analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Analisis regresi menjadi salah satu bagian statistika yang paling banyak aplikasinya. Analisis regresi memberikan keleluasaan untuk menyusun model hubungan atau pengaruh

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia otonomi daerah sangat penting bagi daerah otonom untuk mengembangkan potensi daerahnya. Seperti tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004, Otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011 No. 43/08/63/Th XV, 05 Agustus 20 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-20 Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II-20 tumbuh sebesar 5,74 persen jika dibandingkan triwulan I-20 (q to q)

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN No. 026/08/63/Th.XII, 10 Agustus 2009 PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2009 terhadap triwulan I-2009 (q to q) mencapai angka 16,68 persen. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 38/08/14/Th.XIV, 2 Agustus 2013 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan II Tahun 2013 mencapai 2,68 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan II tahun 2013, yang diukur dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DEIYAI DI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memacu

Lebih terperinci