ANALISIS MODEL PERKEMBANGAN WILAYAH DAN KONSISTENSI PERENCANAAN INTER-REGIONAL CONTEXT DALAM TATA RUANG KOTA BANDAR LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS MODEL PERKEMBANGAN WILAYAH DAN KONSISTENSI PERENCANAAN INTER-REGIONAL CONTEXT DALAM TATA RUANG KOTA BANDAR LAMPUNG"

Transkripsi

1 165 ANALISIS MODEL PERKEMBANGAN WILAYAH DAN KONSISTENSI PERENCANAAN INTER-REGIONAL CONTEXT DALAM TATA RUANG KOTA BANDAR LAMPUNG Endang Wahyuni Dosen Fakultas Teknik Universitas USBRJ ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsistensi mekanisme penataan spasial di Kota Bandar Lampung dan dampaknya terhadap perkembangan daerah perkotaan. Penelitian ini menghasilkan adanya inkonsistensi dalam penataan ruang yang mengakibatkan degradasi perkembangan wilayah. Padahal perkembangan suatu wilayah itu ditandai dengan adanya ketersediaan infrastruktur dasar (seperti jalan, penyedia telekomunikasi dan air domestik) dan kondisi fisik tanah yang bagus yang menjamin ketersediaan air tanah. Perkembangan suatu wilayah tergantung dari perkembangan wilayah-wilayah sekitarnya, yang secara langsung berbatasan, bahkan juga dengan wilayah yang ada di dalam perbatasan, sehingga kerjasama dan usaha untuk mensinergikan perkembangan suatu wilayah dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) menjadi sangat penting untuk tercapainya tujuan pembangunan. Keywords: konsistensi penataan spasial, kerjasama antar wilayah, perkembangan wilayah PENDAHULUAN Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan produktivitas kota, sehingga mampu mendorong sektor perekonomian wilayah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Kota Bandar Lampung merupakan pusat pemerintahan Provinsi Lampung. Posisinya yang terletak diujung tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera menjadikan Kota Bandar Lampung memiliki peran yang sangat strategis, baik dalam skala nasional (sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kawasan Andalan Nasional), regional maupun provinsi (sebagai pusat pelaya nan primer bagi kawasan-kawasan di sekitarnya). Oleh karena itu diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik bagi penghuninya maupun bagi kawasan-kawasan di sekitarnya. Walaupun Kota Bandar Lampung sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan

2 166 sejak tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003, pada kenyataannya RTRW tersebut kurang mampu memberikan kontribusi penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, yaitu berupa kesemrawutan, kekumuhan, konversi kawasan lindung dan keterbatasan openspace. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pemanfaatan ruang kota. Salah satu contoh adalah akibat kemacetan akan terjadi inefisiensi bagi pengguna jalan dari sisi waktu, biaya (kendaraan menjadi cepat rusak), psikologis, penurunan kualitas lingkungan akibat polusi bahan bakar dan sebagainya, yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kerugian, baik kerugian finansial maupun non finansial. Jika permasalahan tersebut tidak segera dicarikan alternatif solusi terbaik, maka kota akan semakin tidak efisien, terjadi penurunan kualitas lingkungan serta bukan lagi menjadi hunian yang nyaman. Dalam jangka panjang inefisiensi akan menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kemungkinan permasalahan tersebut disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Kajian analisis dalam penelitian ini difokuskan pada konsistensi perencanaan, khususnya terkait dengan prosedur teknis penyusunan RTRW. Dampak inkonsistensi tercermin dalam berbagai permasalahan pemanfaatan ruang yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Perkembangan wilayah dalam hal ini diidentifikasikan dengan kondisi fisik ruang, ekonomi, sosial dan budaya yang dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh faktor karakteristik fisik wilayah dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat nadi kehidupan suatu wilayah dan keberadaannya sangat diperlukan untuk memacu dan mendorong perkembangan wilayah. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis konsistensi rencana tata ruang Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter- Regional Context). 2. Menganalisis implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor-faktor pendorong perkembangan wilayah. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan Bulan Juni sampai September 2006 di Kota Bandar Lampung yang secara administratif terdiri dari 98 kelurahan. Penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai instansi berwenang seperti data Potensi Desa Tahun 2005 ( BPS

3 167 Pusat), dokumen RTRW (Bappeda Kota Bandar Lampung) dan Peta Geologi dan Rawan Bencana (P3G) serta beberapa peta dari dinas teknis terkait. Untuk melihat konsistensi Inter-Regional Context digunakan peta recana penggunaan lahan dalam RTRW Provinsi Lampung (Bappeda Provinsi Lampung) dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan (Bappeda Kabupaten Lampung Selatan). Semua peta diolah dan disajikan dalam format yang sama dengan menggunakan perangkat lunak (software) ArcView GIS 3.3. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan metode analisis kuantitatif, analisis diskriptif dan analisis Map GIS. Untuk melihat konsistensi penyusunan RTRW dengan pedoman (UU Nomor 24 Tahun ; PP Nomor 47 Tahun , Kepmen Kimpraswil Nomor 327/Tahun ; Perda Nomor 5 Tahun ) dilakukan dengan analisis tabel perbandingan. Dampak inkonsistensi dianalisis dengan menggunakan analisis logika verbal. Untuk mengetahui apakah penyusunan RTRW sudah memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Context) dilakukan analisis map overlay yang dilanjutkan dengan analisis 1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang 2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) 3) Tentang Pedoman Penyusunan Tata Ruang Wilayah 4) Tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung logika verbal. Untuk memodel kinerja perkembangan wilayah dilakukan dua analisis, yaitu Principal Component Analysis (PCA) untuk memperoleh indeks komposit yang akan digunakan dalam analisis kedua, yaitu analisis Spatial Durbin Model. Metode ini merupakan bentuk pengembangan dari regresi sederhana yang mengakomodasikan fenomena interaksi spasial. Representasi faktor interaksi spasial pada Spatial Durbin Model adalah dengan matriks kedekatan (ketetanggaan dan jarak sentroid) yang disebut dengan contiguity matrix. Kedua analisis ini menggunakan Software Statistica. Untuk mengetahui keterkaitan antara konsistensi, permasalahan tata ruang dan perkembangan wilayah dilakukan dengan menggunakan analisis logika verbal. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsistensi Inter-Regional Context Dalam UU 24 Tahun 1992 pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil 327/KPTS/M/2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah sekitarnya. Dari hasil map overlay antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan peta RTRW Kabupaten Lampung Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung menunjukkan adanya wilayah yang tidak bertuan dan wilayah overlap di wilayah perbatasan. Dari berbagai sudut pandang, wilayah-wilayah tersebut berpotensi menimbulkan

4 168 konflik pada masa yang akan datang. Wilayah overlap tersebut terdapat di Kelurahan-kelurahan Sumber Agung, Kemiling Permai, Rajabasa Raya dan Harapan Jaya. Selain wilayah overlap juga terdapat wilayah tidak bertuan, yang terdapat di Kelurahan-kelurahan Rajabasa Jaya, Harapan Jaya, Sukarame dan Campang Raya. Dalam konteks ini terlihat bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung kurang memperhatikan kesinergian dengan wilayah sekitarnya. Hal ini disebabkan karena dalam proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung kurang memperhatikan RTRW pada hirarki yang lebih tinggi (Provinsi Lampung) dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan. Dipihak lain sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang Kawasan yang memiliki kekuatan hukum untuk mengatur kesinergian ruang Kota Bandar Lampung dengan wilayah sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah tetangga menjadi wilayah yang terpinggirkan dan kurang mendapat prioritas dalam pembangunan, sehingga mengalami kinerja pembangunan dengan kategori kurang, walaupun wilayah tersebut berpotensi untuk berkembang. Wilayah tersebut meliputi Kelurahan-kelurahan Sukamaju, Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Akibat selanjutnya adalah terjadi kesenjangan pembangunan yang semakin lebar antara pusat kota dengan wilayah tersebut. Menurut Hukum Minimum Leibig, kinerja perkembangan yang buruk pada satu wilayah akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan. Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah akan mengancam eksistensi wilayah lain yang memiliki kinerja perkembangan baik. Untuk itu keberimbangan pembangunan sangat penting diperhatikan agar pencapaian kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal (Saefulhakim, 2006). Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama, koodinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya (Inter-Regional Cooperation). Konsistensi Pemanfaatan Ruang Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang dapat dilihat dari semakin meningkatnya permasalahan konversi lahan yang disebabkan karena adanya penyimpangan legal dan lemahnya aspek pengendalian. Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang ini menyebabkan perbedaan kategori kinerja perkembangan wilayah. Contoh inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang adalah konversi dari peruntukan lahan non industri menjadi industri yang terjadi di Kelurahan-kelurahan Campang Raya, Srengsem, Kupang Kota, Garuntang, Sukaraja, Rajabasa Raya dan Kedamaian. Keberadaan industri di kawasan permukiman menyebabkan berbagai permasalahan, seperti kasus pencemaran air di Sungai Dadap (Kelurahan Kedamaian) oleh PT Golden Sari beberapa waktu yang lalu.

5 169 Contoh lain adalah kasus penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta (Jaringan advokasi tambang, 2004). Selain menyebabkan kerusakan lingkungan, aktivitas tersebut mendapatkan protes keras dari berbagai elemen masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, wilayahwilayah yang mengalami inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang memiliki kategori perkembangan wilayah sedang dan kurang. Konsistensi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang menunjukkan lemahnya aspek pengendalian dalam penataan ruang di Kota Bandar Lampung. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi. Permasalahan dalam pengendalian antara lain disebabkan karena: pemberian ijin (IMB, SITU, ijin prinsip, ijin lokasi & IPB) tidak sesuai RTRW; kurangnya sosialisasi RTRW; sistem informasi spasial belum memadai (tidak jelas batas -batas koordinat setiap peruntukan lahan), didukung minimnya jumlah benchmark, sehingga sulit untuk mengetahui kesesuaian ketepatan lokasi di lapangan dengan peta; RTRW tidak dibreakdown kedalam rencana yang lebih detail; serta lemahnya koordinasi antar institusi maupun kinerja BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Tingkat konsistensi dalam pengendalian belum dapat diukur karena sampai saat ini belum disusun dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung. Model Perkembangan Wilayah Dengan menggunakan kriteria [Factor Loadings] > 0,65, hasil PCA dari 38 variabel perkembangan wilayah, 15 variabel prasarana dasar dan 17 variabel kondisi fisik wilayah dapat dirumuskan delapan indeks komposit sebagai berikut: 1. Indeks perkembangan aktifitas ekonomi & transportasi wilayah (F1PW), dengan penciri utama variabel warung, restoran, bank, hotel dan stasiun. Semua variabel berkorelasi positif, artinya peningkatan jumlah unit pada satu variabel akan menyebabkan peningkatan jumlah unit pada variabel lainnya. 2. Indeks perkembangan fisik ruang wilayah (F2PW), dengan penciri utama variabel kawasan terbangun. 3. Indeks perkembangan aktifitas pendidikan wilayah (F3PW), dengan penciri utama variabel SLTP dan SLTA yang berkorelasi positif. 4. Indeks perkembangan prasarana dasar wilayah (jalan lokal, PDAM

6 170 & telepon) (F1PD), dengan penciri utama variabel rasio jalan kota terhadap luas wilayah, jumlah pelanggan PDAM pada kelompok pertama dan ketiga serta jumlah pelanggan telepon. Semua variabel berkorelasi positif. 5. Indeks perkembangan jalan nasional wilayah (F2PD), dengan penciri utama rasio jalan nasional terhadap luas wilayah dan terhadap jumlah penduduk. 6. Indeks keterjalan & kelangkaan air tanah (F 1FW), dengan penciri utama kondisi hidrologi air tanah langka, formasi geologi alluvium dan formasi campang dengan kelerengan lebih dari 40%. Semua variabel penciri berkorelasi positif. 7. Indeks kelandaian & persebaran air tanah produktivitas sedang (F2FW), dengan penciri utama hidrologi akuifer produktivitas sedang dan menyebar luas, formasi endapan gunung api muda serta kelerengan 2-20%. 8. Indeks air tanah produktifitas rendah (F3FW), dengan penciri utama hidrologi akuifer produktivitas rendah, dengan formasi batuan granit tak terpisahkan dan formasi tarahan. Ketiga variable penciri tersebut berkorelasi positif. Model Perkembangan Aktifitas Ekonomi Wilayah Ln[F1PW] = -3,877-10,399 W2Ln[F1PW] + 5,526 W2Ln[F1PD] - 3,259 W2Ln[F3FW] + 1,678 W1Ln[F1PW] + 1,312 W2Ln[F2FW] + 0,536 W1Ln[F3FW] + 0,449 Ln[F1FW] Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100% dan elastisitas 10,399%, artinya jika perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu meningkat 1% akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut sebesar 10,399%. Koefisien bernilai negatif, artinya jika perkembangan aktifitas ekonomi dalam radius tertentu lebih baik dari wilayah tersebut, maka aktifitas ekonomi akan bergeser ke wilayah dalam radius tertentu. 2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,4% dengan elastisitas 5,526%. Koefisien bernilai positif, artinya peningkatan ketersediaan prasarana dasar akan menyebabkan peningkatan perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tersebut. Hal ini cukup logis karena kelengkapan prasarana dasar di wilayah sekitar akan mempengaruhi percepatan perkembangan suatu wilayah. 3. W2Ln[F3FW] adalah ketersediaan air tanah produktifitas rendah

7 171 dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 3,259% dan koefisien bernilai negatif. 4. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,678% dan koefisien positif. Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah akan dapat merangsang kawasan-kawasan disekitarnya untuk turut berkembang. 5. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 97,7%, elastisitas 1,312% dengan koefisien positif. Variabel nyata dan tidak elastis 1. W1Ln[F3FW] adalah karakteristik kondisi air tanah produktifitas rendah pada wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 98,6% dan koefisien bernilai positif. 2. Ln[F1FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 97,7% dan koefisien positif. Variabel tidak nyata dan tidak elastis Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktifitas ekonomi dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% dapat diterangkan oleh model ini. Model Perkembangan Fisik Ruang Wilayah Ln[F2PW] = 8,915-7,012 W2Ln[F2PW] + 3,449 W2Ln[F1PD] - 1,671 W2Ln[F2FW] + 1,53 W1Ln[F2PW] - 0,858 W1Ln[F1PD] + 0,457 W1Ln[F1PW] + 0,365 Ln[F1PD] - 0,264 Ln[F3FW] - 0,253 Ln[F1FW] + 0,175 Ln[F2FW] Urutan penting faktor penentu perkembangan fisik ruang di suatu wilayah Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,8%, elastisitas 7,012 dan koefisien bernilai negatif. 2. W2Ln[F1PD] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, air bersih dan telepon) dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 93,6%, elastisitas 3,449% dan koefisien bernilai positif. 3. W2Ln[F2FW] adalah kelandaian dan ketersediaan air tanah produktifitas sedang dan menyebar luas dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,1%, elastisitas 1,671 dan koefisien bernilai negatif. 4. W1Ln[F2PW] adalah perkembangan fisik ruang terbangun di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,53% dan koefisien bernilai positif.

8 172 Variabel nyata dan tidak elastis 1. W1Ln[F1PD] adalah perkembangan prasarana dasar (jalan, telepon dan air bersih) wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 94,2% dan koefisien bernilai negatif. 2. W1Ln[F1PW] adalah perkembangan aktifitas ekonomi wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 97,3% dan koefisien bernilai positif. 3. Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana dasar wilayah (jalan, air bersih dan telepon) dengan tingkat kepastian 99,8% dan koefisien positif. Artinya ketersediaan prasarana dasar merupakan pemicu peningkatan ruang terbangun dalam suatu wilayah. Hal senada diungkapkan McGill bahwa pengujian proses manajemen kota harus dilihat sebagai provision infrastructur, karena keberadaan infrastruktur tidak hanya mendukung perkembangan wilayah, tetapi juga distribusi spasial dari perkembangan kota (McGill, 1998). 4. Ln[F3FW] adalah kondisi fisik dengan karakter air tanah produktifitas rendah dengan tingkat kepastian 96,7% dan koefisien negatif. Artinya kawasan dengan karakteristik tersebut menjadi penghambat pelaksanaan fisik ruang terbangun. 5. Ln[F1FW] adalah kawasan dengan karakter terjal dan kelangkaan air tanah dengan tingkat kepastian 98,9% dan koefisien bernilai negatif. 6. Ln[F2FW] adalah kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 95,1% dan koefisien positif. Hal ini cukup logis mengingat pembangunan fisik ruang akan lebih mudah dan murah serta memiliki resiko yang lebih kecil jika di bangun pada wilayah dengan topografi yang relatif landai dan ketersediaan airnya mudah. Variabel tidak nyata dan tidak elastis 1. Faktor-faktor yang tidak disebutkan diatas mempunyai pengaruh yang tidak nyata terhadap perkembangan fisik ruang di suatu wilayah. 2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan fisik ruang dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 54% masih dapat diterangkan oleh model ini. Model Perkembangan Aktifitas Pendidikan Wilayah Ln[F3PW] = 22,291-8,34 W2Ln[F3PW] - 4,884 W2Ln[F1PD] - 2,802 W2Ln[F3FW] + 2,801 W2Ln[F1FW] + 1,343 W1Ln[F3PW] - 0,208 Ln[F2PD] + 0,142 Ln[F2FW] Urutan penting faktor penentu perkembangan aktivitas pendidikan di suatu wilayah

9 173 Variabel nyata dan elastis 1. W2Ln [F3PW] adalah perkembangan aktifitas pendidikan dalam satu radius dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 8,34% dan koefisien bernilai negatif. 2. W2Ln[F1PD] adalah ketersediaan prasarana jalan, air bersih dan telepon dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 99,6%, elastisitas 4,884% dan koefisien negatif. 3. W2Ln[F3FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik air tanah produktifitas rendah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 2,802% dan koefisien bernilai negatif. 4. W2Ln[F1FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik terjal dan kelangkaan air tanah di wilayah dalam radius tertentu dengan tingkat kepastian 96,9%, elastisitas 2,801% dan koefisien bernilai positif. 5. W1Ln[F3PW] adalah perkembangan aktivitas pendidikan di wilayah tetangga dengan tingkat kepastian 100%, elastisitas 1,343% dan koefisien bernilai positif. Variabel nyata dan tidak elastis 1. Ln[F2PD] adalah keberadaan jalan nasional dengan tingkat kepastian 96,5% dan koefisien bernilai negatif, artinya bahwa keberadaan jalan nasional menjadi penghambat dalam perkembangan aktivitas pendidikan di suatu wilayah. 2. Ln[F2FW] adalah kondisi wilayah dengan karakteristik landai dan persebaran air tanah produktifitas sedang dengan tingkat kepastian 98,2% dan koefisien positif. Variabel tidak nyata dan tidak elastis 1. Faktor-faktor selain tersebut diatas tidak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan pendidikan disuatu wilayah. 2. Faktor-faktor lain yang menentukan perkembangan aktifitas pendidikan dalam suatu wilayah cukup banyak, tetapi 35% dapat diterangkan oleh model ini. Hasil analisis PCA perkembangan wilayah menunjukkan bahwa wilayah dengan kinerja perkembang baik adalah Kelurahankelurahan Gedung Meneng (pusat pendidikan), Pesawahan, Rawa Laut, Palapa dan Tanjung Karang (pusat kota). Wilayah dengan kinerja perkembangan rendah didominasi oleh wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lampung Selatan, yaitu Kelurahankelurahan Sukamaju, Keteguhan, Pinang Jaya, Rajabasa Raya, Way Laga dan Srengsem. Dari ketiga model empirik perkembangan wilayah menunjukkan bahwa faktor ketetanggaan (berbatasan langsung maupun dalam radius tertentu) sangat mempengaruhi kinerja perkembangan wilayah. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsep kerjasama dengan wilayah sekitarnya (Inter-Regional Cooperation) menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan (Inferensi generalism) dalam setiap kegiatan

10 174 pembangunan. Temuan tersebut juga mengindikasikan pentingnya Inter- Regional Cooperation dalam skala yang lebih luas, misalnya antar Kabupaten/Kota, khususnya Kota Bandar Lampung terkait dengan perannya sebagai pusat pelayanan primer bagi wilayah di sekitarnya serta PKN. Pentingnya kerjasama merupakan salah satu amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan. Menurut ketentuan tersebut, kerjasama yang bersifat lintas kabupaten/kota merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dengan melibatkan seluruh kabupaten yang bersangkutan. Untuk membuktikan pentingnya kerjasama antar kabupaten maupun antar provinsi secara empirik diperlukan penelitian lebih lanjut. SIMPULANDAN SARAN Simpulan 1. Penataan ruang seharusnya konsisten dengan pedoman yang berlaku, hal ini berlaku umum, bukan hanya di Bandar Lampung, sebab inkonsistensi dalam penataan ruang menyebabkan inefisiensi yang mengarah pada degradasi/kelumpuhan suatu wilayah. 2. Wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan termasuk dalam kategori kurang perkembangan (relative tertinggal), walaupun berpotensi berkembang. Untuk memacu perkembangan wilayah-wilayah tersebut diperlukan upaya kerjasama serta mensinergikan program-program pembangunan dengan wilayah sekitarnya ( Inter- Regional Cooperation). 3. Terdapat beberapa syarat untuk mendorong perkembangan wilayah, yaitu: a) Ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon), variabel significan, sehingga lebih efisien. Hal ini berimplikasi pada mekanisme anggaran, bahwa ketiga sektor tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk mempercepat atau mengendalikan perkembangan suatu wilayah. b) Kondisi fisik wilayah dengan karakteristik landai dan air tanah produktivitas sedang akan mendukung percepatan perkembangan wilayah. c) Hal yang sangat diperlukan untuk mencapai optimalisasi tujuan penataan ruang adalah kerjasama dengan wilayah sekitarnya ( Inter-Regional Cooperation). Saran 1. Penataan ruang memiliki implikasi terhadap perkembangan wilayah, sehingga konsistensi dalam penataan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan. 2. Pemerintah Provinsi Lampung perlu segera menyusun dan menetapkan Rencana Tata Ruang Kawasan, khususnya yang bersifat lintas kabupaten/kota.

11 Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu segera menyusun dokumen pendamping RTRW untuk melengkapi aspek-aspek yang belum diatur secara jelas serta dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung. 4. RTRW perlu dibreakdown dalam rencana yang lebih rinci, yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Teknik Ruang (RTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBK) dengan tetap memperhatikan efisiensi dalam pemanfataan ruang. 5. RTRW harus menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota) dan internal. ( pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan). DAFTAR PUSTAKA Anonim Pedoman Penyusunan Penataan Ruang. Jakarta. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Aronoff, S Geografic Information System: Management Perspective. Ottawa, Canada. WDL Publications. Budiharjo, Eko Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang dan Pembangunan Daerah untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional. Yogyakarta. Gajahmada University Press. LeSage, James P (1999). The Theory and Practice of Spatial Econometrics. Marquez LO and Maheepala S An Object-Oriented Approach to the Integrated Planning of Urban Development and Utility Services. Environ. and Urban Systems Vol. 20 No 4/5:pp McGill, R Urban Management in Developing Countries. Cities Vol 13 No 6:pp Saefulhakim, S Arah dan Isyu Strategis Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah: Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Saefulhakim, S Principal Components Analysis (PCA) dan Factor Analysis (FA) : Bogor. Fakultas Pertanian IPB. Wegener, M New Spatial Planning Models. JAG Vol 3 issue 3. Budiharjo, Eko Tata Ruang Perkotaan. Bandung. PT Alumni.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA

RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) IBUKOTA KECAMATAN TALANG KELAPA DAN SEKITARNYA 1.1 LATAR BELAKANG Proses perkembangan suatu kota ataupun wilayah merupakan implikasi dari dinamika kegiatan sosial ekonomi penduduk setempat, serta adanya pengaruh dari luar (eksternal) dari daerah sekitar.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG:

PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG: MATERI 1. Pengertian tata ruang 2. Latar belakang penataan ruang 3. Definisi dan Tujuan penataan ruang 4. Substansi UU PenataanRuang 5. Dasar Kebijakan penataan ruang 6. Hal hal pokok yang diatur dalam

Lebih terperinci

STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG

STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG STRATEGI UMUM DAN STRATEGI IMPLEMENTASI PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan. hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia.

Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan. hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia. 5.3 Keragaan Relatif Tingkat Perkembangan Desa-desa Pesisir Dibanding Desa/kelurahan pada Umumnya di Kota Bandar Lampung Berdasarkan Hasil Analisis Tipologi Wilayah 5.3.1 Hasil Tipologi Desa Menurut Analisis

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, pemukiman semakin lama membutuhkan lahan yang semakin luas. Terjadi persaingan yang kuat di pusat kota,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BANYUASIN 2012-2032 1. PENJELASAN UMUM Lahirnya Undang-Undang Penataan Ruang nomor

Lebih terperinci

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun

Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Skala peta = 1: Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan Skala peta = 1: 100.000 Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Fungsi : Menciptakan keserasian pembangunan kota inti dengan Kawasan Perkotaan sekitar

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menyangkut kelayakan dan taraf kesejahteraan hidup masyarakat. Rumah bukan hanya berfungsi sebagai

Lebih terperinci

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG A. Penataan Taman Kota Dalam Konteks Ruang Terbuka Hijau Pembangunan perkotaan, merupakan bagian dari pembangunan nasional, harus

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016-2035 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS

PAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS PAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS SESI PANEL MENTERI - RAKERNAS BKPRN TAHUN 2015 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Jakarta, 5 November 2015 DAFTAR ISI

Lebih terperinci

PEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN. Bab 2.1 KEDUDUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PENATAAN RUANG

PEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN. Bab 2.1 KEDUDUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PENATAAN RUANG Bab 2 PEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN Proses perencanaan merupakan proses yang terus berlanjut bagaikan suatu siklus. Demikian halnya dengan sebuah produk rencana tata ruang seperti RTRW Kabupaten,

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN

PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 2 3 4 1 A Pembangunan Perumahan TIDAK SESUAI dengan peruntukkan lahan (pola ruang) Permasalahan PENATAAN RUANG dan PERUMAHAN di Lapangan B Pembangunan Perumahan yang SESUAI dengan peruntukkan lahan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas I. Pendahuluan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kota

TINJAUAN PUSTAKA Kota TINJAUAN PUSTAKA 10 Kota What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN Disampaikan dalam Sosialisasi Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera Padang, 16 April 2014 OUTLINE Definisi, Peran dan Fungsi RTR Pulau Sumatera

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis wilayah Kota Bandar Lampung berada antara 50º20 -

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis wilayah Kota Bandar Lampung berada antara 50º20 - 56 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Administrasi Secara geografis wilayah Kota Bandar Lampung berada antara 50º20-50º30 LS dan 105º28-105º37 BT dengan luas wilayah 197,22 km

Lebih terperinci

UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL

UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL Rizal Imana 1), Endrawati Fatimah 2), Sugihartoyo 3) Jurusan Teknik Planologi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat diambil kesimpulan-kesimpulan selama penelitian dilakukan. Efektivitas strategi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 33 IV. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, penelitian ini dibangun atas dasar kerangka pemikiran bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai dengan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada sampai dengan 58 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Kota Bandar Lampung Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 5 0 20 sampai dengan 5 0 30 lintang selatan dan 105 0 28 sampai dengan 105

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5883 KESRA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Penyelenggaraan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 101). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Dinas Bina Marga Kabupaten Grobogan. Permasalahan berdasarkan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan. Permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ruang wilayah dan

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan. Permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ruang wilayah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lalu-lintas merupakan permasalahan rumit yang sering terjadi disetiap daerah perkotaan. Permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ruang wilayah dan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEMBANGUNAN KOTABARU LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010 MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN BIDANG: WILAYAH DAN TATA RUANG (dalam miliar rupiah) PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS 2012 2013 2014 I PRIORITAS BIDANG PEMBANGUNAN DATA DAN INFORMASI SPASIAL A

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BAB III ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Isu Strategis Dalam penyusunan renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor tentunya tidak terlepas dari adanya isu strategis pembangunan Kota Bogor, yaitu : a. Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung, selain

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung, selain IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Bandar Lampung 1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung, selain merupakan pusat kegiatan

Lebih terperinci

Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang

Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang Evaluasi terhadap Program Pengembangan Kawasan Siap Bangun (KASIBA) Studi Kasus: Kabupaten Malang Ir. Hery Budiyanto, MSA, PhD 1) 1) Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang, E-mail: budiyantohery@yahoo.com

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG I. UMUM Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai landasan hukum

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM

BAB II KETENTUAN UMUM BAB II KETENTUAN UMUM 2.1. Pengertian Umum Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

Lebih terperinci

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1 APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Oleh : Benny Rachman Amar K. Zakaria

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DINA WAHYU OCTAVIANI L2D 002 396 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: HENDRA WIJAYA L2D 307 014 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 i ABSTRAK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Transportasi sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang pembangunan. Transportasi merupakan suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tidak terlepas

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota sebagai pusat aktivitas manusia memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk datang ke kota. Hal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTR Kawasan) Skala peta = 1: atau lebih Jangka waktu perencanaan = 20 tahun

Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTR Kawasan) Skala peta = 1: atau lebih Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTR Kawasan) Skala peta = 1: 5.000 atau lebih Jangka waktu perencanaan = 20 tahun Fungsi : Menyiapkan perwujudan ruang, dalam rangka pelaksanaan program pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Ruang Lingkup

METODE PENELITIAN. Ruang Lingkup METODE PENELITIAN 27 Ruang Lingkup Dalam penelitian ini ada dua aspek yang ruang lingkupnya perlu dispesifikasikan, yaitu ruang lingkup materi dan ruang lingkup wilayah. Ruang lingkup materi Menurut UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 87 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur Oleh : Hadi Prasetyo (Kepala Bappeda Provinsi Jawa Timur) I. Pendahuluan Penataan Ruang sebagai suatu sistem

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 7 2012, No.54 LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2012 NOMOR : 2 TAHUN 2012 TANGGAL : 6 JANUARI 2012 RENCANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar pemerintah

I. PENDAHULUAN. daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMANTAUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi sanitasi di Indonesia dengan mengarusutamakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 2 KETENTUAN UMUM

BAB 2 KETENTUAN UMUM BAB 2 KETENTUAN UMUM 2.1 PENGERTIAN-PENGERTIAN Pengertian-pengertian dasar yang digunakan dalam penataan ruang dan dijelaskan di bawah ini meliputi ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang,

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK

ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI ABSTRAK ARAHAN PENGEMBANGAN PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH PENGEMBANGAN IV KABUPATEN BEKASI Yunan Maulana 1, Janthy T. Hidajat. 2, Noordin Fadholie. 3 ABSTRAK Wilayah pengembangan merupakan bagian-bagian wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENYEMPURNAAN RANCANGAN RTR KAWASAN STRATEGIS PANTURA JAKARTA 5.1. KESIMPULAN Kawasan Strategis Pantai Utara yang merupakan Kawasan Strategis Provinsi DKI Jakarta sesuai

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) M E D A N

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) M E D A N PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN Jl. Willem Iskandar No. 9 Telepon : (061) 6619431 6623480 M E D A N - 20222 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci