BAB III. pidana. Menurut van Hammel, sanksi atau pidana merupakan suatu penderitaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III. pidana. Menurut van Hammel, sanksi atau pidana merupakan suatu penderitaan"

Transkripsi

1 BAB III PENGATURAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana lebih dikenal dengan sebutan pidana. Menurut van Hammel, sanksi atau pidana merupakan suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. 84 Berkaitan dengan masalah sanksi, G. P. Hoefnagels bahkan memberikan arti secara luas. Dikatakannya, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang-undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang keseluruhan proses itu dianggap sebagai suatu pidana. 85 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengaturan mengenai anak yang berhadapan dengan hukum khususnya mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berhadapan dengan hukum diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengaturan sanksi terhadap anak 84 Marlina, Hukum Penitensir, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, h Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., h

2 81 yang dimuat dalam kedua peraturan perundang-undangan ini diuraikan sebagai berikut. 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) pada dasarnya tidak membedakan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa dengan anak-anak, hanya terdapat beberapa pengurangan pidana bagi anak. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana ialah sanksi pidana berupa : a) Pidana pokok antara lain : 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda; b) Pidana tambahan antara lain : 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim. Penjatuhan pidana terhadap anak adalah upaya hukum terakhir yang bersifat ultimum remedium, artinya penjatuhan pidana terhadap anak hanya dapat dilakukan, jika tidak ada lagi upaya hukum lain yang menguntungkan bagi anak, misalnya anak itu memang sudah sangat meresahkan keluarga dan masyarakat, anak itu melakukan tindak pidana berulang-ulang, atau sudah tidak ada lagi yang sanggup untuk mendidik dan mengawasinya.

3 82 Jika hakim harus menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana karena tidak ada pilihan lain lagi, maka hakim harus menerapkan isi Pasal 47 KUHP yaitu: 1. Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok dari tindak pidana harus dikurangi sepertiganya; 2. Jika perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; 3. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat diterapkan kepada anak. Berkaitan dengan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu, yang merupakan satu-satunya pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada anak, dalam Pasal 39 KUHP diatur sebagai berikut : 1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. 2. Jika sanksi dijatuhkan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan barangbarang tertentu berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. 3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Selain sanksi pidana, KUHP juga mengenal sanksi tindakan yang merupakan kekhususan bagi anak yang melakukan tindak pidana. Sanksi tindakan

4 83 hanya dapat dijatuhkan terhadap anak, seperti yang terkandung dalam Pasal 45 KUHP sebagai berikut : dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasalpasal 489, 490, 492, 496, 497, , 514, , 526, 531, 533, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusan-putusannya telah menjadi tetap, atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Dari pasal di atas dapat diketahui bahwa hakim dapat menjatuhkan sanksi alternatif berupa sanksi tindakan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Sanksi tindakan yang dijatuhkan kepada anak dapat berupa : a) Dikembalikan kepada orang tua atau wali atau pemeliharanya tanpa dijatuhi sanksi pidana; atau b) Diserahkan kepada pemerintah atau lembaga sosial untuk dididik sebagai anak negara tanpa dijatuhi sanksi pidana. Kemudian dalam Pasal 46 KUHP dijelaskan bahwa jika hakim menjatuhkan putusan agar anak yang melakukan tindak pidana diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada orang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia, atau kepada suatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah. Kedua hal ini dilakukan paling lama sampai anak tersebut mencapai umur 18 tahun.

5 84 Pada dasarnya KUHP sudah menganut sistem dua jalur atau doubletrack system karena membagi sanksi menjadi sanksi pidana dan sanksi tindakan, namun pengaturannya dalam KUHP belum terlalu jelas. Para pembuat KUHP juga telah menaruh perhatian yang besar kepada anak dengan memberikan kekhususan sanksi terhadap anak mengingat bahwa anak adalah manusia yang memiliki karakteristik yang unik dan masih dalam tahap perkembangannya sehingga terkadang ia tidak menyadari perbuatan yang dilakukannya telah melanggar hukum. Oleh karena itu, kepada anak lebih dianjurkan untuk dijatuhkan sanksi tindakan, seperti yang terdapat dalam Pasal 45 KUHP, daripada membatasi kebebasannya. Dengan dijatuhkannya sanksi tindakan kepada anak, maka anak akan diusahakan untuk mendapat pendidikan dan pembinaan dalam tumbuh kembangnya sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam KUHP dibagi menjadi dua, yaitu : a) Sanksi pidana antara lain : 1) Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; 2) Pidana kurungan; 3) Pidana denda; 4) Pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu. b) Sanksi tindakan antara lain : 1) Dikembalikan kepada orang tua atau wali atau pemeliharanya;

6 85 2) Diserahkan kepada pemerintah atau lembaga sosial seperti yayasan dan lembaga amal. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak), anak yang berhadapan dengan hukum disebut anak nakal. Adapun yang dimaksud dengan anak nakal ialah : 86 a) Anak yang melakukan tindak pidana, atau b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum yang lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sehubungan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, undang-undang ini telah mengaturnya dalam Bab III bahwa secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana terdiri dari dua yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Perumusan kedua sanksi ini menunjukkan bahwa UU Pengadilan Anak telah menganut sistem dua jalur atau double track system dengan mengatur secara eksplisit tentang kedua jenis sanksi tersebut. Pasal 25 UU Pengadilan Anak kemudian menjelaskan bahwa terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi tindakan terhadapnya. Namun bagi anak nakal yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum yang lain yang hidup dan berlaku 86 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

7 86 dalam masyarakat yang bersangkutan, hakim hanya dapat menjatuhkan sanksi tindakan terhadapnya. Perbedaan penjatuhan sanksi ini terjadi karena dalam menjatuhkan sanksi kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang didukung juga oleh keadaan pribadi dan lingkungan anak. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dibagi menjadi sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan sebagai berikut : a) Dalam Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan Anak disebutkan bahwa pidana pokok antara lain : 1) Pidana penjara; 2) Pidana kurungan; 3) Pidana denda; atau 4) Pidana pengawasan. b) Dalam Pasal 23 ayat (3) UU Pengadilan disebutkan bahwa pidana tambahan antara lain : 1) Perampasan barang-barang tertentu; dan/atau 2) Pembayaran ganti rugi. Pidana penjara bagi anak berbeda dengan pidana penjara bagi orang dewasa, dimana anak hanya dapat dijatuhkan pidana penjara yang lamanya 1 dari 2 ancaman pidana penjara orang dewasa, atau paling lama 10 (sepuluh) tahun jika tindak pidana yang dilakukan anak diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

8 87 Pembedaan hukuman ini dilakukan untuk melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan ini juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan, ia akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. 87 Mengenai ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan bagi anak yang melakukan tindak pidana, dalam Pasal 26 UU Pengadilan Anak dijelaskan sebagai berikut : a) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana paling lama 1 2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. b) Apabila anak nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 10 (sepuluh) tahun. c) Apabila anak yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tersebut belum berumur 12 tahun, maka anak tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. d) Apabila anak yang melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tersebut belum berumur 12 tahun, maka anak tersebut dapat dijatuhkan salah satu dari sanksi tindakan. 87 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h. 29.

9 88 UU Pengadilan Anak tidak menghendaki apabila anak yang melakukan tindak pidana dijatuhkan pidana mati, sama seperti KUHP. Sebagaimana diketahui bahwa pemeriksaan anak nakal dilakukan semata-mata demi kepentingan anak, artinya terhadap anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa, tidak diinginkan untuk dijatuhi pidana mati karena anak sangat memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan yang menunjang perkembangan fisik, mental, dan sosialnya. Oleh karena itu, apabila dijatuhi pidana mati, maka upaya pembinaan dan perlindungan tidak akan pernah dapat diberikan sementara usia yang akan dijalani seorang anak masih sangat panjang. Begitu pula halnya dengan pidana penjara seumur hidup, yang berarti bahwa anak akan melalui sepanjang hidupnya dengan berada di lembaga pemasyarakatan. 88 Dalam Pasal 27 UU Pengadilan Anak diatur bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana juga paling lama 1 2 dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Lalu dalam Pasal 28 UU Pengadilan Anak juga diatur bahwa pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak paling banyak 1 2 dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar, maka anak tersebut dapat menggantinya dengan wajib latihan kerja yang dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari. Kemudian ada pidana pengawasan yang merupakan jenis pidana baru bagi anak. Pidana pengawasan merupakan pidana yang khusus dikenakan untuk anak, 88 Nashriana, op. cit., h. 83.

10 89 yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. 89 Jadi pidana pengawasan bukanlah pidana penjara ataupun kurungan yang dilakukan di rumah si anak, tetapi berupa pengawasan terhadap anak yang melakukan tindak pidana selama waktu tertentu yang ditetapkan oleh putusan pengadilan. Dalam Pasal 30 ayat (1) UU Pengadilan Anak disebutkan jika pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam undang-undang ini juga dikenal pidana bersyarat, seperti yang diatur dalam Pasal 29 UU Pengadilan Anak bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Pidana bersyarat diberikan dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, dan selama menjalankan masa pidana bersyarat, Jaksa Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak menepati persyaratan yang telah ditentukan. Pidana bersyarat dapat diberikan dengan syarat antara lain : a) Syarat umum ialah bahwa anak nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama ia menjalani masa pidana bersyarat. b) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak, 89 Penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

11 90 misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor atau diwajibkan mengikuti kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan. Kemudian mengenai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada anak dapat berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. Pengaturan mengenai perampasan barang-barang tertentu tidak diatur dalam UU Pengadilan Anak sehingga penegak hukum harus kembali mengacu kepada KUHP. Sedangkan pidana tambahan pembayaran ganti rugi merupakan pidana tambahan baru yang bentuk dan tata caranya diatur kemudian oleh Peraturan Pemerintah. Dapat dilihat bahwa UU Pengadilan Anak sejalan dengan KUHP yang tidak menghendaki anak yang melakukan tindak pidana dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Pencabutan hak-hak tertentu memang sudah sepatutnya tidak dijatuhkan kepada anak. Anak yang memang lebih dikedepankan hak-haknya dibandingkan kewajibannya, akan menjadi berseberangan terhadap hak-hak yang seharusnya ia peroleh sebagai seorang anak. Contohnya, hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Apabila hak tersebut dicabut, maka anak yang merupakan generasi penerus bangsa tidak akan mendapat pendidikan dan menjadi bodoh, dimana hal itu tentu tidak kita kehendaki. 90 Pengumuman putusan hakim juga tidak patut untuk dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini karena anak yang telah dijatuhi sanksi pidana saja tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan fisik, mental, 90 Nashriana, op. cit., h. 85.

12 91 ataupun sosialnya, sehingga jika ditambah dengan pengumuman terhadap putusan yang dijatuhkan hakim kepadanya yang kemudian akan diketahui oleh masyarakat luas, maka akan menambah penderitaannya. Hal inilah yang tidak dikehendaki timbul pada seorang anak, sekalipun ia telah melakukan kejahatan. 91 Selain sanksi pidana, UU Pengadilan Anak juga menerapkan sanksi tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Ketentuan mengenai sanksi tindakan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan bahwa sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana antara lain: a) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Apabila hakim berpendapat bahwa keluarga si anak masih mampu untuk mendidik dan membina anak, maka anak dapat dijatuhkan tindakan berupa pengembalian kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Walaupun begitu, bukan berarti anak sepenuhnya berada di bawah pengawasan orang tua tersebut, tetapi anak yang bersangkutan tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan, misalnya mengikuti kegiatan kepramukaan Ibid., h Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

13 92 Namun apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuhnya sudah tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan bahwa anak tersebut akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai anak negara, atau di Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 93 Latihan kerja ini bertujuan untuk memberikan keterampilan kepada anak, misalnya keterampilan di bidang pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya agar setelah selesai menjalani sanksi tindakan, anak memiliki modal untuk dapat hidup lebih baik dan mandiri. Penjatuhan sanksi tindakan di atas dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UU Pengadilan Anak. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sedangkan syarat tambahan, misalnya memberikan laporan secara berkala kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Dengan mulai berlakunya UU Pengadilan Anak ini, maka dalam Pasal 67 UU Pengadilan Anak ditetapkan bahwa Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Artinya ketentuan dalam Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP tersebut tidak lagi dapat digunakan sebagai acuan dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 94 Penjelasan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

14 93 menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, karena telah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini. Oleh karena itu, ketentuan yang dapat digunakan untuk menjatuhkan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana ialah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun demikian, apabila ada ketentuan yang tidak diatur oleh UU Pengadilan Anak ini, maka penegak hukum dapat kembali menggunakan KUHP sebagai acuannya, kecuali tiga pasal yang telah disebutkan di atas. B. Pengaturan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) merupakan undang-undang yang menggantikan UU Pengadilan Anak, yang memuat ketentuan-ketentuan dalam menangani perkara anak. Sebagaimana UU Pengadilan Anak, UU SPPA juga menerapkan sistem dua jalur (double track system) dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Ketentuan mengenai sanksi ini dimuat dalam Bab V tentang Pidana dan Tindakan yang terdiri dari 15 pasal. Mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, diatur dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) UU SPPA sebagai berikut : 1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas :

15 94 a) Pidana peringatan, merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. 95 b) Pidana dengan syarat : 1) Pembinaan di luar lembaga; 2) Pelayanan masyarakat; atau 3) Pengawasan. c) Pelatihan kerja. d) Pembinaan dalam lembaga. e) Pidana penjara. 2) Pidana tambahan terdiri atas : a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b) Pemenuhan kewajiban adat, dimana kewajiban ada diartikan sebagai denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak. 96 Pidana dengan syarat merupakan pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada anak yang melakukan tindak pidana, sehingga anak tersebut tidak perlu untuk melaksanakan pidana yang sifatnya membatasi kebebasan anak. Misalnya anak akan dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, namun hakim menjatuhkan pidana dengan syarat berupa pelayanan masyarakat selama 2 (dua) tahun kepada anak. 95 Pasal 72 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 96 Penjelasan Pasal 71 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

