Prinsip Dasar Terapi Imunologi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Prinsip Dasar Terapi Imunologi"

Transkripsi

1 Prinsip Dasar Terapi Imunologi A. Pendahuluan Dalam 20 tahun terakhir berbagai usaha telah dilakukan untuk mengobati penyakit kanker dengan cara imunologik. Namun sayang, sampai sekarang cara tersebut belum memberikan hasil yang efektif, baik yang diberikan secara tunggal atau kombinasi dengan operasi, kemoterapi, maupun radioterapi. Usaha ini ditujukan untuk memperoleh imunitas terhadap tumor secara spesifik dengan menggunakan berbagai preparat antigen tumor atau nonspesifik untuk membantu respons imun terutama makrofag. Pada penelitian menggunakan hewan percobaan terlihat bahwa respon imun humoral maupun respon imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan dan berbagai mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro. Rekayasa pada imunologi berhubungan erat dengan keperluan terapi. Dan sistem imunologi yang dapat digunakan sebagai pilihan terapi kanker. Rekayasa yang berhubungan dengan sistim imunologi yang berguna untuk menghadapi sel kanker, antara lain antibodi monoklonal, sitokin termasuk Lymphokine Activated Killer (LAK) dan Tumor Infiltrating Limphocytes (TILs). Berdasarkan pada pemahaman mengenai dasar imunologi terhadap kanker maka dikembangkan berbagai macam imunoterapi dengan berbagai macam mekanismenya yang diharapkan dapat meningkatkan respon imun tubuh terhadap sel kanker. Interaksi antara sistem imun dan sel kanker mulai diketahui pada sekitar tahun 1890an. Dr.William Coley ( ) adaalah seorang ahli bedah tulang yang berasal dari Amerika, selain itu ia adalah seorang peneliti kanker dan dijuluki bapak kanker imunoterapi. Coley meneliti kasus sarkoma yang pada seorang pasien bernama Fred Stein, kanker mengalami perbaikan setelah demam tinggi akibat infeksi erisipelas disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Pertahanan tersebut terdiri atas sistem imun spesifik (adaptive/acquired) dan non spesifik (natural/innate). Respons imun spesifik bergantung pada adanya pemaparan benda asing, pengenalan, kemudian reaksi terhadapnya. Sebaliknya, respons non spesifik terjadi sesudah pemaparan inisial terhadap benda asing. Respons non spesifik ini tidak bergantung pada pengenalan spesifik. Respons imunologik menjalankan 3 fungsi yaitu pertahanan, homeostasis, dan pengawasan. 1

2 Fungsi pertama sistem imun adalah pertahanan melawan invasi mikroorganisme. Jika elemen pertahanan selular berhasil menyebar, maka hospes akan muncul sebagai pemenang dalam perjuangan melawan mikroorganisme. Akan tetapi, apabila elemen-elemen ini hiperaktif, tanda-tanda tertentu yang tidak diinginkan seperti alergi, dan hipersensitivitas akan muncul. Sebaliknya, apabila elemen-elemen ini hipoaktif, kerentanan terhadap infeksi ulang akan bertambah seperti terlihat pada penyakit defisiensi imun. Lingkungan kita mengandung banyak sekali mikroba infeksius seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, dan parasit multiselular. Mikroba ini dapat menyebabkan penyakit dan apabila berkembang secara tidak terkendali dapat membunuh hospesnya. Namun, kebanyakan infeksi mikroba pada individu normal mempunyai masa hidup yang pendek dan meninggalkan sedikit kerusakan. Hal ini diakibatkan oleh adanya sistem imun yang melawan agen infeksius tersebut. Fungsi kedua, homeostasis memenuhi segala kebutuhan umum dari organisme multiselular untuk mempertahankan keseragaman jenis sel tertentu. Homeostasis ini memperlihatkan fungsi degenerasi dan katabolik normal dari isi tubuh dengan pembersihan elemen-elemen sel yang rusak seperti eritrosit dan leukosit dalam sirkulasi. Elemen-elemen sel ini mungkin rusak selama perjalanan hidup normal atau sebagai akibat yang merugikan. Contoh penyimpangan homeostasis adalah penyakit autoimun di mana mekanisme homeostasis pada penyakit ini terlalu ditingkatkan. Mekanisme fisiologik imunitas non-spesifik berupa komponen normal tubuh yang tidak memerlukan induksi oleh paparan mikroba dari luar, meskipun jumlahnya dapat meningkat akibat infeksi. Mekanisme tersebut tidak menunjukkan spesifitas, dan tidak tergantung atas pengenalan spesifik bahan asing. Pertahanan tersebut mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Disebut non-spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, dan memang telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi yang dapat berupa permukaan tubuh dan berbagai komponennya. Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan respon. Fungsi ketiga dari sistem imun masih baru dikenal dan disebut sebagai fungsi pengawasan diri (surveillance). Fungsi pengawasan ini memonitor pengenalan jenis-jenis sel abnormal yang secara tetap selalu timbul dalam hidup. Sel-sel mutan ini dapat terjadi disebabkan oleh pengaruh virus tertentu atau zat-zat kimia. Sistem imun diberi tugas pengenalan dan pembuangan benda-benda baru yang didapat yang sebagian besar dari tugas ini terjadi di permukaan sel. Kegagalan mekanisme ini ditetapkan sebagai penyebab utama 2

3 pekembangan penyakit-penyakit neoplasma. Supaya dapat terjadi fagositosis, partikel bakteri tersebut harus melekat pada permukaan sel fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. B. Sistem Imun Non Spesifik Suatu sistem imun terdepan dengan memberikan respons secara langsung terhadap antigen. Sistem imun ini telah ada dan siap sejak lahir yang terdapat pada permukaan tubuh dan berbagai komponen dalam tubuh, terbagi atas 4 bagian (Pertahanan fisik dan mekanik, biokimia, humoral, selular) : 1. Pertahanan fisik dan mekanik Kulit, selaput lendir, bulu silia saluran nafas, batuk, bersin, yang dapat mencegah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh. 2. Pertahanan biokimia Keringat dan sekresi sebaseus yang bersifat anti mikroba. Bahan lisozim dalam keringat, ludah, air mata, air susu yang melindungi tubuh terhadap bakteri. Juga asam lambung, enzim proteolitik dan empedu dalam usus, ph vagina yang rendah. 3. Pertahanan humoral a. Komplemen Berfungsi untuk meningkatkan fagositosis (opsonisasi) dan mempermudah destruksi sel target dengan aktivitas menghancurkan langsung membran sel, melepaskan bahan kemotaktik untuk mengarahkan makrofag ke bakteri, mengendap pada permukaan sel target memudahkan makrofag untuk mengenal (opsonisasi) dan mendestruksi. b. C Reaktive Protein (CRP) Yang dibentuk badan saat infeksi yang berguna sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. c. Sitokin Sitokin merupakan molekul mediator yang mudah larut. Sitokin kadang disebut monokin bila berasal dari monosit, limfokin berasal dari limfosit, interleukin bila mempunyai aktivitas dalam leukosit dan interferon dengan aktivitas antiviral. Cara kerja sitokin melalui reseptor permukaan sel target dan berfungsi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, dengan sifat lebih satu efek terhadap sel target (pleiotrofik), autoregulasi (fungsi autokrin), dan terhadap sel yang letaknya jauh (fungsi parakrin). Secara tidak langsung, dengan sifat menginduksi ekspresi reseptor untuk 3

