BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada
|
|
- Fanny Sumadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesehatan seluruh masyarakat, maka dilakuan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah satu pilar kekuatan. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak swasta yang mengalami perkembangan adalah di bidang perdagangan otomotif (sepeda motor). Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatan perdagangan sepeda motor, yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk memasarkan sepeda motor, sementara konsumen membutuhkan sepeda motor untuk mendukung kecepatan dalam mobilitasnya.
2 Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa. Sewa beli merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul dari praktek karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan memiliki barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu Subekti 1 dan Sri Gambir Hatta 2 mengatakan bahwa niat utama dalam sewa beli adalah untuk memperoleh hak milik barang dan bukan sekedar memberikan hak memanfaatkan barang. Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya sudah diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru berpindah setelah seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam masa angsuran, hak kepemilikan atas benda tersebut masih tetap pada penjual, sedangkan pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah dilunasinya seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, dimana dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angusran belum dilunasi, akan tetapi objek perjanjian sudah menjadi milik pemberi sejak perjanjian itu ditutup. 1 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.
3 Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang tidak diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan debitur (pembeli). Sri Gambir 3 dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain: 1. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa. 2. Penjuaal berhak mengenakan denda; 3. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa angsuran dan denda; 4. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas barang; 5. Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya pasal 1266 dan 1267); 6. Perjanjian bernilai eksekutorial. Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain. 4 Sering terjadi dalam kenyataan, bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli yang telah dibuat dengan pihak kreditur, salah satunya adalah tidak mampunya debitur untuk melakukan 3 Ibid, hal Ibid
4 pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut. Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut. Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor. B. Permasalahan Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli? 2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
5 a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur 2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis 1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet. 2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam berbagai Undang-undang. b. Secara Praktis Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan
6 pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn) belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet a. Pengertian Kredit Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
7 kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 5 Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit disebut sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan nasabah sebagai debitur/penerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu 5 Pasal 1 angka (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
8 hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun. 6 b. Pengertian Kredit Macet Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah diperjanjikan. 2. Pengertian Sewa Beli Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli, setidaktidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa. 7 Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25 memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut : Hire Puchase (Huur Koop): ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah dibayar lunas. Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 / KP/ II / 1980 adalah sebagai berikut: Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan 6 Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal R. Subekti, Op.cit, hal. 52.
9 oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-. 9 Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan: Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda 8 Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a. 9 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal. 258.
10 maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat. 10 Dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 372 KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum, hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda miliknya. 11 Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. 12 Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal 372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan 10 R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal Ibid, hal. 77.
11 seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu, b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian, c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan dengan jalan suatu kejahatan, d. memiliki benda itu harus tanpa hak. 4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya. Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 260.
12 Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability) Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.
13 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana. 15 Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced tetapi juga rightfully accused. Pertanggungjawaban pidana 15 Ibid, hal
14 pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syaratsyarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu. 16 Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan 16 Ibid, hal. 64.
15 adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. 17 Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP). Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana. Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana, 18 merupakan konsekuensi 17 Ibid, hal Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
16 logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. 19 Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatanperbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. 19 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undangundang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.
17 Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. 20 Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer. 21 Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan 20 Roelan Saleh, Op.cit, hal Chairul Huda, Op.cit, hal. 69.
18 (kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat. F. Metode Penelitian Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif ini sepenuhnya menggunakan data sekunder Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hal. 118.
19 2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. 23 Data sekunder diperoleh dari : a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, dan peraturan perundangundangan lain yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet, hasil penelitian, pendapat pakar hukum serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan Hukum Tersier 23 Ibid, hal. 30.
20 Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dll. 3. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundangundangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian. b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan. c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. 4. Analisa data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan
21 dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. G. Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum perjanjian sewa beli, yang isinya antara lain memuat pengaturan sewa beli di Indonesia, perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian lainnya, para pihak dalam perjanjian sewa beli, bentuk dan isi perjanjian sewa beli, resiko dalam sewa beli, dan berakhirnya perjanjian sewa beli. BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap tindak pidana penggelapan, yang memuat tentang jenis-jenis tindak pidana penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan. BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli yang menggelapkan alat-alat sepeda
22 motor dalam hal terjadinya penyitaan, yang isinya memuat antara lain tentang deskripsi kasus, aspek pidana penggelapan dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli dalam hal terjadinya penyitaan benda sewa beli oleh kreditur, dan analisa kasus. BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi
1 BAB I PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam baik bank maupun non bank. Salah satu lembaga keuangan Islam non bank
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan sistem ekonomi Islam di Indonesia yang sudah dimulai sejak tahun 1992 semakin marak dengan bertambahnya jumlah lembaga keuangan Islam baik bank maupun non
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
Lebih terperinciPERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM
PERTANGGUNGJAWABAN KOPERASI TIDAK TERDAFTAR SEBAGAI BADAN HUKUM ABSTRAK Indra Perdana Tanjung Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UNA, Kisaran Sumatera Utara Universitas Asahan; Jalan Ahmad Yani, (0623) 42643 e-mail
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tidak terlepas dari adanya pembangunan ekonomi bangsa indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI. belum diatur dalam Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar
BAB II TINJAUAN TERHADAP PERJANJIAN SEWA BELI A. Pengaturan Sewa Beli di Indonesia Perjanjian sewa beli adalah termasuk perjanjian jenis baru yang timbul dalam masyarakat. Sebagaimana perjanjian jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI
65 TINJAUAN YURIDIS Abstrak : Perjanjian sewa beli merupakan gabungan antara sewamenyewa dengan jual beli. Artinya bahwa barang yang menjadi objek sewa beli akan menjadi milik penyewa beli (pembeli) apabila
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di pisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi yang secara terus menerus dari waktu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mereka pada dasarnya ingin hidup layak dan selalu berkecukupan. 1 Perbankan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Dengan menghadapi adanya kebutuhankebutuhan tersebut, manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil
Lebih terperinciA. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum dimana penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum dalam kekuasaan pemerintahan berdasarkan kedaulatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum
BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan
Lebih terperinciLex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2
TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank
9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan
9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian kredit bagi bank merupakan kegiatan yang utama, karena pendapatan terbesar dari bank berasal dari sektor kredit baik dalam bentuk bunga, provisi, ataupun
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat kompleks karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Salah satu kegiatan usaha yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama, masyarakat mengenal uang sebagai alat pembiayaan yang sah. Dapat kita ketahui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemberian Kredit kepada masyarakat dilakukan melalui suatu perjanjian kredit antara pemberi dengan penerima kredit sehingga terjadi hubungan hukum antara keduanya. Seringkali
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan. badan usaha penting dan bukan sebagai alternatif terakhir.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Perkembangan perekonomian nasional yang dihadapi dunia usaha termasuk koperasi dan usaha kecil menengah saat ini sangat cepat dan dinamis. Koperasi merupakan salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Setiap interaksi antar individu maupun kelompok memiliki akibat hukum. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua akibat hukum
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh terhadap semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan barang/ jasa tertentu yang diikuti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional. Salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan
Lebih terperinciBerdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut biasanya berhubungan dengan takdir dan nasib manusia itu sendiri yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis
Lebih terperinciBAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM
BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum perusahaan adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perdagangan merupakan sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini oleh Pemerintah Indonesia merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dilakukan secara sendiri tanpa orang lain. Setiap orang mempunyai
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan gejala Masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap Negara dihadapkan pada masalah korupsi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi. Barang dan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal agar suatu kegiatan usaha atau bisnis tersebut dapat terwujud terlaksana. Dalam suatu kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan keberadaan lembaga-lembaga pembiayaan. Sejalan dengan semakin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dalam suatu masyarakat diikuti dengan kebutuhan keberadaan lembaga-lembaga pembiayaan. Sejalan dengan semakin berkembang dan meningkatnya pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditur yang
1 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Disatu sisi ada masyarakat yang kelebihan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan
Lebih terperinciBAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal
24 BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN 2.1. Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Tindak pidana penggelapan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang
Lebih terperincidisatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda
9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda bergerak maupun yang tidak berwujud. Pesatnya perkembangan masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan sarana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undangundang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerataan pembangunan di segala bidang pada umumnya merupakan salah satu dari tujuan utama pembangunan nasional. Dalam rangka melindungi segenap Bangsa Indonesia,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam
Lebih terperinciSistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Ketentuan mengenai gadai ini diatur dalam KUHP Buku II Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160. Sedangkan pengertian gadai itu sendiri dimuat dalam Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Balakang. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan masyarakat ialah Bank. Bank mempunyai peran yang sangat penting. Mengapa demikian, karena perbankan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur
9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan.
Lebih terperinciPELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )
SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Serta Syarat Guna Mencapai Derajat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi
Lebih terperinciyang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang merdeka di dalam wadah Negara Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad, tetapi setua umur tersebut hukum nasional yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,
Lebih terperinci