APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN"

Transkripsi

1 APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN, BLORA, REMBANG, DAN BOJONEGORO RATIH SOLICHIA MAHARANI E DEPARTEMENMANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 2 RINGKASAN RATIH SOLICHIA MAHARANI. E Aplikasi Citra ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m dan Citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan Kabupaten Tuban, Blora, Rembang, dan Bojonegoro. Dibimbing Oleh : NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH. ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA s Tanegashima Space Center yang membawa 3 sensor di dalamnya yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi 2,5 meter yang memiliki sensor optik, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), resolusi 10 meter yang memiliki sensor optik dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) resolusi 10 meter dan 100 meter yang memiliki sensor radar. Penelitian ini memiliki tujuan untuk membandingkan kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB dalam mengidentifikasi penutupan lahan pada studi kasus di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan laju kerusakan hutan melalui penatagunaan lahan yang sesuai dan pengelolaan hutan yang lestari. Metode yang digunakan adalah analisis identifikasi objek di lapangan, analisis diskriminan, analisis visual Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV skala 1: dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB skala 1:50000, analisis separabilitas dan analisis uji akurasi. Hasil analisis secara visual citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB menampilkan 8 kelas tutupan lahan, yaitu tutupan lahan badan air, pertanian lahan kering, tambang kapur, bekas tebangan, sawah, kebun campuran, pemukiman, dan hutan tanaman jati, sedangkan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV hanya mampu menampilkan 7 kelas tutupan lahan, yaitu pemukiman, sawah, kebun campuran, pertanian lahan kering, lahan terbuka, badan air, dan hutan tanaman jati. Nilai uji akurasi kappa yang dihasilkan oleh citra ALOS PALSAR resolusi 50 m, yaitu sebesar 74,40%, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m menghasilkan nilai uji akurasi kappa, yaitu sebesar 81,62%. Klasifikasi secara digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m menghasilkan hasil yang lebih baik dengan nilai N Correct 79 dan proportion correct 58,5%. Kata Kunci : Citra ALOS PALSAR resolusi 50, Citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m, analisis visual, analisis diskriminan, analisis separabilitas, akurasi KAPPA.

3 3 SUMMARY RATIH SOLICHIA MAHARANI. E The Aplication of ALOS PALSAR Image 50 m resolution and ALOS AVNIR-2 Image 50 m resolution for Land Cover Identification at Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro district. Under supervision : NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH. ALOS (Advance Land Observing Satellite) is the biggest satelite imagery which is developed by JAXA s Tanegashima Space Center. Its carried 3 sensor, there are optical sensor with 2,5 m resolution carried by Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), optical sensor with 10 m resolution carried by Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), and radar sensor with 10 m 100 m resolution carried by Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). The objectives of this research are to compare optic and SAR data with same resolution for landcover identify. The research is located in Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro district. The result of this research expected to solve the degradation of forest problems by land structuring and sustainable forest management. The method of this research are analysis of field observation with discriminant analysis, ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution and ALOS AVNIR image RGB combination with 50 m resolution visual analysis, separability analysis and accuration analysis. Visual intrepretation of ALOS AVNIR-2 image showed better information than ALOS PALSAR image. It is shown by seeing the result of ALOS AVNIR-2 image RGB combination with 50 m resolution landcover classification which has 8 type of landcover (water, dry land farming, mining limestone, logged, rice, mixed farms, settlements, and teak plantation) whereas ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution has seven type of landcover (water, dry land farming, rice, mixed farms, settlements, open area and teak plantation). The result of KAPPA accuration are 74,40% for ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution and 81,62% for ALOS AVNIR-2 image RGB combination with 50 m resolution. Digital classification of ALOS PALSAR image is better than ALOS AVNIR-2 image. It is shown by the N Correct and Proportion correct from digital number of each image, there are 79;58,5% for ALOS PALSAR image with 50 m resolution and 74;54,8% for ALOS AVNIR-2 image with 50 m resolution. Keywords : ALOS PALSAR image with 50 m resolution, ALOS AVNIR image with 50 m resolution, visual analysis, discriminant analysis, KAPPA accuration.

4 4 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahea skripsi berjudul Aplikasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang, dan Bojonegoro adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Ratih Solichia Maharani E

5 5 APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 M DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN, BLORA, REMBANG, DAN BOJONEGORO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor RATIH SOLICHIA MAHARANI E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes 9 Agustus Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Ir. Muhammad Marzuki, MP dan Ibu Dra Endang Wahyuni. Penulis menjalani masa pendidikan SD di SD Negeri 1 Geuceu Nangroe Aceh Darussalam pada tahun , SD Negeri 93 Meuraxa Nangroe Aceh Darussalam pada tahun dan lulus pada tahun 2000 di SD Negeri 1 Gombong Jawa Tengah ( ). Di jenjang SMP penulis menjalani masa pendidikannya di SMP Negeri 1 Gombong Jawa Tengah pada tahun dan SMP Negeri 3 Kebumen Jawa Tengah pada tahun , kemudian penulis menjalani masa SMA di SMA Negeri 1 Kebumen Jawa Tengah. Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah tergabung dalam organisasi paduan suara Agriaswara IPB pada tahun Di masa keanggotaannya, penulis aktif sebagai pengurus divisi kesekretariatan pada tahun Penulis juga pernah mengikuti konser angkatan Agriaswara IPB Le Baylere pada tahun Selain itu, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sebagai anggota bidang Seni dan Olahraga pada tahun , Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan sebagai anggota bidang Hubungan Luar pada tahun , Sylva Indonesia cabang IPB sebagai anggota bidang Pengkaderan pada tahun , sebagai Dewan Pengawas pada tahun dan sebagai Dewan Kehormatan pada tahun 2011 hingga sekarang. Selain itu, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di IPB mulai tahun 2006 s/d tahun Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran dan mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran dan tahun ajaran Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan pada tahun ajaran

7 7 Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HT PT. Wirakarya Sakti Jambi pada tahun Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul Aplikasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Kabupaten Tuban, Blora, rembang dan Bojonegoro di bawah bimbingan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.

8 8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berisi tentang perbedaan secara visual berdasarkan elemen interpretasi pada citra satelit yang memiliki sensor optik dengan citra satelit yang memiliki sensor radar. Selain itu dijelaskan pula perbedaan secara dijital yang terdapat pada citra citra satelit yang memiliki sensor optik dengan citra satelit yang memiliki sensor radar. Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan sejauh mana kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB dalam mengidentifikasi penutupan lahan pada studi kasus di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si selaku dosen pembiimbing I atas segala bimbingan, pegarahan, ilmu, kesabaran, dan waktu selama penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, pegarahan, ilmu, kesabaran, dan waktu selama penyusunan skripsi. 3. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku dosen penguji penulis saat sidang dan Ir. Muhdin, MSc.F.Trop selaku moderator sidang. 4. JICA dan JAXA dalam pengambilan data penelitian dan penyediaan citra dalam penelitian penulis. 5. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr, Bpk. Uus Saepul M, Aa Edwine Setia P, S. Hut, Ka Faris Salman, S. Hut dan Ka Risa Desiana Syarif, S. Hut atas kesabaran dalam memberikan pengarahan dan ilmu. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan pada khususnya dan seluruh dosen Fakultas Kehutanan IPB pada umumnya yang telah memberikan ilmu, dukungan, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan IPB dengan lancar.

9 9 7. Mandor KPH Kebonharjo, Bapak Umar dan Bapak Budi yang telah membantu penulis dalam pengambilan data penelitian. 8. Ayahanda Ir. Muhammad Marzuki, MP dan Ibunda Dra Endang Wahyuni, kakak penulis Tyanita Puti Marindah Wardani, ST, adik-adik penulis Rantidaista Ayunin Walidaini, Dyah Ajeng Syifa Aqmarina, dan Nabila Masaya Ramadhani serta seluruh keluarga besar Badjuri dan Atmo Prayitno, atas segala doa, nasehat, dukungan, serta kasih sayang yang tidak mungkin terbalas. 9. Sahabat tercinta Hangga Prihatmaja, S. Hut yang selalu memberikan dukungan, perhatian, dan bantuannya kepada penulis. 10. Sahabat tersayang Ade (nurindah), Lisa, Dika, Iffah, Ebi, Harai dan Akmal yang selalu ada untuk menjadi pendengar dan pemberi semangat untuk penulis. 11. Teman satu bimbingan Nurindah Ristiana, S. Hut dan Putu Ananta Wijaya, S. Hut yang telah memberikan semangat dan bantuannya kepada penulis. 12. Keluarga besar Laboraturium Remote Sensing dan GIS khususnya Ka Fatah, Ka Pipit, Ka Bejo, Ka Afiefah, Tulang, Wulan, Chika, Dian N, Ina, Ka Jojo, Ka Budi, Ka Aswin, Ka Puput, Pak Jaya, Pak Ayub, Pak Mukalil, Ria, Rudi, Tatan, Monic, Putu Arimbawa, Ade Cilik, Adit, Eri cowok dan cewek, dan Sani atas motivasi, dan kebersamaannya. 13. Seluruh teman-teman Manajemen Hutan angkatan 42 dan 43 atas kebersamaannya selama ini. 14. Sahabat-sahabat angkatan Le-Baylere Agriaswara IPB, khususnya Selly, Vitta, Andre, Yayoy, Hilaria dan Pipit atas motivasi dan kebersamaannya selama ini. 15. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

10 10 Penulisan skripsi ini merupakan salah satu cara penulis untuk melatih keterampilan penulis dalam menyusun sebuah Karya Ilmiah. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tulisan ini karena penulis menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, September 2011 Penulis

11 11 DAFTAR ISI DAFTAR ISI..... i Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR.... iv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Citra Satelit Pasif Citra ALOS AVNIR Citra Satelit Penginderaan Aktif Citra Radar Citra ALOS PALSAR Penutupan Lahan Penggunaan Citra Landsat Untuk Identifikasi Penutupan Lahan Penggunaan Citra Alos PALSAR Untuk Identifikasi Penutupan Lahan BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Alat dan Data Alat Data Tahapan Penelitian Pra Pengolahan Citra Pengubahan Resolusi Citra ALOS AVNIR 2 Resolusi 10 m Menjadi 50 m Koreksi Geometri Mosaik Citra Pemotongan Citra

12 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m Mengacu Pada Citra ALOS AVNIR 2 Resolusi 50 m Pembuatan Lokasi Titik Pengamatan Pengambilan Data Lapangan Analisis Hasil Pengamatan Lapangan BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis Topografi Iklim Tanah Demografi Tutupan Lahan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Analisis Diskriminan Analisis Visual Citra Analisis Separabilitas Uji Akurasi Citra BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

13 13 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1. Konsep pengamatan citra ALOS AVNIR Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1979), baur (a); sempurna (b); sudut (c) Peta lokasi penelitian Peta identifikasi awal tutupan lahan Peta sebaran titik awal pengamatan Peta sebaran plot di hutan tanaman jati Peta sebaran titik hasil pengamatan Kenampakan objek tutupan lahan badan air, sungai Bengawan Solo (a); danau (b) di lapangan Kenampakan objek tutupan lahan hutan tanaman jati tiap kelas umur di lapangan Kenampakan objek tutupan lahan tebu Kenampakan objek tutupan lahan pemukiman di lapangan Kenampakan tutupan lahan singkong (a); kacang (b); jagung (c) di lapangan Kenampakan tutupan lahan sawah di lapangan Kenampakan tutupan lahan pertanian lahan kering Kenampakan tutupan lahan tambang kapur Kenampakan tutupan lahan terbuka Kenampakan tutupan lahan kebun campuran Kenampakan tutupan lahan jembu mete Kenampakan tutupan lahan mangga Diagram analisis diskriminan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV Diagram analisis diskriminan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB Kenampakan visual badan air citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual bekas tebangan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b)... 58

14 Kenampakan visual tambang kapur citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual pemukiman citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual sawah fase awal tanam citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual sawah fase vegetatif citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual sawah fase generatif citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual kebun campuran citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual hutan tanaman jati citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) Kenampakan visual pertanian lahan kering citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b)... 66

15 15 DAFTAR TABEL No Halaman 1. Karakteristik citra ALOS AVNIR Perbandingan klasifikasi penutupan lahan Skema perhitungan akurasi Batas wilayah lokasi penelitian Kondisi topografi lokasi penelitian Kondisi iklim lokasi penelitian Kondisi tanah lokasi penelitian Kondisi demografi lokasi penelitian Kondisi tutupan lahan lokasi penelitian Nilai diameter pohon jati (cm) pada tiap kelas umur Rata-rata nilai dijital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV Rata-rata nilai dijital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV Hasil analisis separabilitas citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB Hasil uji akurasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m Hasil uji akurasi citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m... 76

16 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju penurunan kawasan hutan di Indonesia merupakan permasalahan yang tidak dapat diabaikan dan perlu dicari jalan keluarnya. Luas hutan pada tahun untuk pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berkurang seluas 21 juta ha. Pada tahun laju penurunan luas hutan di dalam kawasan hutan Indonesia meningkat menjadi 2,84 juta ha/tahun. Selanjutnya pada tahun laju penurunan luas hutan mencapai angka 1,08 juta ha/tahun atau sekitar 5,4 juta ha selama kurun waktu lima tahun (BAPLAN 2008). Laju kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang cukup pesat sehingga mengakibatkan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman atau areal industri (FWI 2003). Salah satu pemecahan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengetahui kondisi penutupan lahan yang ada sehingga penatagunaan kawasan hutan yang sesuai dan pengelolaan hutan yang lestari dapat terwujud. Untuk mengetahui kondisi penutupan lahan pada suatu daerah dapat dilakukan secara lengkap, cepat dan relatif akurat melalui teknologi penginderaan jauh. ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA s Tanegashima Space Center Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H- IIA. Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 5 tahun. Satelit ini membawa 3 sensor di dalamnya yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang memiliki resolusi 2,5 meter dengan sensor optik, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang memiliki resolusi 10 meter dengan sensor optik dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang memiliki resolusi 10 meter dan 100 meter dengan sensor radar (Jaya 2000). Sensor optik dan sensor radar pada citra ALOS yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam kemampuannya untuk mengidentifikasi

17 17 tutupan lahan. Salah satu perbedaan tersebut terletak pada resolusi radiometrik dan resolusi spektral. Pada sensor optik resolusi radiometriknya adalah sebesar 8 bit dengan rentang nilai digital Pada sensor radar memiliki resolusi radiometrik sebesar 16 bit dengan rentang nilai digital Selain itu, sensor radar memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sensor optik yaitu pada penggunaan sumber energi yang dapat diatur terutama dalam kemampuannya menembus awan dan hujan serta dapat digunakan baik siang maupun malam (Jaya 2000). Perbedaan lainnya adalah pada sensor optik terutama pada citra multispektral (citra ALOS AVNIR-2) memiliki fungsi untuk mengklasifikasi sifat kimia dan biofisisk dari objek di permukaan bumi, sedangkan pada citra ALOS PALSAR dengan sensor radar dan dikembangkan dengan sistem SAR berfungsi untuk mengklasifikasi tekstur dan ukuran dari objek di permukaan bumi (Prasad 2010). Dengan identifikasi karakteristik citra baik dengan sensor optik maupun sensor radar terhadap kenampakan tutupan lahan di permukaan bumi, citra ALOS bisa digunakan secara optimal dalam klasifikasi tutupan lahan. B. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk membandingkan kemampuan citra optik dan citra radar dengan resolusi yang sama dalam mengidentifikasi tutupan lahan di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro.

18 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Penginderaan jauh dibedakan menjadi dua berdasarkan sumber energi elektromagnetik yang digunakan yaitu penginderaan jauh pasif (Passive Remote Sensing) dan penginderaan jauh aktif (Active Remote Sensing). Penginderaan jauh pasif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung). Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini diantaranya MESSR, IRS, JERS-1, OPS dan potret udara. Penginderaan jauh aktif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan (microwave). Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah RADAR, seperti RADARSAT, ERS-1,JERS-1, ALOS PALSAR. Sensor merupakan alat perekam objek bumi yang dipasang pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari objek yang diindera (Jaya 2009). Sensor memiliki keterbatasan dalam mengindera objek kecil. Batas kemampuan memisahkan setiap objek dinamakan resolusi. Resolusi merupakan indikator kemampuan sensor dalam merekam objek. Terdapat empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor, yaitu resolusi spasial,resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi spasial adalah ukuran objek terkecil yang masih bias disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra. Semakin kecil ukuran objek yang dapat direkam maka semakin baik pula kualitas sensornya (Purwadhi 2001). Resolusi spektral merupakan daya pisah objek berdasarkan besarnya spektrum elektromagnetik yang digunakan untuk perekaman data. Resolusi radiometrik adalah kemampun sistem sensor untuk mendeteksi perbedaan pantulan terkecil, atau kepekaan sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan

19 19 sinyal. Sedangkan resolusi temporal yaitu perbedaan kenampakan yang masih dapat dibedakan dalam waktu perekaman ulang (Purwadhi 2001) Citra Optik Citra optik memiliki beberapa karakteristik, yaitu merekam objek dengan menggunakan kamera sebagai sensornya dan film sebagai detektornya, sedangkan tenaga elektromagnetik yang digunakan pada spektrum tampak (spektrum tampak 0,4 mm 0,7 mm, ultraviolet dekat 0,3 mm 0,4 mm, dan inframerah dekat 0,7 mm 1,2 mm). Citra optik bersifat continue-continue dimana pengolahan data nilai keabuan (rona) dinyatakan dengan presisi angka tak terhingga (Purwadhi 2001). Karakteristik lain yang dimiliki citra optik yaitu termasuk ke dalam sistem penginderaan jauh pasif yang dengan sumber energi berupa reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung, sehingga memiliki waktu perekaman yang terbatas. Selain itu, citra optik terutama citra multispectral memiliki fungsi untuk mengklasifikasi sifat kimia dan biofisisk dari objek di permukaan bumi (Prasad 2010) Citra ALOS AVNIR-2 AVNIR-2 merupakan salah satu citra optik yang termasuk ke dalam penginderaan jauh pasif dengan sensor High Resolution Optical (Jaxa 2011). High Resolution Optical yang dimiliki citra AVNIR-2 merupakan sistem sensor (sejenis sistem cross-track) yang bekerja pada dual mode yaitu multispectral dan pankromatik. Mode pankromatik memiliki resolusi spasial 10 m dengan domain panjang gelombang nm (single spectral band [citra dijital keabuan, hitam-putih] di dalam keseluruhan domain visible [400 nm-700 nm]). Sedangkan mode multispectral merekam 3 data band yaitu hijau, merah dan NIR (Prahasta 2008). AVNIR-2 menggunakan tenaga elektomagnetik inframerah dekat dengan spektrum 0,7 mm-1,2 mm. AVNIR-2 merupakan pengganti AVNIR yang terpasang pada Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS). Radiometer citra AVNIR-2 mengindera radiasi termal dalam medan pandang sesaat (instantaneous field-of-view = IFOV) (Jaxa 2011).

20 20 IFOV pada umumnya menyatakan sudut kerucut yang membatasi tenaga datang yang terfokus pada detektor. Seluruh radiasi yang menuju instrumen di dalam IFOV menyebabkan tanggapan detektor pada tiap saat. Semakin luas IFOV maka jumlah tenaga yang dipusatkan pada detector radiometer lebih besar (Lillesand dan Kiefer 1979). Akibatnya berupa perbaikan dalam resolusi radiometrik. Resolusi radiometrik citra AVNIR-2 adalah 8 bit dengan rentang nilai dijital berkisar antara sedangkan resolusi spasialnya adalah 10 m (Jaxa 2011). Citra ALOS AVNIR-2 terdiri dari 4 band, 3 band reflectance visible dan 1 band inframerah dekat. Keempat band tersebut memiliki panjang gelombang yang berbeda satu sama lain, band 1 memiliki panjang gelombang 0,42-0,5 µm, band 2 memiliki panjang gelombang 0,52-0,6 µm, band 3 memiliki panjang gelombang 0,61-0,69 µm, dan band 4 yang merupakan band inframerah dekat yang memiliki panjang gelombang 0,76-0,89 µm. Band inframerah dekat pada citra ALOS AVNIR-2 sangat baik untuk mendefinisi vegetasi dan mengetahui keadaan tanah sehingga citra ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah deforestasi dan desertifikasi pada hutan tropis. Citra ini tersusun dari dua unit scanning radiometer unit dimana di dalamnya terdiri dari komponen optik dan electronic unit. Citra AVNIR-2 berfungsi dalam pengolahan data citra dan memiliki luasan cakupan rekaman (pointing angle) dari -44⁰ sampai +44⁰ (Jaxa 2011). Karakteristik citra ALOS AVNIR-2 dijelaskan dalam Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1 Karakteristik citra ALOS AVNIR-2. Jumlah band Panjang gelombang Parameter Resolusi spasial Lebar sapuan Jumlah detektor Luasan cakupan rekaman Panjang bit Sumber : Jaxa 2011 Karekteristik 4 Band 1 : 0.42 to 0.50 mikrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 mikrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 mikrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 mikrometers 10 m 70km 7000/band -44 sampai +44 derajat 8 bit

21 21 Sumber : Jaxa 2011 Gambar 1 Konsep pengamatan citra ALOS AVNIR Citra Radar Pencitraan radar telah berkembang kemampuanya sebagai instrumen penginderaan jauh sejak tahun 1978, ketika satelit SEASAT SAR diluncurkan. SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan teknik yang handal dan praktis untuk mendapatkan resolusi spasial yang tinggi dan mempunyai kemampuan melakukan pencitraan baik siang maupun malam dan pada segala cuaca. SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan sebuah sistem radar yang mengindera secara menyamping dan dapat menghasilkan citra resolusi tinggi. SAR mengindera sepanjang jalurnya dan dapat mengakumulasi data dan melalui cara ini, sebuah jalur permukaan bumi di iluminasi baik secara parallel maupun searah dengan jalur terbangnya. Dari data signal yang terekam, selanjutnya diproses untuk menghasilkan citra radar. Jarak yang menyamping tersebut disebut dengan range. Sehingga dikenal near range (sapuan dekat) yaitu yang terdekat dengan nadir (titik di bawah sensor radar) dan far range (sapuan jauh) yaitu jarak terjauh dari sensor radar. Sedangkan yang searah jalur disebut dengan azimuth. SAR menggunakan proses signal dijital untuk memfokuskan sinar dan membuat resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dapat diperoleh oleh radar konvensional (Fakultas Kehutanan IPB 2011). Radar merupakan sistem perekaman data penginderaan jauh dengan menggunakan sensor satelit sistem aktif yang menggunakan tenaga elektromagnetik. Radar (Radio Detection and Ranging) merupakan sensor

22 22 yang dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran tenaga hingga kembali ke sensor serta mengukur dan mencatat intensitas tenaga balik (backscatter) pulsa radar. Intensitas atau kekuatan tenaga pantulan pada citra radar dipengaruhi sifat objek dan sifat sistem radarnya. Sifat objek citra radar dipengaruhi oleh lereng permukaan secara makro (topografi) menyebabkan perbedaan rona karena perbedaan arah menghadap ke sensor, kekasaran permukaan yang menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar, perbedaan complex dielectric constant (ukuran kemampuan objek atau benda untuk memantulkan atau meneruskan pulsa/tenaga radar) dari objek, dan arah objek berhubungan dengan sudut pengamatan antena terutama terhadap arah pantulan pulsa radar (Purwadhi 2001). Semua sistem penginderaan jauh pasti melewati atmosfer dengan jarak atau panjang jalur tertentu. Di dalam atmosfer ada hambatan yang berupa hamburan pada spektrum tampak, serapan pada spektrum inframerah. Hamburan merupakan penyebaran arah radiasi oleh partikel-partikel di atmosfer yang tidak dapat diperkirakan. Pada citra radar, reflektansi sangatlah bergantung pada tingkat kekasaran permukaan objek di citra, sifat sifat dielektrik serta slope local dari permukaan (Fakultas Kehutanan IPB 2011). Kekasaran atau bentuk umum objek-objek yang ada di permukaan bumi akan mempengaruhi bentuk pantulan pulsa radar. Secara umum Lillesand dan Kiefer (1990) membagi bentuk pantulan pulsa radar menjadi tiga, yaitu pantulan baur, pantulan sempurna dan pantulan sudut. Gambar 2 Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c).

23 23 Benda atau objek yang permukaanya kasar akan menghasilkan pantulan baur, yaitu pantulan yang arahya serba berbeda atau acak (Gambar 1a). Karena arah pantulan pulsa yang menyebar acak ke segala arah, pantulan gelombang ada yang kembali ke sensor dan ada pula yang menjauhi sensor. Warna yang dihasilkan dari objek yang mempunyai permukaan yang kasar adalah beberapa tingkat kecerahan tergantung besarnya tenaga pantulan yang kembali kearah sensor. Objek yang termasuk pemantul baur antara lain adalah lahan bervegetasi. Pantulan sempurna dihasilkan dari permukaan objek yang halus (Gambar 1b). Permukaan objek tersebut akan menjadi seperti cermin, sehingga membuat pantulan sempurna dengan sudut datang sama besar dengan sudut pantul. Arah gelombang pantulan akan menjauhi sensor sehingga tenaga gelombang yang diterima sensor sangat sedikit. Warna yang didapat dari objek akan berwarna gelap atau hitam. Objek-objek yang memantul secara sempurna antara lain permukaan air dan permukaan tanah yang diperkeas (Lillesand dan Kiefer 1990). Terdapat tiga macam hamburan yang terdapat di atmosfer, yaitu hamburan Rayleigh, hamburan Mie, dan hamburan non-selektif. Hamburan Rayleigh ini terjadi pada cuaca cerah yang menyebabkan langit berwarna biru. Hamburan ini merupakan penyebab utama timbulnya kabut tipis pada citra. Hamburan Mie terjadi akibat uap air dan debu di atmosfer dan sangat berpengaruh pada cuaca agak gelap. Hamburan non-selektif mengakibatkan panjang pada gelombang tampak cahaya biru, hijau, merah yang dihamburkan dalam jumlah yang sama dan menyebabkan awan dank abut tampak putih pada semua panjang gelombang (Purwadhi 2001). Permukaan bumi yang dikenai pancaran radar akan memberikan pancar balik (backscatter) yang antara lain bergantung pada sudut dari objek dengan arah pancarnya, atau biasa disebut sudut pandang lokal (local incident angle). Sudut ini bergantung pada slope bentang alam yang ada dalam wilayah yang sedang diindera. Sehingga besaran sudut ini akan menentukan besaran kecerahan (tone) dari pikselnya.

24 24 Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR dapat dikelompokan kedalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target objeknya. Dari sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu : a. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L dan P) Panjang gelombang sinar radar menentukan bentangan yang relatif dan/atau terpencar oleh atmosfer. Efek atmosferik yang parah pada sinyal radar terbatas pada yang bekerja dengan panjang gelombang lebih pendek. (Liliesand dan Kiefer 1990). Pemilihan panjang gelombang radar tergantung kebutuhan aplikasinya, pada dasarnya panjang gelombang yang digunakan harus sesuai dengan ukuran dari objek yang ingin dikenali. Untuk membedakan objek yang kecil, maka digunakan band X, untuk pemetaan geologi atau objek yang besar dapat digunakan band L, untuk penetrasi tumbuhan (foliage) lebih baik digunakan frekuensi rendah seperti band P. Pemilihan panjang gelombang juga tergantung sistem yang dikembangkan, antara lain : a. Frekuensi rendah : biasanya lebih sulit progessingnya, membutuhkan antena yang lebih besar dan lebih kuat, dan elektronik lebih sederhana. b. Frekuensi tinggi : biasanya membutuhkan tenaga lebih besar dan elektronik lebih rumit. b. Polarisasi (HH, HV, VV, VH) Polarisasi merupakan orientasi vektor listrik dari sebuah panjang gelombang elektromagnetik. Ketika gelombang radar berinteraksi dengan permukaan dan dipendarkan kembali, maka polarisasi dapat dimodifikasi, tergantung dari sifat-sifat permukaan tersebut. c. Sudut pandang dan orientasi Arah objek besar sekali pengaruhnya terhadap pantulan gelombang radar. Arah objek selalu dihubungkan dengan sudut pengamatan antena. Sudut yang terbentuk antara 30⁰-90⁰. Arah pengamatan citra radar akan berubah jika wahana rendah, karena perbedaan antara

25 25 kedua arah (arah objek dan arah pengamatan) akan semakin besar. Perbedaan yang paling besar dijumpai apabila sudut dari dua arah tersebut sebesar 15⁰ atau lebih kecil (Every dan Berlin 1985). Semakin kecil sudut dating pulsa radar, maka semakin besar hamburan baliknya dan sudut dating pulsa radar dapat diabaikan pada permukaan objek yang sangat kasar (Purwadhi 2001). d. Resolusinya Resolusi yang dimaksud dalam hal ini adalah resolusi menyilang dan resolusi azimuth. Pada resolusi menyilang, ukuran resolusi medan ditentukan oleh dua parameter yaitu panjang pulsa radar dan lebar sorot antena. Dengan demikian sistem radar dapat merekam secara terpisah dari dua kenampakan medan yang berdekatan satu sama lain pada arah yang menyilang. Semua bagian sinyal yang dipantulkan oleh dua objek dapat diterima oleh antena secara terpisah. Tiap tampalan waktu antara sinyal dari dua objek dapat diterima antena secara terpisah. Oleh karena itu, walaupun resolusi menyilang tidak dipengaruhi oleh jarak wahana, namun harus memperhitungkan efek dari sudut depresi antenanya (Purwadhi 2001). Sedangkan yang berasal dari sistem target, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR adalah : a. Kekasaran, ukuran dan orientasi objek termasuk di dalamnya biomassa. b. Konstanta dielekrik (antara lain dapat berupa kelembaban atau kandungan air). c. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal, Local incident angle) (Fakultas Kehutanan IPB 2011) ALOS PALSAR ALOS merupakan salah satu satelit yang memiliki sensor radar. ALOS merupakan pengembangan lebih lanjut dari satelit sebelumnya yaitu JERS dan dilengkapi oleh tiga macam sensor citra, yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi 2,5 meter, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), resolusi 10 meter

26 26 dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) resolusi 10 meter dan 100 meter. A. Resolusi Citra ALOS PALSAR Resolusi merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam objek. Empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi tinggi dalam citra PALSAR diperoleh melalui tiga cara (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu : a. Resolusi ke arah range dapat ditingkatkan dengan sistem beam yang lebih lebar dan pengulangan waktu yang lebih pendek. b. Resolusi ke arah azimuth dapat ditingkatkan dengan beam yang lebih sempit dan pengulangan waktu yang lebih panjang. c. Resolusi sebesar 10 m ke arah range dan 6, ke arah azimuth dapat diperoleh dengan PALSAR. d. Secara umum, target merupakan objek yang dihasilkan dari sejumlah scatter dan menyebabkan speckle. e. Sinyal yang diterima merupakan jarak antara target dengan radar. Siklus pengamatan ulang satelit ALOS yang membawa sensor PALSAR adalah 46 hari sekali. Spesifikasi data PALSAR terdiri dari beberapa level produk (Fakultas Kehutanan IPB 2011), antara lain : a. Level 1.0 : merupakan data mentah (uncompressed) dan data tambahan (orbit, attitude dll) b. Level 1.1 : yaitu data olahan slant range (compressed slant range) c. Level 1.5 : data citra amplitudo (geocode, georeference) d. Level TBD-1 : citra orthorectified ( slope correction, non slope) e. Level TBD-2 : Interferometrik-DEM f. Level TBD-3 : PALSAR mosaic (slope correction, non slope) Sensor PALSAR memiliki empat jenis polarisasi, yaitu HH, HV, VH dan VV. Polarisasi ini berguna untuk pembuatan band red, green, dan blue. Selain itu berfungsi juga sebagai interferometri dalam pembuatan DSM, aplikasi

27 27 tegakan pohon, dan lain-lain (Widjayanti dan Sutanta 2006). Citra yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Adapun karakteristik masing-masing tipe polarisasi tersebut antara lain : a. HH Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul hotizontal pada antenanya. b. HV Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya. c. VH Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul horizontal pada antenanya. d. VV Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya. (Aster-Indonesia 2010). 2.2 Penutupan Lahan Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (sitis), yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 dalam Hendayanti 2008). Secara nasional, peta penutupan lahan/penggunaan lahan tertua adalah peta penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1: Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (Fakultas Kehutanan IPB 2011). Prosedur klasifikasi citra secara dijital bertujuan untuk mengkategorikan semua piksel citra ke dalam kelas penutupan lahan secara otomatis. Digunakan bentuk klasifikasi pola spektral data untuk pengkategorian setiap piksel berbasis numerik. Pola spektral tersebut merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi spektral setiap piksel untuk pengenalan kelas-kelas

28 28 penutupan lahan secara otomatis. Bentuk klasifikasi lain yaitu klasifikasi pola spasial, meliputi kategorisasi piksel citra dengan basis hubungan spasial antar piksel tersebut (Purwadhi 2001). Klasifikasi spasial mencakup beberapa aspek atau dikenal dengan elemen interpretasi. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara dijital. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi secara dijital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra dijital berupa klasifikasi citra piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara dijital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap piksel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu (Purwadhi 2001). Karakteristik objek dalam interpretasi citra secara manual dapat dikenali berdasarkan 7 unsur interpretasi (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu : a. Tone dan Warna Tone (derajat keabu-abuan / grayscale) dan warna adalah elemen dasar dari sebuah objek. Variasi tone/ warna sangat bergantung pada karakteristik dari setiap objek, karena warna merupakan hasil reflektansi, transmisi dan atau radiasi panjang gelombang yang dihasilkan dari objek yang bersangkutan. Tone atau warna sangat bergantung pada panjang gelombang atau band yang digunakan saat perekaman. Tingkat kecerahan dari objek sangat bergantung pada sifat dasar dari objek yang bersangkutan. Tone pada citra radar dapat didefinisikan sebagai intensitas rata-rata dari sinyal backscatter. Backscatter yang tinggi akan menghasilkan kecerahan yang tinggi (tone terang), sebaliknya backscatter yang rendah akan menghasilkan tingkat kecerahan yang rendah (tone gelap).

29 29 b. Tekstur Dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu objek atau sekumpulan objek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi (belangbelang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relative kecil. c. Bentuk Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk polygon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentukbentuk alam. Pada citra radar, bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak slant dari radar. d. Ukuran Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam. e. Pola Pola yang digunakan pada interpretasi visual umumnya mengacu pada tata ruang atau tata letak objek dalam suatu ruang. Pola merupakan susunan spasial suatu objek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda. f. Bayangan Pada citra radar, bayangan topografi adalah bagian yang tidak ada informasi backscatter. Bayangan itu juga berguna untuk meningkatkan atau mengidentifikasi topografi dan bentang alam, khususnya dalam citra radar. Bayangan pada radar sangat terkait dengan sudut miring dari radiasi

30 30 gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari. g. Site dan Asosiasi Site atau tapak atau lokasi menunjukan kekhasan tempat objek tersebut berada. Sedangkan elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara objek yang satu dengan objek lainnya. Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang mnjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakter istik dari setiap materi tersebut diantaranya : a. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih/bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 µm (Prahasta 2008). b. Turbid water (air keruh), kemungknan besar, mengandung endapan atau sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan) yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya lebih baik dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke arah gelombang yang lebih panjang. Ada kalanya fakta (fenomena) pada air keruh tidak jauh berbeda dengan kondisi pada perairan dangkal (shallow water) yang bersih. Pada kasus ini, keberadaan klorofil alga (jika banyak terdapat di dalam perairan yang bersangkutan) lebih banyak menyerap radiasi gelombang pada domain biru dan memantulkan yang hijau. Oleh karena itu kehadiran alga dalam shallow water akan menyebabkan perairan yang bersangkutan berwarna kehijauan (kadang juga berwarna biru-hijau atau cyan)

31 31 c. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Oleh karena itu, wilayah perairan sering juga Nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek tadi. Walaupun demikian, tubuh air akan Nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau near-infrared. d. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), Kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990). e. Vegetasi memiliki spectral signature yang unik dan memungkinkan untuk membedakan tipe-tipe penutupan lahan pada iage near-infrared. Pantulanya akan bernilai rendah pada spektrum biru dan merah. Hal ini terjadi karena terjadi penyerapan klorofil untuk proses fotosintesis (Prahasta 2008). Vegetasi memiliki pantulan puncak pada spektrum hijau. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen daun pada tumbuhan. Klorofil misalnya, banyak menyerap energi pada panjang gelombang yang terpusat antara 0,45 µm 0,65 µm. Apabila terjadi gangguan pada tumbuhan dan mengakibatkan penurunan produksi klorofil, maka serapan klorofil pada spektrum merah dan biru akan berkurang. Hal ini akan mengakibatkan warna untuk tumbuhan tersebut menjadi

32 32 kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah). Setelah panjang gelombang 1,3 µm, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µm dan 2,7 µm karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya. Sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990) Penggunaan Citra Landsat untuk Identifikasi Tutupan Lahan Penelitian yang pernah dilakukan mengenai identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan citra optik baru dilakukan dengan menggunakan citra landsat resolusi 30 m, sedangkan untuk citra ALOS AVNIR-2, identifikasi tutupan lahan belum pernah dilakukan. Klasifikasi penutupan lahan di Indonesia dilakukan oleh berbagai instansi, dengan pendekatan dan ketelitian yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan tipe penutupan lahan/penggunaan lahan yang berbeda-beda. Penelitian tersebut diantaranya yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Penutupan lahan dibagi menjadi 15 tipe penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra landsat di peroleh 29 tutupan lahan dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering). Lembaga lain yang melakukan klasifikasi penutupan lahan adalah Kementrian Lingkungan Hidup yang dibuat pada tahun 2005 berdasarkan citra Landsat (Tabel 2) (Fakultas Kehutanan IPB 2011).

33 33 Tabel 2. Perbandingan klasifikasi penutupan lahan Klasifikasi Badan Planologi Departemen Kehutanan (2001) Hutan Lahan Kering primer dataran rendah Hutan Lahan Kering primer pegunungan rendah Hutan Lahan Kering primer pegunungan tinggi Hutan Lahan Kering primer sub- alpine Hutan Lahan Kering sekunder dataran rendah Hutan Lahan Kering sekunder pegunungan rendah Hutan Lahan Kering pegunungan sub-alpine Hutan Lahan Kering sekunder sub-alpine Hutan Rawa primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Mangrove primer Hutan Mangrove sekunder Semak/belukar Semak/belukar rawa Savana HTI Perkebunan Pertanian Lahan Kering Bercampur dengan semak Transmigrasi Sawah Tambak Tanah Terbuka Pertambangan Salju Permukiman Tubuh Air Rawa Awan Sumber : Fakultas Kehutanan IPB Klasifikasi Badan Pertanahan Nasional (1969) Hutan Lahan Kering Tadah Hujan Ladang Berpindah Padang Penggembalaan Rawa Semak Belukar Padi Perkebunan Perumahan, ladang dan padi Permukiman Desa Permukiman Perkotaan Kolam/Tambak Lapangan Udara Badan Air Klasifikasi KLH (2005) Hutan Mangrove Hutan Lahan Kering Hutan Rawa Hutan Tanaman Pertanian Lahan Kering Padang Rumput Semak belukar Sawah Perkebunan (Teh, Kelapa Sawit, Karet, dan lain-lain) Kebun Campuran Permukiman Lahan Kosong Tubuh Air Selanjutnya Riswandi pada tahun 2004 melakukan penelitian terhadap analisis penutupan lahan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun rekaman

34 studi kasus di Kota Pekanbaru, menghasilkan 7 kelas tutupan lahan, yaitu hutan, perkebunan, permukiman, semak, rumput, lahan terbuka dan tubuh air. Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan pun dilakukan oleh Priyatna (2007) di Kabupaten Bogor menggunakan citra LANDSAT TM Multiwaktu. Interpretasi visual citra dapat mengidentifikasi sebanyak 13 kelas tutupan lahan dengan menggunakan kombinasi band Tutupan lahan yang dimaksud adalah badan air, sawah, tanah kosong, padang rumput, permukiman, semak, kebun campuran, kebun karet, kebun teh, tegakan pinus, hutan daun lebar, awan dan bayangan awan. Wasit (2010) dalam penelitiannya menggunakan citra LANDSAT mampu mengidentifikasi sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan, yaitu hutan rakyat, hutan sekunder, kebun campuran, lahan terbuka (galian c), permukiman penduduk, semak belukar, lahan sawah, tegalan, tubuh air (sungai) dan jalan Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap citra ALOS sejak diluncukan pada tahun Khususnya pada citra ALOS PALSAR, terdapat beberapa penelitian penutupan lahan yang telah dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Riswanto (2009) dengan menggunakan citra komposit, yaitu HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat. Selanjutnya Bainnaura (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, bandara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar dan tanah terbuka. Di Yogyakarta, penelitian penutupan lahan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) dilakukan oleh Puminda (2010) dan mampu mengklasifikasikan obyek dalam 8 (delapan)

35 35 kelas, yaitu badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah dan kebun kelapa. Salman (2011) berhasil mengklasifikasikan 11 kelas tutupan lahan yang dilakukan di Provinsi Bali dengan citra, komposit dan resolusi yang sama. Kesebelas tutupan lahan tersebut, yaitu badan air, bandara, hutan lahan kering, hutan mangrove, kebun campuran, lahan terbuka, padang rumput, permukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak. Penelitian mengenai penutupan lahan dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan komposit HH-HV-HH/HV terakhir dilakukan oleh Nurhadiatin (2011) di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas, dan Ciamis. Nurhadiatin mampu mengklasifikasi 9 kelas tutupan lahan diantaranya badan air, hutan tanaman sedang-tua, hutan tanaman muda, kebun campuran, perkebunan karet sedang-tua, perkebunan karet muda, permukiman, sawah diolah/digenangi air, dan sawah bervegetasi.

36 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan Mei Observasi lapangan dilaksanakan pada tanggal November 2011 dengan cakupan citra seluas 40 km x 40 km yang meliputi Kabupaten Blora, Tuban, Rembang dan Bojonegoro. Selanjutnya pengolahan data dan analisis data dilakukan dari bulan Januari Mei 2011 di Laboraturium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat Dan Data Alat Alat-alat yang digunakan yaitu: GPS, kompas, alat tulis, tally sheet, Suunto, kamera digital sebagai peralatan di lapangan. Untuk analisis data, digunakan satu unit peralatan komputer dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.2, Minitab 15, Microsoft Excel 2003, dan Microsoft Word Data Data yang digunakan dalam penelitian yaitu: Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah dilakukan orthorektifikasi dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun perekaman 2009, Peta Kelas Umur KPH Kebonharjo, Peta Rupa Bumi Indonesia daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur skala 1:25000 tahun 2009, dan Peta Administrasi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Peta lokasi penelitian dijelaskan dalam Gambar 3.

37 37 Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 22

38 Tahapan Penelitian Pra Pengolahan Citra Pengubahan Resolusi Citra ALOS AVNIR 2 Resolusi 10 m Menjadi 50 m Pada penelitian ini resolusi citra ALOS AVNIR-2 resolusi 10 m ditransformasi ke resolusi 50 m menggunakan software Erdas Imagine 9.1 dengan metode nearest neighborhood. Pengubahan resolusi ini bertujuan untuk mendapatkan resolusi yang sama dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m, sehingga dapat diperoleh hasil perbandingan yang setara Koreksi Geometri Citra Koreksi geometri merupakan proses transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometri (Jaya 2009). Salah satu tujuan dilakukannya koreksi geometri adalah untuk melakukan retifikasi (pembetulan) agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi (Purwadhi 2001). Pada penelitian ini proses koreksi geometri dilakukan pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Koreksi geometri melalui pembuatan ground control point (GCP) yang dilakukan dengan mencocokkan koordinat citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang koordinat geografisnya telah terkoreksi Mozaik Citra Mozaik citra merupakan proses menggabungkan beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Dalam penelitian ini mozaik citra dilakukan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Tujuan dari kegiatan mosaik adalah menghasilkan citra gabungan yang mempunyai kualitas kekontrasan yang baik sehingga citra hasil (output) tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2009). Data asli citra ALOS PALSAR resolusi 50 m daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur terdiri dari 2 scene citra. Data tersebut kemudian di mozaik menjadi satu scene untuk memudahkan proses pengolahan dan analisis citra.

39 Pemotongan Citra Setelah dilakukan mozaik diperoleh Citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2 dengan luasan se Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya dilakukan pemotongan kedua citra tersebut sesuai dengan lokasi penelitian yaitu Kabupaten Rembang, Tuban, Blora, dan Bojonegoro seluas 40 km x 40 km Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra Identifikasi awal citra ALOS PALSAR skala 1: dilakukan dengan bantuan citra ALOS AVNIR-2 skala 1: (Gambar 4). Hal ini karena pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB menunjukkan kenampakan yang hampir sama dengan kenampakan objek sesungguhnya di permukaan bumi. Proses ini dilakukan untuk memudahkan klasifikasi tutupan lahan secara visual menggunakan elemen-elemen interpretasi. Gambar 4 Peta identifikasi awal tutupan lahan Pembuatan Titik Lokasi Pengamatan Lokasi titik pengamatan ditentukan dengan metode systematic sampling with random start. Dimana peletakan titik dalam areal dilakukan dengan

40 40 sampling sistematik yang dimulai secara acak. Pengambilan titik pengamatan ini menggunakan ekstensi IHMB-Jaya versi 6 pada Arc View 3.2. Selanjutnya dilakukan buffering jalan selebar 500 m. Titik-titik yang telah diperoleh tadi kemudian dipilih secara purposive dengan intensitas sampling sebesar 5%. Jumlah titik pengamatan pada masing-masing tutupan lahan disesuaikan dengan luas masing-masing tutupan lahan (Gambar 5). Gambar 5 Peta titik awal pengamatan Pengambilan Data Lapangan Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan dua metode, yaitu pengambilan titik dan pembuatan plot. Pengambilan titik digunakan pada objek-objek yang telah ditentukan sesuai dengan identifikasi awal tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Tujuan dari pengambilan data lapangan ialah mencocokkan tutupan lahan yang telah diidentifikasi sebelum ke lapangan dengan keadaan kenampakan tutupan lahan sesungguhnya di lapangan. Dalam penelitian ini pembuatan plot dilakukan pada kelas tegakan hutan tanaman jati di kawasan hutan milik Perhutani KPH Kebonharjo (Gambar 6).

41 41 Tujuannya yaitu untuk mengetahui pengaruh kerapatan dan diameter area yang didominasi tegakan pada satelit radar dan optik terhadap nilai digital tiap piksel citra serta pengaruhnya terhadap kenampakan visual citra. Gambar 6 Peta sebaran plot di hutan tanaman jati Analisis Hasil Pengamatan Lapangan Setelah dilakukan pengambilan data lapangan, maka selanjutnya dilakukan analisis hasil pengamatan. Adapun analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis identifikasi objek di lapangan, analisis diskriminan, analisis visual citra ALOS PALSAR skala 1: dan citra ALOS AVNIR-2 skala 1:50.000, analisis separabilitas dan analisis uji akurasi. Analisis visual dilakukan berdasarkan elemen-elemen interpretasi. Hubungannya terhadap karakteristik visual citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2. Analisis diskriminan adalah salah satu metode interpretasi digital yang merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Informasi spektral tersebut diperoleh dari nilai digital setiap pixel yang terdapat dalam citra. Tiap piksel menggambarkan bagian wilayah permukaan bumi dengan nilai intensitas dalam bentuk 2 dimensi. Nilai piksel biasa disebut intensitas citra (image intensity) atau derajat keabuan (grey level). Masingmasing derajat keabuan dihubungkan ke suatu spektrum band (nilai spectral). Derajat keabuan (rona) dari suatu citra merupakan salah satu elemen yang

42 42 secara visual dapat menginterpretasikan suatu objek dengan mudah. Dalam hal ini nilai digital dari setiap piksel merupakan suatu variable prediktor yang digunakan pada metode analisis diskriminan kelas tutupan lahan. Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan objek-objek pada tiap tutupan lahan yang memiliki persamaan karakteristik ciri fisik di lapangan dan kemiripan nilai digital tiap tutupan lahan pada band komposit HH dan HV untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan nilai digital tiap tutupan lahan pada band 3, band 4, dan band 2 pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Proses analisis diskriminan dilakukan hingga objek-objek yang ada tidak dapat dikelompokkan kembali. Proses pengklasifikasian tidak dapat dilakukan hanya dengan membandingkan nilai digitalnya saja melalui analisis diskriminan. Namun perlu juga dilakukan analisis visual yang dapat meningkatkan keakuratan klasifikasi tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR dan ALOS AVNIR-2 melalui analisis visual citra menggunakan elemen interpretasi. Setelah diperoleh klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan hasil analisis visual citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2 selanjutnya dilakukan analisis keterpisahan tiap kelas tutupan lahan menggunakan analisis separabilitas. Analisis separabilitas merupakan analisis yang di lakukan dari hasil pernyataan kuantitatif/statistik antara pola spektral tiap jenis tutupan lahan yang tampak secara visual pada citra satelit dan dihitung dalam suatu bentuk matrik yang biasa disebut matrik divergensi. Hasil analisis separabilitas diukur berdasarkan beberapa kriteria yang dikelompokkan ke dalam lima kelas dimana setiap kelasnya mendeskripsikan kuantitas keterpisahan tiap tutupan lahan. Kelima kelas yang diklasifikasikan menurut Kobayasi (1995) dan Jensen (1986) yang diacu dalam Jaya (2009) tersebut yaitu : 1. Tidak terpisah : < Kurang Keterpisahannya : 1600-< Cukup keterpisahannya : 1800-< Baik Keterpisahannya : 1900-< Sangat baik keterpisahannya : 2000

43 43 Pada penelitian ini untuk mengetahui keakuratan klasifikasi tutupan lahan dari hasil interpretasi citra dilakukan uji akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi merupakan akurasi sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matrik ini juga sering disebut dengan error matriks atau confusion matriks. Kumar (2003) menjelaskan bahwa matriks kontingensi menjelaskan seberapa baik perwakilan piksel sebuah citra yang digunakan dalam proses pengambilan area contoh terhadap kondisi sebenarnya dalam klasifikasi terbimbing. Akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi kappa. Akurasi kappa dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : dimana: X ii X i+ X +1 N = nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i = jumlah piksel dalam baris ke-i = banyaknya titik contoh Tabel 3 Skema perhitungan akurasi Jumlah Akurasi Interpretasi Hasil Verifikasi Lapangan Piksel Pengguna Awal A B C Total Piksel A X 11 X 12 X 13 X 1+ X 11/X1+ B X 21 X 22 X 23 X 2+ X 22/X2+ C X 31 X 32 X 33 X 3+ X 33/X3+ Total Piksel X +1 X +2 X +3 N Akurasi Pembuat X 11/X+1 X 12/X+2 X 13/X+3 Sumber : Jaya 2009

44 44 Dalam matriks kontingensi ini, dapat pula diperoleh besarnya akurasi pembuat (Producer s accuracy/pa) dan akurasi penggunanya (user accuracy/ua). Menurut Congalton dan Green (1999) yang diacu dalam Rany (2010) producer s accuracy dan user accuracy adalah dua penduga dari akurasi umum (overall accuracy) dimana producer s accuracy merupakan peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dalam kelas hasil. Ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas yang lain. User s accuracy merupakan peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan. Dengan kata lain ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan klasifikasi berupa jumlah piksel pada suatu kelas yang diakibatkan oleh masuknya piksel dari kelas lain. Secara matematis User Accuracy dan Produsser Accuracy ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut: Sumber : Jaya 2009

45 45 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian terletak diempat kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keempat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang di Provinsi Jawa Tengah. Adapun kondisi umum lokasi tersebut berdasarkan letak geografis, topografi, iklim, tanah, demografi, dan tutupan lahannya adalah sebagai berikut : 4.1 Letak Geografi Lokasi penelitian ini terletak pada 6,03⁰ 7,06⁰ Lintang Selatan dan 111,30⁰-112,35⁰ Bujur Timur. Batas wilayah masing-masing kabupaten tempat penelitian dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4 Batas wilayah lokasi penelitian. No KABUPATEN SEBELAH UTARA SEBELAH TIMUR BATAS WILAYAH SEBELAH SELATAN SEBELAH BARAT 1. Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Tuban Kabupaten Lamongan Kabupaten Madiun, Nganjuk dan Jombang Kabupaten Ngawi dan Blora (Jawa Tengah) 2. Kabupaten Tuban Laut Jawa Kabupaten Lamongan Kabupaten Bojonegoro Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora. 3. Kabupaten Rembang Laut Jawa Kabupaten Tuban Propinsi Jawa Timur Kabupaten Blora Kabupaten Pati 4. Kabupaten Blora Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur Kabupaten Grobogan Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka 2009

46 Topografi Lokasi penelitian memiliki kondisi topografi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kondisi topografi lokasi penelitian dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5 Kondisi topografi lokasi penelitian. No KABUPATEN TOPOGRAFI 1. Kabupaten Bojonegoro 2. Kabupaten Tuban 3. Kabupaten Rembang 4. Kabupaten Blora Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka Iklim Didominasi keadaan tanah yang berbukit Terletak pada ketinggian 25 m dpl sampai dengan 500 m dpl (pusat kota terletak pada ketinggian 15 m dpl) Kemiringan rata-rata < 2% Terletak pada deretan pegunungan kapur dengan ketinggian 0 m dpl (pada jalur Pantura) sampai dengan 100 m dpl (pada Kecamatan Grabagan) Kemiringan pada bagian Barat yaitu 0 sampai dengan 2%, kemiringan pada bagian Selatan yaitu > 15% Terletak pada ketinggian 25 sampai dengan 100 m dpl Kemiringan 0 sampai dengan 2% seluas Ha, kemiringan 2 sampai dengan 15% seluas Ha, kemiringan 15 sampai dengan 40% seluas Ha, dan kemiringan > 40% seluas 4.63 Ha Terdiri atas dataran rendah dan perbukitan kapur Didominasi permukaan yang datar, berombak, bergelombang, dan berbukit Terletak pada ketinggian 20 sampai dengan 280 m dpl Iklim yang terdapat di masing-masing tempat penelitian memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan iklim tersebut mengakibatkan perbedaan kondisi tutupan lahan pada tiap lokasi terutama pada tutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi. Keadaan iklim pada masing-masing lokasi penelitian dijelaskan oleh Tabel 6.

47 47 Tabel 6 Kondisi iklim lokasi penelitian. No KABUPATEN IKLIM 1. Kabupaten Bojonegoro 2. Kabupaten Tuban 3. Kabupaten Rembang 4. Kabupaten Blora Termasuk ke dalam tipe iklim D (iklim sedang dengan vegetasi hutan musim) berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schimdt dan Fergusson Rata-rata curah hujan tahunan 1753,5 mm/th dan rata-rata curah hujan bulanan antara 5,5 s/d 289,8 mm Suhu udara rata-ratanya 27,2⁰C dengan suhu rata-rata maksimum 28,5⁰C dan suhu rata-rata minimum 23,8⁰C Termasuk ke dalam tipe iklim F (iklim tropis kering) berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schimdt dan Fergusson Suhu udaranya antara 25⁰C sampai dengan 27,5⁰C Curah hujan rata-ratanya 3376 mm/th dengan jumlah hujan rataratanya 175/th Termasuk iklim tropis Suhu udara rata-ratanya 23⁰C dengan suhu udara maksimum 33⁰C Bulan basahnya 4 sampai dengan 5 bulan, sedangkan selebihnya termasuk kategori bulan sedang sampai kering Terdapat hujan selama 1 tahun yang tidak menentu yang mengakibatkan sering terjadi kekeringan di Kabupaten ini Termasuk ke dalam zona C3 dan D3 berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman yang dicirikan dengan bulan keing 4 sampai dengan 6 bulan dan bulan basah 4 sampai dengan 5 bulan Suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 26,5⁰C sampai dengan 28,4⁰C dan suhu udara rata-rata tahunan sebesar 27,5⁰C Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka Tanah Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Rembang dan Blora memiliki jenis tanah yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut berpengaruh pada jenis tutupan lahan yang dimiliki masing-masing wilayah tersebut. Perbedaan jenis tanah pada lokasi penelitian dijelaskan pada Tabel 7.

48 48 Tabel 7 Kondisi tanah lokasi penelitian. No KABUPATEN JENIS TANAH 1. Kabupaten Bojonegoro 2. Kabupaten Tuban 3. Kabupaten Rembang 4. Kabupaten Blora Pada umumnya berupa tanah Grumusol yang berasal dari batu kapur dan memiliki tingkat kesuburan yang tinggi Selain tanah Grumusol Kabupaten Bojonegoro juga terdiri dari jenis tanah Alluvial (biasa terdapat di daerah lembah atau di sekitar aliran sungai), tanah Litosol, dan tanah Medeteran Memiliki 3 jenis tanah yaitu tanah Mediteran Merah Kuning, tanah Aluvial, dan tanah Grumusol Tanah Mediteran Merah Kuning berasal dari endapan batu kapur di daerah bukit. Tanah Aluvial berasal dari endapan daerah daratan dan cekungan Tanah Grumusol berasal dari endapan batuan di daerah yag bergelombang Jenis tanah di Kabupaten Rembang yaitu tanah Aluvial, tanah Regosol, tanah Andosol dan tanah Grumusol. Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Rembang menyebabkan daerah tersebut memiliki daerah pertanian yang cukup berpotensi Terdiri dari tanah Aluvial, Karst dan Tektonik/struktural yang digunakan sebagai sawah irigasi 2x setahun, sawah tadah hujan, tegalan, semak belukar, dan hutan jati. Dengan jenis tanah tersebut, kabupaten Blora membagi sistem pertaniannya menjadi 5, yaitu sistem pertanian lahan basah (dengan jenis komoditas padi sawah, jagung, kedelai, dan tembakau), sistem pertanian lahan kering untuk tanaman pangan, holtikultura, dan perkebunan ( dengan jenis komoditas jagung, kacang tanah atau cabai, pisang, mangga, durian, jeruk, dan kelapa), sistem pertanian lahan basah pada kelerengan 8-15% (jenis komoditas padi sawah), dan sistem pertanian lahan kering tanaman holtikultura (pisang, mangga, dan durian) Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka 2009

49 Demografi Perbedaan kondisi tutupan lahan pada lokasi penelitian salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan kondisi demografinya. Hal ini terjadi karena adanya faktor kebiasaan, mata pencaharian, dan kepadatan penduduk setempat yang berbeda antara lokasi satu dengan lainnya (Tabel 8). Tabel 8 Kondisi demografi lokasi penelitian. No KABUPATEN IKLIM 1. Kabupaten Bojonegoro 2. Kabupaten Tuban 3. Kabupaten Rembang 4. Kabupaten Blora Terdiri dari 27 kecamatan, 11 kelurahan, dan 419 desa Memiliki luas wilayah Ha dan memiliki jiwa dengan kepala keluarga Mata pencaharian penduduknya yaitu ladang, sawah (penduduk di sekitar hutan), pegawai, karyawan, pedagang, tukang, dan pengrajin Penduduknya memiliki pendidikan yang bervariasi mulai dari SD sampai perguruan tinggi Terdiri dari 19 kecamatan dan 328 desa/kelurahan Memiliki jumlah penduduk sebanyak orang dengan penduduk perempuan sebanyak orang dan penduduk laki-laki sebanyak orang. Terdiri dari 14 kecamatan, 287 desa, dan 7 kelurahan dengan luas daerah Ha Jumlah penduduk sebanyak orang dengan penduduk wanita sebanyak orang dan penduduk laki-laki sebanyak orang Mata pencaharian penduduk Kabupaten Rembang yaitu nelayan (dengan hasil laut berupa ikan, kerang, dan cumi) dan petani (dengan potensi sumber pangan berupa beras, singkong, dan jagung) Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka 2009 Terdiri dari 16 kecamatan, 271 desa dan 24 kelurahan Jumlah penduduk Kabupaten Blora yaitu orang. Kepadatan penduduknya yaitu 458 jiwa/km² Merupakan daerah tambang minyak bumi, penghasil kayu jati berkualitas tinggi di Pulau Jawa, dan pertanian

50 Tutupan Lahan Informasi mengenai kondisi tutupan lahan pada lokasi penelitian ditunjukkan dalam Tabel 9. Tabel 9 Luas tutupan lahan di lokasi penelitian. Luas Kawasan (Ha) No Kabupaten Hutan Permukiman Kebun campuran Sawah Penggunaan lain 1 Bojonegoro , , , ,21 416,025 2 Rembang 2.497, , Tuban 448,16 205, , , ,72 4 Blora , , , , ,33 Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009, Jawa Timur dalam angka 2009

51 51 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Identifikasi objek di lapangan merupakan proses peninjauan langsung di lokasi penelitian terhadap hasil interpretasi objek yang sebelumnya dilakukan dengan citra satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m. Pengamatan dilakukan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu pengamatan juga dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro. Jumlah penutupan lahan yang diperoleh di lapangan adalah sebanyak 24 jenis tutupan lahan dari 135 titik pengamatan (Gambar 7). Tutupan lahan tersebut diantaranya badan air, bekas tebangan, hutan tanaman jati (9 kelas umur), tebu, pertanian lahan kering, mangga, jambu mete, kebun campuran, permukiman, sawah (yang terdiri dari sawah fase awal tanam, sawah fase vegetatif, sawah fase generatif, singkong, jagung, dan kacang), dan tambang kapur. Gambar 7 Peta sebaran titik hasil pengamatan lapang.

52 Badan Air Jenis tutupan lahan badan air yang ditemukan di lokasi penelitian adalah sungai Bengawan Solo yang berlokasi di Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Cepu (Gambar 8a) sebanyak satu titik dan danau yang berlokasi di Desa Lodan Wetan, Kabupaten Rembang (Gambar 8b dan 8c) sebanyak satu titik. a b c Gambar 8 Kenampakan tutupan lahan badan air, sungai Bengawan Solo(a); danau (b) di lapangan Hutan Tanaman Jati Pengamatan pada tutupan lahan hutan tanaman jati dilakukan di kawasan KPH Kebonharjo tepatnya pada BKPH Ngandang, BKPH Sale dan BKPH Tuder. Pengambilan data untuk kelas tutupan lahan hutan tanaman jati, dilakukan dengan metode plot. Dari hasil pengamatan diketiga BKPH tersebut diperoleh 57 plot dan 662 sampel pohon untuk hutan tanaman jati KU I s/d KU VIII serta 2 titik tanaman trubusan jenis jati (Gambar 9). Trubusan (the coppice system) merupakan system silvikultur yang menggunakan terubusan (tunas) dari tunggak-tunggak pohon yang telah ditebang sebagai permudaan untuk membangun hutan pada rotasi selanjutnya (Mansur 2008). Lokasi titik kelas tutupan lahan hutan tanaman jati terletak di BKPH Ngandang, Desa Sarang, Kabupaten Rembang. Kawasan ini merupakan kawasan tidak produktif yang ada di KPH Kebonharjo yang berupa tanah kosong dengan ditumbuhi semak-semak dan tumbuh pada kelerengan 66%.

53 53 Trubusan KU I KU II KU III KU IV KU V Perbedaan antar kelas umur hutan tanaman jati di KPH Kebonharjo adalah sepuluh tahun. Sebaran diameter tiap kelas umur berdasarkan hasil pengamatan lapangan ditunjukkan dalam Tabel 10. Tabel 10 Nilai diameter pohon jati (cm) pada setiap kelas umur. Kelas Umur KU VI KU VII KU VIII Gambar 9 Kenampakan tutupan lahan hutan tanaman jati tiap kelas umur di lapangan. Jumlah Plot Jumlah Pohon Tiap Plot Diameter Pohon (cm) I ,8 13,5 II ,4 III ,6 34,3 IV ,2 45,8 V ,5 VI ,1-68 VII ,5-90 VIII ,8-78

54 Tebu Pengamatan tutupan lahan tebu yang terdapat di daerah Pamotan dan Rembang adalah sebanyak 2 titik pengamatan (Gambar 10). Tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang cocok tumbuh di daerah dengan ketinggian 1 sampai 1300 mdpl. Selain itu, tebu tumbuh baik pada jenis tanah lempung berkapur atau berpasir, kondisi tersebut sesuai dengan kondisi fisiografis Kabupaten Rembang. Tanaman ini merupakan tanaman perkebunan yang telah lama dibudidayakan di Kabupaten Rembang. Gambar 10 Kenampakan tutupan lahan tebu di lapangan. Berdasarkan data Statistik Perkebunan Indonesia Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan produksi tebu Kabupaten Rembang pada tahun 2008 sebesar ton yang terdapat di areal seluas Ha. Areal tebu di Kabupaten rembang tersebar di 12 Kecamatan dengan sentra produksi di Kecamatan Pamotan, Sulang, Sumber, dan Pancur Permukiman Definisi kelas tutupan lahan permukiman adalah kawasan yang di dominasi lingkungan hunian baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang memperlihatkan pola alur yang teratur dengan penataan lahan dan ruang, sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur. Pada penelitian ini tutupan lahan permukiman merupakan permukiman desa dimana kenampakan vegetasinya masih banyak terlihat. Jumlah titik pengamatan tutupan lahan permukiman yang diamati di lapangan sebanyak 15 titik. Pada lokasi pengamatan, tutupan lahan permukiman memiliki tatanan yang unik. Hal ini terlihat dari pola permukiman penduduk yang berada dekat lahan sawah atau kebun kampuran. Tatanan permukiman yang kurang teratur dan mengelompok ini mengakibatkan

55 55 kenampakan visual tutupan lahan permukiman dalam citra menyatu dengan tutupan lahan sawah dan atau menyatu dengan tutupan lahan kebun campuran (Gambar 11). Gambar 11 Kenampakan tutupan lahan permukiman di lapangan. Secara demografis tutupan lahan permukiman di 5 lokasi penelitian cukup luas misalnya di Kabupaten Bojonegoro, luas permukiman nya sebesar 0,18% dari luas keseluruhan ( Ha), Kabupaten Tuban memiliki luasan permukiman sebesar 8,59% ( Ha) dari luas keseluruhan ( Ha), dan Kabupaten Rembang luas permukimannya sebesar 7,73% (8.382 Ha) dari luas keseluruhan ( Ha) Sawah Sebanyak 15 titik pengamatan kelas tutupan lahan sawah diperoleh di Lokasi penelitian. Sistem pertanian kelas tutupan lahan sawah yang digunakan di lokasi penelitian adalah sistem pertanian bergilir dimana saat musim bera datang masyarakat menanami lahan sawah mereka dengan tanaman pertanian lainnya (singkong, jagung, dan kacang), selanjutnya saat musim tanam datang masyarakat menanami lahan sawah mereka dengan tanaman padi. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat 6 tanaman singkong (Gambar 12a), 2 titik tanaman kacang (Gambar 12b), dan 6 titik tanaman jagung (Gambar 12c) yang ditanam di lahan sawah. a b c Gambar 12 Kenampakan tutupan lahan singkong (a); kacang (b); jagung (c) di lapangan.

56 56 Kelas tutupan lahan sawah memiliki kenampakan yang berbeda-beda satu sama lain pada lokasi penelitian. Perbedaan kenampakan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 tipe tutupan lahan, yaitu sawah vegetatif (Gambar 13a), sawah generatif (Gambar 13b), dan sawah fase awal tanam (Gambar 13c). Sawah fase awal tanam merupakan keadaan sawah yang masih didominasi oleh air yang baru akan ditanami bibit padi. Sawah vegetatif merupakan fase pertumbuhan daun padi maksimum dan terjadinya penurunan kadar air pada tanaman padi. Sawah generatif adalah keadaan dimana padi mengalami penurunan pertumbuhan daun padi dan penurunan ketinggian kadar air atau dapat disebut pula fase pertumbuhan bulir padi maksimum. a Keterangan : a : Sawah fase vegetatif b : Sawah fase generatif c : Sawah fase awal tanam b c Gambar 13 Kenampakan tutupan lahan sawah di lapangan Pertanian Lahan Kering Pertanian lahan kering memiliki definisi yaitu semua aktivitas pertanian di lahan kering yang tidak membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk bercocok tanam. Jenis tanaman yang terdapat dalam kelas tutupan lahan ini merupakan tanaman setahun seperti tegalan, sayuran dan ladang. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, ditemukan 11 titik kelas tutupan lahan pertanian lahan kering. Titik pengamatan tersebut terdapat di Kabupaten Tuban, Rembang dan Bojonegoro. Kenampakan di lapangan untuk kelas tutupan lahan pertanian lahan kering ditunjukkan dalam Gambar 14.

57 57 Gambar 14 Kenampakan objek kelas tutupan lahan PLK Tambang Kapur Pengamatan pada kelas tutupan lahan tambang kapur dilakukan sebanyak 4 titik di 3 Kecamatan di Kabupaten Rembang, yaitu Kecamatan Gunem, Kecamatan Sale, dan Kecamatan Pamotan (Gambar 15). Luas lahan penambangan di lokasi tersebut yaitu Ha dan 100 Ha dengan hasil produksi berupa semen mencapai 2,5 juta ton/tahun. Gambar 15 Kenampakan di lapangan tutupan lahan tambang kapur Lahan Terbuka Lahan terbuka memiliki definisi seluruh kenampakan lahan tanpa atau sedikit vegetasi/terbuka termasuk diantaranya lahan terbuka untuk persiapan/ pembukaan lahan. Hasil identifikasi objek di lapangan untuk kelas tutupan lahan terbuka berlokasi di KPH Kebonharjo, Kabupaten Rembang sebanyak 7 titik pengamatan (Gambar 16). Tujuh titik tutupan lahan tersebut sebagian besar berupa lahan persiapan pembukaan lahan dan lahan yang baru ditanami Jati yang berumur antara 4-8 bulan. Gambar 16 Kenampakan tutupan lahan terbuka di lapangan.

58 Kebun Campuran Definisi kebun campuran dalam penelitian ini adalah areal yang di dalamnya terdiri dari kombinasi beberapa jenis tanaman lainnya. Kombinasi jenis tanaman tersebut berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diantaranya kelapa, rambutan, pohon jati milik masyarakat, dan jambu. Pada lokasi penelitian kebun campuran biasanya terletak dekat permukiman atau dekat lahan sawah. Jumlah titik pengamatan untuk kelas tutupan lahan kebun campuran adalah 3 titik. Kenampakan kelas tutupan lahan kebun campuran di lapangan ditunjukkan dalam Gambar 17. Gambar 17 Kenampakan tutupan lahan kebun campuran di lapangan Jambu Mete Jumlah titik tutupan lahan jambu mete adalah sebanyak 3 titik. Ketiga titik tersebut ditemukan di 3 lokasi yang terdapat di Kabupaten Rembang. Jambu mete merupakan salah satu jenis tanaman yang dibudidayakan dan menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Rembang. Kenampakan di lapangan tutupan lahan jambu mete ditunjukkan dalam Gambar 18. Gambar 18 Kenampakan tutupan lahan jambu mete di lapangan.

59 Mangga Pohon mangga sengaja ditanam oleh masyarakat sekitar karena merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Rembang. Sebanyak 3 titik pengamatan di temukan pada 3 lokasi yang berbeda di Kabupaten Rembang. Kenampakan tutupan lahan mangga di lapangan ditunjukkan dalam Gambar 19. Gambar 19 Kenampakan tutupan lahan mangga di lapangan. 5.2 Analisis Diskriminan Interpretasi citra bisa dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi 2001). Analisis diskriminan adalah salah satu metode interpretasi digital yang merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Informasi spektral tersebut dikonversi dalam bentuk angka yang kemudian disajikan dalam nilai digital setiap piksel yang terdapat pada citra. Nilai piksel biasa disebut dengan intensitas citra (image intensity) atau derajat keabuan (grey level). Masing-masing derajat keabuan dihubungkan ke suatu spektrum band (nilai spektral). Derajat keabuan (rona) dari suatu citra merupakan salah satu elemen yang secara visual bisa menginterpretasi suatu objek dengan mudah. Nilai intensitas tersebut menggambarkan ukuran kuantitas fisik yang merupakan pantulan atau pancaran radiasi matahari dari suatu objek dengan panjang gelombang tertentu yang diterima sensor. Dalam hal ini rata-rata nilai digital tiap kelas tutupan lahan merupakan variabel prediktor yang digunakan dalam metode analisis diskriminan kelas tutupan. Tabel 11 merupakan pola rata-rata nilai digital 24 objek tutupan lahan dalam citra ALOS PALSAR resolusi 50 m polarisasi HH dan polarisasi HV,

60 60 sedangkan Tabel 12 merupakan pola rata-rata nilai digital 24 objek tutupan lahan dalam citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m band 2, band 3, dan band 4. Masing-masing citra memiliki nilai digital yang berbeda satu sama lain Informasi rentang nilai digital masing-masing citra tersebut berpengaruh terhadap informasi yang diberikan citra, semakin besar rentang nilai digital yang dimiliki maka semakin banyak pula informasi yang diberikan. Tabel 11 Rata-rata nilai digital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV. TUTUPAN LAHAN POLARISASI HH POLARISASI HV Trubusan 5533, ,36 Tebu 4979, ,10 Jambu Mete 4250, ,32 Sawah 4573, ,72 PLK 5317, ,41 Permukiman 6663, ,93 Kacang 5131, ,46 Singkong 6441, ,98 Jagung 4641, ,47 Bekas Tebangan 5069, ,80 Kebun Campuran 5025, ,69 Tambang Kapur 4508, ,74 HT KU I 6327, ,60 HT KU II 7213, ,77 HT KU III 7526, ,47 HT KU IV 7679, ,35 HT KU V 7832, ,88 HT KU VI 7724, ,33 HT KU VII 7452, ,63 HT KU VIII 8113, ,93 Mangga 4505, ,91 Badan Air 3216, ,85 Sawah awal tanam 5366, ,78 Sawah generatif 5159, ,33

61 61 Tabel 12 Rata-rata nilai digital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB TUTUPAN LAHAN BAND 2 BAND 3 BAND 4 Trubusan 60,07 39,42 79,49 Tebu 74,93 61,67 65,11 Jambu mete 77,89 69,83 62,45 Sawah fase vegetatif 76,42 64,98 64,99 PLK 71,18 57,60 65,50 Kacang 77,57 66,92 73,90 Singkong 71,17 57,62 64,72 Jagung 73,30 62,92 66,75 Permukiman 74,28 62,58 64,29 Bekas tebangan 67,24 52,81 67,17 Kebun campuran 74,05 64,21 67,31 Tambang kapur 79,78 71,15 67,85 HT KU I 62,86 46,29 63,58 HT KU II 64,15 48,62 61,36 HT KU III 61,55 44,32 58,75 HT KU IV 58,52 40,05 59,54 HT KU V 58,83 41,10 54,03 HT KU VI 58,62 40,17 61,09 HT KU VII 59,62 41,97 58,59 HT KU VIII 59,23 40,98 54,76 Badan air 72,78 59,50 42,28 Mangga 75,72 65,93 69,06 Sawah fase awal tanam 68,31 52,36 64,78 Sawah fase generatif 78,69 68,81 60,93 Di dalam Tabel 11 tampak bahwa badan air memiliki nilai digital terendah, yaitu sebesar 3216,56 yang terdapat di polarisasi HH dan nilai digital terendah terdapat di polarisasi HV sebesar 1418,85, sedangkan nilai digital polarisasi HH dan polarisasi HV tertinggi terdapat pada kelas tutupan lahan hutan tanaman jati KU VIII, yaitu sebesar 8113,08 dan 4053,93. Hal ini sesuai dengan Wang (2007) yang diacu dalam Bainnaura (2010) yang menyatakan bahwa badan air memiliki nilai backscatter yang jauh lebih rendah dibanding tutupan lahan lainnya dan akan berpengaruh pada kecerahan citra. Apabila nilai backscatter yang dimiliki suatu tutupan lahan rendah maka nilai digitalnya pun akan rendah yang mengakibatkan kecerahan yang tampak pada citra akan semakin rendah atau tone yang terlihat akan menjadi gelap.

62 62 Selain itu permukaan badan air yang tidak terlalu kasar pun merupakan penyebab dari rendahnya nilai backscatter karena terjadi pantulan cermin (pantulan sempurna) pada permukaan tutupan lahan badan air. Pada tutupan lahan bervegetasi nilai digital tertinggi dimiliki oleh hutan tanaman jati pada kelas umur tertua (KU VIII) sehingga mengakibatkan tone yang dimiliki akan cerah. Hal ini terjadi akibat pantulan baur yang terjadi di permukaan hutan tanaman jati yang kasar dengan tingkat kerapatan pohon yang tinggi. Berbeda dengan citra ALOS PALSAR, kombinasi band yang dimiliki citra ALOS AVNIR-2 yang merupakan citra optik dari ALOS merupakan kombinasi 3 band. Kombinasi band tersebut adalah dimana di setiap band nya memiliki karakteristik radiometrik yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan variasi nilai digital yang berbeda pula untuk setiap kelas tutupan lahan (Tabel 12). Dalam band 4 citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m nilai digital tertinggi terdapat pada tutupan lahan trubusan, yaitu sebesar 79,49 sedangkan nilai digital terendah terdapat pada tutupan lahan badan air, yaitu sebesar 42,28. Hal ini sesuai dengan Prahasta (2008) yang menyatakan bahwa band 4 merupakan layer yang biasa digunakan untuk membedakan vegetasi dengan tanah dan pada layer ini air akan menyerap hampir semua radiasi elektromagnetik sehingga tampilan badan air pada layer ini akan sangat gelap. Tampilan yang gelap tersebut menggambarkan rendahnya nilai digital yang dimiliki oleh tutupan lahan badan air, sedangkan nilai digital tertinggi pada trubusan diakibatkan oleh kepekaan band 4 terhadap klorofil yang terkandung dalam tutupan lahan trubusan. Dalam band 3 nilai digital tertinggi terdapat pada kelas tutupan lahan tambang kapur, yaitu sebesar 71,15 sedangkan nilai digital terendah terdapat pada kelas tutupan lahan trubusan, yaitu sebesar 39,42. Hal ini terjadi karena sifat band 3 yaitu band penyerap klorofil dan pembeda antara vegetasi dengan tanah (Prahasta 2008). Tingginya nilai digital tambang kapur dalam band ini mengakibatkan tingkat kecerahan yang tinggi pada citra, sedangkan nilai digital yang rendah pada tutupan lahan trubusan mengakibatkan warna yang

63 63 tampak gelap pada citra untuk tutupan lahan trubusan sehingga antara vegetasi dengan tanah bisa dibedakan dengan mudah. Dalam band 2 nilai digital tertinggi terdapat pada tutupan lahan tambang kapur, yaitu sebesar 79,78 sedangkan nilai digital terendah terdapat pada tutupan lahan hutan tanaman jati KU IV, yaitu sebesar 58,52. Hal tersebut sesuai dengan fungsi untuk mengamati kehijauan vegetasi dan pemetaan coralreefs yang dimiliki band 2 (Prahasta 2008). Hasil rata-rata nilai digital 24 kelas tutupan lahan citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2 digunakan untuk proses analisis diskriminan sebagai evaluasi nilai kuantitas yang ditunjukkan dalam Gambar 20 dan 21. Gambar 20 menjelaskan proses analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang menggunakan variabel prediktor polarisasi HH dan polarisasi HV, sedangkan Gambar 21 merupakan penjelasan proses analisis diskriminan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m dengan variable prediktor band 3, band 4, dan band 2. Jumlah titik pengamatan pada proses analisis diskriminan adalah 135 titik pengamatan baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m.

64 No. Kelas Tutupan Lahan 1. Trubusan 2. Hutan Tanaman KU Satu 3. Hutan Tanaman KU Dua 4. Hutan Tanaman KU Tiga 5. Hutan Tanaman KU Empat 6. Hutan Tanaman KU Lima 7. Hutan Tanaman KU Enam 8. Hutan Tanaman KU Tujuh 9. Hutan Tanaman KU Delapan 10. Tebu 11. Sawah 12. Pertanian Lahan Kering 13. Jagung 14. Kacang 15. Singkong 16. Pohon Jambu Mete 17. Pohon Mangga 18. Permukiman 19. Bekas Tebangan 20. Kebun Campuran 21. Tambang Kapur 22. Badan Air Jumlah Kelas = 22 Kelas N = 135 N Correct = 34 Proportion Correct = 25,2% Re-Group I No. Kelas Tutupan Lahan 1. Hutan Tanaman Kelas Umur Muda 2. Tebu 3. Badan Air 4. Permukiman 5. Hutan Tanaman Kelas Umur Sedang 6. Bekas Tebangan 7. Kebun Campuran 8. Hutan Tanaman Kelas Umur Tua 9. Tambang Kapur 10. Sawah 11. Pertanian lahan Kering 12. Jagung 13. Kacang 14. Singkong 15. Pohon Mangga 16. Pohon Jambu Mete Jumlah Kelas = 16 Kelas N = 135 N Correct = 43 Proportion Correct = 31,9% Re-Group II No. Kelas Tutupan Lahan 1. Tebu 2. Badan Air 3. Hutan Tanaman Jati 4. Kebun Campuran 5. Permukiman 6. Bekas Tebangan 7. Tambang Kapur 8. Sawah 9. Pertanian Lahan Kering 10. Kacang 11. Singkong 12. Pohon Mangga 13. Pohon Jambu mete 14. Jagung 64 Jumlah Kelas = 14 Kelas N = 135 N Correct = 69 Proportion Correct = 51,1% Gambar 20 Diagram analisis diskriminan citra ALOS PALSAR kombinasi RGB HH-HV-HH/HV resolusi 50 m. 50

65 65 Gambar 20 Lanjutan Re-Group II No. Kelas Tutupan Lahan 1. Tebu 2. Kacang 3. Hutan Tanaman Jati 4. Singkong 5. Jagung 6. Kebun Campuran 7. Permukiman 8. Bekas Tebangan 9. Tambang Kapur 10. Sawah 11. Pertanian Lahan Kering 12. Pohon Mangga 13. Pohon Jambu mete 14. Badan Air Jumlah Kelas = 14 Kelas N = 135 N Correct = 69 Proportion Correct = 51,1% Re-Group III No. Kelas Tutupan Lahan 1. Pertanian Lahan Kering 2. Hutan Tanaman Jati 3. Bekas Tebangan 4. Tambang Kapur 5. Kebun Campuran 6. Permukiman 7. Sawah 8. Pohon Mangga 9. Pohon Jambu Mete 10. Badan Air Jumlah Kelas = 10 Kelas N = 135 N Correct = 76 Proportion Correct = 56,3% Re-Group IV No. Kelas Tutupan Lahan 1. Hutan Tanaman Jati 2. Pertanian Lahan Kering 3. Lahan Terbuka 4. Sawah 5. Permukiman 6. Kebun Campuran 7. Badan Air Jumlah Kelas = 7 Kelas N = 135 N Correct = 79 51

66 No. Kelas Tutupan Lahan 1. Trubusan 2. Hutan Tanaman KU Satu 3. Hutan Tanaman KU Dua 4. Hutan Tanaman KU Tiga 5. Hutan Tanaman KU Empat 6. Hutan Tanaman KU Lima 7. Hutan Tanaman KU Enam 8. Hutan Tanaman KU Tujuh 9. Hutan Tanaman KU Delapan 10. Tebu 11. Sawah 12. Pertanian Lahan Kering 13. Jagung 14. Kacang 15. Singkong 16. Pohon Jambu Mete 17. Pohon Mangga 18. Permukiman 19. Bekas Tebangan 20. Kebun Campuran 21. Tambang Kapur 22. Badan Air Jumlah Kelas = 22 Kelas N = 135 N Correct = 33 Proportion Correct = 24,4% Re-Group I No. Kelas Tutupan Lahan 1. Hutan Tanaman Kelas Umur Muda 2. Tebu 3. Badan Air 4. Permukiman 5. Hutan Tanaman Kelas Umur Sedang 6. Bekas Tebangan 7. Kebun Campuran 8. Hutan Tanaman Kelas Umur Tua 9. Tambang Kapur 10. Sawah 11. Pertanian lahan Kering 12. Jagung 13. Kacang 14. Singkong 15. Pohon Mangga 16. Pohon Jambu Mete Jumlah Kelas = 16 Kelas N = 135 N Correct = 41 Proportion Correct = 30.4% Re-Group II No. Kelas Tutupan Lahan 1. Tebu 2. Badan Air 3. Hutan Tanaman Jati 4. Kebun Campuran 5. Permukiman 6. Bekas Tebangan 7. Tambang Kapur 8. Sawah 9. Pertanian Lahan Kering 10. Kacang 11. Singkong 12. Pohon Mangga 13. Pohon Jambu mete 14. Jagung Jumlah Kelas = 14 Kelas N = 135 N Correct = 61 Proportion Correct = 45.2% 66 Gambar 21 Diagram analisis diskriminan citra ALOS AVNIR-2 kombinasi RGB resolusi 50 m. 52

67 67 Gambar 21 Lanjutan Re-Group II No. Kelas Tutupan Lahan 1. Tebu 2. Kacang 3. Hutan Tanaman Jati 4. Singkong 5. Jagung 6. Kebun Campuran 7. Permukiman 8. Bekas Tebangan 9. Tambang Kapur 10. Sawah 11. Pertanian Lahan Kering 12. Pohon Mangga 13. Pohon Jambu mete 14. Badan Air Jumlah Kelas = 14 Kelas N = 135 N Correct = 61 Re-Group III No. Kelas Tutupan Lahan 1. Pertanian Lahan Kering 2. Pohon Mangga 3. Pohon Jambu Mete 4. Hutan Tanaman Jati 5. Kebun Campuran 6. Permukiman 7. Bekas Tebangan 8. Tambang Kapur 9. Sawah 10. Badan Air Jumlah Kelas = 10 Kelas N = 135 N Correct = 65 Proportion Correct = 48,1% Re-Group IV No. Kelas Tutupan Lahan 1. Pertanian Lahan Kering 2. Hutan Tanaman Jati 3. Kebun Campuran 4. Permukiman 5. Sawah 6. Badan Air 7. Lahan Terbuka Jumlah Kelas = 7 Kelas N = 135 N Correct = 74 53

68 68 Banyaknya kelas tutupan lahan yang digunakan pada proses analisis diskriminan adalah 22 kelas tutupan lahan. Berkurangnya jumlah kelas tutupan lahan yang digunakan dalam analisis diskriminan disebabkan oleh adanya kelas tutupan lahan yang tidak memenuhi syarat dalam proses analisis diskriminan karena hanya memiliki satu titik pengamatan, maka kelas tutupan lahan tersebut harus dikelompokkan dalam kelas tutupan lahan lainnya atau diabaikan. Pada penelitian ini yang hanya memiliki satu titik pengamatan adalah kelas tutupan lahan sawah fase awal tanam dan sawah fase generatif. Oleh karena itu, tutupan lahan sawah fase awal tanam, sawah fase generatif dikelompokkan dalam satu kelas tutupan lahan yaitu tutupan lahan sawah. Selanjutnya tutupan lahan sawah fase vegetatif juga dikelompokkan ke dalam kelas tutupan lahan sawah karena memiliki kesamaan karakteristik. Hasil proses analisis diskriminan awal 22 kelas tutupan lahan menghasilkan nilai N - correct dan Proportion - correct sebesar 34 dan 25.2% untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 m sedangkan untuk citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m menghasilkan nilai N - correct dan Proportion - correct sebesar 31 dan 23% pada (Gambar 20 dan 21). Nilai N - correct menunjukkan seberapa banyak titik yang sesuai antara true group (kelas yang sebenarnya) dengan prediction group (kelas yang masih prediksi) yang sesuai. Nilai Proportion - correct menunjukkan presentase perbandingan antara nilai N - correct dengan jumlah seluruh titik pengamatan dan menunjukkan keterpisahan yang tercapai. Semakin besar nilai Proportion - correct maka nilai diskriminan atau keterpisahan antar kelas tutupan lahannya pun akan semakin baik. Nilai pengelompokan 22 kelas tutupan lahan pada proses awal ini termasuk nilai yang rendah, maka perlu dilakukan pengelompokan ulang (re-group). Proses pengelompokkan ulang pertama (re-group I) menghasilkan 16 kelas tutupan lahan baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Pengelompokkan tersebut terjadi pada kelas tutupan lahan trubusan dan hutan tanaman jati dari KU I sampai KU VIII (Gambar 20 dan 21).

69 69 Pada proses re-group I kelas tutupan lahan hutan tanaman jati KU I s/d KU VIII dikelompokkan menjadi 4 kelas tutupan lahan yaitu kelas trubusan, kelas tutupan lahan hutan tanaman jati kelas umur muda (KU I s/d KU III), kelas tutupan lahan hutan tanaman jati kelas umur sedang (KU IV s/d KU V), dan kelas tutupan lahan hutan tanaman jati kelas umur tua (KU VI s/d KU VII). Pengelompokkan ini didasarkan atas perbedaan nilai digital yang tidak terlalu besar antar tutupan lahan yang terdapat dalam kelas tutupan lahan setelah dilakukan re-group. Proses re-group I ini menghasilkan nilai N - correct dan Proportion - correct sebesar 43 ; 31,9% pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 33 ; 24,4% pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Pada proses re-group kedua baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m dilakukan pengelompokkan kelas tutupan lahan hutan tanaman jati kelas umur tua, sedang dan muda ke dalam kelompok kelas hutan tanaman jati. Dari proses pengelompokkan ini diperoleh nilai N-Correct dan Proportion - correct pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m berturut-turut, adalah sebesar 69 ; 51,1% dan 61 ; 45,2%. Proses re-group masih terus dilakukan hingga memperoleh kelas tutupan lahan yang sedikit dengan nilai Proportion - correct yang tinggi. Proses re-group ketiga baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m dilakukan pengelompokkan kelas tutupan lahan tebu, singkong, kacang, jagung, dan pertanian lahan kering ke dalam satu kelas tutupan lahan yaitu kelas tutupan lahan pertanian lahan kering. Pada proses pengelompokkan ketiga ini terdapat perbedaan nilai N Correct dan Proportion - correct yang dihasilkan pada kedua citra tersebut. Untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 m diperoleh nilai N Correct sebesar 76 dan nilai Proportion - correct sebesar 56.3%, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m diperoleh nilai N Correct sebesar 65 dan nilai Proportion - correct sebesar 48,1%. Pada proses re-group keempat, dilakukan pengelompokan kelas tutupan lahan bekas tebangan dan tutupan lahan tambang kapur ke dalam satu kelas tutupan lahan baru yaitu tutupan lahan lahan terbuka. Definisi lahan terbuka

70 70 adalah seluruh kenampakan lahan tanpa atau sedikit vegetasi/terbuka termasuk diantaranya batuan puncak gunung, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir pantai, lahan terbuka bekas kebakaran, lahan bekas tambang dan lahan terbuka untuk persiapan/pembukaan lahan. Proses pengelompokkan ini didasarkan atas besar nilai digital dan kenampakan yang hampir sama antara kedua kelas tutupan lahan tersebut. Pengelompokkan selanjutnya adalah untuk kelas tutupan lahan pohon jambu mete, pohon mangga dan kebun campuran ke dalam satu kelompok kelas tutupan lahan yaitu kelas tutupan lahan kebun campuran. Dari hasil pengelompokkan/re-group keempat ini baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m diperoleh 7 kelas tutupan lahan (lahan terbuka, permukiman, pertanian lahan kering, sawah, badan air, dan hutan tanaman). Nilai N Correct yang diperoleh citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah sebesar 79 dan Proportion - correct sebesar 58.5%, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m nilai N Correct yang diperoleh sebesar 74 dan nilai Proportion - correct sebesar 54,8%. Pada proses ini merupakan pengelompokkan terakhir karena secara visual apabila dilihat dari elemen rona, perbedaan antar kelas tutupan lahannya sudah cukup nyata dan hasil Proportion - correct yang dihasilkan pun besar. Berdasarkan hasil analisis diskriminan tersebut tampak adanya perbedaan antara citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Perbedaan tersebut terlihat dari citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang memiliki hasil akhir nilai Proportion - correct sebesar 58.5%, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m memiliki nilai akhir Proportion - correct sebesar 48.9%. Proses pengklasifikasian tidak dapat dilakukan hanya dengan membandingkan nilai digitalnya saja tapi perlu dilakukan analisis visual yang dapat meningkatkan keakuratan klasifikasi tutupan lahan pada kedua citra tersebut. 5.3 Analisis Visual Citra Analisis visual citra atau disebut juga intrepertasi secara manual merupakan interpretasi data penginderaan jauh berdasarkan atas pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial) (Purwadhi 2000).

71 71 Karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak, dan asosiasi kenampakan objek. Berdasarkan intrepretasi citra secara visual terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan antara citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB Badan Air Pada penelitian ini semua kenampakan perairan yang berupa laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang dan padang lamun dapat di klasifikasikan sebagai tutupan lahan badan air. Gambar 22(a) merupakan kenampakan badan air secara visual pada citra ALOS PALSAR yang berwarna biru kehitaman dengan elemen interpretasi lainnya berupa tone yang gelap dan tekstur yang halus dan Gambar 22(b) merupakan kenampakan badan air secara visual citra ALOS AVNIR-2 yang berwarna ungu kehitaman dengan tone yang gelap dan tekstur yang halus. Keterangan : : badan air Skala : 1 : Kombinasi RGB HH HV HH/HV Keterangan : : badan air Skala : 1 : Kombinasi RGB a b Gambar 22 Kenampakan visual badan air citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Kesamaan kenampakan secara visual kelas tutupan lahan badan air baik pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m yaitu memiliki tone yang gelap yang terjadi akibat adanya

72 72 pantulan cermin (arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya sinar) pada permukaan air yang tenang (Purwadhi 2001) Lahan Terbuka Pada kasus tertentu, lahan terbuka berwarna biru, ungu, biru keunguan atau pink keunguan. Pada penelitian ini lahan terbuka yang diamati merupakan lahan terbuka yang terjadi akibat bekas tebangan di kawasan hutan tanaman jati milik KPH Kebonharjo, Perhutani dengan elemen intrepretasi warna, tone yang terang pada site yang bergelombang dan agak gelap Pada citra ALOS PALSAR lahan terbuka memiliki elemen interpretasi warna ungu kebiruan campur pink (Gambar 23(a)). Pada citra ALOS AVNIR-2 lahan terbuka berwarna mosaik pink atau ungu bercampur hijau pastel (Gambar 23(b)). Keterangan : : bekas tebangan Skala : 1:50000 Kombinasi RGB HH HV HH/HV Keterangan : : bekas tebangan Skala : 1:50000 Kombinasi RGB a b Gambar 23 Kenampakan visual bekas tebangan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Pada citra ALOS PALSAR pada lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah, lahan terbuka khususnya pada daerah tambang kapur (Gambar 24(a)) memiliki kenampakan yang berbeda dari kenampakan lahan terbuka pada umumnya karena memiliki warna yang hampir serupa dengan warna pada tutupan lahan hutan tanaman yaitu hijau kekuningan. Hal ini disebabkan karena perbedaan ketinggian yang nyata antara

73 73 tutupan lahan kapur dengan hutan tanaman yang terletak di sekitar penambangan kapur. Permukaan tutupan lahan hutan tanaman jati yang lebih tinggi dari permukaan tutupan lahan kapur ini mengakibatkan timbulnya layover (bayangan radar yang terjadi apabila pancaran pulsa radar mengenai bukit atau objek tinggi lainnya), sehingga kenampakan tutupan lahan kapur pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m memiliki warna yang serupa dengan kenampakan warna tutupan lahan hutan tanaman (Purwadhi 2001). Keterangan : : Deliniasi tambang kapur Skala : 1 : Kombinsasi RGB a b Gambar 24 Kenampakan visual tambang kapur citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a) ; citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Berbeda dengan tambang kapur pada citra ALOS PALSAR (Gambar 24 (a)), citra ALOS AVNIR-2 secara visual menunjukkan tutupan lahan tambang kapur yang lebih jelas dengan tone yang cerah dan dapat dibedakan dengan tutupan lahan vegetasi di sekitarnya (Gambar 24(b)). Perbedaan tersebut terjadi akibat sifat yang dimiliki band 4 dalam citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB yaitu penyerap klorofil dan pembeda tutupan lahan tanah dengan tutupan lahan vegetasi (Prahasta 2008). Kemudian tampilan tone cerah yang ditampilkan pada area tambang tersebut berdasarkan Purwadhi (2001) merupakan hasil dari pantulan baur (pantulan ke segala arah) yang terjadi pada objek dengan tingkat kekasaran permukaan yang tinggi. Keterangan : : Deliniasi tambang kapur Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV

74 Permukiman Permukiman memiliki elemen interpretasi tone, warna, asosiasi dan pola baik pada citra ALOS PALSAR maupun citra ALOS AVNIR-2. Pada penelitian ini permukiman memiliki kategori permukiman desa karena letak permukiman yang bercampur dengan kebun campuran atau hutan rakyat sehingga kenampakannya pun mirip dengan kenampakan kebun campuran, hutan tanaman atau sawah. Kenampakan visual tutupan lahan permukiman pada citra ALOS PALSAR yang ditunjukkan pada Gambar 25(a) memiliki warna dominan mosaik hijau campur pink dengan tone terang, berbentuk parsel lahan berupa geometri teratur dan memiliki aksesibilitas yang tinggi karena jaringan jalannya teratur. Keterangan : : Deliniasi permukiman : Jaringan jalan Skala : 1 : Kombinasi RGB HH HV HH/HV Ketarangan : : Deliniasi permukiman : Jaringan jalan Skala : 1 : Kombinasi RGB a b Gambar 25 Kenampakan visual tutupan lahan permukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB yang ditunjukkkan pada Gambar 25(a) permukiman memiliki kenampakan visual dengan warna ungu, tone yang terang, tekstur kasar dan aksesibilitas yang tinggi karena memiliki jaringan jalan yang teratur. Secara visual warna tutupan lahan permukiman dan sawah pada citra ALOS AVNIR-2 hampir sama, yaitu berwarna ungu muda sampai ungu tua. Secara visual yang menjadi pembeda antara tutupan lahan permukiman dengan sawah adalah tekstur dan asosiasinya.

75 75 Pada tutupan lahan permukiman tekstur yang dimiliki lebih kasar dibandingkan sawah. Selain itu, tutupan lahan permukiman memiliki aksesibilitas yang tinggi dan jaringan jalannya teratur. Tone yang terang pada tutupan lahan permukiman baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2 menurut Lilesand dan Kiefer (1990) terjadi akibat pantulan sudut yang dihasilkan dari permukaan halus saling berdekatan yang membentuk sudut siku-siku dan pantulan ganda sehingga nilai backscatter menjadi tinggi. Nilai backscatter yang tinggi akan menghasilkan rona yang cerah pada citra Sawah Elemen interpretasi yang digunakan pada kelas tutupan lahan sawah baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2 adalah warna, pola dan asosiasi. Kenampakan visual sawah pada citra ALOS PALSAR berwarna biru dan biru keunguan. Pada citra ALOS AVNIR-2 secara visual sawah memiliki warna yang berbeda dengan citra ALOS PALSAR yaitu ungu tua, ungu muda dan hijau bercampur mozaik ungu (Gambar 26, 27, dan 28). Warna pada sawah fase awal tanam, sawah fase vegetatif dan sawah fase generatif secara visual memiliki perbedaan satu sama lain baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2. Pada citra ALOS PALSAR warna biru keunguan atau biru campur pink merupakan tutupan lahan sawah fase awal tanam yang ditunjukkan pada Gambar 26(a). Warna biru tua dan tone gelap pada tutupan lahan ini menggambarkan banyaknya kadar air yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya warna biru merupakan tutupan lahan sawah fase vegetatif yang ditunjukkan pada Gambar 27(a) dan warna biru kehijauan merupakan tutupan lahan sawah fase generatif yang ditunjukkan pada Gambar 28(a).

76 76 Keterangan : : Deliniasi sawah fase awal tanam Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV Keterangan : : Deliniasi sawah fase awal tanam Skala : 1 : Kombinsasi RGB a b Gambar 26 Kenampakan visual sawah fase awal tanam citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a) ; citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (B). Keterangan : : Deliniasi sawah fase vegetatif Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV Keterangan : : Deliniasi sawah fase vegetatif Skala : 1 : Kombinsasi RGB a b Gambar 27 Kenampakan visual sawah fase vegetatif citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Keterangan : : sawah fase generatif Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV a Keterangan : : sawah fase generatif Skala : 1 : Kombinsasi RGB b Gambar 28 Kenampakan visual tutupan lahan sawah fase generatif citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b).

77 77 Pada citra ALOS AVNIR-2 lahan sawah yang baru tanam berwarna ungu tua (Gambar 26(b)), dan untuk lahan sawah vegetatif secara visual berwarna ungu pastel (Gambar 27(b)) serta lahan sawah yang akan dipanen berwarna hijau bercampur mozaik ungu (Gambar 28(b)). Pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB perbedaan ketiga fase pada tutupan lahan sawah tersebut sangat jelas terlihat yaitu pada fase vegetatif dan generatif, tutupan lahan sawah mulai terlihat hijau. Perubahan warna pada fase yang berbeda tersebut terjadi karena band 4 yang dimiliki citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB (yang berada pada band hijau) merupakan band penyerap klorofil sehingga pada daerah-daerah yang memiliki tingkat klorofil yang tinggi akan terlihat hijau. Tone yang lebih gelap pada sawah yang baru tanam tersebut terjadi karena sawah yang baru tanam memiliki lahan yang tergenang oleh air sehingga terjadi pantulan cermin pada permukaan lahan yang mengakibatkan rona gelap. Secara visual sawah hampir mirip dengan tutupan lahan badan air. Yang menjadi pembeda yaitu secara visual sawah memiliki pola yang tersebar merata dengan bentuk parsel lahan kotak-kotak. Di Pulau Jawa, khususnya Kabupaten Rembang, Tuban, dan Blora areal persawahan biasanya diselingi dengan permukiman penduduk dengan pola yang tidak teratur. Hal ini yang mengakibatkan kenampakan visual sawah terkadang tampak warna bercak hijau terang Kebun Campuran Secara visual tutupan lahan kebun campuran baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2 memiliki elemen interpretasi warna, tekstur, dan asosiasi. Kenampakan visual tutupan lahan kebun campuran citra ALOS PALSAR berwarna hijau bercampur kuning dengan tekstur yang kasar dan memiliki aksesibilitas tinggi karena dekat dengan permukiman dan jaringan jalan (Gambar 29(a)). Selain itu, kenampakan visual kebun campuran pada citra ALOS PALSAR dipengaruhi oleh komposisi jenis tanaman, ukuran (tinggi dan diameter), jarak tanaman dan umur yang berbedabeda.

78 78 Keterangan : : kebun campuran Skala : 1:50000 Kombinasi RGB HH HV HH/HV Kenampakan visual citra ALOS AVNIR-2 memiliki warna hijau, tone yang cerah dan tekstur kasar (Gambar 29(b)). Pada citra ALOS AVNIR-2, secara visual kebun campuran sama dengan hutan tanaman jati. Yang menjadi pembeda pada kedua tutupan lahan tersebut terletak pada elemen tekstur dan asosiasi. Tekstur yang terdapat pada tutupan lahan kebun campuran lebih kasar daripada tekstur yang terdapat pada tutupan lahan hutan tanaman jati dan kebun campuran memiliki asosiasi dengan tutupan lahan permukiman Hutan Tanaman Jati Hutan tanaman jati memiliki elemen interpretasi berupa warna, tone, tekstur dan asosiasi baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2. Apabila dilihat berdasarkan keempat elemen interpretasi tersebut di atas terdapat perbedaan secara visual baik pada citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2. Keterangan : : kebun campuran Skala : 1:50000 Kombinasi RGB a b Gambar 29 Kenampakan visual tutupan lahan kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Pada citra ALOS PALSAR hutan tanaman jati memiliki warna spesifik kuning kehijauan, tekstur yang halus dan aksesibilitas yang mudah (Gambar 30(a)). Sedangkan tone yang dimiliki oleh tutupan lahan hutan tanaman jati yaitu gelap hingga terang. Hutan tanaman jati memiliki tone yang gelap pada tanaman dengan KU I, trubusan, dan areal bekas tebangan (Gambar 23),

79 79 sedangkan akan tampak tone yang dominan terang pada tanaman yang memiliki kelas umur yang sedang hingga tua. Tone terang yang tampak pada hutan tanaman jati dengan kelas umur sedang hingga tua dikarenakan kerapatan yang tinggi dan besarnya diameter batang, sehingga nilai hamburan balik yang terdapat pada citra menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dinyatakan Purwadhi (2001) bahwa permukaan yang kasar menyebabkan rona cerah pada citra karena terjadinya pantulan baur (pantulan ke segala arah). Keterangan : : Deliniasi hutan tanaman jati Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV a b Gambar 30 Kenampakan visual tutupan lahan hutan tanaman jati pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Secara visual kenampakan hutan tanaman jati pada citra ALOS AVNIR-2 bervariasi. Hutan tanaman jati berwarna ungu tuapada kelas umur tua (KU VI s/d KU VIII), hijau tua pada kelas umur muda dan sedang (KU I s/d KU V) dan hijau muda pada tanaman trubusan (Gambar 30(b)). Tone yang dimiliki pun bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh kerapatan vegetasinya dan umur dari vegetasi tersebut. Apabila umurnya tua maka tone yang terbentuk pun akan gelap demikian pula sebaliknya apabila umur vegetasi itu muda, maka tone yang tampak akan cerah. Begitupula dengan kerapatannya, semakin tinggi kerapatan maka tonenya akan semakin gelap, semakin jarang vegetasi tersebut maka akan semakin terang pula tone yang tampak. Keterangan : : Deliniasi hutan tanaman jati Skala : 1 : Kombinsasi RGB 3 4 2

80 Pertanian Lahan Kering Elemen interpretasi yang digunakan sebagai penciri dari kelas pertanian lahan kering baik pada citra ALOS PALSAR maupun pada citra ALOS AVNIR-2 adalah warna, tone, site dan asosiasi. Kenampakan visual citra ALOS PALSAR berwarna mosaik ungu, biru dan merah muda (pink) (Gambar 31(a)). Pertanian lahan kering memiliki tone gelap sampai agak terang, dengan site yang berada dengan topografi datar hingga bergelombang/sisi bukit serta memiliki akses jalan dan berada dekat areal permukiman. Keterangan : : Deliniasi pertanian lahan kering Skala : 1 : Kombinsasi RGB HH HV HH/HV a Kenampakan visual pertanian lahan kering pada citra ALOS AVNIR-2 berwarna hijau pastel dengan tone cerah dan tekstur halus (Gambar 31(b)). Terdapat perbedaan warna secara visual antara pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR dengan pertanian lahan kering pada citra ALOS AVNIR- 2 (Gambar 31). Keterangan : : Deliniasi pertanian lahan kering Skala : 1:50000 Kombinasi RGB b Gambar 31 Kenampakan visual tutupan lahan pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR 2 resolusi 50 m (b). Pada Gambar 31(a), daerah dengan tanda panah merupakan areal pertanian lahan kering yang memiliki kesamaan warna dengan tutupan lahan sawah. Apabila kita lihat pada daerah yang sama yang ditunjukkan oleh Gambar 28(b) pertanian lahan kering memiliki warna hijau pastel. Menurut Prahasta (2008) hal ini terjadi karena band 4 pada citra ALOS AVNIR-2 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN

PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemantauan Padi dengan SAR Polarisasi Tunggal Pada awal perkembangannya, sensor SAR hanya menyediakan satu pilihan polarisasi saja. Masalah daya di satelit, kapasitas pengiriman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Penutupan Lahan Indonesia Indonesia adalah salah satu Negara Mega Biodiversity yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (Pulau Jawa, Sumatera dan

Lebih terperinci

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) remote sensing (Inggris), teledetection (Prancis), fernerkundung (Jerman), distantsionaya (Rusia), PENGERTIAN. Lillesand and Kiefer (1994), Inderaja adalah ilmu dan seni untuk

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia seringkali terjadi bencana alam yang sering mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Fenomena bencana alam dapat terjadi akibat ulah manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar Spektrum Gelombang Pengantar Synthetic Aperture Radar Bambang H. Trisasongko Department of Soil Science and Land Resources, Bogor Agricultural University. Bogor 16680. Indonesia. Email: trisasongko@live.it

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci