OUTLINE RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BATAM, BINTAN DAN KARIMUN (BBK)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OUTLINE RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BATAM, BINTAN DAN KARIMUN (BBK)"

Transkripsi

1 OUTLINE RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BATAM, BINTAN DAN KARIMUN (BBK) BAB I KETENTUAN UMUM BAB II RUANG LINGKUP, ASAS DAN TUJUAN Bagian Kesatu : Ruang Lingkup Bagian Kedua : Asas Bagian Ketiga : Tujuan BAB III JANGKA WAKTU, KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAB IV KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB V RENCANA ALOKASI RUANG BAB VI RENCANA PEMANFAATAN RUANG Memuat Indikasi program utama pemanfaatan ruang a. usulan program utama; b. lokasi program; c. perkiraan pendanaan dan alternatif sumber pendanaan; d. institusi pelaksana program; dan e. waktu dan tahapan pelaksanaan. BAB VII PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Memuat Pengendalian pemanfaatan ruang meliputi: a. peraturan pemanfaatan ruang dalam kawasan/ zona/sub zona; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian insentif; d. ketentuan pemberian disinsentif; dan e. arahan pengenaan sanksi. BAB VIII MONITORING Bagian Kesatu : Umum Bagian Kedua : Monitoring Bagian Ketiga : Evaluasi BAB IX HAK, KEWAJIBAN, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT Bagian Kesatu : Hak Masyarakat Bagian Kedua : Kewajiban Masyarakat Bagian Ketiga : Partisipasi Masyarakat BAB X KETENTUAN PERALIHAN BAB XI KETENTUAN PENUTUP 0

2 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BATAM, BINTAN DAN KARIMUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 43 ayat (4) bahwa Perencanaan zonasi kawasan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah, sehingga perlu ditetapkan rencana zonasi kawasan strategis nasional Batam, Bintan dan Karimun (BBK); 2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Presiden Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490); 1

3 4. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4211) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4854); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 101); 10. Peraturan Presiden No 87 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, Karimun (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 127); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042); 12. Keputusan Presiden No 6 tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil Terluar. 2

4 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL BATAM, BINTAN dan KARIMUN BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disingkat dengan RZ KSN adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya yang disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. 2. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 3. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 4. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat pertumbuhan dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 5. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam satu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 6. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 3

5 7. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 8. Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disingkat dengan KSN adalah adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 9. Kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan, Karimun yang selanjutnya disebut sebagai dengan KSN BBK adalah kawasan strategis nasional yang meliputi sebagian perairan wilayah Kota Batam, sebagian perairan wilayah Kota Tanjung Pinang, sebagian perairan wilayah Kabupaten Bintan dan sebagian perairan wilayah Kabupaten Karimun, dan pulaupulau terluar di Batam, Bintan dan Karimun. 10. RZ KSN BBK adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya yang disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di kawasan KSN BBK. 11. Peraturan Pemanfaatan Ruang adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap zona dan pemanfaatannya yang setara dengan peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang penataan ruang. 12. Kawasan Lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 13. Kawasan Budi Daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 14. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukannya bagi berbagai sektor kegiatan. 15. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, selanjutnya disebut Kawasan Konservasi adalah kawasan di wilayah pesisir dengan ciri-ciri 4

6 khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. 16. Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disebut dengan KSNT adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. 17. Alur Laut adalah ruang laut yang pemanfaatannya ditujukan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut. 18. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 19. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 20. Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, selanjutnya disingkat dengan SDP-3-K adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 21. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, selanjutnya disingkat dengan RPWP-3-K adalah rencana pemerintah daerah yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi mengenai kesepakatan penggunaan SDP-3-K atau kegiatan pembangunan di Zona yang ditetapkan. 22. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, selanjutnya disingkat dengan RAPWP-3-K adalah rencana pemerintah daerah 5

7 mengenai tindak lanjut RPWP-3-K yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara teroordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh para pemangku kepentingan guna mencapai hasil pengelolaan SDP-3-K di setiap kawasan perencanaan. 23. Kawasan Suaka Alam adalah adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 24. Kawasan Konservasi Perairan adalah adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. 25. Kawasan Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan konservasi yang ditetapkan dalam upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 26. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. 27. Ekosistem Penting adalah area yang teridentifikasi sebagai wilayah jelajah dan/atau habitat spesies endemik, dilindungi dan terancam punah, berfungsi sebagai pengontrol tata air, meresapkan air hujan, serta penghubung antar kawasan konservasi. 28. Kawasan Ekosistem Penting adalah kawasan yang memiliki fungsi sebagai koridor satwa liar, penghubung antar kawasan konservasi serta berfungsi sebagai kawasan resapan air. 29. Zona Lindung adalah zona yang ditetapkan karakteristik pemanfaatan ruangnya berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada Kawasan Lindung. 30. Zona Budi Daya adalah zona yang ditetapkan karakteristik pemanfaatan ruangnya berdasarkan dominasi fungsi kegiatan masing-masing zona pada Kawasan Budi Daya. 6

8 31. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. 32. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 33. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif Masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan Pengendalian pemanfaatan ruang. 34. Partisipasi Masyarakat adalah upaya masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 35. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 37. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan. 38. Daerah adalah Kota Batam, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan Kabupaten Karimun 39. Gubernur adalah Gubernur Daerah Provinsi Kepulauan Riau. 40. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian perairan pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. 41. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. 42. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan. 7

9 Pasal 2 Ruang lingkup pengaturan RZ KSN meliputi: a. kedudukan dan fungsi; b. tujuan, kebijakan dan strategi; c. rencana struktur ruang laut; d. rencana pola ruang laut; e. ketentuan pemanfaatan ruang; dan f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 3 (1) Batas wilayah perencanaan KSN BBK meliputi : a. wilayah perairan Kawasan BBK; b. wilayah daratan Kawasan BBK; dan c. pulau-pulau kecil terluar di kawasan BBK yang selanjutnya disebut PPKT. (2) Batas wilayah perairan Kawasan BBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai dengan kebutuhan perencanaan mencakup wilayah perairan di sekitar Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun dan perairan sekitar Pulau-pulau Kecil Terluar sampai dengan batas laut territorial laut Indonesia; (3) Batas wilayah perairan Kawasan BBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan: a. pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dan Sumber Daya Kelautan dalam satu kesatuan ekosistem; b. keberadaan Objek Vital Nasional; c. keberadaan Proyek Strategis Nasional; d. wilayah Pertahanan di Laut; dan e. alur laut. (4) Batas wilayah daratan Kawasan BBK, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) PPKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari : Pulau Putri, Pulau Batu Berantai, Pulau Pelampong, Pulau Nipa, Pulau Sentut, Pulau Bintan, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, Pulau Karimun Kecil dan Pulau Iyu Kecil. 8

10 Pasal 4 (1) RZ KSN BBK berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun sekali. (2) RZ KSN BBK dapat ditinjau kembali kurang dari 5 (lima) tahun, apabila terjadi: a. perubahan kebijakan nasional yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; b. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang- undang. BAB II KEDUDUKAN DAN FUNGSI Bagian Kesatu Tujuan Pasal 5 RZ KSN BBK berkedudukan sebagai dokumen perencanaan untuk menentukan arah pemanfaatan, pengusahaan, dan pengendalian pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dan Sumber Daya Kelautan di Kawasan BBK secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. Bagian Kedua Fungsi Pasal 6 RZ KSN BBK berfungsi untuk : a. alat operasionalisasi rencana zonasi atau rencana tata ruang laut yang berlaku; b. alat koordinasi pelaksanaan pembangunan di KSN BBK; c. perencanaan, pemanfaatan, monitoring dan evaluasi ruang kawasan strategis nasional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu; 9

11 d. perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan darat dan laut, serta kepentingan lintas sektor di KSN dan KSNT serta rencana pengembangan di KSN dan KSNT dengan wilayah sekitarnya; dan e. penetapan alokasi dan fungsi ruang untuk investasi di KSNT Pulau Putri, Pulau Batu Berantai, Pulau Pelampong, Pulau Sentut, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, dan Pulau Iyu Kecil. f. dasar pemberian izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan di KSN BBK. BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI Bagian Kesatu Tujuan Pasal 7 Perencanaan ruang KSN BBK bertujuan untuk mewujudkan: a. Kawasan yang berfungsi untuk perekonomian dan perdagangan yang berdaya saing internasional untuk mendukung perekonomian nasional melalui pengembangan industri unggulan dan strategis di sektor maritim, kelautan, perikanan, pariwisata, pertambangan dengan penyediaan insentif fiskal dan non fiskal serta dukungan jaringan prasarana yang memadai b. Kawasan yang berfungsi untuk pertahanan dan keamanan negara yang menjamin keutuhan kedaulatan dan ketertiban wilayah Negara sebagai salah satu kawasan perbatasan c. Kawasan yang berfungsi untuk pelestarian, perlindungan lingkungan hidup dan pengembangan potensi perikanan yang mendukung kegiatan perekonomian, perikanan berkelanjutan dan pariwisata d. Kawasan yang berfungsi mendukung ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat. 10

12 Bagian Kedua Kebijakan Pasal 8 (1) Kebijakan untuk mewujudkan kawasan yang berfungsi untuk perekonomian dan perdagangan yang berdaya saing internasional untuk mendukung perekonomian nasional melalui pengembangan industri unggulan dan strategis di sektor maritim, kelautan, perikanan, pariwisata, pertambangan dengan penyediaan insentif fiskal dan non fiskal serta dukungan jaringan prasarana yang memadai nasional dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi : a. Pengembangan Pusat Ekonomi berdaya saing tinggi melalui pengembangan sentra industri Maritim, kelautan dan Perikanan, Perdagangan, pelabuhan, Pariwisata, dan Pertambangan, dan b. Pengembangan pusat-pusat pelabuhan, jalur perdagangan, dan kawasan ekonomi khusus yang medukung pembangunan yang aman, adil dan berkelanjutan. (2) Kebijakan untuk mewujudkan kawasan yang berfungsi untuk pertahanan dan keamanan negara yang menjamin keutuhan kedaulatan dan ketertiban wilayah Negara sebagai salah satu kawasan perbatasan dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi : a. Penegasan dan pengamanan batas Wilayah Negara; b. Pengembangan prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara yang mendukung kedaulatan dan keutuhan batas Wilayah Negara. (3) Kebijakan untuk mewujudkan Kawasan yang berfungsi untuk untuk pelestarian, perlindungan lingkungan hidup dan pengembangan potensi perikanan yang mendukung kegiatan perekonomian, perikanan berkelanjutan dan pariwisata dimaksud dalam Pasal 7 huruf c meliputi : a. Pengoptimalisasian fungsi dan pengembangan Kawasan Konservasi; dan b. Pengendalian dan pengembalian fungsi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. (4) Kebijakan untuk mewujudkan Kawasan yang berfungsi mendukung ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat dimaksud dalam Pasal 7 huruf d meliputi: 11

13 a. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan sarana dan jaringan prasarana yang terpadu b. Peningkatan keterpaduan, keselarasan, dan keserasian antarkegiatan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan fungsi kawasan. Bagian Ketiga Strategi Pasal 9 (1) Strategi untuk mewujudkan Pusat Ekonomi berdaya saing tinggi melalui pengembangan sentra industri Maritim, kelautan dan Perikanan, Perdagangan, pelabuhan, Pariwisata, dan Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a meliputi : a. Menyediakan ruang laut dan pesisir di bidang maritim, kelautan dan perikanan yang mendukung pembangunan yang aman, adil dan berkelanjutan; b. Mengembangkan dan meningkatkan industri maritim, kelautan dan perikanan sebagai potensi unggulan kawasan. (2) Strategi untuk mewujudkan pusat pelabuhan, jalur perdagangan, dan kawasan ekonomi khusus yang medukung pembangunan yang aman, adil dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b meliputi : a. Mengalokasikan ruang untuk peningkatan dan pengembangan kawasan terpadu untuk mendukung investasi b. Meningkatkan nilai tambah dan investasi perdagangan c. Meningkatkan kualitas dan keterpaduan alur transportasi dan alur perdagangan d. Mengembangkan kawasan ekonomi khusus e. Mengembangkan destinasi wisata nasional dan meningkatkan daya saing wisata bahari f. Menjamin ketersediaan energi dan sumberdaya mineral 12

14 (3) Strategi untuk mewujudkan Penegasan dan pengamanan batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a meliputi : a. Menjaga dan mengamankan posisi titik dasar dan titik referensi di PPKT b. Menetapkan alokasi ruang untuk kawasan pertahanan dan keamanan (4) Strategi untuk mewujudkan prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan negara yang mendukung kedaulatan dan keutuhan batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b meliputi : a. Menyediakan ruang untuk penempatan satuan aparat Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia b. Pengembangan sarana dan prasarana di PPKT (5) Strategi untuk mewujudkan optimalisasi fungsi dan pengembangan Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a meliputi : a. Menetapkan rencana pengelolaan dan zonasi dan kawasan konservasi perairan; b. Menetapkan alokasi ruang untuk perlindungan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil/terluar; c. Membangun prasarana dan sarana pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan lindung yang mendukung kegiatan perikanan dan kepariwisataan; dan d. Mengembangkan kegiatan di Kawasan Konservasi yang dapat mempertahankan keberlanjutan fungsi ekosistem laut. (6) Strategi untuk mewujudkan pengendalian dan pengembalian fungsi ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b meliputi : a. Menyelaraskan, menyerasikan, dan menyeimbangkan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan lindung dengan kawasan pemanfaatan umum atau kawasan budi daya b. Menjamin pelestarian biota laut dan ketersediaan sumberdaya ikan ekonomis penting c. Pemertahanan kawasan sempadan pantai dan kawasan resapan air (7) Strategi untuk mewujudkan peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan sarana dan 13

15 jaringan prasarana yang terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a meliputi : a. Mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara; b. Mewujudkan keterpaduan sistem sarana telekomunikasi; c. Mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan energi dan ketenagalistrikan; d. Mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air untuk memelihara sumbersumber air; e. Meningkatkan kualitas dan jangkauan jaringan air limbah, drainase dan persampahan di PPKT. (8) Strategi untuk mewujudkan peningkatan keterpaduan, keselarasan, dan keserasian antarkegiatan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan fungsi kawasan dan peraturan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b meliputi : a. Menjamin dan menyediakan ruang laut untuk mata pencaharian masyarakat, nelayan tradisional dan masyarakat hukum; b. Meningkatkan kualitas SDM di bidang kelautan dan perikanan; c. Melestarikan budaya maritim sebagai kekayaan warisan budaya bangsa. d. mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis wisata minat khusus secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pemanfaatan PPKT dalam menunjang perekonomian wilayah di sekitarnya. e. Menjamin dan menyediakan ruang laut untuk mata pencaharian masyarakat, nelayan tradisional dan masyarakat hukum adat; f. Meningkatkan kualitas SDM di bidang kelautan dan perikanan; g. Melestarikan budaya maritim sebagai kekayaan warisan budaya bangsa. h. mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis wisata minat khusus secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pemanfaatan PPKT dalam menunjang perekonomian wilayah di sekitarnya. 14

16 BAB IV RENCANA STRUKTUR RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 10 (1) Rencana struktur ruang KSN BBK ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan pusat kegiatan, meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana. (2) Rencana struktur ruang KSN BBK berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional. Bagian Kedua Rencana Struktur Ruang KSN Batam Bintan Karimun Pasal 11 Rencana struktur ruang laut RZ KSN BBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a terdiri atas: a. sistem pusat pertumbuhan kelautan; dan b. sistem jaringan sarana dan prasarana laut. Paragraf 1 Sistem Pusat Kegiatan Kelautan Pasal 12 Sistem pusat pertumbuhan kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi: a. pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan yang berperan sebagai sentra produksi bahan baku, sentra pengumpul, pengolahan dan distribusi; b. pusat pengembangan kegiatan pariwisata dengan fungsi utama pengembangan pariwisata bahari minat khusus mancanegara dan domestik; c. pusat kegiatan industri perkapalan dengan fungsi utama pengembangan industri khusus maritim dan simpul transportasi internasional; d. pusat kegiatan perdagangan dan jasa dengan fungsi utama perdagangan dan jasa; e. pusat kegiatan transportasi yang merupakan simpul transportasi laut dan kawasan bongkar muat dan alih barang; 15

17 f. pusat kegiatan pertahanan dan keamanan negara dengan fungsi utama pertahanan dan keamanan negara dan fungsi pendukung menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 13 Pusat pertumbuhan kelautan dan perikanan yang berperan sebagai sentra produksi bahan baku, sentra pengumpul, pengolahan dan distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a meliputi : a. Kawasan bioteknologi kelautan di perairan Gunung Kijang dan Bintan Timur; b. Kawasan industri maritim di perairan Tanjung Ucang, Batam dan Bintan Timur; c. Sentra kegiatan perikanan tangkap di perairan sekitar PPI Dompak, selat Combol, Selat Riau dan Selat Durian; d. Kawasan budidaya perikanan di selat Dempo, Selat Riau dan Selat Combol. Pasal 14 Pusat pengembangan kegiatan pariwisata dengan fungsi utama pengembangan pariwisata bahari minat khusus mancanegara dan domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b untuk: a. Perairan Kawasan Batam, meliputi: 1) Nongsa, Kecamatan Nongsa 2) Tanjung Pinggir dan pantai Marina Kecamatan Sekupang; 3) Jodoh, Kecamatan Lubuk Baja; 4) Sembulang, Batam; 5) Galang dan Galang Baru, Kecamatan Galang; 6) Pulau Putri; 7) Pulau Pelampong. b. Perairan Kawasan Bintan, meliputi: 1) Lagoi dan Pengujan, Kecamatan Teluk Sebong; 2) Kuala Sempang, Kecamatan Seri Kuala Lobam; 3) Trikora, Kecamatan Gunung Kijang; 4) Sakera, Kecamatan Bintan Utara, 5) Teluk Bintan, Kecamatan Teluk Bintan 6) Pulau Berakit, dan; 16

18 7) Pulau Malang Berdaun. c. Perairan Kawasan Karimun, meliputi; 1) Pongkar, Kecamatan Tebing; 2) Pelalawan, Kecamatan Meral Barat; d. Perairan Kawasan Tanjung Pinang, meliputi; 1) Senggarang 2) Pulau Penyengat Pasal 15 Pusat kegiatan industri perkapalan dengan fungsi utama pengembangan industri khusus maritim dan simpul transportasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c untuk : a. Kawasan perairan Batam, meliputi: 1) Kabil di Kecamatan Nongsa; 2) Batu Ampar di Kecamatan Batu Ampar; 3) Tanjung Uncang di Kecamatan Batu Aji; 4) Tanjung Gundap dan Kawasan Industri Sagulung di Kecamatan Sagulung; 5) Lubuk Baja di Kecamatan Lubuk Baja; 6) Batam Center di Kecamatan Batam Kota; 7) Sekupang di Kecamatan Sekupang; 8) Janda Berias di Kecamatan Sekupang; dan 9) Rempang dan Galang di Kecamatan Galang. b. Kawasan perairan Karimun, meliputi: 1) Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun; 2) Parit Rempak di Kecamatan Meral; 3) Tanjung Melolo; 4) Tanjung Penggaru; 5) Tanjung Jepun; 6) Tanjung Sememal, dan Kawasan Industri Pasir Panjang di Kecamatan Meral Barat, dan; 7) Teluk Lekup dan Pulau Karimun Anak di Kecamatan Tebing. Pasal 16 Pusat kegiatan perdagangan dan jasa dengan fungsi utama perdagangan dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d meliputi : a. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Selat Jodoh dan Nagoya, Kecamatan Lubuk Baja; 17

19 b. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar; c. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Sagulung Kecamatan Sagulung; d. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Kecamatan Batu Aji; e. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Kecamatan Batam Kota; dan f. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Kecamatan Galang. Pasal 17 Pusat kegiatan transportasi yang merupakan simpul transportasi laut dan kawasan bongkar muat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e meliputi perairan di Sekupang, Batuampar, Malarko dan Nongsa. Pasal 18 Pusat kegiatan pertahanan dan keamanan negara dengan fungsi utama pertahanan dan keamanan negara dan fungsi pendukung menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f meliputi : a. sebagian perairan Pulau Setokok; b. sebagian perairan Pulau Tolop/Telup; c. sebagian perairan Pulau Nipa; d. sebagian perairan Pulau Putri; e. sebagian perairan Pulau Iyu Kecil; f. sebagian perairan Tanjung Sengkuang di Kecamatan Batu Ampar, dan; g. sebagian perairan Kawasan Tuah Sakti di Kecamatan Sagulung Paragraf 2 Sistem Jaringan Prasarana dan Sarana Pasal 19 Sistem jaringan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b meliputi: a. sistem jaringan transportasi laut, yang selanjutnya disebut jaringan J1; b. sistem jaringan drainase dan pengendalian banjir, yang selanjutnya disebut jaringan J2; 18

20 c. sistem jaringan tenaga listrik, yang selanjutnya disebut jaringan J3; dan d. sistem jaringan telekomunikasi, yang selanjutnya disebut jaringan J4. Pasal 20 Sistem jaringan J1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi: a. tatanan Kepelabuhanan Nasional; b. tatanan Kepelabuhanan Perikanan; dan c. pelabuhan Wisata. Pasal 21 (1) Tatanan kepelabuhanan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi: a. pelabuhan utama; b. pelabuhan pengumpul; dan c. pelabuhan pengumpan regional. (2) Pelabuhan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Pelabuhan Batu Ampar, Kec. Batu Ampar sebagai pusat pengembangan utama kawasan; (3) Pelabuhan pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Pelabuhan Pengumpul Sekupang, Kec. Sekupang; b. Pelabuhan Pengumpul Tanjung Berakit, Tanjung Pinang; c. Pelabuhan Pengumpul Sei Kolak; d. Pelabuhan Pengumpul Malarko; dan e. Pelabuhan Pengumpul Tanjung Balai Karimun. (4) Pelabuhan pengumpan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Pelabuhan Regional Teluk Senimba; dan b. Pelabuhan Regional Tanjung Uban. (5) Selain pelabuhan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelabuhan pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelabuhan pengumpan regional sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagaimana dimaksud, tatanan kepelabuhanan nasional di KSN BBK termasuk: a. Terminal Untuk Kepentingan Sendiri, yaitu: 19

21 1. terminal petikemas dan kargo di Pelabuhan Malarko; 2. pengembangan areal labuh jangkar di perairan Pulau Telang (Mantang), Pulau Pangkil (Teluk Bintan), perairan Tanjung Uban (Bintan Utara), dan perairan Teluk Sumpat Pengudang (Teluk Sebong) di Kabupaten Bintan; 3. pelabuhan khusus LANAL dan pelabuhan khusus lainnya yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (6) Tatanan kepelabuhanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran. Pasal 22 Tatanan kepelabuhanan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 terhubung oleh alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2). Pasal 23 (1) Tatanan Kepelabuhanan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b berupa pangkalan pendaratan ikan. (2) Pangkalan pendaratan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pangkalan Pendaratan Ikan Berakit b. Panglakan Pendaratan Ikan Tambelan c. Pangkalan Pendaratan Ikan Kawal d. Pangkalan Pendaratan Barek Motor e. Pangkalan Pendaratan Batu Duyung f. Pangkalan Pendaratan Dompak (3) Tatanan kepelabuhanan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pasal 24 (1) Pelabuhan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c merupakan pelabuhan wisata sebagai penunjang kegiatan wisata bahari. (2) Pelabuhan wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 20

22 a. pelabuhan wisata Trikora; b. pelabuhan wisata Lagoi; c. pelabuhan wisata Nongsa; dan d. pelabuhan wisata Sekupang. (3) Ketentuan mengenai Pelabuhan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepariwisataan dan pelayaran. Pasal 25 (1) Sistem jaringan J2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b ditetapkan untuk mengurangi bahaya banjir dan genangan air di kawasan permukiman, industri, perdagangan, perkantoran, dan jalan. (2) Sistem jaringan J2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. rehabilitasi hutan dan lahan serta penghijauan kawasan tangkapan air; b. penataan kawasan sempadan sungai dan anakanak sungainya; c. normalisasi sungai-sungai dan anak-anak sungainya; d. pengembangan waduk-waduk pengendali banjir dan pelestarian situ-situ serta daerah retensi air; e. pembangunan prasarana dan pengendali banjir; dan f. pembangunan prasarana drainase. (3) Penetapan sungai untuk penataan penataan kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan untuk normalisasi sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 (1) Sistem jaringan J3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c ditetapkan untuk: a. meningkatkan pelayanan jaringan tenaga listrik dalam pengembangan Kawasan BBK; b. mendukung pengembangan dan interkoneksi jaringan transmisi tenaga listrik; 21

23 c. meningkatkan pelayanan jaringan tenaga listrik di PPKT; dan d. penataan koridor pemasangan dan/atau penempatan kabel listrik bawah laut. (2) Penetapan sistem jaringan J3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kapasitas yang telah terpasang dan kebutuhan jangka panjang. (3) Sistem jaringan J3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhubung oleh alur kabel listrik bawah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (5). (4) Ketentuan mengenai sistem jaringan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 27 (1) Sistem jaringan J4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d ditetapkan untuk: a. mendukung pengembangan sistem jaringan telekomunikasi nasional; b. meningkatkan penyediaan dan jangkauan informasi di Kawasan BBK; dan c. penataan koridor pemasangan dan/atau penempatan kabel komunikasi bawah laut. (2) Penetapan sistem jaringan J4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kapasitas yang telah terpasang dan kebutuhan jangka panjang. (3) Sistem jaringan J4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhubung oleh alur kabel komunikasi bawah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (7). (4) Ketentuan mengenai sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 28 Rencana sistem jaringan prasarana dan sarana KSN BBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28 digambarkan dalam peta Struktur Ruang KSN Batam, Bintan dan Karimun dengan skala 1 : dan skala 1 : sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini. 22

24 BAB V RENCANA POLA RUANG Pasal 29 Rencana pola ruang ruang KSN BBK, terdiri atas: a. Kawasan Pemanfaatan Umum; b. Kawasan Konservasi; c. Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan; d. Alur Laut. Bagian Kesatu Kawasan Pemanfaatan Umum Pasal 30 Kawasan Pemanfaatan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, terdiri atas: a. Zona Pelabuhan yang selanjutnya disebut dengan zona P.L; b. Zona Bandar Udara yang selanjutnya disebut dengan zona P.U; c. Zona Pariwisata yang selanjutnya disebut dengan zona P.W; d. Zona Energi yang selanjutnya disebut dengan zona P.E; e. Zona Permukiman yang selanjutnya disebut dengan zona P.R; f. Zona Mangrove yang selanjutnya disebut dengan zona P.H; g. Zona Industri yang selanjutnya disebut dengan zona P.I; h. Zona Perikanan Budidaya yang selanjutnya disebut dengan zona P.B; i. Zona Pertambangan yang selanjutnya disebut dengan zona P.M; j. Zona Perikanan Tangkap yang selanjutnya disebut dengan zona P.T; k. Zona Pertahanan dan Keamanan yang selanjutnya disebut dengan zona P.K; l. Zona Pemanfaatan Lainnya yang selanjutnya disebut dengan zona P.X. 23

25 Pasal 31 (1) Zona P.L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, merupakan zon.a yang diperuntukkan bagi area pengembangan pelabuhan. (2) Zona P.L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. sub zona Pelabuhan Nasional, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.1; b. sub zona Pelabuhan Kargo, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.2; c. sub zona Pelabuhan Penyeberangan, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.3; d. sub zona Pelabuhan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.4. e. sub zona Pelabuhan Perikanan, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.5; f. sub zona Pelabuhan Wisata, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.6; dan (3) Sub Zona P.L.1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: a. area pengembangan pelabuhan utama, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.1.a; dan b. area pelabuhan pengumpan, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.L.1.b. (4) Sub Zona P.L.1.a sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berada pada Pelabuhan Batu Ampar, Kec. Batu Ampar (5) Sub Zona P.L.1.b sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri atas; a. Pelabuhan Sei Kolak Kijang b. Pelabuhan Tanjung Balai Karimun c. Pelabuhan Tanjung Pinang (6) Sub Zona P.L.2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Pelabuhan Malarko b. Pelabuhan Tanjung Geliga c. Pelabuhan Tanjung Batu Sawah d. Pelabuhan Tanjung Moco (7) Sub Zona P.L.3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas: a. Pelabuhan Kabil b. Pelabuhan Sekupang c. Pelabuhan Batam Center 24

26 d. Pelabuhan Harbour Bay e. Pelabuhan Telaga Punggur f. Pelabuhan Nongsa Pura (8) Sub Zona P.L.4 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas: Pulau Sambu, Tanjung Uban, Lagoi dan terminal khusus lainnya yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Sub Zona P.L.5 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e terdiri atas: PP Barelang, PP Telaga Punggur, PP Dompak, PP Kijang, PP Tanjung Balai Karimun, PP Moro yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (10) Sub Zona P.L.6 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f terdiri atas: Tanjung Uban, Sekupang, Tanjung Pinang yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 (1) Zona P.U sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b bertujuan sebagai pengembangan area bandar udara kearah perairan untuk tujuan mancanegara dan domestik. (2) Zona P.U sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. Bandara Tanjung Balai Karimun Raja Haji Abdullah; dan b. Bandara Desa Busung, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan Utara. Pasal 33 (1) Zona P.W sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c bertujuan sebagai pengembangan sentra kegiatan pariwisata bahari dan minat khusus. (2) Zona P.W sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berada pada: a. Kawasan Batam yang terdiri atas: Kelong, Tanjung Pinggir, Sekupang, Sembulang, Galang, Galang Baru, Putri, dan Pelampong. b. Kawasan Bintan yang terdiri atas: Trikora, Sakera, Lagoi, Teluk Bintan, Berakit dan Malang Berdaun. c. Kawasan Karimun yang terdiri atas: Pongkar Tebing, Pelalawan Meral Barat. 25

27 d. Kawasan Tanjung Pinang yang terdiri atas : Senggarang, dan Pulau Penyengat. Pasal 34 (1) Zona Energi (P.E) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d ditetapkan dalam rangka pengembangan, peningkatan kualitas dan pemantapan sistem jaringan energi yang meliputi minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik dan energi lainnya. (2) Zona energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada: a. Kota Batam : Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Kasem, PLTU Sembulang, PLTU Pulau Galang Baru, (PLTG) Panaran I, PLTG Panaran II, PLTG New 1 Kabil, PLTG Janda Berias, PLTG New 2 Tanjung Uncang, dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Tanjung Sengkuang; b. Kabupaten Bintan : PLTU Sei Lekop Kecamatan Bintan Timur dan PLTU Galang Batang Kecamatan Gunung Kijang; c. Kabupaten Karimun : PLTU Pangke Barat dan PLTU Parit Rampak dan PLTU Tanjung Sebatak; dan d. Pembangkit tenaga listrik lainnya yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 35 (1) Zona Permukiman (P.R) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf e ditetapkan dalam rangka pengembangan, peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Zona P.R sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada pesisir Batam, Bintan, Karimun, dan Pelampong. Pasal 36 (1) Zona Mangrove (P.H) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf f ditetapkan dalam rangka perlindungan ekositem mangrove. 26

28 (2) Zona P.H pada ayat (1) berada pada pesisir Pulau Batam, Bintan, Karimun, Pulau Malang Berdaun, Pulau Berakit, Pulau Putri dan Pulau Sentut. Pasal 37 (1) Zona Industri (P.I) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf g ditetapkan dalam rangka ditetapkan dengan fungsi utama pengembangan industri maritim skala sedang dan besar yang berorientasi ekspor dan domestik. (2) Zona P.I sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. sub zona industri maritim di perairan Tanjung Ucang Batam yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.I.1; b. sub zona industri maritim Pulau Pelampong, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.I.2; c. sub zona industri maritim di perairan Kecamatan Meral, Kecamatan Meral Barat dan Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.I.3; d. sub zona bioteknologi kelautan di perairan Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.I.4;dan; e. sub zona sentra perikanan di perairan sekitar PPI Dompak, Kabupaten Bintan, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.I.5. Pasal 38 (1) Zona Perikanan Budidaya (P.B) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf h ditetapkan dalam rangka pengembangan kegiatan budidaya perikanan. (2) Zona P.B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : selat Dempo, Selat Riau dan Selat Combol Pasal 39 (1) Zona Pertambangan (P.M) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf i ditetapkan dalam rangka penetapan dan pengembangan kawasan pertambangan. (2) Zona P.M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada : perairan sebelah barat Kabupaten Karimun dan sebagian selat Philip. 27

29 Pasal 40 (1) Zona Perikanan Tangkap (P.T) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf j ditetapkan dalam rangka pengembangan kegiatan perikanan tangkap. (2) Zona P.T sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada: perairan selat Combol, Selat Riau dan Selat Durian. Pasal 41 (1) Zona Pertahanan Keamanan (P.K) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf k ditetapkan dalam rangka menjaga kedaulatan dan keamanan Negara. (2) Zona P.K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Setokok, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.1; b. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Telup/Tolop, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.3; c. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Tokong Iyu Kecil, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.2; d. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Putri, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.4; e. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Berakit, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.5; f. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Malang Berdaun, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.6; g. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Sentut, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.7; h. sub zona pertahanan keamanan di sebagian perairan Pulau Pelampong, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.K.8; Pasal 42 Zona Pemanfaatan lainnya (P.X) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf l terdiri atas: 28

30 a. sub zona penenggelaman kapal di perairan sekitar Pulau Setokok, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.X.k; b. sub zona dumping di sebagian perairan Kota Batam, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.X.d; c. sub zona situs cagar budaya dan warisan sejarah sekitar perairan Teluk Bintan, perairan Tanjung Berakit, sebagian selat Singapura, perairan Pulau Berakit, perairan Pulau Malang Berdaun dan perairan Pulau Penyengat, yang selanjutnya disebut dengan Sub Zona P.X.s. Bagian Kedua Kawasan Konservasi Pasal 43 (1) Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b, terdiri atas: a. KKP yang selanjutnya disebut dengan Zona KK, dan b. Kawasan lindung lainnya, yang selanjutnya disebut dengan Zona K.L. (2) KKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. KKP di sekitar perairan Pulau Batam yang selanjutnya disebut kawasan K.K.1; dan b. KKP di sekitar perairan Pulau Bintan yang selanjutnya disebut kawasan K.K.2. (3) Kawasan Lindung Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas: a. Zona perlindungan dugong yang selanjutnya disebut Zona K.L.1; b. Zona perlindungan kuda laut yang selanjutnya disebut Zona K.L.2; c. Zona perlindungan paus/mamalia laut/lumbalumba yang selanjutnya disebut Zona K.L.3; d. Zona perlindungan hiu paus yang selanjutnya disebut Zona K.L.4; e. Zona perlindungan kima yang selanjutnya disebut Zona K.L.5; dan f. Zona perlindungan lola yang selanjutnya disebut Zona K.L.6; dan g. Zona perlindungan penyu yang selanjutnya disebut Zona K.L.7; dan 29

31 h. Zona perlindungan labi-labi yang selanjutnya disebut Zona K.L.8; dan i. Zona perlindungan teripang yang selanjutnya disebut Zona K.L.9; dan j. Zona perlindungan karang hias yang selanjutnya disebut Zona K.L.10; dan k. Zona perlindungan mangrove dan padang lamun yang selanjutnya disebut Zona K.L.11. (4) Zona K.L.1 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berada pada : perairan Pulau Sumpat, Desa Berakit, Desa Pengudang, Desa Busung, Kawal, Malang Rapat, Desa Air Klubi, perairan Bintan Timur, perairan Bintan Pesisir, perairan Pulau Malang Berdaun dan perairan Pulau Berakit. (5) Zona K.L.2 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berada pada : perairan Tanjunguban Utara, Sakera, Sebung Pereh, Sebung Lagoi, Senggarang, Pulau Mapur, Pulau Telang, Pulau Alang, Pulau Dendun, Pulau Lobam dan Pulau Teluk Sasah, dan Selat Penghujan. (6) Zona K.L.3 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c berada pada : perairan Pulau Dompak, Teluk Bakau, Tembeling, Pulau Mantang, Pulau Dendun, Pulau Numbing, Pulau Rupat, Desa Berakit, Desa Pengudang, Pulau Mapur, Pulau Berakit dan Pulau Malang Berdaun. (7) Zona K.L.4 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d berada pada : perairan Desa Berakit, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, perairan Malang Rapat, Teluk Bakau, dan perairan Pulau Mapur. (8) Zona K.L.5 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berada pada : perairan Kawal, Teluk Bakau, Malang Rapat, Pulau Beralas, Pulau Mapur, Pulau Numbing, Selat Bintan, dan Pulau Dendun. (9) Zona K.L.6 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f berada pada : perairan Pulau Beralas Pasir, Pantai Sakera, Pantai Teluk Sasah, Pulau Belalas Bakau, Pulau Mapur, Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau, dan Numbing. (10) Zona K.L.7 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g berada pada : perairan Pulau Payung, Pulau Nikoi, Pulau Sentut, Pulau Suko, Pulau Pangkil, Pulau Mapur, Pulau Penyusuk, Sebung 30

32 Lagoi, Senggiling, Pulau Merapas, Pulau Beralas Pasir, Tambelan, Tanjunguban Utara, dan Busung. (11) Zona K.L.8 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h berada pada : perairan muara sungai Desa Busung, Toapaya. (12) Zona K.L.9 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i berada pada : perairan Numbing, Pulau Mapur, Pulau Beralas Pasir, Pulau Merapas, Pulau Dendun, Perairan Senggarang, Pulau Dompak, dan Perairan Desa Madong. (13) Zona K.L.10 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf j berada pada : perairan Sebung Pereh, Tanjung Uban Utara, Selat Bintan, Teluk Bakau, Malang Rapat, Pulau Dendun, Pulau Alang, Pulau Mantang dan Pulau Mapur. (14) Zona K.L.11 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k berada pada : perairan Pulau Berakit dan Pulau Malang Berdaun. Bagian Ketiga Kawasan Strategis Nasional Tertentu Pasal 44 (1) Kawasan Strategis Nasional Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c yang selanjutnya disebut KSNT, terdiri atas: a. KSNT Pulau Putri; b. KSNT Pulau Batu Berantai; c. KSNT Pulau Pelampong; d. KSNT Pulau Sentut; e. KSNT Pulau Berakit; f. KSNT Pulau Malang Berdaun; g. KSNT Pulau Tokong Iyu Kecil; h. KSNT Pulau Karimun Kecil, i. KSNT Pulau Bintan; dan j. KSNT Pulau Nipa. (2) Ketentuan mengenai rencana pola ruang Pulau Bintan, Pulau Nipa dan Karimun Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, i, dan j dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 31

33 Pasal 45 Rencana Pola Ruang Wilayah Daratan KSN Batam Bintan dan Karimun terdiri dari: a. Kawasan lindung b. Kawasan budidaya Pasal 46 (1) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a ditetapkan dengan tujuan : a. Melindungi keberadaan resapan air; b. melindungi tempat bertelurnya penyu; c. melindungi habitat biota; dan d. melindungi ekosistem penting dari aktifitas di wilayah daratan pulau kecil. (2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. zona resapan air (Zona L.B); b. zona perlindungan setempat (Zona L.S); Pasal 47 (1) Zona Resapan Air (L.B) sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 ayat (2) huruf a terletak di pesisir Pulau Tokong Iyu Kecil, Pulau Pelampong dan Pulau Karimun Kecil. (2) Arahan pengembangan Zona Resapan Air (L.B) dimaksud pada ayat (1) meliputi pemertahanan tutupan vegetasi yang berakar kuat paling sedikit 80% (delapan puluh persen) dari luas zona. Pasal 48 (1) Zona perlindungan setempat (L.S) sebagaimana dimaksud pada Pasal 46 ayat (2) huruf b berada pada sempadan pantai Pulau Putri, Pulau Sentut, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, dan Pulau Karimun Anak. (2) Arahan pengembangan Zona Perlindungan Setempat (L.S) dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pembatasan pembangunan di sempadan pantai; b. penertiban bangunan berisiko terhadap bencana gelombang pasang yang telah ada dalam sempadan pantai secara bertahap; c. pelestarian ekosistem mangrove; d. rehabilitasi lokasi hutan bakau yang telah rusak atau telah habis masa pinjam pakainya; 32

34 e. pengendalian sarana dan prasarana wisata; f. pembangunan saluran air dan limbah; dan g. alokasi ruang untuk akses publik. h. pengamanan sarana dan prasarana objek vital. Pasal 49 (1) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b ditetapkan dengan tujuan : a. mengembangkan kegiatan pariwisata minat khusus, dan wisata bahari; b. membangun sarana bantu navigasi pelayaran; c. menjaga dan mengamankan posisi titik dasar untuk penentuan lebar laut teritorial; d. membangun pos jaga dalam rangka mempertahankan kedaulatan negara; dan/atau e. membangun sarana prasarana pedagangan, jasa, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan pengembangan energi. (2) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. zona wisata (Zona B.W); b. zona sarana bantu navigasi (Zona B.B); c. zona pertahanan keamanan (Zona B.A); d. zona perkantoran pemerintah (Zona B.K); e. zona pelayanan umum (Zona B.U); dan f. zona peruntukan khusus (Zona B.S) Pasal 50 (1) Zona B.W sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf a berupa area untuk penempatan: a. sarana dan prasarana pariwisata; b. fasilitas pendukung pariwisata. (2) Arahan pengembangan Zona B.W sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pengembangan aktivitas wisata yang ramah lingkungan; b. Pembangunan sarana dan prasarana wisata yang tidak mengganggu ekosistem perairan; c. Penggunaan bahan-bahan yang tidak mencemari lingkungan; d. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengurangi daya serap tanah 33

35 terhadap air dan kegiatan yang mengganggu fungsi ekosistem perairan. (3) Zona B.W sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Pulau Putri, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, Kawasan Kelong, Nongsa, Galang, Galang Baru, Lagoi, Pengujan, Kuala Sepempang, Trikora, Teluk Bintan, Pongkar, Pelalawan, Senggarang, Pulau Penyengat. Pasal 51 (1) Zona B.B sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf b berupa area untuk penempatan: a. Menara suar; dan b. Sarana pendukung navigasi lainnya. (2) Zona B.B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Pulau Karimun Kecil, Pulau Tokong Hiu Kecil, Pulau Batu Berantai, Pulau Putri. Pasal 52 (1) Zona B.A sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf c berupa area untuk penempatan: a. patok titik dasar dan titik referensi; b. pos Tentara Nasional Indonesia; c. barak prajurit; d. gudang amunisi; e. dermaga patroli; f. pembangkit listrik; dan g. fasilitas penyimpan bahan bakar dan air bersih; (2) Zona B.A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada sebagian Pulau Putri, Pulau Batu Berantai, Pulau Pelampong, Pulau Tokong Iyu Kecil, Pulau Sentut, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, Pulau Karimun Anak, Pulau Nipa, Pulau Setokok, Pulau Tolop, Tanjung Sengkuang, Kawasan Tuah Sakti Sagulung. Pasal 53 (1) Zona B.K sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf d berada di Pulau Putri, Pulau Iyu Kecil dan Pulau Pelampong. (2) Arahan pengembangan Zona B.K sebagaimana maksud pada ayat (1) meliputi: a. Prioritas pengembangan untuk pengembangan pusat perkantoran pemerintahan. 34

36 b. kewajiban untuk menyediakan prasarana pejalan kaki dan penyandang cacat; c. pengembangan tempat parkir di sekitar Zona B.K di luar badan jalan; d. pengembangan RTH privat di sekitar Zona B.K Pasal 54 (1) Zona B.U sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf e berupa sub zona sarana transportasi (Sub Zona B.U.t); (2) Zona B.U.t sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada di Pulau Putri, Pulau Iyu Kecil dan Pulau Pelampong. (3) Arahan pengembangan Zona B.U.t sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Prioritas pengembangan sarana untuk pelayanan kawasan budidaya; dan b. penempatan sarana sesuai dengan ketentuan jarak jangkau maksimum dari permukiman. Pasal 55 (1) Zona B.S sebagaimana dimaksud pada Pasal 49 ayat (2) huruf f berupa area untuk penempatan: a. kegiatan perdagangan dan jasa b. bongkar muat c. base Transciever Station telekomunikasi; d. pembangkit listrik; dan e. fasilitas penyimpan bahan pokok, bahan bakar dan air bersih (2) Zona B.S sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Pulau Nipa, Pulau Tokong Iyu Kecil, Pulau Karimun Kecil, dan Pulau Pelampong. Bagian Keempat Alur Laut Pasal 56 (1) Alur Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf d, terdiri atas: a. Alur Pelayaran, yang selanjutnya disebut dengan alur A.L; 35

37 b. Alur Pipa, yang selanjutnya disebut dengan alur A.P; c. Alur Kabel Bawah Laut, yang selanjutnya disebut dengan alur A.K; dan d. Alur Migrasi Biota yang selanjutnya disebut dengan alur A.B. (2) Alur A.L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas; a. Alur Pelayaran Internasional, yang selanjutnya disebut dengan alur A.L.1; dan b. Alur Pelayaran Nasional, yang selanjutnya disebut dengan alur A.L.2. (3) Alur A.L.1 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas: alur yang menghubungkan Terminal Batu Ampar, Terminal Sekupang, Pelabuhan Bintan Telani, Pelabuhan Bintan Lagoon, Pelabuhan Fery Terminal Berakit, Pelabuhan Bandar Sri Udana, Terminal Parit Rempak, dan Terminal Malarko dengan alur pelayaran internasional di Selat Malaka dan Selat Singapura (4) Alur A.L.2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: alur yang menghubungkan Terminal Kabil, Terminal Nongsa, Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pelabuhan Sei Kolak Kijang, Pelabuhan Seri Kuala Tanjung, Pelabuhan Sri Payung Batu Enam, Pelabuhan Terpadu Tanjung Geliga dan Pelabuhan Tanjung Mocho, dengan pelabuhan nasional lainnya;. (5) Alur A.P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, mencakup Alur Pipa Minyak dan Gas (A.P.m) dan Alur Pipa Air Bersih (A.P.a) (6) Alur A.K sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, terdiri atas: a. Alur Kabel Listrik, yang selanjutnya disebut dengan alur A.K.l; dan b. Alur Kabel Telekomunikasi, yang selanjutnya disebut dengan alur A.K.t. (7) Alur A.B sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d terdiri atas: a. alur migrasi penyu, yang selanjutnya disebut dengan alur A.B.1; dan b. alur migrasi mamalia laut, yang selanjutnya disebut dengan alur A.B.2. 36

38 Pasal 57 (1) Rencana pola ruang wilayah perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 58 digambarkan dalam peta rencana pola ruang wilayah perairan dengan skala 1: dan 1: yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (2) Rencana pola ruang wilayah daratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 55 digambarkan dalam peta rencana pola ruang wilayah perairan dengan skala 1:1000 yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (3) Rincian luas setiap zona dan sub zona dalam pola ruang wilayah KSN BBK dan daftar koordinat masingmasing zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 55, tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. BAB VI RENCANA PEMANFAATAN RUANG Pasal 58 (1) Rencana pemanfaatan ruang merupakan upaya perwujudan RZ KSN BBK yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama pemanfaatan ruang KSN BBK dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun perencanaan 20 (dua puluh) tahun. (2) Indikasi program utama pemanfaatan ruang KSN BBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. usulan program utama; b. lokasi program; c. sumber pendanaan; d. kementerian/pelaksana program; dan e. waktu dan tahapan pelaksanaan. Pasal 59 Usulan program utama dan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a dan huruf b, ditujukan untuk mewujudkan: a. rencana struktur ruang laut dan daratan, yang ditetapkan melalui penjabaran dan keterkaitan 37

39 kebijakan dan strategi pengelolaan KSN BBK dengan rencana struktur ruang laut. b. Rencana pola ruang laut dan daratan, yang ditetapkan melalui penjabaran dan keterkaitan kebijakan dan strategi pengelolaan KSN BBK dengan rencana pola ruang laut. Pasal 60 (1) Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c, dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang tidak mengikat. (2) Ketentuan mengenai sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 61 Kementerian/lembaga pelaksana program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. Pemerintah Pusat; b. Pemerintah Daerah; c. BUMD; d. BUMN; e. Instansi non pemerintah; f. Masyarakat; dan/atau g. swasta. Pasal 62 (1) Waktu dan tahapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf e, disusun berdasarkan prioritas dan kapasitas pendanaan yang ada dalam waktu 20 (dua puluh) tahun yang dibagi ke dalam jangka waktu lima tahunan dan tahunan. (2) Waktu pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 4 (empat) tahapan, yang meliputi: a. tahap pertama pada periode ; b. tahap kedua pada periode ; c. tahap ketiga pada periode ; dan d. tahap keempat pada periode (3) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan dasar bagi kementerian/lembaga 38

40 pelaksana program sebagimana dimaksud dalam Pasal 58 untuk menetapkan prioritas pembangunan pada KSN BBK. Pasal 63 Rincian indikasi program utama pemanfaatan ruang KSN BBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini. BAB VII PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG Bagian Kesatu Umum Pasal 64 (1) Pengendalian pemanfaatan ruang KSN BBK merupakan acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah perairan KSN BBK. (2) Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. peraturan pemanfaatan ruang; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan pemberian insentif; d. ketentuan pemberian disinsentif; dan e. arahan pengenaan sanksi. Bagian Kedua Peraturan Pemanfaatan Ruang Paragaraf 1 Umum Pasal 65 (1) Peraturan Pemanfatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan Kawasan, Zona, sub-zona, atau alur. (2) Peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: 39

41 a. Peraturan Pemanfaatan ruang untuk Struktur; b. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Pola Ruang Wilayah Perairan; dan, c. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Pola Ruang Wilayah Daratan; (3) Muatan peraturan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas: a. jenis kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat, dan kegiatan yang tidak diperbolehkan; b. intensitas pemanfaatan ruang; c. tata bangunan; d. prasarana minimal atau maksimal; e. standar teknis; dan/atau f. penanganan dampak. Paragraf 2 Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Struktur Ruang Laut Pasal 66 (1) Peraturan pemanfaatan ruang pada Struktur Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf a, terdiri atas: a. peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J1.1; b. peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J1.2; c. peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J2; d. peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J3; e. peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J4; (2) Peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J1.1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pembangunan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan revitalisasi dermaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan; 2. penempatan dan/atau pemasangan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; 40

42 3. pemeliharaan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran; 4. pemeliharan lebar dan kedalaman alur; 5. penyelenggaraan kenavigasian pada alurpelayaran; dan/atau 6. pembatasan kecepatan kapal yang bernavigasi pada alur pelayaran dan perlintasan yang berdekatan dengan alur migrasi biota dan/atau melintasi kawasan konservasi; 7. pelaksanaan hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang tidak mengganggu fungsi jaringan J1; dan c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan yang mengganggu dan/atau merusak fungsi fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan; 2. kegiatan yang mengganggu dan/atau merusak Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; 3. pendirian, penempatan dan/atau pembongkaran Bangunan atau instalasi di laut yang mengganggu alur-pelayaran; 4. kegiatan yang mengganggu ruang udara bebas di atas perairan dan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran; dan/atau 5. kegiatan lain yang mengganggu fungsi jaringan J1. (3) Peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J1.2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan mengikuti ketentuan ruang milik jalan, ruang manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jalan; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi: a. pembangunan sarana kelengkapan jalan penghubung; b. penanaman pohon; dan/atau 41

43 c. pembangunan fasilitas pendukung jalan lainnya yang tidak mengganggu kelancaran lalu lintas dan keselamatan pengguna jalan; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: pemanfaatan ruang milik jalan, ruang manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan yang mengakibatkan terganggunya kelancaran lalu lintas dan keselamatan pengguna jalan; dan d. pemanfaatan ruang milik jalan pada ruang sejalur tanah tertentu dengan KDH paling rendah 30% (tiga puluh persen). (4) Peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan pembangunan prasarana sistem jaringan drainase dalam rangka mengurangi genangan air, mendukung pengendalian banjir; dan 2. kegiatan pembangunan prasarana pendukung sistem jaringan drainase; 3. kegiatan pengembangan, operasi, dan pemeliharaan sistem jaringan drainase dan prasarana penunjangnya; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain dimaksud pada huruf a yang tidak mengganggu fungsi sistem jaringan drainase; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan kegiatan lain yang mengganggu fungsi sistem jaringan drainase; d. optimalisasi aliran air hujan dalam rangka mengendalikan sistem aliran air hujan agar mudah melewati gorong-gorong, pertemuan saluran, dan tali air (street inlet); e. pengelolaan sedimen melalui kegiatan pengerukan, pengangkutan dan pembuangan sedimen secara aman untuk memperlancar saluran drainase; f. pemeliharaan dan pengembangan jaringan drainase dilakukan selaras dengan pemeliharaan dan pengembangan ruang milik jalan; g. prasarana dan sarana minimum untuk sistem jaringan drainase meliputi jalan khusus untuk akses pemeliharaan, serta alat penjaring sampah; 42

44 dan h. ketentuan khusus untuk sistem jaringan drainase berupa pemeliharaan dan pengembangan jaringan drainase dilakukan selaras dengan pemeliharaan dan pengembangan ruang milik jalan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perauran perundang-undangan. (5) Peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pembangunan stasiun pengisian bahan bakar minyak; 2. pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga diesel, pembangkit listrik tenaga energi baru dan energi terbarukan; 3. kegiatan penghijauan; 4. kegiatan operasional dan kegiatan penunjang pembangkit tenaga listrik; dan/atau 5. penyediaan ruang penyangga atau jarak aman di sekitar pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik tenaga diesel, pembangkit listrik tenaga energi baru dan energi terbarukan; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang membahayakan instalasi pembangkit tenaga listrik serta mengganggu fungsi pembangkit tenaga listrik; c. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang aman bagi instalasi pembangkit tenaga listrik serta tidak mengganggu fungsi pembangkit tenaga listrik; dan d. pembangunan jaringan transmisi tenaga listrik untuk pembangkit listrik yang dibangun dengan konfigurasi mengikuti sistem jaringan jalan menggunakan sistem jaringan bawah tanah mengikuti jaringan jalan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (6) Peraturan pemanfaatan ruang untuk jaringan J4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan operasional dan kegiatan penunjang sistem 43

45 jaringan telekomunikasi, navigasi dan radar; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a yang aman bagi sistem jaringan telekomunikasi dan tidak mengganggu fungsi sistem jaringan navigasi; dan system radar; dan, c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang membahayakan sistem jaringan telekomunikasi dan mengganggu fungsi sistem jaringan navigasi, dan jaringan radar. Paragraf 3 Peraturan Pemanfaatan Ruang Untuk Pola Ruang Laut Pasal 67 Peraturan pemanfaatan ruang pada Pola Ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf b, terdiri atas: a. peraturan pemanfaatan ruang untuk kawasan pemanfaatan umum; b. peraturan pemanfaatan ruang untuk kawasan konservasi; dan c. peraturan pemanfaatan ruang untuk alur laut. Pasal 68 Peraturan pemanfaatan ruang untuk kawasan pemanfaatan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, terdiri atas: a. peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.1.a; b. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.1.b; c. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.2; d. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.3; e. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.4; f. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.5; g. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.L.6; h. Peraturan pemanfaatan ruang untuk zona P.U; i. Peraturan pemanfaatan ruang untuk zona P.W; j. Peraturan pemanfaatan ruang untuk zona sub P.E; k. Peraturan pemanfaatan ruang untuk zona sub P.R; l. Peraturan pemanfaatan ruang untuk zona P.H; m. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.1; 44

46 n. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.2; o. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.3; p. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.4; q. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.5; r. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.I.6; s. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.B. t. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.M u. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.T v. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.1; w. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.2; x. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.3; y. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.4; z. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.5; aa. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.6; bb. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.7; cc. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.K.8; dd. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.X.k; ee. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.X.d; ff. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona P.X.s; Pasal 69 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.L.1.a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a, Sub Zona P.L.1.b, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf b, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan pada Sub Zona P.L.1.a dan Sub Zona P.L.1.b meliputi: 1. Kegiatan bongkar muat kapal penumpang skala internasional dan nasional; 2. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3. penyediaan fasilitas sandar kapal, penyediaan perairan tempat labuh; 4. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 5. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 6. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 7. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 8. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 9. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 45

47 10. kegiatan kepelabuhanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan pada Sub Zona P.L.1.a dan Sub Zona P.L.1.b meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan; c. kegiatan yang diperbolehkan pada Sub Zona P.L.1.a dan Sub Zona P.L.1.b setelah mendapatkan izin meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu kegiatan di area pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan; d. prasarana dan sarana minimum untuk area pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan meliputi pembangunan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan/atau dermaga; dan e. ketentuan khusus untuk area pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan. Pasal 70 (1) Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk sub zona P.L.2. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf c, terdiri atas: a. kegiatan yang boleh dilakukan pada Sub Zona P.L.2 meliputi: 1. kegiatan bongkar muat kapal kargo; 2. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3. penyediaan fasilitas sandar kapal, penyediaan perairan tempat labuh; 4. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 5. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 6. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 7. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 8. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 9. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 46

48 10. kegiatan kepelabuhanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran. b. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada Zona P.L.2 meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi Zona P.L.2 c. Kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin pada Zona P.L.2 adalah: a. penelitian dan pendidikan; dan b. monitoring dan evaluasi. d. Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan pemanfaatan ruang pada Zona P.L.2 berupa fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan/atau dermaga. e. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur sesuai dengan peraturan pengelolaan Pelabuhan. Pasal 71 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.L.3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf d, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. Kegiatan bongkar muat kapal penumpang; 2. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3. penyediaan fasilitas sandar kapal, penyediaan perairan tempat labuh; 4. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 5. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 6. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 7. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 8. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 9. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 10. kegiatan kepelabuhanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi pelabuhan penyeberangan; 47

49 c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu kegiatan di area pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan; d. prasarana dan sarana minimum untuk area pelabuhan penyeberangan meliputi pembangunan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan/atau dermaga; dan e. ketentuan khusus untuk area pelabuhan penyeberangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan. Pasal 72 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.L.4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf e, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan pada sub zona P.L.4 meliputi: 1. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 2. penyediaan fasilitas sandar kapal, penyediaan perairan tempat labuh; 3. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 4. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 5. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 6. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 7. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 8. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 9. kegiatan kepelabuhanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan pada sub zona P.L.4 meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi pelabuhan khusus; c. kegiatan yang diperbolehkan pada sub zona P.L.4 setelah mendapatkan izin meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu kegiatan di area pelabuhan khusus; d. prasarana dan sarana minimum untuk area pelabuhan khusus meliputi pembangunan fasilitas 48

50 pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan/atau dermaga; dan e. ketentuan khusus untuk area pelabuhan khusus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang kepelabuhanan. Pasal 73 Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk sub zona P.L.5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf e, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan pada sub zona P.L.5 meliputi: 1. kegiatan bongkar muat kapal perikanan; 2. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3. penyediaan fasilitas sandar kapal perikanan, penyediaan perairan tempat labuh; 4. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal perikanan; 5. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 6. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal perikanan; 7. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 8. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 9. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 10. kegiatan kepelabuhanan perikanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepelabuhanan dan/atau kepelabuhanan perikanan. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan pada sub zona P.L.5 meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi pelabuhan perikanan; c. kegiatan yang diperbolehkan pada sub zona P.L.5 setelah mendapatkan izin meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; 2. monitoring dan evaluasi; dan/atau 3. kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu kegiatan di area pelabuhan perikanan. 49

51 d. prasarana dan sarana minimum untuk area pelabuhan perikanan meliputi pembangunan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan perikanan; dan e. ketentuan khusus untuk area pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang kepelabuhanan perikanan. Pasal 74 Zona P.L.6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat huruf g terdiri atas: a. Kegiatan yang boleh dilakukan pada Zona P.L.6 adalah: 1. Kegiatan bongkar muat kapal wisata; 2. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3. penyediaan fasilitas sandar kapal, penyediaan perairan tempat labuh; 4. penyediaan kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal; 5. pengembangan pelabuhan jangka panjang, 6. penyediaan fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; 7. pengalokasian ruang perairan untuk keperluan darurat; 8. pengalokasian ruang perairan tempat labuh jangkar; 9. pengalokasian ruang perairan pandu; dan/atau 10. kegiatan kepelabuhanan dan/atau kenavigasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran. b. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada Zona P.L.6 meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi Zona P.L.6 c. Kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin pada Zona P.L.6 adalah: a. penelitian dan pendidikan; b. monitoring dan evaluasi. d. Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan pemanfaatan ruang pada Zona P.L.6 berupa fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan dan/atau dermaga. e. Ketentuan khusus untuk area pelabuhan wisata diatur sesuai dengan peraturan pengelolaan lebih lanjut. 50

52 Pasal 75 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona P.U sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 huruf h terdiri atas: a. Kegiatan yang diperbolehkan di Zona P.U antara lain: 1. pengamanan terhadap ruang udara untuk penerbangan yang berupa ruang udara di atas bandar udara, ruang udara di sekitar bandar udara, dan ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur penerbangan; 2. pengembangan Bandar udara dengan reklamasi; 3. pemanfaatan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara; 4. kegiatan operasional kebandarudaraan; 5. kegiatan penunjang pelayanan jasa kebandarudaraan; 6. kegiatan penunjang keselamatan operasi penerbangan; 7. kegiatan pengembangan bandar udara; 8. kegiatan pelayanan kepabeanan; dan/atau 9. karantina, imigrasi, dan keamanan; b. Kegiatan yang tidak diperbolehkan pada Zona P.U antara lain: 1. Kegiatan yang membahayakan keamanan dan keselamatan operasional penerbangan; 2. Membuat halangan; dan/atau 3. Kegiatan lain yang mengganggu fungsi bandar udara; c. Kegiatan yang diperbolehkan pada Zona P.U dengan syarat meliputi pemanfaatan tanah dan/atau perairan serta ruang udara di sekitar bandar udara serta kegiatan lain yang tidak mengganggu keselamatan operasi penerbangan dan fungsi bandar udara; dan d. Prasarana dan sarana minimum untuk kawasan peruntukan bandar udara di dalam daerah lingkungan kerja bandar udara yang meliputi fasilitas pokok dan fasilitas penunjang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 76 Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk zona P.W sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf i terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 51

53 1. penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang tidak berdampak pada kerusakan lingkungan; dan 2. kegiatan penangkapan ikan dengan alat pancing tangan pada saat tidak ada kegiatan pariwisata. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan perikanan budidaya; 2. kegiatan penangkapan ikan pada saat berlangsung kegiatan pariwisata; 3. kegiatan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat statis dan pasif; 4. penangkapan ikan dengan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, 5. penangkapan ikan dengan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 6. pembuangan sampah dan limbah; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi penelitian dan pendidikan; d. prasarana dan sarana minimum untuk zona pariwisata meliputi: 1. akses terhadap pantai sebagai ruang terbuka untuk umum; 2. tim Search and Rescue. 3. fasilitas dan infrastruktur pendukung kegiatan wisata, yang berupa tempat parkir, tanda batas zona, tempat tambat kapal/perahu dan fasilitas umum lainnya. e. ketentuan khusus untuk zona pariwisata meliputi: 1. pengendalian kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan di daratan maupun perairan; dan 2. penyelenggaraan mitigasi bencana. Pasal 77 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona P.E. sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 huruf j terdiri atas: a. Kegiatan yang boleh dilakukan di Zona P.E. adalah kegiatan pemanfaatan energi listrik tenaga uap dan gas yang menggunakan teknologi ramah lingkungan. b. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada zona P.E meliputi: 1. kegiatan yang mengganggu fungsi Zona P.E. 52

54 2. kegiatan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat statis dan pasif; 3. kegiatan perikanan budidaya; 4. kegiatan pariwisata bahari; 5. kegiatan permukiman; dan 6. perdagangan dan jasa; c. Kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di Zona P.E adalah: 1. penelitian dan pendidikan; 2. monitoring dan evaluasi. Pasal 78 Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk zona P.R sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf k terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. penyediaan sarana dan prasarana yang tidak berdampak pada kerusakan lingkungan; dan 2. kegiatan penangkapan ikan dengan alat pancing tangan. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. pembuangan sampah di pesisir dan laut; 2. pembuangan limbah cair domestic langsung ke perairan; 3. penangkapan ikan dengan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, 4. penangkapan ikan dengan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi penelitian dan pendidikan; d. prasarana dan sarana minimum untuk zona pemukiman meliputi: 1. akses terhadap pantai sebagai ruang terbuka untuk umum; 2. tim Search and Rescue. 3. fasilitas dan infrastruktur pendukung pemukiman masyarakat hukum adat yang berupa tempat parkir, tanda batas zona, tempat tambat kapal/perahu dan fasilitas umum lainnya. e. ketentuan khusus untuk zona pemukiman meliputi: 53

55 1. zona pemukiman dikhususkan bagi masyarakat hukum adat; 2. pengendalian kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan di daratan maupun perairan; dan 3. penyelenggaraan mitigasi bencana. Pasal 79 Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk zona P.H sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf l terdiri atas: a. kegiatan yang boleh dilakukan di Zona P.H antara lain: 1. upaya perlindungan ekosistem mangrove; 2. penanaman mangrove sesuai dengan jenis dan karakteristiknya; 3. pemanfaatan ekosistem mangrove untuk kepentingan pariwisata, penelitian, pengembangan dan/atau pendidikan; 4. pengendalian hama dan penyakit magrove; 5. monitoring dan evaluasi pelestarian ekosistem mangrove; 6. pengembangan perikanan silvofishery yang sesuai dengan daya dukung ekosistem mangrove; 7. penangkapan ikan dengan cara ramah lingkungan; dan 8. rehabilitasi ekosistem mangrove. b. kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Zona P.H adalah: 1. kegiatan yang merusak ekosistem mangrove; 2. penebangan mangrove; 3. pemanfaatan mangrove yang bersifat merusak; 4. penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem mangrove; dan 5. pembuangan sampah dan limbah. c. ketentuan khusus untuk mendukung upaya konservasi di Zona P.H dapat dibentuk kelembagaan pengelola kawasan dan pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan. 54

56 Pasal 80 Peraturan pemanfaatan ruang untuk untuk sub zona P.I.1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf m, sub zona P.I.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf n, sub zona P.I.3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf o, sub zona P.I.4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf p, sub zona P.I.5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf q, sub zona P.I.6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf r terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pengusahaan Sumber Daya Kelautan melalui pengelolaan dan pengembangan industri kelautan; 2. pelaksanaan kegiatan industri kelautan yang tidak menganggu fungsi penyediaan tenaga listrik, keberadaan muara sungai, kegiatan di Alur Pelayaran; 3. pelaksanaan kegiatan industri kelautan yang tidak menyebabkan abrasi pantai; 4. penyediaan tempat untuk aktifitas ekonomi masyarakat lokal; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan industri yang mencemari lingkungan; 2. kegiatan industri yang menggunakan air tanah secara berlebihan; 3. kegiatan industri yang mengganggu atau merusak fungsi lingkungan hidup, perumahan dan permukiman, pariwisata, bangunan gedung, sumber daya air, dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; dan 4. larangan membangun struktur keras di kanal baik vertikal yang memisahkan antara pulau-pulau buatan hasil reklamasi dan di kanal horizontal yang memisahkan antara pulau-pulau buatan hasil reklamasi dengan daratan pesisir untuk menjamin akses nelayan dan sirkulasi air dan transpor sedimen; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi penyelenggaraan reklamasi dengan membangun kanal pemisah antar pulau buatan; d. ketentuan khusus untuk zona industri meliputi: 1. lebar kanal vertikal dan horizontal tidak boleh kurang dari 400 meter; dan 55

57 2. penyelenggaraan reklamasi secara bertahap dengan tetap memperhatikan fungsinya dengan mempertimbangkan sirkulasi air, transpor sedimen, keberadaan tanggul laut, akses nelayan, ekosistem pesisir, dan pola evolusi garis pantai. Pasal 81 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona P.B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf s terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan pada Zona P.B. meliputi: 1. kegiatan perikanan budidaya yang menghindari areal terumbu karang; 2. kegiatan perikanan budidaya dengan metode, alat dan teknologi yang tidak merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 3. kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan pancing. b. Kegiatan yang tidak diperbolehkan pada Zona P.B meliputi: 1. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta terumbu karang buatan; 2. penangkapan ikan dengan alat menetap dan/atau bergerak yang mengganggu kegiatan budidaya laut; 3. penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 4. pembuangan sampah dan limbah. c. Kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin pada Zona P.B meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; 2. pengembangan pariwista dan rekreasi; dan 3. monitoring dan evaluasi. d. Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan pemanfaatan ruang pada Zona P.B adalah: 1. koefisien pemanfaatan perairan untuk budidaya KJA Offshore adalah 80%, dimana terdapat ruang sebesar 20% untuk alur-alur/lalu lintas perahu yang mendukung kegiatan budidaya; dan 56

58 2. prasarana budidaya KJA Offshore tidak bersifat permanen. e. Ketentuan khusus pada Zona P.B meliputi: 1. kegiatan pembudidayaan harus menghindari areal terumbu karang; dan 2. pengembangan budidaya KJA Offshore disertai dengan kegiatan pengembangan/peremajaan bibit. Pasal 82 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona P.M sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf t terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir minyak bumi yang memperhatikan kelestarian lingkungan; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan yang mengganggu pelaksanaan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir minyak bumi; 2. kegiatan perikanan budidaya; dan 3. kegiatan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat statis dan pasif; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; dan 2. monitoring dan evaluasi. Pasal 83 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona P.T sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf u terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. penangkapan ikan yang tidak melebihi potensi lestari atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB); 2. penggunaan alat tangkap dan ukuran kapal yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan peralatan yang ramah lingkungan; dan 57

59 4. kegiatan penangkapan ikan yang mempertimbangkan perlindungan habitat dan populasi ikan. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan atau bahan peledak, bahan beracun; 2. penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 3. pembuangan sampah dan limbah; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; 2. pemasangan rumah ikan dan terumbu karang buatan; 3. pariwisata dan rekreasi; dan 4. monitoring dan evaluasi. Pasal 84 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.K.1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf v, Sub Zona P.K.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf w, Sub Zona P.K.3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf x, Sub Zona P.K.4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf y, Sub Zona P.K.5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf z, Sub Zona P.K.6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf aa, Sub Zona P.K.7 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf bb, Sub Zona P.K.8 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf cc, terdiri atas: a. kegiatan yang boleh dilakukan meliputi: 1. pengembangan fungsi zona pertahanan dan keamanan sebagai pendukung kedaulatan Negara; 2. kegiatan perikanan tangkap dan kegiatan wisata bahari diluar waktu pelaksanaan kegiatan latihan militer 3. kegiatan pemanfaatan alur pelayaran; dan 4. pemasangan dan/atau penempatan pipa atau kabel bawah laut; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi zona pertahanan keamanan; 58

60 c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. kegiatan wisata bahari; 2. penelitian dan pendidikan; dan 3. monitoring dan evaluasi; d. ketentuan khusus untuk sub zona P.K meliputi: 1. penggunaan untuk kegiatan militer; 2. penggunaan untuk daerah latihan militer; 3. penggunaan untuk pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya 4. pelaksanaan kegiatan penyimpanan amunisi; dan 5. sebagai daerah uji coba sistem persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pertahanan. Pasal 85 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.X.k sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf dd, terdiri atas: a. kegiatan yang boleh dilakukan meliputi: 1. penenggelaman kapal asing yang terbukti melakukan kegiatan penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur di Wilayah Perairan dan di wilayah Yurisdiksi Indonesia. 2. Penempatan sementara kapal asing yang melakukan kegiatan illegal sebelum dilakukan penenggelaman sesuai dengan undang-undang. 3. kegiatan yang diperuntukkan sebagai daerah latihan militer 4. kegiatan pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya 5. merupakan daerah uji coba sistem persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pertahanan. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengganggu pelaksanaan kegiatan penenggelaman kapal; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; dan 2. monitoring dan evaluasi. 59

61 Pasal 86 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.X.d sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf ee, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan pengerukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. pemanfaatan alur pelayaran; 2. kegiatan konservasi; 3. kegiatan pariwisata bahari; 4. kegiatan penangkapan ikan; 5. kegiatan pembudidayaan ikan; 6. kegiatan permukiman; dan 7. kegiatan pemanfaatan ruang perairan lain yang rentan terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. penelitian dan pendidikan; dan 2. monitoring dan evaluasi. Pasal 87 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Sub Zona P.X.s sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf ff, terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi kegiatan pariwisata yang mendukung kelestarian situs warisan sejarah; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. pemanfaatan alur pelayaran; 2. kegiatan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat statis dan pasif; 3. kegiatan pembudidayaan ikan; dan 4. kegiatan pemanfaatan ruang perairan untuk permukiman; c. kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin meliputi: 60

62 1. kegiatan salvage; 2. penelitian dan pendidikan; dan 3. monitoring dan evaluasi. Paragraf 2 Peraturan Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Pasal 88 Peraturan pemanfaatan ruang untuk kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, terdiri atas: a. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.K.1; b. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.K.2; c. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.1; d. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.2; e. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.3; f. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.4; g. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.5; h. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.6; i. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.7; j. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.8; k. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.9; l. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.10; m. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona K.L.11; Pasal 89 Peraturan pemanfaatan ruang Sub Zona K.K.1 sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf a, Sub Zona K.K.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf b terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut; 2. perlindungan ekosistem pesisir dan laut yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; 3. perlindungan situs budaya/adat tradisional; 4. penelitian, pengembangan dan/atau pendidikan; dan 61

63 5. pembangunan infrastruktur/sarana prasarana kawasan konservasi. b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan potensi kawasan dan perubahan fungsi kawasan konservasi; 2. kegiatan yang dapat mengganggu pengelolaan jenis sumber daya ikan beserta habitatnya untuk menghasilkan keseimbangan antara populasi dan habitatnya; 3. kegiatan yang dapat mengganggu alur migrasi biota laut dan pemulihan ekosistemnya; 4. penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di kawasan konservasi; 5. penambangan mineral dan batu bara; 6. pengambilan terumbu karang di kawasan konservasi; dan 7. pembuangan sampah dan limbah. c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi kegiatan: 1. penelitian dan pengembangan; 2. pendidikan; 3. wisata alam bentang laut; 4. wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil; 5. wisata alam bawah laut; 6. wisata budaya; 7. pelabuhan; 8. penangkapan ikan; 9. pembudidayaan ikan; 10. industri biofamakologi; 11. industri bioteknologi; 12. kegiatan pembangunan sarana pembangkit energi; dan/atau 13. fasilitas umum d. prasarana dan sarana minimum untuk K.K.1 dan K.K.2 meliputi: 1. fasilitas untuk aksesibilitas K.K.1 dan K.K.2; 2. sarana dan prasarana pengelolaan K.K.1 dan K.K.2; 3. sarana dan prasarana pelayanan; dan 62

64 4. sarana dan prasarana komunikasi dan informasi; e. ketentuan khusus untuk K.K.1 dan K.K.2 meliputi : 1. desain dan tata letak sarana di kawasan konservasi harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memadukan antara fungsi konservasi, edukasi, wisata dan ekonomi; 2. penggunaan kapal, alat penangkap ikan, dan alat bantu penangkapan ikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. pelaksanaan kegiatan perikanan budidaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 90 Peraturan pemanfaatan ruang Sub Zona K.L.1 sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf c, Sub Zona K.L.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf d, Sub Zona K.L.3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 huruf e, Sub Zona K.L.4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf f, Sub Zona K.L.5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf g, Sub Zona K.L.6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf h, Sub Zona K.L.7 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf i, Sub Zona K.L.8 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 huruf j, Sub Zona K.L.9 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf k, Sub Zona K.L.10 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf l terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. perlindungan ekosistem pesisir dan laut yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; 2. perlindungan habitat dan populasi ikan, serta laur migrasi biota laut; 3. penelitian, pengembangan dan/atau pendidikan; 4. perlindungan vegetasi pantai; 5. penangkapan ikan skala kecil dengan alat bergerak; dan 6. pariwisata dan rekreasi yang diperbolehkan sesuai zonasi kawasan konservasi; 7. rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan lamun. b. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan di Kawasan K.K adalah: 63

65 1. penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 2. semua jenis kegiatan penambangan; 3. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang; dan 4. pembuangan sampah dan limbah. c. Kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi; 1. penelitian dan pendidikan; 2. monitoring dan evaluasi; dan 3. pariwisata dan rekreasi terbatas. d. prasarana dan sarana minimum untuk Zona K.K meliputi: 1. pemasangan tanda batas kawasan yang mudah dikenali dengan bahan, bentuk dan warna sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 2. pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. ketentuan khusus untuk Zona K.K meliputi pengendalian kegiatan yang berpotensi merusak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 91 Peraturan pemanfaatan ruang Sub Zona K.L.11 sebagaimana dimaksud pada Pasal 88 huruf m terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. perlindungan ekosistem pesisir dan laut yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; 2. Upaya perlindungan ekosistem mangrove; 3. Penanaman mangrove sesuai dengan jenis dan karakteristiknya; 64

66 4. Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk kepentingan pariwisata, penelitian, pengembangan dan/atau pendidikan; 5. Pengendalian hama dan penyakit magrove; 6. Monitoring dan evaluasi pelestarian ekosistem mangrove; 7. penangkapan ikan skala kecil dengan alat bergerak; dan 8. pariwisata dan rekreasi yang diperbolehkan sesuai zonasi kawasan konservasi; 9. rehabilitasi mangrove, terumbu karang, dan lamun. b. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah: 1. penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; 2. semua jenis kegiatan penambangan; 3. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang; dan 4. pembuangan sampah dan limbah. c. Kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi; 1. penelitian dan pendidikan; 2. monitoring dan evaluasi; dan 3. pariwisata dan rekreasi terbatas. d. prasarana dan sarana minimum meliputi: 1. pemasangan tanda batas kawasan yang mudah dikenali dengan bahan, bentuk dan warna sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 2. pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. ketentuan khusus meliputi pengendalian kegiatan yang berpotensi merusak kawsan mangrove sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 65

67 Paragraf 3 Peraturan Pemanfaatan Ruang Alur Laut Pasal 92 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Alur Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c, terdiri atas: a. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.L,1; b. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.L.2; c. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.P.m; d. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.P.a; e. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.K.l; f. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.K.t; g. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.B.1; dan h. Peraturan pemanfaatan ruang untuk sub zona A.B.2. Pasal 93 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Alur A.L.1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a, Alur A.L.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf b meliputi: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. lalu lintas kapal dari dan/atau menuju pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, atau pelabuhan pengumpan; 2. pengerukan alur pelayaran; dan 3. pemanfaatan alur pelayaran oleh masyarakat lokal dan masyarakat tradisional b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan yang mengganggu fungsi Alur A.L. 2. pembangunan permukiman; 3. wisata bawah laut; 4. wisata olahraga air 5. perikanan budidaya; dan 6. penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat statis; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 66

68 1. kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang tidak mengganggu fungsi alur A.L. 2. kegiatan pariwisata; 3. kegiatan pertambangan mineral; dan 4. kegiatan pertambangan pasir laut; d. prasarana dan sarana minimum untuk Alur A.L. meliputi: 1. pemasangan sarana bantu navigasi pelayaran; dan 2. pemasangan sarana telekomunikasi pelayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; e. ketentuan khusus untuk Alur A.L meliputi pemanfaatan Alur A.L untuk mendukung alur pelayaran nelayan, alur pelayaran wisata, dan alur pelayaran khusus lain dengan mempertimbangkan penyelenggaraan kenavigasian dan keselamatan pelayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 94 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Alur A.P.m sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf c, Alur A.P.a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf d, A.K.l sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e, A.K.t sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf f, meliputi: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan di kolom dan di permukaan laut yaitu: a) kegiatan penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang bersifat dinamis; b) kegiatan pembudidayaan ikan; dan c) kegiatan pariwisata bahari; 2. kegiatan di permukaan laut, yaitu pelaksanaan konservasi; b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan yang dapat mengganggu fungsi Alur A.P.m, alur A.P.l, A.K.l dan alur A.K.t; 2. pertambangan mineral; 3. kegiatan pengkapan ikan demersal dengan alat penangkapan ikan bergerak atau ditarik; dan 4. pemasangan alat bantu penangkapan ikan statis; 67

69 c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin meliputi: 1. wisata bawah air; 2. perikanan budidaya; dan 3. pendirian dan/atau penempatan bangunan dan instalasi di laut di sekitar kabel atau pipa bawah laut; 4. perbaikan dan/atau perawatan kabel atau pipa bawah laut; d. prasarana dan sarana minimum untuk Alur A.P.m, alur A.P.l, dan alur A.K.t meliputi: 1. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; dan 2. penetapan Zona keamanan dan keselamatan di sekitar Alur A.P.m, alur A.P.l, alur A.K.l dan alur A.K.t; e. ketentuan khusus untuk Alur A.P.m, alur A.P.l, dan alur A.K.t meliputi: 1. pemeriksaan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa transmisi, distribusi dan pipa hulu yang terdapat di dasar laut terutama pada lokasilokasi yang potensial untuk terjadinya kegagalan struktur pipa, jalur pipa yang melewati lokasi tempat labuh kapal, jalur pipa yang melewati lokasi penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang dan jalur pipa yang melewati lokasi-lokasi di alur pelayaran 2. pemeriksaan dilakukan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa untuk mendeteksi adanya korosi, kebocoran pipa, pipa retak dan pertumbuhan teritip; 3. pencegahan terjadinya kegagalan struktur pada sistem perpipaan; 4. penempatan, pemendaman, dan penandaan pipa atau kabel laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 5. kewajiban pemendaman sedalam 4 (empat) meter di bawah permukaan dasar laut untuk pemasangan pipa atau kabel bawah laut yang berada pada Alur pelayaran dengan kedalaman laut kurang dari 20 (dua puluh) meter; 6. memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan; dan 7. memperhatikan koridor pemasangan kabel atau pipa bawah laut. 68

70 Pasal 95 Peraturan pemanfaatan ruang untuk Alur A.B.1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf g dan Alur A.B.2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf h meliputi: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan penelitian dan pendidikan; 2. kegiatan penelitian yang tidak mengganggu keberlangsungan hidup penyu dan mamalia laut; 3. lalu lintas kapal dengan menurunkan kecepatan kapal yang dapat mengganggu jalur biota laut; 4. kegiatan pariwisata melihat biota laut dengan tidak mengganggu tingkah laku biota laut di alam; dan 5. kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan b. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi: 1. penambangan pasir; 2. perikanan budidaya; 3. penangkapan ikan dengan alat penangkapan ikan yang tidak selektif; dan 4. penangkapan ikan dengan alat bantu penangkapan ikan statis; c. kegiatan yang diperbolehkan setelah mendapatkan izin ditentukan berdasarkan tingkat kebutuhan perlindungan alur migrasi biota; d. ketentuan khusus untuk Alur A.B meliputi penetapan sistem rute untuk menghindari tabrakan antara biota laut dengan kapal. Paragraf 4 Peraturan Pemanfaatan Ruang Untuk Pola Ruang Wilayah Darat Pasal 96 (1) Peraturan pemanfaatan ruang pada Pola Ruang wilayah Daratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf c, terdiri atas: a. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona L.S; b. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona L.B; c. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.W; d. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.K; 69

71 e. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.U; f. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.S; g. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.A; dan h. Peraturan Pemanfaatan Ruang untuk Zona B.B. (2) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona L.S sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pengendalian pemanfaatan ruang pada Kawasan Budi Daya terbangun yang berada di Zona L.B; 2. rehabilitasi Zona L.S khususnya pada kawasan yang telah rusak 3. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi, gelombang pasang, dan tsunami; b. kegiatan yang kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengurangi daya serap tanah terhadap air dan kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan resapan air sebagai Kawasan Lindung. (3) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona L.B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pemertahanan kawasan sempadan pantai untuk menjaga titik dasar dari ancaman abrasi dan kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai; 2. peningkatan fungsi ekologis kawasan sempadan pantai, untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 3. pengembangan kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan di kawasan sempadan pantai guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 4. rehabilitasi Zona L.S khususnya pada kawasan yang telah rusak 70

72 5. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi, gelombang pasang, dan tsunami; b. kegiatan yang kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengurangi daya serap tanah terhadap air dan kegiatan yang mengganggu fungsi kawasan resapan air sebagai Kawasan Lindung. d. penyediaan prasarana dan sarana minimum meliputi: 1. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan/atau 2. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya melalui pemertahanan areal resapan air hujan, lubang resapan biopori, modifikasi lansekap, penampungan air hujan, rain garden, sumur injeksi, dan sumur resapan. (4) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.W sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan wisata yang tidak bersifat ekstraktif terhadap lingkungan 2. kegiatan monitoring dan pengamatann terhadap biota b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain dimaksud pada huruf a yang tidak mengganggu keberadaan titik-titik dasar Pulau Putri, Pulau Pelampong, Pulau Tokong Iyu kecil, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, Pulau Sentut; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi 1. kegiatan pemanfaatan yang mengganggu dan/atau merusak fungsi Zona B.W; 2. kegiatan pemanfaatan wilayah yang dapat menghilangkan dan atau mengurangi fungsi Zona B.W; dan/atau 71

73 3. kegiatan pemanfaatan wilayah di sekitar Zona B.W yang dapat menimbulkan bahaya bagi operasional pelayaran. (5) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan pelayanan pertahanan dan keamanan negara; 2. kegiatan pelayanan kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; 3. kegiatan pelayanan pemerintahan; 4. kegiatan pelayanan pendidikan; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu fungsi Zona B.K; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang mengganggu fungsi wilayah pertahanan, kegiatan industri yang menimbulkan polutan, kegiatan yang menghalangi dan/atau menutup lokasi dan jalur evakuasi bencana. (6) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.U sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan pelayanan pendidikan; 2. kegiatan pelayanan transportasi darat; 3. kegiatan pelayanan transportasi laut; 4. kegiatan pelayanan transportasi udara; 5. kegiatan pelayanan kesehatan; 6. pembangunan tempat ibadah; dan/atau 7. pembangunan gedung pertemuan; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak mengganggu fungsi Zona B.U; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang dapat mengganggu fungsi Zona B.U; d. pemanfaatan ruang dalam Zona B.U untuk bangunan gedung dengan intensitas tinggi, baik ke arah horizontal maupun ke arah vertikal; e. pengembangan Zona B.U diarahkan sebagai kawasan yang memiliki kualitas daya dukung 72

74 lingkungan sedang dan kualitas prasarana dan sarana tinggi; f. penyediaan RTH paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas Zona B.U; g. penyediaan prasarana dan sarana minimum dalam Zona B.U meliputi: 1. kebutuhan dasar berupa listrik, air bersih, serta prasarana pengolahan sampah dan limbah; dan/atau 2. prasarana dan sarana pendukung aksesibilitas berupa jaringan jalan, serta terminal dan dermaga untuk penumpang dan barang; h. ketentuan khusus untuk pusat pelayanan utama meliputi: 1. pengembangan jaringan prasarana pada Zona B.U untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan negara; 2. pengembangan jaringan prasarana pada Zona B.U berbasis mitigasi dan adaptasi bencana; dan/atau 3. penempatan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di Sub Zona B.U.t. (7) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.S sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pembangunan PLTS; 2. pembangunan prasarana jaringan transmisi tenaga listrik dan kegiatan pembangunan prasarana penunjang jaringan transmisi tenaga listrik untuk PLTS; 3. pengoperasian TPA atau TPS berupa pemilahan, pengumpulan, pengelolaan, dan pemrosesan akhir sampah, pengurugan berlapis bersih (sanitary landfill), pemeliharaan TPA atau TPS, dan industri terkait pengolahan sampah, serta kegiatan penunjang operasional TPA atau TPS; dan/atau b. kegiatan lain yang tidak mengganggu fungsi Zona B.S; dan/atau c. kegiatan lain yang bersifat sementara dan tidak mengganggu fungsi Zona B.S; d. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi kegiatan yang menimbulkan bahaya kebakaran 73

75 dan mengganggu fungsi jaringan transmisi tenaga listrik; dan e. prasarana dan sarana minimum berupa fasilitas dasar, fasilitas pelindungan lingkungan, fasilitas operasi, dan fasilitas penunjang; dan f. ketentuan khusus untuk PLTS meliputi jarak aman PLTS dari kegiatan lain sesuai dengan karakteristik PLTS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan. (8) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. kegiatan pengamanan pantai dalam rangka melindungi titik-titik dasar dari dampak abrasi dan gelombang pasang; dan/atau 2. kegiatan pembangunan pos TNI Angkatan Laut, dermaga patroli, barak prajurit, kantor markas komando, rumah jaga, fasilitas penyimpanan bahan bakar minyak dan air bersih, mercusuar, gedung serbaguna; b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain dimaksud pada huruf a yang tidak mengganggu keberadaan titik-titik dasar Pulau Putri, Pulau Pelampong, Pulau Tokong Iyu kecil, Pulau Berakit, Pulau Malang Berdaun, Pulau Sentut; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi 1. kegiatan pemanfaatan yang mengganggu dan/atau merusak fungsi Zona B.A; 2. kegiatan pemanfaatan wilayah di sekitar Zona PK yang dapat menghilangkan dan atau mengurangi fungsi Zona B.A; dan/atau 3. kegiatan pemanfaatan wilayah di sekitar Zona B.A yang dapat menimbulkan bahaya bagi operasional pelayaran untuk kepentingan pertahanan. (9) Peraturan pemanfaatan ruang untuk Zona B.B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas: a. kegiatan yang diperbolehkan meliputi: 1. pembangunan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang navigasi; 2. penempatan dan/atau pemasangan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; 74

76 3. pemeliharaan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran; 4. penyelenggaraan kenavigasian pada alurpelayaran; dan/atau b. kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi tidak mengganggu alur pelayaran; c. kegiatan yang tidak diperbolehkan meliputi 1. kegiatan yang mengganggu dan/atau merusak Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; 2. pendirian, penempatan dan/atau pembongkaran Bangunan atau instalasi di laut yang mengganggu navigasi pelayaran; 3. kegiatan yang mengganggu ruang udara bebas di atas perairan dan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan navigasi pelayaran. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 97 Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan laut, pesisir, dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi. Pasal 98 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: a. Izin Lokasi Perairan Pesisir; dan b. Izin Pengelolaan. (2) Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan pesisir di sebagian perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. 75

77 Paragraf 2 Izin Lokasi Perairan Pesisir Pasal 99 (1) Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada Pasal 98 ayat (1) huruf a menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan. (2) Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada: a. orang perseorangan warga negara Indonesia; b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c. koperasi yang dibentuk oleh masyarakat Pasal 100 (1) Menteri memberikan Izin Lokasi Perairan Pesisir untuk kegiatan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan pesisir di sebagian perairan di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil KSN BBK. (2) Menteri dapat melimpahkan kewenangan pemberian Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di wilayah KSN Kawasan BBK kepada Gubernur. (3) Pelimpahan kewenangan kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam hal terdapat pemanfaatan ruang perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil KSN BBK untuk kegiatan diluar pelaksanaan pembangunan Proyek Strategis Nasional atau Objek Vital Nasional. Pasal 101 Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, tidak dapat diberikan pada zona inti kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. Pasal 102 (1) Orang perseorangan, korporasi, atau koperasi untuk memiliki Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a harus mengajukan permohonan kepada Menteri. 76

78 (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 103 (1) Dalam hal pemanfaatan ruang Perairan KSN Kawasan BBK dimaksudkan untuk: a. pembangunan Pelabuhan perikanan, Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 digunakan sebagai penetapan lokasi Pelabuhan perikanan. b. pembangunan terminal khusus, Izin Lokasi Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 digunakan sebagai rekomendasi dalam pengajuan permohonan penetapan lokasi terminal khusus kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. (2) Pembangunan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 104 (1) Pemanfaatan ruang perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilakukan berdasarkan lokasi atas wilayah kerja minyak dan gas bumi yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang minyak dan gas bumi. (2) Lokasi wilayah kerja minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pola ruang laut untuk zona P.M sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. (3) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pada tahap eksploitasi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Pasal 105 Izin Lokasi Perairan Pesisir berakhir apabila: a. habis masa berlakunya; b. dicabut oleh pemberi izin; atau 77

79 c. dikembalikan secara sukarela oleh pemegang izin. Pasal 106 (1) Luasan Izin Lokasi Perairan Pesisir diberikan oleh Menteri sesuai: a. jenis kegiatan; b. daya dukung dan daya tampung lingkungan; c. skala usaha; d. pemanfaatan oleh kegiatan perairan pesisir yang telah ada; e. teknologi yang digunakan; dan f. dampak lingkungan yang ditimbulkan. (2) Izin Lokasi Perairan Pesisir diberikan dalam batas luasan tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat geografis pada setiap sudutnya. Pasal 107 (1) Batas luasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2), untuk orang perseorangan diberikan sebagai berikut: a. biofarmakologi laut dengan luasan maksimal 1 (satu) hektar; b. wisata bahari dengan luasan maksimal 5 (lima) hektar; c. pemanfaatan air laut selain energi dengan luasan maksimal 1 (satu) hektar; d. pertambangan dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. bangunan laut selain untuk pertambangan dengan luasan maksimal 1 (satu) hektar; dan f. budidaya laut dengan luasan maksimal 5 (lima) hektar. (2) Batas luasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2), untuk korporasi dan koperasi diberikan sebagai berikut: a. biofarmakologi laut dan bioteknologi laut dengan luasan paling luas 100 (seratus) hektar ; b. wisata bahari dengan luasan paling luas 100 (seratus) hektare, dan paling luas 200 (dua ratus) hektar; 78

80 c. bangunan dan instalasi di laut di luar pertambangan dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. budidaya laut dengan luasan paling luas 200 (dua ratus) hektar untuk di perairan pesisir; e. pemasangan pipa dan kabel bawah laut dengan batas koridor paling jauh 500 (lima ratus) meter dari garis sumbu; f. pertambangan dengan luasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan g. pelabuhan laut, terminal khusus, dan pelabuhan perikanan dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan dan keselamatan pelayaran. h. Industri maritim dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional. i. Kawasan bongkar muat dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan j. Usaha galangan kapal dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional k. Depo minyak dengan luasan perairan sesuai dengan kebutuhan operasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 108 Penerbitan Izin Lokasi Perairan Pesisir yang menjadi kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dikenakan tarif penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Izin Pengelolaan Pasal 109 Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) huruf b diberikan kepada: a. orang perseorangan warga negara Indonesia; b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau c. koperasi yang dibentuk oleh masyarakat. 79

81 Pasal 110 (1) Orang perseorangan, korporasi, atau koperasi yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan: a. biofarmakologi laut; b. bioteknologi laut; c. wisata bahari; d. pemanfaatan air laut selain energi; e. pemasangan pipa dan kabel bawah laut;dan/atau wajib memiliki izin pengelolaan. (2) Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, diterbitkan oleh Menteri dan/ atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (3) Izin Pengelolaan untuk kegiatan pemasangan pipa dan kabel bawah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 111 Menteri memberikan Izin Pengelolaan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil di KSN BBK sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 112 (1) Orang perseorangan, korporasi, atau koperasi untuk memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 harus mengajukan permohonan kepada Menteri sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan operasional. (3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Izin Lokasi perairan laut dan/ atau pesisir. (4) Persyaratan teknis dan persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk produksi garam, biofarmakologi laut, bioteknologi laut, wisata bahari, dan pemanfaatan air laut selain energi, pemasangan pipa dan kabel bawah laut, dan pengangkatan BMKT diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 80

82 Pasal 113 (1) Menteri sesuai kewenangannya memberikan atau menolak permohonan izin pengelolaan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. (2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis disertai alasan penolakan. (3) Penerbitan izin pengelolaan dikenakan pungutan izin pengelolaan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 114 (1) Izin Pengelolaan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil berlaku untuk: a. biofarmakologi laut paling lama 10 (sepuluh) tahun; b. wisata bahari paling lama 20 (dua puluh) tahun; c. pemasangan pipa dan kabel bawah laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan d. produksi garam paling lama 10 (sepuluh) tahun. (2) Dalam hal pemegang Izin Lokasi Perairan Pesisir tidak merealisasikan kegiatannya mendapatkan Izin Pengelolaan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi Perairan Pesisir. (3) Dalam hal Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang, wajib dilakukan perpanjangan Izin Lokasi Perairan Pesisir terlebih dahulu. Pasal 115 Izin Pengelolaan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil berakhir apabila: a. habis masa berlakunya; b. dicabut oleh pemberi izin; atau c. dikembalikan secara sukarela oleh pemegang izin. 81

83 Pasal 116 Luasan Izin Pengelolaan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil paling luas diberikan sesuai dengan Izin Lokasi. Bagian Keempat Ketentuan Insentif Pasal 117 (1) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c merupakan ketentuan yang mengatur tentang pengenaan bentuk-bentuk kompensasi dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di KSN BBK untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam RZ KSN BBK. (2) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan: a. rencana pemanfaatan ruang laut KSN BBK; b. ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan atau zona atau sub zona; dan c. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. (3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan: a. relevansi isu prioritas; b. proses konsultasi publik; c. dampak positif terhadap pelestarian lingkungan; d. dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat e. kemampuan implementasi yang memadai; dan f. dukungan kebijakan dan program pemerintah. (4) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 82

84 Bagian Kelima Ketentuan Disinsentif Pasal 118 (1) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf d merupakan ketentuan yang mengatur tentang pengenaan bentuk-bentuk kompensasi dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di KSN BBK untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan RZ KSN BBK. (2) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan: a. rencana pemanfaatan ruang laut; b. ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan/zona/ subzona; dan c. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. (3) Tata cara dan mekanisme pemberian disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keenam Arahan Pengenaan Sanksi Pasal 119 (1) Arahan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf e adalah merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap penyelenggaraan RZ KSN BBK. (2) Setiap orang yang melakukan penyimpangan terhadap penyelenggaraan RZ KSN BBK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana pelanggaran. (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada setiap orang yang memanfaatakan ruang laut di KSN BBK yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang laut dan kepada pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana zonasi. 83

85 (4) Arahan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan: a. hasil pengawasan pemanfaatan ruang laut; b. tingkat simpangan implementasi rencana zonasi; c. kesepakatan antar instansi yang berwenang; dan d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya. Pasal 120 (1) Pemanfaatan ruang dari sebagian perairan laut dan pesisir serta pemanfaatan ruang dari sebagian pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan izin lokasi dikenai sanksi administratif, berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan sementara; dan/atau c. pencabutan izin lokasi. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturutturut, masing-masing dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Menteri. (3) Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pembekuan selama 1 (satu) bulan. (4) Apabila pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan pencabutan izin lokasi perairan pesisir. Pasal 121 (1) Pemanfaatan sumber daya perairan laut, pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan izin pengelolaan yang diberikan dikenai sanksi administratif, berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penutupan lokasi; d. pencabutan izin; e. pembatalan izin; dan/atau f. denda administratif. (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, apabila tidak sesuai dengan izin 84

86 pengelolaan masing-masing dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Menteri; (3) Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan penghentian sementara kegiatan selama 1 (satu) bulan. (4) Apabila penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipatuhi, selanjutnya dilakukan penutupan lokasi selama 3 (tiga) bulan. (5) Dalam hal pemegang izin pengelolaan tidak melakukan penyesuaian pemanfaatan sesuai dengan izin pengelolaan setelah penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan denda administratif sebesar 5 (lima) kali dari biaya izin lokasi yang dikeluarkan dan merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disetorkan ke Kas Negara. (6) Apabila pemegang izin pengelolaan tidak melakukan pembayaran denda administratif, selanjutnya dilakukan pencabutan izin. (7) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf e dilakukan apabila persyaratan yang diajukan dalam permohonan mengandung unsur: a. cacat hukum; b. kekeliruan; c. penyalahgunaan data, dokumen, dan/atau informasi; dan/atau d. ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi. Pasal 122 (1) Pemegang Izin Lokasi Perairan Pesisir dan Izin Pengelolaan wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali kepada instansi pemberi izin. (2) Menteri menyampaikan laporan penerbitan Izin Lokasi Perairan Pesisir dan Izin Pengelolaan kepada Presiden. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai bahan analisis terhadap pelaksanaan kegiatan pemanfaatan perairan laut. 85

87 BAB VIII PENGAWASAN Pasal 123 (1) Untuk menjamin terselenggaranya ruang laut secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan pemanfaatan ruang laut. (2) Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan dan/atau pengendalian pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 124 (1) Pengawasan pemanfaatan ruang laut meliputi perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan ruang laut. (2) Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengawasan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal: a. pengumpulan dan perolehan dokumen; b. pertukaran data dan informasi; c. tindak lanjut laporan/pengaduan; d. pemeriksaan sampel; dan e. kegiatan lain untuk menunjang pelaksanaan pengawasan pemanfaatan ruang laut. (4) Pengawasan terhadap pelaksanaan pemanfaatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rencana struktur ruang laut dan rencana pola ruang laut yang telah ditetapkan dalam peraturan presiden ini (5) Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan kepentingan masyarakat. (6) Pengawasan pengawasan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh masyarakat dilakukan melalui penyampaian 86

88 laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang. (7) Pengawasan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB IX HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Hak Masyarakat Pasal 125 Dalam pengelolaan KSN BBK, masyarakat mempunyai hak untuk: a. memperoleh akses terhadap bagian perairan KSN BBK yang sudah diberi Izin Lokasi Perairan Pesisir dan/atau Izin Pengelolaan; b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZ KSN BBK; c. memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan wilayah perairan di KSN BBK; d. memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah perairan KSN BBK; e. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan wilayah perairan KSN BBK; f. menyatakan keberatan terhadap RZ KSN BBK; g. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan wilayah perairan KSN BBK; h. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah wilayah perairan KSN BBK yang merugikan kehidupannya; i. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau pemegang Izin Lokasi Perairan Pesisir dan/atau Izin Pengelolaan apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang laut dan rencana pola ruang laut dalam peraturan presiden ini menimbulkan kerugian; dan 87

89 j. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah perairan KSN BBK sesuai dengan ketentuan peraturan. Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Pasal 126 Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat wajib: a. memberikan informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah perairan KSN BBK; b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian pengelolaan wilayah perairan KSN BBK; c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di pengelolaan wilayah perairan KSN BBK; d. memantau pelaksanaan RZ KSN BBK; e. menaati rencana struktur ruang laut dan rencana pola ruang laut yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan presiden ini; f. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Izin Lokasi Perairan Pesisir dan/atau Izin Pengelolaan; dan g. melaksanakan indikasi program RZ KSN BBK. Pasal 127 (1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memberdayakan Masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya. (3) Dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam: a. pengambilan keputusan; b. pelaksanaan pengelolaan; 88

90 c. kemitraan antara Masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah; d. pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup; e. pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung wilayah perairan KSN BBK; f. pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan; g. penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; dan h. pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah perairan KSN BBK Bagian Ketiga Peran Serta Masyarakat Pasal 128 Peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah perairan KSN BBK dilakukan melalui: a. proses perencanaan wilayah perairan KSN BBK; b. pemanfaatan wilayah perairan KSN BBK; dan c. pengendalian pemanfaatan wilayah perairan KSN BBK. Pasal 129 (1) Bentuk peran masyarakat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara langsung dan/atau tertulis kepada Menteri atau Gubernur. (3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah membangun sistem informasi dan dokumentasi penyelenggaraan penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. (4) Pelaksanaan tata cara peran serta masyarakat dalam KSN BBK dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 89

91 BAB X PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 130 (1) Penyelesaian sengketa pemanfaatan ruang dalam RZ KSN BBK ditempuh melalui pengadilan dan diluar pengadilan. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana RZ KSN BBK. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan untuk mencapai kesepakatan terhadap bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu guna mencegah atau terulangnya dampak besar sebagai akibat tidak dilaksanakannya RZ KSN BBK. (4) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan secara musyawarah mufakat dan/atau menggunakan jasa pihak ketiga, baik yang memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. (5) Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan secara tertulis dan bersifat mengikat para pihak. (6) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 131 (1) Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan yang mengelola wilayah perairan KSN BBK bertanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan dengan kewajiban mengganti kerugian sebagai akibat tindakannya. (2) Pengelola wilayah perairan KSN BBK dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan 90

92 lingkungan wilayah perairan KSN BBK disebabkan oleh salah satu alasan berikut: a. bencana alam; b. peperangan; c. keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia (force majeure); atau d. tindakan pihak ketiga (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan kesengajaan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian. BAB XI GUGATAN PERWAKILAN Pasal 132 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, organisasi kemasyarakatan berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. (3) Organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan berikut: a. merupakan organisasi resmi di wilayah tersebut atau organisasi nasional; b. berbentuk badan hukum; c. memiliki anggaran dasar yang dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian lingkungan; dan d. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (4) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti kerugian kecuali penggantian biaya atau pengeluaran yang nyata-nyata dibayarkan. 91

93 BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 133 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini,maka: a. semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan rencana alokasi ruang zonasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di KSN BBK yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan presiden ini; b. semua izin pemanfaatan ruang perairan yang telah diterbitkan dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan presiden ini tetap berlaku sesuai dengan jangka waktu masa berlakunya; c. semua izin pemanfaatan ruang perairan yang telah diterbitkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan presiden ini, berlaku ketentuan: 1. untuk yang belum dilaksanakan kegiatan pembangunannya, izin pemanfaatan ruang perairan tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan atau zona atau sub zona berdasarkan peraturan presiden ini 2. untuk yang sudah dilaksanakan kegiatan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan sampai izin operasional terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan atau zona atau sub zona berdasarkan peraturan presiden ini; 3. untuk yang sudah dilaksanakan kegiatan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan atau zona atau sub zona, izin pemanfaatan ruang perairan yang telah diterbitkan tersebut dibatalkan. d. pemanfaatan ruang perairan yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan peraturan presiden ini dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan presiden ini. e. pemanfaatan ruang perairan di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai berikut: 1. yang bertentangan dengan ketentuan peraturan presiden ini, pemanfaatan ruang perairan yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan peraturan presiden ini; dan 92

94 2. yang sudah sesuai ketentuan peraturan presiden ini, selanjutnya dipercepat untuk mendapatkan Izin Lokasi Perairan Pesisir dan/atau Izin Pengelolaan yang diperlukan f. ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Batam, Bintan, Karimun yang mengatur wilayah perairan laut dinyatakan tidak berlaku; g. ketentuan dalam peraturan daerah provinsi tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini; dan h. peraturan daerah provinsi tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang bertentangan dengan peraturan presiden ini harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak peraturan presiden ini ditetapkan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 134 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... Desember 2017 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, JOKO WIDODO 93

95

96

97

98

99

100

101

102

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL KAWASAN PERKOTAAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR TERMASUK KEPULAUAN SERIBU

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Lancang, panggang, tidung, budi daya P Herry: Ps. 10 ayat (6) yang memadai Tambahan untuk ruang multi use yang serumpun. Misal tangkap, budidaya, wisata bahari. Wisata bahari non membangun infrastruktur.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL KAWASAN PERKOTAAN JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG, BEKASI, PUNCAK, CIANJUR TERMASUK KEPULAUAN SERIBU

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2018 TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TERTENTU PULAU SENUA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2018-2038 DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.121, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERBAGITA. Kawasan Perkotaan. Tata Ruang. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2014 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TERTENTU PULAU SENUA DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2017-2036 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/PERMEN-KP/2017 TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TERTENTU PULAU NIPA TAHUN 2017-2036 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, -1- RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG RENCANA ZONASI KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TERTENTU PULAU NIPA TAHUN 2017-2036 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K Latar Belakang Dasar Hukum Pengertian Peran BIG dalam Penyusunan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERIZINAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERIZINAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran No.77, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Nasional. Wilayah. Rencana Tata Ruang. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang :

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 64 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN INSENTIF DAN DISINSENTIF PENATAAN RUANG PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL. PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/96;

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur Oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala BAPPEDA Kab. Kutai Timur)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA ZONASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2014 RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LAMPIRAN VIII PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 02 TAHUN 2012 TANGGAL : 03 JANUARI 2012 INDIKASI PROGRAM PEMANFAATAN RUANG KABUPATEN BINTAN

LAMPIRAN VIII PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 02 TAHUN 2012 TANGGAL : 03 JANUARI 2012 INDIKASI PROGRAM PEMANFAATAN RUANG KABUPATEN BINTAN LAMPIR VIII PERATUR DAERAH KABUPATEN BINT NOMOR : 02 TAHUN 2012 TGGAL : 03 JUARI 2012 INDIKASI PROGRAM PEMFAAT RUG KABUPATEN BINT NO. PROGRAM UTAMA KEGIAT LOKASI TAHUN PELAKSA Tahap 5 Tahun I (T-I) T-II

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN

BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN BUPATI BATANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 07 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BATANG TAHUN 2011 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2014 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SUKAMARA TAHUN 2015-2035 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN BATAM, BINTAN, DAN KARIMUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU SALINAN BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 34 TAHUN 2015 / SK / 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAGIAN DAN PENETAPAN RINCIAN DANA DESA SETIAP DESA DI KABUPATEN BINTAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Wilayah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT

KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DI PERAIRAN LAUT Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 oleh Eko Budi Kurniawan Kasubdit Pengembangan Perkotaan Direktorat Perkotaan Direktorat Jenderal Penataan Ruang disampaikan dalam

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KONDISI GEOGRAFIS Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TRENGGALEK 2012-2032 BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PENETAPAN GARIS SEMPADAN SUNGAI DAN GARIS SEMPADAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2002 KAWASAN INDUSTRI PERIKANAN TERPADU DI TELUK KELABAT B U P A T I B A N G K A,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2002 KAWASAN INDUSTRI PERIKANAN TERPADU DI TELUK KELABAT B U P A T I B A N G K A, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2002 T E N T A N G KAWASAN INDUSTRI PERIKANAN TERPADU DI TELUK KELABAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I B A N G K A, Menimbang : a.

Lebih terperinci