BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat Sulawesi, skala 1: yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas geomorfologi regional, stratigrafi regional, dan struktur geologi regional Geomorfologi Regional Di daerah pada Peta Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terdapat dua baris pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utarabaratlaut dan terpisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Pegunungan yang barat menempati hampir setengah luas daerah, melebar di bagian selatan (50 km) dan menyempit di bagian utara (22 km). Puncak tertingginya 1694 m, sedangkan ketinggian rata-ratanya 1500 m. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi kars, pencerminan adanya batugamping. Di antara topografi kars di lereng barat terdapat daerah perbukitan yang dibentuk oleh batuan Pra-Tersier. Pegunungan ini di baratdaya dibatasi oleh dataran Pangkajene-Maros yang luas sebagai lanjutan dari daratan di selatannya. 7

2 8 Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan rendah, dengan puncaknya rata-rata setinggi 700 meter, dan yang tertinggi 787 m. juga pegunungan ini sebagian besar berbatuan gunungapi. Bagian selatannya selebar 20 km dan lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah, dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara pegunungan ini bertopografi kars yang permukaannya sebagian berkerucut. Batasnya di timurlaut adalah dataran bone yang sangat luas, yang menempati hampir sepertiga bagian timur. (Sukamto, 1982). Daerah Pasenrengpulu yang merupakan daerah penelitian masih termasuk dalam wilayah lembah Walanae bagian barat, tepatnya dikaki pegunungan Bulupakung. Lokasi pengambilan sampel sendiri berada pada ketinggian 232 mdpl yang menempati daerah berelief berbukit bergelombang miring Stratigrafi Regional Lokasi penelitian terletak pada Daerah Pasenrengpulu Kecamatan Lamuru, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yakni disebelah tenggara daerah Malawa seperti yang terlihat pada gambar di atas (gambar 2.1). Batubara pada daerah penelitian secara regional termasuk pada Formasi Malawa yang merupakan formasi batuan yang bersusunan batupasir, konglomerat, batulanau, batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung; batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, adapula yang arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda; pada umumnya bersifat rapuh, kurang padat; konglomeratnya sebagian kompak; batulempung,

3 9 batugamping dan napalnya umumnya mengandung moluska yang belum diperiksa, dan berwarna kelabu muda sampai kelabu tua; batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan berupa lapisan sampai 1,5 m. (Sukamto,1982). Gambar.2.1 Peta geologi daerah penelitian (Skala 1:35.000) berdasarkan Peta Geologi Regional lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat Sulawesi, skala 1: (Sukamto, 1982). Berdasarkan fosil yang dijumpai pada daerah ini, diperkirakan umur dari formasi ini adalah Eosen (D.E. Wolcott, USGS, 1973., dalam Sukamto 1982) dengan lingkungan pengendapan paralis sampai laut dangkal. Tebal formasi ini tidak kurang 400 m; tertindih selaras oleh batugamping Formasi Tonasa (Temt), dan menindih tak selaras batuan sedimen Formasi Balangbaru (Kb) dan batuan gunungapi terpropilitkan (Tpv). (Sukamto,1982).

4 10 Berdasarkan hasil penelitian lokal terhadap lokasi penelitian diketahui, bahwa umur dari batulempung yang tersingkap disekitar lokasi penelitian (Pasenrengpulu) adalah Eosen Tengah dengan lingkungan pengendapan transisi-laut dangkal (Harahap, 2009), yang berdasarkan kesamaan ciri fisik di lapangan dan letak geografis yang relatif dekat maka batulempung pada daerah penelitian memiliki kesamaan ciri dengan Formasi Malawa, yang terendapkan di lingkungan paralis-laut dangkal dan berumur Eosen Struktur Geologi Regional Pada Kala Eosen Awal, daerah di barat berupa tepi daratan yang dicirikan oleh endapan darat serta batuabara di dalam Formasi Mallawa; sedangkan di daerah Timur, berupa cekungan laut dangkal tempat pengendapan batuan klastika bersisipan karbonat Formasi Salo Kalupang. Pengendapan Formasi Mallawa kemungkinan hanya berlangsung selama awal Eosen, sedangkan Formasi Salo Kalupang berlangsung sampai Oligosen Akhir. Proses tektonik di bagian barat ini berlangsung sampai Miosen Awal; sedangkan di bagian timur kegiatan gunungapi sudah mulai lagi selama Miosen Awal, yang diwakili oleh Batuan Gunungapi Kalamiseng dan Soppeng (Tmkv dan Tmsv). Akhir kegiatan gunungapi Miosen Awal itu diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang kemudian menjadi cekungan tempat pembentukan Formasi Walanae. Menurunnya Terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya

5 11 nampak hingga sekarang di sebelah timur, dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat. Sesar utama yang berarah utara-baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah, dan tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah kira-kira timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang menyebabkan batuan pra- Kapur Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan dan penyesaran yang relatif lebih kecil di bagian Lembah Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut-tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar Defenisi Batubara Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi banyak air, biasa di sebut rawa. Kondisi tersebutlah yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara. Batubara merupakan batuan yang mudah terbakar, yang 70% volumenya dan lebih dari 50% beratnya tersusun oleh material karbon, terbentuk dari kompaksi atau pengerasan dari diagenesis berbagai jenis tumbuhan yang berupa jejak atau umumnya disebut gambut. (Schopf, 1956., dalam Thomas 1992). Menurut Stach (1982), batubara adalah suatu endapan yang tersusun dari bahan organik dan non organik. Bahan organik berasal dari sisa tumbuhan yang

6 12 telah mengalami berbagai tingkat pembusukan (decomposition) dan perubahan sifat-sifat fisik serta kimia baik sebelum maupun sesudah tertutup endapan lain diatasnya Pembatubaraan (Coalification) Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Proses pembentukan batubara secara umum dapat di lihat pada gambar 2.3. Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 10m. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO 2, H 2 O, dan NH 3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi di ubah menjadi gambut (Stach et al.,1982). Gambar.2.2 Proses akumulasi, penimbunan dan pembatubaraan (proses pembentukan batubara) berdasarkan modikasi Esterle (2004).

7 13 Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach et al., 1982). Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat, sedangkan persentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927., dalam Blaine, 2001). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub-bituminous, bituminous, semi-antrasit, antrasit, hingga meta-antrasit Komponen Anorganik Penyusun Batubara Secara umum, batubara disusun oleh dua komponen utama yakni komponen organik dan anorganik. Komponen anorganik disusun oleh mineral. Batubara yang mempunyai mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan mudah dipisahkan dengan penggerusan atau dengan proses pengolahan yang disebut dengan mineral adventitious, sedangkan mineral-mineral yang tidak terlepas dari batubara baik dengan penggerusan maupun dengan proses pengolahan yang di sebut inherent. (Anggayana dan Widayat, 2007). Secara umum, batubara disusun oleh dua jenis mineral sebagai berikut: a). Mineral Syngenetic Merupakan mineral-mineral yang terakumulasi bersama-sama dengan material organik membentuk endapan batubara, atau masuk dalam batubara selama proses coalification, yang dapat berupa mineral-minaral lempung seperti illit dan kaolinit. (Thomas, 1992).

8 14 b). Mineral Epygenetic Merupakan mineral yang masuk dalam gambut setelah pengendapan, atau setelah proses coalification. Presipitasi mineral mungkin dalam dalam bentuk agregat, dan biasanya mengisi rekahan-rekahan halus pada batubara, contohnya seperti mineral-mineral lempung ataupun elemen sulfur anorganik yang umum dijumpai dalam batubara utamanya berasal dari mineral pirit sekunder akibat reduksi air laut. (Thomas, 1992). Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang menyebar maupun sebagai butiran kasar yaang mempunyai ciri-ciri tersendiri dan dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal, Mineral pengotor utama yang terbentuk selama pengendapan batubara, mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara. (Anggayana dan Widayat, 2007). Mineral pengotor grup pertama pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali dengan S.E.M (Scanning Electron Microscope) karena sangat halus. Mineral pengotor grup kedua dan ketiga dengan mudah dapat di identifikasi dengan mikroskop. Mineral pengotor utama terbentuk bersamaan dengan pembentukan batubara, sedangkan mineral pengotor lainnya cenderung kasar dan bergabung dalam celah dan rongga. (Anggayana dan Widayat, 2007). Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan tersebar di dalam batubara serta berukuran butir sangat kecil antara 1-2 m. Sekitar 60% sampai 80% dari mineral pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaolinit, dan illlit. Komposisi kimia pada saat pengendapan berpengaruh terhadap

9 15 tipe lempung yang mengendap dalam batubara. Pada umumnya mineral lempung illit terdapat dalam batubara yang diendapkan dengan adanya pengaruh air laut, sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi oleh air laut. Dibawah sinar refleksi, lempung mempunyai bermacam-macam warna mulai dari yang hampir putih sampai oranye kecoklat-coklatan. (Thomas, 1992). Karbonat termasuk kelompok mineral yang sering terdapat dalam batubara. Karbonat dapat terbentuk selama proses pengendapan maupun selama proses pembatubaraan. Keterdapatan mineral karbonat pada lapisan batubara dapat menimbulkan temperatur peleburan abu yang lebih kecil bila dibandingkan dengan adanya lempung dan kuarsa yang dominan pada lapisan batubara. Mineral karbonat umumnya dapat dihilangkan dalam proses pencucian batubara. Pada pengamatan mikroskopis, siderite dan kalsit dapat dibedakan dengan mengamati perubahan warna selama meja mikroskop diputar. Gambar.2.3 Diagram pembentukan sulfur dalam batubara (Modifikasi Suits dan Arthur, 2000., dalam Anggayana dan Widayat, 2007 ).

10 16 Batubara dengan sulfur tinggi akan didominasi oleh sulfur piritik, proses pembentukan pirit dalam batubara sangat erat kaitannya dengan kelimpahan besi reaktif yang dibawa oleh aliran air (Suits dan Arthur, 2000., dalam Anggayana dan Widayat, 2007). Dalam sinar refleksi, pirit terlihat sangat terang hingga kekuning-kuningan. Besi sulfida, khususnya pirit, terbentuk dalam lumpur organik yang terakumulasi dalam skala kecil dibawah kondisi reduksi pada lingkungan danau atau rawa yang kaya akan unsur organik. Transportasi dan pembentukan besi diatur oleh Eh dan ph lingkungan. Eh-pH dapat digunakan untuk memprediksi stabilitas mineral besi dan berfungsi untuk menggambarkan bahwa Eh umumnya lebih penting dari pada ph dalam menentukan akumulasi mineral besi. Misalnya, hematit (Fe 2 O 3 ) diendapkan di bawah kondisi Oksidasi pada ph yang biasa dijumpai di laut dan air permukaan (ph asam dan Eh oksidasi), siderit (FeCO 3 ) terbentuk di bawah kondisi reduksi dalam skala intermediet (ph netral-asam), dan pirit (FeS 2 ) bentuk di bawah kondisi reduksi kuat dalam ph yang relatif rendah/basa. (Boggs, 1987) Komponen Organik Penyusun Batubara Komponen organik (organic matter) dalam batubara adalah satu-satunya komponen batubara yang menghasilkan kalori pada proses pembakaran. Secara umum, komponen organik penyusun batubara yakni maseral analog dengan mineral dalam batuan atau bagian terecil dari batubara yang bisa teramati dengan

