KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI OLEH : NAMA : COKORDA BAGUS ARIES CAHYADI NPM :

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI OLEH : NAMA : COKORDA BAGUS ARIES CAHYADI NPM :"

Transkripsi

1 KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI OLEH : NAMA : COKORDA BAGUS ARIES CAHYADI NPM : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR 2017

2 KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI OLEH COKORDA BAGUS ARIES CAHYADI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar ii

3 iii

4 iv

5 v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini yang berjudul : KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI. Karya Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa Denpasar. Dalam kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu selama terselesainya Karya Ilmiah ini, sehingga kegiatan dan laporan ini dapat selesai tepat waktu, dengan segala ketulusan hati penulis ingin menyampaikan Terima Kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Dewa Putu Widjana, DAP & E,. Sp. Park Rektor, beserta Wakil Rektor Universitas Warmadewa; 2. Bapak DR. I Nyoman Putu Budiartha,SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa; 3. Ibu Luh Putu Suryani,SH.,MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum; 4. Bapak Dr. Simon Nahak, SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk dalam penyusunan Karya Ilmiah ini; vi

7 5. Ibu Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk dalam penyusunan Karya Ilmiah ini; 6. Bapak Dr. Simon Nahak, SH.,MH. Selaku Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran serta petunjuk dalam penyusunan Karya Ilmiah ini; 7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah dengan tulus memberikan bimbingan dan petunjuk yang tidak ternilai; 8. Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah membantu Penulis selama mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi ini; 9. Grup Lilindi, atlit Dongki atas kebersamaan dan bantuan yang berarti bagi penulis; 10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam pembuatan Karya Ilmiah ini; Akhirnya dengan segala kerendahan hati bahwa apa yang penulis paparkan di dalam Karya Ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu wawasan bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya. Penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini tidak terlepas dari kekurangan kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna penyempurnaan Karya Ilmiah ini. Denpasar, 18 Agustus 2017 (Cokorda Bagus Aries Cahyadi) vii

8 ABSTRAK Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Hukum pidana militer merupakan kumpulan peraturan tindak pidana yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan ketertiban hukum dan apabila perintah dan larangan itu tidak ditaati maka diancam dengan hukuman pidana. Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Dalam hukum pidana militer mengenal dua bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict) dan tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict). Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum militer terhadap pelaku tindak pidana Desersi dan bagaimana hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan metode yuridis normatif disimpulkan bahwa : (1) bahwa penerapan hukum militer terhadap pelaku tindak pidana desersi sebagai anggota militer (TNI) ancaman hukumannya lebh berat dibandingkan dengan ancaman hukuman yang terdapat pada KUHP (pandang kurang memenuhi rasa keadilan); karena militer dipersenjatai guna menjaga keamaman; justru dipergunakan desersi, (2) bahwa hubungan antara KUHPM dengan KUHP, suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan karena KUHPM merupakan bagian dari KUHP; KUHP berlaku bagi setiap orang dengan demikian bagi militer (TNI) berlaku KUHP, dan bagi militer (TNI) yang melakukan tindak pidana desersi akan diperlakukan / diterapkan aturan khusus yakni KUHPM, hal ini merupakan penyimpangan dari KUHP. Kaca kunci : hukum militer, TNI, tindak pidana desersi viii

9 ABSTRACT Desertion is the absence of a military without the permission of his immediate superior, at a place and time determined by the service, to flee from unity and to leave the army, or to go out, to escape without permission. Military criminal law is a collection of criminal regulations containing orders and prohibitions to enforce law and order and if such orders and prohibitions are not adhered to, then threatened with criminal punishment. Military crime is an offense committed by the legal subjects of the military. In the criminal law the military recognizes two forms of criminal offense that are pure military crimes (zuiver militaire delict) and a mixed military crime (germengde militaire delict). The crime of desertion is a crime specifically committed by a military because it is unlawful and contrary to the law, especially the criminal law of the military. The purpose of this study is to find out how the application of military law against the perpetrators of criminal acts Desertion and how the relationship between the Book of Criminal Law Military with the Book of Criminal Law. With the normative juridical method it is concluded that: (1) that the application of military law to the perpetrators of desertion as military members (TNI) the threat of punishment is more severe than the punishment contained in the Criminal Code (view of lack of sense of justice); Because the army is armed in order to maintain the security; Precisely used Desertion, (2) that the relationship between The law on military criminal law with the Criminal Code, a relationship that cannot be separated because The law on military criminal law is part of the Criminal Code; The Criminal Code applies to everyone thus for the military (TNI) the Criminal Code applies, and for the military (TNI) who commits the crime of desertion will be treated / applied a special rule namely the Criminal Code, this is a deviation from the Criminal Code. Keywords: military law, TNI, desertion crime ix

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGAJUAN... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PENILAIN... PERNYATAAN ORISINALITAS... KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABATRACT... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi viii ix x BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Tinjauan Pustaka Metode Penulisan BAB II KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER TERHADAP ANGGTA TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI Bentuk-bentuk desersi Disersi Dalam Hukum Pidana Militer BAB III HUBUNGAN ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG DESERSI x

11 3.1 Penyimpangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer Dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tindak Pidana Militer Pertanggungjawaban Militer Terhadap Perbuatan PIdana Desersi Dasar Hukum Dan Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Militer 45 BAB IV PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

12 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam UU RI No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI sebagai alat pertahan Negara Kesatuan Republik Indnesia mempunya tugas untuk melaksanakan kebijakasanaan prtahanan Negara untuk menegakan kedaulatan negara, memperthankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalakna operasi militer unuk perang dan operasi militer selain perang serta ikut aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Mengenai tugas utama hokum militer diatur dalam Pasal 64 UU RI No.34 Tahun 2004, yaitu Hukum milter dibina dan dkembangkan oleh pemerntah untuk kepentingan penyelenggaraan kepentingan pertahanan negara. Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah (pasal 2 UU TNI) : 1. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga Negara Indonesia. 2. Tentara pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya. 3. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan Negara di atas kepentingan daerah, suku, ras dan golongan agama. 1

13 4. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional dan hukum internasonal yang telah diratifikasi. (1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. (2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan : a. Operasi militer untuk perang; b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk : 1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. Mengatasi pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan wilayah perbatasan; 5. Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9. Membantu tugas pemerintahan di daerah; 2

14 10. Membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undangundang; 11. Membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14. Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayanan dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Hukum Pidana Militer adalah ketentuan hukum yang mengatur seorang militertentang tindakan-tindakan mana yang merupakan pelanggaran atau kejahatan atau merupakan larangan atau keharusan dan diberikan ancaman berupa sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Menurut kamus bahasa Indonesia desersi adalah (perbuatan) lari meninggalkan dinas ketentaraan, pembelotan, dan memihak kepada musuh. Pengertian atau desrsi tersebut dapat disimpilkan dari pasal 87 KUHPM, bahwa desersi adalah tidak hadir dan tidak sah lebih dari 30 hari pada waktu damai dan lebih dari 4 hari pada waktu perang. Ciri utama dari tindak pidana desersi ini adalah ketidak hadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seseorang militer pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melakukan kewajiban dinas. Dalam 3

15 perumusan pasal 87 KUHPM dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam jenis tindak pidana desersi yaitu : 1. Tindak pidana desersi murni diatur dalam pasal 87 ayat (1) ke-1 KUHPM 2. Tindak pidana desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa izin, diatur dalam pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3 KUHPM. Untuk penyelesaian tindak pidana dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) diperlukan adanyan peraturan guna mencapai keterpaduan cara bertindak antara para pejabat yang diberi kewenangan dalam penyelesain perkara pidana di lingkungan TNI. Oleh karena itu dikeluarkan surat Keputusan KASAD Nomor : SKEP/239/VII/1996 mengenai Petunjuk Penyelesaian Perkara Pidana di Lingkungan TNI AD, sebagai penjabaran dari SKEP Pangab Nomor ; SKEP/71/IX/1989 tentang penyelesaian perkara pidana di lingkungan ABRI` Dalam hall terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, maka Polisi Militer wajib melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan tata cara dan prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 : Hak penyidik pada ; 1. Para Ankum terhadap anak buahnya (Ankum) 2. Polisi Militer (POM) 3. Jaksa-jaksa Militer dilingkungan Peradilan Militer (Oditur Militer) Dengan demikian Polisi Militer adalah salah satu tulang punggung yang menegakan norma-norma hokum didalam lingkungan TNI. Sesuai fungsi Polisi Militer yang merupakan fungsi teknis, secara langsung turut menentukan 4

16 keberhasilan dalam pembinaan TNI maupun penyelenggaraan operasi Hankam. Selain itu untuk meningkatkan kesadaran hukum, displin dan tata tertib yang merupakan syarat utama dalam kehidupan prajurit yang tercermin dalam sikap perilaku, tindakan dan pengabdiannya maka diperlukan adanya pengawasan secara ketat dan berlanjut yang dilakukan oleh Polisi Militer. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik mengambil judul mengenai : KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP ANGGOTA TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI Rumusan Masalah 1. Bagaimana Kajian Hukum MIliter terhadap pelaku Tindak Pidana Desersi? 2. Bagaimana hubungan antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Hukum Militer terhadap pelaku Tindak Pidana Desersi. Disamping itu, juga bertujuan memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar serjana 1 (S-1) dalam jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa Tujuan Khusus 5

17 Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum militer terhadap pelaku tindak pidana desersi Untuk mengetahui akibat hukuman militer bagi pelaku tindak pidana desersi 1.4. Tinjauan Pustaka Militer adalah orang yang dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagimereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan ketat. Selain itu kita ketahui juga bahwa hokum adalah untuk masyarakat. Di masa yang akan datang akan lebih banyak warga Negara yang terlibat dalam pelaksanaan tugas pembelaan Negara. Hal mana dilakukan melalui system wajib milkiter, sebagai salah satu di antara cara pengerahan tenaga terhadap mengikutsertakan warga Negara dalam pertahanan Negara. Dengan demikian Dengan demikian akan semakin banyak warg Negara yang harus tunduk pada hukum militer. Seperti disinggung diatas banyak orang yang belum mengerti tentang pentingnya hukum militer dalam suatu Negara. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah displin. Tetapi orang hendaknya jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk menegakan displin itu adalah hukum. 1 Hukum militer pada hakikatnya lebih tua dari konstitusi konstitusi Negara-negara yang tertua di dunia. Sebab militer dalam arti hakikat, sebagai 1 S.R Kanter, Hukum Pidana Militer, 1985,edis Revis,BPK, Gunung Mulia 6

18 orang yang siap untuk bertempur mempertahankan negeri atau kelompok yang sudah ada sejak dulu sebelum adanya konstitusi-konstitusitersebut. Kaidahkaidah hukum militer itu berkembang berdasrkan kebutuhan sesuai situasi dan kondisi serta dipengaruhi juga oleh pengalamn-pengalaman. Jadi penggunaan hukum militer pada hakikatnya adalah sama dengan sejarah perang. Kemudian setelah melalui tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan, kaidah-kaidah hukum militer tersebut termasuk yang menyangkut tingkah laku dalam peprangan disempurnakan. Hal ini berlaku baik dalam tingkat Nasional dan tingkat Internasional. Pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum militer mengakibatkan seorang militer disebut melakukan kejahatan militer. Kejahatan militer itu dapat pula diperinci lebih lanjut kedalam : a. Kejahatan militer biasa (military crime) yaitu, perbuatan seorang militer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum militer yang diberi sanksi pidana, misalnya melakukan desersi atau melarikan diri seperti yang diatur dalam KItab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). b. Kejahatan perang (war crime) yaitu, perbuatan seseorang militer yang bertentangan dengan kaidah-kaidah sebagai yang terdapat dalam konvensikonvensi Internasional yang antara seperti yang telah disebutkan di atas. 2 Asas-asas yang menopang sendi-sendi kekuatan militer. Dimaksudkan disini bahwa suatu ketentuan dalam hukum displin militertidak boleh bertentangan dengan asas-asas termaksud, melainkan sebaliknya yaitu menunjang berlakunya asas-asas tersebut. Asas-asas yang dimaksud antara lain adalah : 2 Bahan Kuliah Hukum Acara Peradilan Milter, 2016.F.H Unwar Denpasar 7

19 a. Asas keseimbanhgan antara kepentingan militer dengan kepentingan umum.sebagaimana yang diketahui bahwa kepentingan hukum antara lain berfungsi menjamin adanya kepastian hukum. Yaitu adanya kepastian dalam hubungan-hubungan subjek hukum yang dijamin oleh ketentuan-ketentuan hukum. Adnya pendapat agar hukum displin militer menggunakan asas legalkitas sepertinya hukum pidana. Artinya dalam hal ini bahwa setiap pelanggaran harus telah dirumuskan dalam undang-undang. Tinbulnya pendapat tersebut bkarena rumusan tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran displin dalam hukum displin militer yang berlaku sekarang (KUHDM pasal 2 ke 1) karena tidak menganut asas legalitas,karena apa yang dimaksud dengan pelanggaran displin digantungkan kepada pemerintah kedinasan atau peraturan kedinasan baik yang ada maupun yang akan ada kemudian. Ketentuan pasal 2 ke 1 KUHDM tersebut tidak berarti megabaikan sama sekali kepentingan hukum, justru ketentuan tersebut member batas-batas (relative) tentang apa yang dimaksud dengan pelanggaran displin. b. Asas Keseimbangan Antara Doelmatigheid (tolak ukur berdasarkan pencapain tujuan) dengan Rechtmatigheid (tolak ukur berdasarkan ketentuan hukum. Dalam Negara yang berdasarkan kekuasaaan belaka atau dalam Negara totaliter mungkin saja berlaku prinsip tujuan menghalalkan segala cara (het doel heilight alle middelen). Indonesia tidak menganut prinsip tersebut karena Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (Rechtstaat), sesuai penjelasan UUD Jadi yang dijelaskan disini bahwa antara tujuan dengan cara yang dilakukan untuk mencapainya haruslah ada keseimbangan. a. Asas Kesatuan Komando dan Hirarki 8

20 Kesatuan komando demikian pentingnya didalam kemiliteran. Gen. W. William T. Sherman pernah menyatakan an army is organitation of armed men obligated to obey one men. Demikian juga halnya dengan pentingnya hirarki. Oleh karena ituu perlu hal ini diindahkan dalam menyusun dispin militer yang baru. 3 c. Komandan bertanggung jawab penuh terhadap baik atau buruknya kesatuan yang dipimpinnya. Asas ini sangat penting uuntuk diperhatikan, misalnya dalam ketentuanketentuan hukum disiplin militer jangan terbuka peluang kepada pihak lain dari komandan untuk melakukan penahan sementara displiner terhadap anak buah. d. Asas pertangggungan jawab mutlak ( the principle of absoluteness of responsibility). Yang dimaksud dengan pertangguban jawab mutlak disni ialah bahwa setiap militer yang melimpahkan atau mendelegasikan kekuasaan atau wewenang yang dimilikinya kepada bawahannya tetap memikul tanggung jawab sepenuhnya gterhadap hasil pelaksanaan atau pelimpahan atau pendelegasian tersebut. e. Asas komandan tidak boleh membiarkan bwahannya melakukan pelanggaran atau kejahatan. TNI adalah pelindung rakyat. Demikianlah hampir di sepanjang adanya doktrin tentang angkatan bersenjata yang senantiasa dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari bahaya-bahaya, baik yang dating dari luar maupun dalam negeri. Namun demikian, dalam setiap kurun waktu dari sejarah ada kalanya terjadi peristiwa yang menunjukan betapa rakyat dengan susah payah berusaha melindungi dirinya dari tindakan-tindakan para pelindungnya sendiri. 3 Commandng General Of The Army, Gen. W. Willm T. Sherman

21 Karena itu adanya norma sebagai penjabaran dari asas tersebut diatas akan merupakan salah satu jaminan objektif dalam rangka system perlindungan bagi para anggota masyarakat. f. Asas mendidik Dalam hal ini misalnya tentang jenis-jenis hukuman beserta pelksananya hendaklah bersifat mendidik, menyadarkan terhukum atas kekeliruannya bukan sebagai pembalasan, hal mana sesuai dengan teori modern tentang hukuman (modern penology). g. Asas sederhana Hendaknya hukuman displin militer bersifat sederhana, baik dalm rumusanrumusannya maupun dalam tata cara pelaksanaannya. h. Asas cepat Salah satu hukum militer dalah sifat cepat tetapi tanpa mengurangi ketepatan dalam mencapai tujuan. Hal ini hendknya tercermin pada proses penanganan serta pelaksanaan. Dengan bertitik tolak dari asas tersebut dibedakan pulla cara penganan di daerah medan pertempuran dan di daerah bukan medan pertempuran. 4 Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan olrh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer. Contoh : Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). 4 The Army Almanac; The Stackpole Company

22 Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak Pidana Desersi ini diatur dalam pasal 87 KUHPM yaitu : 1). Diancam karena desersi, militer : Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamnya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Ke-3, yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, yang diuraikan pasal 85 ke-2` 2). Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. 3). Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. Setelah mencermatui substansi rumusan pasal tersebut mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untuk berada dalam dinas militer. Tindakan-tindakan 11

23 ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat u tuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebai suatu kejahatan karena penghayatan displin merupakan hal yang sangat penting dari kehidupan militer karena displin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Ada empat macam atau cara yang dirumuskan sebagi bentuk desersi murni yaitu; 1. Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri selamnya dari kewajiban-kewajiban dinasnya. 2. Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang 3. Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menyebrang ke musuh; dan 4. Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Pengertian pergi ditegaskan dalam Pasal 95 KUHPM yaitu perbuatan menjauhkan diri dari, ketidakhadiran pada atau membuat diri tertinggal untuk sampai suatu tempat atau temapt-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya; yang disebut ketidakhadiran adalah tidak hadir pada tempat atau tempat-tempat tersebut. Unsur bersifat melawan hukum yang tersirat dalam Pasal 87 KUHPM di atas jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 KUHPM, bahwa yang dimaksud dengan pergi (verwijderen) adalah perbuatan-perbuatan : 1. Menjauhkan diri dari (zich verwijderen) 2. Menyembunyikan diri dari 12

24 3. Meneruskan ketidakhadiran pada; atau 4. Membuat diri sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditgaskan kepadanya. Seorang anggota militer yang bermaksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama maksud tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Berdasarkan ha tersebut, jika seorang anggota militer meninggalkan tempat dan tugasnya karena sudah mendapatkan ijin cuti, tetapi ternyata kemudian anggota militer tersebut bermaksud untuk tidak kembali lagi untk selamanya ke tempat tugasnya, perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan melawan hukum walaupun kepergiannya itu dengan ijin dan sekaligus tindakan ayau perbuatan sedemikian itu telah memenuhi unsure tindak pidana desersi 5. Secara administratif, berdasarkan Juklak Kasal disebutkan desersi yang lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya pada hari ke-31 sudah dinyatakan desersi. Desersi yang dimaksud disini adalah yang diancam dengan pidana dan pemecatan bukan penyelesaian secara hukum displin militer sebab waktunya sudah melebihi dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya hari ke- 31 sejak dinyatakannya desersi. Hal 1. 5 Perkembangan Hukum Pidana Khusus, DR. Andi Hamzah, S.H. Ragunan

25 Desersi kepada musuh merupakan pengertian dengan maksud penyebrangan kepada musuh, ancaman pidananya yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana maksimum 20 ( dua puluh) tahun. Ketentuannya diatur dalam Pasal 89 KUHPM yaitu : Desersi dngan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun: 1. Desersi ke musuh; 2. (Diubah dengan UU No39 Tahun 1947). Desersi dalam waktu perang, dari satuan pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh. 6 Desersi kepada musuh berarti pelaku sudah berada di daerah atau di pihak musuh atau dengan kalimat lain, si pelaku sudah betul-betul bekerja pada pihak musuh. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai penghianatan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 KUHPM junto Pasal 124 KUHP. Maksud Pasal 89 ayat (2) KUHPM di atas adalah desersi khusus yaitu desersi yang disertai perbuatan-perbuatan khusus karena dilakukan dalam keadaan perang yang dilakukan oleh pasukan-pasukan, perahu atau kapal, atau pesawat udara yang diserahi tugas pengamanan. Mengenai pengertian tugas pengamanan tersebut oleh undang-undang tidak diberikan penjelasan yang rinci namun hal ini dapat dihubungkan dengan pelajaran taktik penyerangan dalam militer, maka yang dimaksud dengan tugas pengamanan itu adalah perlindungan atau 6 Hukum Displin Militer, Amiroeddin Sjarif, S.H, Rineka Cipta Hal

26 perlindungan depan perlindungan lambung, perlindungan belakang, dan sebagainya. Perbuatan dengan sengaja menarik diri dari kewajiban-kewajiban dinas sebgaimana dimaksud dalam pasal 90 KUHPM yaitu; dengan akal bulus atau suatu rangkain karangan bohong, meraik diri dari kewajiban untuk sementara waktu; menarik diri untuk selamanya; dan sengaja membuat dirinya tak terpakai. Sedangkan perbuatan pemalsuan surat cuti sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 KUHPM adalah; perbuatan memalsu surat cuti; perbuatan menyuruh orang lain atau meminta sjurat cuti itu dengan nama palsu; dan surat cuti itu dipakai sendiri atau dipakai oleh orang lain. Militer yang sengaja menggunakan pas jalan, kartu keamanan, perintah jalan, surat cuti dari orang lain, solah-olah dialah oknum yang disebutkan didalamnya, diancam dengan pidana penjara maksimun dua tahun. Sehubungan dengan Pasal 91 KUHPM dan Pasal 91 KUHPM ditegaskan kembali dalam Pasal 93 KUHPM bahwa apabila salah satu kejahtankejahatan yang dirumuskan pada Pasal 91 dan Pasal 92 KUHPM atau Pasal 267, Pasal 268, atau pasal 270 KUHP dilakukan oleh militer dalam waktu perang, untuk mempermudah kejahatan desersi, diancm dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun 7. Bagi anggota TNI yang terlibat masalah perdata baik sebagai tergugat maupun tergugat, maka untuk penyelesaiannya melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum, dan apabila yang dihadapiadalah masalah yang adahubungannya dengan perceraian atau waris menurut hukum islam maka Hal 6 7 Perkembangan Hukum Pidana Khusus, DR. Andi Hamzah, SH, Ragunan,

27 penyelesaiannya memalui peradilan agama. Mengenai gugatan tata usaha milite, apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya badan atau pejabat tata usah militer maka sesuai dengan hukum acara tat usaha militer pada Bab V Pasal 265 UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, gugatan diajukan ke Pengadilan Militer Tinggi, namun sampai saat ini Peradilan Tata Usaha Militer tersebut belum terwujud karena belum ada Peraturan Pemerintahnya. 1.5 Metode Penulisan Metode penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah langkah yang dianggap efektif dan efesien dan pada umumnya sudah mempola untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar Kata metode berasal dari bahasa Yunani methods yang berarti cara kerja, upaya atau jalan suatu kegiatan pada dasarnya dan upaya tersebut bersifat ilmiah dalam mencari kebenaran yang dilakukan dengan mengumpulkan data sebagai dasar penemuan kebenaran yang dimaksud Metode yang dilakukan penulis adalah Library Research yaitu penelitian yang bentuk penelitiannya dengan cara mengumpulkan, memeriksa dan menelusuri dokumen dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam penelitian ini Pendekatan Masalah Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif yaitu dalam pengkajiannya melakukan berdasarkan bahan- 16

28 bahan hukum yang terdiri bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini disajikan dengan deskriptif dengan maksud memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya agar dapat memperkuat teori teori atau dalam rangka penyusunan dapat memperkuat teori teori lama di dalam kerangka penyusunan kerangka baru. Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku dimana dilakukan dengan menelaah semua Undang Undang yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani atau yang terjadi di masyarakat Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Bidang Pertahanan Keamanan (HANKAM) 1997, Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Displin Prajurit ABRI, Undang-Undang Militer. 2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya : Kepustakaan yang berkaitan dengan Hukum Pidana Militer, kepustakaan yang berkaitan dengan Hukum Displin Militer, Undang-Undang Hukum Militer, Undng-Undang Hukum Pidana, hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya. 17

29 1.5.3 Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen, dimana teknik ini mempelajari, mencatat, dan membaca buku buku, catatan, literatur, perundang-undangan, artikel, dan media internet yang berkaitan dengan pokok masalah yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan penulis adalah teknik analisis data kualitatif yaitu suatu uraian mengenai cara cara analisis berupa kegiatan mengumpulkan data dan di edit dahulu untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan yang bersifat kualitatif, dimana data yang berisikan sejumlah penjelasan dan pemahaman mengenai isi dan kualitas isi serta gejala gejala sosial yang menjadi sasaran atau obyek penelitian. 18

30 BAB II KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER TERHADAP ANGGOTA TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer mumi adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasa1 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal KUHPM dan lain-lain. 8 Maksudya tindak pidana insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan rryata itu dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. Maksudya: Penjaga yang meninggalkan posnya dengan semuanya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan bagirrya dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun. Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI mumi militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer 8 Undang-undang Hukum pdana Militer (KUHPM) 19

31 termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi), kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang. 9 Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara SIN dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Contoh: tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer; tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil; dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana. Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah tindak pidana desersi. Tindak pidana desersi ini merupakan contoh tindak pidana murni dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan cara pergi, melarikan din' tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Istilah desersi terdapat dalam KUHPM pada Bab III tentang Kejah2tan-Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seorang Militer Menarik Din dari Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas. 9 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, Hal.97 20

32 Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi ini diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu: Pertama, Diancam karena desersi, militer: (a). yang pergi dengan maksud menarik din untuk selamanya dari kewajibankewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. (b). yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. (c). yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diwaikan dalam Pasal 85 ke-2. Kedua, Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. Ketiga, Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan. 10 Setelah mencermati substansi rumusan pasal tersebut mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik din dari pelaksanaan kewajiban dinas, bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada din anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keingginanya untuk berada am dinas militer. Maksudnya bahwa seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan 10 S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta : Badan Pembinaan hukum Tentara Nasional Indonesia,2010, hal.18 21

33 ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Hal tersebut dapat saja terealisasi dalam perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada, tanpa la sukar dapat diharapkan padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya. Tindakan-tindakan ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain hatnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi. Makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya apabila dicermati dari kewajibankewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut menunjukkan bahwa anggota militer yang melakukan desersi (petindak) itu tidak akan kembali ke tempat tugasnya yang harus ditafsirkan bahwa pada diri anggota militer tersebut terkandung kehendak bahwa dirinya tidak ada lagi keingginan untuk tetap berada dalam dinas militer Moh. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Hal.55 22

34 Tindak pidana militer yang diatur di dalam KUHPM dibagi menjadi dua yaitu tindak pidana militer murni (ZuiverMilitaira Delict} dan tindak pidana militer campuran (Gemengde Militerire Delict). Tindak pidana militer murni (Zuiver Militaira Delict}. 12 Tindak pidana militer murni hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus militer. Contoh pasal 73 KUHPM yaitu : diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun militer yang dalam waktu perang dengan sengaja : Ke-1 : (di ubah dengan undang-undang 39 tatiun 1947) menyerahkan kepada musuh atau membuat atau membiarkan perpindah dalam kekuasaan musuh, suatu tempat atau pos yamh diperkuat atau diduduki yang berada dibawah perintahnya, atau angkatan darat, angkatan laut, atau suatu bagian dari padanya, tanpa melakukan segala sesuatu untuk itu sebagaimana yang dipersyaratkan atau dituntut oleh kewajiban dari dia dalam keadaan itu. Tindak pidana militer campuran. Tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannnya, harrya perbuatan itu berada dalam perundang-undangan yang lain. Sedangkan ancaman hukumannya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena itu perbuatan yang sudah diatur oleh undang-undang lain yang jenisnya sama, diatur kembali dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer disertai ancaman hukumannya yang lebih berat, disesuaikan dengan kekhasan militer. Hal R.Susilo,1986, Hukum Pidana Bagian Delik-Delik Khusus, Bina Cipta, Jakarta, 23

35 2.1 Bentuk-bentuk desersi Bentuk-bentuk desersi, disebutkan disebutkan dalam buku Badan Pembinaan Hukum TNI berdasarkan pada ketentuan Pasal 87 KUHPM ada dua bentuk desersi yaitu: Pertama, Bentuk desersi mumi, yaitu desersi karena tujuan antara lain: (a). Pergi dengan maksud menarik din untuk selama-lamanya dari kewajiban dinas. Arti dari untuk selamanya ialah tidak akan kembali lagi ke tempat tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan tersebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara sebelum ia kembali ke kesatuannya. Bahkan jika si pelaku itu sebelum pergi sudah mengatakan tekadnya kepada seorang teman dekatnya tentang maksudnya itu, kemudian tidak lama setelah pergi la ditangkap oleh petugas, maka kejadian tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. Dan kewajiban-kewajiban dinasnya, maksudnya jika pelaku itu pergi dari kesatuannya, dengan maksud untuk selamalamanya dan tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang militer, maka perbuatan itu adalah desersi. (b). Pergi dengan maksud menghindari bahaya perang. Maksudnya seorang militer yang kepergiannya itu dengan maksud menghindari bahaya dalam pertempuran dengan cara melarikan din', dalam waktu yang tidak ditentukan, tindakan yang demikian dapat dikatakan sebagai desersi dalam waktu perang. (c). Pergi dengan maksud menyeberang ke musuh. Untuk menyeberang ke musuh adalah maksud atau tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada teman-ternan 24

36 dekatnya untuk pergi memihak musuh), maka pelaku telah melakukan desersi. (d). Pergi dengan tidak sah memasuki dinas militer asing. Pengertian memasuki dinas militer apabila tujuan pelaku bermaksud memasuki kekuasaan lain pasukan, laskar, partisan dan lain sebagainya dari suatu organisasi pembrontak yang berkaitan dengan persoalan spionase, tindakan tersebut sudah termasuk melakukan kejahatan desersi. Kedua, Bentuk desersi karena waktu sebagai peningkatan kejahatan dari ketidakhadiran tanpa ijin, yaitu: (a). Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lamanya melebihi 30 (tiga puluh) hari waktu damai, contoh: seorang anggota militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran yang disengaja atau dengan sengaja dalam waktu damai selama 30 hari berlanjut. (b). Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lebih lama dari 4 (empat) hari dalam masa perang, contoh seorang militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dengan sengaja disaat Negara dalam keadaan sedang perang atau militer tersebut sedang ditugaskan kesatuannya di daerah konflik. Ketiga, Bentuk desersi karena sebagai akibat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ke-3, umumnya termasuk am pengertian Pasal 85 ke-2 ditambah dengan adanya unsur kesengajaan dari si pelaku. 13 Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni yaitu: Pertama, Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik din selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya; Kedua, Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya Hal Moh. Fasal Salam, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 25

37 perang; Ketiga, Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh; dan Keempat, Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. Pengertian pergi ditegaskan dalam Pasal 95 KUHPM yaitu perbuatan menjauhkan diri dari, ketidakhadiran pada atau membuat diri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya; yang disebut dengan ketidakhadiran adalah tidak hadir pada tempat atau tempat-tempat tersebut. Unsur bersifat melawan hukum yang tersirat dalam Pasal 87 KUHPM di atas jika dikaitkan dengan ketentuan Pasa195 KUHPM, bahwa yang dimaksud dengan pergi (veravyderen) adalah perbuatanperbuatan: Pertama, Menjauhkan diri dari (zich verwijderen); Kedua, Menyembunyikan diri dari; Ketiga, Meneruskan ketidakhadiran pada; atau Keempat, Membuat din sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya. Sebagaimana diketahui salah satu unsur dari tiap-tiap kejahatan adalah bersifat melawan hukum baik secara tersurat maupun secara tersirat. Unsur bersifat melawan hukum dalam Pasal 87 ayat (1) ke-1 hanya secara tersirat dirumuskan yang dapat disimpulkan dari salah satu maksud tersebut adalah: Menjauhkan dm dari (zich verwijderen); Menyembunyikan din dari; dan Meneruskan ketidakhadiran yang terkandung bagi pelaku dan harus dikaitkan dengan perbuatan kepergiannya itu. 26

38 Seorang anggota militer yang bermaksud menarik diri untuk selamanya dari kewajibankewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama itu maksud tersebut belum dc - 0 dikatakan sebagai perbuatan yang bersfat melawan hukum. Demikian juga perbuatan pergi, belum tentu sudah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, jika kepergian itu tanpa ijin, sudah jelas sifat melawan hukumnya terdapat pada kata-kata tanpa ijin, naiun jika kepergi an itu sudaft mendapat ijin (misalnya cuti) maka kepergian itu tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, baru setelah maksud tersebut diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan (dalam hal kepergiannya itu) terdapat sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, jika seorang anggota militer meninggalkan tempat dan tugasnya keran sudah mendapatkan ijin cuti, tetapi ternyata kemudian anggota militer tersebut bermaksud untuk tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke tempat tugasnya, perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan melawan hukum walaupu kepergiannya itu dengan ijin dan sekaligus tindakan atau perbuatan sedemikian itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana desersi. 14 Pasa187 ayat (1) ke-2 menegaskan bahwa yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa sebagai batas tindak pidana desersi Maju, Bandung 14 Moh. Faisal Salam,2001,Kukum acara pidana dalama praktek dan teori, Mandar 27

39 dari segi waktu adalah tiga puluh hari. Desersi yang dilakukan sesuai dengan Pasal 87 KUHPM sanksinya adalah penjara dan pemecatan dari anggota militer, karena terdapat ancaman pidana dalam pasal tersebut. Jika ketidakhadiran dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya satu hari maka belum bisa dikatakan sebagai tindak pidana desersi tetapi disebut tidak hadir tanpa ijin yang dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer (misalnya karena keterlambatan hadir dalam kesatuan militer. Tidak hadir tanpa ijin selama satu hari di sini adalah selama 1 x 24 jam. Sebagai patokan untuk. menentukan ketidakhadiran itu dihitung mulai tidak hadir saat apel, atau pada saat dibutuhkan/penting tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Secara administratif, berdasarkan Juklak Kasal disebutkan deseri yang lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya pada hari ke-31 sudah dinyatakan desersi. Desersi yang dimaksud di sini adalah yang diancam dengan pidana dan pemecatan bukan penyelesaiannya secara hukum disiplin militer sebab waktunya sudah lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya hari ke-31 sejak dinyatakan desersi. Terhadap anggota TNI yang akan dijatuhi hukuman disiplin perbuatannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5 UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer (selanjutnya disingkat dengan UU Disiplin Prajurit TNI). Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI, mertegaskan, PeJanggarau disiplin prajurit adalah ketidaktaatan dan ketidak patuhan yang sungguh-sungguh pada diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan Sumpah 28

40 Prajurit untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan aturan-aturan Am tata kehicupat prajurit. 15 Pelanggaran disiplin anggota TNI sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI meliputi pelanggaran hukum disiplin murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit, contohnya: terlambat apel, berpakaian kurang rapi/baju tidak dikancingkan atau kotor, berambut gondrong dan sepatu tidak disemir. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa tindakan fisik atau teguran lisan untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah terulangnya pelanggaran ini seperti push up dan lari keliling lapangan. Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer.tindak pidana ringan sifatnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp (enam juta rupiah), perkaranya sederhana dan mudah pembuktiannya serta tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan TTTI atau kepentingan umum, contohnya: Penganiayaan ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa penahanan ringan paling lama selama 14 (empat belas 15 Rena Yulia, 2009, Viktimolog, Graha Ilmu, Bandung, Hal.87 29

KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI

KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI Desertion is the absence of a military without the permission of his immediate superior, at a place and time determined by the service,

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI. Robi Amu

KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI. Robi Amu KAJIAN HUKUM PIDANA MILITER INDONESIA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI Robi Amu Abstrak Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana militer yang paling banyak dilakukan oleh anggota TNI, padahal anggota TNI sudah mengetahui mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi Negara Indonesia sebagai negara hukum telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Di dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari kancah perjuangan kemerdekaan bangsa, dibesarkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu tentang Pertahanan dan Keamanan, Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindakan pidana itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk mendukung dan mempertahankan kesatuan, persatuan dan kedaulatan sebuah negara. Seperti

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 257) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN 1. Hakikat Tindak Pidana Desersi Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan SH. MH. Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana yang secara khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis sangat luas wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah sepatutnya Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER I. UMUM Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini modus kejahatan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perkembangannya kita dihadapkan untuk bisa lebih maju dan lebih siap dalam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA I. UMUM Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana. BAB II TINDAK PIDANA MILITER 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya Ada baiknya dikemukakan terlebih dahuku apa yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit, delict, criminal act). Ada beberapa pandangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia, lahir dan berjuang bersama rakyat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA 1 PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA A. Latar Belakang Masalah Bahwa negara Indonesia adalah negara yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH

TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM. Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH I. PENDAHULUAN 1. Pengertian Desersi a. Menurut Kamus Hukum Belanda Indonesia halaman 69 karangan Mr. H. Van Der Tas : Desersi

Lebih terperinci

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf No.1393, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN HUKUMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara

Lebih terperinci

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT PANITIA PUSAT SELEKSI CASIS DIKTUKPA/BA TNI AD TA 2015 UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014 PETUNJUK

Lebih terperinci

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010

2017, No Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 No.1459, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Prajurit TNI. Status Gugur/Tewas. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG STATUS GUGUR ATAU TEWAS BAGI PRAJURIT

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2

PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2 PENERAPAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Devit Mangalede 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hukum mengatur tentang tindak pidana bagi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pertahanan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh

Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh No. : Hal : Lampiran : 4 lembar Jakarta, 7 Januari 2013 Assalamu alaikum Warrahmatullah Wa Barakatuh Dengan ini saya yang bertandatangan di bawah ini menjelaskan tentang alasan yang membuat kami yakin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA PUSANEV_BPHN. ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM TERKAIT DENGAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA ANANG PUJI UTAMA, S.H., M.Si ISU STRATEGIS BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN DALAM RPJMN 2015-2019 PENINGKATAN KAPASITAS DAN STABILITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu satuan pertahanan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Tugas dari TNI sendiri adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA BESERTA PENJELASANNYA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA) PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Militer Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi

Lebih terperinci

JURNAL PELAKSANAAN SANKSI PIDANA TERHADAP PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA INSUBORDINASI. Diajukan Oleh : YOHANES GATOT SIS UTOMO

JURNAL PELAKSANAAN SANKSI PIDANA TERHADAP PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA INSUBORDINASI. Diajukan Oleh : YOHANES GATOT SIS UTOMO JURNAL PELAKSANAAN SANKSI PIDANA TERHADAP PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA INSUBORDINASI Diajukan Oleh : YOHANES GATOT SIS UTOMO NPM : 100510292 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. manusia lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah makhluk sosial selain sebagai makhluk pribadi/individu, dimana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Dalam kehidupan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 3-2002 lihat: UU 1-1988 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 51, 1982 (HANKAM. POLITIK. ABRI. Warga negara. Wawasan Nusantara. Penjelasan

Lebih terperinci

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PEMECATAN PRAJURIT TNI PEMECATAN PRAJURIT TNI Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan hakim juga bukan Putusan Tuhan, namun Hakim yang manusia tersebut adalah wakil Tuhan di dunia dalam memberikan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. 1 Negara yang berdasarkan atas hukum berarti segala

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang 337 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Terjadinya Ketidakmandirian Secara Filosofis, Normatif Dalam Sistem Peradilan Militer Peradilan militer merupakan salah satu sistem peradilan negara yang keberadaannya

Lebih terperinci

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH

NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1999 TENTANG RAKYAT TERLATIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pertahanan keamanan negara untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa

Lebih terperinci

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno *

SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI. Sugeng Sutrisno * SUATU TINJAUAN TERHADAP PENERAPAN PASAL 45A UU NO 5 TH 2004 TERHADAP TERDAKWA SEORANG PRAJURIT TNI Sugeng Sutrisno * Ketidak puasan dalam menerima putusan adalah hal yang biasa bagi pencari keadilan namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angkatan bersenjata untuk menjaga keamanan dan kedaulatannya 1. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. angkatan bersenjata untuk menjaga keamanan dan kedaulatannya 1. Karena itu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan suatu angkatan bersenjata tidak akan terlepas dari struktur formal negara. Terkait dengan hal tersebut, salah satu ahli teori kenegaraan ternama Thomas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Militer Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: 1. Tindak Pidana Militer Murni. Tindak Pidana Militer Murni yaitu tindakan-tindakan yang

Lebih terperinci

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI 1 PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil II-09 Bandung Putusan Hakim tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Putusan Hakim juga bukan Putusan Tuhan,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, Anggota TNI, Desersi.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. Kata kunci: Pertanggungjawaban pidana, Anggota TNI, Desersi. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI ANGGOTA TNI (TENTARA NASIONAL INDONESIA) YANG MELAKUKAN DESERSI 1 Oleh : Rinaldo F. Waworundeng 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 4, 1988 (ADMINISTRASI. HANKAM. ABRI. Warga Negara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KOMPONEN CADANGAN PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a. bahwa pertahanan negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1246, 2012 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukuman Disiplin. Penjatuhan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENJATUHAN

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM. Pasal 1 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER BUKU PERTAMA BAB PENDAHULUAN PENERAPAN HUKUM PIDANA UMUM Pasal 1 (Diubah dengan UU No 9 Tahun 1947) Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuanketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan secara

Lebih terperinci

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL

ANATOMI KEAMANAN NASIONAL ANATOMI KEAMANAN NASIONAL Wilayah Negara Indonesia Fungsi Negara Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa setiap negara, apapun ideologinya, menyeleng garakan beberapa fungsi minimum yaitu: a. Fungsi penertiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tentara Nasional Indonesia

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA Disusun oleh: ADAM PRASTISTO JATI NPM : 07 05 09661

Lebih terperinci

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1982 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAHANAN KEMANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pembangunan dan pembinaan serta pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA Disusun Oleh: I Gusti Bagus Wirya Agung, S.Psi., MBA UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA U N I V E R S I T A S U D A Y A N A B A L I 2016 JUDUL: PENDIDIKAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi

BAB I PENGANTAR. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 berbunyi : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan 93 BAB III PENUTUP a. Kesimpulan 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan pemidanaan pada umumnya, bahwa prajurit dapat di pidana jika memenuhi unsur kesalahan. Terhadap kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 KAJIAN YURIDIS TENTANG SYARAT UNTUK DAPAT DIPIDANANYA DELIK PERCOBAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER 1 Oleh: Stewart Eliezer Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan nasional Indonesia adalah

Lebih terperinci