BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman kakao milik masyarakat di

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman kakao milik masyarakat di"

Transkripsi

1 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman kakao milik masyarakat di desa Candi Rejo dan desa Sidomulyo, Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang pada ketinggian ±83 m diatas permukaan laut dan identifikasi serangga dilakukan dilaboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,, Medan. Penelitian dimulai pada bulan Juni sampai dengan bulan September Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kakao yang telah berbuah, imago serangga yang tertangkap, air bersih, detergen, plastik transparan, kertas warna kuning, lem perekat tikus, minyak lampu, tali plastik, formalin dan alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah triplek, bambu, lampu badai, stoples, ember, suduk tanah, botol kecil, kain kasa, jaring serangga, cup plastik, lup/ kaca pembesar, preparat/petridis, selotip, pinset, gunting, toples, kalkulator, kamera, killing bottle, buku acuan identifikasi yaitu Kalshoven (1981) dan Borror et al. (1981), dan alat tulis menulis. Pelaksanaan Penelitian Penentuan Lokasi Pengamatan Pengamatan dilakukan pada lahan pertanaman kakao milik masyarakat yang dibudidayakan dengan teknik PHT melalui bimbingan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan yang berada pada desa Candi Rejo, Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang dengan luas

2 lahan kurang lebih 4200 m 2. Kemudian diambil lahan yang dijadikan sampel sebanyak 10% dari keseluruhan lahan (420 m 2 ).Selanjutnya sampel dibagi menjadi 5 petak pengamatan, sehingga setiap petakan terdiri dari 84 m 2 yang terdiri dari 9-10 pohon kakao.lahan pertanaman kakao non PHT terletak di Desa Sidomulyo, Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten deli Serdang.Luas petakan sampel mengikuti luas petakan lahan kakao PHT. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel yang dilakukan sebanyak 5 kali pengambilan dengan menangkap serangga yang tertangkap pada pertanaman kakao di lahan pengamatan.yang menjadi sampel pengamatan adalah serangga dewasa (imago) yang didapatkan di pertanaman kakao. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan 4 perangkap yaitu: perangkap jaring (sweep net), perangkap jatuh (fit fall trap), perangkap lampu (light trap), dan perangkap kuning (yellow trap). Gambar 9. Perangkap Jaring (Sweep Net) Perangkap Jaring (Sweep Net) Perangkap jaring (sweep net) terbuat dari bahan ringan dan kuat dengan kain kasa yang mudah diayunkan dan serangga yang ditangkap dapat terlihat.pengambilan sampel pada lahan pertanaman kakao dilakukan dengan 40x

3 pengayunan secara diagonal pada lahan pertanaman.serangga yang tertangkap kemudian dikumpulkan dan dipisahkan lalu dimasukkan kedalam botol sampel untuk diidentifikasi.penangkapan serangga dilakukan pada pagi pukul WIB.Penangkapan dilakukan 1 minggu sekali dengan jumlah pengamatan sebanyak 5 kali. Gambar 10.Perangkap Jatuh (Pit Fall Trap) Perangkap Jatuh (Pit Fall Trap) Perangkap jatuh (Pit Fall Trap) digunakan untuk menangkap serangga yang hidup diatas permukaan tanah.alat ini dibuat dari cup plastik dengan volume 125 ml, kemudian kedalam cup plastik tersebut dimasukkan air jernih yang telah dicampur dengan deterjen.cup tersebut dimasukkan kedalam tanah yang diletakkan rata dengan permukaan tanah.cup diletakkan sebanyak 5 buah pada setiap petak pengamatan dan diberi naungan agar apabila hujan datang air tidak memenuhi cup yang dapat membuat serangga tertangkap menjadi keluar.serangga yang jatuh kedalam cup dikumpulkan, dihitung dan dimasukkan ke dalam toples untuk diidentifikasi.peletakan perangkap dilakukan pada pukul WIB.Perangkap diletakkan selama 24 jam.penangkapan dilakukan 1 minggu sekali dengan jumlah pengamatan sebanyak 5 kali.

4 Gambar 11.Perangkap Lampu (Light Trap) Perangkap Lampu (Light Trap) Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga yang respon terhadap cahaya pada malam hari (nocturnal).perangkap ini menggunakan lampu badai sebagai sumber cahaya. Lampu diletakkan diatas baskom yang telah dipaku bambu/ kayu dengan ketinggian cm dari permukaan tanah, baskom terlebih dahulu diisi air yang dicampur dengan detergen sehingga serangga yang tertarik cahaya lampu akan jatuh kedalam ember. Perangkap diletakkan sebanyak 1 buah pada setiap petak pengamatan.serangga yang jatuh kedalam ember dikelompokkan sesuai dengan ordo serangga dan diidentifikasi.pemasangan alat ini dilakukan pada pukul WIB dan dipasang sepanjang malam.penangkapan dilakukan 1 minggu sekali dengan jumlah pengamatan sebanyak 5 kali. Gambar 10. Perangkap Kuning (Yellow Trap)

5 Perangkap Kuning (Yellow Trap) Perangkap ini terbuat dari kertas berwarna kuning yang berukuran 30 cm x 30 cm kemudian dilapisi plastik bening yang diolesi dengan lem perekat tikus dan ditempelkan pada triplek yang dipaku pada bambu setinggi cm. Pemasangan perangkap ini dilakukan pada pukul WIB. Perangkap diletakkan sebanyak 1 buah pada setiap petak pengamatan.penangkapan dilakukan 1 minggu sekali dengan jumlah pengamatan sebanyak 5 kali. Seluruh serangga yang terdapat dalam perangkap diambil kemudian diamati (diidentifikasi) secara langsung di lapangan maupun di laboratorium dengan mengacu pada buku kunci determinasi serangga yaitu Kalshoven (1981) dan Borror, et al. (1992). Identifikasi Serangga Serangga yang didapat di lapangan dikelompokkan sesuai dengan ordonya. Serangga yang dikenali spesiesnya diindentifikasi langsung dilapangan, sedangkan serangga yang belum dikenal diidentifikasi di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,, Medan dengan mengacu pada buku kunci determinasi serangga, antara lain Kalshoven (1981) dan Borroretal. (1992). Identifikasi dilaksanakan maksimal sampai pada tingkat famili. Peubah Amatan 1. Jumlah dan Jenis Serangga Tertangkap Serangga yang tertangkap dari berbagai perangkap dikumpulkan, diamati dan diidentifikasi dengan menggunakan buku kunci determinasi serangga kemudian dihitung sesuai dengan jenis famili masing-masing pada setiap

6 pengamatan. 2. Nilai Frekuensi Mutlak, Frekuensi Relatif, Kerapatan Mutlak, Kerapatan Relatif pada setiap pengamatan. Dengan diketahuinya jumlah populasi serangga tertangkap yang telah diidentifikasi maka dapat dihitung nilai frekuensi mutlak, frekuensi relatif, kerapatan mutlak, kerapatan relatif pada setiap pengamatan. 3. Nilai Indeks Keragaman Jenis Serangga Setelah jumlah serangga yang tertangkap pada setiap pengamatan diketahui, maka dihitung indeks keragaman pada masing-masing pengamatan dengan menggunakan rumus indeks Shanon-Weiner (H). 4. Nilai Indeks Kemerataan Jenis Serangga Untuk menilai kemantapan atau kestabilan suatu serangga dalam suatu komunitas maka dapat digunakan nilai indeks kemerataan jenis. Metode Analisa Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu dengan melakukan pengambilan sampel serangga pada pertanaman kakao yang dibudidayakan secara PHT dan non PHT di Kecamatan Biru-biru. Serangga yang diperoleh pada setiap penangkapan setelah dikumpulkan, dikelompokkan dan diidentifikasi langsung dan juga dilaboratorium, kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut : - Kerapatan Mutlak (KM) suatu jenis serangga Kerapatan mutlak menunjukkan jumlah serangga yang ditemukan pada habitat yang dinyatakan secara mutlak (Suin, 1997). - Kerapatan Relatif (KR) suatu jenis serangga

7 KR = KM x 100% KM KR = Jumlah individu suatu jenis dalam setiap penangkapan 100% Total individu dalam setiap penangkapan - Frekuensi Mutlak (FM) suatu jenis serangga Frekuensi mutlak menunjukkan jumlah keseringhadiran suatu serangga tertentu yang ditemukan pada habitat tiap pengamatan yang dinyatakan secara mutlak(suin, 1997). - Frekuensi Relatif (FR) suatu jenis serangga Frekuensi relatif menunjukkan keseringhadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut (Suin, 1997). FR = FM 100% FM FR = Nilai FM suatu jenis serangga setiap penangkap x 100% Nilai FM semua jenis serangga setiap penangkapan - Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Untuk membandingkan tinggi rendahnya keragaman jenis serangga digunakan indeks Shanon-Weiner (H) dengan rumus : s H = -Σpi ln pi i=1 pi = N ni Dimana : pi = perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Pi = ni/n ni = jumlah individu jenis ke-i

8 N = jumlah total individu semua jenis (Price, 1997). berikut : Dengan kriteria indeks keanekaragaman menurut Krebs (1978) sebagai H > 3 (Tinggi) 1 < H < 3 (Sedang) H < 1 (Rendah) - Nilai Indeks Kemerataan Jenis Serangga Untuk menilai kemantapan atau kestabilanjenis serangga dalam suatu komunitas maka dapat digunakan nilai indeks kemerataan antar jenis dengan menggunakan rumus : E = H / ln(s) Dimana : E = Indeks kemerataan jenis H = Indeks Shannon S = Jumlah jenis yang ditemukan ln = Logaritma natural Dengan kriteria indeks kemerataan jenis menurut Odum (1996) sebagai berikut : E < 0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah E = menunjukkan kemerataan jenis tergolong sedang E > 0.6 menunjukkan kemerataaan jenis tergolong tinggi.

9 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Jenis Serangga yang Tertangkap Tabel 1. Jumlah dan Jenis Serangga yang Tertangkap Lahan PHT Lahan Non PHT Ordo Famili Pengamatan (Ekor) Pengamatan (Ekor) Total I II III IV V I II III IV V Total Alydidae Hemiptera Cicadidae Miridae Pentatomidae Eulophidae Formicidae Hymenoptera Ichneumonidae Pompilidae Vespidae Agromyzidae Calliphoridae Culicidae Diptera Muscidae Sciaridae Stratiomydae Tachinidae Tephritidae Homoptera Cicadellidae Delphacidae Cossidae Lepidoptera Geometridae Noctuidae Papilionidae Anthicidae Carabidae Cerambycidae Chrysomelidae Coleoptera Coccinellidae Curculionidae Lampyridae Oedemeridae Scarabaeidae Tenebrionidae Acrididae Orthoptera Gryllidae Gryllotalpidae Tettigonidae Ghomphidae Odonata Lestidae Libellulidae Dermaptera Forficuloidea Blatodea Blaberidae Blattellidae Mantodea Mantidae Isoptera Rhinotermitidae Total

10 Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa hasil pengamatan serangga yang tertangkap pada lahan pertanaman kakao dengan teknik pengendalian hama terpadu (PHT) terdiri dari 12 ordo dan 44 famili dengan jumlah populasi serangga sebanyak 2771 ekor, sedangkan pada lahan kakao non PHT serangga yang tertangkap lebih sedikit yaitu 10 Ordo dan 39 familidengan jumlah populasi serangga sebanyak3688 ekor. Hal ini disebabkan karena pengendalian hama pada lahan kakao PHT hanya dilakukan apabila serangan hama sudah melewati batas ambang ekonomi dan kegiatan pengendalian yang dilakukan diusahakan spesifik pada hama yang ingin dikendalikan, sementara pada lahan kakao non PHT pengendalian hama dilakukan menggunakan pestisida kimiawi sehingga ikut membunuh jenis serangga lainnya yang menjadikan jenis famili serangga menjadi sedikit dan menyebabkan hama menjadi resisten yang mengakibatkan meningkatnya jumlah serangga tertentu. Rauf et al.(2000) menyatakan bahwa penggunaan pestisida kimiawi secara terus menerusakan menimbulkan masalah yang lebih berat yaitu terbunuhnya musuh alami, terjadinya resistensi, peledakan hama skunder, dan pencemaran lingkungan. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah serangga yang paling banyak tertangkap pada pertanaman kakao PHT adalah Formicidae dari ordo Hymenoptera yang berjumlah 762 ekor yang didominasi oleh spesies semut hitam. Adanya salah satu konsep PHT yang diterapkan pada lahan kakao PHT yaitu pembuatan sarang-sarang semut merupakan penyebab utama banyaknya spesies ini.hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tersebut berhasil mendatangkan semut.

11 Berdasarkan hasil pengamatan pada lahan kakao dengan teknik PHT diketahui bahwa jumlah serangga yang paling sedikit tertangkap adalah Gryllotalpidae dari ordo Orthoptera yaitu sebanyak 2 ekor.penyebabnya yaitu habitatnya yang berada di dalam tanah dan sangat jarang keluar kecuali malam hari (serangga nocturnal). Frank, et. al. (2007) menyatakan bahwa gryllotalpidae(anjing tanah) adalah hewan yang agak jarang terlihat karena lebih suka bersembunyi dalam lubang dan aktif pada malam hari mencari makanan. Hasil pengamatan pada lahan kakao non PHT menunjukkan jumlah serangga yang paling banyak tertangkap adalahsciaridae dari ordo Dipterayang berjumlah 932 ekor.hal ini dikarenakan lokasi lahan kakao PHT yang dekat dengan sungai dan lahan yang pada saat penelitian sedang dalam keadaan semak.tempat seperti ini merupakan habitat yang disukai oleh serangga ini.salmela dan Vilkamaa (2005) menyatakan bahwa Sciaridaeadalah sejenis serangga yang menyerupai nyamuk tetapi lebih kecil dan biasanya terdapat di tepi laut, sungai dan kawasan semak. Pada lahan kakao non PHT menunjukkan jumlah serangga yang paling sedikit tertangkap adalah Lestidae dari ordo Odonata dengan jumlah yang tertangkap yaitu 4 ekor.penyebabnya adalah serangga jenis ini kemampuan terbangnya lemah dengan wilayah jelajah yang tidak luas. Rahadi et al. (2013) menyatakan bahwa Lestidae termasuk jenis zygoptera (capung jarum) memiliki sepasang mata majemuk terpisah, ukuran tubuh relatif kecil, ukuran sayap depan dan belakang sama besar serta posisi sayap dilipat diatas tubuh saat hinggap, kemampuan terbang cenderung lemah dengan wilayah jelajah tidak luas. Jumlah serangga yang tertangkap pada lahan kakao PHT setiap

12 penangkapan berbeda-beda.serangga yang paling banyak tertangkap pada penangkapan pertama yaitu 628 ekor dan berbeda-beda jumlahnya di penangkapan-penangkapan berikutnya. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik ekosistem yang tidak selalu sama. Menurut Susniahtiet al. (2005) faktor fisikterbatas kepada suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan dan angin yang mudah dievaluasi.setiap serangga mempunyai kisaran fisik tertentu, dimana pada kisaran terendah ataupun kisaran tertinggi, serangga tersebut masih dapat bertahan hidup. Penangkapan serangga pada lahan kakao non PHT juga berbedabeda.jumlah serangga paling sedikit terdapat pada pengamatan ke-3.hal ini dipengaruhi oleh adanya penggunaan herbisida kimiawi untuk mengendalikan gulma yang menyebabkan berkurangnya serangga-serangga yang melakukan aktivitasnya di permukaan tanah. Dari empat cara penangkapan yang dilakukan, jumlah serangga yang paling banyak tertangkap adalah pada perangkap kuning (yellow trap) dan paling sedikit pada perangkap jaring (sweep net). Hal ini dikarenakan serangga pada umumnya lebih tertarik pada gelombang cahaya warna kuning yang dipantulkan dari perangkap kuning sehingga mendekati perangkap kuning yang telah diberi perekat dan akhirnya melekat di perangkap sedangkan pada perangkap jaring serangga yang ditangkap relatif sedikit karena saat penangkapan secara langsung serangga tidak selalu ada dan dipengaruhi daya mobilitas serangga yang tinggi. Status Fungsi Serangga yang Tertangkap Setiap spesies mempunyai relung (cara hidup) dan fungsi yang berbeda dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Selama spesies serangga tersebut

13 melaksanakan fungsinya dan bekerjasama dengan baik maka keteraturanekosistem akan tetap terjaga. Berikut ini dapat dilihat jenis serangga dan masing-masing fungsi serangga yang tertangkap pada Tabel 2. Tabel 2. Status Fungsi Serangga yang Tertangkap Ordo Famili Status Fungsi Total Serangga Lahan PHT Lahan Non PHT Alydidae Hama 10 0 Hemiptera Cicadidae Tidak Diketahui 9 10 Miridae Hama Pentatomidae Hama Eulophidae Parasitoid Formicidae Predator/ Dekomposer Hymenoptera Ichneumonidae Parasitoid Pompilidae Parasitoid Vespidae Predator Agromyzidae Hama Calliphoridae Dekomposer Culicidae Hama Diptera Muscidae Predator Sciaridae Hama Stratiomydae Hama Tachinidae Parasitoid Tephritidae Hama Homoptera Cicadellidae Hama Delphacidae Hama 11 0 Cossidae Hama Lepidoptera Geometridae Hama Noctuidae Hama/ Polinator Papilionidae Polinator Anthicidae Tidak Diketahui Carabidae Predator Cerambycidae Hama/ Dekomposer 9 20 Chrysomelidae Hama Coleoptera Coccinellidae Predator Curculionidae Hama Lampyridae Predator 10 0 Oedemeridae Dekomposer Scarabaeidae Hama Tenebrionidae Hama Acrididae Hama Orthoptera Gryllidae Hama Gryllotalpidae Hama 2 0 Tettigonidae Hama Ghomphidae Predator Odonata Lestidae Predator 0 4 Libellulidae Predator 6 9 Dermaptera Forficuloidea Predator 7 0 Blatodea Blaberidae Hama/ Dekomposer 8 9 Blattellidae Hama/ Dekomposer 11 16

14 Mantodea Mantidae Predator 10 0 Isoptera Rhinotermitidae Hama/ Dekomposer Total Dari Tabel 2 diketahui bahwa status serangga yang terdapat pada lahan pertanaman kakao dengan teknik PHT yaitu serangga yang diketahui sebagai hama terdiri dari 25 famili dari 8 ordo, serangga sebagai predator terdiri dari 11 famili dari 6 ordo. Status serangga sebagai parasitoid berasal dari 4 famili dari ordo Hymenoptera dan Diptera, serangga yang berstatus sebagai polinator hanya terdapat pada ordo Lepidoptera yaitu pada famili Noctuidae danpapilionidae.status serangga sebagai dekomposer terdiri dari 7 famili dari 5 ordo sedangkan status fungsi serangga yang tidak diketahui yakni Cicadidae dari ordo hemiptera dan famili Anthicidae dari ordo coleoptera. Pada lahan pertanaman kakao dengan teknik non PHT diketahui bahwa status serangga sebagai hama terdiri dari 22 famili dari 8 ordo, serangga sebagai predator terdiri dari 8 famili dan 4 ordo. Status serangga sebagai parasitoid berasal dari 4 famili dari ordo Hymenoptera dan Diptera, serangga yang berstatus sebagai polinator terdapat pada ordo Lepidoptera yaitu pada famili Noctuidae dan Papilionidae.Status serangga sebagai dekomposer terdiri dari 7 famili dari 5 ordo sedangkan status fungsi serangga yang tidak diketahui yakni Cicadidae dari ordo hemiptera dan famili Anthicidae dari ordo coleoptera. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa jenis family serangga yang diketahui sebagai hama dan predator lebih banyak terdapat pada lahan kakao PHT yaitu pada hama 25 famili dari 8 ordo dibandingkan dengan lahan kakao non PHT yaitu 22 famili dari 8 ordo sedangkan pada predator di lahan kakao PHT yaitu 11 famili dari 6 ordo dibandingkan dengan lahan kakao non PHT yaitu 8 famili dari 4 ordo. Sementara itu diketahui bahwa jenis serangga yang berstatus sebagai

15 parasitoid, polinator, dekomposer dan yang tidak diketahui pada kedua tempat penelitian adalah sama. Hal ini dikarenakan pada lahan kakao non PHT digunakan pestisida kimiawi secara terus-menerus sehingga menghilangkan berbagai jenis serangga pada lahan.rauf et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan pestisida kimiawi secara terus menerus akan menimbulkan masalah yang lebih berat yaitu terbunuhnya musuh alami, terjadinya resistensi, peledakan hama skunder, dan pencemaran lingkungan. Jumlah jenis famili serangga yang berstatus sebagai hama pada lahan penelitian umumnya lebih banyak pada lahan kakao non PHT dibandingkan dengan lahan kakao dengan PHT kecuali pada Tephritidae, Curculionidae, Scarabaeidae, Acrididae, dan Tenebrionidae. Hal ini dikarenakan adanya berbagai pengendalian yang dilakukan pada lahan kakao PHT yang menekan jumlah hama. Pada lahan kakao PHT juga dilakukan sistem tanam tumpang sari dengan nenas, pepaya, pisang, durian dan lain-lain yang menyebabkan keanekaragaman jenis serangga pada lahan khususnya kehadiran lalat buah (Tephritidae) yang cukup banyak. Alyoklin et al. (1991) menyatakan bahwa spesies lalat buah merupakan hama penting yang berasosiasi dengan berbagai buah-buahan dan sayuran tropika yang menyebabkan kerusakan langsung terhadap 150 spesies tanaman buah dan sayuran. Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa terdapat keseimbangan ekosistem diantara serangga serangga pada areal tersebut. Hal ini dapat diketahui karena pada kedua pertanaman kakao serangga yang didapatkan tidak hanya berstatus sebagai hama, melainkan terdapat juga parasitoid, predator, dan serangga berguna lainnya. Putra (1994) menyatakan bahwa setiap serangga mempunyai sebaran

16 khas yang dipengaruhi oleh biologi serangga, habitat dan kepadatan populasi. Nilai Kerapatan Mutlak, Kerapatan Relatif, Frekuensi Mutlak, Frekuensi Relatif Pada Lahan Tabel 3. Nilai Kerapatan Mutlak, Kerapatan Relatif, Frekuensi Mutlak, Frekuensi Relatif pada Lahan Ordo Famili Lahan PHT Lahan Non PHT KM KR (%) FM FR KM KR FM FR (%) Alydidae Hemiptera Cicadidae Miridae Pentatomidae Eulophidae Formicidae Hymenoptera Ichneumonidae Pompilidae Vespidae Agromyzidae Calliphoridae Culicidae Diptera Muscidae Sciaridae Stratiomydae Tachinidae Tephritidae Homoptera Cicadellidae Delphacidae Cossidae Lepidoptera Geometridae Noctuidae Papilionidae Anthicidae Carabidae Cerambycidae Chrysomelidae Coleoptera Coccinellidae Curculionidae Lampyridae Oedemeridae Scarabaeidae Tenebrionidae Acrididae Orthoptera Gryllidae Gryllotalpidae Tettigonidae Ghomphidae Odonata Lestidae Libellulidae Dermaptera Forficuloidea Blatodea Blaberidae Blattellidae

17 Mantodea Mantidae Isoptera Rhinotermitidae Total Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif tertinggi pada lahan kakao PHT terdapat padaformicidae dengan nilai KM = 762 dan KR = 27,49% sedangkan yang terendah terdapat pada Gryllotalpidaedengan nilai KM = 2 dan KR = 0,07%. Hal ini disebabkan karena Formicidae pada lahan pengamatan adalah famili paling banyak tertangkap dan yang paling sedikit tertangkap adalah Gryllotalpidae.Michael (1995) menyatakan bahwa kerapatan mutlak menunjukkan jumlah serangga yang ditemukan pada habitat yang dinyatakan secara mutlak. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif tertinggi pada lahan kakao PHT terdapat pada famili Miridae, Pentatomidae, Formicidae, Ichneumonidae,Pompilidae, Vespidae, Agromyzidae, Muscidae, Sciaridae, Stratiomydae, Tachinidae, Tephritidae, Delphacidae, Cossidae, Noctuidae, Cerambycidae, Chrysomelidae, Coccinellidae, Curculionidae, Oedemeridae, Scarabaeidae, Tenebrioidae, Acrididae, Gryllidae, Tettigonida, dan Blattellidaedengan nilai FM = 5 dan FR = 2,52%. Nilai tersebut karena serangga tersebut sering hadir dalam lahan pengamatan dan penyebaran serangga tersebut luas di daerah lahan pertanaman kakao.hal ini sesuai dengan Michael (1995) yang menyatakan bahwa frekuensi relatif menunjukkan keseringhadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut. Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif terendah pada lahan kakao PHT terdapat pada famili Gryllotalpidae dan Rhinotermitidae dengan nilai FM = 2 dan FR = 1,01%. Nilai

18 yang rendah disebabkan karena serangga tersebut jarang hadir pada lahan pengamatan dan penyebaran serangga tersebut tidak luas pada lahan pengamatan.michael (1995) menyatakan bahwa frekuensi relatif menunjukkan keseringhadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut. Pada pengamatan kakao non PHT diketahui bahwa nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif tertinggi adalahsciaridaedengan nilai KM = 932 dan KR = 25,27% sedangkan nilai yang terendah adalahlestidaedengan nilai KM = 4 dan KR = 0,10%. Hal ini disebabkan karenasciaridae adalah famili yang paling banyak tertangkap dan yang paling sedikit tertangkap adalahlestidae.berdasarkan Michael (1995) diketahui bahwa kerapatan mutlak menunjukkan jumlah serangga yang ditemukan pada habitat yang dinyatakan secara mutlak. Pada lahan kakao non PHT diketahui bahwa nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif tertinggi terdapat pada famili Miridae, Formicidae, Ichneumonidae, Pompilidae, Vespidae, Agromyzidae, Calliphoridae, Culicidae, Muscidae, Sciaridae, Stratiomydae, Tachinidae, Tephritidae, Cicadellidae, Delphacidae, Cossidae, Noctuidae, Anthicidae, Cerambycidae, Chrysomelidae, Coccinellidae, Curculionidae, Oedemeridae, Scarabaeidae, Acrididae, Gryllidae, Tettigonidae, Ghomphidae, Libellulidae, Blaberidae, dan Blattellidae dengan nilai FM = 5 dan FR = 2.70%. Nilai tersebut karena serangga tersebut sering hadir dalam lahan pengamatan dan penyebaran serangga tersebut luas di daerah lahan pertanaman kakao.michael (1995) yang menyatakan bahwa frekuensi relatif menunjukkan keseringhadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut.

19 Dari Tabel hasil perhitungan dapat diketahui bahwa nilai frekuensi mutlak dan frekuensi relatif terendah pada lahan kakao non PHT terdapat pada famili Rhinotermitidaedengan nilai FM = 2 dan FR = 1,08%. Nilai yang rendah disebabkan karena serangga tersebut jarang hadir pada lahan pengamatan dan penyebaran serangga tersebut tidak luas pada lahan pengamatan.hal ini sesuai dengan Michael (1995) yang menyatakan bahwa frekuensi relatif menunjukkan keseringhadiran suatu jenis serangga pada habitat dan dapat menggambarkan penyebaran jenis serangga tersebut. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Ordo Famili Indeks Keanekaragaman Lahan Kakao PHT Indeks Kenaekaragaman Lahan Kakao Non PHT Pi ln Pi H' Pi ln Pi H' Alydidae Hemiptera Cicadidae Miridae Pentatomidae Eulophidae Formicidae Hymenoptera Ichneumonidae Pompilidae Vespidae Agromyzidae Calliphoridae Culicidae Diptera Muscidae Sciaridae Stratiomydae Tachinidae Tephritidae Homoptera Cicadellidae Delphacidae Cossidae Lepidoptera Geometridae Noctuidae Papilionidae Anthicidae Carabidae Coleoptera Cerambycidae Chrysomelidae Coccinellidae Curculionidae

20 Lampyridae Oedemeridae Scarabaeidae Tenebrionidae Acrididae Orthoptera Gryllidae Gryllotalpidae Tettigonidae Ghomphidae Odonata Lestidae Libellulidae Dermaptera Forficuloidea Blatodea Blaberidae Blattellidae Mantodea Mantidae Isoptera Rhinotermitidae Total Nilai indeks keanekaragaman pada lahan kakao PHT adalah H = 2,90. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga pada lingkungan lahan tersebut sedang karena H = 1-3 adalah kondisi lingkungan sedang. Menurut Michael (1995) bila H 1-3 berarti keanekaragaman serangga sedang yaitumengarah hampir baik dimana keberadaan hama dan musuh alami hampir seimbang. Pada lahan kakao non PHT nilai indeks keanekaragaman serangga adalah H = 2,76. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan lingkungan dalam keadaan sedang.michael (1995) menyatakan bila H 1-3 berarti keanekaragaman serangga sedang yaitu mengarah hampir baik dimana keberadaan hama dan musuh alami hampir seimbang. Pada lahan kakao PHT, serangga yang tertangkap adalah12 ordo dan 44 famili sedangkan pada lahan kakao non PHT serangga yang tertangkap yaitu 10 Ordo dan 39 famili. Famili yang tidak terdapat pada saat penangkapan pada lahan kakao PHT adalah Lestidae dari ordo odonatasedangkan pada lahan kakao non PHT famili yang tidak ada yaitu Alydidae dari ordo hemiptera, Delphacidae dari

21 ordo homoptera, Lampyridae dari ordo Coleoptera, Gryllotalpidae dari ordo Orthoptera, Forficuloidae dari ordo Dermaptera, dan Mantidae dari ordo mantodea. Penyebab perbedaan nilai indeks keanekaragaman yaitu adanya pengendalian hama terpadu yang dilakukan pada lahan kakao PHT sehingga meningkatkan keanekaragaman, selain itu juga karena lahan kakao non PHT yang cenderung heterogen yaitu hanya terdapat tanaman kakao dan tanaman durian sebagai pelindung, sedangkan pada lahan kakao PHT dilakukan dengan sistemtumpang sari dengan tanaman nenas, durian, mahoni, manggis dan pisang sehingga serangga yang terdapat pada lebih beragam. Hal ini sesuai dengan Krebs (1978) yang menyatakan semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebut dan semakin tinggi keragaman jenisnya. Nilai Indeks Kemerataan Jenis Serangga Tabel 5. Nilai Indeks Kemerataan Jenis Serangga Pengamatan Indeks Kemerataan Lahan PHT Indeks Kemerataan Lahan Non PHT E Nilai indeks kemerataan jenis serangga (E ) pada tanaman kakao PHT adalah 0,76 yang menunjukkan bahwa kemerataan jenis serangga pada lingkungan lahan tersebut adalah tinggi karena E > 0,6 maka kemerataan jenis serangga tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan keadaan ekosistem lahan dalam keadaan baik. Mahrub (1997) menyatakan bahwa nilai kemerataan berkisaran antara 0 1, makin tinggi nilai E (indeks kemerataan) maka keadaan ekosistem akan lebih baik.

22 Pada lahan kakao non PHT nilai indeks kemerataan jenis serangga (E ) adalah 0,75 yang menunjukkan bahwa kemerataan jenis serangga pada lingkungan lahan ini juga tinggi karena jika E > 0,6 maka kemerataan jenisnya tergolong tinggi. Odum (1996) menyatakan bahwa nilai kemerataan (E) berkisar antara 0 dan 1 yang mana jika nilai kemerataan semakin mendekati 1 maka menggambarkan suatu keadaan dimana semua spesies cukup melimpah. Penyebab tingginya kemerataan jenis serangga pada lahan kakao PHT dan Non PHT disebabkan karena tidak ada jenis famili yang jumlahnya sangat mendominasi. Hal ini sesuai dengan Oka (1994) yang menyatakan bahwa nilai kemerataan akan cenderung tinggi bila jumlah populasi dalam suatu famili tidak mendominasi populasi famili lainnya sebaliknya kemerataan cenderung rendah bila suatu famili memiliki jumlah populasi yang mendominasi jumlah populasi lain.

23 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Terdapat perbedaan keanekaragaman jenis serangga pada pertanaman kakao dengan teknik budidaya PHT dan Non PHT di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang. Nilai indeks keanekaragaman serangga Shanon-Weiner (H) pada pertanaman kakao dengan teknik budidaya PHT lebih tinggi yaitu 2,9052 (sedang) dibandingkan dengan pada pertanaman kakao non PHT yaitu 2,7633 (sedang). Saran Setelah mengetahui keanekaragaman serangga pada lahan pertanaman kakao dengan teknik PHT dan non PHT, sebaiknya petani kakao yang masih melakukan teknik budidaya non PHT beralih ke teknik PHT karena meningkatkan musuh alami dan meningkatkan keanekaragaman jenis serangga.

LAMPIRAN. : Desa Candi Rejo, Lorong Sekip Pasar.6, Kec. Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Umur Tanaman : 12 tahun ( telah melakukan PHT 3 tahun )

LAMPIRAN. : Desa Candi Rejo, Lorong Sekip Pasar.6, Kec. Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Umur Tanaman : 12 tahun ( telah melakukan PHT 3 tahun ) Lampiran 1. Profil Lahan Penelitian Lahan Kakao PHT LAMPIRAN Nama Pemilik Alamat Lahan Luas Lahan : Pak Bari : Desa Candi Rejo, Lorong Sekip Pasar.6, Kec. Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang. : 10,5 rante

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Serangga pada Pertanaman Coffea arabica L. Setelah Erupsi Abu Vulkanik Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

Keanekaragaman Jenis Serangga pada Pertanaman Coffea arabica L. Setelah Erupsi Abu Vulkanik Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Keanekaragaman Jenis Serangga pada Pertanaman Coffea arabica L. Setelah Erupsi Abu Vulkanik Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Diversity of Insects in Coffea arabica L. Plantations After Eruption Volcanic

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis Serangga Di Berbagai Tipe Lahan Sawah

Keanekaragaman Jenis Serangga Di Berbagai Tipe Lahan Sawah Keanekaragaman Jenis Serangga Di Berbagai Tipe Lahan Sawah Insect Diversity In Various Types Of Farms Rice Field Anna Sari Siregar, Darma Bakti*, Fatimah Zahara Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

Interaksi Trofik Jenis Serangga di atas Permukaan Tanah dan Permukaan Tanah Beberapa Pertanaman Varietas Jagung (Zea mays Linn.)

Interaksi Trofik Jenis Serangga di atas Permukaan Tanah dan Permukaan Tanah Beberapa Pertanaman Varietas Jagung (Zea mays Linn.) Interaksi Trofik Jenis Serangga di atas Permukaan Tanah dan Permukaan Tanah Beberapa Pertanaman Varietas Jagung (Zea mays Linn.) Tropic Interaction of Insects on The Soil Surface and Above of Soil Surface

Lebih terperinci

Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Fase Vegetatif dan Generatif Tanaman Kedelai (Glycine maxmerill) di Lapangan

Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Fase Vegetatif dan Generatif Tanaman Kedelai (Glycine maxmerill) di Lapangan Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga pada Fase Vegetatif dan Generatif Tanaman Kedelai (Glycine maxmerill) di Lapangan Diversity of insects on vegetative and generative phase of soybean (Glycine maxmerill)

Lebih terperinci

Jurnal Online Agroekoteknologi. ISSN No Vol.3. No.4, September (503) : ,

Jurnal Online Agroekoteknologi. ISSN No Vol.3. No.4, September (503) : , Interaksi Tropik Jenis Serangga di atas Permukaan Tanah (Yellow Trap) dan pada Permukaan Tanah (Pitfall Trap) pada Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) di Lapangan Tropic interaction of insect

Lebih terperinci

Lampiran 1 FOTO LAHAN PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1 FOTO LAHAN PENELITIAN. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1 FOTO LAHAN PENELITIAN Lampiran 2 FOTO PERANGKAP Perankap kuning (yellow trap) Perangkap jatuh (pit fall trap) Lampiran 3 FOTO SERANGGA No. Gambar Pengamatan No. Gambar Pengamatan 1. 2. (Coleoptera:

Lebih terperinci

Maria Magdalena Tambunan 1*, Mena Uly 2, Hasanuddin 2 ABSTRACT

Maria Magdalena Tambunan 1*, Mena Uly 2, Hasanuddin 2 ABSTRACT INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum L.) DI KEBUN HELVETIA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II Maria Magdalena Tambunan 1*, Mena Uly 2, Hasanuddin 2 1 Alumnus Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 49 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SPESIES INSEKTA PADA TANAMAN RAMBUTAN DI PERKEBUNAN MASYARAKAT GAMPONG MEUNASAH BAK U KECAMATAN LEUPUNG KABUPATEN ACEH BESAR

KEANEKARAGAMAN SPESIES INSEKTA PADA TANAMAN RAMBUTAN DI PERKEBUNAN MASYARAKAT GAMPONG MEUNASAH BAK U KECAMATAN LEUPUNG KABUPATEN ACEH BESAR Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Biologi, Volume 1, Issue 1, Agustus 2016, hal 71-77 KEANEKARAGAMAN SPESIES INSEKTA PADA TANAMAN RAMBUTAN DI PERKEBUNAN MASYARAKAT GAMPONG MEUNASAH BAK U KECAMATAN LEUPUNG

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI KEBUN HELVETIA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II ABSTRACT

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI KEBUN HELVETIA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II ABSTRACT 1081. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.4, September 2013 ISSN No. 2337-6597 INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI KEBUN HELVETIA PT. PERKEBUNAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Keanekaragaman Serangga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan species dalam komunitas. Keanekaragaman species terdiri dari 2 komponen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik.

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap serangga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel langsung dari lokasi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA BEBERAPA EKOSISTEM DI AREAL PERKEBUNAN PT. UMBUL MAS WISESA KABUPATEN LABUHANBATU

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA BEBERAPA EKOSISTEM DI AREAL PERKEBUNAN PT. UMBUL MAS WISESA KABUPATEN LABUHANBATU INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA BEBERAPA EKOSISTEM DI AREAL PERKEBUNAN PT. UMBUL MAS WISESA KABUPATEN LABUHANBATU SKRIPSI OLEH : ABADI PRAMANA PELAWI 040302027/HPT DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman dan Proporsi Artropoda Permukaan Tanah pada Pertanaman Kentang Artropoda permukaan tanah yang tertangkap pada pertanaman kentang sebanyak 19 52 ekor yang berasal dari ordo

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI KEBUN TANAH RAJA PERBAUNGAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III SKRIPSI OLEH IRNA ROSALYN 030302031 HPT DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu mengadakan kegiatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu mengadakan kegiatan 61 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan data, menganalisis data dan menginterprestasikan data yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METOE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengambilan sampel secara langsung dari lokasi pengamatan.

BAB III METODE PENELITIAN. pengambilan sampel secara langsung dari lokasi pengamatan. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, karena metode deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang

Lebih terperinci

Inventarisasi Serangga Pada Pohon Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb)

Inventarisasi Serangga Pada Pohon Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) INVENTARISASI SERANGGA PADA POHON TEMBESU (Fragraea fragrans Roxb) Ria Rosdiana Hutagaol Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang Email : riarose.h@gmail.com Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, karena metode deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan 63 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Penangkapan serangga malam dilakukan di Kawasan Pinggiran Hutan Bumi Perkemahan Nyaru Menteng. Hutan Bumi Perkemahan Nyaru Menteng merupakan kawasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 50 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura buah apel (Malus sylvestris (L.) Mill) merupakan bagian penting dalam sektor pertanian, karena kebutuhan apel di Indonesia memiliki permintaan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Tabel Pengamatan Tabel 1. jumlah kumulatif serangga yang ditemukan di kebun jeruk

Lampiran 1 Tabel Pengamatan Tabel 1. jumlah kumulatif serangga yang ditemukan di kebun jeruk Lampiran 1 Tabel Pengamatan Tabel 1. jumlah kumulatif serangga yang ditemukan di kebun jeruk No. Ordo Famili Jumlah Kumulatif Semi Organik Anorganik 1 Diptera Tipulidae 37 30 2 Diptera Chironomidae 48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. flora dan fauna yang sangat tinggi (mega biodiversity). Hal ini disebabkan karena

BAB I PENDAHULUAN. flora dan fauna yang sangat tinggi (mega biodiversity). Hal ini disebabkan karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (mega biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FAMILI SERANGGA DAN DOMINANSINYA PADA TANAMAN TEBU TOLERAN KEKERINGAN DI PG DJATIROTO

IDENTIFIKASI FAMILI SERANGGA DAN DOMINANSINYA PADA TANAMAN TEBU TOLERAN KEKERINGAN DI PG DJATIROTO IDENTIFIKASI FAMILI SERANGGA DAN DOMINANSINYA PADA TANAMAN TEBU TOLERAN KEKERINGAN DI PG DJATIROTO SKRIPSI Oleh Devia Istikoma NIM 091810401029 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA TANAMAN JAGUNG TRANSGENIK

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA TANAMAN JAGUNG TRANSGENIK 744. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.3, Juni 2013 ISSN No. 2337-6597 KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA TANAMAN JAGUNG TRANSGENIK Daniel T. Tambunan¹*, Darma Bakti², Fatimah Zahara² ¹Alumnus Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Mengumpulkan data kemudian mendeskripsikan keanekaragaman makrofauna tanah yang terdapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda

BAB III METODE PENELITIAN. metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap arthropoda tanah

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN KERUSAKAN AKIBAT HAMA

POKOK BAHASAN KERUSAKAN AKIBAT HAMA POKOK BAHASAN KERUSAKAN AKIBAT HAMA Teknik Pengambilan Sampel dan Pengamatan Hama Dalam Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) Untuk melakukan pengendalian (kimiawi) hrs dilakukan berdasarkan monitoring / pemantauan.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Nopember 2010 di PPKA Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi pengambilan data kupu-kupu di PPKA Bodogol, meliputi

Lebih terperinci

INDEKS KERAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN STROBERI

INDEKS KERAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN STROBERI 1 INDEKS KERAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN STROBERI (Fragaria Sp ) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH AGUSTINA SARAGIH 030302048 HPT DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BIOMA : JURNAL BIOLOGI MAKASSAR, 2(2):12-18, 2017

BIOMA : JURNAL BIOLOGI MAKASSAR, 2(2):12-18, 2017 ANALISIS KERAGAMAN JENIS SERANGGA PREDATOR PADA TANAMAN PADI DI AREAL PERSAWAHAN KELURAHAN TAMALANREA KOTA MAKASSAR ANALYSIS OF BIODIVERSITYOF PREDATOR INSECT IN PADDY FIELD AT TAMALANREA OF MAKASSAR CITY

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. mempunyai luas wilayah kurang lebih 318 Km 2 atau Ha. Batas-batas

BAB IV HASIL PENELITIAN. mempunyai luas wilayah kurang lebih 318 Km 2 atau Ha. Batas-batas 50 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Lokasi Penelitian Kecamatan Mentaya Hilir Selatan secara geografis terletak pada 111 0 0 50-113 0 0 46 Bujur Timur dan 0 0 23 14-3 0 32 54 Lintang Selatan mempunyai

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN APEL SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DESA PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN APEL SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DESA PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG Jurnal Ekologi: Tahun 2012 1 KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN APEL SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DESA PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG Yogama Tetrasani Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat III. MATERI DAN METODE 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di areal kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Identifikasi serangga dilakukan

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Politeknik Negeri Lampung

I. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Politeknik Negeri Lampung I. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Berlangsung mulai bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Perkebunan Teh PTPN XII Bantaran Blitar. Mariatul Qiptiyah ( )

Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Perkebunan Teh PTPN XII Bantaran Blitar. Mariatul Qiptiyah ( ) Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Perkebunan Teh PTPN XII Bantaran Blitar Mariatul Qiptiyah (10620075) Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang PENDAHULUAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. Siregar (2009), menyebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah,

BAB I PENDAHULUAN. golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insekta atau serangga yang termasuk dalam filum Arthropoda merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi sekarang ini. Dalam jumlah, serangga melebihi semua hewan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN JERUK ORGANIK DAN ANORGANIK DI KOTA BATU SKRIPSI. Oleh: ABU NAIM NIM

STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN JERUK ORGANIK DAN ANORGANIK DI KOTA BATU SKRIPSI. Oleh: ABU NAIM NIM STUDI KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA PERKEBUNAN JERUK ORGANIK DAN ANORGANIK DI KOTA BATU SKRIPSI Oleh: ABU NAIM NIM. 05520011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA

Lebih terperinci

Keanekaragaman Makroarthropoda Tanah di Lahan Persawahan Padi Organik dan Anorganik, Desa Bakalrejo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang

Keanekaragaman Makroarthropoda Tanah di Lahan Persawahan Padi Organik dan Anorganik, Desa Bakalrejo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang BIOMA, Juni 2015 ISSN: 1410-8801 Vol. 17, No. 1, Hal. 21-26 Keanekaragaman Makroarthropoda Tanah di Lahan Persawahan Padi Organik dan Anorganik, Desa Bakalrejo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Roma

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH :

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA PERTANAMAN PADI (Oryza Sativa L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH : DIAN MUSTIKA PUTRI 100301012 AGROEKOTEKNOLOGI / HPT PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTROPODA PADA PERTANAMAN BAWANG DAUN DAN WORTEL YANG DITANAM SECARA MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI NUR AFNI FUTRI

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTROPODA PADA PERTANAMAN BAWANG DAUN DAN WORTEL YANG DITANAM SECARA MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI NUR AFNI FUTRI KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTROPODA PADA PERTANAMAN BAWANG DAUN DAN WORTEL YANG DITANAM SECARA MONOKULTUR DAN TUMPANGSARI NUR AFNI FUTRI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Lampiran 2. Dominansi spesies serangga penyerbuk di tiap-tiap habitat

Lampiran 2. Dominansi spesies serangga penyerbuk di tiap-tiap habitat AMPIRAN 164 165 ampiran 1. uhu dan kelembaban di seluruh 15 titik pengamatan. Tipe habitat Titik uhu terendah (ºC) uhu tertinggi (ºC) uhu rata-rata (ºC) Kelembaban ratarata (%) Titik abitat N E D Mg Permukiman

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik eksplorasi yaitu segala cara untuk menetapkan lebih teliti atau seksama dalam suatu

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TESIS OLEH VIKTOR HASUDUNGAN SINAMO

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TESIS OLEH VIKTOR HASUDUNGAN SINAMO KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TESIS OLEH VIKTOR HASUDUNGAN SINAMO 087030028 PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dalam penelitian adalah indeks keanekaragaman (H ) dari Shannon, indeks

BAB III METODE PENELITIAN. dalam penelitian adalah indeks keanekaragaman (H ) dari Shannon, indeks BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya melebihi 80% dari hewan yang ada di dunia (Grimaldi dan Engel,

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya melebihi 80% dari hewan yang ada di dunia (Grimaldi dan Engel, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga merupakan hewan yang mendominasi kehidupan di bumi jumlahnya melebihi 80% dari hewan yang ada di dunia (Grimaldi dan Engel, 2005). Secara antroposentris serangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor pertanian,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya dan berkaitan dengan lingkungan hidupnya. Dalam komunitas organisme

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya dan berkaitan dengan lingkungan hidupnya. Dalam komunitas organisme TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Ekosistem Komunitas adalah sistem kehidupan bersama dari sekelompok populasi organisme yang saling berhubungan karena ada saling pengaruh satu dengan yang lainnya dan berkaitan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DIURNAL PADA TANAMAN PENUTUP TANAH

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DIURNAL PADA TANAMAN PENUTUP TANAH KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DIURNAL PADA TANAMAN PENUTUP TANAH Mucuna bracteata DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT DI AREAL PERKEBUNAN PT. TOLAN TIGA KERASAAN ESTATE KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI IIN N. SIDABUTAR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung

VI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung 112 VI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung 6. 1. 1 Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung Keseluruhan serangga pengunjung bunga caisin yang ditemukan dari 15 titik

Lebih terperinci

ANALISIS BIODIVERSITAS SERANGGA DI HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI URBAN ECOSYSTEM SERVICES KOTA MALANG PADA MUSIM PANCAROBA

ANALISIS BIODIVERSITAS SERANGGA DI HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI URBAN ECOSYSTEM SERVICES KOTA MALANG PADA MUSIM PANCAROBA ANALISIS BIODIVERSITAS SERANGGA DI HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI URBAN ECOSYSTEM SERVICES KOTA MALANG PADA MUSIM PANCAROBA ANALYSIS OF INSECTS BIODIVERSITY IN MALABAR URBAN FOREST AS URBAN ECOSYSTEM SERVICES

Lebih terperinci

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA

BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA BAB III GANGGUAN OLEH SERANGGA HAMA Serangga merupakan kelompok hama paling banyak yang menyebabkan kerusakan hutan. Hama tanaman hutan pada umumnya baru menimbulkan kerugian bila berada pada tingkat populasi

Lebih terperinci

Keragaman predator dan parasitoid pada pertanaman bawang merah: Studi kasus di Daerah Alahan Panjang, Sumatera Barat

Keragaman predator dan parasitoid pada pertanaman bawang merah: Studi kasus di Daerah Alahan Panjang, Sumatera Barat PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 5, Agustus 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 1005-1010 DOI: 10.13057/psnmbi/m010508 Keragaman predator dan parasitoid pada pertanaman bawang merah: Studi kasus

Lebih terperinci

KELIMPAHAN ARTROPODA PREDATOR DAN HAMA PADA TANAMAN JAMBU BIJI KRISTAL DI International Cooperation and Development Fund (ICDF) CIKARAWANG, BOGOR

KELIMPAHAN ARTROPODA PREDATOR DAN HAMA PADA TANAMAN JAMBU BIJI KRISTAL DI International Cooperation and Development Fund (ICDF) CIKARAWANG, BOGOR 1 KELIMPAHAN ARTROPODA PREDATOR DAN HAMA PADA TANAMAN JAMBU BIJI KRISTAL DI International Cooperation and Development Fund (ICDF) CIKARAWANG, BOGOR IVAN PRIMAJOHAN SUPRIATNA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

Lebih terperinci

Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor, Jatinangor

Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Kampus Jatinangor, Jatinangor Efek Tiga Jenis Pohon Penaung terhadap Keragaman Serangga pada Pertanaman Kopi di Perkebunan Rakyat Manglayang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung 1 Siska Rasiska, dan 2 Abdirrassyiddin Khairullah

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indek Dominasi (C)

LAMPIRAN. Lampiran 1. Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indek Dominasi (C) 114 LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indek Dominasi (C) Tabel 1. Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indek Dominasi (C) Fauna Tanah Pengamatan Langsung pada Perkebunan Jambu Biji

Lebih terperinci

KENAKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanum betaceaum) DI DIENG KULON JAWA TENGAH

KENAKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanum betaceaum) DI DIENG KULON JAWA TENGAH KENAKARAGAMAN JENIS SERANGGA PADA TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanum betaceaum) DI DIENG KULON JAWA TENGAH THE DIVERSITY SPECIES ROLE OF INSECTS ON AGRICULTURAL LAND OF TAMARILLO (Solanum betaceaum Cav) IN

Lebih terperinci

Tabel 3 Bobot badan, bobot lambung, dan beberapa ukuran tubuh dan diameter lambung cicak

Tabel 3 Bobot badan, bobot lambung, dan beberapa ukuran tubuh dan diameter lambung cicak Analisis Isi Lambung Lambung cicak dikeluarkan dan ditampung ke dalam botol penampung yang berisi etanol 7 % kemudian dibedah dalam cawan petri dibawah mikroskop. Makanan dalam lambung kemudian dipilah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies 30 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Serangga Hama Berdasarkan hasil identifikasi serangga hama dilokasi Agroekosistem berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies Scripophaga

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN TEH METER DARI TEPI HUTAN DI KEBUN PTPN VIII GUNUNG MAS, BOGOR, JAWA BARAT

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN TEH METER DARI TEPI HUTAN DI KEBUN PTPN VIII GUNUNG MAS, BOGOR, JAWA BARAT KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN ARTHROPODA PADA PERKEBUNAN TEH 600-900 METER DARI TEPI HUTAN DI KEBUN PTPN VIII GUNUNG MAS, BOGOR, JAWA BARAT RIKARDO SEMBIRING DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan metode eksplorasi, yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap makroalga yang

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN KEANEKARAGAMAN SERANGGA PARASITOID UNTUK PENGENDALIAN HAMA PADA TANAMAN KEHUTANAN Yeni Nuraeni, Illa Anggraeni dan Wida Darwiati Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Kampus Balitbang Kehutanan, Jl.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang melihat langsung fenomena, gejala, atau ciri-ciri secara langsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Identifikasi Serangga Pada Perkebunan Apel Semiorganik dan Anorganik Desa Poncokusumo Kabupaten Malang.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Identifikasi Serangga Pada Perkebunan Apel Semiorganik dan Anorganik Desa Poncokusumo Kabupaten Malang. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Serangga Pada Perkebunan Apel Semiorganik dan Anorganik Desa Poncokusumo Kabupaten Malang. Hasil identifikasi serangga pada Perkebunan Apel Desa Poncokusumo

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH PADA PERKEBUNAN JAMBU BIJI SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DI DESA BUMIAJI KOTA BATU. Aniqul Mutho

KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH PADA PERKEBUNAN JAMBU BIJI SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DI DESA BUMIAJI KOTA BATU. Aniqul Mutho KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH PADA PERKEBUNAN JAMBU BIJI SEMI ORGANIK DAN ANORGANIK DI DESA BUMIAJI KOTA BATU Aniqul Mutho Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

Lebih terperinci