TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH"

Transkripsi

1 VII. KONTRIBUSI SEKTOR SUSU DAN PETERNAKAN SAP1 PERAH TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH Perekonomian suatu wilayah dapat bertumbuh karena dua hal: pertama, bersumber dari faktor-faktor dalam wilayah yang meliputi distribusi faktor produksi tanah, tenaga kerja dan modal; kedua, faktor luar daerah mencakup permintaan wilayah lain terhadap komoditi yang dihasilkan. Salah satu teori pertumbuhan regional dari dalam yang paling sederhana adalah teori sektor. Teori ini mengatakan bahwa kenaikan pendapatan per kapita di berbagai wilayah pada berbagai waktu umumnya diikuti oleh realokasi sumberdaya. Dalam teori sektor tersebut, diikhtisarkan bahwa suatu proses pertumbuhan didasarkan pada asumsi peningkatan pendapatan per kapita. Dampak dari tiap sektor komponen perekonomian wilayah dicerminkqn oleh besaran pengaruh pengganda dari masing-masing sektor yang bersangkutan. Nilai-nilai pengganda akan memberikan informasi yang baik sekali berkenaan dengan respons suatu sektor terhadap berbagai perubahan kegiatan ekonomi yang terjadi. Melalui nilai tersebut dapat diisolir sektor-sektor yang akan menunjang tambahan tertinggi bagi output, pendapatan dan kesempatan kerja. Dengan demikian, dapat diketahui sektor-sektor yang perlu mendapat perhatian khusus jika pertumbuhan ekonomi ingin didorong. Asumsinya adalah bahwa sektor

2 yang mempunyai nilai pengganda paling tinggi akan menywn- bang tambahan terbesar bagi wilayah. 1. ~m$j;lbuibrhdm4mhmu~ Dampak investasi yang ditanamkan pada suatu sektor sangat tergantung kepada jumlah investasi yang dilakukan serta intensitas hubungan antar sektor. Dampak investasi yang paling sering diukur di dalam suatu struktur perekonomian adalah pengaruh ganda terhadap pendapatan (income multipua) dan kesempatan kerja (swbmenli mu- tivlisr) masyarakat. Pada dasarnya, Pengaruh Ganda Pendapatan (PGP) adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Artinya, apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar sa- E tu rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja gada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Ada dua tipe PGP, yaitu tipe I dan tipe 11. PGP tipe I merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung. Pengganda tipe I ini berguna untuk mengetahui besarnya Perubahan pendapatan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dari setiap perubahan satu unit permintaan akhir suatu sektor. PGP tipe I1 diperoleh dari penjumlahan pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan

3 pengaruh induksi dibagi dengan pengaruh langsung. Dalam pengganda ini pengaruh dari perubahan pendapatan terhadap konsumsi rumah tangga yang akan memberikan induksi terhadap sektor-sektor lainnya telah ikut diperhitungkan. Dalam ha1 ini, pengaruh langsung merupakan peningkatan pendapatan pada suatu sektor secara langsung sebagai akibat penanaman investasi pada sektor tersebut. Suatu investasi yang ditanamkan pada sektor tertentu (sektor 1) akan meningkatkan output sektor tersebut. Untuk meningkatkan output tadi diperlukan peningkatan permintaan input yang dibeli dari output sektor-sektor lain. Guna memenuhi permintaan sektor 1, sektor-sektor lainnya harus meningkatkan outputnya juga melalui peningkatan permintaan output sektor 1 sebagai inputnya. Peningkatan pendapatan sektor lain akibat peningkatan permintaan terhadap outputnya merupakan pengaruh tidak langsung. Selanjutnya, pengaruh langsung dan tidak langsung menyebabkan pendapatan rumah tangga pada sektor satu meningkat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap output sektor 1 yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor 1. Inilah yang disebut pengaruh induksi - (LMwd effpldi). Adapun besaran PGP tipe I dan I1 dari sektor-sektor perekonomian Jawa Tengah disajikan pada Tabel 16.

4 Tabel 16. Nilai Pengaruh Ganda Pendapatan (PGP) Sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor Sektor Pengaruh Ganda Pendapatan Tipe I Tipe I1 Peringkat

5 Seperti terlihat pada Tabel 16, maka urutan sektor-sektor yang mempunyai nilai PGP tipe I dan I1 mulai dari yang terbesar hingga terkecil adalah: (1) Industri makanan, minuman dan tembakau, (2) Industri makanan ternak, (3) Susu dan peternakan sapi perah, (4) Hotel dan restoran, (5) Peternakan lainnya, (6) Koperasi lainnya, ( 7) Koperasi susu, (8) Industri pendinginan susu, (9) Industri lainnya, (10) Bangunan (11) Padi, (12) Angkutan dan komunikasi, (13) Perkebunan, (14) Listrik, gas dan air minum, (15) Perikanan, (16) Tanaman bahan makanan lainnya, (17) Jasa-jasa, (18) Pertarnbangan, (19) Bank dan jasa keuangan, (20) Kehutanan, (21) Perdagangan dan (22) Pemerintahan. Dari Tabel 16, terlihat bahwa nilai PGP tipe I dan tipe I1 sektor susu/peternakan sapi perah masing-masing sebesar 2.61 dan sebesar 2.91, menduduki peringkat ke-3 dari 22 sektor, yaitu setelah sektor industri makanan, minuman lainnya dan tembakau (sektor 10) dan sektor industri makanan ternak (sektor 9). Nilai tersebut merupakan indikasi bahwa penanaman investasi di sektor susu dan peternakan sapi perah memberikan sumbangan yang relatip lebih tinggi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dibandingkan 19 sektor lainnya. Apabila strategi pembangunan ekonomi wilayah Jawa Tengah menginginkan pertumbuhan pendapatan yang cepat maka sektor susu dan peternakan sapi perah harus

6 diletakkan pada prioritas ketiga dalam ha1 penanaman mo- dal (asumsi faktor lainnya sama). 2. ILQ~fihSITahara~gpludhi~nAmrn~~~=baa Perkembangan populasi dapat dianggap sebagai faktor positip dalam rangka merangsang pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi yang sering menjadi persoalan adalah, apakah peningkatan yang cepat dari pertumbuhan persediaan atau penawaran surplus tenaga kerja memberikan pengaruh positip terhadap kemajuan ekonomi. Karena masalah kesempatan kerja ini erat hubungannya dengan pengangguran, kemiskinan dan distribusi pendapatan. Tenaga kerja mempunyai penawaran yang terus menerus menaik sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan permintaan akan tenaga kerja tergantung pada kenaikan permintaan akan barang jadi serta tingkat dan macam teknologi. Banyaknya angkatan kerja di wilayah Jawa Tengah pada tahun 1980 sebesar jiwa dan kenaikan populasi penduduk selama Pelita I11 rata-rata 1.52 persen per tahun. Jika seseorang ingin mengetahui berapa banyak tenaga kerja yang diabsorpsi secara langsung untuk menghasilkan satu satuan output dari sektor tertentu, dapat diketahui melalui penghitungan produksi komoditi yang bersangkutan. Jika sebaliknya ingin mengetahui kebutuhan tidak langsung dan induced untuk tenaga kerja di dalam suatu sistem produksi sektor yang saling berkaitan satu

7 sama lain, maka hanya dapat diketahui melalui matriks pengganda (I-A)-' dan tidak dapat diperoleh dengan suatu pengamatan langsung. Pengaruh Ganda Tenaga Kerja (PGTK) tipe I dan tipe I1 menggambarkan dampak kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh suatu sektor per unit kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor yang bersangkutan. Semakin besar nilai PGTK suatu sektor berarti semakin besar kesempatan kerja yang tersedia pada sektor tersebut. Nilai PGTK dari seluruh sektor perekonomian wilayah Jawa Tengah disajikan pada Tabel 17. Seperti terlihat pada tabel tersebut, PGTK sektor susu dan peternakan sapi perah adalah sebesar 2.48 untuk tipe I dan 3.20 untuk tipe 11. Sektor ini menduduki peringkat ke-3 dari 22 sektor yang ada. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan sektor yang bersangkutan dalam meningkatkan penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan relatip besar untuk setiap perubahan peningkatan satu unit output pada permintaan akhir. Oleh karena itu, dalam konteks pemerataan pendapatan, maka sektor susu dan peternakan sapi perah perlu mendapat prioritas pengembangan setelah sektor industri makanan, rninuman dan tembakau serta sektor industri makanan ternak. Struktur tenaga kerja di dalam sistem usahatani sektor ini terdiri dari pria dewasa (suarni), wanita dewasa

8 Tabel 17. Nilai Pengaruh Ganda Tenaga Kerja (PGTK) Sektor perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor PGTK Peringkat PGTK Peringkat Sektor Tipe I Tipe I1

9 (istri) dan anak terutama anak laki-laki. Pada umumnya kebutuhan akan tenaga kerja tersebut dipenuhi oleh tenaga kerja dalam keluarga, terutama untuk golongan peternak rakyat. Dari 169 contoh peternak rakyat dalam penelitian ini hanya 29 contoh (17.16 persen) yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pada contoh perusahaan sapi perah seluruhnya menggunakan tenaga kerja upahan. 3 EwaLbUm_Ei~kwn,-&ad&m~ Kerangka 1-0 Leontief merupakan dasar dari hipote- sis kaitan (L-ES) terdependensi sektoral. yang digunakan untuk mengukur in- Hubungan aktivitas (cgnce~$ ef Unkagm) dari apli- kasi model 1-0 sangat bermanfaat di dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian dapat diukur tingkat ketergan- tungan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian dan diketahui sejauh mana pertumbuhan suatu sektor dipenga- ruhi oleh sektor-sektor lainnya. Pemahaman antar kaitan pertumbuhan berbagai sektor perekonomian penting guna me- rencanakan strategi pembangunan yang tepat. Salah satu penyebab kegagalan dari strategi untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi suatu wilayah di- tandai dengan lemahnya sektor industri dan kurang Kuat- nya kaitan antara pertanian tradisional dengan sektor- sektor industri modern. Karena lemahnya kaitan, anti- sipasi efek spill Q ~ dari Z sektor industri tidak

10 menguntungkan usaha-usaha pembangunan dalam sektor per-, tanian. Kaitan sektoral dicerminkan oleh gerakan-gerakan per- tumbuhan (g,zowth hmwhw) dari satu sektor ke sektor lainnya yang disebabkan oleh terobosan teknologi dalam sektor yang bersangkutan. Gerakan-gerakan pertumbuhan tersebut tidaklah dapat dipindahkan secara memuaskan karena berbagai kekakuan struktural yang inheren dalam tahap awal pertumbuhan. _Ka.ilzm-&BdBbm~~~ Indeks kaitan ke belakang langsung dari suatu sek- tor dapat digunakan untuk mengukur jumlah input antara yang diperlukan dari berbagai sektor lainnya untuk meng- hasilkan satu unit output sektor tersebut. Indeks yang dikembangkan oleh Chenery dan Wanatabe (1958) ini meru- pakan rasio pembelian input antara sektor terhadap nilai total produksi sektor tersebut. Kaitan ke belakang mendorong produksi melalui penye- rapan input yang diperlukan oleh sifat teknologi dari produksi tiap sektor ekonomi. Hirschman (1958) mengemukakan bahwa kaitan-kaitan ke belakang lebih tepat sebagai suatu petunjuk untuk mem- - - buat pola strategi pembangunan ekonomi. Hal ini disebab- kan peningkatan permintaan input-input antara memberikan stimulus yang lebih baik dibandingkan peningkatan pena- waran input.

11 Nilai dari pengaruh kaitan langsung ke belakang (PKLB) sektor-sektor perekonomian Jawa Tengah disajikan pada Tabel 18. Pada nilai PKLB Tabel 18 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai- dari masing-masing sektor mulai dari urutan tertinggi hingga terendah adalah: (1) Sektor industri ma- kanan, minuman dan tembakau 0.79, (2) Sektor susu dan pe- ternakan sapi perah 0.70, (3) Sektor industri makanan ternak 0.60, (4) Sektor bangunan 0.60, (5) Sektor koperasi lainnya 0.89, (6) Sektor hotel dan restoran 0.55, (7) Sektor koperasi susu 0.55, (8) Sektor industri pendeinginan susu 0.42, (9) Sektor jasa lainnya 0.32, (10) Sektor peternakan lainnya 0.32, (11) Sektor listrik, gas dan air minum 0.29, (12) Sektor perkebunan 0.27, (13) Sektor padi 0.22, (14) Sektor perikanan 0.21, (15) Sektor ang- kutan dan komunikasi 0.19, (16) Sektor tanaman bahan ma- kanan lainnya 0.17, (17) Sektor kehutanan 0.14, (18) Sek- tor bank dan'jasa keuangan 0.10, (19) Sektor industri la- innya 0.07, (20) Sektor pertambangan 0.06, (21) Sektor perdagangan 0.04 dan (22) Sektor pemerintahan 0. Sektor susu dan peternakan sapi perah ternyata mem- punyai nilai PKLB relatip tinggi di dalam struktur pere- konomian wilayah, yaitu sebesar 0.70 dengan urutan ke-2 dari 22 sektor.

12 Tabel 18. Pengaruh Kaitan Langsung ke Depan (PKLD) dan ke Belakang (PKLB) Sektor-sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor PKLD Peringkat PKLB Peringkat Sektor

13 Indeks kaitan ke depan langsung adalah untuk mengu- I kur besarnya output dari suatu sektor yang di suplai untuk penggunaan antara ke berbagai sektor perekonomian sebagai suatu proporsi dari total permintaannya. Jadi indeks ini merupakan rasio permintaan antara dari berbagai sektor terhadap total output suatu sektor tertentu. Hubungan ke depan merupakan ukuran dari hasil dorongan pemakaian output sebagai input antara suatu industri atau sektor lain. Kekuatan hubungan ke depan tergantung pada proporsi output yang dimanfaatkan untuk penggunaan antara. Nilai pengaruh kaitan ke depan langsung (PKLD) dari masing-masing sektor disajikan pada Tabel 18. Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa urutan-urutan nilai PKLD mulai dari yang tertinggi hingga terendah adalah: (1) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 0.95, (2) Sektor padi 0.61, (3) Sektor perdagangan 0.54, (4) Sektor bank dan jasa keuangan 0.52, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 0.49, (6) Sektor angkutan dan komunikasi 0.43, (7) Sektor industri lainnya 0.34, (8) Sektor jasa-jasa lainnya 0.30, (9) Sektor perkebunan 0.30, (10) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 0.95, (11) Sektor hotel dan restoran 0.22, (12)-Sektor peternakan lainnya 0.20, (13) Sektor pertambangan 0.19, (14) Sektor industri makanan ternak 0.17, (15) Sektor koperasi lainnya 0.14, (16) Sektor listrik, gas dan air

14 minum 0.11, (17) Sektor industri pendinginan susu 0.11, I (18) Sektor koperasi susu 0.10, (19) Sektor kehutanan 0.09, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 0.07, (21) Sektor perikanan 0.06, (22) Sektor pemerintah 0. Nilai PKLD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 0.07 (peringkat 20) ternyata lebih rendah dibanding dengan nilai PKLB-nya sebesar 0.70 (peringkat 2). Hasil ini selaras dengan hasil yang terdapat pada Tabel 7 dimana ketergantungan pembelian input sektor susu dan peternakan sapi perah lebih tinggi dibandingkan dengan ketergantungan penjualan outputnya. K&u~fikWslrawKeBehm-g4anKc&w- Pengaruh kaitan tak langsung ke belakang (PKTLB) dan ke depan (PKTLD) disajikan pada Tabel 19. Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai-nilai PKTLD setiap sektor mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah bertbrut-turut adalah: (1) Sektor industri lainnya 2.77, (2) Sektor padi 2.31, (3) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 2.16, (4) Sektor perdagangan 1.71, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.71, (6) Sektor bank dan jasa keuangan 1.69, (7) Sektor angkutan dan komunikasi 1.56, (8) Sektor perkebunan 1.35, (9) Sektor jasa-jasa lainnya 1.39, (10) Sektor bangunan 1.35, (11) Sektor peternakan lainnya 1.31, (12) Sektor pertambangan 1.27, (13) Sektor hotel dan restoran 1.26, (14)

15 Tabel 19. Pengaruh Kaitan Tak Langsung ke Depan (PKTLD) dan ke Belakang (PKTLB) Sektor- Sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 I Nomor PKTLD Peringkat PKTLB Peringkat Sektor

16 Sektor koperasi lainnya 1.23, (15) Sektor industri makanan ternak 1.19, (16) Sektor listrik, gas dan air minum 1.15, (17) Sektor kehutanan 1.14, (18) Sektor industri pendinginan susu 1.12, (19) Sektor koperasi susu 1.11, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 1.08, (21) Sektor perikanan 1.07 dan (22) Sektor pemerintah Nilai PKTLD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 1.08 adalah relatip rendah dan menduduki peringkat 20 dari 22 sektor perekonomian Jawa Tengah. Nilai-nilai PKTLB dari masing-masing sektor perekonomian Jawa Tengah mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah sebagai berikut: (1) Sektor susu dan peternakan sapi perah 2.23, (2) Sektor industri makanan, rninurnan dan ternbakau 2.03, (3) Sektor industri makanan ternak 1.99, (4) Sektor hotel dan restoran 1.85, (5) Sektor koperasi susu 1.82, (6) Sektor koperasi lainnya 1.80 (7) Sektor bangunan 1.65, (8) Sektor industri pendinginan susu 1.59, (9) Sektor peternakan lainnya 1.46, (10) Sektor jasa-jasa lainsya 1.40, (11) Sektor perkebunan 1.34, (12) Sektor listrik, gas dan air minum 1.33, (13) Sektor perikanan 1.30, (14) Sektor padi 1.28, (15) Sektor angkutan dan komunikasi 1.26, (16) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.22, (17) Sektor kehutanan 1.17, (18) Sektor bank dan jasa keuangan 1.14, (19) Sektor industri lainnya 1.08, (20) Sektor pertambangan 1.07, (21) Sektor perdagangan 1.06 dan (22) Sektor pemerintahan 1.0.

17 Nilai PKTLB sektor susu dan peternakan sapi perah, menduduki peringkat tertinggi dari semua sektor, yaitu dengan nilai sebesar Nilai PKTLB dari sektor ini lebih besar dari nilai PKTLD-nya menunjukkan bahwa pengaruh sektor susu dan peternakan sapi perah terhadap sektor-sektor lain penyedia input adalah lebih besar dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap sektor-sektor yang menggunakan outputnya. Menurut Hirschman (1958) agar sumberdaya wilayah yang sangat terbatas jumlahnya digunakan secara efisien, maka perlu sumberdaya-sumberdaya tersebut terlebih dahulu dipakai untuk membangun sektor yang dapat menciptakan pengaruh kaitan ke belakang dan ke depan yang paling besar. Dalam kerangka tersebut, investasi memegang peranan dominan bagi pembangunan ekonomi sebagai pencipta kapasitas dan tambahan pendapatan. Konsep kaitan tersebut terutama penting sebagai mekanisme untuk menginduksi lebih besar keputusan-keputusan investasi. Berdasarkan konsep tersebut di atas maka dapat disusun klasifikasi sektor berdasarkan prioritas seperti disajikan pada Tabel 20. Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa sektor industri makanan, minuman dan tembakau menduduki prioritas pertama (indeks kaitan ke belakang dan ke depan tinggi). Selanjutnya sektor-sektor yang berada pada prioritas kedua adalah: Sektor susu dan peternakan sapi perah, Sektor

18 industri pendinginan susu, Sektor bangunan, Sektor hotel dan restoran, Sektor koperasi susu dan Sektor koperasi 1 lainnya mempunyai indeks kaitan ke belakang tinggi'dan ke depan rendah. Prioritas Tabel 20. Kaitan Sebagai Arahan Penentuan Prioritas Sektoral Nomor Sektor Prioritas ketiga meliputi sektor-sektor: Padi, Ta- naman bahan makanan lainnya, Perkebunan, Industri lain- nya, Perdagangan, Angkutan dan komunikasi, Bank dan jasa keuangan mempunyai indeks kaitan ke belakang rendah dan indeks kaitan ke depan tinggi. Sektor-sektor yang mempunyai kaitan baik ke bela- kang maupun ke depan rendah tergolong ke dalam prioritas keempat, meliputi Peternakan lainnya, Kehutanan, Perikan- an, Pertambangan, Industri makanan ternak, Listrik, gas -- - dan air minum, Jasa-jasa lainnya serta Pemerintah.

19 Dampak ke depan dan ke belakang dari sejumlah investasi yang ditanamkan pada suatu sektor tertentu terhadap perekonomian secara keseluruhan dinamakan daya penyebaran (Power d Bi3~erfim). Pada hakekatnya daya penyebaran (DP) dapat digolongkan atas DP ke belakang (&&ward Power sf Bispersion) dan DP ke depan (Forward Power of Dispersion). Penyebaran ke belakang dan ke depan pada dasarnya merupakan hasil interaksi yang terjadi apabila permintaan akhir berubah. Daya Penyebaran Ke Belakang Daya penyebaran ke belakang (DPB) merupakan ukuran dampak relatip dari peningkatan output sektor tertentu (sektor n) terhadap peningkatan output sektor-sektor la- in yang menyediakan input sektor n tersebut. Bila koefi- sien kaitannya besar, berarti sektor yang bersangkutan akan menarik' sektor-sektor lainnya untuk meningkatkan outputnya. Dengan perkataan lain, efek hubungan ke bela- kang adalah penyerapan input yang menimbulkan tarikan permintaan bahan baku atau sarana produksi. Semakin be- sar nilai DPB suatu sektor, semakin besar pula dampak ke belakang investasi pada sektor tersebut Dari Tabel 23 dapat dilihat urut-urutan nilai DPB masing-masing sektor mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil sebagai berikut: (1) Sektor susu dan pe- ternakan sapi perah 1.53, (2) Sektor industri makanan,

20 minuman dan tembakau 1.39, (3) Sektor industri makanan ternak 1.37, (4) Sektor hotel dan restoran 1.27, (5) Sektor koperasi susu 1.25, (6) Sektor koperasi lainnya 1.24 (7) Sektor bangunan 1.13, (8) Sektor industri pendinginan susu 1.09, (9) Sektor peternakan lainnya 1.00, (10) Sektor jasa-jasa lainnya 0.96, (11) Sektor perkebunan 0.92, (12) Sektor listrik, gas dan air rninum 0.91, (13) Sektor perikanan 0.89, (14) Sektor padi 0.88, (15) Sektor angkutan dan komunikasi 0.86, (16) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 0.84, (17) Sektor kehutanan 0.80, (18) Sektor bank dan jasa keuangan 0.78, (19) Sektor industri lainnya 0.74, (20) Sektor pertambang.an 0.73, (21) Sektor perdagangan 0.73 dan (22) Sektor pemerintahan Dari urutan di atas tampak bahwa sektor susu dan peternakan sapi perah menduduki urutan pertama dengan nilai DPB sebesar Dauaqm~b_?%mnhmm Daya penyebaran ke depan (DPD) merupakan ukuran dampak relatip dari peningkatan output suatu sektor tertentu (sektor n) terhadap dorongan peningkatan output sektor-sektor lainnya yang menggunakan output sektor n seba- - - gai input. Apabila koefisien kaitannya besar, berarti sektor tersebut peka terhadap pengaruh sektor-sektor lainnya. Implikasinya, sektor tadi mempunyai daya dorong yang tinggi terhadap perkembangan sektor-sektor lain,

21 atau dengan kata lain mempunyai efek hubungan ke muka yang memberikan suplai tinggi. Jadi semakin besar nilai DPD suatu sektor, maka semakin besar pula dampak ke depan atau daya dorong sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah. Nilai DPD untuk setiap sektor dapat dilihat pada Tabe1 21. Tampak bahwa urutan nilai-nilai DPD mulai dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah: (1) Sektor industri lainnya 1.90, (2) Sektor padi 1.59, (3) Sektor industri makanan, minuman dan tembakau 1.48, (4) Sektor perdagangan 1.18, (5) Sektor tanaman bahan makanan lainnya 1.17, (6) Sektor bank dan jasa keuangan ' 1.16, (7) Sektor angkutan dan komunikasi 1.07, (8) Sektor perkebunan 1.00, (9) Sektor jasa-jasa lainnya 0.95, (10) Sektor bangunan 0.93, (11) Sektor peternakan lainnya 0.90, (12) Sektor pertambangan 0.87, (13) Sektor hotel dan restoran 0.87, (14) Sektor koperasi lainnya 0.84, (15) Sektor industri makanan ternak 0.82, (16) Sektor listrik, gas dan air minum 0.79, (17) Sektor kehutanan 0.78, (18) Sektor industri pendinginan susu 0.77, (19) Sektor koperasi susu 0.76, (20) Sektor susu dan peternakan sapi perah 0.74 (21) Sektor perikanan 0.73 dan (22) Sektor pemerintahan Nilai DPD sektor susu dan peternakan sapi perah sebesar 0.74 adalah relatip rendah yaitu menduduki peringkat 20 dari 22 sektor perekonomian Qilayah.

22 Tabel 21. Nilai Daya Penyebaran ke Depan (DPD) dan ke Belakang (DPB) Sektor-sektor Perekonomian Jawa Tengah, 1983 Nomor DPB Peringkat DPD Peringkat Sektor

23 Hubungan antara nilai-nilai DPB dan DPD dari 22 sek- tor disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan nilai-nilai ter- sebut sektor-sektor perekonomian digolongkan ke dalam em- pat kelompok, yaitu: (a) Sektor-sektor ~ang' termasuk ke dalam kategori I mem- punyai nilai DPB > 1.00 dan DPD < 1.00 (Kuadran 1). Sektor-sektor yang termasuk ke dalam kategori ini adalah Sektor susu dan peternakan sapi perah, Sektor industri makanan ternak, Sektor industri pen- dinginan susu, Sektor bangunan, Sektor perdagangan dan Sektor koperasi susu. Sektor-sektor yang berada dalam kategori I ini mempunyai daya tarik lebih besar dari daya tarik ra- ta-rata semua sektor, akan tetapi sektor-sektor ter- sebut mempunyai daya dorong yang lebih kecil dari rata-rata seluruh sektor. (b) Sektor-sektor yang termasuk di dalam kategori I1 mempunyai nilai DPB > 1.00 dan DPD > 1.00 (Kuadran 11). Artinya, setiap permintaan akhir meningkat se- besar satu unit terhadap output suatu sektor terten- tu, maka sektor tersebut akan meningkatkan pembeli- an input antara lebih besar dariptmbelian rata-ra- ta seluruh sektor. Sektor-sektor yang tercakup da- lam kelompok ini adalah Sektor industri makanan, mi- numan dan tembakau.

24 DPO DPD Garnbar 5. Hubungan Antara DPD dan DPB

25 (c) Sektor-sektor yang termasuk di dalam kategori I11 mempunyai nilai DPB < 1.00 dan DPD > 1.00 (Kuadran 111). Sektor-sektor ini mempunyai daya tarik lebih kecil dari rata-rata, tetapi mempunyai daya dorong yang lebih besar dari rata-rata semua sektor. Jika permintaan akhir meningkat terhadap output sektor ini, maka sektor ini akan melakukan pembelian out- put dari berbagai sektor untuk input antara dengan jumlah relatip kecil, dan selanjutnya output yang dihasilkan dialokasikan ke berbagai sektor dengan jumlah relatip besar. Sektor-sektor tersebut meliputi 'Sektor padi, Sektor tanaman bahan makanan lainnya, Sektor perke- bunan, Sektor industri lainnya, SekLor perdagangan, Sektor angkutan dan komunikasi serta Sektor bank dan jasa keuangan. (d) Sektor-sektor yang termasuk ke dalam kategori IV mempunyai nilai DPB < 1.00 dan DPD < 1.00 (Kuadran IV). Sektor-sektor yang berada dalam kuadran ini mempunyai daya tarik dan daya dorong yang lebih ke- cil dari rata-rata semua sektor. Jika permintaan akhir meningkat sebesar satu unit terhadap output suatu sektor tertentu, maka sektor tersebut akan membeli output dari sektor-sektor lain dalam jumlah F relatip kecil untuk digunakan sebagai input antara.

26 Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah: Sektor peternakan lainnya, Sektor listrik, gas dan air minum, Sektor jasa-jasa lainnya dan Sektor pemerintahan. Sektor yang mempunyai nilai DPB dan DPD lebih besar dari rata-rata seluruh sektor, berarti mempunyai peranan yang amat menentukan terhadap perekonomian wilayah. Hal ini disebabkan kemampuannya menarik dan mendorong banyak sektor untuk berproduksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan wilayah.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

V. TABEL 1-0 JAWA TENGAH: SUATU TEMUAN WIRIS

V. TABEL 1-0 JAWA TENGAH: SUATU TEMUAN WIRIS V. TABEL 1-0 JAWA TENGAH: SUATU TEMUAN WIRIS @ Tabel 1-0 dapat dipandang sebagai kumpulan data yang menguraikan karakteristik struktural utama dari sistem perekonomian. Melalui tabel tersebut seorang perencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan implementasi serta bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak akan lepas dari peran

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Model Input-Output Ekonometrika Indonesia dan Aplikasinya Untuk Analisis Dampak Ekonomi dapat diperoleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakekatnya pertumbuhan ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan salah satu usaha daerah untuk

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. A 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis 21 sektor perekonomian pada tabel Input-Ouput Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 dan 2008 pada penelittian ini, beberapa kesimpulan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL 7.. Analisis Multiplier Output Dalam melakukan kegiatan produksi untuk menghasilkan output, sektor produksi selalu membutuhkan input, baik input primer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO 1. PERKEMBANGAN KABUPATEN BUNGO merupakan penghitungan atas nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktifitas ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pemerintah mempunyai berbagai kekuasaan untuk mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu produk, menetapkan

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 224 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan sebelumnya. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN 102 VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN Adanya otonomi daerah menuntut setiap daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON 4.1 Analisis Struktur Ekonomi Dengan struktur ekonomi kita dapat mengatakan suatu daerah telah mengalami perubahan dari perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013 Judul Buku : Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013 Nomor Publikasi : Ukuran Buku : Kwarto (21 x 28 cm) Jumlah Halaman : v + 44 hal Naskah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang Gambar Kulit

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif. 5. RANGKUMAN HASIL Dari hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat dirangkum beberapa poin penting sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu: 1. Deviasi hasil estimasi total output dengan data aktual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan perkembangan jumlah. penduduk, penyediaan kesempatan ke ja, distribusi pendapatan, tingkat output yang

Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan perkembangan jumlah. penduduk, penyediaan kesempatan ke ja, distribusi pendapatan, tingkat output yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan perkembangan jumlah penduduk, penyediaan kesempatan ke ja, distribusi pendapatan, tingkat output yang dihasilkan, penghapusan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini akan menganalisis dampak dari injeksi pengeluaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada sektor komunikasi terhadap perekonomian secara agregat melalui sektor-sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 No.05/02/33/Th.III, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008 PDRB Jawa Tengah triwulan IV/2008 menurun 3,7 persen dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q), dan bila dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin banyaknya jumlah angkatan kerja yang siap kerja tidak mampu

I. PENDAHULUAN. semakin banyaknya jumlah angkatan kerja yang siap kerja tidak mampu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lapangan pekerjaan merupakan wahana yang sangat penting bagi para tenaga kerja untuk mengeksplorasi kemampuan diri dalam bidang tertentu. Fenomena semakin banyaknya jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun BAB I PENDAHULUAN 1.3 Latar Belakang Pada umumnya pengamatan empiris menunjukkan bahwa tidak ada satupun negara yang dapat mencapai tahapan tinggal landas (take-off) menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan

Lebih terperinci

Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto Tabel 9.1 : PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2007 2010 (Rp. 000) 1. PERTANIAN 193.934.273 226.878.977 250.222.051 272176842 a. Tanaman bahan makanan 104.047.799 121.733.346 134.387.261

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT

ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT PELATIHAN UNTUK STAF PENELITI Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Telekomunikasi ANALISIS MODEL INPUT-OUTPUT Oleh Dr. Uka Wikarya Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universtas

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau Dalam mencari sektor ekonomi unggulan di Kabupaten Malinau akan digunakan indeks komposit dari nilai indeks hasil analisis-analisis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 19/05/14/Th.XI, 10 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas y-on-y Triwulan I Tahun sebesar 5,93 persen Ekonomi Riau dengan migas pada triwulan I tahun mengalami kontraksi sebesar 1,19

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 09/02/61/Th. XIII, 10 Februari 2010 PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2009 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2009 meningkat 4,76 persen dibandingkan

Lebih terperinci

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH

VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH VII. STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BERDASARKAN KAJIAN TABEL I-O ANTAR WILAYAH 7.1. Nilai Tambah Nilai Tambah Bruto (NTB) yang biasa disebut juga Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama

BAB II LANDASAN TEORI. tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Sektor Unggulan Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI INDONESIA TAHUN 2008 ISSN : 0216.6070 Nomor Publikasi : 07240.0904 Katalog BPS : 9503003 Ukuran Buku : 28 x 21 cm Jumlah Halaman : 94 halaman Naskah : Subdirektorat Konsolidasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci