BAB I PENDAHULUAN. Setiap warga Negara wajib menjunjung hukum. Dalam kenyataan. sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Setiap warga Negara wajib menjunjung hukum. Dalam kenyataan. sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap warga Negara wajib menjunjung hukum. Dalam kenyataan sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan kewajibannnya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. 2 Hukum ditujukan untuk manusia. Kaedah-kaedahnya yang berisi perintah, larangan dan perkenaan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat. Hukum mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat dan antara subyek hukum. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum, dan yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah manusia. 3 Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal. Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain (pembunuhan). Dipandang dari sudut agama, pembunuhan merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan. 4 2 Leden Marpaung, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan dan penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hlm Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum suatu pengantar, Edisi kelima, Cetakan pertama, Liberty, 2003, Yogyakarta, hlm Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medis, Airlangga University Press, 1984, Surabaya, hlm.2 1

2 2 Disamping kejahatan terhadap jiwa seseorang yang diatur dalam Bab XIX Buku II KUHP terdapat juga dua macam pembagian jenis-jenis kejahatan terhadap jiwa seseorang, yaitu sengaja dan kesalahan. Kejahatan terhadap jiwa seseorang mempunyai hubungan erat dengan kejahatan terhadap badan atau tubuh seseorang. Kejahatan terhadap badan tersebut dapat juga menimbulkan akibat hilangnya jiwa seseorang, meskipun akibatnya tidak dikehendaki, sedangkan kejahatan terhadap jiwa seseorang mempunyai kehendak hilangnya jiwa seseorang. 5 Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif, artinya mewujudkan perbuatan tersebut harus dengan gerakan dari sebagian anggota tubuh, tidak boleh diam atau pasif, walau sekecil apapun, misalnya memasukkan racun pada minuman. Sedangkan bentuk abstrak, artinya perbuatan tersebut tidak menunjuk bentuk konkrit tertentu. Oleh karena itu, dalam kenyataan secara konkrit, perbuatan tersebut dapat beraneka macam wujudnya, misalnya menembak, mengampak, memukul, membacok, meracun, dan lain sebagainya yang tidak terbatas banyaknya. 6 Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar setelah kejahatan terhadap harta benda. 7 5 H.A.K. Moch Anwar (Dading), Hukum pidana bagian khusus (KUHP Buku II), Penerbit Alumni, 1980, Bandung, hlm Adami Chazawi, Kejahatn terhadap tubuh dan nyawa, cetakan pertama, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta, hlm H.A.K. Moch Anwar, op.cit.

3 3 Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak manusiawi, karena pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, yang dilakukan secara sadis. Pembunuhan dengan rencana (moord) atau disingkat dengan pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap jiwa manusia. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada umumnya adalah bertujuan untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. 8 Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. 9 Van Bemmelan dalam bukunya Strafordering Leerbook van Het Nederlandsch Procesrecht menyatakan bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran. 10 Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut 8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, edisi revisi, CV.Sapta Artha Jaya, 1996, Jakarta, hlm diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pada pukul WIB 10 Andi Hamzah, loc.cit, hlm. 9

4 4 Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. 11 Syarat mutlak tindak pidana materil adalah akibat. 12 Pengungkapan suatu tindak pidana secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan matinya seseorang serta apakah sesungguhnya yang menyebabkan kesemuanya itu, diperlukan bukti yang konkrit pada waktu terjadinya tindak pidana atau dengan kata lain diperlukan adanya pengganti alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu dokumen yang dapat menceritakan tentang terjadinya tindak pidana yang menyebabkan luka, terganggunya kesehatan dan juga matinya korban, yang dapat menjadi bukti yang kemudian dapat diusut dalam waktu yang lain. Dokumen yang dimaksudkan adalah Visum Et Repertum. 13 Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP merupakan kasus pembunuhan berencana dengan empat korban meninggal dunia yang dilakukan oleh tiga orang pelaku (salah satu pelaku pembunuhan berencana tersebut masih menjadi daftar pencarian orang (DPO)). Majelis Hakim pada 11 diakses pada tanggal 10 Oktober 2011 pada pukul WIB 12 Tongat, Hukum Pidana Materiil, edisi pertama, cetakan kedua, UMM Press, 2003, Malang, hlm.4 13 Waluyadi, Ilmu kedokteran kehakiman dalam perspektif peradilan dan aspek hukum praktik kedokteran. Djambatan. 2007, Jakarta, hlm.32.

5 5 putusannya, mempertimbangkan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti yang menerangkan penyebab kematian para korban dalam hal untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II. Visum Et Repertum sangat penting dalam suatu perkara pidana khususnya untuk peristiwa pembunuhan. Hal ini dikarenakan korban dari peristiwa pembunuhan telah meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah pelaksanaan agar sasaran penelitan menjadi runtut, jelas, dan tegas guna mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peranan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan? 2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan;

6 6 2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis, hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum dan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana. 2. Secara praktis, dari adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai peranan Visum Et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pembunuhan di pengadilan serta pengaruh Visum Et Repertum terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana pembunuhan. D. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP. Judul skripsi ini telah terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Hukum Pidana serta melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi tersebut belum ada dan belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum.

7 7 Apabila dikemudian hari terdapat judul skripsi yang sama atau telah ditulis oleh orang lain sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Visum et repertum Visum et repertum berasal dari bahasa Latin. Visum adalah kependekan dari Visum et Repertum. Visum berarti apa yang dilihat dan Repertum berarti apa yang ditemukan. 14 Secara harafiah, visum et repertum berasal dari kata-kata visual yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti, apa yang dilihat dan diketemukan sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis, sebagaimana yang tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan). 15 Secara peristilahan, visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang 14 Ratna Sari dan Harun Ginting, Buku I Seminar/Lokakarya: Penempatan Visum Et Repertum Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia, diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Kanwil Dep.Kes.Prop.Sumatera Utara, pada tanggal 9-12 Pebruari Bagian Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU/RS.Dr.Pirngadi, 1981, Medan, hlm R. Soeparmono, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana. Mandar Maju, 2002, Bandung, hlm. 98.

8 8 luka atau yang meninggal dunia (mayat). 16 Secara letterlijk, visum et repertum dapat diartikan sebagai berikut: 17 a) Keterangan tentang apa yang dilihat dari para ahli (schouwverslag van deskundigen); b) Keterangan dari pemeriksaan seorang dokter (verslag van geneeskundig onderzoek); c) Keterangan dari suatu pembedahan mayat (verslag van een lijkopening); Dari rumusan-rumusan diatas, dapat diambil gambaran bahwa visum et repertum itu tidak dapat dibuat sembarangan, karena adanya beberapa faktor yang harus diperhatikan, diantaranya: 18 a) Dibuat secara tertulis; Visum et repertum itu adalah laporan tertulis oleh yang diberi hak untuk membuatnya. Laporan lisan tidak dapat diterima atau dianggap sah, karena sewaktu-waktu dapat berubah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepastiannya. b) Dari seorang ahli; Visum et Repertum merupakan satu condition sine qua non, ialah yang mengeluarkan laporan itu harus seorang ahli. c) Ahli tersebut harus disumpah; 16 Waluyadi, op.cit, hlm Rajo Harahap, Buku I Seminar/Lokakarya:Visum Et Repertum Ditnjau Dari Segi Praktek Peradilan Dan Kekuatannya Sebagai Alat Bukti, diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Kanwil Dep.Kes.Prop.Sumatera Utara, pada tanggal 9-12 Pebruari Bagian Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU/RS.Dr.Pirngadi, 1981, Medan, hlm Ibid, hlm.251.

9 9 Seorang ahli tersebut harus disumpah, karena sumpah bagi orang yang beragama adalah suatu peringatan terhadap dirinya untuk tidak berbohong. Orang yang beragama takut melanggar sumpah, oleh karena itu peranan sumpah juga sangat memegang arti yang penting bagi pejabat yang ditunjuk untuk sesuatu tugas. d) Hanya untuk kepentingan justisi; Bagi seorang dokter visum yang dikeluarkan hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan justisi, sehingga tidak bertentangan dengan undang-undang, yang mana adalah untuk menghindarkan kemungkinan-kemungkinan dipergunakannya visum itu untuk tujuantujuan tertentu. D.H Hutagalung memberikan batasan tentang visum et repertum sebagai sesuatu keterangan dokter terhadap seseorang yang diduga meninggal dunia karena sesuatu kejahatan atau luka-luka yang diakibatkan oleh kejahatan. Jadi,dokter mengambil kesimpulan sebab apa dia meninggal dunia atau juga kalau dalam penganiayaan. 19 Berdasarkan pembatasan D.H Hutagalung, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan visum et repertum adalah keterangan dokter atas hasil pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau mati, yang diduga sebagai akibat kejahatan, yang berdasarkan hasil pemeriksaan 19 Waluyadi. Op.cit.

10 10 tersebut dokter akan membuat kesimpulan tentang perbuatan dan akibat dari perbuatannya itu. 20 Visum et repertum bertujuan sebagai pengganti Corpus Delicti, karena apa yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu dilakukan seobyektif mungkin, sebagai pengganti peristiwa atau keadaan yang terjadi dan pengganti bukti yang telah diperiksa dengan menurut kenyataan atau fakta-faktanya, sehingga berdasarkan atas pengetahuan yang sebaik-baiknnya atas dasar keahliannya tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dan akurat. Disamping itu kemungkinan yang lain adalah apabila waktu dilakukan pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan, maka suatu luka (misalnya) yang disebabkan tindak pidana penganiayaan telah sembuh atau korban yang telah meninggal akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu sidang dilakukan telah membusuk atau dikubur, maka guna mencegah perubahan keadaan tersebut, dibuatlah visum et repertum. 21 Tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada majelis hakim (majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim. Jadi Visum et Repertum merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP Pasal Ibid, hlm Soeparmono, op.cit. hlm Ibid.

11 11 Ada 3 tujuan pembuatan Visum et Repertum, yaitu: 23 1) Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim 2) Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat 3) Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat kesimpulan Visum et Repertum yang lebih baru 2. Tindak pidana Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan kata strafbaar feit untuk menyebut tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan kata strafbaar feit tersebut. Oleh karena itu, muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. 24 Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kennyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedang strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Menurut POMPE, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat di rumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) 23 terakhir kali diakses pada tanggal 15 oktober 2011, pada pukul Wib. 24 P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti. 1997, Bandung, hlm.172.

12 12 yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzijn. 25 Ada beberapa pakar dalam menyebutkan kata tindak pidana menggunakan istilah-istilah lain, seperti delik (delictum), perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum. 26 Mengenai definisi delik atau tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilihat menurut pendapat pakar-pakar, antara lain: 27 Moeljatno, memakai istilah perbuatan pidana dan beliau tidak setuju dengan istilah tindak pidana karena menurut beliau tindak lebih pendek dari pada perbuatan, tapi tindak tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit. 28 E.Utrecht memakai istilah peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana, Mr.Tirtaamidjaja memakai istilah pelanggaran pidana. Sedangkan Leden Marpaung, memakai istilah delik untuk strafbaar feit agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak tepat Ibid, hlm Leden marpaung, Unsur-unsur perbuatan yang dapat di hukum (delik), Sinar Grafika, 1991, Jakarta, hlm Ibid, hlm.4 28 Ibid, hlm.3 29 Ibid

13 13 Menurut D.Simon, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 30 Akan tetapi, strafbaar feit itu oleh HOGE RAAD juga pernah diartikan bukan sebagai suatu tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu keadaan, yaitu seperti yang dapat kita baca dari arrestnya tanggal 19 November 1928, N.J halaman 1671,W.11915, dimana HOGE RAAD telah menjumpai sejumlah tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan, di mana seseorang itu harus dipertanggungjawabkan atas timbulnya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah melakukan sesuatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang telah melakukan suatu kealpaan, hingga ia harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. 31 Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari pada kejahatan. Kejahatan dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam Buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam Buku III KUHP dan diluar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian 30 Mohammad Ekaputra, dasar-dasar hukum pidana, USU Press, 2010, Medan, hlm P.A.F.Lamintang, op.cit. Hlm.193.

14 14 kejahatan dalam kriminologi adalah sama luasnya dengan kejahatan dalam hukum pidana Tindak pidana pembunuhan Secara prinsip, penggolongan berbagai tindak pidana dalam KUHP didasarkan pada kepentingan umum yang ingin dilindungi. 33 Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia. 34 Menurut Leden Marpaung, menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut pembunuhan. Tindak pidana ini termasuk delik materiil (material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu. Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau matinya orang dalam tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak. 35 Tindak pidana tehadap nyawa dalam KUHP dimuat pada Bab XIX dengan judul Kejahatan terhadap Nyawa Orang yang diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 350. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu: atas dasar kesalahannya dan atas dasar obyeknya (nyawa) Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, 1987, Jakarta, hlm Tongat, op.cit, hlm.1 34 Adami Chazawi, op.cit, hlm Serenity Deliver Refisis, Analisis hukum terhadap putusan dalam tindak pidana pembunuhan. USU Press. 2010, Medan, hlm Leden Marpaung. Unsur-unsur perbuatan yang dapat di hukum (delik), op.cit. hlm. 19.

15 15 Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil, yakni delik yang hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut cara-cara yang menimbulkan akibat tersebut. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat KUHP adalah sebagai berikut: 37 a) Pembunuhan/ Murder (Pasal 338 KUHP). Hal ini diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi: barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun Unsur-unsur pembunuhan adalah: 1) Objektif: (a) Barangsiapa: ada orang tertentu yang menghilangkan jiwa seseorang 2) Subjektif: (a) Dengan sengaja: dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 jenis bentuk sengaja (dolus), yakni: - Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) - Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids bewustzijn) - Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis) b) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339 KUHP) Hal ini diatur pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi: pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya dari pada hukuman, atau supaya barang yang didapatnya dengan melawan hukum tetap 37 Serenity Deliver Refisis, loc.cit. hlm.6

16 16 ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun Unsur-unsur pembunuhan dengan pemberatan adalah: 1) Objektif: (a) Unsur pembunuhan dalam pasal 338 KUHP baik unsur yang subjektif (dengan sengaja) maupun objektif (menghilangkan nyawa orang lain) (b) Unsur diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain. 2) Subjektif: (a) Unsur dengan maksud: - Untuk mempersiapkan tindak pidana lain. - Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain - Dalam hal tertangkap tangan, ditunjuk untuk Menghindarkan diri sendiri atau peserta laindari pidana dan Memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum. c) Pembunuhan berencana/ Moord (Pasal 340 KUHP) Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang berbunyi: barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain dihukum karena salahnya pembunuhan berencana, dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun Unsur-unsur pembunuhan berencana adalah: 1) Unsur objektif: (a) Menghilangkan atau merampas nyawa orang lain 2) Unsur subjektif: (a) Unsur dengan sengaja

17 17 (b) Unsur dengan rencana terlebih dahulu (voorbedachte rade) d) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341 KUHP) Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang berbunyi: seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun Unsur-unsur pembunuhan (biasa) anak adalah: 1) Unsur objektif: (a) Seorang ibu (b) Karena takut akan ketahuan melahirkan anak (c) Pada saat anak dilahirkan (d) Tidak lama kemudian (setelah dilahirkan) (e) Merampas nyawa anak itu 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja e) Pembunhan bayi oleh ibunya secara berencana/ kinder moord (Pasal 342 KUHP) Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang berbunyi: seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian dari pada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun Unsur-unsur pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana adalah: 1) Unsur objektif: (a) Seorang ibu

18 18 (b) Adanya niat yang sudah ditentukan sebelumnya (c) Karena takut akan ketahuan melahirkan anak (d) Pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian setelah anak dilahirkan (e) Merampas nyawa anaknya 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja. f) Pembunuhan atas permintaan sendiri/ yang bersangkutan (Pasal 344 KUHP) Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang berbunyi: barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun Unsur-unsur pembunuhan atas permintaan sendiri adalah: 1) Unsur menghilangkan atau merampas nyawa orang lain 2) Atas permintaan orang itu sendiri 3) Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati g) Penganjuran/ membujuk/ membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345 KUHP) Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang berbunyi: barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri. Unsur-unsur penganjuran agar bunuh diri adalah: 1) Unsur objektif, yang terdiri dari: (a) Mendorong orang lain untuk bunuh diri (b) Menolong orang lain untuk bunuh diri

19 19 (c) Memberikan sarana untuk bunuh diri (d) Orang tersebut jadi bunuh diri 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja. h) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346 KUHP) Kata pengguguran kandungan adalah terjemahan dari kata abortus provocateur yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan membuat keguguran. Hal ini diatur dalam Pasal 346 KUHP yang berbunyi: perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun Unsur-unsur pengguguran kandungan dengan izin ibunya adalah: 1) Unsur objektif, yang terdiri dari unsur: (a) Perempuan (b) Menggugurkan (c) Mematikan (d) Menyuruh orang lain menggugurkan (e) Menyuruh orang lain mematikan kandungannya sendiri 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja i) Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang mengandung (Pasal 347 KUHP) Hal ini diatur dalam Pasal 347 KUHP yang berbunyi:

20 20 (1). Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. (2). Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun. Unsur-unsur pengguguran kandungan tanpa izin ibunnya adalah: 1) Unsur objektif, yang terdiri dari unsur: (a) Menggugurkan kandungan seorang perempuan (b) Mematikan kandungan seorang perempuan (c) Tanpa persetujuan perempuan itu 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja j) Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandung tersebut (Pasal 348 KUHP) Hal ini diatur dalam Pasal 348 KUHP yang berbunyi: (1). Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan (2). Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun. Unsur-unsur penguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya adalah: 1) Unsur objektif, yang terdiri dari: (a) Menggugurkan kandungan seorang perempuan (b) Mematikan kandungan seorang perempuan (c) Dengan persetujuannya

21 21 2) Unsur subjektif: (a) Dengan sengaja. k) Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu (Pasal 349 KUHP). Dalam hal ini, dokter, bidan atau tukang obat yang membantu pengguguran atau matinya kandungan. Hal ini juga secara tegas diatur dalam Pasal 349 KUHP yang berbunyi: jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346 KUHP, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348 KUHP, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan F. Metode Penelitian Metode penelitian menjelaskan mengenai bagaimana data dan informasi diperoleh dalam melaksanakan penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara lain: 1) Jenis penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal research), jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dapat dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau

22 22 dasar dalam hukum yaitu masyarakat hukum, subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum. 38 Penelitian ini penting artinya karena masing-masing pengertian pokok atau dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum, misalnya pengertian pokok atau dasar peristiwa hukum yang mempunyai arti penting dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan (omstandigheden), kejadian (gebeurtenissen) dan perilaku atau sikap tindak (gedragingen). 39 2) Metode pengumpulan data Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti. 40 Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) serta penelitian kasus terhadap putusan perkara pidana pembunuhan No. 1243/Pid B/2006/PN-LP (field research). Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen. Sumber data diperoleh dari: 41 a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu: (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); (2) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peranan visum et repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan. 38 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta. hlm Ibid. 40 Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Banngsa Press, 2007, Medan, hlm Bambang Sunggono, loc.cit, hlm.185

23 23 b) Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : buku-buku bacaan terkait visum et repertum, pembunuhan, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya. c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum dan artikel-artikel yang berasal dari internet. 3) Analisis data Analisis data yang digunakan pada skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta memilah-milahnya dalam satuan konsep, kategori atau tema tertentu. 42 untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara konfrehensif sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini. G. Sistematika Penulisan Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak dapat terpisahkan. Pembagian sub bab ini dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhirnya diperoleh kesimpulan dan saran. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 42 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke arah penguasaan Model Aplikasi, PT.Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hlm.68-69

24 24 BAB I : Pendahuluan, yang tediri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Pembahasan peranan visum et repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan, yang terdiri dari: teori pembuktian dalam hukum acara pidana, kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti, dan peranan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan. BAB III : Pembahasan kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN- LP, yang terdiri dari: kasus posisi yang terbagi atas kronologis kasus, dakwaan, tuntutan, fakta-fakta hukum dan putusan hakim serta analisis kasus. BAB IV : Penutup, yang terdiri dari: kesimpulan seluruh tulisan atau pembahasan dan saran-saran.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN YANG MENGHILANGKAN NYAWA

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN YANG MENGHILANGKAN NYAWA TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN YANG MENGHILANGKAN NYAWA Oleh: I Komang Heri Setiawan Tjok Istri Putra Astiti Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Timbulnya perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Jurnal Skripsi TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : 1.Laurensius Geraldy Hutagalung Dibimbing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pembuktian Hukum pembuktian merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana yang menjadi sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut penulis sampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA JANIN DALAM KUHP

BAB III TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA JANIN DALAM KUHP BAB III TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA JANIN DALAM KUHP A. Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Ibu Hamil Yang Mengakibatkan Kematian Janin Tindak pidana penganiayaan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian

BAB I PENDAHULUAN. dijatuhi pidana apabila terbukti memiliki kesalahan.dengan demikian penilaian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perpektif dalam hukum pidana apabila seseorang yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan pidana dan tidak ada alasan penghapusan pidana, maka tetap dijatuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan oleh pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), maka merupakan suatu kewajiban

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN A. Tindak Pidana Penganiayaan Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana 1. Tindak pidana pembunuhan Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pandangan KUHP yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.ini mudah terlihat pada perumusan perumusan dari tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN SECARA MUTILASI A. Pembunuhan 1. Pengertian Pembunuhan Pengertian pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan beberapa orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perampokan dan lain-lain sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Tindak

BAB I PENDAHULUAN. perampokan dan lain-lain sangat meresahkan dan merugikan masyarakat. Tindak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang selalu melekat pada masyarakat. Kejahatan, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya hukum pidana dalam masyarakat digunakan sebagai sarana masyarakat membasmi kejahatan. Oleh karena itu, pengaturan hukum pidana berkisar pada perbuatan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi dan modernisasi pada saat ini berdampak negatif pada para remaja yang tidak mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

1. PERCOBAAN (POGING)

1. PERCOBAAN (POGING) Hukum Pidana Lanjutan Rabu, 25 Mei 2016 Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Poging, Deelneming,Residive, dan Pasal Tindak Pidana dalam KUHP Pembicara : 1. Sastro Gunawan Sibarani (2009) 2. Sarah Claudia

Lebih terperinci

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan. 55 BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN 1999 A. Pengertian Remisi Pengertian Remisi memang tidak hanya terpaku dalam satu pengertian saja. Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli maupun

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindak pidana jumlahnya makin meningkat adalah pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus pembunuhan pada tahun 2010 mencapai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pergerakan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang. yang penuh, dan belum sempat timbul rasa kasih sayang.

BAB I PENDAHULUAN. Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang. yang penuh, dan belum sempat timbul rasa kasih sayang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lain, terpengaruh obat-obatan dan lain-lain. yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi disebabkan oleh kelalaian pengemudi baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa faktor yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Palu No.12/Pid.B/2009/PN.PL) ANHAR / D 101 07 355 ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci