3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA 3.1. PENDAHULUAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA 3.1. PENDAHULUAN"

Transkripsi

1 3. ANALISIS FAKTOR KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA 3.1. PENDAHULUAN DKI Jakarta merupakah provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta 2010). Besarnya penduduk di wilayah ini menyebabkan banyak terdapat pencemaran lingkungan, seperti peningkatan polusi dan peningkatan suhu udara. Jumlah polusi udara dari sektor transportasi dan industri di Jakarta pada tahun 2007 telah mencapai 170 juta ton emisi CO 2 dan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas industri. Sementara untuk peningkatan suhu di tahun 2007 sudah mencapai o C o C. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan ini yaitu melalui keberadaan dan kelestarian hutan kota. Hutan kota menjadi salah satu alternatif dalam mengatasi pencemaran lingkungan ini dikarenakan pepohonan secara alami dapat menyerap gas CO 2 dari atmosfer yang disimpan dalam bentuk karbon dan dikeluarkan dalam bentuk oksigen. Manfaat hutan kota sebagai salah satu jasa lanskap perkotaan sebenarnya telah dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah sejak lama. Hal ini dapat dilihat ketika DKI Jakarta secara resmi melakukan penanaman pohon pada saat pemerintah Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia ke-7 pada tahun Penanaman pohon di atas lahan 5 ha pada lingkungan Gedung Wanabakti menjadi awal sejarah dicanangkannya hutan kota di seluruh Indonesia. Berawal dari kegiatan tersebut, maka bermunculan gerakan penanaman pohon di DKI Jakarta, diantaranya Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota UI Depok, Hutan Kota Kemayoran, Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap dan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur (Samsoedin dan Waryono, 2010). Seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur kota di DKI Jakarta, maka ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota sering menjadi korban. Pada tahun 1965, DKI Jakarta memiliki RTH lebih dari 35 % tetapi jumlah ini terus berkurang sampai dengan 9.3 % pada tahun 2003 dan diperkirakan akan menjadi 6.2 % pada tahun 2007 akibat komersialisasi ruang dan industrialisasi, padahal jika mengacu pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa proporsi RTH paling sedikit 30 % (20 % publik dan 10 % privat) dengan presentase luas hutan kota minimal 10 % dari luas wilayah perkotaan dan disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, seperti jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota (PP No. 63 Tahun 2002). Melihat permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta mencoba melakukan upaya peningkatan jumlah RTH dan hutan kota seperti melakukan penutupan SPBU yang berlokasi di kawasan hijau, penertiban bangunan-bangunan liar di sempadan sungai dan membangun hutan kota skala kecil di berbagai wilayah. Akan tetapi masih terdapat persoalan-persoalan dalam pengembangan hutan kota diantaranya yaitu persepsi stakeholder yang berbeda-beda terhadap hutan kota, lahan negara yang semakin terbatas, mahalnya harga tanah, tidak adanya insentif bagi masyarakat yang menanam pohon pada lahan miliknya, sulitnya mencari sumber dana, penegakan hukum dan sanksi yang masih lemah, kuranya sosialisasi 23

2 dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk mencari solusi dan prioritas kebijakan yang dapat mendukung pengembangan hutan kota BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kuisioner yang berfungsi sebagai panduan dan media input data ketika wawancara dengan responden, peta dasar hutan kota UI, peta dasar hutan kota Srengseng dan peta dasar hutan kota PT JIEP. Alat yang digunakan adalah Softwere Experrt Choice 11 untuk analisis input indepth interview dan Kamera untuk mengambil gambar-gambar yang terkait dengan penelitian Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Data diperoleh dari focus group discussion (FGD) tentang kebijakan hutan kota, wawancara dengan stakeholder hutan kota dan pengumpulan data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian Pemilihan Responden Pemilihan responden AHP dilakukan dengan metode purposive sampling. Responden pada penelitian ini merupakan individu atau lembaga yang dianggap mengerti persoalan hutan kota, dan mempunyai kemampuan dalam memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan pengembangan hutan kota. Responden tersebut berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Bidang Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan RI-Bogor, Balai Penelitian Benih Kehutanan-Bogor, Kebun Raya Bogor serta pihak pengelola hutan kota UI, Srengseng dan PT JIEP Penentuan Prioritas Kebijakan Pengembangan Hutan Kota Penentuan prioritas kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan metode atau alat yang dapat digunakan oleh seseorang pengambil keputusan untuk memahami kondisi suatu sistem, membantu melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). AHP juga merupakan metode yang memodelkan prioritas permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang sosial, kebijakan dan ilmu manajemen. Metode AHP memiliki kelebihan, yaitu sederhana dan tidak banyak asumsi dan juga cocok untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat strategis dan makro. AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi dan logis. Proses ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan logika, instuisi, dan pengalaman untuk memberikan pertimbangan. 24

3 Terdapat tiga prinsip dasar pada AHP, yaitu (1) penyusunan skema hirarki yaitu menggambarkan dan menguraikan masalah secara hirarki dengan memecah persoalan menjadi unsur-unsurr yang terpisah (Gambar 3.1), (2) penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen menurut kepentingannya dan (3) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan. Tahapan terpenting dalam AHP adalah penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen - elemen pada suatuu tingkatann hirarki (level). Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainya. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian untuk menentukan elemen yang memiliki prioritas tertinggii dan terendah. Ciri pemecahan masalah dengan menggunakann AHP adalah digunakannya hirarki untuk menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen - elemen yang sederhana, yaitu: (1) hirarki harus mampu menggambarkan sistem secara menyeluruh, (2) hirarki harus mampu memperhitungkan keputusan, (3) hirarki harus mampu mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengann keputusan, dan (4) hirarki harus mampu mengidentifikasii alternatif yang berhubungan dengan keputusan. Keuntungan digunakannya hirarki dalam pemecahan masalah yaitu: (1) hirarki mewakili suatu sistem yang dapat menerangkan bagaimana prioritas pada levell yang lebih tinggi dapat dipengaruhi prioritas pada level dibawahnya, (2) hirarkii memberikan informasi rinci mengenai struktur dan fungsi dari sistem pada levell yang lebih rendah dan memberikan gambaran pada level yang lebih tinggi, (3) sistem akan menjadi lebih efisien jika disusun dalam bentuk hirarki dibandingkan dalam bentuk lain, dan (4) bersifat stabil dan fleksibel yaitu penambahan elemen pada struktur yang telah tersusun tidak akan mengganggu elemen lain (Saaty 1993). Gambar 3.1. Abstraksi struktur hirarki AHP 25

4 Analisis Data a. Penyusunan Hirarki Analisis kebijakan pengembangan hutan kota dilakukan dengan metode AHP melalui bantuan kuisioner dan Software Expert Choise 11. Tujuannya adalah menentukan prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota. Landasan utama pengisian kuisioner adalah struktur hirarki dengan komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota (Gambar 3.2). KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON Sasaran Dukungan Peraturan (0,35) Peningkatan Kualitas Hutan Kota (0,49) Evaluasi dan Kontrol (0,16) Faktor Pemerintah (0,61) Masyarakat (0,23) Swasta (0,16) Aktor Evaluasi Peraturan (0,25) Perluasan Hutan Kota (0,20) Pemilihan Jenis Pohon (0,10) Dukungan Dana (0,13) Sanksi (0,04) Insentif (0,19) Sosialisasi (0,11) Alternatif Gambar 3.2. Skema hirarki kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka faktor yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Dukungan Peraturan Dukungan peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dukungan peraturan perundangan tertulis (aspek legal) tentang hutan kota atau yang terkait baik langsung maupun tidak langsung, yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Hirarkinya yaitu: UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Selain itu, dukungan peraturan ini juga dapat diartikan sebagai panduan teknis penyelenggaraan hutan kota yang menyertakan andil cadangan karbon didalamnya, sehingga diperoleh fungsi hutan kota yang optimal. 26

5 Fungsi peraturan hutan kota ini adalah untuk mengatur substansi hutan kota, sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam pengembangan hutan kota. Artinya peraturan hutan kota adalah sebagai instrumen kebijakan dalam bentuk apapun, baik penetapan, pengesahan, pencabutan dan perubahan. Peraturan ini semakin penting dalam penerapannya karena setiap tindakan harus didasari pada asas legalitas hutan kota itu sendiri. Hal ini berarti ketika stakeholder ingin melakukan tindakan terhadap hutan kota maka harus sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan. (2). Peningkatan Kualitas Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi mutu dan kesesuaian hutan kota dengan peraturan dan pedoman. Peningkatan kualitas hutan kota juga dapat diartikan sebagai suatu sistem verifikasi dan perawatan hutan kota dari suatu tingkat kualitas antara lain, yaitu: (a) penyusunan pengelolaan hutan kota (tujuan, program-program, kelembagaan dan dukungan dana), (b) pemeliharaan hutan kota (optimalisasi fungsi dan manfaat, deversifikasi jenis pohon, dan kualitas tempat tumbuh), (c) perlindungan hutan kota (perlindungan dari pengrusakan, kebakaran dan hama penyakit), (d) serta pemanfaatan hutan kota (pemanfaatan untuk wisata, rekreasi, olahraga, pendidikan, konservasi keanekaragaman flora dan fauna, penelitian, potensi cadangan karbon dan serapan CO 2 ). (3). Evaluasi dan Monitoring Hutan Kota Evaluasi dan monitoring hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan korektif dan pengawasan terhadap pengelolaan, pemeliharaan, perlindungan, dan pemanfaatan hutan kota ke arah pengembangan ekonomi. Evaluasi dan monitoring berfungsi untuk menilai kekurangan dan kekuatan hutan kota sebagai salah satu upaya dalam mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga diperoleh kebijakan yang terbaik dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka aktor yang dianggap terlibat dalam pengembangan hutan kota yaitu: (1). Pemerintah Pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi atau lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemerintah adalah pihak yang memiliki kewenangan dan berperan penting dalam menentukan kebijakan pengembangan hutan kota. Pemerintah harus bisa menengahi berbagai kepentingan stakeholder sehingga tidak terjadi konflik dalam pengembangan hutan kota. (2). Masyarakat Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu atau sekelompok manusia yang memiliki kepedulian atau kepentingan terhadap keberadaan dan pengembangan hutan kota. Masyarakat merupakan pihak penting 27

6 dalam pengembangan hutan kota, karena selain sebagai penikmat jasa hutan kota, masyarakat juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam optimalisasi perluasan lahan dan monitoring terhadap pengelolaan hutan kota. (3). Swasta Swasta yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pihak yang berasal dari lembaga non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan hutan kota. Pihak swasta menjadi salah satu aktor dalam pengembangan hutan kota, dikarenakan pihak swasta juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga kualitas lingkungan hidup dan sekaligus penunjang dalam pencapaian target hutan kota yang diamanatkan pada PP No. 63 Tahun Pihak swasta bisa juga berperan sebagai salah satu sumber dana dalam pengembangan hutan kota. Berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota pada saat focus group discussion (FGD) dan wawancara langsung dengan dengan stakeholder, maka alternatif yang dianggap mempengaruhi pengembangan hutan kota yaitu: (1). Evaluasi Peraturan Evaluasi peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melakukan penyesuaian atau telaah terhadap kebijakan yang dianggap kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder dan konsep hutan kota itu sendiri. Evaluasi peraturan ini juga mengupayakan lahirnya peraturan daerah tentang hutan kota yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan hutan kota. (2). Peluasan Hutan Kota Peningkatan kualitas hutan kota yang dimaksud dalam penelitian ini adalah optimalisasi peningkatan ratio hutan kota oleh pemerintah DKI Jakarta yang belum capai target 10 persen dari RTH yang ditetapkan sesuai dengan amanat PP No. 63 Tahun (3). Pemilihan Jenis Pohon Pemilihan jenis pohon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengupayakan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tipe atau fungsi hutan kota. Jenis pohon yang memiliki cadangan karbon potensial dapat diupayakan sebagai salah satu nilai tambah dalam fungsi hutan kota yang tertuang pada pasal 3 PP No. 63 Tahun 2002, sehingga fungsi hutan kota sebagai sebuah ekosistem akan lebih optimal. (4). Dukungan Dana Dukungan dana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemudahan dana untuk melakukan pengembangan hutan kota. Dukungan dana untuk masyarakat lebih kepada dukungan teknis (tunjangan sarana dan prasarana). Dana berfungsi untuk mempermudah proses pelaksanaan pengembangan hutan kota. 28

7 (5). Insentif Insentif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian kompensasi kepada pihak masyarakat dan swasta yang bersedia melakukan kegiatan pengembangan hutan kota di tanah hak atau lahan mereka. Insentif tidak hanya berupa uang tapi juga bisa dalam bentuk penghargaan, kemudahan usaha bagi swasta, penurunan pajak dan menjalin mitra kerja. (6). Sanksi Sanksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukuman kepada perusak hutan kota dan pemda yang tidak dapat mencapai target pengembangan hutan kota. Hukuman bertujuan sebagai koreksi, menakuti, mendidik serta menanggulangi kerusakan terhadap hutan kota. (7). Sosialisasi Sosialisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebuah proses transfer kebiasaan oleh pemerintah atau pakar hutan kota. Fungsi sosialisasi hutan kota adalah agar masyarakat memiliki pemahaman dan persepsi yang baik tentang hutan kota. Melalui sosialisasi, pemerintah juga dapat melakukan kerjasama dalam pengembangan hutan kota. Sosialisasi hutan kota, tidak sekedar memberikan informasi tapi juga berupaya melakukan penyuluhan dan pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelatihan dan supervisi. b. Pengisian Matriks Perbandingan Matriks perbandingan adalah matriks yang menggambarkan perbandingan kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainya pada level yang sama maupun terhadap level di atasnya. Pengisian matriks perbandingan dilakukan berdasarkan pendapat ahli atau pakar hutan kota, dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan tersebut, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala nilai proses AHP (Tabel ). Tabel 3.1. Skala nilai yang digunakan dalam perbandingan berpasangan Nilai Perbandingan (A dibandingkan dengan B) Definisi 1 A sama penting dengan B 3 A sedikit lebih penting dari B 1 / 3 Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A) 5 A jelas lebih penting dari B 1 / 5 Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A) 7 A sangat jelas lebih penting daripada B 9 A mutlak lebih penting daripada B 1 / 9 Kebalikannya (B mutlak lebih penting daripada A) 2, 4, 6, 8 atau ½, ¼, 1 / 6, 1 / 8 Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan di atas (apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan) 29

8 Tabel 3.2. Contoh pengisian matriks perbandingan Elemen A Elemen B Pemerintah Masyarakat Swasta Pemerintah (a) (b).. Masyarakat Swasta 1 Keterangan: Nilai pada (a) Nilai pada (b) catatan : elemen pemerintah sedikit lebih penting dari masyarakat : apabila ragu-ragu antara dua nilai perbandingan yang berdekatan, yaitu antara elemen pemerintah dengan swasta : konsistensi penilaian sangat penting untuk diperhatikan Sebelum dilakukan pengisian pada matrik perbandingan maka terlebih dahulu pakar melakukan pengurutan prioritas kepentingan terhadap setiap elemenelemen aktor yaitu sebagai berikut: 1. Pemerintah 2. Masyarakat 3. Swasta c. Menghitung Bobot Prioritas Setelah semua nilai perbandingan dimasukkan ke dalam struktur hirarki, maka selanjutkan diproses pada Software Expert Choice 11 sehingga dihasilkan bobot prioritas yang berurutan. d. Menghitung Tingkat Konsistensi Konsistensi suatu matriks perbandingan diukur dengan rumus indek konsistensi (CI ά ), CI yaitu indeks konsistensi, ά max yaitu akar ciri maksimum dan n yaitu ukuran matriks. Nilai indeks konsistensi selanjutnya diuji dengan cara membandingkan indeks konsistensi (CI) terhadap indeks random (RI). Hasil perbandingan indeks konsistensi dengan indeks random disebut rasio konsistensi (Consistency Ratio, CR), dengan rumus CR = CI/RI. Jika CR 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan sudah konsisten, tetapi jika CR > 0,1 maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria yang diberikan tidak konsisten dan harus segera dilakukan penyesuaian dalam pengisian matriks perbandingan. 30

9 3.3. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai skala bobot atas level faktor, aktor dan alternatif dalam rangka pengambilan keputusan pengembangan hutan kota. Nilai bobot tertinggi untuk elemen faktor terdapat pada peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49, kemudian diikuti dengan dukungan peraturan sebesar 0.35 dan evaluasi dan kontrol hutan kota sebesar Selanjutnya untuk elemen aktor terdapat pada pemerintah sebesar 0.61, kemudian diikuti dengan masyarakat sebesar 0.23 dan swasta sebesar Selanjutnya untuk elemen alternatif, nilai bobot tertinggi terdapat pada evaluasi peraturan sebesar 0.25, kemudian di ikuti dengan perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat/swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan sanksi sebesar 0.04 (Gambar ). Evaluasi dan Kontrol Hutan Kota 0.16 Faktor Peningkatan Kuantitas Hutan Kota 0.49 Dukungan Peraturan Bobot Gambar 3.3. Hasil pembobotan faktor Swasta 0.16 Aktor masyarakat 0.23 Pemerintah Bobot Gambar 3.4. Hasil pembobotan aktor 31

10 Sosialisasi 0.11 Insentif bagi Swasta dan Masyarakat 0.19 Alternatif Sanksi Dukungan Dana Pemilihan Jenis Pohon Potensi C-stock Perluasan Hutan Kota 0.20 Evaluasi Peraturan Bobot Gambar 3.5. Hasil pembobotan alternatif 3.4. PEMBAHASAN Analisis Faktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP terhadap kebijakan pengembangan hutan kota DKI Jakarta, maka diperoleh hasil pembobotan pada masing-masing level hirarki. Pada level faktor ditemukan bobot tertinggi adalah peningkatan kualitas hutan kota sebesar 0.49 (Gambar 3.2). Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya kualitas dan kesesuaian hutan kota dengan kebijakan yang telah ada. Hal ini dapat dilihat dari kurang optimalnya pengelolaan hutan kota, seperti program-program pengelolaan, dukungan dana dan kelembagaan; pemeliharaan hutan kota seperti optimalisasi fungsi hutan kota, pemilihan jenis dan kualitas tempat tumbuh; perlindungan dan pengamanan hutan kota seperti pengrusakan, membuang sampah, kebakaran dan hama penyakit; serta minimnya pemanfaatan hutan kota kearah pengembangan ekonomi seperti pariwisata dan rekreasi. Terkait dengan pemeliharaan hutan kota, berdasarkan pengamatan lapang masih ditemukan masyarakat yang membuang sampah domestik ke areal hutan kota, seperti pada hutan kota Srengseng dan PT JIEP. Selain itu, ditemukan juga pengrusakan pada beberapa pohon hutan kota. Jika mengacu pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, pada pasal 26 ayat 4 sudah jelas tertuang larangan membuang benda-benda yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan kota dan larangan merambah, menebang dan memotong hutan kota. Pasal ini kemudian dipertegas dengan pasal 37 tentang sanksi terhadap pengrusak hutan kota. Namun demikian, peraturan ini belum optimal dilaksanakan oleh masyarakat dan adanya ketidaktegasan dari aparat terkait. Selain faktor kurangnya pedulian masyarakat terhadap hutan kota, juga disebabkan kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap fungsi dan manfaat hutan kota bagi masyarakat. Belum adanya Peraturan Daerah tentang hutan kota juga merupakan salah satu kendala dalam optimalisasi peningkatan kualitas hutan kota di DKI Jakarta. 32

11 Hal ini menyebabkan kepincangan dalam PP No. 63 Tahun 2002 terutama dalam aspek teknis pengelolaan hutan kota di lapangan, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 lebih lanjut diatur pada Perda Analisis Aktor pada Hirarki Pengambilan Keputusan Level aktor, bobot tertinggi adalah pemerintah sebesar 0.61 (Gambar 3.3). Keputusan ini menjadi prioritas karena pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling berperan dalam pengembangan hutan kota DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan pasal 10 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, bahwa pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan semestinya dapat melaksanakan pengembangan hutan kota baik melalui optimalisasi kebijakan peraturan, peningkatan kuantitas dan kualitas, maupun evaluasi dan monitoring kebijakan hutan kota. Kewenangan pemerintah sebenarnya semakin kuat karena pada dasarnya rencana pengembangan hutan kota telah tertuang dalam pasal 12 ayat 2 PP. No 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang menyebutkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mencadangkan persen wilayahnya untuk dijadikan kawasan RTH sebagaimana tercantum dalam RTRW DKI Jakarta , namun pada tahun 2003 luas RTH DKI Jakarta ternyata menjadi 9.12 persen dan semakin berkurang menjadi 6.2 persen pada tahun 2007 (Daroyni 2010). Dalam hal optimalisasi peraturan, pemerintah DKI Jakarta semestinya membuat Perda tentang hutan kota dalam upaya peningkatan kuantitas dan kualitas serta evaluasi dan monitoring hutan kota. Jika memungkinkan, perlu juga dilakukan evaluasi PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota. Perda hutan kota ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman atau arahan, seperti pengelolaan, aspek legal, kerjasama, insenstif, pemilihan jenis dan sanksi Analisis Alternatif pada Hirarki Pengambilan Keputusan Berdasarkan analisis AHP dengan menggunakan bantuan Softwere Expert Choice 11, maka diperoleh alternatif pengembangan hutan dengan bobot tertinggi yaitu evaluasi peraturan sebesar 0.25, perluasan hutan kota sebesar 0.20, insentif bagi masyarakat dan swasta sebesar 0.19, dukungan dana sebesar 0.13, sosialisasi sebesar 0.11, pemilihan jenis pohon sebesar 0.10 dan penerapan sanksi 0.04 (Gambar 3.4). Alternatif dengan prioritas tertinggi adalah evaluasi peraturan sebesar Keputusan ini menjadi prioritas untuk dilakukan karena terdapat beberapa bagian pada peraturan perundangan (PP No. 63 Tahun 2002) yang masih kurang sesuai dengan konsep hutan kota dan pemahaman stakeholder, sedangkan untuk melakukan pengembangan hutan kota sangat dibutuhkan aturan main yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan DKI Jakarta. Beberapa bagian dalam PP No. 63 Tahun 2002 yang kurang sesuai dengan pemahaman stakeholder seperti pada pasal 1 tentang definisi hutan kota, pasal 3 tentang fungsi hutan kota, pasal 8 ayat 3 tentang persentase luas minimum hutan kota. Hutan kota menurut PP No. 63 Tahun 2002 adalah suatu suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai 33

12 hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Stakeholder memahami definisi hutan kota ini terlalu kaku jika dilihat dari kondisi lanskap perkotaan saat ini, khususnya DKI Jakarta. Ketetapan seperti ini dikhawatirkan melemahkan semangat pengembangan hutan kota itu sendiri, karena konsekuensinya tanpa pohon yang kompak dan rapat serta penetapan dari pejabat yang berwenang maka lahan yang berpepohonan belum dapat dikategorikan sebagai hutan kota, walaupun secara fisik sudah memenuhi kriteria hutan kota (Subarudi et al. 2010). Pada hal lain, terkait aspek legal (status hukum), masih banyak areal atau lahan yang sudah dibebaskan untuk hutan kota di DKI Jakarta oleh pelaksana hutan kota (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta), namun belum mendapatkan status hukum atau pengukuhan melalui SK Gubernur, padahal jika mengacu pada pasal 5 ayat 3 PP No. 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa untuk DKI Jakarta, penunjukkan lokasi dan luasan hutan kota harus dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, jika tidak maka lahan yang sudah ditetapkan sebagai hutan kota belum dapat dikatakan sebagai hutan kota. Evaluasi peraturan juga meliputi pengupayaan lahirnya Perda tentang hutan kota, karena banyak aturan-aturan yang disebutkan pada PP No. 63 Tahun 2002 diatur lebih lanjut pada Perda. Selain itu, diperlukan juga panduan teknis pembangunan hutan kota yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan hutan kota khususnya DKI Jakarta dan menjadi cerminan terhadap pengembangan hutan kota di wilayah lainnya. Selain evaluasi peraturan, alternatif kebijakan yang juga memiliki bobot tinggi adalah perluasan hutan kota sebesar Keputusan ini menjadi prioritas karena belum optimalnya penyediaan hutan kota di DKI Jakarta, yaitu masih seluas ha. Padahal jika mengacu pada luas wilayah yang dimiliki oleh DKI Jakarta yaitu Km atau sama dengan ha maka penyediaan hutan kota di DKI Jakarta masih kurang. Hal ini menggambarkan bahwa masih banyak wilayah di DKI Jakarta yang belum mencapai target pengembangan hutan kota, padahal pasal 8 ayat 3 pada PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota disebutkan bahwa persentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari luas wilayah perkotaan. Proporsi hutan kota DKI Jakarta masih di ratio 2.2 persen. Jika mengacu pada pasal 8 PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, maka dengan luas wilayah DKI Jakarta km 2, jumlah penduduk yang padat, dan tingkat pencemaran yang tinggi maka seharusnya pencapaian target hutan kota sudah mesti dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder hutan kota, hal ini disebabkan keterbatasan aset Pemda DKI Jakarta dalam hal penguasaan atas tanah akibat mahalnya harga tanah untuk pembangunan dan atau pengembangan hutan kota (Subarudi et al. 2010). 34

Nama Responden :... Alamat Responden :... Tanggal Wawancara :...

Nama Responden :... Alamat Responden :... Tanggal Wawancara :... L.1. Kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) STUDI AHP UNTUK MERUMUSKAN STRATEGI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA YANG MENDUKUNG POTENSI CADANGAN KARBON Nama Responden :... Pekerjaan Responden :...

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Penjelasan PP Nomor 63 Tahun 2002 Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP :

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP : OLEH : TOMI DWICAHYO NRP : 4301.100.036 LATAR BELAKANG Kondisi Kab. Blitar merupakan lahan yang kurang subur, hal ini disebabkan daerah tersebut merupakan daerah pegunungan berbatu. Sebagian Kab. Blitar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 21 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang

I. PENDAHULUAN. Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Jakarta Barat dikenal sebagai kota jasa dan pusat bisnis yang berkembang sangat pesat dengan ciri utama pembangunan fisik namun di lain sisi, pemerintah Jakarta

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang : a. bahwa dalam upaya menciptakan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Rizal Afriansyah Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Email : rizaldi_87@yahoo.co.id Abstrak - Transportasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah sepanjang jalan Cicurug-Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor mulai Desember 2010 Maret 2011. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS 22 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 200 - Juni 200 di DAS Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, pembangunan perkotaan cenderung meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan terbuka hijau dialih fungsikan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, kawasan industri,

Lebih terperinci

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN KAJIAN PERAN FAKTOR DEMOGRAFI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA Kajian Peran Faktor Demografi dalam Hubungannya Dengan

Lebih terperinci

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA

FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor9 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 FUNGSI HUTAN KOTA DALAM MENGURANGI PENCEMARAN UDARA DI KOTA SAMARINDA Darul Dana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan di Dapur Geulis yang merupakan salah satu restoran di Kota Bogor. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi bauran pemasaran

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data 19 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Papua Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Papua Barat sebagai wilayah yang mempunyai potensi sumber

Lebih terperinci

Kajian Perencanaan Infrastruktur Ruang Terbuka Hijau pada Perumahan Kota Terpadu Mandiri di Bungku Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah

Kajian Perencanaan Infrastruktur Ruang Terbuka Hijau pada Perumahan Kota Terpadu Mandiri di Bungku Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah Kajian Perencanaan Infrastruktur Ruang Terbuka Hijau pada Perumahan Kota Terpadu Mandiri di Bungku Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah Karlina 1 T.A.M. Tilaar 2, Nirmalawati 2 Mahasiswa Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 85 Lampiran 1. Kuisioner SWOT Departemen Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor KUISIONER EVALUASI JENIS POHON BAGI KONSERVASI KERAGAMAN TANAMAN HUTAN KOTA DI DKI JAKARTA Kepada

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

PENGARUH METODE EVALUASI PENAWARAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH TERHADAP HASIL PEKERJAAN DENGAN PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS

PENGARUH METODE EVALUASI PENAWARAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH TERHADAP HASIL PEKERJAAN DENGAN PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS PENGARUH METODE EVALUASI PENAWARAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH TERHADAP HASIL PEKERJAAN DENGAN PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS ( Studi Kasus di Pemerintah Kabupaten Temanggung ) RINGKASAN

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

Penyebaran Kuisioner

Penyebaran Kuisioner Penentuan Sampel 1. Responden pada penelitian ini adalah stakeholders sebagai pembuat keputusan dalam penentuan prioritas penanganan drainase dan exspert dibidangnya. 2. Teknik sampling yang digunakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA Desy Damayanti Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Ria Asih Aryani Soemitro Dosen Pembina Magister Manajemen Aset FTSP

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 56 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dipaparkan mengenai perancangan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penulisan ini. Penelitian ini memiliki 2 (dua) tujuan,

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan, terciptanya

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil studi kasus di sekitar DAS Ciliwung. Alasan mengambil lokasi di DAS Ciliwung adalah: a) perubahan iklim sangat berpengaruh pada

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tujuannya untuk menyajikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2007 di pabrik gula baik yang konvensional maupun yang rafinasi serta tempat lain yang ada kaitannya dengan bidang penelitian.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT

ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Amalia, ST, MT Multi-Attribute Decision Making (MADM) Permasalahan untuk pencarian terhadap solusi terbaik dari sejumlah alternatif dapat dilakukan dengan beberapa teknik,

Lebih terperinci

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI Saat ini banyak kota besar yang kekurangan ruang terbuka hijau atau yang sering disingkat sebagai RTH. Padahal, RTH ini memiliki beberapa manfaat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kota adalah suatu wilayah yang akan terus menerus tumbuh seiring

PENDAHULUAN. Kota adalah suatu wilayah yang akan terus menerus tumbuh seiring 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota adalah suatu wilayah yang akan terus menerus tumbuh seiring berjalannya waktu baik dari segi pembangunan fisik maupun non fisik. Secara fisik kota sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga mempunyai warna

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga mempunyai warna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan daerah yang memiliki mobilitas yang tinggi. Daerah perkotaan menjadi pusat dalam setiap daerah. Ketersediaan akses sangat mudah didapatkan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vendor Dalam arti harfiahnya, vendor adalah penjual. Namun vendor memiliki artian yang lebih spesifik yakni pihak ketiga dalam supply chain istilah dalam industri yang menghubungkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN

PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN PEMBANGUNAN HUTAN KOTA DALAM STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Hotel Ledian, 14 oktober 2014 I. GAMBARAN UMUM 1. WILAYAH PERKOTAAN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN Peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit telah mampu meningkatkan kuantitas produksi minyak sawit mentah dan minyak inti sawit dan menempatkan

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) 88 VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP) Kerusakan hutan Cycloops mengalami peningkatan setiap tahun dan sangat sulit untuk diatasi. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang tinggal di

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KOTA BANJARMASIN 2013-2032 APA ITU RTRW...? Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan Pola Ruang Wilayah Kota DEFINISI : Ruang : wadah yg meliputi

Lebih terperinci

PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENENTUAN NILAI EKONOMI LAHAN

PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENENTUAN NILAI EKONOMI LAHAN PENDEKATAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENENTUAN NILAI EKONOMI LAHAN Vera Methalina Afma Dosen Tetap Prodi Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Riau Kepulauan ABSTRAK Tanah atau lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà - 1 - jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Lembar Pengesahan... ii Abstrak... iii Kata Pengantar... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang... 1.2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75% dari total pengeluaran 9 bahan pokok 2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125%

Lebih terperinci

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut. PERKEMBANGAN PENDUDUK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN A. PENYEBAB PERKEMBANGAN PENDUDUK Pernahkah kamu menghitung jumlah orang-orang yang ada di lingkunganmu? Populasi manusia yang menempati areal atau wilayah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menjelaskan mengenai metode Analytic Hierarchy Process (AHP) sebagai metode yang digunakan untuk memilih obat terbaik dalam penelitian ini. Disini juga dijelaskan prosedur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 10 TAHUN 2005 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencegah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salahsatu sumberdaya utama dalam pembangunan. Tata ruang menata dan merencanakan seoptimal mungkin dalam memanfaatkan lahan yang ketersediaannya

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) ini dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat pada

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian.

METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian. menganalisis data yang berhubungan dengan penelitian. III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Penelitian Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 74 BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Seperti yang telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, studi ini menggunakan 9 (sembilan) responden yang terdiri dari pihak-pihak yang berkaitan langsung (stakeholders)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga kelurahan (Kelurahan Hinekombe, Kelurahan Sentani Kota, dan Kelurahan Dobonsolo) sekitar kawasan CAPC di Distrik

Lebih terperinci

Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak

Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak Geografi Pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan

Lebih terperinci

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH ILMU HUTAN KOTA LANJUTAN REVIEW : PP NO. 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UU NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG PERMENDAGRI NO. 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A Tinjauan Pustaka Kajian penelitian terdahulu dimaksudkan untuk dijadikan perbandingan dengan penelitian yang dilakukan dan untuk menentukan variabel penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto. Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. Ekonomi dan Produk Domestik Regional Bruto Istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani, terdiri atas kata oikos dan nomos. Oikos berarti rumah tangga, nomos berarti aturan. Sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang Mengingat : : a. bahwa dengan terus meningkatnya pembangunan di

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI

PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Mata Kuliah Biometrika Hutan PAPER SIMULASI KECUKUPAN LUASAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BOGOR BERDASARKAN EMISI CO2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI Disusun oleh: Kelompok 6 Sonya Dyah Kusuma D. E14090029 Yuri

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE

EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE 34 EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE Faisal piliang 1,Sri marini 2 Faisal_piliang@yahoo.co.id,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN Latar Belakang Air dan sumber daya air mempunyai nilai yang sangat strategis. Air mengalir ke segala arah tanpa mengenal batas wilayah administrasi, maka

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANTUL

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi 3. URUSAN LINGKUNGAN HIDUP a. Program dan Kegiatan. Program pokok yang dilaksanakan pada urusan Lingkungan Hidup tahun 2012 sebagai berikut : 1) Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 37 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan pasca penambangan nikel pada lahan konsesi PT. Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi

Lebih terperinci

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT

LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT LAMPIRAN II HASIL ANALISA SWOT Lampiran II. ANALISA SWOT Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities),

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI

JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI JURNAL ILMIAH TEKNIK INDUSTRI ANALISIS RISIKO PELAKSANAAN PEKERJAAN MENGGUNAKAN KONTRAK UNIT PRICE (Studi Kasus: Peningkatan dan Pelebaran Aset Infrastruktur Jalan Alai-By Pass Kota Padang Sebagai Jalur

Lebih terperinci

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian

Gambar 3. Kerangka pemikiran kajian III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian Usaha pengolahan pindang ikan dipengaruhi 2 (dua) faktor penting yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek produksi, manajerial,

Lebih terperinci