11 17 mikroskop, dikelompokkan menjadi tiga grup, yakni vitrinit (huminit), liptinit, dan inertinit. Tabel.2.1 Klasifikasi maseral berdasarkan the International Committee for Coal and Organic Petrology (1995), the Australian standard system of nomenclature (AS, 1995), dan the American Society for Testing and Materials (ASTM, 1996), dalam American Association of Petroleum Geologist (AAPG, 1998) Maceral Group Sub Maceral Macerals Telo-vitrinite Textnit Texto-ulminit Eu-ulminit Telocolinit Vitrinite Detro-vitrinite Atrinit Densinit Desmocolinite Gelo-vitrinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Liptinite - Inertinit Telo-inertinit Detro-inertinit Gelo-inertinit Sporinite Cutinite Resinite Suberinite Fluorinite Liptodetrinit Exudatinite Alginite Bituminite Fusinit Semifusinit Sclerotinite Inertodetrinite Micrinite Macrinite Penguraian komponen batubara ini dapat di lihat dari dua sisi berbeda. Pertama dari bagian jenis tanaman awal yang membentuknya sedangkan yang kedua dari unsur-unsur yang membentuknya. Di lihat dari sisi bagian dan jenis tanaman awal yang membentuknya komponen batubara ini diuraikan menjadi

12 18 beberapa elemen yang di sebut maseral. Batubara juga memilki komponen yang terdiri dari unsur-unsur karbon, hidrogen, nitrogen, sulfur, oksigen serta terdapat juga sedikit unsur zat organik bawaan seperti natrium, kalium dan lainnya yang terikat sebagai bagian dari zat organik Grup Vitrinit Pembentukan vitrinit memerlukan suatu proses yang relatif cepat dari akumulasi sisa tanaman di permukaan gambut melalui zona oksidasi dimana bakteri anaerob mengubah sisa lignin dan selulosa ke dalam gel humit sebagian dengan sifat yang homogen. Hal ini membuat vitrinit, khususnya telovitrinite dapat mempertahankan beberapa struktur sel. Tabel.2.2 Asal mula dan karakteristik grup vitrinit secara mikroskopik (Cook, 1982., dalam Ningrum, 2009). Subgrup Maseral Asal dan Karakteristik Maseral Telovitrinit Berasal dari jaringan kayu. Mempunyai reflektan yang tinggi, dan tidak nampak pada cahaya fluorescence. kandungan selulosanya tinggi. Detrovitrinit Berasal dari patahan/pecahan humus, ukuran partikelnya <10 micron. Mempunyai reflektan yang rendah. Gelovitrinit Berasal dari bahan-bahan yang bersifat koloid, maseral ini relatif jarang ditemukan. Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat pada batubara berhubungan secara langsung dengan jumlah cahaya reflektan dari permukaan vitrinit. Pengaruhnya adalah makin tinggi kadar karbon, makin tinggi pula reflektan vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat langsung ditetapkan

13 19 dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara yang mengandung lebih dari 80% vitrinit, peringkat batubara dapat juga ditetapkan berdasarkan kandungan zat terbang dan karbon. (Bustin et al.,1983) Grup Liptinit Liptinit dalam batubara menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila dipanaskan dibandingkan dengan grup lainnya. Disamping itu, liptinit menghasilkan bitumen yang tinggi terutama dalam batubara sub-bituminus dan bituminus. (Bustin et al., 1983), adapun asal dan karakteristik dari grup maseral ini dapat di lihat dalam tabel dibawah ini: Tabel.2.3 Asal mula dan karakteristik grup liptinit secara mikroskopik (Bustin, 1983 dan Cook, 1982). Maseral Asal Karakteristik Alginit Alga. Terlihat berkelompok atau terpisah, mempunyai relief yang tinggi Sporinit Spora,tepung sari. Masing badan mempunyai dinding sel yang berbeda, ber-relief tinggi. Cutinit Kulit ari, daun, batang Berujung tajam, mempunyai relief tinggi dan akar. Resinit Resin, lemak, lilin dan Selnya terisi. minyak. Fluorinit Lipid, minyak. Ber-fluorescence kuat, berwarna hitam Eksuditinit Bituminit Liptodetrinit Minyak/ bitumen yang keluar pada proses perbatubaraan. Hasil pengrusakan algae, plankton dan bakteri lipid. Degradasi eksinit; mekanik/ biokimia dalam cahaya refleksi normal. Ber-fluorescence kuat, intensitasnya berwarna warni, hitam dalam cahaya refleksi. Tidak mempunyai bentuk yang tetap, berfluorescence lemah. Suberinit Jaringan kulit kayu Zat yang berdinding sel -

14 Grup Inertinit Grup maseral ini sangat sedikit berubah sifat-sifat fisika dan kimianya dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit pada batubara peringkat rendah. Pada umumnya inertinit mempunyai kandungan oksigen tinggi dan hidrogen rendah, akan tetapi kandungan oksigen akan menurun cepat seiring dengan naiknya peringkat pada suatu batubara. Struktur inertinit (semifusinit dan fusinit) yang berasal dari vegetasi kayu, terbentuk dalam kondisi yang relatif kering menyebabkan jaringan teroksidasi. (Bustin et al., 1983). Tabel.2.4 Asal mula dan karakteristik grup inertinit secara mikroskopik (Bustin et al., 1983). Maseral Asal Karakteristik Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan tinggi berwarna putih sampai kekuning-kuningan, berdinding sel tipis, sel lumina terbuka. Semi Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan diantara Vitrinit dan Fusinit, sel lumina sering tertutup, sering terlihat berawan, anisotrop. Inertodetrinit Potongan fusinit dan semi Biasanya berukuran <30 mikron fusinit yang teroksidasi. Makrinit Senyawaan humat yang Bentuknya tidak beraturan, tinggi Mikrinit beroksidasi menjadi jeli Turunan maseral, terbentuk pada saat permulaan proses pembusukan reflektannya Berupa butiran halus, ber-reflektan tinggi Sclerotinit fungi/jamur Berstruktur kayu, reflektan sedang 2.6. Litotipe Dan Mikrolitotipe Batubara Pembagian litotipe batubara ini hanya menyangkut tentang pembagian batubara berdasarkan perbedaan makroskopik dari lapisan batubara, walaupun

15 21 secara selintas, struktur batubara homogen, tetapi jika diamati dengan cermat akan nampak lapisan-lapisan yang memiliki ciri tersendiri. Tabel.2.5 Klasifikasi litotipe batubara bituminous (Diessel, 1992; Hower et al., 1990., dalam American association of Petroleum Geologist, 1998). Lithotype (Diessel) Lithotype (Howel) Bright coal (vitrain) B Banded bright coal Bb Banded coal (duroclarain) Banded dull coal (clarodurain) Dull coal (durain) D Durain Fibrous coal (fusain) Deskripsi Memiliki kilau Vitreous-subvitreous, Vitrain dan pecahan concoidal; rapuh; kemungkinan berisi hingga 10% dull bands dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*) Bright clarain Utamanya berkomposisi vitrain yang mengandung 10-40% dull bands dengan ketebalan kurang dari 5mm (3mm*) BD Clarain Disusun oleh 40-60% dull bads dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*) Terutama tersusun oleh dull coal 10- Db Dull clarain 40% (ketebalan kurang dari 5mm (3mm*)) dengan bright bands. Berkilau kusam dan pecahan tidak rata; mengandung kurang dari 10% vitrain dengan ukuran kurang dari 5mm (3mm*) Kusam dengan kilau satin, gembur, F Fusain mengandung hingga 10% dari lithotypes batubara lainnya kurang dari 5mm (3mm*)1 Tersusun antara 30-60% dari lempung dan lanau, baik tercampur dengan batubara atau dalam lapisan yang terpisah masing-masing kurang dari 5mm (3mm*)1 Setiap sedimen yang mengandung 60- Shaly coal Cs Bone Coaly shale, coaly mudstone, etc. Shale, mudstone, etc. 90% material karbonan halus. Setiap sedimen yang mengandung 10% karbon matter1 1 Noted in lithologic description at any recognizable thickness (Hower et al., 1990) * Alternate minimum thickness Mikrolitotipe dalam batubara hanya dapat di identifikasi dalam pengamatan petrografi. Asosiasi maseral dapat diklasifikasikan kedalam

16 22 mikrolitotipe yang memiliki ketebalan sekitar 50μm. Dasar pembagian kelas mikrolitotipe adalah: - Monomaceral; maseral yang tersusun oleh satu tipe maseral - Bimaseral; tersusun oleh dua tipe maseral, dimana kedua maseral tersebut memiliki proporsi >5%. - Trimaseral; ketiga jenis maseral tersusun lebih dari 5% komposisinya. - Carbominerit; jenis mikrolitotipe batubara dimana batubara mengandung mineral baik berupa mineral lempung, pirit, karbonat, kuarsa ataupun mineral lain lebih dari 20% totalnya. Komposisi mikrolitotipe yang diadaptasi dari Stach et al.,(1982), dapat di lihat pada tabel di bawah ini: Tabel.2.6 Klasifikasi dan komposisi mikrolitotipe dalam batubara (Stach et al., 1982). Microlithotype Maceral Composition Group Vitrite Liptite Inertite Clarite Durite Vitrinertite Duroclarite Vitrinertoliptite Clarodurite Carbargilite Carbopyrite Carbankerite Carbosilicate Carbopolyminerite Vitrinite (V) >95% Liptinite (L) >95% Inertinit (I) >95% V + L >95% I + L > 95% V + I > 95% V > L, I (each > 5%) L > V, I (each > 5%) I > V, L (each > 5%) Coal % (vol.) clays Coal % (vol.) sulfides Coal % (vol.) carbonates Coal % (vol.) quartz Coal + 20*-60% (vol.) various minerals * 5% if high pyrite. Monomaceralic Bimaceralic Trimaceralic Carbominerite

17 Hidrogen (daf) moist X-Ray ctr Volatile matter (dry ash free) Increase of Vitrinite High vol Bituminous Carbon (dry ash free) Bed moisture (Ash free) Calculic Value (Moist ash free) Reflektansi Vitrinit Peningkatan intensitas sinar pantul pada maseral vitrinit berbanding lurus dengan pertambahan tingkat proses pembatubaraan pada lapisan batubara. Semakin besar nilai sinar pantul maseral, semakin tinggi peringkat batubara, dan demikian pun sebaliknya (Diessel dan Gammidge, 1998). Tabel 2.7 Klasifikasi Batubara Bituminous peringkat tinggi dan Antrasit berdasarkan parameter yang berbeda. (after M. & R. Teichmuller, & Bartenstein, 1979., dalam Stach, 1982). German Rank USA Reff Rm Oil Vol. M d.a.f % Carbon d.a.f % Bed Moisture Cal. Value Btu/lb (Kcal/kg) Applicability of Different Rank Parameter Torf Peat Weich Matt Glanz Flam Gas flamm Gas Fett Ess S t e i n k o h l e B r a u n k o h l e Lignite Sub. Bit C B A C B A Medium Vol. Bituminous Low Volatile Bituminous ca 60 ca 71 ca 77 ca 87 ca 75 ca 35 ca 25 ca (4000) 9900 (5500) (7000) (8650) Mager Semi Anthracite Anthrazit Anthracite Meta Anthrazit Meta Anthracite ca (8650)

18 24 Pengukuran reflektansi vitrinit dilakukan di bawah medium minyak imersi (immersion oil). Indeks reflaksi dari minyak imersi dapat berubah dengan temperatur, sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran reflektansi. Oleh karena itu perlu digunakan standar reflektansi yang telah diketahui pada temperatur standar (20 o C-25 o C) sebagai faktor koreksi hubungan antara reflektansi dan sifat-sifat optik material dan medium imersi. Reflektansi maseral vitrinit akan naik dengan meningkatnya tingkat kematangan yang dicerminkan oleh peringkat (rank) batubara. Tabel 2.8 Hubungan antara reflektansi vitrinit dengan peringkat batubara (Diessel, 1992, dan Teichmuller, 1982., dalam American Association of Petroleum Geologist, 1998). Peringkat Batubara (Coal Rank) Peat Lignite Sub bituminous High volatile bituminous Medium volatile bituminous Low volatile bituminous Semi anthracite Anthracite % Vitrinit Reflectance (Diessel, 1992) (Teichmuller, 1982) R random R max Rank Subclass C B A C B A R random Fasies Pembentukan Batubara Sebuah habitat dimana bahan organik, terutama gambut terakumulasi disebut dengan moor. Topogenetik atau low moor adalah kondisi pembentukan

19 25 gambut dan batubara, umumnya mengalami penurunan secara perlahan-lahan, sehingga input mineral sangat sedikit, dimana permukaan air tanah terus melingkupi pembentukan gambut. Verlandung moor atau moor antara merupakan kondisi pembentukan batubara dimana endapannya berasal dari dua sisi cekungan yang kemudian mengalami perkembangan hingga akhirnya kedua endapan dari kedua sisi cekungan bertemu dan menyatu ditengah cekungan. Kondisi pembentukan batubara pada kondisi high moor yang prosesnya terbentuk di atas muka air tanah, hanya dapat terjadi di pada kondisi curah hujan sangat tinggi karena kelembapan gambut hanya bergantung dari curuh hujan. (McCabe, 1987., dalam Suwarna, 2006). Gambar.2.4 Tipe Moor pembentukan batubara (Modifikasi Gothlick, 1986., dalam Anggayana, 2002).

20 26 Penerapan maseral dalam analisis fasies batubara menciptakan terobosan baru dalam studi fasies batubara berdasarkan petrologi bahan organik, pada dasarnya maseral terdiri dari tiga kelompok utama; yaitu vitrinit, inertinit, dan liptinit. Kelompok maseral vitrinit berasal dari tumbuhan air, maseral liptinit terutama berasal dari sisa-sisa tumbuhan kayu, sedangkan inertinit mewakili tanaman yang teroksidasi dan terdegradasi tetapi memiliki asal yang sama dengan vitrinit. Berdasarkan pengelompokan maseral yang di sebutkan di atas, pembahasan analisis fasies batubara dilakukan sebagai indikator paleoenvironment dengan melakukan perbandingan terhadap maseral dalam batubara. Maseral vitrinit terbentuk dalam kondisi yang relatif memiliki kelembaban yang tinggi, berasal dari gelifikasi sebagian jaringan tanaman, adapun struktur inertinit (semifusinit dan fusinit) yang berasal dari vegetasi kayu, terbentuk dalam kondisi yang relatif kering menyebabkan jaringan teroksidasi. Inertodetrinit, juga memiliki asal yang sama seperti semifusinit dan fusinit, berasal dari struktur inertinit yang terdisintegrasi. (Diessel, 1982, 1986, dan 1992., Harvey dan Dillon, 1985., dan Cohen et al , dalam Suwarna, 2006). 2.9 Lingkungan Pengendapan Batubara Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yang berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi

21 27 dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Gambar.2.5 Model lingkungan pengendapan batubara (Horne dkk, 1978., dalam Anggayana dan Widayat, 2007). Lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralis yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai (transisi). Secara spesifik, terdapat enam lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara (tabel 2.9) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan

22 28 pengendapan mempunyai asosiasi dan akan menghasilkan karakter batubara yang tentu saja berbeda-beda. Meskipun secara umum lingkungan pengendapan sedimentasi dalam pembentukan batubara adalah pada lingkungan paralis, namun kondisi pada lingkungan paralis sendiri dikontrol berbagai hal sehingga terdapat beberapa stadium lingkungan pengendapan batubara yang lebih spesifik (Diessel 2002), yakni sebagai berikut: Limnic; merupakan rawa air tawar yang sama sekali tidak mendapat pengaruh langsung dari air laut. Jika pun trletak dekat dari laut, namun dipisahkan oleh elevasi dan atau barrier yang bersifat impermeable. Vegetasi yang menyusun tipe rawa ini umumnya adalah dari varietas tumbuhan rerumputan dan semak. Marsh; adalah lahan basah yang tergenang secara periodik oleh air tawar atau air garam. Rawa seperti ini umumnya tanpa vegetasi pepohonan. Tumbuhan rerumputan, dedaunan, dan semak merupakan sebagian besar vegetasi yang menyusun tipe rawa ini. Limno-telmatik; merupakan rawa yang selalu digenangi, dalam kondisi pasang surut pun selalu digenangi air. Tipe rawa seperti ini biasanya membentuk moor antara dan mersifat mesotroph. Telmatik; adalah lahan basah yang seperti secara terus menerus digenangi air tawar atau air garam. Bersifat eutroph-mesotroph yang biasanya menghasilkan tipe high moor dan verlandung moor. Tipe rawa ini seperti ini umumnya tersusun oleh variasi tumbuhan rerumputan, dedaunan, dan semak.

23 29 Fen; rawa yang kaya oleh keberagaman tumbuhan permukaan yang terdiri tumbuhan rerumputan. Dedaunan, herbal, semak, dan kelompok pohon, yang biasanya menutupi kurang dari 25% dari total permukaan rawa. Swamps; adalah lahan basah/rawa berhutan di zona beriklim sejuk dengan vegetasi utama berupa pepohonan ditambah semak dari tumbuhan herbal, dan jenis lumut. Di daerah tropis dan subtropis berbagai macam tanaman yang dijumpai umumnya adalah tumbuhan bakau dan rawa dengan tumbuhan sejenis cemara yang menempati sebagian lahan yang terendam oleh kondisi air dangkal. Tabel 2.9 Lingkungan pengendapan umum batubara. (Diessel, 1992). Environment Sub-environment Coal Characteristics Gravelly braid plain Sandy braid plain Alluvial valley and upper delta plain Lower delta plain Back-barrier strand plain Estuary Bars, channel, overbank plains, swamps, raised bogs Bars, channel, overbank plains, swamp, raised bogs, Channels, point bars, floodplains and basins, swamp, fens, raised bogs Delta front, mouth bar, splays, channel, swamps, fans and marshes Off-, near-, and backshore, tidal inlets, lagoons, fens, swamp, and marshes Channels, tidal flats, fens and marshes Mainly dull coals, medium to low TPI, low GI, low sulphur Mainly dull coals, medium to high TPI, low to medium GI, low sulphur Mainly bright coals, high TPI, medium to high GI, low sulphur Mainly bright coals, low to medium TPI, high to very high GI, high sulphur - Transgressive : mainly bright coals, medium TPI, high GI, high sulphur - Regressive : mainly dull coals, low TPI and GI, low sulphur Mainly bright coal with high GI and medium TPI

24 30 Seperti yang diketahui, dalam penentuan lingkungan pengendapan dimana sebuah endapan terbentuk didasarkan pada tiga faktor utama, yakni ciri fisik, ciri kimia, serta ciri biologi dari suatu batuan. Dalam batubara, terdapat maseral sebagai komponen organik yang menjadi penciri biologi batubara tersebut. Sebuah model lingkungan yang didasarkan pada kombinasi rasio maseral tertentu, ditunjukkan oleh Diessel (1986). Berdasarkan Tissue Preservation Indeks (TPI) dan Gelification Index (GI), rasio perbandingannya dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pembentukan gambut. (Diessel, 1986., dalam Suwarna 2006) rasio ini dirumuskan sebagai berikut: Telovitrinit + Telo-inertinit TPI =...( Pers. 2.1) Detrovitrinit + Gelovitrinit + detro-inertinit + Gelo-inertinit GI = Vitrinite + Telo-inertinit...(. Pers. 2.2) Telo-inertinit + Detroinertinit Fasies dan lingkungan pengendapan batubara salah satunya dapat ditunjukkan dengan diagram pengawetan struktur jaringan (TPI) terhadap derajat gelifikasi (GI). Tissue Preservation Indeks (TPI) menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. Gelification Index (GI) merupakan perbandingan komponen yang tergelifikasi/tereduksi terhadap komponen yang terfusinitkan/teroksidasi. Tissue Preservation Indeks (TPI) juga dapat menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses pembatubaraan, sementara itu Gelification Index (GI) berhubungan dengan kontinuitas kondisi gambut di bawah air, menunjukkan tingkat gelifikasi

25 31 (reduksi), juga merupakan kebalikan indeks oksidasi. (Lamberson et al., 1991., dalam Anggayana dan Widayat, 2007). Nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) yang melebihi 2,5 adalah nilai tertinggi yang dicapai dalam suatu pengukuran, yang didasarkan pada pengukuran maseral vitrinit, yang berarti bahwa TPI (Tissue Preservation Indeks) yang tinggi menunjukkan kondisi akomodasi kesimbangan gambut, atau tidak terjadi pemaparan sehingga lebih sedikit kesempatan tumbuhan yang terakumulasi terdegradasi pada permukaan gambut, yang juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman air, sehingga rendahnya ph akan menyebabkan terawetkannya jaringan tumbuhan karena penurunan aktifitas bakteri. (Diessel et al., 2000). Meskipun dalam kondisi basah aktifitas bakteri aerobik akan berkurang, namun hal ini tidak menjamin gambut dalam kondisi stabil, karena kontak gambut dengan air laut akan menaikkan ph. Peningkatan keasaman akan merangsang aktifitas bakteri anaerobik. Contohnya bakteri anaerobik Desulphovibrio desulfuricans dan Clostridium desulfuricans akan mengikat senyawa sulfat dalam air yang kemudian menghasilkan H 2 S yang akan bereaksi baik dengan material organik. Jika dalam air juga tersedia senyawa besi, maka proses ini akan menyebabkan prepitasi pirit (Degens, 1965., dalam Diessel dan Gammidge, 1998). Peningkatan aktifitas bakteri juga mempercepat proses biodegradasi dan hilangnya biomassa yang dapat menyebabkan turunnya nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) pada batubara yang juga akan menurunkan reflektansi maseral vitrinit yang langsung berpengaruh pada kualitas bahkan rank dari batubara. (Diessel dan Gammidge, 1998).

26 32 Tingginya nilai Gelification Index (>5) dan Tissue Preservation Indeks (>1) mengindikasikan kondisi basahan pada pembentukan gambut, sedangkan rendahnya nilai Gelification Index (<5) dan Tissue Preservation Indeks (<1) menunjukkan kondisi yang kering (Diessel, 1986 dan 1992 dalam Suwarna, 2006). Dengan demikian, GI (Gelification Index) memainkan peran penting dalam merepresentasikan pengaruh air tanah, sedangkan input jenis tanaman/variasi flora lahan basah, ditunjukkan oleh nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) tinggi yang dapat diasumsikan sebagai batubara yang tersusun oleh bagian tumbuhan yang memiliki jaringan yang relatif tahan, umumnya dimiliki oleh tumbuhan tingkat tinggi (Diessel dan Gammidge, 1998). Kondisi ini memungkinkan kandungan vitrinit akan lebih besar dari inertinit karena batubara dengan TPI (Tissue Preservation Indeks) dan GI (Gelification Index) yang tinggi diasumsikan terbentuk di hutan rawa basah (wet forest swamp) pada zona telmatik dengan proses penimbunan yang berlangsung cepat. Batubara yang terendapkan di hutan rawa basah (wet forest swamp). Umumnya, batubara yang kaya akan vitrinit diperkirakan terbentuk dalam lingkungan basah. Lingkungan fluvial menyebabkan batubara kaya akan vitrinit dan juga kaya akan mineral matter, terutama lempung. Namun, jika nilai GI (Gelification Index) tinggi dan nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) relatif sedang hingga rendah dikarenakan pengaruh aktifitas mikroba pada batubara yang lebih dahulu terbentuk dalam influclastic marsh. (Lamberson et al., 1991., dalam Suwarna, 2006). Dalam kasus untuk lapisan batubara yang memiliki nilai GI (Gelification Index) dan nilai TPI (Tissue Preservation Indeks) rendah, diasumsikan bahwa

27 33 batubara diendapkan di rawa terbuka (open-marsh) di mana aktifitas pengeringan dan oksidasi dibatasi untuk pembentukan maseral vitrinit dalam kondisi di bawah permukaan air tanah, dan disintegrasi dari struktur maseral inertinit membentuk inertodetrinit yang insitu menyebabkan kandungan maseral ini tinggi, dan ditambah dengan peningkatan kandungan abu. (Suwarna, 2006).

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya Bab V Pembahasan V.1 Peringkat Batubara Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN PROS ID I NG 2 0 2 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK STUDI FASIES PENGENDAPAN BATUBARA BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

Petrologi Batuan Sedimen

Petrologi Batuan Sedimen Batuan Sedimen Batubara Batubara digolongkan pada batuan sedimen non-klastik, yaitu batuan sedimen organik. Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB IV ANALISIS SAMPEL BAB IV ANALISIS SAMPEL 4.1 PENGAMBILAN SAMPEL (SAMPLING) Pengambilan sampel batubara untuk penelitian dilakukan pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Busui yang mewakili Formasi Warukin pada Cekungan

Lebih terperinci

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB III ENDAPAN BATUBARA BAB III ENDAPAN BATUBARA 3.1 DASAR TEORI BATUBARA 3.1.1 Pengertian Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam,

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA BAB IV EKSPLORASI BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN Oleh : Nanan S. Kartasumantri dan Hadiyanto Subdit. Eksplorasi Batubara dan Gambut SARI Daerah

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ir. Mulyana Subdit Batubara, DIM SARI Daerah penyelidikan Loa

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR

REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR REKONSTRUKSI LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA PADA FORMASI SAJAU, BERDASARKAN KOMPOSISI MASERAL DI CEKUNGAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ahmad Helman Hamdani NIP. 195508281982031 FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Wawang Sri Purnomo dan Fatimah Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Lokasi Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 9 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Kegiatan penelitian dilakukan di salah satu tambang batubara Samarinda Kalimantan Timur, yang luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 24.224.776,7

Lebih terperinci

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur

Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Studi Komposisi Mikroskopis Dan Peringkat Batubara Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Basuki Rahmad 1, Komang Anggayana 2, Agus Haris Widayat 2 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen. Dasar Teori Tambahan Batubara merupakan mineral bahan bakar yang terbentuk sebagai suatu cebakan sedimenter yang berasal dari penimbunan dan pengendapan hancuran bahan berselulosa yang bersal dari tumbuhtumbuhan.

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi primer yang makin penting dan merupakan komoditas perdagangan di

BAB I PENDAHULUAN. energi primer yang makin penting dan merupakan komoditas perdagangan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang sejak berabadabad lalu mulai digunakan sehingga keberadaanya selalu menjadi salah satu objek utama yang dieksplorasi

Lebih terperinci

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis Geokimia Organik Diagenesis Proses yang mempengaruhi produk dari produksi primer yang terjadi selama pengendapan dan tahap awal pembusukan di bawah kondisi temperatur dan tekanan yang relatif rendah Transformasi

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). BAB III TEORI DASAR Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). Istilah batubara banyak dijumpai dari berbagai

Lebih terperinci

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank) PERINGKAT BATUBARA (Coal rank) Peringkat batubara (coal rank) Coalification; Rank (Peringkat) berarti posisi batubara tertentu dalam garis peningkatan trasformasi dari gambut melalui batubrara muda dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN 2.1 Tinjauan Umum Daerah penelitian secara regional terletak pada Cekungan Tarakan. Cekungan Tarakan merupakan cekungan sedimentasi berumur Tersier yang terletak di bagian

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geomorfologi Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan yang merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Hendra Takalamingan Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta SARI

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. Oleh: Robert L. Tobing, Wawang S, Asep Suryana KP Bnergi Fosil SARI Daerah penyelidikan secara administratif terletak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara merupakan batuan sedimen berupa padatan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH LUBUK JAMBI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAGIRI HULU, PROPINSI RIAU

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH LUBUK JAMBI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAGIRI HULU, PROPINSI RIAU PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH LUBUK JAMBI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAGIRI HULU, PROPINSI RIAU Oleh : A. D. Soebakty Sub. Direktorat Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM SARI Daerah Lubuk Jambi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Keadaan Geografi Daerah Penelitian 2.1.1 Lokasi Penambangan Daerah penyelidikan berdasarkan Keputusan Bupati Tebo Nomor : 210/ESDM/2010, tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan tambang yang berasal dari sedimen organik dari berbagai macam tumbuhan yang telah mengalami proses penguraian dan pembusukan dalam jangka waktu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvii

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan 1. Kandungan air bawaan batubara relatif menjadi turun pada setiap penurunan kedalaman dari lapisan bagian atas (roof) menuju lapisan bagian bawah (floor)

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR ANALISIS VARIASI KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA SEAM S DI DAERAH PALARAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah Cekungan Sumatera Tengah secara fisiografis terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material

BAB I PENDAHULUAN. material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara merupakan batuan sedimen dengan penyusun dominan berupa material organik dan sebagian lain adalah material non-organik. Material-material penyusun ini mengalami

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan Cekungan Busur Belakang Sumatera terbentuk pada fase pertama tektonik regangan pada masa awal Tersier. Sedimentasi awal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA

BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA BAB II KERANGKA GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA UTARA 2.1. Kerangka Geologi Regional Cekungan Sumatera Utara sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1 di bawah ini, terletak di ujung utara Pulau Sumatera, bentuknya

Lebih terperinci

Oleh. Untung Triono. Kelompok Energi Fosil. Pusat Sumberdaya Geologi. Badan Geologi

Oleh. Untung Triono. Kelompok Energi Fosil. Pusat Sumberdaya Geologi. Badan Geologi PENYELIDIKAN PENDAHULUAN BATUBARA DI DAERAH KUALA SAMBOJA DAN SEKITARNYA KECAMATAN KUALA SAMBOJA KABUPATEN KUTAI KARTANE- GARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh Untung Triono Kelompok Energi Fosil Pusat

Lebih terperinci

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN D. A. P. Pratama *, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian

Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian Bab IV Prosedur dan Hasil Penelitian IV.1 Pengambilan Conto Sample atau conto adalah pengambilan sebagian kecil dari material untuk dapat mewakili keseluruhan material secara representatif yang diperlukan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA

BAB III DASAR TEORI 3.1. PEMBENTUKAN BATUBARA BAB III DASAR TEORI Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan batubara dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang ekonomis. Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari

Lebih terperinci

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori

Daftar Isi Bab I Pendahuluan Bab II Geologi Regional Bab III Dasar Teori Daftar Isi Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Halaman Pernyataan... iii Kata Pengantar... iv Sari... v Abstract... vi Daftar Isi... vii Daftar Gambar... ix Daftar Tabel... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI

BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI BAB II KEADAAN UMUM DAN KONDISI GEOLOGI 2.1 KESAMPAIAN DAERAH 2.1.1 Kesampaian Daerah Busui Secara geografis, daerah penelitian termasuk dalam daerah administrasi Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Pasir,

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU INVENTARISASI BITUMEN PADAT DENGAN OUTCROP DRILLING DAERAH MUARA SELAYA, PROVINSI RIAU Oleh : Deddy Amarullah dan Dede Ibnu Suhada Kelompok Program Penelitian Energi Fosil ABSTRAK Sesuai dengan kebijakan

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci