DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E"

Transkripsi

1 DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM. Distribusi Hutan Alam dan Laju Perubahannya Menurut Kabupaten di Indonesia. Di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Ketergantungan yang sangat besar terhadap hutan membawa dampak negatif terhadap kelestariannya. Untuk dapat mengelola hutan dengan prinsip kelestarian, maka diperlukan data yang akurat serta tepat waktu mengenai kondisi hutan alam Indonesia. Kegiatan pengumpulan data dan informasi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit. Keberadaan satelit sumberdaya alam dengan resolusi spasial yang relatif rendah serta mudah diperoleh seperti SPOT 4 Vegetasi akan mempermudah pengumpulan informasi untuk areal yang luas, seperti wilayah Indonesia. Citra SPOT 4 Vegetasi dapat digunakan untuk monitoring hutan alam karena mempunyai resolusi yang rendah (1Km x 1Km) dan periode perekaman yang pendek (10 harian). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui distribusi hutan alam dan laju perubahannya menurut kabupaten di Indonesia tahun 2001 dan 2004 serta menganalisis faktor yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam yaitu luas hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Bahan yang digunakan adalah citra satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juni-Juli 2001 dan Juli-Agustus Selain itu digunakan data pendukung berupa Peta rupabumi Indonesia skala 1: dan peta administrasi Indonesia skala 1: tahun Metode penelitian meliputi 4 tahap utama. Tahap pertama adalah pengolahan awal citra yang terdiri atas kegiatan import data, layer stack, koreksi geometrik, cropping, penghilangan awan, dan interpretasi visual citra satelit. Tahap kedua adalah pengolahan citra yang meliputi kegiatan pengenalan pola spektral dan klasifikasi knowledge based dengan teknik Fuzzy. Tahap ketiga adalah analisis perubahan hutan alam dengan membandingkan luas hutan alam tahun 2001 dan Tahap terakhir adalah analisis faktor yang mempengaruhi perubahan hutan alam yaitu luas hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Citra SPOT 4 Vegetasi pada kombinasi band dapat membedakan dengan baik 5 kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air dan awan. Tiap kelas penutupan lahan mempunyai pola spektral yang berbeda-beda. Perbedaan pola spektral ini disebabkan perbedaan panjang gelombang yang dipantulkan oleh tiap kelas penutupan. Untuk mengamatinya dapat dilihat dari nilai digital (digital number) masing-masing kelas. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Prasetyo dan Fitria (2005), telah diambil beberapa training area untuk tiap kelas penutupan pada citra SPOT 4 Vegetasi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Nilai digital dari tiap kelas penutupan ini akan digabung sehingga mendapatkan nilai digital yang baru yang akan digunakan untuk melihat pola spektral seluruh Indonesia.

3 Untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy, digunakan nilai digital piksel dari gabungan training area yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya. Aturan yang telah disusun telah diuji secara temporal sehingga dapat digunakan untuk klasifikasi pada citra dengan periode perekaman yang berbeda. Nilai digital dari band penentu akan digunakan dalam penyusunan aturan dengan logika Fuzzy. Fungsi keanggotaan masing-masing kelas penutupan lahan bernilai benar, apabila termasuk ke dalam rentang spektral yang telah diidentifikasi. Fungsi keanggotaan untuk nilai spektral dibawah atau diatas rentang tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sehingga didapatkan fungsi keanggotaan antara 0 sampai 1 yang merupakan piksel fuzzy. Setelah aturannya tersusun, klasifikasi dilakukan terhadap citra SPOT 4 Vegetasi hasil perekaman tahun 2001 dan tahun Klasifikasi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari aturan yang telah dibuat dalam mengklasifikasikan setiap kelas penutupan lahan pada tahun yang berbeda. Aturan dibuat pada citra tahun 2001 karena nilai digital yang digunakan dalam penyusunan aturan menggunakan nilai digital citra SPOT 4 Vegetasi tahun Klasifikasi citra SPOT 4 vegetasi tahun 2004 dilakukan setelah klasifikasi pada citra tahun 2001 dapat digunakan dalam membedakan kelas penutupan lahan. Citra yang diklasifikasi adalah citra yang sudah diperbaiki tingkat keawanannya dengan metode komposit time series. Pada citra tahun 2001 digunakan citra hasil perekaman bulan Juni dan bulan Juli tahun 2001 karena pada bulan tersebut tingkat keawanannya lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada citra tahun 2004 digunakan citra hasil perekaman bulan Juli dan Agustus 2004 karena tingkat keawanannya juga lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Hasil klasifikasi menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara citra tahun 2001 dengan citra tahun Perbedaaan ini dapat dilihat dari beberapa kelas penutupan yang tidak dapat terklasifikasi dengan baik. Kelas penutupan hutan alam tidak terklasifikasi dengan baik pada tahun 2001 dimana luas hutan alam tahun 2001 lebih kcil dibandingkan dengan luas hutan alam Hal ini disebabkan banyak daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 yang seharusnya kelas penutupannya hutan alam terklasifikasi sebagai kelas penutupan selain hutan alam. Sementara pada tahun 2004 daerah tersebut kelas penutupannya hutan alam. Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi didapatkan bahwa hutan alam yang terdapat di Indonesia pada tahun 2001 seluas Ha, sedangkan hutan alam tahun 2004 seluas Ha. Selama kurun waktu tiga tahun, hutan alam Indonesia berkurang seluas Ha atau sekitar Ha per tahunnya. Hutan alam yang paling luas pada tahun 2004 terdapat di provinsi Papua yaitu Ha atau 29,90 % dari total luas hutan alam Indonesia dengan laju perubahan hutan per tahun nya sekitar Ha/tahun. Untuk tingkat kabupaten yang memiliki luas hutan alam terbesar adalah kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat yaitu sekitar Ha dengan laju perubahan hutan alam per tahunnya seluas Ha/tahun. Kabupaten yang memiliki tingkat laju perubahan hutan alam yang paling tinggi adalah Kabupaten Waropen di Provinsi Papua yaitu sekitar Ha/tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam yaitu sisa hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Sisa hutan alam tahun 2001 mempunyai nilai korelasi positif dan berpengaruh sangat nyata

4 terhadap laju perubahan hutan alam dengan model regresi y= ,0431x. Jumlah penduduk mempunyai nilai korelasi negatif dan berpengaruh sangat nyata terhadap laju perubahan hutan alam dengan model regresi y= ,0124x, sedangkan pendapatan per kapita mempunyai nilia korelasi positif dan berpengaruh sangat nyata terhadap laju perubahan hutan alam dengan model regresi y= ,0126x. Dalam analisis regresi berganda terhadap ketiga faktor tersebut diperoleh model regresi y= ,0346x 1-0,00082x 2 + 0,0112x 3.

5 DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

6 Judul Penelitian : DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA Nama : LUKMANUL HAKIM NRP : E Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan Menyetujui: Dosen Pembimbing (Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS) NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan (Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP Tanggal Lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 November 1982 sebagai putra pertama dari pasangan Bapak Musyarofah dan Ibu Sutiyah (alm). Penulis menempuh pendidikan formal di SDI Alfalah I Petang Jakarta pada tahun 1989 sampai dengan tahun Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan di MTs Alfalah sampai dengan tahun Setelah itu, penulis melanjutkan studi ke SMUN 47 Jakarta sampai dengan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan Praktek Umum Pengenalan Hutan di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang serta Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Garut Unit III Jawa Barat. Selain itu penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapangan di IUPHHTI PT. Finnantara Intiga, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan maka penulis melakukan penyusunan skripsi dengan judul Distribusi Hutan Alam dan Laju Perubahannya Menurut Kabupaten di Indonesia di bawah bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur hanyalah untuk Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW dan para Sahabatnya yang selalu jihad di jalan-nya. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan berupa petunjuk, saran, kritik maupun fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. 2. Ibu Ir. Rita Kartikasari, MS selaku wakil dari Departemen Hasil Hutan serta Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, MSc selaku wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji komprehensif. 3. Bapak, Ibu dan adik-adikku serta keluarga di Jakarta yang telah membina dan mendidik dengan kasih sayang dan doa yang selalu menyertai setiap langkah penulis. 4. Teman-teman MNH 38, 39 dan 40 serta keluarga besar Fakultas Kehutanan, atas kebersamaan dan persahabatan selama penulis menempuh pendidikan. 5. Wira Fitria dan Ayurani Prasetyo, teman seperjuangan penelitian atas kerjasama dan bantuannya. 6. Sylvalestari yang telah memberi makna dan pelajaran hidup bagi penulis. 7. Nisa Syachera Febriyanti, atas perhatian, kesabaran dan dukungan yang selalu dicurahkan kepada penulis. 8. kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT sedangkan penulis hanyalah hamba-nya yang penuh kekurangan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2006 Penulis

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Penginderaan Jauh... 4 Karakteristik Reflektansi Spektral... 5 Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi... 6 Interpretasi Citra... 7 Klasifikasi Knowledge Based... 8 Klasifikasi Fuzzy... 9 Klasifikasi terbimbing dengan metode kemungkinan maksimum Penutupan Lahan dan Perubahannya METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pengolahan awal citra (pre_image processing) Pengolahan citra (image processing) Analisis perubahan penutupan lahan Analisis faktor penentu laju perubahan hutan alam KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Luas Musim dan Iklim Hidrologi Flora dan Fauna Demografi HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektral Citra SPOT 4 Vegetasi Hasil Klasifikasi Citra Distribusi Hutan Alam Tiap kabupaten dan Laju Perubahannya A. Sumatra B. Jawa dan Bali C. Nusa Tenggara D. Kalimantan E. Sulawesi... 29

10 F. Maluku G. Irian Analisis faktor yang mempengaruhi laju perubahan hutan alam KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 37

11 DAFTAR TABEL Halaman 1 Karakteristik saluran spektral citra satelit SPOT 4 Vegetasi Nilai digital hasil gabungan training area Sumatra dan Kalimantan Hasil uji hubungan laju perubahan hutan alam dan faktor yang mempengaruhinya

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Rentang Spektral Gabungan Kelas Penutupan Lahan pada tiap Band Hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi tahun Hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi tahun Peta perubahan hutan alam Indonesia tahun 2001 sampai tahun Grafik Luas hutan alam di Sumatra tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Jawa dan Bali tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Nusa Tenggara tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Kalimantan tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Sulawesi tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Maluku tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun Grafik Luas hutan alam di Irian tahun 2004 dan laju perubahan hutan alam per tahun... 31

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Aturan (Rule) penutupan hutan alam Lampiran 2. Aturan (Rule) penutupan vegetasi non hutan alam Lampiran 3. Aturan (Rule) penutupan areal terbuka Lampiran 4. Aturan (Rule) penutupan badan air Lampiran 5. Aturan (Rule) penggabungan tiap kelas penutupan Lampiran 6. Distribusi luas hutan alam dan laju pengurangannya menurut Kabupaten di Indonesia Lampiran 6. Analisis regresi linear dan berganda... 62

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa hutan dengan keanekaragaman flora dan faunanya. Hutan alam Indonesia merupakan hutan alam tropis yang memiliki kekayaan/keanekaragaman tertinggi di dunia setelah hutan alam tropis di negara Brazil (Suhendang, 2002). Hal ini menyebabkan hutan menjadi salah satu sumber yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertambahan penduduk Indonesia yang meningkat pesat telah memunculkan berbagai permasalahan, diantaranya meningkatnya kebutuhan hidup dan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan hidup akan pangan, kayu, air, lapangan kerja dan kebutuhan lahan akan perumahan, perindustrian dan pertanian menuntut adanya upaya-upaya yang lebih besar. Upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang meningkat ini secara langsung atau tidak langsung menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam karena perekonomian Indonesia sebagai negara berkembang masih bergantung pada sumberdaya alamnya seperti sumberdaya hutan yang tersebar luas di Indonesia. Menurut Departemen Kehutanan (2005), luas hutan alam Indonesia diperkirakan mencapai 85 juta hektar (Ha) yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara dengan berbagai peruntukannya. Seiring dengan bertambahnya waktu, luasan hutan alam ini semakin lama semakin berkurang. Laju pengurangan hutan alam di Indonesia pada tahun adalah sekitar 2,84 juta Ha per tahun. Laju pengurangan hutan alam yang terjadi sekarang ini diperkirakan lebih cepat dibandingkan dengan laju pengurangan pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk menjaga eksistensi fisik dan kualitas hutan agar tetap terjaga diperlukan suatu pengelolaan yang berdasarkan azas kelestarian dan lingkungan. Pengelolaaan hutan yang terintegrasi perlu didukung oleh data/informasi dasar tentang kondisi fisik hutan. Data multi waktu juga bermanfaat untuk memperkirakan laju dan arah terjadinya perubahan sehingga pengelolaan hutan dapat direncanakan dan dikelola dengan baik. Kegiatan pengumpulan data dan

15 informasi tersebut biasanya diperoleh dengan melakukan inventarisasi secara terestrial yang membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar walaupun informasi yang diperoleh cukup akurat. Untuk areal yang sangat luas dan tersebar seperti di Indonesia, inventarisasi terestrial dalam waktu singkat sangat sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit. Menurut Howard (1996), terapan penginderaan jauh satelit untuk bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan perkembangan pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi. Teknologi penginderaan jauh satelit dapat digunakan untuk memonitor dan mengklasifikasikan penutupan dan penggunaan lahan yang luas tanpa terjun langsung di lapangan dengan berbagai tahapan dalam analisisnya. Teknologi penginderaan jauh satelit telah dimanfaatkan untuk penelitian dalam berbagai bidang seperti kehutanan, pertanian, geologi, hidrologi, kelautan, cuaca dan lingkungan sehingga teknologi ini berkembang sangat pesat. Saat ini, berbagai macam satelit dengan karakteristik spasial maupun spektralnya yang sangat beragam telah beroperasi. Untuk kegiatan monitoring hutan alam dengan wilayah yang sangat luas, diperlukan citra satelit dengan resolusi spasial yang rendah seperti Citra SPOT 4 Vegetasi dan NOAA. Penggunaan citra satelit ini memungkinkan untuk memperoleh data seperti tipe penutupan lahan. Menurut Kartikasari (2004), citra SPOT 4 Vegetasi dapat membedakan dengan baik empat kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka dan badan air dengan indeks separabilitas rata-rata 1952 yang berarti kelas-kelas tersebut dapat diklasifikasikan dengan baik. Menurut Prasetyo, A (2005), Metode terbaik yang dapat digunakan dalam klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi yaitu metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy yang menghasilkan nilai akurasi sebesar 92,36 %. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan teknik klasifikasi fuzzy classification sebesar 76,22 % dan teknik klasifikasi maximum likelihood sebesar 71,89 %. Hasil penelitian tersebut perlu diaplikasikan untuk monitoring hutan terutama hutan alam dalam wilayah yang cukup luas (seluruh Indonesia) karena

16 citra SPOT 4 Vegetasi ini mempunyai resolusi spasial yang rendah (1Km x 1Km) yang sesuai untuk daerah yang luas. Monitoring juga dapat dilakukan dalam periode yang pendek (2-3 tahun) karena periode perekaman citra SPOT 4 Vegetasi dilakukan dalam waktu 10 harian. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui distribusi penutupan hutan alam dan percepatan kehilangannya menurut kabupaten di Indonesia dengan menggunakan citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001 dan tahun Menganalisis pengaruh faktor sisa hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan perdapatan per kapita kabupaten terhadap laju perubahan penutupan hutan alam.

17 TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Manual of Remote Sensing (American Society of photogrammetry, 1983) dalam Howard (1996) mendefinisikan penginderaan jauh dalam pengertian luas, pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek yang dikaji. Secara umum, penginderaan jauh saat ini tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh. Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya. Tujuan utama dari penginderaan jauh ialah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Informasi tentang obyek yang disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa dan sebagai penghubung komunikasi. Sedangkan menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Informasi tersebut diperoleh karena masing-masing obyek memiliki kekhasan dalam memantulkan, menyerap, meneruskan atau memancarkan energi gelombang elektromagnetik yang datang padanya sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Alat yang dimaksud adalah alat pengindera atau sensor yang umumnya dipasang pada wahana (Platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat

18 ulang alik atau wahana lainnya. Untuk mendapatkan informasi tersebut harus dilakukan melalui interpretasi foto udara atau citra satelit. Karena sensor dipasang terlalu jauh dengan obyek yang diindera, maka diperlukan tenaga yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Antara tenaga dan obyek terjadi interaksi dan tiap obyek memiliki sifat atau karakteristik tersendiri sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda untuk dapat diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut direkam oleh sensor dan diterjemahkan menjadi data. Data inilah yang diinterpretasikan menjadi informasi tentang obyek, daerah atau fenomena melalui kegiatan analisis data (Lillesand dan Kiefer, 1990). Karakteristik Reflektansi Spektral Jaya (2002) menyatakan bahwa radiasi yang dideteksi oleh sistem penginderaan jauh umumnya : 1. Reflektansi cahaya (energi) matahari 2. Panas yang dipancarkan oleh setiap obyek yang mempunyai suhu lebih besar dari 0 K 3. Refleksi gelombang mikro Pantulan spektral untuk vegetasi sehat berdaun hijau dipengaruhi oleh pigmen yang terkandung di dalam daun tumbuhan. Klorofil misalnya banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0,45 µm dan 0,6 µm. Berdasarkan hal itu mata kita menangkap vegetasi sehat berwarna hijau disebabkan oleh besarnya penyerapan energi pada spektrum hijau. Tanah mempunyai pantulan yang meningkat secara monoton terhadap peningkatan panjang gelombang. Penurunan pantulan terjadi pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm, dan 2,7 µm karena pengaruh kelembaban tanah, tekstur tanah kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik. Karakteristik yang paling mencirikan pantulan spektral air ialah sifat penyerapan tenaga pada spektrum inframerah pantulan. Air jernih memantulkan sekitar 10% pada berkas sinar biru dan hijau, hanya sedikit sekali pada berkas sinar merah dan tidak ada sama sekali pada inframerah (Lillesand dan Kiefer, 1990).

19 Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi SPOT atau Systeme Probatoire d Observation de la Terre merupakan sistem satelit milik Perancis. Satelit SPOT 1 diluncurkan pada tanggal 21 Februari 1986 dan satelit SPOT 2 diluncurkan pada tahun Saat ini, satelit yang beroperasi adalah SPOT 5 yang diluncurkan pada tahun Pada satelit SPOT 4 ditambahkan sensor VMI (Vegetation Monitoring Instrument) yang berguna di dalam pemantauan untuk wilayah yang luas. Sensor tersebut diluncurkan pada 24 Maret Vegetation merupakan program satelit yang dimiliki secara bersama oleh Perancis, Italia, Belgia, Komisi Eropa, dan Swedia. Sensor VMI didesain untuk melakukan perekaman dengan periode harian dan mempunyai resolusi spasial 1 km². Sensor tersebut menggunakan 4 saluran yang meliputi 2 band sinar tampak biru (blue) dan merah (red), 1 band inframerah dekat (near infrared), dan 1 band inframerah gelombang pendek (short wave infrared). Tabel 1. Karakteristik Saluran Spektral Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi Band Panjang gelombang Kegunaan/aplikasi (µm) 1 BLUE 0,43 0,47 Penetrasi tubuh air dengan baik sehingga baik untuk pemetaan perairan pantai, pembedaan tanah dan vegetasi, analisa tanah dan air, dan pembedaan tumbuhan berdaun lebar dan konifer. 2 RED 0,61 0,68 Diskriminasi vegetasi yang berguna untuk pembedaan jenis tumbuhan. Puncak penyerapan klorofil pada panjang gelombang 0,665µm sehingga baik untuk inventarisasi vegetasi dan penilaian kesuburan. 3 NIR 0,78 0,89 Reflaktansi vegetasi maksimal pada band ini yang pada dasarnya berhubungan dengan

20 Tabel 1. Lanjutan. Band Panjang gelombang (µm) Kegunaan/aplikasi struktur kanopi dan presentase penutupan vegetasi di permukaan bumi. Saluran ini penting untuk pemisahan kelas vegetasi dan memperkuat kontras antara penampakan vegetasi dan non vegetasi. 4 SWIR 1,58 1,75 Saluran yang peka terhadap akumulasi biomassa vegetasi. Identifikasi jenis tanaman dan memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. (Sumber : Vegetation Overview, 2005) Interpretasi Citra Interpretasi citra (analisis visual) merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek permukaan bumi yang tampak pada citra, baik potret udara maupun citra satelit, dengan cara mengenalinya atas dasar karakteristik spasial (bentuk, ukuran, orientasi, dan tekstur), spektral (nilai reflektansi), dan temporal (Jaya, 2002). Tingkat awal interpretasi dikenal sebagai deteksi. Tahap identifikasi tentu saja menuntun ke arah tingkat identifikasi dan pengenalan di mana penafsir harus menggunakan tingkat rujukan lokal, khusus, dan untuk mengelaskan obyek ke dalam kategori tertentu. Di dalam identifikasi dan pengenalan, karakteristik non geometrik citra atas rona atau warna, tekstur, pola, bentuk, bayangan, ukuran, dan situasi umumnya merupakan kunci pengenalan (Lo, 1995). Selain secara manual, klasifikasi dapat dilakukan secara kuantitatif dengan bantuan komputer. Menurut Jaya (2002), pada klasifikasi kuantitatif, pengelompokan dilakukan secara otomatis oleh komputer berdasarkan nilai kecerahan (brightness value atau digital number/dn) contoh yang diambil sebagai area contoh (training area).

21 Purwadhi (2001) menyatakan bahwa dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Setiap kelas kelompok piksel dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi. Pengelolaan awal citra digital meliputi proses pemulihan citra (image restoration) meliputi koreksi berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang ada pada citra asli dan proses penajaman citra (image enhancement) untuk menguatkan tampak kontras citra ke dalam bentuk yang lebih memadai untuk kegiatan interpretasi dan analisa selanjutnya (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pada koreksi radiometrik, operasi terpenting adalah menentukan korelasi antara output detektor dan input radian (cahaya) pada data (scene), dan mengoreksi data karena kerusakan detektor. Secara garis besar, kesalahan radiometrik disebabkan oleh 2 faktor berikut, yaitu kesalahan respon detektor (detector response error) dan pengaruh atmosfer (Atmospheric effect). Kesalahan tersebut terjadi karena adanya proses pemencaran (atmospheric scattering) dan penyerapan (atmospheric absorption) oleh uap air atau gas-gas lainnya. Atmosfer bumi ini merupakan sumber kesalahan yang berarti karena dapat mengurangi kemampuan analis untuk menggali informasi penting dari permukaan bumi yang direkam oleh sensor penginderaan jauh. Masalah pengaruh atmosfer ini akan tampak apabila kita ingin membandingkan respon spektral pada suatu lokasi yang direkam pada waktu berbeda. Untuk kegiatan monitoring (change detection), efek ini akan mempengaruhi akurasi klasifikasi (Jaya, 2002). Klasifikasi Knowledge Based (Knowledge Classification) Metode standar pada analisis kuantitatif citra tidak dapat menggambarkan klasifikasi tipe penutupan lahan suatu daerah dari dua sumber data numerik dengan karakteristik yang berbeda maupun data non numerik. Menurut Richards (1993), untuk mengatasi kelemahan tersebut, maka dikembangkan teknik knowledge classification. Analisa sistem berdasarkan rule adalah cara yang efektif untuk menangani data citra multi resolusi, sebagai contoh, rule dapat diaplikasikan sebagai awal untuk melihat apakah terdapat pengakuan dari label yang tersedia pada piksel-piksel data citra dengan resolusi

22 rendah. Jika ada maka sumber data dengan resolusi spasial tinggi tidak diperlukan, dan waktu untuk proses data dapat dihemat. Sistem klasifikasi expert merupakan sebuah hirarki aturan, atau sebuah pohon keputusan, yang menjelaskan keadaan di bawah seperangkat informasi tingkat rendah yang diabstraksikan menjadi kelas-kelas informasi tingkat tinggi. Informasi tersebut tersusun atas variabel yang ditentukan oleh pengguna dan meliputi citra raster, vektor, model spasial, eksternal program, dan skalar sederhana. Sebuah aturan merupakan pernyataan persyaratan, atau daftar dari pernyataan-pernyataan persyaratan, mengenai nilai-nilai variabel data dan/atau atribut yang menentukan komponen informasi atau hipotesis (Expert Classifier Overview, 2001). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasetyo dan Fitria (2005) dapat diketahui bahwa metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy menghasilkan nilai akurasi 92.36%. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan metode klasifikasi maximum likelihood dan fuzzy classification. Klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy dapat digunakan untuk monitoring pada citra dengan periode tahunan. Klasifikasi Fuzzy Pada klasifikasi knowledge based diperlukan suatu teknik untuk kuantifikasi dalam pengambilan keputusan mengenai kepastian keanggotaan suatu piksel. Teknik yang digunakan adalah teknik fuzzy. Brown (1998) menyatakan bahwa identifikasi dengan menggunakan klasifikasi fuzzy sangat cocok untuk data yang :1) atributnya ambigu dan 2) spasial yang samar. Atribut yang ambigu terjadi ketika anggota kelas terbagi atau tidak jelas. Ambiguitas merupakan masalah yang biasa terjadi di dalam beberapa data penginderaan jauh seperti fotografi udara yang diinterpretasikan secara tidak konsisten. Kesamaran spasial terjadi ketika resolusi sampling tidak cukup baik untuk menyertakan batas lokasi, pada saat transisi terjadi di antara kelas-kelas atau pada saat terdapat beberapa data dengan lokasi yang tidak jelas Pal dan Dwijesh (1989) menyatakan bahwa sebuah kumpulan fuzzy (A) dalam sebuah ruangan titik-titik = {x} ialah sebuah kelas kejadian (class of

23 events) dengan sebuah mutu keanggotaan kontinu (grade of membership) dan ditandai oleh sebuah fungsi keanggotaan µ A (x) yang dihubungkan dengan setiap titik dalam oleh sebuah bilangan riel dalam interval [0,1] dengan nilai µ A (x) pada x menyatakan mutu keanggotaan x dalam A. Pendekatan fuzzy didasarkan kepada alasan (premise) yang elemen-elemen kunci dalam pemikiran manusia tidaklah sekedar bilangan tetapi dapat diaproksimasikan menjadi tabel kumpulan fuzzy, atau, dengan perkataan lain, transisi kelas-kelas obyek dari keanggotaan terhadap bukan keanggotaan adalah perlahan (gradual) bukan mendadak atau sekonyong-konyong (abrupt). Jensen (1996) dalam Erdas Field Guide menyatakan bahwa klasifikasi fuzzy dirancang untuk membantu pekerjaan dengan data yang tidak mungkin tergolong ke dalam satu kategori dengan tepat. Klasifikasi fuzzy menggunakan fungsi keanggotaan, di mana nilai satu piksel ditentukan oleh kedekatannya pada satu kelas lainnya. Klasifikasi fuzzy tidak mempunyai batasan yang jelas dan masingmasing piksel bisa berada pada beberapa kelas yang berbeda. Penutupan Lahan dan Perubahannya Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (situs), yang diartikan berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi, dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Lo, 1995). Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan di muka bumi (Lillesand dan Kiefer, 1990). Selanjutnya Burley (1961) dalam Lo (1995) menjelaskan bahwa penutup lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan batuan yang menutup permukaan lahan. Menurut Lo (1995), konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Tiga kelas data yang tercakup dalam penutupan lahan secara umum adalah : (1) Struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang, dan (3) Tipe-tipe pembangunan. Lebih lanjut, Lo (1995) menjelaskan bahwa perubahan lahan terdiri dari perubahan yang bersifat tetap (land use) dan bersifat sementara (land cover). Perubahan yang bersifat tetap artinya perubahan dari satu jenis penggunaan

24 menjadi penggunaan lahan jenis lain, sedangkan perubahan sementara artinya yang berubah hanya penutupan lahannya, jenis penggunaan lahannya tetap. Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali scara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan kegiatan manusia pada suatu lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditaksir secara langsung dari penutupan lahannya (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena kegiatan manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Lo (1995) menyatakan bahwa deteksi perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di atas wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan. Menurut Campbell (1993) dalam Lo (1995) bahwa peta perubahan pengunaan lahan antara dua periode biasanya dapat dibandingkan. Interpretasi visual dan perbandingan potret udara multi temporal telah digunakan secara sukses untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan dibantu dengan komputer. Metode analisis citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan di suatu lahan dengan cepat dan area yang sangat luas. Asumsi yang mendasari pendeteksian perubahan secara digital adalah bahwa adanya perbedaan respon spektral dalam dua waktu, jika terjadi perubahan penggunaan lahan dari satu tipe penutupan lahan menjadi tipe penggunaan lainnya (Jensen, 1986 dalam Suheri, 2003).

25 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Mei Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juni dan Juli tahun Citra Satelit SPOT 4 Vegetasi bulan Juli dan Agustus tahun dengan periode komposit 10 harian yang meliputi seluruh wilayah Kepulauan Asia (Asian Island). Data pendukung lain berupa peta digital rupa bumi Indonesia skala 1 : tahun 1999 (Bakosurtanal), peta administrasi kabupaten di Indonesia skala 1 : tahun 1999 (Bakosurtanal), data jumlah penduduk kabupaten di Indonesia dan data pendapatan per kapita tiap kabupaten tahun 2004 (Badan Pusat Statistik). Sedangkan peralatan yang digunakan yaitu seperangkat PC (Personal Computer) dengan perangkat lunak pengolah citra ERDAS Imagine 8.5, Arc View 3.2, ER Viewer 7.0 dan Microsoft Office. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari 4 tahap, yang terdiri dari kegiatan pengolahan awal citra (pre-image processing), pengolahan citra (image processing), analisis perubahan penutupan hutan alam dan analisis faktor penentu perubahan hutan alam. Pengolahan awal citra (pre-image processing) Pengolahan awal citra didahului dengan mengubah format data mentah citra satelit (format ers.) menjadi format yang dapat diolah oleh perangkat lunak pengolah citra (format img.). Proses ini dilakukan menggunakan software ER Viewer 7.0. Kemudian dilakukan layer stack dengan mengintegrasikan saluran-

26 saluran spektral (band) pada data citra (blue, red, near infrared, dan shortwave infrared) dalam satu lapisan saluran spektral data citra satelit. Penyekatan areal penelitian (cropping) dilakukan dengan memotong citra pada wilayah yang menjadi fokus penelitian yaitu wilayah Indonesia. Kegiatan ini dilakukan karena dalam satu scene citra SPOT 4 Vegetasi masih meliputi wilayah Kepulauan Asia Tenggara (Asian Island). Koreksi geometrik dilakukan untuk membetulkan koordinat peta karena adanya pergeseran obyek bumi akibat efek panoramik, lengkung dan perputaran bumi. Kesalahan geometrik dapat dikoreksi dengan menggunakan sejumlah titiktitik kontrol lapangan (Ground Control Point/GCP) yang cukup. GCP adalah suatu titik pada permukaan bumi yang diketahui koordinatnya baik pada citra (kolom/piksel dan baris) maupun pada peta (yang diukur dalam derajat lintang, bujur, feet atau meter). Teknik koreksi geometrik dilakukan dengan rektifikasi. Atas dasar acuan yang digunakan, rektifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rektifikasi citra-ke-peta (image-to-map rectification) Setelah citra terkoreksi dan mempunyai koordinat, dilakukan pengurangan awan dengan metode komposit time series. Menurut Kartikasari (2004) bahwa tingkat penutupan awan pada citra SPOT 4 Vegetasi dapat dikurangi dengan menggunakan metode komposit time series karena nilai digital penutupan awan lebih tinggi daripada nilai digital penutupan non awan pada semua band. Hal tersebut menjadi dasar pemilihan metode pembuatan komposit time series. Metode yang digunakan adalah Komposit Nilai Minimum. Penggunaan periode komposit yang semakin panjang akan lebih baik di dalam proses pengurangan awan. Citra dengan tingkat penutupan awan yang tinggi setelah dikurangi awannya dengan menggunakan metode komposit time series ternyata masih ada beberapa wilayah yang masih ditutupi awan dan haze. Daerah ini harus ditampal (overlay) dengan wilayah yang benar benar bersih dari awan dari tahun yang sama atau pada waktu yang berdekatan sampai diperoleh citra yang bersih dari awan dan haze.

27 Pengolahan citra (image processing) Menurut Kartikasari (2004), kelas penutupan terbaik yang mampu dibuat oleh citra satelit SPOT 4 Vegetasi adalah 5 kelas, yaitu kelas penutupan lahan vegetasi hutan alam (hutan dataran rendah, hutan rawa dan hutan mangrove), vegetasi non hutan alam (areal penanaman dan semak belukar), areal terbuka (penggabungan dari penutupan areal bekas tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami), badan air (hasil penggabungan penutupan berupa danau, sungai dan laut), serta awan. Dalam penelitian ini hanya 4 kelas penutupan lahan selain awan yang akan diklasifikasi. Menurut Prasetyo dan Fitria (2005), Metode terbaik yang dapat digunakan dalam klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi yaitu metode klasifikasi knowledge based dengan teknik fuzzy yang menghasilkan nilai akurasi sebesar 92,36 %. Tingkat akurasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan teknik klasifikasi fuzzy classification sebesar 76,22 % dan teknik klasifikasi terbimbing dengan metode maximum likelihood sebesar 71,89 %. Analisis perubahan penutupan hutan alam Citra yang telah diolah, dipotong (cropping) menurut kabupaten dan ditampilkan berdasarkan waktu perekaman untuk menghasilkan tampilan areal perubahan penutupan hutan alam per kabupaten di seluruh wilayah Indonesia tahun 2001 dan tahun Analisis perubahan penutupan hutan alam dilakukan dengan membandingkan luas hutan alam pada peta penutupan hutan alam per kabupaten tahun 2001 dengan peta penutupan hutan alam per kabupaten 2004 sehingga dapat dilihat perubahan penutupan hutan alamnya. Penghitungan luas hutan alam menggunakan fasilitas -tools pada software Arc View 3.2 setelah dilakukan perubahan data raster menjadi data vektor (vektorisasi) pada citra tahun 2001 dan tahun Analisis faktor penentu perubahan hutan alam Setelah mengetahui perubahan luas hutan alam per tahun pada tiap kabupaten di Indonesia, kemudian dilakukan analisis faktor-faktor penentu perubahan hutan alam di Indonesia. Faktor-faktor penentu tersebut adalah sisa hutan alam tahun 2001, jumlah penduduk dan pendapatan per kapita tiap kabupaten.

28 Hubungan antara laju perubahan hutan alam per tahun dengan faktorfaktor penentu tersebut dapat diketahui dengan mengetahui koefisien korelasinya (r). Hal ini dapat dilakukan dengan membuat regresi linear sederhana tiap faktor tersebut. Setelah mendapatkan nilai korelasi (r), kemudian dilakukan pengujian hipotesis terhadap ρ. Keberartian korelasi ini diuji melalui hipotesis uji: Ho : ρ = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel x dan y Ho : ρ 0, berarti ada hubungan antara variabel x dan y Nilai t-tabel pada taraf nyata (α) 5% dan (α) 1% didapatkan dari tabel nilai kritik sebaran t-student. Sedangkan untuk statistik hitungnya (t-hitung) didapatkan dengan rumus: t = r / (1-r 2 /n-2) atau dapat dilihat pada statistik regresi pada model regresi linear sederhana. Keputusan yang akan diambil adalah : Tolak Ho, jika t-hitung > t-tabel yang berarti bahwa variabel x dan y mempunyai hubungan yang dapat menjelaskan satu sama lain Terima Ho, jika t-hitung < t tabel yang berarti bahwa variabel x dan y tidak mempunyai hubungan yang dapat menjelaskan satu sama lain. Dalam regresi berganda terdapat dua atau lebih peubah bebas dan satu peubah tak bebas. Dalam hal ini laju perubahan hutan alam akan dihubungkan dengan ketiga faktor tersebut dengan hipotesis : Ho : β 1 = β 2 = β 3 = 0, berarti bahwa antara variabel y dengan x 1, x 2 dan x 3 tidak ada hubungan Ha : β 1 0 dan atau β 2 0 dan atau β 3 0, berarti bahwa variabel y tergantung pada x 1, x 2 dan x 3 atau ketiga-tiganya Nilai f-tabel pada taraf nyata (α) 5% dan (α) 1% didapatkan dari tabel nilai sebaran kritik F. sedangkan untuk f-hitung didapatkan dari nilai f dari model regresi linear berganda yang telah dibuat. Keputusan yang akan diambil adalah: Tolak Ho, jika f-hitung > dari f-tabel Terima Ho, jika f-hitung < dari f-tabel

29 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Luas Indonesia terletak antara 6 o LU - 11 o LS dan antara 97 o BT o BT yang diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia. Negara Kesatuan yang berbentuk republik ini sejak tahun 2004 dibagi menjadi 33 provinsi dengan 3 tambahan provinsi baru yaitu Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat. Pada tahun 2004 provinsi-provinsi di Indonesia terdiri dari 349 Kabupaten, 91 Kotamadya, Kecamatan dan desa. Indonesia merupakan negara bahari yang mempunyai luas laut sekitar 7,9 juta kilometer persegi (termasuk Zona Ekonomi Ekslusif) atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia dan merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Luas daratan Indonesia sekitar 1,86 juta kilometer persegi atau 19% dari luas keseluruhan total yang mempunyai ratusan gunung api dan sungai. Secara geografis, Indonesia berbatasan dengan : Sebelah utara : Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan Sebelah selatan : Australia, Samudra Hindia Sebelah barat : Samudra Hindia Sebelah timur : Papua Nugini Musim dan Iklim Indonesia mempunyai dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik terjadi musim hujan. Keadaan seperti itu terjadi setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November. Indonesia mempunyai iklim tropis basah yang dipengaruhi oleh angin monsun barat dan monsun timur dengan variasi curah hujan rata-rata antara 996,60 mm sampai 4.927,20 mm sepanjang tahun Bulan November

30 merupakan bulan dengan curah hujan paling banyak. Suhu udara rata-rata di Indonesia berkisar antara 23ºC sampai dengan 28ºC sepanjang tahun, namun juga sangat bervariasi tergantung letak daerahnya. Sedangkan kelembabannya bervariasi antara 61 sampai dengan 81 R.h. Hidrologi Hampir di seluruh pulau di Indonesia dilewati oleh sungai-sungai besar yang berperan sangat besar bagi kehidupan manusia mulai dari memenuhi kebutuhan air sampai sebagai jalur transportasi utama seperti di Kalimantan. Sungai-sungai ini juga berperan sebagai urat nadi perekonomian bagi penduduk di sekitar sungai. Sungai-sungai terbesar yang ada di Indonesia antara lain Sungai Kapuas yang merupakan terpanjang di Indonesia, Sungai Barito, Sungai Musi, Sungai Bengawan Solo, Kali Brantas, Sungai Mamberamo, Sungai Mahakam dan lainlain Flora dan fauna Kehidupan fauna di Indonesia terbagi kedalam tiga daerah yaitu daratan Indonesia sebelah barat dengan fauna Asia, daratan Indonesia sebelah tengah dengan fauna peralihan dan daratan Indonesia sebelah timur dengan fauna Australia. Ketiga daerah ini dipisahkan oleh garis maya wallace dan garis webber. Daerah sebelah barat yang mempunyai kesamaan fauna dengan Asia meliputi Pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa. Daerah peralihan yang memiliki kekhasan tersendiri meliputu Pulau Sulawesi. Sementara daerah timur yang mempunyai kesamaan dengan Australia meliputi Pulau Maluku dan Papua. Fauna di Indonesia antara lain : Orang utan (Pongo pygmaeus), Macan Tutul (Panthera pardus), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), Badak Jawa (Rhinoceros sondaica), memiliki keanekaragaman jenis yang sangat tinggi. Flora di Indonesia sangat beragam, mulai dari tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat tinggi. Hutan dataran rendah Indonesia mempunyai berbagai jenis kayu komersil seperti meranti, merbau, ramin dan lain-lain. Berbagai

31 tumbuhan langka juga memperkaya flora Indonesia dari mulai Anggrek, Raflesia dan lain-lain ( Demografi Indonesia dengan wilayah yang cukup luas mempunyai jumlah penduduk yang besar pula. Pada tahun 2003 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 213,7 juta jiwa atau merupakan negara dengan penduduk ketiga terbesar di Asia setelah RRC dan India. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 1990 yaitu dari 1,97% selama periode menjadi 1,49% pada periode kemudian menurun lagi menjadi 1,43% selama periode Jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Sebagian penduduk masih terpusat di pulau Jawa atau di kota-kota besar. Data tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 59% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa. Dari jumlah tersebut 18% tinggal di Jawa Barat, 15% tinggal di Jawa Tengah dan 17% tinggal di Jawa Timur. Besarnya jumlah penduduk dipulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk di pulau Jawa menjadi sangat tinggi yaitu 951 penduduk/km 2 di tahun 2000 dan terus meningkat menjadi 1009 penduduk/km 2 pada tahun Penduduk Indonesia dapat dibagi secara garis besar dalam dua kelompok. Di bagian barat Indonesia penduduknya kebanyakan adalah suku Melayu sementara di timur adalah suku Papua, yang mempunyai akar di kepulauan Melanesia. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak. (

32 PEMBAHASAN Pola Spektral Citra SPOT 4 Vegetasi Citra SPOT 4 Vegetasi pada kombinasi band dapat membedakan dengan baik 5 kelas penutupan lahan yaitu hutan alam, vegetasi non hutan alam, areal terbuka, badan air dan awan. Hutan alam terdiri dari hutan dataran rendah, hutan rawa dan hutan mangrove, sedangkan vegetasi non hutan alam adalah areal penanaman dan semak belukar. Areal terbuka merupakan penggabungan dari penutupan areal bekas tebangan, pemukiman, dan areal terbuka alami. Badan air adalah hasil penggabungan penutupan berupa danau, sungai dan laut (Kartikasari, 2004). Tiap kelas penutupan lahan mempunyai pola spektral yang berbeda-beda. Perbedaan pola spektral ini disebabkan perbedaan panjang gelombang yang dipantulkan oleh tiap kelas penutupan. Untuk mengamatinya dapat dilihat dari nilai digital (digital number) masing-masing kelas. Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Prasetyo dan Fitria (2005), telah diambil beberapa training area untuk tiap kelas penutupan pada citra SPOT 4 Vegetasi di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Nilai digital dari tiap kelas penutupan ini akan digabung sehingga mendapatkan nilai digital yang baru yang akan digunakan untuk melihat pola spektral seluruh Indonesia. Rekapitulasi nilai spektral gabungan ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Nilai Digital (DN) Rentang Spektral Kelas Penutupan Lahan band1 band2 band3 band4 Band hutan alam non hutan alam areal terbuka tubuh air Gambar 1 Rentang Spektral Gabungan Kelas Penutupan Lahan pada tiap Band

33 Dari gambar diatas dapat dilihat perbedaan rentang spektral tiap kelas penutupan lahan pada berbagai saluran (band). Pada panjang gelombang sinar tampak (band biru (1) dan band merah (2)) terdapat perbedaan rentang spektral untuk kelas penutupan bervegetasi (hutan alam dan non hutan alam) dan tanpa vegetasi (tanah terbuka dan tubuh air). Kelas penutupan bervegetasi memiliki reflektansi rendah pada panjang gelombang sinar tampak karena klorofil banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat pada sekitar 0.45 µm dan 0.65 µm (panjang gelombang sinar tampak). Penyerapan ini menyebabkan rendahnya reflektansi pada vegetasi. Reflektansi spektral setiap kelas penutupan lahan menjadi tinggi pada band inframerah dekat dan band inframerah sedang. Hal ini dijelaskan oleh Lillesand dan Kiefer (1990) bahwa mulai dari spektrum tampak ke arah inframerah pantulan kira-kira pada 0.7 µm, pantulan vegetasi sehat meningkat dengan cepat. Pada panjang gelombang antara 0.7 µm-1.3 µm, daun memantulkan 50 % tenaga yang datang dan selebihnya ditransmisikan, karena serapan pada daerah spektral ini minimal. Klorofil akan menyerap panjang gelombang biru dan merah pada band 1 dan 2 sehingga vegetasi akan nampak berwarna hijau. Berdasarkan rentang spektral terlihat bahwa band inframerah sedang dapat membedakan kelas penutupan areal terbuka, vegetasi non hutan alam, hutan alam, dan badan air. Setelah panjang gelombang 1.3 µm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit ditransmisikan. Penurunan pantulan terjadi pada panjang gelombang 1.4 µm, 1.9 µm, dan 2.7 µm karena air yang terdapat di daun menyerap sangat kuat pada panjang gelombang ini. Untuk menyusun fungsi keanggotaan fuzzy, digunakan nilai digital piksel dari gabungan training area yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya. Aturan yang telah disusun telah diuji secara temporal sehingga dapat digunakan untuk klasifikasi pada citra dengan periode perekaman yang berbeda. Nilai digital hasil gabungan training area dan band penentu dapat dilihat pada tabel 2.

34 Tabel 2. Nilai digital hasil gabungan training area Sumatra dan Kalimantan Kelas penutupan Band Nilai Min Nilai Max Rata-rata (Mean) Hutan Alam , , , ,42 Vegetasi Non Hutan Alam , , ,26 Areal terbuka , Badan Air , Berdasarkan Tabel 2 di atas, nilai digital dari band penentu (dicetak tebal) akan digunakan dalam penyusunan aturan dengan logika fuzzy. Fungsi keanggotaan masing-masing kelas penutupan lahan bernilai benar, apabila termasuk ke dalam rentang spektral yang telah diidentifikasi. Fungsi keanggotaan untuk nilai spektral dibawah atau diatas rentang tersebut dihitung dengan menggunakan rumus sehingga didapatkan fungsi keanggotaan antara 0 sampai 1 yang merupakan piksel fuzzy. Deskripsi aturan untuk seluruh kelas penutupan dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah aturannya tersusun, klasifikasi dilakukan terhadap citra SPOT 4 Vegetasi hasil perekaman tahun 2001 dan tahun Klasifikasi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari aturan yang telah dibuat dalam mengklasifikasikan setiap kelas penutupan lahan pada tahun yang berbeda. Aturan dibuat pada citra tahun 2001 karena nilai digital yang digunakan dalam penyusunan aturan menggunakan nilai digital citra SPOT 4 Vegetasi tahun Klasifikasi citra SPOT 4 vegetasi tahun 2004 dilakukan setelah klasifikasi pada citra tahun 2001 dapat digunakan dalam membedakan kelas penutupan lahan.

35 Hasil Klasifikasi Citra Gambar 2. Hasil Klasifikasi Citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2001 Gambar 3. Hasil klasifikasi Citra SPOT 4 Vegetasi tahun 2004

36 Citra yang diklasifikasi adalah citra yang sudah diperbaiki tingkat keawanannya dengan metode komposit time series. Pada citra tahun 2001 digunakan citra hasil perekaman bulan Juni dan bulan Juli tahun 2001 karena pada bulan tersebut tingkat keawanannya lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada citra tahun 2004 digunakan citra hasil perekaman bulan Juli dan Agustus 2004 karena tingkat keawanannya juga lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Hasil klasifikasi menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara citra tahun 2001 dengan citra tahun Perbedaaan ini dapat dilihat dari beberapa kelas penutupan yang tidak dapat terklasifikasi dengan baik. Kelas penutupan hutan alam tidak terklasifikasi dengan baik pada tahun 2001 dimana luas hutan alam tahun 2001 lebih kecil dibandingkan dengan luas hutan alam Hal ini disebabkan banyak daerah yang tertutup haze pada tahun 2001 yang seharusnya kelas penutupannya hutan alam terklasifikasi sebagai kelas penutupan selain hutan alam. Sementara pada tahun 2004 daerah tersebut kelas penutupannya hutan alam. Hal seperti ini banyak terjadi di daerah Papua dan Kalimantan yang kondisi penutupan lahannya banyak tertutup awan dan haze. Penutupan awan tebal dapat dikurangi dengan metode komposit time series tapi tidak semua awan dapat dihilangkan. Begitu juga dengan adanya kabut tipis (haze) yang sulit dihilangkan pada citra multi temporal. Gangguan berupa haze ini diakibatkan oleh pengaruh interaksi antara radiasi matahari dengan atmosfir bumi. Interaksi ini akan menyebabkan distorsi radiometrik eksternal yang tidak sistematis. Pengaruh dari interaksi tersebut dapat berupa menigkatnya kecerahan (brightness) apabila radiasi matahari dipencarkan (scattering). Sementara apabila radiasi matahari diserap akan menyebabkan menurunnya tingkat kecerahan (Jaya, 2002). Untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh gangguan haze ini dilakukan dengan menampalkan (overlay) bagian yang terdapat haze tersebut dengan citra yang relatif bersih dari haze. Citra yang bersih dari haze ini harus berasal dari tahun perekaman yang sama agar penutupan lahan di daerah yang terdapat haze ini relatif sama atau tidak banyak mengalami perubahan.

37 Disribusi Hutan Alam Tiap Kabupaten dan Laju Perubahannya Dalam citra SPOT 4 Vegetasi, kelas penutupan hutan alam merupakan penggabungan dari penutupan hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan rawa primer serta hutan rawa sekunder. Kelas penutupan vegetasi non hutan alam merupakan hasil penggabungan dari penutupan semak/belukar, perkebunan, belukar rawa, sawah, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semusim. Kelas penutupan areal terbuka merupakan penggabungan dari tanah terbuka, pemukiman, transmigrasi, pertambangan dan rawa. Sedangkan penutupan badan air merupakan hasil penggabungan tubuh air, sungai, danau dan tambak. Berdasarkan hasil klasifikasi citra SPOT 4 Vegetasi didapatkan bahwa hutan alam yang terdapat di Indonesia tahun 2001 seluas Ha, sementara untuk tahun 2004 hutan alam Indonesia seluas Ha. Selama kurun waktu 3 tahun dari tahun 2001 sampai 2004, hutan alam yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia berkurang seluas Ha atau berkurang Ha per tahun. Gambar 4. Peta perubahan hutan alam Indonesia tahun 2001 sampai tahun 2004 Distribusi hutan alam dan laju pengurangannya di tiap kabupaten dapat dilihat pada lampiran 4, Sementara distribusi hutan alam tiap provinsi adalah sebagai berikut :

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION (STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN) AYURANI PRASETIYO E

APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION (STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN) AYURANI PRASETIYO E APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETATION (STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN) AYURANI PRASETIYO E14101023 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETASI (STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA) OLEH : WIRA FITRIA E

APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETASI (STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA) OLEH : WIRA FITRIA E APLIKASI KLASIFIKASI KNOWLEDGE BASED DENGAN TEKNIK FUZZY PADA SPOT 4 VEGETASI (STUDI KASUS DI PULAU SUMATERA) OLEH : WIRA FITRIA E14101005 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Mahasiswa : Cherie Bhekti Pribadi (3509100060) Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Teguh Hariyanto, MSc Udiana Wahyu D, ST. MT Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban A630 Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban Dhiyaulhaq Al Majid dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a Lilik Budi Prasetyo Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan-IPB, PO.Box 168 Bogor, Email

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH 2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN Danau Rawa Pening, Provinsi Jawa Tengah PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH LI1020010101 PEDOMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang cukup luas dengan penduduk yang beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni Juli 2012 di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Mamberamo Alasmandiri,

Lebih terperinci

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 SEBAGAI PENUNJANG DATA DASAR UNTUK RENCANA DETAIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) Heri Setiawan, Yanto Budisusanto Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci