BUKU SAKU PAJAK BAGI BENDAHARA DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM TAHUN 2017

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BUKU SAKU PAJAK BAGI BENDAHARA DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM TAHUN 2017"

Transkripsi

1

2 BUKU SAKU PAJAK BAGI BENDAHARA DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM TAHUN 2017 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM JAKARTA, 2017

3

4 KATA SAMBUTAN Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Y ang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga Buku Saku Pajak Bagi Bendahara di Lingkungan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Tahun 2017 dapat diselesaikan. Seperti yang kita ketahui, pajak memiliki peran yang sangat besar dalam penerimaan negara dan semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam A PBN Tahun 2016, penerimaan pajak yang meliputi PPh, PPN dan PPnBM, PBB, dan Bea Meterai mengambil porsi lebih dari triliun rupiah atau lebih dari 73 persen dari total penerimaan negara yang dianggarkan. M elihat target penerimaan negara yang begitu besar serta selaras dengan program peningkatan pelayanan pajak K ementerian K euangan dalam meningkatkan pendapatan negara, maka sebagai bentuk partisipasi dan peran serta Bawaslu dalam menunjang program K ementerian K euangan, diperlukan peningkatan pelayanan dan pemahaman seluruh pegawai Bawaslu dalam memahami ketentuan perpajakan. Sebagai lembaga yang menggunakan A PBN dalam pelaksanaan kegiatannya, Bawaslu merupakan pihak yang melaksanakan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari A PBN. Dalam rangka menginformasikan pelaksanaan pajak di lingkungan Bawaslu maka disusun Buku Saku Pajak Bagi Bendahara di Lingkungan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tahun 2017 sebagai pedoman penatausahaan pajak di Bawaslu. Buku saku ini disusun bekerjasama dengan Direktorat Peraturan Perpajakan II Direktorat J enderal Pajak K ementerian K euangan. Dengan adanya buku saku ini, diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi Bawaslu dalam mengimplementasikan peraturan perpajakan yang berlaku. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh tim penyusun dari Bagian K euangan Biro A dministrasi Sekretariat J enderal Bawaslu dan Direktorat Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang telah bekerjasama dalam menyelesaikan buku saku pajak ini. K ritik dan saran sangat saya harapkan untuk perbaikan buku saku ini. A khirnya, saya berharap buku saku ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak di Bawaslu. Jakarta, Juni 2017 Sekretaris Jenderal Bawaslu RI G unawan Suswantoro ii ii

5 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, A lhamdulillah kita panjatkan ke hadirat A llah SWT, Buku Saku Pajak Bagi Bendahara di Lingkungan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Tahun 2017 dapat diselesaikan. Sebagaimana kita maklumi, belanja Pemerintah senantiasa meningkat, oleh karena itu dana yang dikelola oleh bendahara pemerintah harus dikelola secara profesional, akuntabel, dan transparan. Dalam perspektif perpajakan tentunya merupakan suatu hal yang penting sebagai salah satu bagian pengelolaan keuangan negara. Melalui penerimaan perpajakan yang optimal, terukur, dan didukung dengan basis data pajak yang kuat dan dapat diandalkan, kita harapkan pemerintah akan mempunyai ruang yang cukup untuk merealisasikan terutama program pembangunan infrastruktur yang berkeadilan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai pihak yang diberikan amanat oleh Undang-Undang untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas belanja yang dilakukannya, bendahara pemerintah perlu dibekali kemampuan teknis dalam melaksanakan tugas tersebut. Sebuah buku panduan yang singkat namun komprehensif mengenai tata cara pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan bagi bendahara diharapkan dapat membantu penyelesaian tugas pengelolaan keuangan instansi pemerintah. Buku Saku Pajak Bagi Bendahara di Lingkungan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Tahun 2017 yang berada di tangan kita ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam tataran operasional bendaharawan dan tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada Bendahara Pemerintah di Lingkungan Bawaslu yang telah ikut membantu tugas Direktorat J enderal Pajak dalam mengamankan Penerimaan Negara. Jakarta, Juni 2017 Direktur Peraturan Perpajakan II Yunirwansyah iii iii

6 DAFTAR ISI Halaman KATA SAMBUTAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum... 1 B. Latar Belakang... 2 C. Maksud dan Tujuan... 3 D. Ruang Lingkup... 3 BAB II TEKNIS PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, 22, 23, 4 A Y A T (2), DA N PA J A K PERTA MBAHA N NILAI A. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal B. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal C. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal D. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat (2) E. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) F. Pengenaan Tarif pada Rekanan yang Tidak Memiliki NPWP G. Pemeliharaan BAB III TEKNIS PENGISIAN BUKTI POTONG PAJAK PENGHASILAN PA SA L 21, 22, 23, DA N 4 A Y A T (2) A. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal B. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal C. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal D. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat (2) ii iv iv

7 v

8 BAB I PENDAHUL UAN A. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang K etentuan Umum dan Tata C ara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan J asa dan Pajak Penjualan A tas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009; 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang menjadi Beban A nggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau A nggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 6. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2012 tentang Organisasi, Tugas, Fungsi, Wewenang, dan Tata K erja Sekretariat J enderal Badan Pengawas Pemilihan Umum, Sekretariat Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, Sekretariat Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, dan Sekretariat Panitia Pengawas Pemilihan Umum K ecamatan; 7. Peraturan M enteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; 8. Peraturan M enteri K euangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata C ara Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, A nggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang menjadi Beban A nggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 9. Peraturan M enteri K euangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata C ara Pembayaran dan Penyetoran Pajak; 1

9 10. Peraturan Menteri K euangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak; 11. Peraturan Direktur J enderal Pajak Nomor PER-16/PJ /2016 tentang Pedoman Teknis Tata C ara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi; 12. K eputusan Sekretariat Jenderal Nomor 1096-K EP Tahun 2015 tentang Perubahan A tas K eputusan Sekjen Bawaslu Nomor 864-K EP Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan di Lingkungan Bawaslu. B. L atar Belakang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara K esatuan Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanah Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Bawaslu memiliki Sekretariat yang diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan administrasi dan tata kelola keuangan dengan baik. Sejalan dengan amanah UU K euangan Negara, Bawaslu sebagai salah satu lembaga pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (A PBN) wajib melakukan pengelolaan keuangan secara profesional, transparan, dan akuntabel sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu bentuk tata kelola yang baik adalah mengelola pendapatan dari pajak yang merupakan kewajiban setiap orang atau badan untuk membayar pajak termasuk Bawaslu dan pegawainya, untuk aktif berkesadaran melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang baik yaitu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang perpajakan. Dalam pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan di Bawaslu dilakukan oleh bendahara pemerintah yang termasuk didalamnya bendahara pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama, sebagai pihak yang melaksanakan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari A PBN. Berkenaan dengan hal tersebut, bendahara pemerintah harus mengetahui aspek-aspek perpajakan terutama yang berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan serta Pajak 2 2

10 Pertambahan Nilai. Kewajiban bendahara pemerintah sehubungan dengan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai antara lain adalah dengan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 4 ayat (2), dan Pajak Pertambahan Nilai. C. Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan penerbitan buku saku pengelolaan pajak di lingkungan Bawaslu khususnya bagi Pengelola A nggaran adalah sebagai pedoman dalam mengelola pajak bagi yang menangani pengurusan pajak, sehingga dapat membantu apabila terjadi kesulitan dalam menanganinya, serta mempercepat proses waktu pengurusan. Di satu sisi, Wajib Pajak (Pegawai, Ketua dan Anggota Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DK PP), dan Penyedia Barang/J asa) akan mendapatkan informasi yang lengkap apabila akan melakukan pengurusan pajak di lingkungan Bawaslu. D. Ruang Lingkup 1. Teknis Penghitungan PPh Pasal 21, 22, 23, 4 ayat (2), dan PPN; 2. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal 21, 22, 23, dan 4 ayat (2); 3. Mekanisme Pembuatan ID Billing PPh Pasal 21, 22, 23, 4 ayat (2), dan PPN; 4. Kewajiban Penyetoran dan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21, 22, 23, 4 ayat (2), dan PPN; 5. Bea Meterai. 3 3

11 BAB II TE K NIS PE NG HITUNG A N PA J A K PE NG H A SIL A N PA SA L 21, 22, 23, 4 AYAT (2), DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI A. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 (K ode: ) 1. Dasar Hukum a. Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan; b. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010; c. Peraturan Menteri K euangan Nomor 262/PMK.03/2010; d. Peraturan Menteri K euangan Nomor 252/PMK.03/2008; e. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ / Pengertian PPh Pasal 21 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honorarium, upah, tunjangan, uang makan, uang lembur, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dan kegiatan. 3. Subjek PPh Pasal 21 Subjek PPh Pasal 21 yang berhubungan dengan Bendahara di lingkungan Bawaslu antara lain: a. Pegawai Tetap Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur. Termasuk pegawai tetap di Bawaslu adalah: 1) Ketua dan Anggota Bawaslu, DKPP, Bawaslu Provinsi, Panitia Pengawas (Panwas) K abupaten/k ota, Panwas K ecamatan, dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL); 2) Tenaga A hli dan Tim A sistensi; 3) Seluruh pegawai baik yang berstatus PNS maupun Non PNS yang mendapatkan penghasilan secara tetap dan teratur di Bawaslu. 4 4

12 b. Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. Termasuk pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas di Bawaslu adalah Pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS). c. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai Penerima penghasilan bukan pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga K erja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Termasuk dalam bukan pegawai adalah narasumber/moderator/fasilitator non PNS dan jasa perorangan yang berasal dari luar Bawaslu. d. Peserta Kegiatan Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut. Termasuk dalam peserta kegiatan adalah orang pribadi non PNS yang mengikuti kegiatan di Bawaslu. 4. Dasar Umum Penghitungan PPh Pasal 21 A. Penghasilan Bruto 1. G aji Pokok Rp. X X X 2. Tunjangan-tunjangan Rp. X X X (+) 3. J umlah Penghasilan (1 + 2) Rp. X X X B. Pengurang Penghasilan Bruto 1. Biaya Jabatan (5% x Penghasilan Bruto) Rp. X X X 2. Iuran Pensiun/THT/J HT Rp. X X X (+) 3. Jumlah Pengurangan (1 + 2) Rp. XXX (-) C. Penghasilan Neto (A 3-B3) Rp. X X X 5 5

13 D. Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. X X X (-) E. Penghasilan Kena Pajak (C -D) Rp. X X X F. PPh Pasal 21 Terutang (E x Tarif Pasal 17 UU PPh) Rp. X X X 5. Penghasilan Bruto Penghasilan bruto adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya. 6. Pengurang Penghasilan Bruto Terdiri atas biaya jabatan, iuran pensiun, iuran J aminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri K euangan atau kepada BPJS K etenagakerjaan. Biaya J abatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang diterima oleh setiap pegawai tetap, tanpa memandang kedudukan atau jabatan. Biaya jabatan dikenakan sebesar 5 (lima) persen dari jumlah penghasilan bruto dengan jumlah pengenaan maksimal Rp ,00 per tahun atau Rp ,00 per bulan. 7. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTK P) PTKP merupakan besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP Orang Pribadi). Besaran PTKP ditentukan oleh keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak dengan besaran sesuai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya PTK P per tahun adalah sebagai berikut: Peruntukan Jumlah PTKP per tahun (Rp) Jumlah PTKP per bulan (Rp) WP Orang Pribadi Tambahan untuk WP Kawin Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami

14 Peruntukan Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga Jumlah PTKP per tahun (Rp) Jumlah PTKP per bulan (Rp) Berdasarkan tabel di atas, maka angka PTK P yang sering digunakan oleh Bendahara adalah sebagai berikut: Status Peruntukan Jumlah PTKP per tahun (Rp) TK/0 WP Orang Pribadi TK/1 TK/2 TK/3 WP Orang Pribadi + 1 Tanggungan (orang tua/mertua/ anak kandung/anak angkat) WP Orang Pribadi + 2 Tanggungan (orang tua/mertua/ anak kandung/anak angkat) (2 x ) WP Orang Pribadi + 3 Tanggungan (orang tua/mertua/ anak kandung/anak angkat) (3 x ) K/0 WP Kawin K/1 WP Kawin + 1 Tanggungan (anak) K/2 WP Kawin + 2 Tanggungan (anak) (2 x ) K/3 WP Kawin + 3 Tanggungan (anak) (3 x ) 7 7

15 8. Skema Pemotongan PPh Pasal Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 a. PNS dan Pejabat Negara Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun Penghasilan yang diterima oleh PNS secara tetap dan teratur dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Besaran PPh terutang bersifat ditanggung pemerintah (DTP). Penghasilan yang diterima oleh PNS dan Pejabat Negara yang sifatnya tidak teratur dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 Final berdasarkan tarif: 1) PNS Gol. II & Gol. I = 0% x Penghasilan Bruto 2) PNS Gol. III = 5% x Penghasilan Bruto 3) PNS Gol. IV = 15% x Penghasilan Bruto 4) Pejabat Negara = 15% x Penghasilan Bruto 8 8

16 C atatan: 1. Di Bawaslu saat ini belum ada pejabat negara. K etentuan terkait tarif pajak bagi pejabat negara diberlakukan terhadap narasumber dari kementerian/lembaga lain. 2. Terhadap pensiunan PNS/TNI/Polri yang menjadi pegawai tetap di Bawaslu, perhitungan pajak untuk penghasilan yang sifatnya tidak teratur (misal honorarium narasumber/moderator) menggunakan tarif PPh Pasal 21 Final berdasarkan golongan kepangkatan terakhir. b. Non PNS Dasar Hukum: Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016. Tarif PPh Pasal 21 Non PNS menggunakan penghitungan tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh tersaji pada tabel berikut: L apisan Penghasilan K ena Pajak Tarif Pajak (%) s.d. Rp ,00 5 diatas Rp ,00 s.d. Rp ,00 15 diatas Rp ,00 s.d. Rp ,00 25 diatas Rp ,00 30 Penghitungan dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut: 1) Pegawai Tetap Dasar pengenaan PPh Pasal 21 Pegawai Tetap adalah Penghasilan Kena Pajak, yang dihitung dengan cara mengurangi penghasilan neto dengan PTKP. 2) Pegawai Tidak Tetap Dasar pengenaan PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yaitu: dalam hal penghasilan bruto dibayar bulanan telah melebihi Rp ,00 dalam sebulan, adalah dengan jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan; dalam hal penghasilan bruto yang dibayar bulanan dan telah melebihi Rp ,00, namun akumulasi penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp ,00, adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi Rp ,00; 9 9

17 dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari lebih dari Rp ,00 atau akumulasi penghasilannya dalam sebulan telah lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp ,00 adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi PTK P harian sejumlah hari kerja yang sebenarnya; dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp ,00 adalah jumlah penghasilan kena pajak yang disetahunkan; dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata sehari tidak melebihi Rp ,00 dan akumulasi penghasilannya dalam sebulan tidak melebihi Rp ,00 maka tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21. 3) Bukan Pegawai a) Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan Y ang dimaksud dengan penghasilan bersifat berkesinambungan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari satu bendahara pemerintah dalam satu tahun lebih dari satu kali, dengan dasar Pengenaan PPh Pasal 21 adalah sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan. PTKP tersebut dapat diberikan sepanjang orang pribadi yang bersangkutan (bukan Pegawai) telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu Pemotong PPh Pasal 21. b) Bukan Pegawai yang menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan Dasar Pengenaan PPH Pasal 21 adalah sebesar 50 persen dari jumlah penghasilan bruto. 10. Menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 Pisah Harta (PH) Perlu diketahui bahwa menghitung PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap suami istri dikenakan pajak secara terpisah apabila: a. Suami atau istri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim. b. Dikehendaki secara tertulis oleh suami istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan

18 c. Dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri (memiliki NPWP sendiri). Selanjutnya, penghasilan neto suami istri dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masingmasing suami istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto. Catatan: Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ /2016 tentang Pedoman Teknis Tata C ara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan K egiatan Orang Pribadi Pasal 14 ayat (8), jumlah Penghasilan K ena Pajak sebagai dasar penerapan tarif terhadap J umlah PPh Pasal 21 yang harus disetorkan sebesar pajak terutang, dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh. 11. Contoh PPh Pasal 21 (Pegawai Tetap, Non PNS) a. Pada tanggal 1 J anuari 2017, Bapak Hanafi (Non PNS) diangkat sebagai K omisioner Bawaslu Provinsi DK I J akarta dan mendapatkan uang kehormatan Rp ,00/bulan dengan status menikah dengan 2 anak (K /2). Berapakah besaran PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan atas pembayaran uang kehormatan tersebut? Jawab: Alternatif 1 Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,

19 PTKP (K/2) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - Tambahan 2 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,00 Alternatif 2 Penghasilan sebulan Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto sebulan Rp ,00 Penghasilan neto setahun Rp ,00 Pengurangan: PTKP (K/2) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - Tambahan 2 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,

20 Penghasilan bersih yang diterima oleh Bapak Hanafi Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan = Rp ,00 (-) Rp ,00 b. Bapak Hanafi sebagaimana contoh pada huruf (a) menerima honor narasumber sebesar 2 OJ (Rp ,00) pada acara Sosialisasi Pengawasan Partisipatif yang diselenggarakan oleh Bawaslu Provinsi DKI Jakarta, berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Honor Narasumber Rp ,00 Penghasilan Bruto Setahun Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (K/2) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan 2 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 Pajak yang dipotong atas honor narasumber Pajak setahun setelah ditambah honor = Rp ,00 Pajak setahun sebelum ditambah honor = Rp ,00 ( ) Rp ,

21 Honor narasumber bersih yang diterima oleh Bapak Hanafi Honor narasumber = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp ,00 ( ) Rp ,00 C atatan: Dapat diperhatikan bahwa nilai PK P setelah adanya pendapatan honor narasumber mempunyai nilai Rp ,00 atau Rp ,00 lagi menuju Rp ,00. Hal ini berarti setelah mendapatkan honor senilai Rp ,00 pendapatan tambahan akan dipotong sebesar 15 persen. Dalam rangka menyederhanakan penghitungan, pemotongan pajak dapat dilakukan sebesar 15 persen dari total honor narasumber yang diterima (15% x Rp ,00 = Rp ,00). c. Bapak Hanafi sebagaimana contoh pada huruf (a) menerima honor narasumber sebesar 2 OJ (Rp ,00) pada acara Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif yang diselenggarakan oleh Bawaslu Provinsi J awa Timur, berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong? Jawab: Penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium tersebut yaitu: 5% x 50% x Rp ,00 = Rp45.000,00. C atatan: Penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium yang diterima oleh Bapak Hanafi menggunakan Dasar Pengenaan PPh Pasal 21 sebagai Bukan Pegawai dikarenakan pembayaran dilakukan oleh Satker yang berbeda dengan Satker yang membayarkan penghasilan tetap dan teratur ke Bapak Hanafi

22 d. Masa J abatan Bapak Hanafi sebagai K omisioner Bawaslu Provinsi sebagaimana contoh pada huruf (a) berakhir pada bulan September Berapakah besaran PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada tahun 2017 setiap tahunnya? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto sebulan Rp ,00 Penghasilan neto setahun (Rp ,00 x 9) Rp ,00 PTKP (K/2) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan 2 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 9 Rp ,00 Penghasilan bersih yang diterima oleh Bapak Hanafi Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan = Rp ,00 (-) Rp ,

23 e. Pada bulan November 2017, Bapak Hanafi terpilih kembali sebagai Komisioner Bawaslu Provinsi DK I Jakarta untuk periode Berapakah besaran PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh Bendahara untuk tiap bulannya? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto sebulan Rp ,00 Penghasilan neto setahun (Rp ,00 x 2) Rp ,00 Pengurangan: PTKP (K/2) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan 2 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 0,00 PPh Pasal 21 terutang Rp 0,00 Dalam hal pada periode awal saat menjabat kembali, PTKP yang berhak diperoleh K omisioner Bawaslu adalah sama pada saat berakhir masa jabatannya yaitu PTKP setahun penuh. A dapun pajak terutang pada tahun bersangkutan apabila ada kekurangan pembayarannya menjadi tanggung jawab Komisioner Bawaslu sebagaimana diperhitungkan dan dituangkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi masing-masing

24 (Pegawai Tetap, PNS) f. Bapak Mario sebagai komisioner Bawaslu Pusat, ketika melakukan perjalanan dinas dalam acara sosialisasi pengawasan Pemilu partisipatif di Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan, mendapatkan honorarium sebagai narasumber sebesar 2 OJ (Rp ,00), berapakah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh bendahara Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan? Jawab: Dasar Pengenaan Pajak = 50% x Rp ,00 = Rp ,00 Bendahara Memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar = Tarif Pasal 17 UU PPh x Dasar Pengenaan Pajak = 5% x Rp ,00 = Rp70.000,00 J adi Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong oleh Bendahara Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan adalah sebesar Rp70.000,00. C atatan: K etika pemberi kerja berbeda (bendahara dan pengadministrasian gaji/uang kehormatan/tunjangan berbeda tempat), maka dari segi perpajakan akan diperlakukan sebagai bukan pegawai. Hal ini hanya berlaku untuk pegawai Non PNS. g. Ibu Nurul mendapatkan uang kehormatan sebesar Rp ,00/bulan dengan status tidak menikah tanpa tanggungan (TK/0). Berapakah besaran PPh Pasal 21 atas uang kehormatan tersebut? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,

25 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,00 Penghasilan bersih yang diterima oleh Ibu Nurul Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan = Rp ,00 (-) Rp ,00 h. Ibu Nurul sebagaimana contoh pada huruf (g) adalah K omisioner Bawaslu bukan PNS yang baru terpilih dan akan menjabat mulai 12 A pril 2017 s.d. 11 A pril Berapakah besaran PPh Pasal 21 atas uang kehormatan tersebut pada tahun pertama menjabat? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto sebulan Rp ,00 Penghasilan neto setahun (9 x Rp ,00) Rp ,00 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,

26 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,00 Penghasilan bersih yang diterima oleh Ibu Nurul Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan = Rp ,00 (-) Rp ,00 i. Ibu Nurul sebagaimana contoh pada huruf (g) menerima honor narasumber sebesar 2 OJ (Rp ,00) pada acara Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Honor Narasumber Rp ,00 Penghasilan Bruto Setahun Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,

27 Pajak yang dipotong atas honor narasumber Pajak setahun setelah ditambah honor = Rp ,00 Pajak setahun sebelum ditambah honor = Rp ,00 ( ) Rp ,00 Honor narasumber bersih yang diterima oleh Ibu Nurul Honor narasumber = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp ,00 ( ) Rp ,00 Dapat diperhatikan bahwa nilai PK P sudah berada pada nilai Rp ,00 s.d. Rp ,00. Hal ini berarti pendapatan tambahan akan dipotong 15 persen. Bahkan apabila pendapatan tambahan lebih dari Rp ,00, pendapatan akan dipotong sebesar 25 persen. j. Ibu Nurul sebagaimana contoh huruf (g) menerima honor narasumber dalam satu bulan dari PPK Biro A dministrasi sebesar 6 OJ (Rp ,00), dari PPK Bagian Sosialisasi sebesar 3 OJ (Rp ,00), dari PPK Bagian Temuan dan Laporan Pelanggaran sebesar 2 OJ (Rp ,00), dari PPK Bagian Penyelesaian Sengketa sebesar 1 OJ (Rp ,00), dari PPK Bagian Teknis Pengawasan Pemilu sebesar 4 OJ (Rp ,00), dan dari PPK Biro H2PI sebesar 10 OJ (RP ,00). Berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Honor Narasumber Rp ,00 Penghasilan Bruto Setahun Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,

28 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Pajak yang dipotong atas honor narasumber Pajak setahun setelah ditambah honor = Rp ,00 Pajak setahun sebelum ditambah honor = Rp ,00 ( ) Rp ,00 Honor narasumber bersih yang diterima oleh Ibu Nurul Honor narasumber = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp ,00 ( ) Rp ,00 k. Biro H2PI mengundang Bapak Eko selaku pegiat Pemilu sebagai narasumber kegiatan FGD Analisis Indeks Kerawanan Pemilu, mendapatkan honor sebesar 2 OJ (Rp ,00). Berapakah besaran PPh Pasal 21 atas honor narasumber yang terutang? Jawab: Honor Narasumber = Rp ,00 Pajak = (50% x Rp ,00) x 5% = Rp ,00 Honor Bersih yang diterima = Rp ,

29 l. Bagian Sosialisasi mengundang narasumber seorang PNS Eselon II pada acara Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif. Honor yang dibayarkan kepada narasumber tersebut sebesar 2 OJ (Rp ,00). Berapakah besaran pajak PPh Pasal 21 jika narasumber tersebut berstatus PNS Gol. IV /c? Jawab: Honor Narasumber = Rp ,00 Pajak = 15% x Rp ,00 = Rp ,00 Honor Bersih yang diterima = Rp ,00 m. Y unanto seorang PNS G olongan III/a Bawaslu mendapatkan K enaikan Gaji Berkala pada Bulan Maret 2017 dari Rp ,00 menjadi Rp ,00 dan tunjangan kinerja Rp ,00. Rapelan atas K enaikan G aji Berkala dibayarkan pada Bulan Mei Status Y unanto adalah tidak menikah tanpa tanggungan (TK /0). Berapakah besaran pajak yang terutang? Jawab: Hitung pajak dengan gaji lama Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00,00 : 12 Rp 1.129,

30 Hitung pajak dengan gaji baru Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (TK/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp 4.837,00 PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong Maret s.d. A pril 2017 sebesar (Rp4.837,00 Rp1.129,00) x 2 = Rp7.416,00 PPh Pasal 21 yang dibayarkan pada Bulan Mei 2017 sebesar Rp7.416,00 + Rp4.837,00 = Rp12.253,00 n. Ibu Y unita seorang Tenaga A hli non PNS mendapatkan gaji sebesar Rp ,00/bulan dengan status menikah dengan 3 anak (K /3). Berapakah besaran PPh Pasal 21 atas gaji tersebut? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,

31 PTKP (K/3) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan 3 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,00 Penghasilan bersih yang diterima oleh Ibu Y unita Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan = Rp ,00 (-) Rp ,00 o. Ibu Y unita sebagaimana contoh pada huruf (n) menerima honor narasumber sebesar 2 OJ (Rp ,00) pada acara Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 Honor Narasumber Rp ,00 PTKP (K/3) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan 3 orang tanggungan Rp ,00 Rp ,

32 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 Pajak yang dipotong atas honor narasumber Pajak setahun setelah ditambah honor = Rp ,00 Pajak setahun sebelum ditambah honor = Rp ,00 ( ) Rp ,00 Honor narasumber bersih yang diterima oleh Ibu Y unita Honor narasumber = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp ,00 ( ) Rp ,00 p. Bapak Y adin seorang Tim A sistensi non PNS mendapatkan gaji sebesar Rp ,00/bulan dengan status menikah. Berapakah besaran PPh Pasal 21 atas gaji tersebut? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (K/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,

33 Penghasilan bersih yang diterima oleh Bapak Y adin Penghasilan per bulan = Rp ,00 PPh Pasal 21 per bulan = Rp ,00 (-) Rp ,00 q. Bapak Y adin sebagaimana contoh pada huruf (p) menerima honor moderator sebesar 2 OK (Rp ,00) pada acara Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, berapakah jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong? Jawab: Penghasilan sebulan Rp ,00 Penghasilan setahun (Rp ,00 x 12) Rp ,00 Honor Narasumber Rp ,00 Penghasilan Bruto Setahun Rp ,00 Pengurangan: Biaya Jabatan 5% x Rp ,00 Rp ,00 (maks. Rp ,00) Penghasilan neto Rp ,00 PTKP (K/0) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 PPh Pasal 21/bulan Rp ,00 : 12 Rp ,00 Pajak yang dipotong atas honor narasumber Pajak setahun setelah ditambah honor = Rp ,00 Pajak setahun sebelum ditambah honor = Rp ,00 ( ) Rp 5.542,

34 Honor narasumber bersih yang diterima oleh Bapak Y adin Honor narasumber = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp 5.542,00 ( ) Rp ,00 r. Bapak Aditya seorang PNS Bawaslu menghendaki secara tertulis melakukan pisah harta dengan istrinya berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan (PH). Bapak A ditya pada tahun 2016 menerima atau memperoleh penghasilan neto sebesar Rp ,00. Bapak A ditya berstatus kawin pisah harta dan mempunyai 3 (tiga) orang anak, sedangkan istrinya menerima atau memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp ,00. Berapakah besaran PPh Pasal 21 yang dipotong oleh bendahara untuk Penghasilan Bapak A ditya dan PPh terutang untuk penghasilan gabungan suami dan istri tersebut? Asumsi Kegiatan Usaha Istri Bukan M erupakan Objek PPh Final PP 46 (Omset usaha sampai dengan Rp.4,8 M iliar/tahun). J ika Usaha Istri merupakan Objek PPh Final PP 46, maka penghasilan istri tidak digabungkan dengan penghasilan suami dalam menentukan Pajak Penghasilan setahun. Namun cukup dilaporkan dalam kolom Penghasilan Final dalam SPT Tahunan. Jawab: Penghitungan PPh Pasal 21 Suami (dilakukan oleh bendahara/pemberi kerja) Penghasilan Bapak A ditya Rp ,00 PTKP (K/3) Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Pasal 21/Tahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,

35 Penghitungan PPh Terutang untuk masing-masing Suami dan Istri (kewajiban ini dilakukan oleh masing-masing wajib pajak/orang pribadi dan bukan tanggung jawab bendahara) Penghasilan neto suami Rp ,00 Penghasilan neto istri Rp ,00 Penghasilan neto gabungan Rp ,00 PTKP (K/3) - untuk Wajib Pajak sendiri Rp ,00 - untuk istri bekerja Rp ,00 - tambahan karena menikah Rp ,00 - tambahan untuk 3 tanggungan Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh Setahun 5% x Rp ,00 Rp ,00 15% x Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 J umlah PPh terutang atas penghasilan gabungan : Rp ,00 PPh yang telah dipotong : Rp ,00 PPh yang masih harus dibayar : Rp ,00 s. Dalam suatu kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh Bawaslu, tiap-tiap peserta kegiatan yang merupakan perwakilan anggota masyarakat menerima uang saku/uang transport sebesar Rp ,00/orang. Pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan adalah sebagai berikut: Jawab: Tarif Pasal 17 x Dasar Pengenaan Pajak 5% x Rp ,00 = Rp 7.500,00 Jumlah dibayarkan ke peserta kegiatan = Rp ,

36 B. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 (K ode: ) 1. Pengertian PPh Pasal 22 Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang seperti komputer, meubelair, mobil dinas, A TK, dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penyedia barang. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh: a. Bendahara Pemerintah dan K uasa Pengguna A nggaran (K PA ) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; b. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP); c. K PA atau Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar (PPSPM) yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS). 2. Objek Pemungutan PPh Pasal 22 Pemungutan Pajak Penghasilan PPh Pasal 22 dilakukan sehubungan dengan pembayaran atas pembelian barang misalnya komputer, mebel, mobil dinas, ATK, dan barang lainnya oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak penjual barang. 3. Objek Tidak Kena Pajak a. Pembelian barang dengan nilai maksimal pembelian Rp ,00 dengan tidak dipecah- pecah dalam beberapa faktur. b. Pembelian BBM, Gas, Pelumas, dan Benda Pos. c. Pembayaran Listrik, A ir Minum/PDA M, dan Telepon. 4. Tarif PPh Pasal 22 Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5 persen x harga sepanjang belum termasuk PPN, sedangkan untuk harga yang sudah termasuk PPN dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

37 5. Contoh PPh Pasal 22 a. Bawaslu membeli A TK untuk persediaan kantor senilai Rp ,00 (sudah termasuk PPN). Berapakah besaran PPh Pasal 22 untuk pembelian tersebut? Jawab: Langkah I menghitung DPP DPP = Harga Kuitansi x 100/110 = Rp ,00 x 100/110 = Rp ,00 Langkah II menghitung besaran PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 = DPP x tarif PPh Pasal 22 = Rp ,00 x 1,5% = Rp42.273,00 Bawaslu membeli A TK tersebut dengan harga DPP = Rp ,00 PPh Pasal 22 = Rp ,00 (-) Rp ,00 b. Bawaslu membeli mobil dinas seharga Rp ,00 (belum termasuk PPN). Berapakah besaran PPh Pasal 22 untuk pembelian mobil tersebut? Jawab: PPh Pasal 22 = Harga Pembelian x Tarif Pasal 22 = Rp ,00 x 1,5% = Rp ,00 Bawaslu membeli mobil dinas tersebut dengan harga Harga Pembelian = Rp ,00 PPh Pasal 22 = Rp ,00 (-) Rp ,

38 C. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 (K ode: ) 1. Pengertian PPh Pasal 23 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari: a. Royalti, hadiah/penghargaan; b. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; c. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain. 2. Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Pemotongan PPh Pasal 23 adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh bendahara kepada pihak lain. Objek Pajak PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Bawaslu sehubungan dengan penggunaan jasa pemeliharaan seperti: a. Pemeliharaan AC, Instalasi Listrik, Air, Telepon, Genset b. Pemeliharaan K omputer c. Pemeliharaan Printer d. Pemeliharaan K endaraan e. Sewa Kendaraan f. Pemeliharaan A lat K antor g. Pemeliharaan G edung dan Halaman G edung h. Pemeliharaan Hidran i. Pemeliharaan Lift j. J asa K ebersihan, dan k. Jasa lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku 3. Tarif PPh Pasal 23 Tarif pengenaan PPh Pasal 23 sebesar 2 (dua) persen dari jumlah bruto

39 4. Contoh Penghitungan PPh Pasal 23 a. Panwas K abupaten/k ota menyewa kendaraan operasional dengan harga Rp ,00/bulan. Berapakah PPh Pasal 23 untuk penyewaan kendaraan tersebut? Jawab: Biaya Sewa = Rp ,00 Pajak = 2% x Rp ,00 = Rp ,00 Biaya yang dibayarkan = , ,00 = Rp ,00 b. Bagian Perencanaan Bawaslu menggunakan jasa katering dengan total biaya sebesar Rp ,00 (belum termasuk PPN). Berapakah besaran PPh Pasal 23 untuk jasa tersebut? Jawab: Biaya Sewa = Rp ,00 Pajak = 2% x Rp ,00 = Rp ,00 Biaya yang dibayarkan = Rp ,00 C atatan: Untuk kasus jasa katering apabila sampai dengan proses menyajikan masakan jadi maka diklasifikasikan pada pemotongan PPh Pasal 23, namun apabila membeli makanan jadi, maka diklasifikasikan pada pemotongan PPh Pasal 22. Dan jika menggunakan jasa juru masak perorangan/pribadi, maka diklasifikasikan pada pemotongan PPh Pasal 21. D. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) (K ode: ) 1. Pengertian PPh Pasal 4 ayat (2) Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan terkait pengalihan hak ataupun persewaan tanah dan/atau bangunan. 2. Objek Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) Pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan antara lain melalui pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

40 Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) di Bawaslu adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang terdiri dari: a. Sewa rumah dinas Kantor Perwakilan Daerah b. Sewa gedung K antor Perwakilan Daerah c. Sewa ruang untuk kegiatan penyelidikan 3. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Besarnya tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang wajib dipotong bendahara adalah sebesar 10 persen dari jumlah bruto nilai persewaan (tidak termasuk PPN). 4. Contoh PPh Pasal 4 ayat (2) a. Bagian A dministrasi Pengaduan menyewa ruang pengaduan dengan nilai Rp ,00. Berdasarkan kuitansi tersebut, berapa besarnya pajak yang harus dipungut oleh Bendahara Pengeluaran Bawaslu? Jawab: Nilai K uitansi = Rp ,00 PPh Pasal 4 ayat (2) = Rp ,00 x 10% = Rp ,00 J adi besarnya pajak yang dipungut bendahara adalah Rp ,00. b. Bawaslu menyewa gedung untuk K antor Bawaslu Provinsi K alimantan Timur di Samarinda senilai Rp ,00 (termasuk PPN). Berapakah besaran PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayarkan? Jawab: Langkah I menghitung DPP DPP = 100/110 x Rp ,00 = Rp ,00 Langkah II menghitung besaran Pajak PPh Pasal 4 ayat (2) PPh Pasal 4 ayat (2) = DPP x 10% = Rp ,00 x 10% = Rp ,00 Jadi besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayarkan adalah Rp ,

41 E. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (K ode: ) 1. Pengertian PPN Pemungutan PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari pihak ketiga, misal pembelian alat tulis kantor, pembelian seragam untuk keperluan dinas, pembelian komputer, pembelian mesin absensi pegawai, perolehan jasa konstruksi, perolehan jasa pemasangan mesin absensi, perolehan jasa perawatan A C kantor, dan perolehan jasa atas tenaga keamanan. 2. Objek Tidak Kena Pajak Secara umum, atas setiap transaksi pembelian barang dan perolehan jasa dari pihak ketiga/rekanan yang dibayar oleh bendahara harus dipungut PPN. Namun demikian, terdapat beberapa transaksi pembelian barang dan perolehan jasa dari pihak ketiga yang tidak perlu dipungut PPN oleh bendahara yaitu: Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp ,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; Pembayaran untuk pembebasan tanah, kecuali pembayaran atas penyerahan tanah oleh real estate atau industrial estate; Pembayaran atas penyerahan Barang K ena Pajak dan/atau J asa K ena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan PPN; Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh P.T. Pertamina (Persero); Pembayaran atas rekening telepon; Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN. 3. Tarif PPN Tarif PPN yang dikenakan atas penyerahan barang atau jasa adalah 10 persen

42 4. Nomor Pengukuhan Pengusaha K ena Pajak (NPPK P) NPPK P adalah setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan undang-undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan Pengusaha K ena Pajak (PK P) dan atau pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha K ena Pajak memiliki surat pengukuhan kena pajak yang berisi identitas dan kewajban perpajakan PKP. Jika Pengusaha tersebut bukan PK P, maka PPN yang dipungut tidak dapat dikreditkan sebagai pajak keluaran dari rekanan tersebut karena dalam hal ini rekanan yang identitasnya sebagai Non PKP tidak dapat menerbitkan faktur. 5. C ontoh untuk PPN a. Bagian Umum melakukan pengadaan K omputer senilai Rp ,00 (sudah termasuk PPN). Berapakah besaran PPN yang harus dibayarkan ke K as Negara dan berapa yang harus dibayarkan kepada rekanan sebagai penyedia barang setelah harga dipotong PPN? Jawab: Langkah I menghitung DPP DPP = 100/110 x harga kuitansi = 100/110 x Rp ,00 = Rp ,00 Langkah II menghitung besaran PPN PPN = 10% x DPP = 10% x Rp ,00 = Rp ,00 Pajak yang harus disetor ke K as Negara (PPN) adalah Rp ,00 Nilai harus dibayarkan ke rekanan = DPP PPN (yang harus disetor ke kas negara) = Rp ,00 Rp ,00 = Rp ,00 b. Bawaslu membeli satu unit mesin scanner dengan harga Rp ,00 (belum termasuk PPN). Berapakah besaran PPN terutang dari pembelian barang tersebut? Jawab: PPN Terutang = Harga Barang x tarif PPN = Rp ,00 x 10% = Rp ,

43 F. Pengenaan Tarif pada Rekanan yang Tidak Memiliki NPWP a. PPh Pasal 21 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 akan dikenakan 20 persen lebih tinggi dari tarif normal kepada orang yang tidak memiliki NPWP. Hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (5A) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Contoh: Bawaslu mengundang narasumber non PNS dalam kegiatan sosialisasi dengan honor narasumber sebesar Rp ,00. Narasumber tersebut tidak memiliki NPWP. Berapakah besaran PPh Pasal 21 yang harus dibayarkan? Jawab: Narasumber Non PNS dikenakan tarif sebesar 5 persen karena tidak memiliki NPWP maka tarif yang dikenakan lebih tinggi 20 persen dari tarif sebenarnya. J adi, tarif yang dikenakan adalah 5% x (100% + 20%) = 6% PPh Pasal 21 = Rp ,00 x 6% = Rp ,00 Honor bersih yang diterima Narasumber Honor = Rp ,00 PPh Pasal 21 = Rp ,00 (-) Rp ,00 b. PPh Pasal 22 Tarif PPh Pasal 22 akan dikenakan lebih tinggi kepada wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Nilainya bahkan lebih besar dibandingkan dengan PPh Pasal 21 yaitu tarif lebih tinggi 100 persen atau dikenakan tarif dua kali lipat. K etentuan ini diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun Contoh PPh Pasal 22: Bawaslu membeli mobil dinas seharga Rp ,00 (belum termasuk PPN dan rekanan tidak memiliki NPWP). Berapakah besaran PPh Pasal 22 untuk pembelian mobil tersebut? Jawab: Karena tidak memiliki NPWP Tarif yang dikenakan kepada rekanan yang tidak memiliki NPWP adalah 100 persen lebih tinggi dari tarif sebenarnya. J adi, tarif yang dikenakan adalah 1,5% x (100% + 100%) = 3% 36 36

44 PPh Pasal 22 = Harga Pembelian x Tarif PPh Pasal 22 tanpa NPWP = Rp ,00 x 3% = Rp ,00 Bawaslu membeli mobil dinas tersebut dengan harga Harga Pembelian = Rp ,00 PPh Pasal 22 = Rp ,00 (-) Rp ,00 c. PPh Pasal 23 Tarif PPh Pasal 23 akan dikenakan lebih tinggi kepada wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Besar tarif yang akan dikenakan lebih tinggi 100 persen atau dikenakan tarif dua kali lipat. Hal ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1A) Undang-Undang Nomor 36 Tahun Contoh PPh Pasal 23: Bagian Perencanaan Bawaslu menggunakan jasa katering dengan total biaya sebesar Rp ,00 (Rekanan tidak memiliki NPWP). Berapakah besaran PPh Pasal 23 untuk jasa tersebut? Jawab: Karena tidak memiliki NPWP, tarif yang dikenakan kepada rekanan adalah 100 persen lebih tinggi dari tarif sebenarnya. J adi, tarif yang dikenakan adalah 2% x (100% + 100%) = 4% PPh Pasal 23 = Harga Kuitansi x tarif PPh Pasal 23 tanpa NPWP = Rp ,00 x 4% = Rp ,00 d. Tarif Pajak untuk Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) jika rekanan tidak memiliki NPWP tidak dikenakan adanya penambahan tarif sesuai dengan peraturan perpajakan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

45 G. Pemeliharaan Khusus untuk pemeliharaan, yang dilihat adalah objek pajaknya sehingga dapat diklasifikasikan dalam pengenaan tarif PPh Pasal 22 ataupun PPh Pasal 23. Contoh: Bawaslu melakukan pemeliharaan untuk mobil dinas, dengan rincian servis kendaraan operasional sebesar Rp ,00 dan pembelian ban mobil sebesar Rp ,00 (belum termasuk PPN). Berdasarkan kuitansi tersebut, pajak apa saja yang akan dikenakan dan berapa besaran pajak yang harus dibayar atas pemeliharaan kendaraan operasional tersebut? Jawab: Karena harga di atas belum termasuk PPN, maka yang perlu dicari terlebih dahulu adalah PPN. PPN = 10% x (Rp ,00 + Rp ,00) PPN = 10% x Rp ,00 = Rp ,00 Servis kendaraan dikenakan PPh Pasal 23, sehingga penghitungan pajaknya sebagai berikut: PPh Pasal 23 = 2% x Rp ,00 = Rp30.000,

46 BAB III TE K NIS PE NG ISIA N BUK TI POTO NG PA J A K PE NG HA SIL A N PA SA L 21, 22, 23, DAN 4 AYAT (2) A. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal 21 A tas penghasilan tetap dan teratur yang diterima oleh pegawai Bawaslu, diberikan bukti potong kepada pegawai pada akhir tahun pajak (J anuari tahun pajak berikutnya). Selain penghasilan tersebut, Bendahara Bawaslu membuatkan bukti potong pada setiap pembayaran kepada penerima penghasilan seperti pada contoh di bawah. PPh Pasal 21 yang wajib dipotong oleh bendahara pemerintah pada dasarnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu PPh yang bersifat final dan tidak final. Secara umum, PPh Pasal 21 yang dipotong oleh bendahara pemerintah bersifat tidak final. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh bendahara pemerintah yang bersifat final hanya dikenakan atas penghasilan tidak tetap dan tidak teratur berupa gaji atau imbalan tidak tetap dan tidak teratur lainnya, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menjadi beban A PBN atau A PBD dan dibayarkan kepada PNS (termasuk C PNS), anggota TNI atau Polri, Pejabat Negara, dan pensiunannya. C ontoh Bukti Potong PPh Pasal 21 Final: 39 39

47 Cara pengisian masing-masing kolom: *Nomor diisi dengan format MM-Y Y -Nomor urut Bukti Potong (1) diisi kode objek pajak (2) diisi jumlah penghasilan bruto (3) diisi tarif lebih tinggi 20 persen untuk yang tidak punya NPWP (4) diisi jumlah PPh yang dipotong Selain penghasilan tidak tetap dan tidak teratur berupa gaji atau imbalan tidak tetap dan tidak teratur lainnya, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menjadi beban APBN atau APBD dan dibayarkan kepada PNS (termasuk CPNS), anggota TNI atau Polri, Pejabat Negara, dan pensiunannya, maka diberikan bukti potong PPh Pasal 21 Tidak Final. C ontoh Bukti Potong PPh Pasal 21 Tidak Final: 40 40

48 Cara pengisian masing-masing kolom: *Nomor diisi dengan format MM-Y Y -Nomor urut Bukti Potong (1) diisi kode objek pajak (2) diisi jumlah penghasilan bruto (3) diisi dasar pengenaan pajak (4) diisi tarif lebih tinggi 20 persen untuk yang tidak punya NPWP (5) diisi jumlah PPh yang dipotong B. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal Bukti Potong PPh Pasal 22: bukti pemotongan pajak atas belanja barang oleh Pemerintah. 2. C ontoh Bukti Potong PPh Pasal 22: 41 41

49 Cara pengisian masing-masing kolom: (1) diisi nomor; (2) diisi dengan NPWP Wajib Pajak yang dipungut, jika wajib pajak tidak memiliki NPWP maka diisi alamat lengkap wajib pajak yang bersangkutan; (3) diisi nama lengkap wajib pajak; (4) diisi nomor bukti pemungutan; (5) diisi tanggal dilakukan pemungutan; (6) diisi jumlah bruto transaksi untuk setiap bukti pemungutan; (7) diisi PPh Pasal 22 yang dipungut. C. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal Bukti Potong PPh Pasal 23: pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lain/rekanan berupa sewa atau imbalan sehubungan dengan jasa. 2. C ontoh Bukti Potong PPh Pasal 23: 42 42

50 Cara pengisian masing-masing kolom: (1) diisi nomor (2) diisi jenis penghasilan (3) diisi total penghasilan yang dipotong pajak (4) diisi tarif lebih tinggi 100 persen untuk yang tidak punya NPWP (5) diisi persentase pemotongan pajak PPh 23 (6) diisi jumlah PPh yang dipotong D. Teknis Pengisian Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat 2 1. Bukti Potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

51 C ara pengisian masing-masing kolom: (1) diisi jumlah bruto penghasilan yang dibayarkan/terutang atas penyewa tanah dan/atau bangunan (2) diisi tarif 10 persen (3) diisi jumlah PPh yang harus dipotong, yaitu sebesar jumlah bruto nilai sewa dikalikan tarif 2. Bukti potong PPh Pasal 4 ayat 2 atas Jasa Konstruksi 44 44

52 Cara pengisian masing-masing kolom: (1) diisi nomor (2) diisi jenis jasa yang diberikan (3) diisi jumlah penghasilan yang diterima/diperoleh (4) diisi tarif sesuai dengan ketentuan berlaku (5) diisi dengan PPh atas penghasilan yang telah dipotong/dipungut, yaitu sebesar jumlah nilai bruto dikalikan tarif C atatan: Untuk pihak yang tidak memiliki NPWP pada kolom NPWP diisi dengan kode K PP Pratama setempat pada kotak 10 s.d

53 BAB IV MEKANISME PEMBUATAN ID BILLING PA J A K PE NG HA SIL A N PA SA L 21, 22, 23, 4 A Y A T (2), DA N PPN A. Pembuatan ID Billing M asa PPh Pasal Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id, memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: J enis pajak diisi PPh Pasal 21; J enis setoran diisi Masa PPh Pasal 21; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak. 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos. B. Pembuatan ID Billing PPh Final Pasal 21 A tas gaji atau imbalan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI dan para pensiunannya. 1. Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id, memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: J enis pajak diisi PPh Pasal 21; J enis setoran diisi PNS/TNI/Pejabat Negara; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak

54 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos. C. Pembuatan ID Billing PPh Pasal Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: J enis pajak diisi PPh Pasal 22; J enis setoran diisi Pemungut Bendahara A PBN; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Subjek pajak pilih NPWP sendiri atau NPWP lain; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak. 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos. D. Pembuatan ID Billing PPh Pasal Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id, memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: Jenis pajak diisi (digunakan untuk setoran PPh Pasal 22 Impor) PPh Pasal 23; J enis setoran diisi Jasa; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak

55 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos. E. Pembuatan ID Billing PPh Pasal 4 Ayat (2) 1. Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id, memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: Jenis pajak diisi PPh Pasal 4 ayat (2); J enis setoran diisi: Pengalihan hak tanah/bangunan; Persewaan tanah dan bangunan; J asa konstruksi; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Subjek pajak pilih NPWP sendiri atau NPWP lain; Isi NOP; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak. 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos. F. Pembuatan ID Billing PPN 1. Membuka website sse.pajak.go.id atau djponline.pajak.go.id, memasukkan nomor NPWP dan PIN. 2. Pilih isi Form SSE: J enis pajak diisi PPN; J enis setoran diisi Pemungut Bendahara A PBN; Masa pajak diisi bulan saat membuat id billing; 48 48

56 Tahun pajak diisi tahun saat membuat id billing; Subjek pajak pilih NPWP sendiri atau NPWP Lain; Jumlah setoran diisi sesuai dengan jumlah pajak yang akan disetor; Uraian diisi keterangan pajak. 3. Simpan setelah semua data terisi. 4. Setelah yakin data benar pilih terbitkan kode billing. 5. K emudian cetak kode billing*. 6. Kode billing dipakai untuk bayar pajak, bisa melalui atm, bank atau kantor pos

57 BAB V KEWAJ IBAN PENYETORAN DAN PENYAMPAIAN SPT MASA PAJ AK PE NG HA SIL A N PA SA L 21, 22, 23, 4 A Y A T (2), DA N PPN A. Batas Waktu Penyampaian SPT M asa ke Kantor Pajak Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak yang sudah dipotong dan/atau dipungut oleh Bendahara serta tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa adalah sebagai berikut: No. Jenis Pajak Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan 1. PPh Pasal 21 Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya, setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir 2. PPh Pasal 22 yang dipungut KPA atau PPSPM sebagai Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PK P rekanan pemerintah melalui Paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir Pemungut PPh Pasal 22 KPPN 3. PPh Pasal 22 yang dipungut Bendahara Pengeluaran Paling lama 7 hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran Paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir 4. PPh Pasal 4 ayat (2) Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir 5. PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut PPSPM sebagai pemungut PPN Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PK P rekanan pemerintah melalui KPPN Paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir 6. PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut Bendahara Pengeluaran Paling lama 7 hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah Paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir 7. PPh Pasal 23 Paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Paling lama 20 hari setelah Masa Pajak berakhir 50 50

58 B. K ewajiban Penyetoran dan Penyampaian Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan kewajiban pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak-pajak yang telah dipotong/dipungut antara lain: 1. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 2. Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 3. Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui: a. Layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau b. Layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya, pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang A sing dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. 4. Dalam hal pencairan anggaran dengan mekanisme langsung (LS) maka pemindahbukuan pajak yang dilakukan oleh K PPN merupakan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang, namun SSP tetap dipersiapkan oleh bendahara yang bersangkutan. 5. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP dinyatakan sah apabila telah divalidasi dengan NTPN. 6. Bendahara sebagai Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. 7. Bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan PNS di satuan kerjanya, memberikan tanda bukti pemotongan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. 8. Bendahara sebagai Pemungut PPN melakukan validasi Faktur Pajak yang diterbitkan oleh rekanan

59 BAB VI BEA METERAI A. Pengertian Bea M eterai Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Pada prinsipnya, dokumen yang harus dikenakan bea meterai adalah dokumen yang menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata, dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan. B. Objek dan Tarif Bea Meterai No. Objek Tarif 1. Surat perjanjian dan surat lainnya yang dibuat dengan tujuan Rp6.000,00 untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. 2. A kta-akta notaris termasuk salinannya. Rp6.000,00 3. A kta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat A kta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya. Rp6.000,00 4. Surat yang memuat jumlah uang, seperti kuitansi, billing statement, dan lain-lain, yang mempunyai harga nominal: a. 0 s.d. Rp ,00; - b. Lebih dari Rp ,00 s.d. Rp ,00; Rp3.000,00 c. Lebih dari Rp ,00. Rp6.000,00 5. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep. a. 0 s.d. Rp ,00; - b. Lebih dari Rp ,00 s.d. Rp ,00; Rp3.000,00 c. Lebih dari Rp ,00. Rp6.000,00 6. Cek dan bilyet giro Rp3.000,00 7. Efek atau sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun: a. Harga nominal sampai dengan Rp ,00; Rp3.000,00 b. Harga nominal lebih dari Rp ,00. Rp6.000,00 8. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan. Rp6.000,

60 Bea Meterai tidak dikenakan atas: 1. Dokumen yang berupa: c. Surat penyimpanan barang; d. K onosemen; e. Surat angkutan penumpang dan barang; f. K eterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), dan huruf (c); g. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; h. Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; i. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) sampai dengan huruf (f). 2. Segala bentuk ijazah; 3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu; 4. Tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, K as Pemerintah Daerah, dan bank; 5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari K as Negara, K as Pemerintahan Daerah, dan bank; 6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan internal organisasi; 7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; 8. Surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian; 9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun

BUKU SAKU PENGADAAN PAJAK KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BUKU SAKU PENGADAAN PAJAK KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA BUKU SAKU PENGADAAN PAJAK KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TAHUN 2012 KATA PENGANTAR Pajak memiliki peran yang sangat besar dalam penerimaan negara dan semakin meningkat

Lebih terperinci

BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018

BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018 KEWAJIBAN PERPAJAKAN BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018 BENDAHARA PENGELUARAN Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan

Lebih terperinci

PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA

PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI PEMOTONGAN/ PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGGUNAAN DANA DESA KPP PRATAMA TIMIKA MEI 2015 DIREKTORAT JENDERAL PAJAK UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa Latar

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor, tanggal 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Mulai berlaku : 1 Januari

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan bertugas memberikan layanan kesehatan kepada pasien dalam rangka membantu menyembuhkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018 KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENGGUNAAN DANA HIBAH PENELITIAN KOPERTIS WILAYAH III JAKARTA TAHUN 2018 KEWAJIBAN PAJAK ATAS DANA HIBAH PENELITIAN Walau telah berbasis keluaran, namun kewajiban perpajakan atas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. No.691, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

PANITIA SUMPAH PEMUDA KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2014

PANITIA SUMPAH PEMUDA KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2014 PANITIA SUMPAH PEMUDA KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2014 BUKTI PEMBAYARAN Bukti Pembayaran yang absah harus memuat : 1. Tanda Tangan Penerima 2. Tanda Tangan Bendaharawan 3. Tanda

Lebih terperinci

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT Masa Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir ini digunakan untuk melaporkan kewajiban Pemotongan Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT rmal SPT Pembetulan Ke- - Tahun Kalender Formulir

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. 2011. Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 57/PJ/2009 tentang Pedoman

Lebih terperinci

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2009 Tanggal : 25 Mei 2009 Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Masa Pajak SPT Masa Pajak Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir

Lebih terperinci

PT. Munirah adalah PKP yang bergerak di bidang penjualan elektronik di Makassar. Selama bulan Juli 2014 melakukan transaksi sebagai berikut :

PT. Munirah adalah PKP yang bergerak di bidang penjualan elektronik di Makassar. Selama bulan Juli 2014 melakukan transaksi sebagai berikut : Contoh Soal PPN dan Pembahasan PT. Munirah adalah PKP yang bergerak di bidang penjualan elektronik di Makassar. Selama bulan Juli 2014 melakukan transaksi sebagai berikut : Penjualan langsung ke konsumen

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

PJ.091/PPh/S/002/ KEWAJIBAN PERPAJAKAN BENDAHARA PEMERINTAH BOGOR, 15 MEI 2017

PJ.091/PPh/S/002/ KEWAJIBAN PERPAJAKAN BENDAHARA PEMERINTAH BOGOR, 15 MEI 2017 PJ.091/PPh/S/002/2017-00 KEWAJIBAN PERPAJAKAN BENDAHARA PEMERINTAH BOGOR, 15 MEI 2017 BENDAHARA PENGELUARAN Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan,

Lebih terperinci

I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 262/PMK.03/2010 TENTANG : TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas : a.penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b.impor Barang Kena Pajak;

Lebih terperinci

Tanggal Terbit : 01 Februari 2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Tanggal Terbit : 01 Februari 2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Perihal : PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS) OLEH BENDAHARAWAN ATAU PENANGGUNG JAWAB PENGELOLAAN PENGGUNAAN DANA BOS

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK 12 BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK 3.1 Bidang pelaksanaan kerja praktek Selama melaksanakan praktek kerja lapangan penulis di tempatkan di bagian pemasaran dan bagian umum. Di bagian ini pula penulis

Lebih terperinci

3 Tipe Perhitungan Pajak Penghasilan

3 Tipe Perhitungan Pajak Penghasilan 3 Tipe Perhitungan Mengelola Tim dan Isu Terkait Legal Mengelola Tim HASIL KOLABORASI OLEH TIM: DITULIS & DIADAPTASI OLEH: Vania Utami Gunawan TERINSPIRASI DARI: Online Pajak,(2015), PPh Pasal 21: Perhitungan

Lebih terperinci

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20 /PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN

Lebih terperinci

BADAN KANTOR PELAYANAN PAJAK ORANG PRIBADI. Syarat Objektif Syarat Subjektif. Wilayah tempat kedudukan. Wilayah tempat tinggal

BADAN KANTOR PELAYANAN PAJAK ORANG PRIBADI. Syarat Objektif Syarat Subjektif. Wilayah tempat kedudukan. Wilayah tempat tinggal BADAN ORANG PRIBADI Syarat Objektif Syarat Subjektif Wilayah tempat kedudukan KANTOR PELAYANAN PAJAK Wilayah tempat tinggal Fungsi NPWP - Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan - Sebagai identitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah

Lebih terperinci

Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak

Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak Modul ke: Perpajakan I PPh 21 Fransisca Hanita Rusgowanto S,Kom. M,Ak Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1. Akuntansi Pemotong PPh Pasal 21/26 pemberi kerja yang terdiri dari: a.orang pribadi dan

Lebih terperinci

BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21. I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21. I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Pengertian PPh PASAL 21/26 TATA CARA PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DIATUR DALAM PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR : PER-31/PJ/2012 PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan Menurut Undang-Undang no. 28 th. 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang

Lebih terperinci

c. Biaya perjalanan dinas berupa biaya perjalanan, akomodasi dan perdiem tidak

c. Biaya perjalanan dinas berupa biaya perjalanan, akomodasi dan perdiem tidak KETENTUAN PERPAJAKAN A. PPh Pasal 21 a. Digunakan untuk membayar Master Trainer, Assesor, Nara Sumber 1) Pasal 9,tariff PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban

Lebih terperinci

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PEMOTONGAN PPh PASAL 21 1 Dasar Hukum 1. Pasal 21, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap perlakuan perpajakan dan perhitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan

Lebih terperinci

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL

ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL ANALISIS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 UNTUK PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR DIREKTORAT JENDERAL KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL Nama/NPM Pembimbing : Kanip/24213760 : Widada, SE., MM.

Lebih terperinci

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM Disusun oleh : 1. Nanda Rosyid F0311082 2. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 3. Nur Chayati

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pengalaman praktis di lapangan yang secara langsung. berhubungan dengan teori teori keahlian yang diterima di bangku

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pengalaman praktis di lapangan yang secara langsung. berhubungan dengan teori teori keahlian yang diterima di bangku BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH PKLM Praktik Kerja Lapangan Mandiri adalah suatu cara kerja yang langsung dipraktikkan atau dilakukan mahasiswa secara mandiri. yang bertujuan memberikan pengalaman

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

SE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA

SE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA SE-02/PJ./2006 PEDOMAN PELAKSANAAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN DANA Contributed by Administrator Wednesday, 01 February 2006 Pusat Peraturan Pajak Online PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) Pajak merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

4Dra.Riiyati UNIVERSITAS INDONESIA. , ip YerItas, Pro itas, 9ustItia. Prof. Dr. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng.

4Dra.Riiyati UNIVERSITAS INDONESIA. , ip YerItas, Pro itas, 9ustItia. Prof. Dr. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng. lja t, t UNIVERSITAS INDONESIA, ip YerItas, Pro itas, 9ustItia Kampus Salemba JI. Salemba Raya No. 4, Jakarta 10430 Kampus Depok Gedung Pusat Administrasi Universitas Kampus Universitas Indonesia Depok

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I BAB I PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I BAB I PENUNJUKAN BENDAHARA NEGARA SEBAGAI PEMOTONG/ PEMUNGUT PAJAK-PAJAK NEGARA 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang 1) Undang-undang

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 139 BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PENGERTIAN Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan pelunasan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi pembelian barang atau perolehan jasa dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI PPH PASAL 22 BENDAHARAWAN PEMERINTAH PADA PPPTMGB LEMIGAS. Mekanisme PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah di LEMIGAS

BAB 4 EVALUASI PPH PASAL 22 BENDAHARAWAN PEMERINTAH PADA PPPTMGB LEMIGAS. Mekanisme PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah di LEMIGAS BAB 4 EVALUASI PPH PASAL 22 BENDAHARAWAN PEMERINTAH PADA PPPTMGB LEMIGAS IV.1. Mekanisme PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah di LEMIGAS LEMIGAS merupakan Satuan Kerja yang melakukan pemungutan PPh Pasal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 22 1. Analisis Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Berdasarkan sistem self assessment

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Perpajakan 2.2.1. Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum Perpajakan Tahun 2007, Pajak didefinisikan sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib

Lebih terperinci

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Dokter

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Dokter Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Dokter Pajak Penghasilan adalah pajak atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

Lebih terperinci

PANDUAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN

PANDUAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN PANDUAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN ATAS DANA HIBAH PENELITIAN TUJUAN MENJAMIN KETERTIBAN DAN KELANCARAN PELAKSANAAN ADMINISTRASI KEUANGAN; PERLU DISUSUN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN (SPJ)

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 563/KMK.03/2003 TENTANG PENUNJUKAN BENDAHARAWAN PEMERINTAH DAN KANTOR PERBENDAHARAAN DAN KAS NEGARA UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/KMK.04/2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH OLEH BENDAHARAWAN

Lebih terperinci

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com 1 PPh PASAL 21 Pemotongan pajak atas penghasilan yg diterima/diperoleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.140, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak Penghasilan. Pasal 21. APBN. APBD. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

AGENDA. PPh Pasal 26

AGENDA. PPh Pasal 26 1 AGENDA 1. PPh Pasal 21 2. PPh Pasal 26 2 Landasan Hukum: UU No 36 Th 2008, Psl 21 UU PPh Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/ 2012 3 DEFINISI Pajak yang dikenakan terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN

Lebih terperinci

SOSIALISASI SE-34/PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PTN-BADAN HUKUM NOPEMBER 2017

SOSIALISASI SE-34/PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PTN-BADAN HUKUM NOPEMBER 2017 1 SOSIALISASI SE-34/PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PTN-BADAN HUKUM NOPEMBER 2017 DASAR HUKUM PTN BH DAN PERLAKUAN PERPAJAKANNYA 2 UU. No 12/2012 Pasal 89(1) tentang Pendidikan Tinggi

Lebih terperinci

SOSIALISASI. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi Tahun Pajak 2017

SOSIALISASI. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi Tahun Pajak 2017 SOSIALISASI SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi Tahun Pajak 2017 PMK NOMOR 243/PMK.03/2014 s.t.d.t.d. PMK NOMOR 9/PMK.03/2018 Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan,

Lebih terperinci

1 dari 4 11/07/ :43

1 dari 4 11/07/ :43 1 dari 4 11/07/2012 14:43 Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 85/PMK.03/2012 TENTANG PENUNJUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN

Lebih terperinci

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu:

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu: PERPAJAKAN ORGANISASI NIRLABA Tri Purwanto Pengantar Pajak Organisasi Nirlaba UU No 28 Th 2007 ttg KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana. Meitri Megawati DA03

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana. Meitri Megawati DA03 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhadap Dosen Tetap Pada Universitas Krisnadwipayana Meitri Megawati 41209141 3DA03 PENDAHULUAN Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) 1. PT ABC mempekerjakan Tuan A (Status K3, tanpa NPWP) seorang tukang bangunan, untuk mengganti lantai keramik

Lebih terperinci

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE PASAL 04 AYAT 02 1. Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya a. Obyek PPh Final adalah bunga deposito, bunga tabungan lainnya dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). b. Besar tarif pemotongan adalah 20%

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010 TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009

LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009 LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-32/PJ/2009 TANGGAL : 25 MEI 2009 www.peraturanpajak.com Page : 1 info@peraturanpajak.com www.peraturanpajak.com Page : 2 info@peraturanpajak.com

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 02/PJ.03/2007 TENTANG PENEGASAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PIMPINAN DAN ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN

Lebih terperinci

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB PAJAK PAJAK . PAJAK yang dibayarkan digunakan untuk kegiatan Penyelenggaraan Negara, dan Membiayai pembangunan seperti pembangunan gedung-gedung sekolah, Sarana Kesehatan (rumah sakit), sarana umum, pembangunan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Menurut S.I. Djajadiningrat (dalam Siti Resmi, 2011:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,

Lebih terperinci

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN

SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN DEPARTEMEN KEUANGAN RI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Nama Pemungut : Alamat : No. Telp : Usaha : SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN) BAGI PEMUNGUT PPN Bacalah terlebih dahulu Buku

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 34/PJ/2017 TENTANG PENEGASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH 3.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) 3.1.1 Dasar

Lebih terperinci

BENDAHARA MAHIR PAJAK

BENDAHARA MAHIR PAJAK BENDAHARA MAHIR PAJAK 1500200 Kontak Direktorat Peraturan Perpajakan II Gedung Utama, Lantai 11 Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Gatot Subroto, Kavling 40-42, Jakarta 12190 Kotak Pos 124 Telepon

Lebih terperinci

Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru)

Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru) Soal Kasus Pembukuan atau Pencatatan( contoh ini menggunakan aturan lama untuk ptkpnya lebih baik lihat aturan terbaru) Tuan Wahyudi (PKP) seorang pengusaha garmen yang memiliki 5 kios di Jakarta, Bandung,

Lebih terperinci

CATATAN SPI Subtitle

CATATAN SPI Subtitle CATATAN SPI Subtitle Harus mengundang di luar tim penelitian Harus ada absensi Konsumsi Temuan SPI pada penelitian 2017 Banyak konsumsi yang hanya 1 porsi dalam LPJ Tidak ada absensi Perjalanan Dinas Uang

Lebih terperinci

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan Surat

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK BENDAHARA MAHIR PAJAK EDISI REVISI BUKU INI TIDAK UNTUK DIPERJUAL BELIKAN BENDAHARA MAHIR PAJAK (EDISI REVISI) Buku II 2013 Diterbitkan

Lebih terperinci

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN

C. PKP Rekanan PKP Rekanan adalah PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPKN Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-382/PJ/2002 Tanggal : 13 Agustus 2002 A. Singkatan 1. APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2. APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Lebih terperinci

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 398, 2017 KEMENKEU. Pelaporan dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PMK.03/2017 TENTANG TATA

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS LAPORAN KEUANGAN BOS TAHUN ANGGARAN 2012 BAB I PENDAHULUAN

PETUNJUK TEKNIS LAPORAN KEUANGAN BOS TAHUN ANGGARAN 2012 BAB I PENDAHULUAN SALINAN LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2011 PETUNJUK TEKNIS LAPORAN KEUANGAN BOS TAHUN ANGGARAN 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang berkenaan dengan pemenuhan wajib pajak dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini: No Nama Peneliti 1 Komarawati dan Mukhtaruddin.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber penerimaan negara berasal dari dana publik yang harus dikelola secara bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan publik pemerintah pusat dilakukan dengan

Lebih terperinci

Aspek Perpajakan Penggunaan Dana APBN/APBD Bagi Bendahara

Aspek Perpajakan Penggunaan Dana APBN/APBD Bagi Bendahara Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2017 Aspek Perpajakan Penggunaan Dana APBN/APBD Bagi Bendahara SIKLUS PENERIMAAN DAN PENGGUNAAN DANA APBN/APBD 2 KEWAJIBAN PEMOTONGAN/

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAl PAJAK SURAT EDARAN NOMOR : SE - 02 /PJ./ 2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAl PAJAK SURAT EDARAN NOMOR : SE - 02 /PJ./ 2006 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAl PAJAK Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta 12190 Kotak Pas 124 Telepon : (021) 5250208, 5251609, 5262880 Faksimile : (021) 5262420

Lebih terperinci

Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan

Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Misalnya: a. Usaha apotek; b. Rumah makan; c. Toko *) dapat bersifat final apabila memiliki peredaran bruto tertentu (PP No. 46 Tahun 2013) Penghasilan

Lebih terperinci