16 95 Dalam Pasal 73 UU SPPA diatur bahwa pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim apabila pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada anak paling lama 2 (dua) tahun, dengan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umumnya adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Sedangkan syarat khususnya adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Jangka waktu masa pidana dengan syarat yang dapat dijatuhkan oleh hakim paling lama adalah 3 (tiga) tahun. Selama menjalani masa pidana dengan syarat, anak diawasi oleh Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan untuk menepati persyaratan yang telah ditetapkan. Selama menjalani masa pidana dengan syarat, anak juga harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Pidana dengan syarat dapat dilakukan melalui tiga cara sebagai berikut : a) Pembinaan di luar lembaga yang diatur dalam Padal 75 ayat (1) UU SPPA dapat berupa keharusan : 1) Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; 2) Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau 3) Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

17 96 Adapun pejabat pembina merupakan petugas yang mempunyai kompetensi di bidang yang dibutuhkan oleh anak sesuai dengan asesmen Pembimbing Kemasyarakatan. 97 Jika selama pembinaan ini anak melanggar syarat khusus seperti yang telah dijelaskan di atas, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan, seperti yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU SPPA ini. b) Pelayanan masyarakat adalah kegiatan membantu pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial, misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim piatu di panti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. 98 Dalam Pasal 76 UU SPPA dijelaskan jika pidana ini dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif, yang dapat dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya. 97 Penjelasan Pasal 75 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 98 Penjelasan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

18 97 c) Pengawasan dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun, dimana anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU SPPA. Pelatihan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU SPPA, dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak, misalnya balai latihan kerja atau lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan seperti kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial. Pidana pelatihan kerja ini dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Pembinaan di dalam lembaga dan pidana penjara merupakan pidana pembatasan kebebasan anak. Dalam Pasal 79 UU SPPA dijelaskan bahwa pidana ini dapat dijatuhkan apabila anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1 2 dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Dalam Pasal 80 UU SPPA diatur bahwa pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan kepada anak apabila keadaan dan perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat.pembinaan di dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Apabila anak telah menjalani 1 2 dari lamanya pembinaan di dalam lembaga yang tidak kurang

19 98 dari 3 (bulan) bulan dan berkelakuan baik, maka ia berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Kemudian dalam Pasal 81 UU SPPA dijelaskan bahwa pidana penjara dijatuhkan kepada anak apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1 dari 2 maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pidana penjara dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) sampai anak berusia 18 tahun. Jika anak telah menjalani 1 2 dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya dan berkelakuan baik, maka anak tersebut berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Artinya anak yang melakukan tindak pidana sebisa mungkin dijatuhkan sanksi lain, baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan yang tidak membatasi kebebasan anak. Pidana penjara sebaiknya dihindarkan untuk dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana, kecuali jika sanksi lain dianggap tidak dapat berfungsi untuk mendidik dan membina anak lagi. Selain sanksi pidana, UU SPPA juga menerapkan sanksi tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU SPPA. Sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana adalah sebagai berikut :

20 99 a) Pengembalian kepada orang tua atau wali; b) Penyerahan kepada seseorang; c) Perawatan di rumah sakit jiwa; d) Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS); e) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g) Perbaikan akibat tindak pidana. Pasal 69 UU SPPA mengatur bahwa sanksi tindakan dapat diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya, kecuali jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun. Namun bagi anak yang belum berusia 14 tahun, maka ia hanya dapat dijatuhkan sanksi tindakan. Tindakan pengembalian kepada orang tua atau wali berarti anak dikembalikan kepada orang tua atau walinya karena hakim berpendapat orang tua atau wali tersebut masih mampu untuk mendidik dan membina anak. Namun begitu, anak masih tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Tindakan penyerahan kepada seseorang berarti memutuskan untuk menyerahkan anak yang telah melakukan tindak pidana kepada seseorang yang

21 100 telah dewasa yang dinilai cakap, berkelakukan baik, dan bertanggung jawab oleh hakim serta dipercaya oleh anak. 99 Tindakan perawatan di rumah sakit jiwa diberikan kepada anak apabila pada saat melakukan tindak pidana, anak tersebut menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa sehingga membutuhkan perawatan yang khusus. 100 Tindakan perawatan di LPKS dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1 (satu) tahun. LPKS merupakan lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak, misalnya panti sosial. 101 Tindakan berupa kewajiban mengikuti suatu pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan surat izin mengemudi hanya dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1 (satu) tahun. Tindakan perbaikan akibat tindak pidana berarti memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan memulihkan keadaan sesuai dengan keadaan sebelum terjadinya tindak pidana tersebut Penjelasan Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 100 Penjelasan Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 101 Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 102 Penjelasan Pasal 82 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

22 BAB IV PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK YANG TURUT SERTA MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA DALAM PUTUSAN PN. DOMPU NO. 2/PID.SUS-ANAK/2016/PN. DPU A. Sanksi Tindakan Sebagai Salah Satu Sanksi Terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhkan dua jenis sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan, sehingga dapat dilihat bahwa undang-undang ini telah menggunakan sistem dua jalur atau doubletrack system. Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi yang dijatuhkan dalam undang-undang ini tidak semata-mata bertujuan untuk menakutnakuti atau mengancam pelaku tindak pidana saja, tetapi juga berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki pelaku tindak pidana tersebut. Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan mendasar. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar mengapa diadakan pemidanaan?, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu?. Dengan kata lain, sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana : Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h

23 102 Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Sehingga jelas bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku tindak pidana. 104 Penggunaan sistem dua jalur ini merupakan konsekuensi dari dianutnya aliran Neo-klasik yang berusaha memanfaatkan kelebihan dan meninggalkan kekurangan dari kedua aliran hukum pidana lainnya yaitu aliran Klasik dan aliran Modern. 105 Aliran Klasik cenderung menganggap bahwa pemidanaan hanya ditujukan sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang, sedangkan aliran Modern menyatakan bahwa pemidanaan harus diberikan dengan memperhatikan berbagai faktor yang menyebabkan pelaku melakukan tindak pidana dan memberikan pembinaan atau perawatan kepada pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Sanksi tindakan bersumber dari filsafat determinisme yang berasumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat ditentukan oleh faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan keagamaan yang ada. Dengan demikian, perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai 104 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., h Sholehuddin, op.cit., h. 3.

24 103 faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku. 106 Filsafat determinisme menjadi dasar dari lahirnya teori pemidanaan berupa teori relatif atau teori tujuan. Teori relatif inilah yang kemudian membentuk sanksi tindakan. Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukanlah pembalasan atas kesalahan si pelaku, melainkan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan. Sanksi harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif lebih melihat ke depan. 107 Menurut Karl O. Christiansen, ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, antara lain : 108 1) Tujuan sanksi adalah pencegahan; 2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; 3) Hanya pelanggaraan-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4) Sanksi harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan; 106 Ibid., h Ibid., h Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., h

25 104 5) Sanksi melihat ke depan atau bersifat prospektif. Ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian menurut teori relatif, sanksi bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu, sanksi harus mempunyai tujuan lain yang bermanfaat. Sanksi ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan lagi. Ada tiga tujuan dasar dari teori relatif ini, antara lain : 1) Penjeraan dan penangkalan. Penjeraan sebagai efek pemidanaan, artinya menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama. Tujuan sebagai penangkal artinya pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat ) Rehabilitasi. Teori ini menganggap bahwa pemidanaan adalah jalan untuk mencapai rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dianggap pula sebagai penyebab disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, konseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemidanaan 109 Sholehuddin, op.cit., h. 44.

26 105 dipandang sebagai proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar ) Pendidikan moral. Bentuk tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya. 111 Tujuan-tujuan dari teori relatif ini diwujudkan dengan penerapan sanksi tindakan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, khususnya anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Secara a contrario, yang dimaksud dengan tindakan adalah apa yang dibebakan kepada orang yang melakukan tindak pidana yang bukan merupakan penderitaan atau apa yang bukan merupakan reaksi atas tindak pidana yang bukan berwujud suatu nestapa yang ditimpakan negara pada pelaku tindak pidana itu. 112 Sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yaitu melindungi 110 Ibid., h Ibid., h R. Wiyono, op. cit., h. 144.

27 106 masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu. 113 Jadi tujuan utama dari penerapan sanksi tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana ialah untuk melakukan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak agar menyadari kesalahannya dan dapat berubah menjadi manusia yang lebih baik. Alf Ross berpendapat bahwa walaupun pada sanksi tindakan masih melekat unsur penderitaan, tetapi sanksi tindakan tidak dimaksudkan untuk mencela perbuatan anak seperti yang terdapat pada sanksi pidana. Pendapat ini dibenarkan oleh Sholehuddin karena pada hakikatnya apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana tetap mengandung unsur-unsur penderitaan. Hal ini dipertegas oleh Gerber dan McAnany yang menyatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana selalu menyangkut penderitaan sejauh ia bersifat memaksa yang dialami oleh terpidana karena melakukan perbuatan yang dilarang oleh pengadilan dan masyarakat. 114 Pendapat Alf Ross tentang hakikat sanksi tindakan di atas selaras dengan teori relatif karena pemidanaan itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk membuktikan bahwa di pelaku telah bersalah, melainkan pemidanaan itu harus mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi pelakunya, termasuk korban dan orang- orang lain di dalam masyarakat. Karakteristik dasar teori ini menurut Igor Primoratz adalah pemidanaan yang berorientasi ke masa depan dan prinsip 113 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., h Sholehuddin, op.cit., h. 144.

28 107 dasarnya berbunyi puniturut ne peccetur yang artinya dipidana agar tidak lagi bersalah. 115 Berdasarkan Pasal 82 ayat (3) UU SPPA, sanksi tindakan dapat dijatuhkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dimana tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Apabila anak melakukan suatu tindak pidana yang diancam pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun, maka terhadap anak tidak dapat dijatuhkan sanksi tindakan. Kemudian dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA dijelaskan bahwa terhadap anak yang belum berusia 14 tahun yang melakukan tindak pidana, hanya dapat dikenakan sanksi tindakan. Artinya terhadap anak yang belum berusia 14 tahun tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana. Sekalipun tindak pidana yang dilakukannya diancam dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun, anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenakan sanksi tindakan. Seperti yang terdapat dalam Pasal 82 UU SPPA, ada beberapa bentuk sanksi tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak, antara lain sebagai berikut : 1) Pengembalian kepada orang tua atau wali, artinya anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan kepada orang tua atau walinya, namun anak tersebut tetap berada di bawah pengawasan Pembimbing Kemasyarakatan dan Ibid., h Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, paragraf ke-8 menyebutkan bahwa bagi anak yang masih berumur kurang dari 12 tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Hal ini berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang memutuskan bahwa batas usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Terdapat perbedaan pengaturan batas usia anak yang dapat dikenai sanksi tindakan antara Pasal 69 ayat (2) dan Penjelasan Umum undang-undang ini. Meskipun begitu, yang mengikat sebagai norma tetaplah Pasal 69 ayat (2) tersebut, karena Penjelasan hanya berfungsi sebagai tafsir resmi dari pasal yang terdapat dalam batang tubuh dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum.

29 108 memiliki kewajiban untuk mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Balai Pemasyarakatan dalam rangka pembinaan dan proses rehabilitasi si anak. 2) Penyerahan kepada seseorang, artinya anak yang melakukan tindak pidana diserahkan kepada seseorang yang dianggap mampu untuk mendidik dan membina anak dan orang tersebut dipercaya oleh anak. 3) Perawatan di rumah sakit jiwa, diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana karena adanya gangguan kejiwaan. Jika anak dijatuhkan sanksi tindakan ini, maka anak dinyatakan bebas dari segala tuntutan karena ia tidak memiliki pertanggungjawaban pidana. 4) Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, artinya anak yang melakukan tindak pidana ditempatkan di suatu lembaga yang khusus untuk mendapatkan perawatan. Sanksi ini dijatuhkan karena hakim menganggap orang tua atau wali dari anak tersebut tidak mampu lagi untuk mendidik anak sehingga menempatkan anak di suatu lembaga yang diharapkan dapat membantu orang tua atau wali dalam mendidik anak yang bersangkutan. 5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, artinya anak yang melakukan tindak pidana memiliki kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan yang bertujuan untuk mendidik dan membina anak agar mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat berguna baginya kelak. 6) Pencabutan surat izin mengemudi, artinya apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan pelanggaran lalu lintas atau disebabkan

30 109 karena kendaraan, yang untuk mengemudikannya membutuhkan surat izin mengemudi, maka surat izin tersebut harus dicabut agar anak dapat menyadari perbuatan dan akibat dari perbuatannya. 7) Perbaikan akibat tindak pidana, artinya anak yang melakukan tindak pidana harus berusaha untuk memperbaiki akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya. Perbaikan tersebut tidak harus mengembalikan keadaan ke keadaan sebelum terjadinya tindak pidana, namun harus dapat memberikan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga dan masyarakat. Sanksi-sanksi tindakan yang telah disebutkan di atas harus diutamakan dalam penerapannya terhadap anak yang melakukan tindak pidana, sehingga hakim dapat menghindarkan penjatuhan sanksi pidana kepada anak yang dapat membatasi kebebasan anak, memberikan pencelaan terhadap anak dalam kehidupannya di masyarakat, dan sedikit banyak melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Keberadaan sanksi tindakan sebagai salah satu sanksi terhadap anak ini menunjukkan bahwa ada sarana lain selain sanksi pidana sebagai sarana dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh anak. Sanksi pidana terutama yang bersifat merampas kebebasan dan kemerdekaan anak harus menjadi sarana paling terakhir yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian, anak tidak harus dibatasi kebebasannya dengan adanya sanksi pidana. Anak yang melakukan tindak pidana tetap dapat merasakan efek jera dengan menerapkan sanksi tindakan terhadapnya, yang kemudian anak harus dididik dan dibina agar tidak mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari.

31 110 B. Posisi Kasus 1. Kronologi Dalam kasus ini, identitas dari Terdakwa Anak adalah sebagai berikut : Nama lengkap Tempat lahir : M. Akbar; : Dompu; Umur/tanggal lahir : 13 tahun/28 Desember 2002; Jenis kelamin Kebangsaan Tempat tinggal : Laki-laki; : Indonesia; : Dusun Ladore, Desa Ranggo, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu; Agama Pekerjaan : Islam; : Pelajar MTS Negeri Pajo. M. Akbar (selanjutnya disebut Terdakwa Anak) bersama dengan pelaku lainnya pada hari Senin, tanggal 4 Januari 2016, sekitar pukul WITA, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Januari 2016, bertempat di depan rumah saksi Hermanto yang berlokasi di Dusun Jati, Desa Lepadi, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Dompu, telah melakukan tindak pidana, dimana perbuatannya tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut : Awalnya sekitar pukul WITA, bertempat di pinggir jalan raya di Dusun Jati, Desa Lepadi, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu, Terdakwa Anak sedang duduk bersama dengan saudara Feri Mulyadin, kemudian M.

32 111 David (korban) datang bersama dengan saksi Gunawan dan saksi Hermanto menghampiri Terdakwa Anak dan saudara Feri Mulyadin kemudian langsung menendang punggung Terdakwa Anak dan memukul saudara Feri Mulyadin sambil berkata kamu yang pukul adik saya?, namun mereka tidak berani membalas. Karena kejadian tersebut, Terdakwa Anak dan saudara Feri Mulyadin merasa dendam serta tidak terima sehingga mereka bergegas pergi dari tempat tersebut menuju ke sebuah paruga di Dusun Lepadi untuk bertemu dengan saksi Moh. Aditya, saksi Jia Ulhak, saksi Moh. Rajudul alias Raju, dan saudara Abdi M. Saleh alias Cinta. Saudara Feri Mulyadin kemudian menceritakan kejadian yang baru mereka alami dan menyatakan rasa dendamnya serta bermaksud untuk meminta bantuan kepada teman-temannya untuk membalas dendam. Seluruh teman-temannya bersedia untuk membantu membalaskan dendamnya, sehingga terjadi sebuah permufakatan diantara mereka. Lalu saksi Moh. Aditya menghubungi saudara Supratman alias Digon melalui telepon dan menceritakan kejadian tersebut serta meminta saudara Supratman alias Digon untuk datang dan ikut memberikan bantuan kepada saudara Feri Mulyadin, hingga akhirnya saudara Supratman alias Digon datang bersama dengan saudara Ade alias Gohan. Terdakwa Anak dan teman-temannya kembali membicarakan kejadian yang dialami oleh Terdakwa Anak dan saudara Feri Mulyadin, kemudian mereka semua mempersiapkan diri dengan mencari alat-alat yang dapat

33 112 dipergunakan untuk membalas dendam, antara lain saudara Feri Mulyadin dan saudara Supratman alias Digon masing-masing membawa sebongkah batu yang digenggamnya dengan menggunakan tangan, serta saudara Abdi M. Saleh alias Cinta membawa sepotong kayu besar sepanjang ± 80 cm yang digenggam menggunakan tangan kanan dan sebilah parang yang diselipkan di pinggang sebelah kirinya. Terdakwa Anak bersama teman-temannya berangkat mencari korban menuju Dusun Jati, Desa Lepadi dengan mengendarai 3 (tiga) buah sepeda motor. Mereka sampai disana dan bertemu dengan korban, saksi Gunawan, dan saksi Hermanto yang sedang duduk di pinggir jalan raya. Kemudian Terdakwa Anak bersama dengan teman-temannya langsung melakukan kekerasan terhadap korban dengan cara saudara Feri Mulyadin datang menghampiri saksi Gunawan kemudian mencoba memukul saksi Gunawan dengan menggunakan tangan kanan mengepal, namun berhasil ditangkis oleh saksi Gunawan sehingga saudara Feri Mulyadin kembali mencoba menarik baju saksi Gunawan, namun saksi Gunawan berhasil menghindar dan menjauh. Kemudian saudara Feri Mulyadin langsung berbalik arah dan menyerang korban dengan cara menghantamkan bongkahan batu yang digenggamnya menggunakan tangan sebelah kanan sebanyak 1 (satu) kali ke arah kepala samping kiri korban hingga menyebabkan korban terjatuh ke bawah tanah.

34 113 Saat korban terkapar di tanah, saudara Supratman alias Digon dengan posisi sedikit menjongkok langsung menghantamkan pukulan ke arah kepala korban dengan menggunakan tangan mengepal dan bongkahan batu yang digenggamnya sebanyak beberapa kali pukulan, yang kemudian diikuti oleh saudara Abdi M. Saleh alias Cinta yang memukul korban dengan menggunakan sebatang kayu dengan panjang ± 80 cm yang digenggamnya menggunakan tangan kanan ke arah bagian sekitar wajah dan kepala yang dilakukan beberapa kali pukulan. Selanjutnya dengan serentak Tedakwa Anak, saksi Moh. Aditya, saksi Moh. Rajudul alias Raju, saksi Jia Ulhak, dan saudara Ade alias Gohan mengerubuti (berdiri melingkar) dan mengelilingi korban yang masih terkapar di tanah dan dengan sedikit membungkuk melakukan pemukulan masingmasing menggunakan kedua kaki dan tangannya secara bergantian berulang kali ke arah bagian kepala dan sekitar badan korban, sedangkan saudara Abdi M. Saleh alias Cinta yang masih menggenggam sebilah parang yang diselipkan di pinggang kirinya mengancam saksi Gunawan dan saksi Hermanto agar jangan ikut-ikutan atau mencoba membantu korban sehingga keduanya hanya berdiam saja dan ketakutan. Saksi Ikbal Sanjaya alias Cecep yang secara tidak sengaja sedang duduk sambil menelepon dengan jarak ± 11 meter melihat perisriwa tersebut, kemudian mendekati Terdakwa Anak dan teman-temannya serta menarik saudara Supratman alias Digon yang masih menggenggam batu agar berhenti memukuli korban yang akhirnya diikuti oleh teman-temannya yang lain

35 114 hingga akhirnya Terdakwa Anak bersama teman-temannya melihat korban telah pingsan dan tidak sadarkan diri. Mereka segera kembali mengendarai sepeda motornya masing-masing dan pergi meninggalkan korban. Saksi M. Guntur yang juga mendengar keributan tersebut datang dan segera mengajak saksi-saksi yang masih berada di TKP untuk mengangkat tubuh korban dan membawanya menuju RSUD Dompu. Korban mengalami kejang-kejang dan tidak sadarkan diri pada saat pertama kali tiba di rumah sakit. Hasil pemeriksaan dokter menjelaskan bahwa kelainan tersebut diakibatkan oleh benturan benda keras tumpul. Kemudian korban dirawat inap selama 3 (tiga) hari di RSUD Dompu hingga akhirnya pada tanggal 7 Januari 2016 korban meninggal dunia. 2. Dakwaan Dalam surat dakwaan yang telah disusun oleh Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa Anak didakwa telah melanggar pasal-pasal sebagai berikut : Primair : Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, bahwa Terdakwa Anak melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain. Subsidair : Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, bahwa Terdakwa Anak melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja merampas nyawa orang lain.

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668]

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668] UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668] BAB III PIDANA DAN TINDAKAN Pasal 22 Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA www.legalitas.org UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR 51 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Sanksi Aborsi yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur di Pengadilan Negeri Gresik Dalam

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 1/Jan-Mar/2015 SANKSI HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT SISTEM HUKUM INDONESIA DAN AKIBAT PIDANA PENJARA 1 Oleh: Mansila M. Moniaga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab Program Studi Ilmu Hukum-Universitas Narotama Surabaya Abstrak Maraknya peredaran narkotika

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN. BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.SKH A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH :

JURNAL HUKUM. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara OLEH : PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN PERAWATAN DI LEMBAGA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL (LPKS) TERHADAP ANAK YANG TURUT SERTA MELAKUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan PN Dompu No. 2/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Dpu)

Lebih terperinci

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul)

WAWANCARA. Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) WAWANCARA Pewawancara : Dame Hutapea (Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Esa Unggul) Terwawancara : AKP Sri Pamujiningsih (Kanit dan Penyidik Unit PPA Polres Metro Jakarta Utara. A. Wawancara dengan unit

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 281 Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 273 (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN PIDANA YANG MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB II KETENTUAN PIDANA YANG MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK 44 BAB II KETENTUAN PIDANA YANG MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan seseorang yang dianggap belum dewasa dari segi umur. Penentuan seseorang dikatakan sebagai anak tidak memiliki keseragaman. Undang-Undang dan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat pertama dengan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 A B S T R A K Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia dimasyarakat yang diwujudkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

BAB I PENDAHULUAN. (On-line),  (29 Oktober 2016). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaruh era globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini tidak dapat terelakkan dan sudah dirasakan akibatnya, hampir di semua negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan.

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk melaporkan aneka kriminalitas. di berbagai daerah menunjukkan peningkatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang kejahatan seakan tidak ada habis-habisnya, setiap hari selalu saja terjadi dan setiap media massa di tanah air bahkan mempunyai ruang khusus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci