BAB I PENDAHULUAN. laki-laki dalam segala bidang kehidupan, seperti hukum, pemerintahan, politik, pendidikan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. laki-laki dalam segala bidang kehidupan, seperti hukum, pemerintahan, politik, pendidikan,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN...Karena Perempuan adalah mitra laki-laki Yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara dengannya... Mahatma Gandi 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang demokratis, yang menjamin adanya kesamaan hak dan martabat bagi semua warga negaranya baik itu laki-laki maupun perempuan. Jaminan tersebut nyata terlihat dalam butir-butir UUD 1945, sebagai aturan yang mengatur dan menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara umum, tidak ada pemilahan soal peran dan kedudukan warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia, memiliki peran dan kedudukan yang sama dan setara berdasarkan UUD Pasal-pasal seperti pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan jelas menjamin persamaan derajat dan hak warga negara baik perempuan maupun laki-laki dalam segala bidang kehidupan, seperti hukum, pemerintahan, politik, pendidikan, kesehatan dan agama. 1 Gereja di Indonesia merupakan salah satu institusi keagamaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai bagian dari negara, gereja di Indonesia juga memiliki jaminan kesetaraan yang sama dengan institusi sosial keagamaan lainnya. Gereja juga harus ikut bertanggung jawab terhadap tatanan-tatanan dan relasi-relasi sosial yang telah terbangun dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Gereja harus turut terlibat membantu masyarakat memecahkan berbagai pergumulan dan permasalahan hidup mereka. 2 Keberhasilan dari gereja sebagai sebuah institusi sosial di tengah-tengah 1 Wahid Khudori, UUD 45 Republik Indonesia beserta Amandemennya (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009), J.D.Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1.

2 masyarakat Indonesia, hanya dapat dilihat dari tercapainya sasaran-sasaran yang mengarah kepada perbaikan hidup masyarakat. Inilah fungsi sosial dari gereja. 3 Sebagai institusi sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, maka geraja ikut pula dipengaruhi oleh nilai atau norma hidup yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut tentu saja dipengaruhi juga oleh adat istiadat (kebudayaan) masyarakat yang secara turun temurun telah dipegang dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka. Budayabudaya masyarakat itu, terkadang mengandung ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan bertolak belakang dengan keyakinan dari gereja. Sebagian besar budaya yang berkembang di masyarakat, memang bersifat patriarkhat dan lebih menekankan kekuasaan dan dominasi dari kaum laki-laki. Sistem dan struktur kebudayaan seperti ini, cenderung mengunggulkan laki-laki daripada perempuan dan menimbulkan relasi kekuasaan yang timpang dalam masyarakat. 4 Dengan begitu maka diskriminasi dan ketidak-adilan akan lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan dan anakanak. Dalam hubungan dengan hal itu, nampaknya masalah-masalah menyangkut perempuan telah menjadi suatu pergumulan besar dari seluruh realitas sosial masyarakat di dunia setiap waktu. Problematikanya seakan-akan tidak pernah surut sepanjang struktur jender dalam berbagai budaya di masyarakat masih ada dan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan. Bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap perempuan terjadi dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum, agama dan terutama adat istiadat. Salah satu bentuk ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah mengenai peran dan kedudukan mereka dalam keluarga dan masyarakat. Di mana perempuan dibatasi untuk berperan dan memiliki kedudukan hanya dalam area rumah tangga, sementara 3 Engel, Gereja dan Masalah Sosial, 2. 4 Nimali Fidelis Buke, Perempuan dalam Politik Bias Gender dalam Mianto N Agung dkk (Ed), Perjuangan Perempuan Indonesia - Belajar dari Sejarah (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 2007), 91.

3 laki-laki memiliki akses yang besar untuk berperan dalam dunia publik. Dikotomi domestik dan publik seperti ini, ditengarai bersumber dari pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin yang secara populer dikenal dengan istilah jender. Pembagian kerja jender tradisional (gender base division of labour) menempatkan perempuan di rumah (sektor domestik) dan laki-laki bekerja di luar rumah (sektor publik). Pembagian kerja yang demikian ini, telah dianggap baku oleh sebagian masyarakat. 5 Menurut Arif Budiman, ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa perempuan sewajarnya harus hidup dalam lingkungan rumah tangga. Tugas untuk membesarkan anak, memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus kebutuhan suami merupakan kodrat dari perempuan. 6 Tugas-tugas rumah tangga seperti ini, sangat memakan waktu sehingga menjadikan perempuan sulit untuk berkarya di sektor publik. 7 Padahal peran-peran domestik yang dilekatkan erat pada perempuan di atas, merupakan peran sosial kultural yang diciptakan oleh manusia dan dapat dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya, banyak perempuan telah bekerja dan memiliki karir di ruang publik tetapi mereka tetap dianggap hanya sebagai pelengkap dan penopang bagi laki-laki. Budaya patriarkhal yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, tampaknya menjadi faktor paling dominan dan sangat mempengaruhi eksistensi perempuan (peran dan kedudukan perempuan) di tengah-tengah masyarakat. Pengaruhnya ada dalam semua lingkup kehidupan masyarakat termasuk di dalam keluarga dan gereja. Pengaruh tersebut tak jarang menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan. Standar-standar stereotip tertentu dikenakan bagi perempuan di segala lini kehidupan, misalnya perempuan selalu diidentikkan sebagai manusia yang lemah, perempuan hanya 5 Supartiningsih, Peran Ganda Perempuan Jurnal Filsafat, Jilid 33 No 1, 43 (April 2003). 6 Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1985), 1. 7 Sugishastuti & Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 58.

4 boleh berada dalam lingkungan rumah-tangga, atau perempuan adalah kelamin kelas dua. Bahkan gereja dengan segala usahanya kadangkala gagal untuk mengatasi berbagai persoalan ketidak-adilan dan diskriminasi seperti ini, oleh karena gereja (dan agama-agama pada umumnya) juga bersifat patriarkhal. Apa yang dialami oleh banyak perempuan di dunia pada umumnya dan di Indonesia, dialami juga oleh anavina Fuka Bipolo 8 di dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Di Buru Selatan, anak perempuan tidak sepenuhnya mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya. Pengambilan keputusan-keputusan penting mengenai diri dan masa depan perempuan, tidak dilakukan oleh mereka sendiri. Semua ditentukan oleh orang tua, sanak saudara yang umumnya adalah laki-laki dan calon suami beserta keluarganya. 9 Perempuan seringkali mengalami perlakuan yang tidak adil dan berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada laki-laki. Beberapa fakta yang menunjukkan adanya ketidak-adilan terhadap kaum perempuan di pulau Buru antara lain sebagai berikut: 1) Dalam budaya perkawinan khususnya sistem kaweng panjar (piara). 10 Sistem kaweng panjar yang ada dalam masyarakat mengharuskan pihak laki-laki membayar 8 Anavina dalam bahasa daerah Buru berarti perempuan, anak perempuan. Sebutan ini tidak hanya mencakup anak perempuan saja tetapi secara umum merupakan sebutan bagi seluruh perempuan Buru. Fuka Bipolo merupakan sebutan masyarakat kepada pulau Buru. Fuka berarti pulau, gunung, buka dan Bipolo berasal dari kata bia yang berarti papeda dan polon yang berarti getah. Konon dikisahkan bahwa manusia pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Buru mendapati tanah pulau ini masih dalam keadaan basah, tanah yang becek, bergetah dan belum kering. Secara umum anavina Fuka Bipolo berarti perempuan dari Pulau Buru. 9 Umumnya perempuan di Buru Selatan sejak kecil telah dijodohkan, sehingga telah memiliki calon suami. Hal ini membuat perempuan sejak kecil telah terikat dalam hubungan dengan laki-laki lain, sehingga setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan perempuan harus selalu dibicarakan dengan pihak laki-laki sebagai calon suami dan keluarganya. 10 Kaweng panjar atau kaweng piara adalah salah satu sistem perkawinan yang berlaku secara legal dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Kaweng panjar atau kaweng piara adalah sebuah sistem perkawinan dimana anak perempuan (calon istri) telah dikawinkan secara adat oleh laki-laki (calon suami) sejak anak tersebut masih berada di dalam kandungan. Prosesnya adalah dengan pemberian sejumlah harta kawin (yang berlaku secara adat) dan berbagai permintaan lain dari keluarga perempuan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup anak perempuan (calon istri) sejak bayi hingga ia dipandang sudah layak untuk berhubungan intim dan diambil oleh pihak laki-laki sebagai istrinya. Jadi sejak masih kecil anak perempuan secara tidak langsung telah dipelihara oleh laki-laki (calon suami) dan keluarganya. Jika perempuan pada akhirnya menolak untuk kawin dengan laki-laki yang telah melakukan adat kaweng panjar ini, maka keluarga perempuan harus mengganti harta kawin yang telah dibayarkan pihak laki-laki kepada mereka sebanyak dua kali lipat.

5 harta kepada pihak perempuan (mencukupi semua kebutuhan hidup anak perempuan) mulai dari masih berada di dalam kandungan hingga ia diambil ke dalam pihak laki-laki. Jadi sejak dari dalam kandungan anak perempuan dapat dikatakan telah dijual oleh keluarganya kepada pihak laki-laki. Demikian juga seorang wanita dalam golongan umur berapa saja dapat dinikahkan dengan laki-laki manapun, asalkan laki-laki tersebut sanggup memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan oleh orang tua dan yang sesuai dengan ketentuan adat (harta kawin). Perempuan juga dapat diberikan pada lelaki lain dalam satu keluarga (saudara kandung sang suami), jika suaminya telah meninggal. Selain sistem kaweng panjar, ada juga sistem poligami yang dianut dalam adat perkawinan asli masyarakat di Buru Selatan yang mengijinkan laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan. Dalam sistem perkawinan seperti ini, terlihat adanya ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap perempuan. 2) Dalam sistem pembagian kerja yang ada dalam masyarakat Buru, suami atau lakilaki memiliki tugas untuk bekerja di luar rumah (di ladang atau kebun), mempersiapkan lahan (tanah) untuk dijadikan ladang atau kebun, berburu di hutanhutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga setiap hari. Laki-laki Buru akan sangat sulit untuk membantu pekerjaan di dalam keluarga seperti memasak dan mengurus anak. Semua tugas dan tanggung-jawab dalam keluarga seperti itu termasuk juga mencuci, membersihkan rumah bahkan mengolah lahan (menanam dan menawat kebun) harus dilakukan oleh perempuan (istri). Hal ini membuat perempuan kurang mendapatkan peluang untuk beraktivitas di luar lingkungan keluarga. Ketika suami dan istri sama-sama pulang dari kebun, perempuan (istri) akan membawa banyak barang bawaan. Suami yang berjalan di depan hanya

6 memikul tombak, membawakan cadut 11 dengan selempangan parang di pinggang sambil menghisap tabaku (tembakau). Sementara istri yang berjalan dibelakang akan memikul beban yang sangat berat (ia harus keku tolfafak 12, rege fodo 13 yang berisi penuh barang bawaan atau hasil kebun, sambil menggendong anak). 3) Dalam lingkungan pemerintahan, yang menduduki posisi-posisi penting seperti kepala desa, kepala adat, badan adat (tokoh-tokoh adat) dan sebagainya adalah kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki akses untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut dan hanya menjadi pembantu bagi kaum laki-laki. Perempuan juga tidak memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dalam masyarakat sebab semuanya ditentukan oleh kaum laki-laki. Memang saat ini, kaum perempuan sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat dan gereja tetapi jumlah mereka masih kecil dan sedikit dibandingkan kaum lakilaki. Dan hal ini hanya terjadi pada desa-desa di pusat klasis atau kabupaten dan di daerah-daerah pesisir pantai, sementara pada desa-desa yang jauh di pedalaman Buru Selatan, perempuan bahkan belum dilibatkan sama sekali dalam proses-proses pengambilan keputusan di masyarakat. 4) Dalam dunia pendidikan, perempuan sangat dibatasi untuk merengkuh pendidikan ke jenjang yang tinggi. Umumnya perempuan di Buru selatan hanya sampai pada tingkat SMP dan SMU saja. Hanya sedikit yang melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi jenjang S1. Penyebabnya adalah perempuan dalam adat istiadat di Buru Selatan, diatur untuk tidak bersekolah dan mendapatkan pendidikan. Perempuan 11 Cadut adalah tas tempat orang Buru menaruh sirih pinang. Dulunya dibuat dari kulit-kulit pohon, namun sekarang juga sudah memakai tas-tas produksi pabrik. 12 Keku tolfafak adalah memikul barang bawaan di kepala. Tolfafak sendiri adalah tempat menaruh hasil kebun, bisa berupa bakul, keranjang, loyang atau wadah lainnya namun hanya ditaruh/dibawakan di atas kepala. 13 Rege fodo adalah memikul barang di bagian belakang (punggung/tulang belakang). Modelnya seperti memikul tas, hanya saja tali pikulannya berada bukan di kedua lengan tetapi di bagian kepala (dahi). Fodo sendiri adalah bakul besar tempat ditaruhnya hasil-hasil kebun, dengan pegangan pada kain yang diikatkan di kepala.

7 harus berada di rumah dan siap untuk dinikahi atau untuk melayani keluarga. Meskipun pada saat ini, sudah ada anak-anak perempuan yang disekolahkan, tapi masih ada juga desa-desa tertentu (terutama di daerah pegunungan) yang melarang anak-anak perempuannya untuk bersekolah. Kalaupun bersekolah, tingkat pendidikan mereka pasti lebih rendah dari kaum laki-laki. 5) Dalam gereja, ketidak-adilan terhadap perempuan terlihat dari berbagai jabatan pelayanan. Memang ketidak-adilan yang terjadi dalam gereja di Buru Selatan tidak sebesar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau keluarga. Di jemaat yang secara geografis jauh berada di pedalaman Pulau Buru dan jauh dari pusat klasis Buru Selatan, berbagai jabatan pelayanan seperti majelis jemaat, kordinator unit, guru sekolah minggu (pengasuh), koster (tuagama) lebih banyak dipegang oleh kaum laki-laki. Bahkan di beberapa jemaat tertentu, perempuan sama sekali tidak memegang jabatan-jabatan tersebut. Beberapa kenyataan ini menggambarkan bahwa sesungguhnya kaum perempuan di Buru Selatan, tidak memiliki peran dan kedudukan yang seimbang dengan laki-laki. Perempuan bahkan tidak memiliki eksistensi sebagai seorang individu. Mereka ada dan hidup tapi bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarga dan masyarakatnya yang didominasi oleh kaum laki-laki. Keberadaan mereka adalah untuk melakukan kehendak lakilaki sepenuhnya. Pada akhirnya, seringkali argumen kultural digunakan untuk menegaskan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan mengatasnamakan adat istiadat, kaum perempuan di Buru Selatan didomestifikasi, dimarjinalisasikan, didiskriminasi, mengalami kekerasan secar fisik maupun psikis, tidak ditingkatkan pendidikan dan kualitas dirinya, diatur dalam bertindak, berpakaian, berperan, memiliki kedudukan dan sebagainya. Memang harus diakui bahwa di Buru Selatan, sebagian besar gerak dan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh budaya lokal yang diturunkan

8 secara turun temurun, dari zaman dulu hingga saat ini. Pengaruh budaya ini berada dalam berbagai bidang hidup masyarakat mulai dari bidang politik dan hukum di pemerintahan, agama dan kepercayaan dalam gereja, pendidikan di sekolah, hingga di keluarga dalam berbagai budaya perkawinan, pembagian kerja antara suami istri dan berbagai aktivitas lain dalam keluarga. Budaya (adat istiadat) menjadi simbol hidup yang sakral, yang mengatur dan menata hidup seluruh masyarakat di Buru Selatan baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Dapat dikatakan bahwa seluruh masyarakat Buru Selatan, tidak dapat hidup terpisah dari nilai-nilai adat istiadat-nya yang telah membentuk jati diri mereka sebagai seorang manusia. Meskipun begitu, dalam berbagai budaya tersebut justru bersemayam berbagai praktek ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan sedikitnya ada tiga hal penting dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, yang mendorong terjadinya berbagai bentuk ketidak-adilan tersebut yakni pertama, adanya budaya (adat istiadat) di Buru Selatan yang melegitimasi berbagai bentuk perlakuan dan tindakan yang bias jender sehingga memungkinkan terjadinya berbagai ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kedua, adanya struktur sosial baik dalam masyarakat, gereja maupun keluarga yang kuat menekan kaum perempuan sehingga peran mereka terbatasi dan dikecilkan pada bidang-bidang tertentu saja, yang umumnya adalah di dalam keluarga. Ketiga, ketidakberdayaan perempuan ini (karena pengaruh adat istiadat dan keterbatasan potensi diri), mengakibatkan mereka cenderung bertahan dalam situasi dan kondisi tersebut. Mereka tak mampu memperjuangkan diri untuk berada di posisi yang setara seperti laki-laki, dan hanya menerima berbagai hal yang terjadi bagi hidup mereka (adil maupun tidak adil), sebagai satu-satunya realitas sosial yang telah menjadi kodrat mereka dan mesti dijalani setiap saat.

9 Inilah beberapa fenomena yang membuat penulis tertarik untuk meneliti dan menulis tentang kehidupan perempuan Pulau Buru khususnya kaum perempuan di dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Berkaitan dengan itu, maka tulisan ini akan lebih mengkaji tentang peran dan kedudukan perempuan Buru Selatan di tengah-tengah lingkungan keluarga, gereja dan masyarakatnya. Adapun tulisan ini, ditulis dengan judul sebagai berikut: ANAVINA FUKA BIPOLO Suatu Tinjauan Kritis dari Perspektif Kesetaraan Jender terhadap Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat dan Gereja di Buru Selatan Rumusan Masalah Memahami konsep masyarakat Buru tentang anavina Fuka Bipolo tidak hanya terbatas pada apa yang mereka pikirkan tentang perempuan itu sendiri, tetapi mencakup pula tempat dan posisi perempuan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat termasuk dalam struktur kebudayaan asli orang Buru. Dalam upaya itu maka rumusan masalah dalam proses penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peran dan kedudukan anavina Fuka Bipolo dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan? 2. Apa tinjauan kritis dari perspektif kesetaraan jender terhadap peran dan kedudukan perempuan di Buru Selatan? 1.3. Tujuan Penelitian Dengan demikian, bertolak dari rumusan penelitian seperti diatas maka penulis akan mengarahkan tujuan penelitian untuk: 1. Mendeskripsikan peran dan kedudukan perempuan dalam struktur masyarakat dan gereja di Buru Selatan.

10 2. Melakukan tinjauan kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan di Buru Selatan dari prespektif kesetaraan jender Manfaat Penelitian 1. Pada tataran akademik, diharapkan dari penelitian ini akan ada sumbangan teoritik yang diberikan bagi instansi-instansi akademik sehingga dapat membantu para akademisi untuk melakukan studi tentang perempuan dan jender di Indonesia. 2. Pada tataran praksis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran baru, pandangan baru atau paradigma baru bagi masyarakat tentang perempuan. Bagaimana kedudukan dan peran perempuan perlakuan yang adil dan setara bagi mereka di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, bagi gereja dan pemerintah daerah untuk selalu memberikan pemahaman dan penyelesaian terhadap berbagai kasus ketidak-adilan jender yang ada di dalam masyarakat, baik yang menimpa kaum laki-laki, anak-anak dan terlebih khusus kaum perempuan Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. 14 Penelitian kualitatif menekankan segi akurasi data, maka akan menggunakan pendekatan induktif artinya data dikumpulkan, didekati dan diabstraksikan Lokasi Penelitian Penelitian di lakukan di enam jemaat di Klasis Buru Selatan yang berada dalam lingkup Kabupaten Buru Selatan antara lain jemaat Kase, Leksula, Waenamaolon, 14 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2000), Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5.

11 Wahaolon, Mngeswaen dan Batu Karang. Karena ke-enam jemaat tersebut juga merupakan desa maka warga jemaat pada saat yang sama juga merupakan warga masyarakat di desa-desa tersebut. 3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data. Data yang dikumpulkan nanti berupa data primer dan data sekunder. 16 Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam atau depth interview dan FGD (focus group discussion) dengan para informan yakni kaum perempuan, lakilaki, tokoh adat, kepala desa dan pendeta di klasis Buru Selatan. Selain itu, juga melalui observasi partisipatif (participant observation) terhadap kondisi sosial kultural dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Data sekuder diperoleh melalui buku, jurnal atau materi-materi tertulis lainnya, yang memuat informasi tentang bahasan dan masalah penelitian ini. 4. Teknik analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dilapangan, selanjutnya akan diuraikan dalam bentuk deskripsi dan dilakukan tinjauan kritis dengan menggunakan landasan teori sebagai pisau analisis Sistematika Penulisan Secara garis besar, penulisan ini akan disusun dalam lima bab yaitu: Bab pertama, berisi pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang, rumusan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab dua, membahas tentang landasan teori. Dalam penulisan ini, penulis akan memakai teori atau pikiran-pikiran tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi aksara, 2000),

12 masyarakat dan gereja dari prespektif kesetaraan jender sebagai teori utama yang akan menjadi dasar untuk menganalisa seluruh temuan (pemasalahan) dalam proses penelitian ini. Bab ketiga merupakan fokus pembahasan yang berupa pemaparan hasil penelitian yang telah dilakukan. Di sini data hasil penelitian akan dideskripsikan meliputi: gambaran umum dari masyarakat dan daerah di Buru Selatan, termasuk didalamnya berbagai adat istiadat masyarakat, ritus keberagaman hingga pemerintahan adat. Kemudian konsep anavina Fuka Bipolo dalam sejarah hidup masyarakat di pulau Buru yang didalamnya memuat pula pandangan masyarakat tentang perempuan (baik laki-laki terhadap perempuan dan secara khusus pandangan perempuan terhadap diri mereka sendiri dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan). Selanjutnya tentang relasi sosial di antara mereka, kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan, yang mencakup pembagian peran dan penempatan posisi (kedudukan) antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, gereja dan masyarakat di Buru Selatan. Bab empat, akan berisi analisa kritis dan refleksi. Analisa kritis dilakukan terhadap hasil penelitian yang telah dideskripsikan dalam bab tiga. Analisa diarahkan untuk melihat secara jelas kesetaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Analisa terhadap kesetaraan dan keadilan peran dan kedudukan dari perempuan dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Sementara itu refleksi berbentuk refleksi teologis terhadap kesetaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, dengan mengutip beberapa ayat Alkitab yang bersifat mendukung maupun menentang diskriminasi terhadap perempuan sebagai landasarn berpikir menuju pemahaman yang baru bagi hubungan bersama yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan di Buru Selatan. Bab lima, adalah bab penutup yang berupa kesimpulan, implikasi penelitian dan saran serta usulan untuk penelitian lanjutan. Kesimpulan dalam hal ini berkaitan dengan peran dan

13 kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Implikasi penelitian berupa implikasi teori yang berhubungan kesetaraan jender dan implikasi praktis yang lebih mengarah kepada masyarakat di Buru Selatan. Saran akan berupa pikiran-pikiran rekomendatif bagi sebuah kehidupan yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan baik dalam kebudayaan maupun bidang-bidang kehidupan yang lain dalam masyarakat di Buru Selatan secara khusus dan di Maluku bahkan di Indonesia. Dan terakhir adalah usulan penelitian lanjutan bagi siapa saja yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjut (baik tentang topik yang sama maupun topik yang berbeda) yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat di Buru Selatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Kata gender berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek

BAB I PENDAHULUAN. Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek budaya dalam hal ini adat-istiadat. Setiap bangsa di dunia memiliki adat istiadat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah daripada kaum laki-laki masih dapat kita jumpai saat ini. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB IV. Refleksi Teologis

BAB IV. Refleksi Teologis BAB IV Refleksi Teologis Budaya patriarki berkembang dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia dan mengakibatkan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini menyebabkan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dra.Ny.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988 hal. 82 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak orang berpendapat bahwa siklus hidup manusia adalah lahir, menjadi dewasa, menikah, mendapatkan keturunan, tua dan mati. Oleh karena itu pernikahan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan BAB V KESIMPULAN Matrilineal seperti yang telah banyak kita fahami, membawa kepada pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan memiliki posisi tawar yang baik dalam pengambilan keputusan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

LAMPIRAN. A. Foto-foto. Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga

LAMPIRAN. A. Foto-foto. Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga LAMPIRAN A. Foto-foto Kedua gambar diatas adalah ketua sinode pertama (gambar paling atas) dan juga mantan ketua sinode periode lalu (gambar bawah sebelah kiri) serta ketua sinode periode 2011-2015 (gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak manusia lahir hingga

Lebih terperinci

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh : PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan suatu hal yang dinantikan dalam kehidupan manusia karena melalui sebuah pernikahan dapat terbentuk satu keluarga yang akan dapat melanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (stratifikasi sosial), yang mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan

BAB I PENDAHULUAN. (stratifikasi sosial), yang mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum dalam setiap komunitas masyarakat memiliki struktur sosial yang mengkategorikan anggota masyarakatnya ke dalam kelas sosialnya masingmasing (stratifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME 51 BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME A. Analisis Terhadap Perlindungan Hak Nafkah Perempuan dalam Kompilasi Hukum Islam Hak perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini sebagai salah satu institusi yang memiliki peran sentral dan strategis dalam proses transformasi sosial serta pemberdayaan insani,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih berperan aktif

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1 Identifikasi Masalah Manusia entah sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain dalam lingkup kehidupannya. Manusia akan selalu berhadapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. BAB V PENUTUP Pada bagian ini akan dikemukakan tentang dua hal yang merupakan Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. A. Simpulan 1. Denda adat di Moa merupakan tindakan adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika dahulu dunia pekerjaan hanya didominasi oleh kaum laki-laki, sekarang fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan BAB V PENUTUP Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan melakukan kesimpulan dan mengusulkan saran, sebagai berikut: A. KESIMPULAN Indonesia adalah sebuah kata yang dapat

Lebih terperinci

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga

Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga PENGARUH JENDER DALAM LINGKUP PELAYANAN MAJELIS JEMAAT (Studi Kasus Terhadap Kesenjangan Jender dalam Struktur Kepemimpinan Majelis Jemaat GPM Pulau Saparua) Oleh, Michael Willy Patawala 712008039 TUGAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan kota yang inovatif dan serba maju dalam aspek kehidupan sosial ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan didalamnya seperti, semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB II FENOMENA KELUARGA DAHULU DAN SEKARANG. bekerja, peran istri yang bekerja terhadap keharmonisan keluarga, dan faktor

BAB II FENOMENA KELUARGA DAHULU DAN SEKARANG. bekerja, peran istri yang bekerja terhadap keharmonisan keluarga, dan faktor BAB II FENOMENA KELUARGA DAHULU DAN SEKARANG Pada bab ini akan dijelaskan mengenai suami yang tidak bekerja di Surabaya, peran istri dalam meningkatkan perekonomian keluarga, penyebab istri bekerja, peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

PERGESERAN PERAN WANITA KETURUNAN ARAB DARI SEKTOR DOMESTIK KE SEKTOR PUBLIK

PERGESERAN PERAN WANITA KETURUNAN ARAB DARI SEKTOR DOMESTIK KE SEKTOR PUBLIK PERGESERAN PERAN WANITA KETURUNAN ARAB DARI SEKTOR DOMESTIK KE SEKTOR PUBLIK (Studi Kasus di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan. BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK Bab ini akan membahas tentang temuan data yang telah dipaparkan sebelumnya dengan analisis teori pengambilan keputusan.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi fisik yang lebih lemah dan dikenal lembut sering menjadi alasan untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lebih rendah dari lakilaki. Secara

Lebih terperinci

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA BAB 2. KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Perkawinan Dini Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008 (pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Di Indonesia, menurut UU No 1/1974 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

KEHIDUPAN PEREMPUAN PEDAGANG PADA MALAM HARI DI PASAR TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF GENDER (STUDI KASUS DI PASAR LEGI KOTA SURAKARTA) NASKAH PUBLIKASI

KEHIDUPAN PEREMPUAN PEDAGANG PADA MALAM HARI DI PASAR TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF GENDER (STUDI KASUS DI PASAR LEGI KOTA SURAKARTA) NASKAH PUBLIKASI KEHIDUPAN PEREMPUAN PEDAGANG PADA MALAM HARI DI PASAR TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF GENDER (STUDI KASUS DI PASAR LEGI KOTA SURAKARTA) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Gereja adalah komunitas yang saling berbagi dengan setiap orang dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Gereja adalah komunitas yang saling berbagi dengan setiap orang dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gereja adalah komunitas yang saling berbagi dengan setiap orang dengan memberi sesuai dengan kemampuannya. Gereja adalah tempat setiap orang dalam menemukan belas kasih

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN. 1. Kisah Ina Mana Lali Ai ini merupakan gambaran dari realitas

BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN. 1. Kisah Ina Mana Lali Ai ini merupakan gambaran dari realitas BAB 5 PENUTUP 5.1 KESIMPULAN 1. Kisah Ina Mana Lali Ai ini merupakan gambaran dari realitas sosial kehidupan masyarakat Rote Dengka, di mana mereka ingin menunjukan bahwa orang Rote adalah orang yang cerdik,

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada dasarnya setiap orang memiliki suatu gambaran tentang keluarga dan keluarga harmonis. Keluarga merupakan sistem sosial dari hubungan utama, yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan salah satu fase dari kehidupan manusia. Memasuki jenjang pernikahan atau menikah adalah idaman hampir setiap orang. Dikatakan hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat lebih dari 200% (persen) dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebagian besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni atau salah satu jenis kesenian sebagai hasil karya manusia, seringkali

BAB I PENDAHULUAN. Seni atau salah satu jenis kesenian sebagai hasil karya manusia, seringkali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seni atau salah satu jenis kesenian sebagai hasil karya manusia, seringkali mempunyai perjalanan yang tidak diharapkan sesuai dengan perkembangan zaman. Tumbuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan wadah yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap berbagai masalah yang diamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan dipaparkan: latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 1. Latarbelakang Kehadiran gereja di tengah dunia ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi sudah menjadi kebutuhan utama bagi manusia untuk menunjang aktivitasnya. Adanya transportasi menjadi suatu alat yang dapat mempermudah kegiatan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat masih terkungkung oleh tradisi gender, bahkan sejak masih kecil. Gender hadir di dalam pergaulan, percakapan, dan sering juga menjadi akar perselisihan.

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk monodualis, di satu sisi ia berperan sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri (internal individu), namun di sisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER OLEH WAYAN SUDARTA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan (hak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya maka berbeda pula

Lebih terperinci

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mahasiswa identik dengan kaum terdidik yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Peran ganda yang dijalani oleh mahasiswa mendorong mereka untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan dan penghormatan untuk memosisikan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Dalam pandangan politik

Lebih terperinci

MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN

MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN Danang Arif Darmawan Yogyakarta: Media Wacana 2008, xvi + 1 06 halaman Direview oleh: Sari Seftiani Pada awalnya, buku ini merupakan sebuah

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut (Ratna, 2009, hlm.182-183) Polarisasi laki-laki berada lebih tinggi dari perempuan sudah terbentuk dengan sendirinya sejak awal. Anak laki-laki, lebihlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini mempunyai riwayat yang sama dalam satu hal yakni bertatanan patriarkhal. Marjinalisasi terhadap kaum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Didalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang membuat kita bingung karena kita kita harus memilih salah satu dari pilihan-pilihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian

Lebih terperinci

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Masyarakat dunia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma kebiasaan, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan. Seorang perempuan berlaku lemah lembut dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, kebudayaan pada umumnya tumbuh dan berkembang sebagai suatu hal yang diterima oleh setiap anggota masyarakat bersangkutan, yang dipegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. 1 Disamping itu pencatatan. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. melindungi hak-hak perempuan dalam perkawinan. 1 Disamping itu pencatatan. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, terutama bagi kaum perempuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk melindungi hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tahun 1967 telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1.Konsep dan Teori Mobilitas Penduduk Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain sebagai cara untuk memahami eksistensinya sebagai manusia. Sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. lain sebagai cara untuk memahami eksistensinya sebagai manusia. Sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Piring dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah wadah berbentuk bundar pipih dan sedikit cekung (atau ceper), terbuat dari porselen (seng, plastik), tempat meletakkan

Lebih terperinci

BAB I. berasal dari bahasa Yunani, yaitu ekklesia (ek= dari, dan kaleo=memanggil), yaitu

BAB I. berasal dari bahasa Yunani, yaitu ekklesia (ek= dari, dan kaleo=memanggil), yaitu BAB I A. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa Gereja hadir karena Tuhan Yesus memanggil umat manusia unuk menjadi pengiring-nya (murid). Mereka dipanggil dalam sebuah persekutuan dengan Dia dan

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 34 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Metode yang diterapkan pada peneliti ini yaitu metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia sejak awal kelahirannya adalah sebagai mahluk sosial (ditengah keluarganya). Mahluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.

Lebih terperinci