4 sitokin lain atau bekerja sama dengan sitokin lain merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonism), Fungsi sitokin ini antara lain : - Aktivasi sel T - Aktivasi sel B - Berfungsi dalam inflamasi - Efek sitotoksisitas : dapat membunuh penyebab infeksi dan sel tumor secara langsung melalui TNF (Tumor Necrosis Factor) alfa atau tidak langsung melalui sel NK (Natural Killer) 4. Pertahanan selular a. Sel fagosit Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap antigen, misalnya bakteri, adalah menghancurkan bakteri yang bersangkutan secara non spesifik dengan proses fagositosis. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit memegang peran penting, khusus nya makrofag demikian pula neutrofil dan monosit. C. Sistem Imun Spesifik Semua vertebra mampu memberikan tanggapan dan menolak benda dan konfigurasi asing karena memiliki sel-sel khusus yang bertugas untuk mengenali dan membedakan apakah konfigurasi itu asing atau milik diri sendiri. Sel yang dimaksud adalah sel limfosit. Konfigurasi asing tadi dinamakan antigen, sedang proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun. Respon imun spesifik artinya bahwa setiap konfigurasi akan dihadapi oleh sel atau mediator yang khusus. 1. Pertahanan humoral Limfosit B berperan dalam imunitas humoral dengan mensintesa dan mensekresi antibodi. Sel B yang matang dan dapat berespons terhadap antigen ini berasal dari sel pre B (B Cell Progenitor) dan kemudian berdiffrensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan sejumlah besar antibodi. Limfosit yang matang setelah berinteraksi dengan antigen, oleh adanya sinyal rangsangan sel dan sitokin akan berubah menjadi sel yang menghasilkan antibodi berupa imunoglobulin Ig A, D, E, G, M. 2. Pertahanan seluler Limfosit T berperan dalam sistem imunitas seluler. Pada orang dewasa sel T dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar timus % dari semua sel timus mati tinggal 5-10% yang menjadi matang dan meninggalkan timus, 4

5 sel T belajar mengenal antigen dalam hubungannya dengan jenis Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel T mengenal antigen melalui reseptor antigen permukaan sel, sedangkan sel B dapat langsung berikatan dengan antigen. Didapati dua subset T yang secara fenotip dan fungsional berbeda yaitu : Sel T helper (Th) dengan pertanda permukaan CD 4 dan T sitotoksik (Tc) dengan pertanda pertanda sel CD 8 Sel T CD 4 membantu sel B menghasilkan antibodi dan berinteraksi dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC yang berhubungan dengan molekul MHC kelas II. Sel T CD 8 bersifat sitotoksik (sel yang dapat membunuh target yang membawa antigen) dan mereka berinteraksi dengan antigen tersebut pada sel target yang berhubungan dengan molekul MHC klas I. Sel T CD 8 juga mengandung sel Tc yang dapat menghambat fungsi biologis dari sel B. Walaupun fungsi biologis primer dari sel Tc adalah untuk melisis sel yang terinfeksi virus, sel Tc dapat melisis sel tumor secara langsung. Sel Tc mengenali antigen dengan molekul MHC klas I pada sel tumor melalui reseptor antigen spesifik sel T, yang akan menuntun kepada rangkaian peristiwa lisis sel target. Berbeda dengan kebanyakan fungsi tubuh yang biasanya dibawakan oleh suatu organ yang solid, maka fungsi kekebalan yang dibawakan oleh sistem imun merupakan suatu kumpulan sel dan molekul yang tersebar diseluruh tubuh kita, namun bekerja sama satu sama lain secara terkoordinir, peranan yang jelas terlihat adalah pada proses infeksi, dimana terjadi invasi mikroba. Selain itu telah dibuktikan pula adanya peranan sistem imun dalam eliminasi sel tumor. Gangguan sistem imun yang berakibat ketidak-seimbangan respons imun juga dapat menimbulkan kelainan seperti terlihat pada reaksi hipersensitivitas atau alergi dan penyakit autoimun. D. Respon Imun Humoral Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya, yaitu : antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Pada respon humoral juga berlaku respon primer yang membentuk sel memory. Setiap limfosit diprogramkan untuk memproduksi satu jenis antibodi spesifik terhadap antigen tertentu (clonal selection). Antibodi ini berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen. Agar limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan peran sel T helper. Makrofag akan memberikan sinyal ke sel T untuk merangsang sel B membentuk antibodi. Selain oleh sel Th, 5

6 produksi antibodi juga diatur oleh sel T suppressor, sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. E. Rekayasa Immunologi Humoral Rekayasa immunologi pada kanker terbagi dua yaitu aktif dan pasif imunoterapi. Yang termasuk pasif imunoterapi pemakaian reagen anti tumor yang dibiakkan secara in vitro seperti antibodi monoklonal atau sitokin. Ada lagi yang disebut dengan adoptive selular terapi yaitu pemakaian efektor seperti lymphokine activated effector cell ataupun tumor infiltrating lymphocyte. Alasan utama pendekatan imunologi pada terapi kanker adalah bahwa terapi kanker yang saat ini digunakan memakai obat-obatan yang membunuh atau menghambat pembelahan sel, mempunyai efek yang berat pada sel normal. Sehingga terapi kanker menyebabkan morbiditas yang tinggi. Sebaliknya respon imun terhadap tumor bersifat spesifik pada antigen tumor sehingga tidak menyebabkan jejas pada sebagian besar sel normal. Oleh karenanya imunoterapi merupakan terapi tumor yang spesifik. Imunoterapi tumor bekerja dengan cara mengaktifkan respon imun host terhadap tumor (imunitas aktif) atau pemberian antibodi spesifik terhadap tumor atau sel T (imunitas pasif). Lymphokine Activated Killer Cell Lymphokine activated killer cells (LAK) diproduksi in vitro dengan jalan membiakkan sel limfosit dari penderita (atau yang diperoleh dari tumor) dengan IL-2. Selanjutnya limfosit tersebut diinfuskan kembali kepada penderita. Mesin elektroforesis digunakan untuk mengeluarkan limfosit dari penderita. Limfosit ini kemudian dirangsang dengan IL-2, dan ini akan mengubah limfosit menjadi sel LAK, yang mampu menghancurkan sel kanker tetapi tidak sel normal. Sel LAK ini bersama IL-2 diinfuskan kembali ke badan pasien sehingga akan merangsang sel LAK dalam waktu singkat. Pengembangan rekayasa genetik IL-2 rekombinan ini memungkinkan penggunaan secara klinis. Terbukti bahwa pemberian sel LAK bersamaan IL-2 dapat menyebabkan regresi massa metastase berbagai neoplasma manusia. Yang menarik adalah peran sel NK yang diaktifkan dengan stimulasi IL-2 dalam membunuh sel tumor. Sel itu disebut dengan lymphokine activated killer cells (LAK cells) dapat diperoleh secara in vitro dengan memberikan IL-2 dosis tinggi pada biakan sel limfosit darah perifer atau sel tumor infiltrating lymphocytes (TIL) yang berasal dari penderita kanker. Sel-sel yang diaktifkan oleh limfokin ini (LAK cells) menunjukkan peningkatan 6

7 aktivitas sitotoksis yang sangat jelas. Besar kemungkinan bahwa sel LAK dapat digunakan dalam imunoterapi. Tumor Infiltration Lymphocytes Sebagai alternatif, telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus limfosit T untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor infiltrating lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma telah dipelajari dalam suatu uji klinik dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan mengkonfirmasi antigen spesifik TIL dibandingkan dengan LAK. Beberapa sitokin ini memiliki aktivitas anti tumor pada tumor tertentu. Interferon (IFN) telah diteliti dapat menghambat proliferasi sel, meningkatkan ekspresi gen dan merangsang proliferasi dan sitotoksitas dari sel T sitotoksik dan sel NK. Interleukin 2 (IL-2) merangsang proliferasi dari limfosit T, sel NK. sel limphokine-activated killer" (LAK) dan tumor infiltrating lymphocytes (TILs), IL-2 digunakan dengan LAK atau dengan TILs. Adapun efek samping utama penggunaan IL-2 adalah capillary-leak syndrome" hasil dari hipotensi, kehilangan berat badan, edema pulmonum dan edema perifer. Interleukin 4 (IL- 4) dapat meningkatkan proliferasi limfosit T dan B. Interleukin 12 (IL-12) menunjukkan aktifitas anti tumor dengan menyebabkan proliferasi limfosit T dan sel NK. Penelitian klinik yang sudah dilakukan adalah pemberian IL-2 dosis tinggi atau dengan kombinasi imunoterapi adoptif seluler. Setelah pemberian IL-2 jumlah limfosit T dan B dan sel NK darah meningkat. Diduga IL-2 bekerja dengan cara menstimulasi proliferasi dan aktivitas sel NK dan CTLs. Imunoterapi pasif Imunoterapi pasif yaitu transfer efektor imun, termasuk tumor-specific sel T dan antibodi, kepada pasien. Imunisasi pasif pada tumor cepat timbul tetapi efek imunitas yang ditimbulkannya tidak lama. Terapi seluler adoptif Imunoterapi seluler adoptif adalah transfer sel imun yang telah dikultur yang mempunyai reaktifitas antitumor, kepada host yang mengandung tumor. Sel yang ditransfer berasal dari limfosit pasien tumor. Salah satu protokol imunoterapi seluler adoptif adalah pembuatan sel limfokine activated killer (LAK) dengan cara mengeluarkan darah perifer dari 7

8 tumor pasien, kemudian mengkultur sel-sel tersebut dengan konsentrasi IL-2 yang tinggi, dan menginjeksi sel LAK kembali ke pasien. Gambar 1. Terapi seluler adoptif. Pada terapi ini, limfosit diisolasi dari darah tumor pasien, yang kemudian dikultur dengan IL-2. Hasil kultur ini kemudian diinfus kembali ke pasien. Seperti yang telah diketahui, sel LAK berasal dari sel NK. Terapi adoptif dengan sel LAK autolog dengan kombinasi pemberian obat IL-2, meningkatkan regresi tumor pada hewan coba. Namun, percobaan terapi sel LAK belum dapat dilakukan pada kasus tumor yang metastasis, dan efikasi terapi ini sangat bervariasi pada tiap pasien. Variasi ini adalah dalam hal isolasi tumor-infiltrating lymphocytes (TILs) dari infiltrat sel radang yang terdapat di dalam dan sekeliling tumor yang diambil dari spesimen hasil reseksi operasi, dan banyaknya TILs yang tumbuh pada kultur IL-2. Pendekatan ini dilakukan karena TILs dapat meningkatkan CTLs yang spesifik terhadap tumor dan untuk aktifasi sel NK. Penelitian terapi dengan memakai TILs pada manusia masih sedang berlangsung. 8

9 F. Terapi Selular Granulosit bergranula besar (large granular lymphocyte = LGL), sel-sel NK, dan selsel LAK (lymphokine-activated killer cell) termasuk keluarga efektor non-major Histocompatibility Complex yang mengenal dan melisis berbagai tumor. Yang terpenting, selsel karsinoma ovarium baik yang sensitif maupun resisten terhadap kemoterapi, mengalami lisis yang diperantarai oleh LAK atau diaktivasi oleh makrofag. Namun sayang, sel-sel efektor yang teraktivasi gagal menentukan lokasi dalam tumor setelah mengalami transfer. Bahkan, dosis tinggi secara sistemik Ril-2 diperlukan untuk memacu respons antitumor dan masa hidup yang panjang dari LAK setelah ditransfer menghasilkan toksisitas yang bermakna. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kecenderungan kanker ovarium tersisa dalam kavum peritonium, hanya sedikit pasien dengan kanker ovarium yang menerima LAK dan IL-2 secara sistemik. Terapi regional dengan LAK dan ril-2 merupakan strategi untuk memfokuskan perhatian terhadap respons antitumor danmenurunkan toksisitas sismik. Farmakokinetik IL-2 yang baik tampak pada pasien-pasien kanker ovarium dengan adanya bukti aktivasi LAK. Hasil pemberian LAK dan ril-2 secara intraperitoneal telah dilaporkan pada 20 pasien kanker ovarium yang refrakter pada 2 pusat penelitian. Toksisitas memberikan hasil yang hampir sama pada pemberian IL-2 secara sistemik, kecuali rasa sakit akibat iritasi peritoneal, asites, dan fibrosis peritoneal dengan perlengketan yang membatasi hasil pengobatan. Mediator yang terlibat pada proses fibrosis dan inflamasi peritoneal bersifat multifaktorial, dan mungkin kesulitan untuk mengatasinya tanpa mengurangi potensial terapinya. Aktivitas LAK intraperitoneal dapat dipelihara selama durasi pengobatan untuk masing-masing siklus. Induksi sekunder Interferon-y (IFN-y) cukup untuk mengaktivasi makrofag peritoneal insitu. Berdasarkan suatu uji random terhadap terapi sistemik, penggunaan sitokin dosis tinggi cukup menunjukan dukungan terhadap efek antitumor dari LAK dan IL-2. Penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut dibatasi oleh toksisitas dan mahalnya biaya yang diperlukan. Sebagai alternatif, telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus limfosit-t untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor infiltrating lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma autologus telah dipelajari dalam suatu uji klinik dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan mengonfirmasi antigen spesifik TIL dibandingkan dengan LAK. Sedikit informasi yang ada berkaitan dengan antigen spesifik limfosit dari tumor-tumor selain melanoma seperti kanker ovarium. Jalur pengklonan dari tumor atau cairan asites kanker ovarium secara umum adalah CD3 + dengan ekspresi bervariasi CD4 dan CD8. Meskipun beberapa klon menunjukan 9

10 aktivitas seperti sel NK, sebagian dari klon secara dominan menunjukkan fungsi melisis selsel kanker ovarium autologus dan dapat menghambat dengan antibodi secara langsung melawan reseptor sel T. jika TIL terkandung dalam tumor solid ovarium dan kemudian dikultur dengan ril-2 konsentrasi tinggi (1.000U/mL) mayoritas sel-selnya adalah CD3 + tetapi tanpa aktivitas lisis antitumor secara spesifik. Teknik kultur menggunakan IL-2 konsentrasi lemah dan/atau sensitisasi in vitro dengan tumor autologus atau kerja sama dengan rtnf-a mungkin menghasilkan kesuksesan dalam menstimuli pertumbuhan sel-sel efektor antigen spesifik. G. Imunologi Tumor Keseimbangan dalam tubuh akan berubah bila suatu sel mengalami tranformasi maligna. Sel yang mengalami transformasi maligna dapat menimbulkan respons sistim imun. Karena pada sel-sel tersebut selain terjadi perubahan fenotipik sel normal, juga terjadi hilangnya komponen antigen permukaan yang tidak ditemukan pada sel normal atau perubahan lain pada membran sel. Imunitas seluler lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral dalam menghadapi tumor Di bidang penyakit kanker, khususnya kanker ginekologi, penelitian imunologi ditunjukan pada upaya diagnosis dan terapi. Teknologi monoklonal telah mengubah pengertian tentang pengorganisasian dan regulasi respon imun. Pengkloningan gen untuk reseptor antigen, molekul perekat sel permukaan, dan protein pembawa sinyal telah menambah pemahaman tentang imunitas pada tingkat selular dan subselular. Perkembangan yang pesat pada bidang ini telah menimbulkan pemahaman baru tentang heterogenitas sel yang terlibat pada sistem imun untuk memberikan signal mulai bekerjanya sistem imun dan faktor-faktor yang mengatur pertumbuhan sel. Sistem imum terlibat dalam kanker, hal ini bisa dilihat pada beberapa keadaan, misalnya regresi spontan kanker, insidens kanker yang meningkat pada penderita imunodefisiensi. Salah satu sub bidang dari imunologi adalah tumor imunologi. Selama 25 tahun terakhir terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam bidang imunologi. Hal ini ditandai oleh penemuan molekul-molekul yang berperan dalam sistem imun seperti komplemen, interleukin, reseptor sel, dan gen respons imun yang berhubungan dengan major histocompatibility complex ( MHC). 10

11 1. Imunitas Seluler Pada Kanker Limfosit T Sebelum ditemukannya antibodi monoklonal, cara yang digunakan untuk membedakan populasi limfosit T dari limfosit B adalah dengan mereaksikan suspensi limfosit dengan eritrosit domba, karena sel T dapa membentuk roset dengan eritrosit domba secara spontan, sifat ini tidak dimiliki oleh sel B. Berkat adanya antibodi monoklonal kemudian terungkap bahwa molekul pada permukaan sel T yang dapat mengikat eritrosit domba tersebut terdiri molekul glikoprotein yang berfungsi sebagai reseptor sel T (TCR) Agar TCR dapat berfungsi, ekspresi TCR selalu harus disertai ekspresi CD3 atau dalam bentuk kompleks dengan CD3. kalau fungsi TCR adalah mengikat antigen, maka fungsi CD3 adalah meneruskan sinyal dari membran plasma ke nukleus sehingga sel T menjadi aktif. Sel T merupakan 65-80% dari jumlah limfosit yang ada dalam sirkulasi. Maturasi timosit melibatkan beberapa fase dimana sinyal-sinyal yang diberikan oleh faktor pertumbuhan, molekul adesi dan TCR, dan berbagai faktor nuklear, mengatur proses pematangan dan diferensiasi dan menentukan sel mana yang akan meninggalkan kelenjar timus setelah ia matang. Pada sistem immunitas spesifik seluler, Limposit T sangat berperan. Pada orang dewasa sel T dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi porliferasi dan diferensiasinya terjadi dalam kelenjar thymus. Selama proses maturasi di thymus, sel T belajar mengenal antigen dalam hubungannya dengan jenis Major Histocompatibility Complec (MHC). Sel T mengenal antigen melalui reseptor antigen permukaan sel, sedang sel B dapat langsung berikatan dengan antigen. Ada 2 subset T yang secara fenotip dan fungsional berbeda, yaitu : 1. Sel T helper dengan petanda permukaan CD4 2. Sel T supresor dan T sitotoksik dengan petanda permukaan CD8 Sel T CD4 akan membantu sel B hasilkan antibodi, dan berinteraksi dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC yang berhubungan dengan molekul MHC II. Sel T CD4 juga berfungsi sebagai sel helper terhadap sel T lain. Sel T CD8 bersifat sitotoksik, maksudnya sel tersebut dapat membunuh target yang membawa antigen dan merka berinteraksi dengan antigen tersebut pada sel target yang berhubungan dengan molekul MHC I. Sel T CD 8 juga mengandung sel T supresor yang dapat menghambat fungsi biologis dari sel B atau sel T lainnya. Jadi sel T sitotoksik (CD4) mengenali antigen spesifik melalui peran dari MHC kelas II sedangkan sel T helper (CD8) mengenali antigen melalui peran MHC kelas I. 11

12 Limfosit B Sel B adalah sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin (Ig) dan merupakan 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi darah. Sel B masih belum pernah terpapar terdapat pada sumsum tulang, umumnya menunjukkan respon yang lebih lambat dibanding dengan sel B yang terdapat pada jaringan limfoid primer. Setelah terdapat rangsangan antigen, limfosit B akan mengalami perkembangan melalui 2 jalur, yaitu : 1. Berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menbentuk imunoglobulin 2. Membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai sel memori. Dimana sel memori adalah sel yang mengekspresikan sig, proliferasinya tergantung pada sel T. Sel memori ini berperan dalam respon imun sekunder. Interaksi sel T dan sel B sangat penting untuk pembentukan sel B memori dan ikatan CD4 pada permukaan sel B merupakan hal yang penting. Untuk mempertahankan sel memori diperlukan interaksi terus menerus dengan sel CD4. Sebagian besar sel B memori diduga mengalami class switching dan lebih sensitif terhadap rangsangan antigen. Rangsangan berikutnya pada sel B akan menimbulkan reaksi anamestik dan menyebabkan sel B berproliferasi menjadi sel plasma yang mensekresikan imunglobulin spesifik yang sebagian besar adalah IgG. Sel B memori dapat dapat mengenal antigen dan berinteraksi dengan afinitas yang tinggi walaupun kadar antigen sangat rendah. Hal ini disebabkan sel B memori mempunyai sig yang berfungsi sebagai reseptor spesifik untuk antigen. Dengan proses endositosis antigen yang ditangkap oleh sig tersebut masuk ke dalam sitoplasma hanya dalam waktu beberapa menit dan kemudian diproses menjadi peptida-peptida. Melalui mekanisme eksositosis fragmen antigen tersebut bersama-sama dengan MHC kelas II disajikan pada limfosit T, sehingga dengan demikian sel B juga dapat berfungsi sebagai antigen presenting cell. Sel NK (Natural Killer) Sebagian limfosit tidak mempunyai antigen permukaan seperti yang dimiliki oleh limfosit T maupun limfosit B, karena itu dahulu populasi sel ini disebut dengan null cell, walaupun kemudian ternyata bahwa sel itu mempunyai reseptor untuk Fc. Sel-sel ini bersifat non fagositik, non aderen dan secara fenotip berbeda dengan sel T mupun B, yaitu tidak memiliki CD3/TCR maupun sig. Untuk membedakannya dengan sel T maupun sel B, sel ini memiliki penanda permukaan CD16 (yang merupakan reseptor untuk Fc) dan CD 56. Ciri permukaan CD16 atau CD56, saat ini digunakan untuk memastikan bahwa sel itu adalah 12

13 sel NK. Sel ini dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa sensitisasi terlebih dahulu tanpa bergantung pada produk-produk MHC, karena itu disebut dengan NK (natural killer). Selain tidak dikendalikan oleh MHC, sel ini juga tidak berinteraksi dengan sel sasaran melalui reseptor sel T (TCR) seperti halnya sel T. Sel NK memegang peran penting dalam dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi virus. Sebagian besar sel NK dapat berfungsi sebagai sel yang membunuh sel sasaran yang terinfeksi virus dan sel sasaran lain yang dilapisi dengan Ig sehingga sel NK berfungsi sebagai sel sitotoksik yang bergantung pada antibodi (antibody dependent cell mediated cytotoxicity : ADCC). Lisis sel sasaran oleh sel NK dapat terjadi dalam beberapa menit setalah terpapar dengan sel sasaran. Mekanisme sitolisis berlangsung dalam 4 tahap, mirip dengan sel efektor yan lain, yaitu : 1. Pengikatan sel target 2. Aktivasi sel efektor melalui sinyal dan transduksi sinyal 3. Melancarkan serangan pada sel target 4. Pelepasan sel NK dari sel target dan siklus ulangan Sel Fagosit Istilah reticulo endothelial system (RES) adalah istilah lama yang merupakan sebutan kolektif untuk semua sel fagosit yang dapat hidup lama di seluruh jaringan tubuh. Sekarang sistem tersebut disebut dengan sistem fagosit makrofag. Sebenarnya dalam sistem fagosit dikenal 2 kelompok sel yaitu sel mononuklear yang diperankan oleh sel makrofag dan sel polimorfonuklear yang diperankan oleh neutrofil dan eosinofil. Sel Monosit Asal fagosit mononuklear adalah sel asal dalam sumsum tulang. Sesudah berproliferasi dan menjadi matang, sel tersebut masuk ke dalam peredaran darah. Di dalam sirkulasi sel ini disebut monosit yang berfungsi sebagai sel fagosit Sel Makrofag Setelah 24 jam sel monosit akan bermigrasi ke sirkulasi darah ke menuju tempat tujuan di berbagai jaringan dan disana berdiferensiasi menjadi makrofag. Sebagai contoh disini adalah sel Kuppfer di liver.. Makrofag memiliki reseptor yang dapat mengenal antigen non self sweperti reseptor manosa yang mengikat LPS. Menurut fungsinya makrofag dapat dibagi menjadi 2 golongan, 13

14 ayitu fagosit profesional dan yang satu lagi adalah makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cell Bila fagosit terpapar oleh partikel, maka partikel tersebut akan ditangkap dan ditelan dengan bantuan membran selnya. opsonin dalam plasma dan cairan jaringan meningkatkan proses tersebut. Bila partikel sudah ditelan, membran menutup, partikel digerakkan ke sitoplasma sel dan terbentuk vakuol fagosit dan fagosom. Lisosom adalah kantong dengan enzim bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Di dalam fagolisosom, bahan yang ditelan tadi dicerna oleh enzim yang terkandung dalam granul lisosom. Isi granul lisosom adalah penting untuk memecah bahan yang telah ditelan tadi. Isi granul nmenghancurkan bahan asing terutama melalui enzimnya seperti enzim hidrolitik. Enzim-enzim tersebut dapat mencerna komponen membran sel bakteri. Beberapa enzim dapat merusak protein mantel atau envelop membran virus. Neutrofil Netrofil merupakan 70% dari jumlah lekosit dalam sirkulasi. Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi. Butir-butir azurofilik primer (lisosom) mengandung hidrolase asam, mieoloperoksidase dan neutromidase, sedang butirbutir sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lizosim. Neutrofil mempunyai reseptor untuk fraksi Fc antibodi (Fcγ-R) dan komplemen. Eosinofil Eosinofil merupakan 2-5% dari sel darah putih orang sehat tanpa alergi. Seperti neutrofil, eosinofil juga berfungsi sebagai fagosit. Eosinofil dapat pula dirangsang untuk degranulasi seperti halnya pada sel mast dan basofil dan melepas mediator. Salah satu dari mediator tersebut adalah arilsulfatase dan histaminase yang dapat menginaktifkan histamin sehingga eosinofil pernah dianggap sebagai sel peredam alergi. Mediator-mediator yang dilepas oleh sel mast/basofil berperan pada reaksi alergi. Eosinofil mengandung berbagai granul seperti major basic protein (MBP), eosinofilic cationic protein (ECP) daan eosinofilic peroxidase (EPO) yang bersifat toksisk dan dapat menghancurkan sel sasaran bila dilepas. Eosinofil dapat mengikat skistosoma yang dilapisi IgE untuk kemudian melalui degranulasi melepaskan protein yang toksik. Oleh karena itu eosinofil diduga berperan pada imunitaws parasit. Eosinofil memiliki berbagai reseptor antara lain untuk IgE dengan afinitas yang lemah seperti halnya dengan sel mast dengan afinitas yang kuat. 14

15 2. Terapi Selular Granulosit bergranula besar (large granular lymphocyte = LGL), sel-sel NK, dan selsel LAK (lymphokine-activated killer cell) termasuk keluarga efektor non-major Histocompatibility Complex yang mengenal dan melisis berbagai tumor. Yang terpenting, sel-sel karsinoma ovarium baik yang sensitif maupun resisten terhadap kemoterapi, mengalami lisis yang diperantarai oleh LAK atau diaktivasi oleh makrofag. Namun sayang, sel-sel efektor yang teraktivasi gagal menentukan lokasi dalam tumor setelah mengalami transfer. Bahkan, dosis tinggi secara sistemik Ril-2 diperlukan untuk memacu respons antitumor dan masa hidup yang panjang dari LAK setelah ditransfer menghasilkan toksisitas yang bermakna. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kecenderungan kanker ovarium tersisa dalam kavum peritonium, hanya sedikit pasien dengan kanker ovarium yang menerima LAK dan IL-2 secara sistemik. Terapi regional dengan LAK dan ril-2 merupakan strategi untuk memfokuskan perhatian terhadap respons antitumor danmenurunkan toksisitas sismik. Farmakokinetik IL-2 yang baik tampak pada pasien-pasien kanker ovarium dengan adanya bukti aktivasi LAK. Hasil pemberian LAK dan ril-2 secara intraperitoneal telah dilaporkan pada 20 pasien kanker ovarium yang refrakter pada 2 pusat penelitian. Toksisitas memberikan hasil yang hampir sama pada pemberian IL-2 secara sistemik, kecuali rasa sakit akibat iritasi peritoneal, asites, dan fibrosis peritoneal dengan perlengketan yang membatasi hasil pengobatan. Mediator yang terlibat pada proses fibrosis dan inflamasi peritoneal bersifat multifaktorial, dan mungkin kesulitan untuk mengatasinya tanpa mengurangi potensial terapinya. Aktivitas LAK intraperitoneal dapat dipelihara selama durasi pengobatan untuk masing-masing siklus. Induksi sekunder Interferon-y (IFN-y) cukup untuk mengaktivasi makrofag peritoneal insitu. Berdasarkan suatu uji random terhadap terapi sistemik, penggunaan sitokin dosis tinggi cukup menunjukan dukungan terhadap efek antitumor dari LAK dan IL-2. Penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut dibatasi oleh toksisitas dan mahalnya biaya yang diperlukan. Sebagai alternatif, telah dipertimbangkan penggunaan antigen spesifik autologus limfosit-t untuk menunjukkan target tumor dan menekan toksisitas hospes. Tumor infiltrating lymphocyte (TIL) secara langsung melawan melanoma autologus telah dipelajari dalam suatu uji klinik dan menunjukkan kemampuan menentukan lokasi tumor, dan mengonfirmasi antigen spesifik TIL dibandingkan dengan LAK. Sedikit informasi yang ada berkaitan dengan antigen spesifik limfosit dari tumor-tumor selain melanoma seperti kanker ovarium. Jalur pengklonan dari tumor atau cairan asites kanker ovarium secara umum adalah CD3+ dengan ekspresi bervariasi CD4 dan CD8. Meskipun beberapa klon menunjukan 15

16 aktivitas seperti sel NK, sebagian dari klon secara dominan menunjukkan fungsi melisis selsel kanker ovarium autologus dan dapat menghambat dengan antibodi secara langsung melawan reseptor sel T. jika TIL terkandung dalam tumor solid ovarium dan kemudian dikultur dengan ril-2 konsentrasi tinggi (1.000U/mL) mayoritas sel-selnya adalah CD3+ tetapi tanpa aktivitas lisis antitumor secara spesifik. Teknik kultur menggunakan IL-2 konsentrasi lemah dan/atau sensitisasi in vitro dengan tumor autologus atau kerja sama dengan rtnf-a mungkin menghasilkan kesuksesan dalam menstimuli pertumbuhan sel-sel efektor antigen spesifik. 3. Antibodi Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat kontak dengan antigen. Bila darah dibiarkan membeku akan meninggalkan serum yang mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut adalah molekul antibodi yang digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai imunglobulin. Dua cirinya yang penting ialah spesifitas dan aktivitas biologik. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka imunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa imunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alfa. Namun demikian aktivitas biologinya sebagian besar terletak pada komponen polipeptidanya. Fungsi Ig disamping mengikat antigen, tetapi secara tidak spesifik dapat mengikat komplemen serta mengikat permukaan mastosit sehingga terjadi pelepasan bahan histamin. Sebuah molekul Immunoglobulin monomer terdiri dari 4 rantai polipeptida yang masing masing diikat melalui ikatan disulfida. Unit dasar ini terdiri atas sepasang rantai panjang dan rantai pendek polipeptida. Rantai panjang dan rantai pendek terdiri dari rangkaian asam amino. Rantai panjang disebut rantai H atau heavy chain mempunyai BM dua kali lipat dari rantai pendek atau rantai L atau Light chain. Penggal penggal rangkaian asam amino dipisahkan oleh ikatan sulfida intra rantai yang dinamakan domain Dalam setiap rantai terdapat 2 regio, yaitu regio Variabel (regio V), merupakan ujung dengan rangkaian asam aminonya tidak tetap (beragam) dan berada dekat gugus NH2, sedangkan regio Constan (regio C) merupakan daerah dengan rangkaian asam amini yang tetap dan berada dekat gugus COOH. Pada regio V terjadi iktan antibodi-antigen yang disebut epitop. 16

17 Bila molekul immunoglobulin dibubuhi enzim papain, maka molekul tersebut terputus pada rantai H didepan ikatan disulfida sehingga pecah menjadi 2 Fragmen Fab dan sebuah Fragmen Fc. Setiap Fragmen Fab masih tetap mampu mengikat antigen sedang fragmen Fc masih tetap dapat terikat pada reseptor Fc pada permukaan sel. Berdasarkan struktur rantai H, antibodi dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu IgG, Ig A, Ig M, IgD, IgE. Molekul Immunoglobulin mempunyai lebih dari satu fungsi, yang masing masing dilaksanakan oleh bagian tertentu dari molekul tersebut. 1. Sebagai antibodi mengikat antigen atau epitop penyebab timbulnya respons immun bersangkutan. Fungsi ini dilakukan pada regio V dari rantai H dan rantai L. 2. Mengikat reseptor pada membran mastosit sehingga timbul degranulasi yang dapat menimbulkan gejala alergi, juga dapat mengaktifkan komplemen karena dapat mengikat molekul komponen komplemen, dan juga dapat menembus plasenta. Semua fungsi ini dilaksanakan oleh bagian molekul Fc. Mekanisme kerja antibodi dalam rangka mempertahankan tubuh terhadap agen penyakit, antibodi akan bekerja mematikan aktivitas agen penyebab penyakit melalui Aglutinasi, Presipitasi, Netralisasi dan Lisis. Berbagai partikel besar dengan antigen pada permukaan seperti bakteri terikat bersama sama menjadi satu kelompok, hal ini merupakan mekanisme aglutinasi. Sedangkan Kompleks Ag-AB demikian besar sehingga tidak larut, membentuk presipitat, mekanisme ini disebut Presipitasi. Netralisasi adalah antibodi menutupi tempat yang toksik dari agen yang bersifat antigenik. Sedangkan Lisis adalah antibodi yang menyerang membran sel agen hingga robek. 4. Antigen Secara fungsional antigen dapat dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respon imun sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada secara langsung tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Yang dimaksud dengan antigen adalah bahan yang dapat merangsang respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang kecil dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) besar. Contoh hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lain dengan berat molekiul yang kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B sedangkan carrier oleh sel T. 17

18 Hapten merupakan determinan antigen dengan berat molekul yang kecil dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh protein pembawa (carrier) besar. Carrier sering digabung dengan hapten dalam usaha imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang dikenal sistem imun dan merangsang pembentukan antibodi. Epitop atau determinan antigen adalah bagian antigen yang dapat menginduksi pembentukan antibodi dan dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau reseptor pada limfosit. Yang disebut dengan paratop ialah bagian dari antibodi yang mengikat epitop. Menurut kimiawinya antigen dapat dibagi menjadi : 1. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya bersifat imunogenik. Glikoprotein yang merupakan bagian permukaan sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi. Contoh lain adalah respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO yang sifat antigen dan spesifitas imunnya berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah 2. Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik tetapi menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa (carrier). Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah sfingolipid 3. Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa. DNA dalam bentyuk heliks biasanya tidak imunogenik. Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita SLE 4. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalen. Sistem imun bersifat dapat membedakan agen self atau nonself dan hanya memberikan respon terhadap paparan antigen nonself. Jaringan tumor mengekpresikan antigen yang dikenali sebagai molekul asing oleh sisten imun individu yang bersangkutan ( host). Jaringan tumor walaupun tumbuh dari jaringan self, tapi komponen selnya telah mengalami perubahan sehingga berbeda dari jaringan normal dan akan dikenali sistem imun sebagai nonself. 18

19 H. Respon imun terhadap tumor Gambar 2. Respon imun terhadap sel tumor Antigen Presenting Cell (APC) memberikan kostimulator yang menghasilkan sinyal untuk CD8+ sel T sitotoksik untuk mendestruksi sel tumor. APCs juga mengekspresikan MHC klas II yang mengaktivasi CD4+ sel T helper T (Gambar 5). Setelah sel T sitotoksik dapat mengenali sel tumor, maka sel T akan mendestruksi sel tumor. Sistem imun seluler dapat menghancurkan sel tumor secara in vitro. Pada umumnya destruksi sel tumor melalui mekanisme seluler. Mekanisme seluler pada destruksi tumor adalah melalui destruksi oleh sel T sitotoksik, dan destruksi oleh sel NK. 1. Konsep tumor antigen Sel tumor, baik ditransplantasikan atau ditumbuhkan dengan rangsangan, merupakan benda asing terhadap hospes tempat sel tumor tersebut. Mekanisme-mekanisme imun yang dapat bekerja melawan sel tumor pada dasarnya sama seperti mekanisme dalam membentuk respons terhadap benda-benda asing lain. Pemahaman mendasar dalam bidang imunologi khususnya di bidang kanker ginekologi adalah konsep bahwa secara kimiawi tumor memiliki antigen pada sel permukaannya yang berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan sel-sel normal dari hospes. Protein, lemak dan bermacam karbohidrat dapat disimpan sebagai tumor terkait antigen (TAA = tumor associated antigen). Beberapa TAA dapat dikenali sebagai hospes dan dapat memperantarai resistensi transplantasi tumor spesifik untuk pertumbuhan tumor. Tumor yang tumbuh secara spontan memiliki kemampuan yang jelek 19

20 untuk mengenal respon imun jika dibandingkan dengan tumor yang diinduksi oleh virus atau zat kimiawi. Antigen tumbuh dalam beberapa tumor sebagai akibat perubahan neoplastik dan spesifik untuk setiap tumor atau kelompok tumor. Antigen ini disebut dengan antigen transplantasi terkait tumor atau tumor associated transplantation antigen (TATA) atau antigen terkait tumor atau tumor associated antigen (TAA). Keduanya adalah antigen permukaan sel dan membangkitkan respons imun spesifik bila disuntikkan pada hospes yang sesuai. Artinya asal antigen dipengaruhi agen onkogenik. Antigen tersebut ada dibawah pengendalian genetik. Selama lebih dari dua dekade, antibodi monoklonal dari tikus telah digunakan untuk mendeteksi TAA yang baru. Reagen monoklonal disekresi dari peranakan sel somatik melalui fusi jalur dengan sel mieloma. Masing-masing antibodi monoklonal bereaksi dengan antigenik tunggal pada TAA. Gambar 3. TSTA (Tumor specific Transplantation Antigen) dan TATA (Tumor associated Transplantation Antigen) Awal klasifikasi antigen dibagi berdasarkan gambaran ekspresi (patterns of expression). Antigen yang diekspresikan oleh sel tumor tetapi tidak oleh sel normal adalah disebut dengan tumor specific antigen transplantation (TSTA), contohnya adalah ras, bcr-abl. Antigen tumor yang juga diekspresikan oleh sel normal disebut dengan tumor associated transplantation antigen (TATA) contohnya adalah tyrosinase dan MAGE-1 (melanoma antigen). 20

21 Gambar 4. TATA pada melanoma (tyrosinase antigen dan MAGE-1 antigen) Antigen Tumor Menurut Sebab 1. Antigen tumor karena bahan kimia atau fisik yang karsinogen, Antigen yang ditimbulkan bahan kimia dan radiasi punya spesifisitas antigen masing masing. Tumor yang berasal dari transformasi sel tunggal punya antigen sama, sedangkan berbagai tumor yang ditimbulkan oleh bahan karsinogen yang sama punya antigen yang berbeda. Antigen tumor oleh karena kimia dan fisik ini tidak menunjukkan reaksi silang. 2. Antigen tumor karena Virus, Tumor yang ditimbulkan oleh virus menunjukkan reaksi silang. Setiap virus mencetuskan ekspresi antigen yang sama dan tidak bergantung dari asal jaringan. Selama pematangan antigen tersebut tidak diekspresikan, tetapi akan diekspresikan kembali akibat deregulasi gen penjamu atas pengaruh virus onkogenik. 3. Antigen Onkofetal, Tumor mengekspresikan dirinya melalui permukaannya, atau melalui produk yang dilepas kedalam darah dan ditemukan dalam kadar yang rendah yang tidak ada pada jaringan normal. Contohnya adalah antigen onkofetal seperti Carcino Embrionic antigen (CEA) pada kanker kolon. CEA diatas 2,5 mg/ml ditemukan dalam sirkulasi penderita kanker kolon, kanker Pankreas, kanker Paru, kanker Payudara dan Kanker Lambung. Pada penderita non neoplastik CEA juga 21

22 ditemukan, misalnya pada Empisema, Kolitis ulseratif, Pankreatitis, perokok atau peminum alkohol. Alpha feto Protein (AFP) juga merupakan antigen onkofetal yang ditemukan dalam kadar yang tinggi pada Fetus Normal dan Hepatoma. I. Terapi Antibodi Pemanfaatan sistem antigen antibodi untuk perkembangan klinik bergantung pada beberapa faktor biologis dan fisik. Faktor-faktor itu meliputi densitas antigen, mekanisme katablisme, spesifisitas tumor, ekspresi antigen yang bersifat heterogen, mekanisme efektor, dan kemampuan pengikatan. Di samping itu, pemilihan secara aman material untuk uji klinik memperoleh hambatan secara teknik seperti halnya hambatan dalam metodologi dalam penelitian-penelitian laboratorium praklinik. Banyak sekali jumlah dan variasi antibodi monoklonal yang secara langsung melawan antigen terkait dengan kanker ovarium telah dikembangkan. Antibodi-antibodi ini dikenal unik atau bagian dari petanda diferensiasi epitelial, komponen-komponen darah, musin, reseptor onkogen terkait faktor pertumbuhan, atau protein intraseluler. Pada kebanyakan kasus, antigen terkait tumor (TAA) mengambil bagian dalam reaksi dengan jaringan hospes normal dan tidak secara nyata bersifat spesifik terhadap tumor tertentu. Dengan kata lain, antibodi autologus pada pasien dengan kanker ovarium sering bereaksi dengan antigen pada jaringan normal. Sebagai contoh, pasien-pasien kanker ovarium dengan degenerasi serebelar paraneoplastik menghasilkan antibodi serum antisel Purkinje juga bereaksi dengan antigen saraf yang diekspresikan oleh tumor avarium. Efek antitumor secara langsung dari antibodi sapi yang tidak terkonjugasisangat jarang. Terkadang reagen menimbulkan efek melalui transduksi sinyal transmembran atau melalui blokade faktor pertumbuhan. Akan tetapi, reseptor faktor pertumbuhan terlihat pada rentang yang lebar dari jaringan hospes yang normal, dan untuk suksesnya mencapai target memerlukan metode untuk mengoptimalkan pertahanan tumor secara selektif. Pada keadaan ini, perbedaan secara kuantitatif pada ekspresi antigen, kinetik reseptor, transduksi sinyal, atau kombinasi strategi yang digunakan untuk mencapai target dengan reagen multipel memungkinkan pengembangan reagen yang berhasil guna. Keterbatasan aktivitas antibodi yang tidak terkonjugasi menyebabkan sebagian besar uji-uji klinik dalam bidang terapi kanker memfokuskan diri pada antibodi yang terkonjugasi dengan radionuklida, toksin, dan obat-obat sitotoksik. Berbagai gambaran seperti internalisasi antigen, degradasi lisosom, penyebaran, dan heterogenitas ekspresi mempengaruhi pilihan antibodi terkonjugasi dan antibodi spesifik. Sebagai contoh, beberapa obat dan toksin 22

23 terkonjugasi memerlukan internalisasi dan hidrolisa asam untuk memperantarai toksisitas selular. Secara umum, reagen-reagen ini bersifat toksik hanya terhadap sel yang mengekspresikan dan mengalami internalisasi antigen target. Sebaliknya, internalisasi beberapa radiokonjugasi berkaitan dengan penurunan kemanjuran dan peningkatan toksisitas hospes akibat katabolisme intraseluler. Heterogenitas ekspresi antigen sering tampak di antara gambaran histologis yang berbeda dan pada pasien-pasien secara individu, tetapi dapat muncul pada pasien yang sama sepanjang waktu, di antara lokasi tumor yang berbeda dalam satu pasien pada satu lokasi, di antara sel-sel yang berbeda dalam satu tumor, dan di antara keturunan sel-sel antigen negatif dan antigen positif sepanjang waktu. Untuk alasan ini, heterogenitas dapat menentukan batas kemaknaan pada suatu uji klinik. Penggunaan antibodi secara kombinasi dapat mengompensasi heterogenitas ekspresi antigen yang tampak di antara individu dengan kanker ovarium. Pengembangan antibodi spesifik mungkin dapat menemukan aplikasinya dalam pencitraan atau diagnosis. Antibodi monoklonal yang spesifik terhadap tumor berguna dalam imunoterapi spesifik. Kemampuan antibodi sebagai peluru magic menarik minat peneliti sejak lama dan masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Antitumor antibodi menghancurkan tumor melalui mekanisme efektor yang sama dengan yang dipakai untuk menghancurkan mikroba, termasuk proses opsonisasi, fagositosis dan aktifasi sistem komplemen. Antibodi monoklonal spesifik untuk produk onkogen Her-2/Neu, yang terekspresi dalam kadar tinggi pada beberapa tumor, terbukti berhasil dalam terapi pasien kanker payudara dan sekarang telah disahkan dalam pemakaian klinik. Anti-Her-2/Neu antibodi berhubungan dengan fungsi sinyalisasi pertumbuhan pada molekul Her-2/Neu. Salah satu masalah dalam pemakaian antitumor antibodi adalah hilangnya varian antigen dari sel tumor, dimana sel tumor tidak lagi mengekspresikan antigen yang dikenali oleh antibodi. Untuk menghindari hal ini, dapat dipakai campuran dari beberapa antibodi spesifik untuk bermacam-macam antigen yang diekspresikan oleh tumor yang sama. Kohler dkk (1977), memperlihatkan kemungkinan dapat dilakukan stimulasi hibridisasi antara sel ganas plasma yang dapat hidup di dalam kultur kontinyu dan sel limfoid. Sel hibrid tersebut dapat tumbuh pada kultur dan menghasilkan antibodi dengan spesifisitas tertentu yang dapat diseleksi melalui kloning. Tehnik dasar untuk menghasilkan antibodi monoklonal diperlihatkan pada gambar dibawah. Sel-sel dari limpa tikus yang telah diimunisasi oleh antigen asing ditempatkan pada kultur berisi sel mieloma yang tumbuh kontinyu dengan adanya glikol polietilen yang merangsang sel bergabung/fusi. Sel mieloma 23

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired IMUNOLOGI DASAR Sistem Imun Antigen (Ag) Antibodi (Ab) Reaksi Hipersensitivitas Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

Mesin Imunologi Pada Kanker

Mesin Imunologi Pada Kanker Mesin Imunologi Pada Kanker A. Pendahuluan Respon imun humoral maupun respon imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan dan berbagai mekanisme. Rekayasa pada imunologi berhubungan erat dengan

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN. Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas

ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN. Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas IMUNOGEN: ANTIGEN vs IMUNOGEN SUBSTAN YANG MAMPU MENGINDUKSI RESPON IMUN HUMORAL ATAU SELULER IMUNOGENIK ANTIGEN: SUBSTAN

Lebih terperinci

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

KONSEP DASAR IMUNOLOGI KONSEP DASAR IMUNOLOGI Oleh : DR. I Ketut Sudiana,MS Staf Pengajar : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Program Pascasarjana Universitas Airlangga TUJUAN DARI PENULISAN INI ADALAH UNTUK MEMBANTU

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI OLEH: TUTI NURAINI, SKp, M.Biomed. DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR PENDAHULUAN Asal kata bahasa latin: immunis: bebas dari beban kerja/ pajak, logos: ilmu Tahap perkembangan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diinginkan dan perlu disingkirkan. Lingkungan disekitar manusia mengandung

tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diinginkan dan perlu disingkirkan. Lingkungan disekitar manusia mengandung BAB I PENDAHULUAN Sejak lahir setiap individu sudah dilengkapi dengan sistem pertahanan, sehingga tubuh dapat mempertahankan keutuhannya dari berbagai gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam tubuh.

Lebih terperinci

IMUNOLOGI TUMOR ELLYZA NASRUL

IMUNOLOGI TUMOR ELLYZA NASRUL IMUNOLOGI TUMOR ELLYZA NASRUL - Populasi sel dg sifat pertumbuhan yg tdk terkendali ciri dari sel kanker disebabkan oleh: 1. Amplifikasi onkogen 2. Inaktivasi gen supresor - Sel kanker Disregulasi genetik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem imun berfungsi dalam mempertahankan kondisi tubuh terhadap benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus dan parasit. Sistem

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI ANTIGEN DAN ANTIBODI DISUSUN OLEH : Kelompok : I (Satu) 1. Abdullah Halim (12 01 01 001) 2. Andera Meka Susu (12 01 01 002) 3. Andrean Revinaldy (12 01 01 003) 4. Andri Rinaldi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Mahkota Dewa Berikut adalah sistematika tanaman, daerah, deskripsi tanaman, bagian yang digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. 2.1.1 Sistematika Tanaman Sistematika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si

PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si PATOGENESIS INFEKSI VIRUS Port d entree Siklus replikasi virus Penyebaran virus didalam tubuh Respon sel terhadap infeksi Virus

Lebih terperinci

MOLEKUL PENGENAL ANTIGEN

MOLEKUL PENGENAL ANTIGEN BAB 2 MOLEKUL PENGENAL ANTIGEN 2.1. Molekul Reseptor Antigen Sel T helper dan sitolitik, tidak seperti sel B, mengenal fragmen antigen protein asing yang secara fisik berikatan dengan molekul MHC pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Mahkota Dewa Mahkota dewa merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya Papua dan secara empiris dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tumbuh subur pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

RESPON IMUN HUMORAL. Definisi Sistem limfoid (imun)

RESPON IMUN HUMORAL. Definisi Sistem limfoid (imun) RESPON IMUN HUMORAL Definisi Sistem limfoid (imun) Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA Penyusun : 1. Tiara Fenny Santika (1500023251) 2. Weidia Candra Kirana (1500023253) 3. Ratih Lianadewi (1500023255) 4. Muna Marzuqoh (1500023259) 5. Luay

Lebih terperinci

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta

Lebih terperinci

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow

Lebih terperinci

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit.

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit. Bab 10 Sumber: Biology: www. Realm nanopicoftheday.org of Life, 2006 Limfosit T termasuk ke dalam sistem pertahanan tubuh spesifik. Pertahanan Tubuh Hasil yang harus Anda capai: menjelaskan struktur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

SISTEM IMUNITAS MANUSIA SMA REGINA PACIS JAKARTA

SISTEM IMUNITAS MANUSIA SMA REGINA PACIS JAKARTA 1 SISTEM IMUNITAS MANUSIA SMA REGINA PACIS JAKARTA Ms. Evy Anggraeny Imunitas Sistem Imunitas Respon Imunitas 2 Yaitu sistem pertahanan terhadap suatu penyakit atau serangan infeksi dari mikroorganisme/substansi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh dari formula ekstrak herbal terhadap sistem imunitas tubuh ayam dapat diperoleh dengan melihat aktivitas dan kapasitas makrofag peritoneum ayam yang telah ditantang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis i ii Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis iii iv Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis IMONOLOGI DASAR DAN IMONOLOGI KLINIS Penulis:

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kim et al., 2009). Tuberkulosis pada umumnya terjadi di paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan.

ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. Hasil dari perhitungan rumus di atas diperoleh nilai minimal 3 kali ulangan pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini dilakuan sebanyak 6 kali ulangan. 3.6. Analisis Data Data-data yang diperoleh adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Menurut Herbarium Medanense (2016), mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan bahan alam untuk mengobati penyakit sudah sejak lama diterapkan oleh masyarakat. Pada jaman sekarang banyak obat herbal yang digunakan sebagai alternatif

Lebih terperinci

HOST. Pejamu, adalah populasi atau organisme yang diteliti dalam suatu studi. Penting dalam terjadinya penyakit karena :

HOST. Pejamu, adalah populasi atau organisme yang diteliti dalam suatu studi. Penting dalam terjadinya penyakit karena : HOST Pendahuluan Definisi Pejamu, adalah populasi atau organisme yang diteliti dalam suatu studi Penting dalam terjadinya penyakit karena : Bervariasi : geografis, sosekbud, keturunan Menentukan kualitas

Lebih terperinci

Fransiska Ayuningtyas W., M.Sc., Apt

Fransiska Ayuningtyas W., M.Sc., Apt Fransiska Ayuningtyas W., M.Sc., Apt Definisi Imunitas Respon imun Sistem imun Imunologi reaksi tubuh thd masuknya substansi asing kumpulan respon thd substansi asing yg terkoordinasi sel & molekul yg

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK 3821 Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003 Nama Mata Kuliah : Imunologi Kode /

Lebih terperinci

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi

Lebih terperinci

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari serangan epidemi cacar dapat menangani para penderita dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Darah merupakan komponen yang berfungsi dalam sistem transportasi pada tubuh hewan tingkat tinggi. Jaringan cair ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian cair yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari tumbuhan Keladi Tikus adalah sebagai berikut : Spesies : Typhonium flagelliforme (Anonim, 2009)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dari tumbuhan Keladi Tikus adalah sebagai berikut : Spesies : Typhonium flagelliforme (Anonim, 2009) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Sistematika dari tumbuhan Keladi Tikus adalah sebagai berikut : Divisio Sub divisio Classsis Ordo Familia Genus : Spermatophyta :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada

BAB I PENDAHULUAN. pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemofilia A adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X, dimana terjadi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tubuh manusia secara fisiologis memiliki sistim pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik bekerja

Lebih terperinci

PROSTAGLANDIN DAN ZAT- ZAT SEJENISNYA

PROSTAGLANDIN DAN ZAT- ZAT SEJENISNYA PROSTAGLANDIN DAN ZAT- ZAT SEJENISNYA Prostaglandin Asam lemak essential sebagai bahan baku pembentuk prostaglandin,protaclyn,thromboxan dan leukotrin Dihasilkan oleh semua sel tubuh dan jaringan Rangsangan-rangsangan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci