HASIL DAN PEMBAHASAN Cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus Formulasi Cookies

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus Formulasi Cookies"

Transkripsi

1 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus Cookies dalam penelitian ini ditujukan untuk balita dengan usia 4-5 tahun. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persentase anak dengan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% AKG adalah 33,4%, sekitar 24,8% diantaranya pada kelompok umur 4-6 tahun yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal dari total anak Indonesia. Oleh karena itu cookies yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif makanan tambahan untuk mengatasi kekurangan gizi. Formulasi Cookies Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah terigu, susu skim, gula, maizena, cokelat bubuk, keju, mentega, margarin, dan telur. Komposisi utama dalam pembuatan cookies adalah gula, lemak, telur dan tepung. Secara umum bahan penyusun cookies dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat meliputi tepung, air, susu dan telur serta produk cokelat, sedangkan bahan pelembut meliputi gula, shortening, baking powder dan kuning telur (Annova 1989). Formulasi cookies tepung ikan gabus didasarkan pada kecukupan energi dan protein kelompok sasaran, yaitu balita berusia 4 5 tahun, adapun angka kecukupan tersebut adalah 1550 kkal energi dan 39 gram protein. Cookies tepung ikan gabus merupakan makanan tambahan yang diharapkan dapat membantu memenuhi kecukupan energi dan protein. Almatsier (2008) menyatakan bahwa kecukupan energi dan protein yang diperoleh dari makanan tambahan/selingan adalah pada kisaran 20 25% dari total kebutuhan energi. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004) terkait Acuan Label Gizi (ALG) menyatakan bahwa suatu bahan pangan dapat diklaim kaya akan suatu zat gizi apabila pangan tersebut mengandung paling sedikit 20% acuan label gizi dalam setiap ukuran saji. Acuan label gizi protein untuk makanan balita 4-5 tahun adalah sesuai dengan AKG protein balita 4 5 tahun, yaitu 39 gram (WNPG 2004). Cookies tepung ikan gabus dicanangkan sebagai cookies kaya protein dan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk balita, oleh karena itu cookies ikan gabus harus mengandung paling sedikit 20% dari 39 gram atau setara dengan 7,8 gram protein/ serving size.

2 22 Formulasi cookies dilakukan pada beberapa taraf perlakuan, yaitu 0%, 10%, 15%, dan 20% tepung ikan terhadap total berat adonan. Penambahan sejumlah tepung ikan berdasarkan persentasenya terhadap total adonan. Satu resep cookies fungsional memiliki berat total adonan 663, 5 gram, oleh sebab itu jumlah tepung ikan yang ditambahkan untuk setiap taraf adalah 0 gram untuk F0, 66,35 gram untuk F1, 99,53 gram untuk F2, dan 132,70 gram untuk F3. Jumlah tepung ikan ini akan mengsubtitusi penggunaan terigu, sehingga jumlah tepung terigu aktual yang digunakan ditentukan berdasarkan selisih dari jumlah total tepung terigu yang dibutuhkan untuk satu resep dengan jumlah tepung ikan yang ditambahkan. Pemilihan taraf perlakuan penambahan tepung ikan didasarkan atas pertimbangan estimasi nilai gizi dan perkiraan penerimaan panelis. Sumber protein dalam formulasi cookies ini adalah tepung ikan gabus. Penambahan tepung ikan gabus diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein dari cookies yang dihasilkan. Estimasi kandungan protein cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 7. Estimasi kandungan zat gizi secara keseluruhan cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 7 Estimasi kandungan protein cookies ikan gabus Zat gizi Formula F0 F1 F2 F3 Protein (g/ss) 4,24 8,22 10,2 12,2 Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15 % tepung ikan, dan F3 = 20 % tepung ikan *g/ss = gram/ serving size (50 g). Perhitungan estimasi kandungan protein cookies pada setiap formula dilakukan dengan menggunakan data kandungan zat gizi dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) untuk bahan berupa terigu, susu skim, gula, maizena, cokelat bubuk, keju, mentega, margarin, dan telur (Depkes 1981). Kandungan zat gizi tepung ikan didasarkan atas hasil analisis sifat kimia (protein, lemak, abu dan air) dan penentuan kadar karbohidrat dilakukan by difference. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tepung ikan gabus diketahui bahwa kandungan zat gizi dalam 100 gram tepung ikan (bk) antara lain abu 5,96 g, protein 76,9 g, lemak 0,55 g, karbohidrat 3,53 g, Fe 4,43 mg, Zn 3,09 mg, dan air 13,61 g (bb). Setelah dilakukan pembuatan cookies menggunakan formula Dewi (2011) dengan modifikasi seperti yang dipaparkan dalam Tabel 5 pada metode

3 23 penelitian, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan. Cookies yang dihasilkan dari formula ini memiliki tekstur yang keras, rasa pahit dan aroma amis yang tajam. Karakter cookies yang dihasilkan dari formula ini menyebabkan cookies menjadi tidak menarik. Oleh karena itu dilakukan modifikasi formula lebih lanjut untuk menghasilkan cookies yang memiliki karakteristik yang baik sehingga sesuai dengan kriteria sebagai pangan pembawa zat gizi fortifikasi (fortifikan). Berdasarkan proses trial and error yang dilakukan maka diperoleh formula cookies hasil modifikasi yang memberikan hasil paling maksimal. Formula cookies hasil modifikasi dapat dilihat pada Tabel 8. Bahan Tabel 8 Formula cookies hasil modifikasi Jumlah F0 F1 F2 F3 Terigu (g) ,65 150,48 117,3 Tepung ikan (g) 0 66,35 99,53 132,70 Susu Skim (g) Gula halus(g) 112,5 112,5 112,5 112,5 Maizena (g) Cokelat bubuk (g) 12,5 12,5 12,5 12,5 Keju (g) 37,5 37,5 37,5 37,5 Mentega (g) Margarin (g) Telur (g) Maltodekstrin (g) Total 663,5 663,5 663,5 663,5 Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20 % tepung ikan Modifikasi formula yang dilakukan adalah melakukan perubahan proporsi mentega dan margarin terhadap total lemak yang digunakan, perubahan proporsi kuning telur dan putih telur dalam total telur yang ditambahkan, pengurangan cokelat bubuk, penambahan keju dan pemberian maltodekstrin. Perubahan proporsi mentega dan margarin terhadap total lemak yang ditambahkan ke dalam adonan dilakukan untuk meningkatkan kerenyahan cookies. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manley (1998) bahwa mentega (butter) dapat meningkatkan kelembutan dan kerenyahan produk biskuit, crackers dan cookies. Mervina (2009) menyatakan bahwa lemak yang ditambahkan ke dalam formula untuk meningkatkan kereyahan tekstur biskuit adalah mentega sebab mentega merupakan pelembut sehingga dapat membantu meningkatkan kerenyahan

4 24 biskuit. Pada formula awal proporsi mentega adalah, 66,5% dan margarin 33,5% dari total lemak. Total lemak yang ditambahkan ke dalam adalah 150 gram. Proporsi mentega terhadap margarin pada formula hasil modifikasi, adalah 83,5% dan margarin 16,5%. Penambahan mentega juga memberikan aroma yang kuat pada cookies (Mervina 2009) sehingga penambahan mentega ini juga dapat mengurangi aroma amis yang terdapat pada cookies berbasis tepung ikan gabus. Modifikasi lain yang dilakukan adalah perubahan proporsi kuning telur dan putih telur dalam total telur yang ditambahkan. Pada tahap awal perbandingan kuning telur terhadap putih telur adalah 50:50, setelah dimodifikasi menjadi 75:25. Hal ini disebabkan karena kuning telur berperan sebagai emulsifier dan merupakan salah satu sumber lemak dalam adonan cookies. Penambahan proporsi kuning telur dalam total telur yang ditambahkan bertujuan untuk meningkatkan kerenyahan tekstur cookies yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Annova (1989) bahwa kuning telur merupakan bahan cookies yang berperan melembutkan dan merenyahkan cookies. Mervina (2009) menyatakan bahwa penambahan kuning telur ditujukan untuk melembutkan biskuit tepung ikan. Pengurangan jumlah cokelat bubuk yang digunakan merupakan salah satu modifikasi formula awal yang bertujuan untuk mengurangi rasa pahit yang terdapat pada cookies. Selain itu, pengurangan penggunaan cokelat bubuk dapat membantu mengurangi tekstur keras yang terdapat pada cookies yang dihasilkan. Annova (1989) menyatakan bahwa cokelat merupakan bahan cookies yang berperan sebagai penguat adonan, sehingga penambahan cokelat yang berlebihan dapat menyebabkan tekstur cookies yang keras. Penggunaan keju pada formula hasil modifikasi lebih banyak dari pada formula awal, hal ini bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dari cookies yang dihasilkan dan dapat memperbaiki penerimaan cookies tepung ikan gabus. Formula cookies hasil modifikasi mengalami penambahan maltodekstrin sebanyak ¼ sendok teh (1 gram). Penambahan ini bertujuan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi aroma amis pada cookies. Proses pembuatan cookies secara umum terbagi atas tiga tahapan, yaitu mixing, pencetakan dan pemanggangan (Mervina 2009). Tahap mixing diawali dengan pengocokan margarin, mentega, gula halus, dan telur hingga tercampur rata. Setelah itu, ditambahkan keju dan cokelat bubuk kemudian dikocok lagi.

5 25 Bahan-bahan berupa tepung seperti tepung ikan, tepung terigu, maizena, dan tepung susu skim dicampurkan hingga rata di tempat yang terpisah. Selanjutnya, campuran tersebut dimasukkan ke dalam adonan dan diadon hingga kalis kemudian ditambahkan ¼ sendok teh maltodekstrin. Hal yang perlu diperhatikan pada proses pencampuran (mixing) adalah durasi. Proses mixing yang terlalu lama akan menyebabkan cookies yang dihasilkan bertekstur keras. Manley (2001) menyatakan bahwa pengocokan bahan yang terlalu lama dapat menyebabkan pembentukan matriks gluten sehingga cookies yang dihasilkan akan memiliki tekstur yang keras. Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan cookies, antara lain tahap pencampuran adonan, jumlah adonan, lama pengadonan, dan kecepatan pengadukan (Annova 1989). Sebelum pemasukkan bahan-bahan berupa tepung sebaiknya dibentuk adonan berkonsistensi krim dari campuran lemak, telur, dan gula. Tahap kedua dalam pembuatan cookies adalah pencetakan. Adonan dimasukkan ke dalam cookies presser dan di cetak dengan panjang kurang lebih 5 cm. Manly (1998) menyatakan bahwa prinsip dasar dari pencetakan adalah pemberian tekanan pada adonan sehingga adonan memiliki bentuk yang sesuai dengan cetakannya. Tahap akhir dari proses pembuatan cookies adalah pemanggangan adonan yang telah dibentuk dengan menggunakan cetakan. Pemanggangan dilakukan dengan menggunakan oven konvensional. Adonan dipanggang pada suhu 150 C selama 45 menit hingga mencapai warna cokelat dan kering. Manley (2001) menyatakan bahwa proses pemanggangan menyebabkan perubahan pada adonan cookies meliputi tekstur, warna permukaan, ukuran, dan penurunan kadar air. Salah satu perubahan yang terjadi selama proses pemangganagan adalah mengembangnya adonan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengembangan adonan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran partikel gula, pengadukan, dan penggunaan pelumas pada loyang. Penggunaan pelumas yang berlebihan menyebabkan suhu tidak optimum untuk pengembangan adonan, selain itu jumlah pelumas yang berlebih dapat menyebabkan cookies tergoreng. Hasil Uji Organoleptik Cookies Produk cookies yang dihasilkan pada tahap pertama selanjutnya diuji penerimaannya dengan uji organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan berupa uji hedonik oleh 30 orang panelis semi terlatih dengan dua kali pengulangan.

6 26 Formula yang diuji penerimaannya adalah F0 (tanpa tepung ikan), F1 (10% tepung ikan), F2 (15% tepung ikan), F3 (20% tepung ikan). Berdasarkan hasil uji hedonik maka diketahui modus nilai tingkat kesukaan panelis untuk setiap formula cookies. Nilai modus kesukaan panelis dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai modus dan persentase panelis Modus Karakteristik F0 F1 F2 F3 Warna 1 4 (73,34%) 4 (53,34%) 4 (56,67%) 4 (60%) 2 4(73,34%) 4(50%) 4(60%) 4(50%) x 4(73,34%) 4(51,67%) 4(58,34%) 4(55%) Aroma 1 4(56,67%) 2(53,34%) 2 43,34%) 2(36,67%) 2 4(46,67%) 3(40%) 3(40%) 3(46,67%) x 4(51,67%) 2(36,67%) 2(41,67%) 3(41,67%) Rasa 1 4(56,67%) 2(66,67%) 2(50%) 2(46,67%) 2 4(36,67%) 2(30%) 3(46,67%) 3(46,67%) x 4(46,67%) 2(48,34%) 2(40%) 2(36,67%) Tekstur 1 4(43,34% 3(36,67%) 3(40%) 3(40%)) 2 4(43,34%) 4(30%) 3(36,67%) 3(33,34%) x 4(43,34%) 4(35%) 3(38,33%) 3(36,67%) Keseluruhan 1 4(70%) 2(46,66%) 2(43,33%) 2(46%) 2 4(30%) 3(43,33%) 3(43,33%) 3(40%) x 4(55%) 3(38,34%) 3(40%) 2(38,33%) Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20% tepung ikan. Angka di dalam kurung menyatakan persentase panelis. Berdasarkan karakteristik warna, modus penilaian panelis pada kedua ulangan berada pada nilai 4 (suka) untuk semua formula. Modus penilaian panelis untuk aroma cookies F0 berada pada nilai 4 (suka) untuk kedua ulangan. Modus penilaian panelis terhadap F1, F2, dan F3 adalah 2 (tidak suka) untuk ulangan pertama dan 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan modus penilaian terhadap aroma adalah 4 untuk F0, 2 untuk F2, 2 untuk F3, dan 3 untuk F4. Berdasarkan karakteristik rasa, F0 memiiki modus penilaian panelis 4 (suka) untuk kedua ulangan. F1, F2, dan F3 adalah 2 (tidak suka) untuk ulangan pertama dan 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan modus penilaian panelis terhadap rasa cookies adalah 4 untuk F0, 2 untuk F1, 2 untuk F2, dan 2 untuk F3. Modus penilaian panelis terhadap karakteristik tekstur cookies untuk F0 adalah 4 (suka) pada kedua ulangan. Modus untuk F1, F2, F3 adalah pada rentang nilai 2 (tidak suka) - 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan modus penilaian panelis untuk tekstur adalah 4 untuk F0, 4 untuk F1, 3 untuk F2, dan 3 untuk F3.

7 27 Berdasarkan keseluruhan cookies modus penilaian panelis untuk formula 0 adalah 4 untuk kedua ulangan, sedangkan untuk formula 1, 2, dan 3 adalah 2 (tidak suka) dan nilai 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan untuk karakter cookies secara menyeluruh penilaian panelis 4 untuk F0, 3 untuk F1, 3 untuk F2, dan 2 untuk F3. Persentase penerimaan panelis merupakan perbandingan jumlah panelis yang memilih skala 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Persentase penerimaan panelis terhadap produk cookies tepung ikan gabus Atribut uji Formula F0 F1 F2 F3 Persentase (%) Warna 100ª 95ª 93,33ª 96,67ª Aroma 98,33ª 60ª 58,33ª 63,33ª Tekstur 90ª 70 b 73,33 c 65 d Rasa 96,67ª 45ª 58,33ª 56,67ª Keseluruhan 100ª 68,33ª 63,33ª 56,67ª Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20% tepung ikan. Angka dengan superscript sama dalam satu lajur menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Terdapat sejumlah atribut uji yang dinilai oleh panelis dalam uji hedonik. Atribut yang dinilai, meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Warna menentukan kesan pertama terhadap produk cookies, sehingga warna mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mempengaruhi warna cookies (Mervina 2009). Warna cookies tepung ikan gabus adalah cokelat tua, dengan tingkat kecokelatan dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan gabus. Semakin tinggi tingkat subtitusi semakit gelap warna cookies yang dihasilkan. Secara umum persentase penerimaan panelis terhadap warna cookies relatif sama, yaitu pada kisaran 93,3% - 100%. Warna cookies yang paling rendah persentase penerimaannya adalah F2 (15%) dengan persentase penerimaan 93,33%, sedangkan cookies dengan subtitusi tepung ikan yang paling tinggi persentase penerimaannya adalah F3 (20%) dengan persentase penerimaan 96,67%. Aroma merupakan atribut penilaian cookies yang mempengruhi penerimaan berdasarkan respon indera penciuman responden. Penambahan tepung ikan menghasilkan aroma agak amis pada cookies, sehingga cookies

8 28 yang ditambahkan tepung ikan memiliki persentase penerimaan panelis yang relatif sama, yaitu ± 60%. Berdasarkan atribut aroma, F3 (20%) adalah cookies dengan penerimaan paling tinggi, yaitu 63,33%. Tekstur merupakan salah satu atribut penilaian yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk cookies (Mervina 2009). Penambahan tepung ikan memberikan pengaruh terhadap tekstur cookies yang dihasilkan, hal ini mempengaruhi persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies. Formula dengan subtitusi tepung ikan dengan persentase penerimaan tertinggi 73,33% adalah F2 (15%). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung ikan sebesar 15% memberikan tekstur yang paling baik berdasarkan penilaian panelis. Rasa merupakan atribut penilaian yang didasarkan atas respon indera pengecap. Formula dengan subtitusi tepung ikan yang paling tinggi penerimaannya sebesar 58,33% adalah F2. Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa penambahan tepung ikan memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies (p<0,05) antar formula (F0, F1, F2, dan F3) tidak memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis terhadap aroma, rasa, warna dan keseluruhan cookies (p>0,05) antar formula (F0, F1, F2, dan F3) (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies berbeda untuk semua formula (Lampiran 7). Secara keseluruhan penerimaan panelis terhadap cookies terbesar adalah pada cookies dengan formula F1. Berdasarkan penjabaran hasil uji penerimaan panelis dan pertimbangan nilai gizi produk cookies maka cookies dengan formula F2 dipilih sebagai formula terpilih. Formula terpilih ini yang selanjutnya akan di jadikan pangan pembawa fortifikan. Penampilan cookies terpilih (F2) dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Cookies tepung ikan gabus

9 29 Mikrokapsulasi Fe (besi) dan Zn (seng) dengan Spray Drying Mikrokapsulasi adalah suatu proses penyalutan bahan-bahan inti yang berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan penyalut yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktorfaktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rossana 2009). Zat aktif yang terkurung di dalam mikrokapsul disebut inti atau core, dimana inti ini dapat berwujud padat atau cair dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik. Dinding penyalut mikrokapsul disebut skin atau shell, atau film pelindung. Zlotkin et al (2001) menyatakan bahwa proses mikrokapsulasi bahanbahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Proses mikrokapsulasi umumnya bertujuan untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang telah dilapisi oleh bahan penyalut tertentu. Berbagai faktor melatarbelakangi penerapaan enkapsulasi dalam industri makanan, salah satunya adalah untuk menjaga kestabilan dari bahan inti. Mikrokapsul merupakan food processor yang berarti mikrokapsul digunakan untuk melindungi komponen-komponen yang sensitif (mudah menguap), melindungi flavor dan aromanya, dan mengubah bahan berbentuk cairan menjadi padatan dengan tujuan mempermudah penanganannya (Madene et al 2006). Komposisi penyalut untuk mikrokapsul mineral ini adalah gum arab dan maltodekstrin dengan perbandingan gum arab : maltodekstrin adalah 70 : 30 untuk Fe dan 80 : 20 untuk Zn. Perbedaan rasio gum arab terhadap maltodekstrin dilakukan dengan tujuan untuk mencegah interaksi negatif Fe dan Zn di dalam usus (Kustiyah et al 2010). Mineral yang digunakan sebagai inti mikrokapsul ini adalah fero sulfat dan zink sulfat. Proses mikrokapsulasi dilakukan dengan metode yang sama untuk kedua mineral. Fero sulfat merupakan senyawa besi yang larut serta telah dievaluasi pemakaiannya sebagai fortifikan. Senyawa ini merupakan senyawa fortifikan yang digunakan pada fortifikasi terigu (Purnamasari 2009). Zimmermann et al (2005) menyatakan bahwa berdasarkan kriteria harga dan pengaruhnya terhadap penampakan maka fero sulfat merupakan bentuk senyawa kimia yang paling sesuai digunakan sebagai fortifikan terutama untuk produk olahan tepung seperti cookies, mie dan pasta.

10 30 Senyawa Zn yang digunakan adalah Zn sulfat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman et al (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kelarutan dalam adonan dan penyerapan, Zn dalam bentuk senyawa Zn sulfat lebih baik digunakan sebagai fortifikan jika dibandingkan dengan bentuk senyawa Zn oksida. Lopez et al (2003) menyatakan bahwa Zn sulfat dapat digunakan dalam fortifikasi terhadap produk yang mengandung terigu dan aman untuk dikonsumsi oleh orang sehat. Fortifikasi Fe dan Zn dilakukan terhadap tepung ikan yang didahului dengan mikrokapsulasi untuk meminimalisir dampak fortifikan terhadap mutu organoleptik pangan pembawa fortifikan. Metode enkapsulasi yang telah dikembangkan saat ini sangat banyak, antara lain adalah metode spray drying, penyelaputan dengan suspensi udara, extrussion dan spray cooling atau spray chilling (Yudha 2008). Enkapsulasi mineral Fe dan Zn pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode spray drying. Mikrokapsulasi dengan teknik spray drying memiliki tiga tahapan utama, yaitu persiapan emulsi, homogenisasi dispersi, dan atomisasi (Desai dan Park 2005). Tahap persiapan emulsi dilakukan dengan mencampurkan maltodekstrin, gum arab, dan senyawa fortifikan dengan metode dry mixing. Dry mixing dilakukan dengan mencampurkan mineral dengan konsentrasi 7,5% dari total penyalut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kustiyah et al (2010). Fitriani (2001) menyatakan bahwa konsentrasi mineral tehadap penyalut adalah 5-10% memberikan efisiensi kapsulasi yang tinggi pada produk tepung. Pada mikrokapsulasi mineral Fe sebanyak 99,09 gram bubuk fero sulfat yang setara dengan 20 gram Fe murni dimasukkan ke dalam kantung dry mixer sedangkan pada mikrokapsulasi mineral Zn sebanyak gram bubuk Zn sulfat yang setara dengan 20 gram Zn murni dimasukkan kedalam kantung dry mixer, Selanjutnya ditambahkan maltodekstrin secara bertahap hingga seluruh maltodekstrin tercampur rata dengan mineral. Setelah campuran homogen ditambahkan gum arab secara bertahap ke dalam kantung dry mixer. Perhitungan kebutuhan garam mineral didasarkan pada perbandingan antara berat molekul garam mineral terhadap berat atom (Lampiran 8). Setiap menambahkan bahan ke dalam kantung dry mixer dilakukan pengocokan dengan kecepatan konstan ke segala arah. Penentuan jumlah total penyalut yang digunakan dilakukan dengan membandingkan konsentrasi mineral terhadap total penyalut (Lampiran 8).

11 31 Setelah diketahui berat total penyalut yang digunakan maka jumlah gum arab dan maltodekstrin yang digunakan ditentukan berdasarkan rasio yang telah ditetapkan. Setelah diperoleh campuran bubuk mineral dan penyalut yang homogen maka campuran kering dilarutkan dengan menggunakan akuades dan dihomogenisasi dengan homogenizer. Tahap ini disebut dengan pembuatan dispersi. Pelarutan dilakukan hingga diperoleh konsentrasi padatan sebesar 40%. Konsentrasi padatan (campuran penyalut dan mineral) terhadapa akuades disesuaikan dengan spesifikasi alat spray dryer yang digunakan. Pengadukan dengan homogenizer bertujuan untuk membentuk droplet-droplet kecil mineral yang telah berikatan dengan penyalut (Purnamasari 2009). Pada penelitian ini pengadukan dilakukan dengan menggunakan blender, karena jumlah dispersi yang akan dihomeginisasi berada dibawah kapasitas minimum homogenizer. Tahap akhir dari proses enkapsulasi adalah pengeringan dengan menggunakan spray dryer. Suhu pengeringan masuk yang digunakan pada mikrokapsulasi mineral ini adalah 170 C dengan suhu pengering keluar 85 C. Penggunaan suhu ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Purnamasari (2009), yaitu pengeringan dengan menggunakan spray dryer menggunakan suhu pengering masuk C dan suhu pengering keluar Partikel kering selanjutnya dialirkan ke dalam wadah penampung. Mikrokapsul Fe yang dihasilkan berwarna krem (putih kekuningan), sedangkan mikrokapsul Zn berwarna putih jernih. Mikrokapsul Fe dan Zn dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Mikrokapsul mineral Komposisi bahan mikrokapsul Fe berupa 20 gram mineral Fe, 926,73 gram gum arab, dan 397,17 gram maltodekstrin. Berat total campuran penyalut dan mineral adalah 1423,19 gram. Mikrokapsulasi Fe pada penelitian ini menghasilkan 863 gram mikrokapsul Fe. Berdasarkan analisis kadar mineral diketahui bahwa konsentrasi Fe pada mikrokapsul adalah 1,96%. Konsentrasi Fe dalam mikrokapsul dalam penlitian ini adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kustiyah et al (2010), yaitu sebesar 2,55%. Hal ini dapat

12 32 disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perbedaan alat spray dryer yang digunakan, dan perbedaan jumlah Fero sulfat yang dikapsulasi. Total Fe yang terdapat dalam mikrokapsul adalah 17 gram, sehingga diketahui bahwa rendemen mineral Fe dalam mikrokapsulasi Fe adalah 85% (Lampiran 9). Komposisi bahan mikrokapsul Zn berupa 20 gram mineral Zn, 939,39 gram gum arab, dan 234,85 gram maltodekstrin. Berat total campuran penyalut dan mineral adalah 1262,31 gram. Mikrokapsulasi Zn pada penelitian ini menghasilkan 675 gram mikrokapsul Zn, dengan konsentrasi Zn pada mikrokapsul 2,98%. Konsentrasi Zn dalam mikrokapsul yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Kustiyah et al (2010), yaitu sebesar 4,67%. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan alat spray dryer yang digunakan dan perbedaan jumlah Zn sulfat yang dikapsulasi. Total mineral zn dalam mikrokapsul Zn adalah 20 gram, sehingga dapat diketahui rendemen mineral Zn dalam mikrokapsulasi Zn adalah 100 % (Lampiran 9). Cookies Fungsional dengan Fortifikasi Mikrokapsul Mineral Fe (besi) dan Zn (seng) Pembuatan Cookies Fungsional dengan Fortifikasi Mineral Pembuatan cookies dilakukan dengan menggunakan formula F2 (taraf subtitusi tepung ikan 15%). Penambahan mikrokapsul dilakukan dengan homogenisasi mikrokapsul mineral dengan tepung terigu dengan menggunakan metode pencampuran kering (dry mixing). Setelah terigu homogen dengan mikrokapsul maka ditambahkan tepung ikan gabus secara bertahap dengan tetap melakukan pengadukan. Terdapat empat taraf fortifiksi mineral yang dilakukan, yaitu 0 % AKG/ serving size (F1), 25% AKG/serving size ( F2), 50% AKG/serving size (F3), dan 100 % AKG/serving size ( F4). Penentuan jumlah mikrokapsul yang ditambahkan ke dalam adonan pada setiap taraf didasarkan pada konsentrasi Fe dan Zn mikrokapsul dan jumlah mineral dalam bahan dasar cookies (Lampiran 10). Jumlah mikrokapsul yang difortifikasikan ke dalam setiap serving size cookies dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah mikrokapsul mineral per serving size cookies pada setiap taraf Fe Zn % AKG mkp (g) mkp (g) ,1 0, ,2 0, ,41 0,33

13 33 Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah mikrokapsul yang harus ditambahkan ke dalam setiap serving size cookies untuk setiap taraf perlakuan, sehingga satu resep cookies yang menghasilkan kurang lebih 10 serving size cookies. Jumlah mikrokapsul yang harus ditambahkan adalah sebanyak sepuluh kali lipatnya. Jumlah mikrokapsul yang harus ditambahkan ke dalam satu resep cookies disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah mikrokapsul mineral yang ditambahkan untuk cookies untuk setiap taraf perlakuan Hasil Uji Organoleptik Cookies Taraf (% Jumlah mikrokapsul (g) AKG) Fe Zn ,02 0, ,04 1, ,08 3,26 satu resep Uji organoleptik terhadap cookies dilakukan untuk mengetahui penerimaan cookies tepung ikan gabus yang sudah difortifikasi mineral Fe dan Zn. Uji organoleptik pada tahap ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih dengan melakukan penilaian terhadap mutu hedonik dan hedonik dengan dua kali ulangan. Berdasarkan hasil uji hedonik maka diketahui nilai modus tingkat kesukaan panelis untuk setiap formula cookies berdasarkan karakteristik organoleptik (sebaran penilaian panelis dapat dilihat pada Lampiran 11). Nilai modus tingkat kesukaan panelis dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan sebaran nilai hasil uji hedonik menggambarkan nilai yang diberikan panelis untuk setiap formula berdasarkan karakteristik organoleptik. Berdasarkan karakteristik warna modus penilaian panelis pada kedua ulangan berada pada nilai 4 (suka) untuk semua formula. Aroma cookies mempengaruhi penilaian panelis, pada ulangan pertama modus penilaian panelis untuk cookies F3 adalah nilai 4 (suka) dan 3 (biasa) untuk ulangan kedua, sedangkan modus penilaian untuk F1, F2, dan F4 berada pada nilai 3 (biasa) untuk ulangan pertama dan berada pada nilai 4 (suka) untuk ulangan kedua. Modus penilaian panelis terhadap rasa F1 dan F2 adalah 3 (biasa) dan untuk F3 dan F4 adalah 4 (suka) untuk ulangan pertama. Untuk ulangan kedua modus penilaian panelis adalah nilai 3 (biasa) untuk F1, F2, F3 dan modus penilaian F4 adalah (suka).

14 34 Tabel 13 Nilai modus dan persentase panelis berdasarkan uji hedonik Modus Karakteristik F1 F2 F3 F4 Warna 1 4(50%) 4(46,66%) 4(50%) 4(43,33%) 2 4(60%) 4(60%) 4(60%0 4(43,33%) x 4(56,67%) 4(53,34%) 4(55%) 4(45%) Aroma 1 3(40%) 3(53,33%) 4(50%) 3(36,60%) 2 4(43,33%) 4(40%) 3(40%) 4(43,33%) x 3( 50%) 3(52%) 4(48,34%) 4(43,34%) Rasa 1 3(60%) 3(46,66%) 4(56,66%) 4(43,33%) 2 3(40%) 3(56,66%) 3(46,66%) 4(43,33%) x 4(38,34%) 3(46,67%) 4(43,34%) 4(38,34%) Tekstur 1 4(40%) 4(66,66%) 4(46,46%) 3(33,33%) 2 4(70%) 4(53,33%) 4(66,66%) 3(36,66%) x 4(56,67%) 4(61,67%) 4(56,67%) 3(36,67%) Keseluruhan 1 4(43,33%) 4(46,66%) 4(53,33%) 4(36,66%) 2 4(63,33%) 4(53,33%) 4(46,66%) 4(43,33%) x 4(53,34%) 4(56,67%) 4(51,67%) 4(40%) Ket : F1 = 0 % AKG, F2 = 25 % AKG, F3 = 50 % AKG, dan F4 = 100 % AKG Modus penilaian panelis terhadap karakteristik tekstur cookies untuk F1, F2, F3 adalah 4 (suka), sedangkan modus penilaian untuk F4 adalah 3 (biasa). Modus penilaian panelis untuk kedua ulangan sama. Secara keseluruhan modus penilaian panelis untuk F1, F2, F3, dan F4 adalah 4 (suka) pada kedua ulangan. Berdasarkan sebaran nilai hasil uji hedonik dapat diketahui persentase penerimaan panelis. Persentase penerimaan panelis merupakan persentase jumlah panelis yang memilih 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap cookies dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Persentase penerimaan panelis terhadap karakteristik organoleptik cookies pada berbagai taraf fortifikasi Formula F1 F2 F3 F4 Karakteristik Organoleptik Warna (%) Rasa (%) Aroma (%) Tekstur (%) Keseluruhan (%) 96,70 ª 81,70 ª 88,30 ª 96,70 ª 93,30 ª 95,00 ª 91,70 ª 85,00 ª 98,30 ª 96,70 ª 98,30 ª 88,30 ª 96,70 ª 95,00 ª 93,30 ª 90,00 ª 90,00 ª 88,30 ª 75,00 ª 85,00 ª Ket : F1 = 0 % AKG, F2 = 25 % AKG, F3 = 50 % AKG, dan F4 = 100 % AKG. Angka dengan superscript yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Berdasarkan warna cookies urutan formula yang paling tinggi persentase penerimaannya hingga yang paling rendah, yaitu F3 (98,30%), F1 (96,70%), F2 (95 %) dan F4 (90 %). Berdasarkan rasa cookies, F2 merupakan formula yang

15 35 paling tinggi persentase penerimaannya, yaitu 91,70 % sedangkan F4 persentase penerimaannya 90%, F3 sebesar 88,30% dan F1 sebesar 81,70%. Berdasarkan aroma yang dihasilkan oleh cookies, F3 menjadi formula yang paling tinggi persentase penerimaannya, yaitu 96,70%, F1 dan F4 memiliki persentase penerimaan yang sama yaitu sebesar 88,30%, sedangkan F2 memiliki persentase penerimaan sebesar 85%. Berdasarkan tekstur, F2 merupakan formula persentase penerimaan tertinggi, yaitu 98,30%, F1 sebesar 96,70%, F3 sebesar 95% dan F4 sebesar 75%. Secara keseluruhan F2 memiliki persentase penerimaan panelis tertinggi yaitu 96,70 %, F3 dan F1 memiliki persentase penerimaan yang sama yaitu 93,30 %, sedangkan F4 memiliki persentase penerimaan panelis terendah, yaitu 85%. Berdasarkan persentase penerimaan panelis terhadap karakteristik organoleptik cookies pada berbagai taraf fortifikasi dapat diketahui formula yang paling dapat diterima oleh panelis untuk setiap karakteristik organoleptik. Hasil sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada persentase penerimaan panelis untuk warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan cookies antar formula pada uji hedonik (p>0.05). Rossana (2009) menyatakan bahwa mikrokapsul mineral tidak mempengaruhi mutu organoleptik produk pembawanya. Selain uji hedonik, dilakukan juga uji mutu hedonik cookies oleh panelis. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik maka diketahui modus penilaian panelis untuk setiap formula cookies (sebaran penilaian panelis dapat dilihat pada Lampiran 13). Nilai modus penilaian panelis dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai modus dan persentase panelis berdasarkan uji mutu hedonik Karakteristik Modus F1 F2 F3 F4 Warna 1 4(40%) 3 (43 %) 4 (53 %) 4(43, %) 2 3(43 %) 3(53%) 3(53%) 4(40%) x 3 (35%) 3(35%) 3(38%) 2(43%) Aroma 1 3(40%) 3 (43 %) 3(43%) 2 (43 %) 2 3(30%) 2 (33 %) 2(40%) 2(43%) x 3(38%) 4(35%) 3(53%) 3(33%) Rasa 1 3 (43 %) 4(36%) 3(50%) 4 36 %) 2 3(36%) 3 (36 %) 3(60%) 3(36%) x 4(38%) 3(47%) 3 & 4(42%) 4(38%) Tekstur 1 4 (57 %) 4 (66 %) 4(60%) 2(33%) 2 4(60%) 4 (63 %) 4(70%) 3(47 %) X 4(58%) 4(63%) 4(63%) 4(23%) Ket : F1 = 0 % AKG, F2 = 25 % AKG, F3 = 50 % AKG, dan F4 = 100 % AKG

16 36 Berdasarkan sebaran nilai hasil uji mutu hedonik diketahui bahwa berdasarkan karakteristik warna, modus penilaian pada rentang nilai 3 (biasa) dan 4 (cerah). Modus penilaian panelis terhadap aroma cookies adalah 2 (amis) 3 (biasa) namun lebih dominan pada nilai 3. Modus penilaian panelis terhadap rasa cookies sebagian besar adalah 4 (enak), dan untuk karakteristik tekstur modus penilaian adalah 4 (renyah). Penentuan formula terbaik didasarkan atas beberapa kualifikasi, seperti tingkat penerimaan dan mutu gizi. Hasil uji penerimaan panelis tidak berbeda nyata antar formula F1, F2, F3, dan F4, oleh sebab itu dilakukan uji bioavailabilitas mineral Fe dan Zn pada sampel cookies F2, F3, dan F4. Pada cookies F1 tidak dilakukan analisis bioavailabilitas mineral, karena merupakan kontrol (tidak difortifikasi). Bioavailabilitas Mineral Fe dan Zn pada Cookies Bioavailabilitas merupakan proporsi zat gizi yang dapat digunakan oleh tubuh secara aktual dari pangan yang dikonsumsi (Bowman 2008). Biovailabilitas mineral dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik endogen maupun eksogen (Mahan & Escott Stump 2004). Faktor endogen meliputi kondisi tubuh dan jumlah cadangan mineral dalam tubuh, sedangkan faktor eksogen meliputi struktur kimia mineral, interaksi dengan mineral lain, interaksi antara mineral dengan serat, dan interaksi mineral dengan vitamin (Almatsier 2001). Uji bioavailabilitas pada sampel F2, F3, dan F4 dilakukan secara in vitro dengan menggunakan metode kantung dialisis (Roig et al 1998, dalam Rimbawan 2008). Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk mengetahui formula yang memiliki bioavailabilitas mineral Fe dan Zn yang paling tinggi. Prinsip analisis dengan metode kantung dialisis adalah pemisahan molekul terlarut berdasarkan berat molekulnya secara difusi (Damayanthi dan Rimbawan 2008). Hasil uji bioavailabilitas mineral pada cookies dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Bioavailabilitas mineral Fe dan Zn pada berbagai taraf fortifikasi Fe Bioavailabiitas Zn Formula (%) (%) 2 55,85 ª 44,71 ª 3 76,32 ª 41,80 ª 4 53,79 ª 40,57 ª Ket : F2 = 25 % AKG, F3 = 50 % AKG, dan F4 = 100 % AKG. Angka dengan superscript huruf sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada perbedaan nyata.

17 37 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bioavailabilitas mineral Zn tidak berbeda nyata pada berbagai taraf fortifikasi (p>0,05), demikian halnya dengan bioavailabilitas mineral Fe (p>0,05) (Lampiran 14). Biovailabilitas Zn untuk ketiga formula berada pada kisaran 40 % 44 %. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioavailabilitas Zn yang berasal dari Zn Sulfat yang difortifikasikan pada produk panggang lainnya, yaitu roti sebesar 13,5 % (Lopez et al 2003). Whitaker (1998) menyatakan bahwa efek suplementasi ganda Fe sulfat dan Zn sulfat tidak akan memberi interaksi negatif terhadap penyerapan Zn apabila dosis Fe tidak lebih dari 25 mg. Oleh karena itu bioavailabilitas Zn pada berbagai formula diduga tidak mengalami interaksi negatif dengan adanya Fe, karena dosis Fe pada penelitian ini berada jauh dibawah 25 mg, yaitu 4,5 mg untuk setiap serving size cookies. Bioavailabilitas mineral Fe pada cookies masih berada dalam rentang bioavailabilitas mineral Fe yang berasal dari Fe sulfat, yaitu 20%-100% tergantung pada kehalusan tepung pembawa (Whitaker 1998). Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti penyebaran mikrokapsul dalam campuran tepung ikan dan terigu yang sulit untuk dihomogenisasi. Selain itu, sejumlah penelitian menunjukkan adanya pengaruh dosis fortifikasi dengan bioavailabilitas, sehingga pada taraf tertentu Fe akan mencapai titik bioavailabilitas optimumnya. Selain itu bioavailabilitas Fe juga bergantung pada struktur pangan pembawanya ( Whitaker 1998). Bioavailabilitas mineral Fe dan Zn merupakan salah satu kualifikasi penentu formula terpilih. Dengan mempertimbangkan berbagai kriteria termasuk persentase penerimaan panelis, maka dipilih Formula F3 sebagai formula terbaik. Bioavailabilitas Fe dan Zn pada formula F3 masing-masing adalah 76,32% dan 41,80%. Formula terpilih ini yang selanjutnya akan dianalisis sifat fisik, sifat kimia, dan daya cerna proteinnya. Cookies formula F3 dapat dilihat pada Gambar 6 Gambar 6 Cookies fungsional dengan fortifikasi mineral 50% AKG

18 38 Sifat Fisik Cookies Formula Terpilih Rendemen Rendemen cookies ditentukan berdasarkan perbandingan berat produk cookies yang dihasilkan terhadap berat total adonan awal. Rendemen cookies tepung ikan gabus adalah 75,47%. Penyusutan ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti susut pada saat proses dry mixing tepung ikan dan tepung terigu, yakni adanya bahan kering yang terbang selama proses pengadukan, penguapan air selama proses pemanggangan, dan adanya sisa adonan yang menempel pada alat-alat pengolahan. Kerenyahan Kerenyahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap sebuah produk cookies (Mervina 2009). Uji kerenyahan cookies dilakukan dengan menggunakan teksture analyzer. Berdasarkan hasil pengukuran dapat diketahui bahwa untuk menekan cookies tepung ikan gabus pada kedalaman 85 mm dengan kecepatan 2 mm/ detik diperlukan massa 925 gram. Uji kerenyahan juga dilakukan pada produk cookies komersial yang beredar di pasaran dengan menggunakan instrumen dan kondisi yang sama, sehingga diketahui massa yang dibutuhkan untuk menekan produk cookies komersial adalah 950 gram. Hal ini menunjukkan bahwa kerenyahan cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul mineral berada diatas kerenyahan produk konvensional. Sifat Kimia Cookies Formula Terpilih Analisis sifat kimia cookies meliputi analisis proksimat, kadar mineral dan daya cerna protein. Hasil analisis sifat kimia cookies dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil analisis sifat kimia cookies formula terpilih per 100 g (bb) Komponen Jumlah Syarat Mutu* Air (g) 2,73 Maksimum 5% Abu (g) 2,08 Maksimum 1,5% Protein (g) 13,34 Minimum 9% Lemak (g) 24,53 Minimum 9,5% Karbohidrat (g) 57,32 Minimum 70% Fe (mg) 11,17 - Zn (mg) 8,83 - Daya cerna protein 78,45% - Energi (kal) 503 Minimum 400 Ket : * SNI

19 39 Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan zat gizi makro cookies. Berdasarkan analisis proksimat diketahui kandungan protein, lemak, air, abu dan karbohidrat cookies tepung ikan (Tabel 16). Air Air merupakan salah satu komponen bahan pangan yang memberikan pengaruh terhadap daya tahan bahan pangan dalam proses penyimpanan. Selama menjalani proses pemanggangan terjadi pengurangan kadar air. Pengurangan kadar air akan mempengaruhi tekstur cookies yang dihasilkan (Manley 2001). Semakin rendah kandungan air dalam cookies maka tekstur cookies yang dihasilkan akan semakin renyah. Berdasarkan hasil analisis kadar air dengan menggunakan metode oven biasa diketahui bahwa kandungan air sampel cookies adalah 2,73%. SNI menyatakan bahwa kandungan air maksimum dalam produk cookies adalah 5%. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa kriteria kadar air cookies F3 memenuhi SNI. Abu Kadar abu merupakan indikator kualitatif adanya mineral dalam suatu bahan pangan, namun jumlahnya tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineralnya (Sulaeman et al 1995). Berdasarkan hasil analisis kadar abu diketahui bahwa kadar abu cookies adalah 2,08 g/100 g. Berdasarkan SNI diketahui bahwa kadar abu maksimum cookies adalah 1,5%. Lebih tingginya kadar abu cookies tepung ikan gabus dibandingkan dengan SNI disebabkan oleh adanya fortifikasi mineral. Adanya fortifikasi mineral menyebabkan bertambahnya jumlah komponen anorganik yang terkandung dalam cookies. Protein Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004 diketahui bahwa kecukupan protein balita usia 4-5 tahun adalah 39 g. Hasil analisis protein dengan menggunakan metode Kjedahl menunjukkan kadar protein cookies adalah 13,34 g/100 g. Pada tahap awal formulasi cookies dilakukan upaya estimasi kandungan protein cookies. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran kandungan protein cookies. Berdasarkan hasil estimasi diperkirakan kandungan protein cookies dengan subtitusi tepung ikan sebanyak 15% adalah 20,44 g/100 g.

20 40 Penurunan kadar protein dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya perubahan struktur asam amino sebagai dampak dari pemanasan. Pemanasan dapat mengakibatkan kerusakan komponen protein dan karbohidrat yang tentu saja akan mempengaruhi komposisi gizi, khususnya kandungan karbohidrat dan proteinnya. Degradasi protein dapat menyebabkan terbentuknya peptida sederhana, asam amino, senyawa amin, dan amonia yang mudah menguap (Yohana 2000). Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan adalah keterbatasan metode dalam menampung nitrogen sampel. Kadar protein dalam makanan biasanya ditentukan berdasarkan kadar nitrogen yang terkandung di dalamnya. Metode mikro Kjeldahl dapat menentukan kadar protein makanan, dengan asumsi bahwa nitrogen yang dikandungnya tidak banyak dalam bentuk nitrat atau ikatan N-N atau N-O (Yohana 2000). Selain itu pemanasan menyebabkan penurunan ketebalan pita protein dengan molekul besar dan meningkatkan jumlah bagian-bagian protein yang tertinggal dalam pemisahan protein (Iwan 2006). Pemanasan pada pengolahan cookies ini adalah pada suhu 150 C selama 45 menit. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan adanya kerusakan atau degradasi protein akibat pemanasan. Tsen et al (2006) menyatakan bahwa efek pemanggangan pada pembuatan pizza dengan suhu 316 C selama 4,5 menit adalah penurunan kadar asam amino lisin sebesar 19,4%. Czuchajowska et al (1995) menyatakan bahwa pada saat protein berikatan dengan molekul tepung yang kasar dan mengalami pemanggangan maka akan terjadi penurunan kelarutan protein sebesar 23 31%. Lemak Lemak merupakan bahan cookies yang berpengaruh terhadap kerenyahan cookies (Annova 1989). Dalam pembuatan cookies tepung ikan gabus digunakan dua jenis lemak, yaitu mentega dan margarin dengan rasio/ proporsi 83,5% mentega dan 16,5% margarin dengan tujuan meningkatkan kerenyahan cookies dan menutupi aroma yang amis. Hasil analisis kadar lemak menunjukkan bahwa kandungan lemak cookies sebesar 24,53 g/100 g. Kandungan lemak cookies ini sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan lemak biskuit ikan lele dengan isolat kedelai, yaitu sebesar 21,99 g/100 g (Mervina 2009). Kandungan lemak minimum berdasarkan SNI tentang cookies adalah minimum 9,5% sehingga dapat dinyatakan bahwa cookies tepung ikan gabus telah memenuhi standar mutu SNI.

21 41 Karbohidrat Almatsier (2008) menyatakan bahwa sumber energi utama bagi tubuh manusia adalah karbohidrat, sehingga persentase pemenuhan kebutuhan energi yang berasal dari karbohidrat berada pada kisaran 55-65% dari total kalori untuk orang tanpa gangguan metabolisme. Bahan-bahan cookies yang tergolong kedalam kelompok karbohidrat adalah terigu, gula, dan maizena. Penentuan kandungan karbohidrat cookies dilakukan secara by difference, yaitu penentuan kadar karbohidrat berdasarkan proporsi zat gizi lainnya, yaitu 100% dikurangi total lemak, protein, air dan abu. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa kandungan karbohidrat cookies tepung ikan gabus adalah 57,32 g/100 g. Berdasarkan SNI diketahui bahwa kandungan karbohidrat cookies minimum adalah 70%, sehingga dapat dinyatakan bahwa cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul belum memenuhi kriteria SNI terkait kandungan karbohidratnya. Kandungan Energi Cookies Perhitungan energi cookies didasarkan pada kandungan karbohidrat, protein dan lemak, yaitu penjumlahan 4 kalori (57,32 gram karbohidrat) + 4 kalori 13,34 gram protein) + 9 kalori (24,53 gram lemak). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa kandungan energi cookies dalam setiap 100 gram adalah 503 Kal/100 g. SNI tentang cookies menyatakan bahwa kandungan energi minimum untuk cookies adalah 400 Kal/ 100 g. Oleh sebab itu cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn sudah memenuhi kriteria mutu untuk kandungan energi. Kandungan Mineral Zat besi (Fe) Marliyati dan Kustyah (2008) menyatakan bahwa zat besi (Fe) merupakan salah satu elemen kunci dalam proses metabolisme tubuh. Di dalam tubuh, Fe memiliki sejumlah peranan seperti pembawa oksigen dan karbondioksida; pembentuk sel darah merah; katalisasi dalam sintesis vitamin A; sintesis purin, sintesis jaringan kolagen; dan detoksifikasi toksik di hati (Murray et al 2009). Defisiensi dari mineral ini dapat bermanifestasi pada anemia gizi besi, sehingga sangat perlu mengetahui kandungan Fe dari cookies yang telah difortifikasi dengan menggunakan mikrokapsul Fe. Analisis kadar Fe dilakukan dengan menggunakan metode Sudjana et al (1986). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kandungan Fe cookies adalah 11,17 mg/ 100 g cookies. Tingginya

22 42 kandungan Fe adanya fortifikasi untuk mencapai 50 % AKG Fe untuk balita 4-5 tahun yaitu 9 mg/ hari. Selain itu adanya kandungan Fe pada bahan baku lainnya juga menjadikan kandungan Fe cookies meningkat. Seng (Zn) Zn memiliki peranan yang vital di dalam tubuh. Beberapa aktivitas vital tubuh, seperti respon imun, fungsi neurologi, sintesis DNA dan RNA, pembentukan jaringan mata, integritas fungsi lambung dan pembentukan sel darah putih dan reproduksi memerlukan Zn di dalam prosesnya. Oleh karena itu, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, hambatan perkembangan, hambatan kematangan seks, kurangnya nafsu makan, rendahnya daya tahan tubuh, dan gangguan sistem syaraf (WNPG 2004). Kandungan mineral Zn dalam suatu bahan pangan penting untuk diketahui, terlebih yang telah di fortifikasi dengan mikrokapsul mineral. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa kandung Zn cookies tepung ikan gabus adalah 8,83 mg/100 g cookies. Daya cerna protein Kualitas zat gizi suatu bahan pangan tidak hanya dinilai dari aspek jumlahnya dalam bahan pangan, tingkat penggunaan zat gizi oleh tubuh turut menjadi aspek penilaian. Penilaian nilai gizi protein yang lazim digunakan adalah uji daya cerna protein. Metode evaluasi nilai gizi protein yang digunakan adalah metode Hsu 1977 yang merupakan penentuan daya cerna protein secara in vitro. Pada metode ini pengukuran persentase protein yang dapat digunakan tubuh didasarkan pada perubahan ph pasca penambahan multi enzim, sebab penambahan multi enzim mengakibatkan hidrolisis sampel protein sehingga terjadi pembebasan gugus karboksil yang kemudian menyebabkan penurunan ph suspensi (Hsu 1977, dalam Mutchadi 1993). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa daya cerna protein cookies ikan gabus adalah 78,45%. Nilai daya cerna cookies tepung ikan gabus lebih rendah jika dibandingkan dengan daya cerna biskuit tepung ikan lele dengan tambahan isolat protein kedelai yang memiliki nilai daya cerna 89,34% (Mervina 2009) namun setara dengan nilai daya cerna protein ikan, yaitu 79% (Bowman 2008). Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan penurunan daya cerna protein, seperti reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang dikenal dengan

23 43 reaksi Maillard, interaksi antara protein dengan komponen lipid, dan pembentukan lisinoalanin (Palupi et al 2007). Proses pengolahan cookies adalah dengan pemanggangan pada suhu 150 C selama 45 menit, sehingga besar kemungkinan terjadi reaksi Maillard yang berdampak pada penurunan nilai gizi. Reaksi Maillard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi dengan gugus amina dari asam amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfa-amino asam amino N-terminal. Reaksi ini lazim terjadi pada proses pemanggangan roti, cookies, dan breakfast cereal (Palupi et al 2007). Lebih lanjut Palupi et al (2007) menyatakan bahwa penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard adalah sebagai berikut: Lisin dan sistin mengalami kerusakan sebagai akibat bereaksi dengan senyawa karbonil atau dikarbonil dan aldehid. Penurunan ketersediaan semua asam-asam amino merupakan akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar asam-asam amino sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim proteolitik. Penurunan daya cerna karena terhambatnya penetrasi enzim ke dalam substrat protein atau karena tertutupnya sisi protein yang dapat diserang enzim akibat adanya ikatan silang. Selain diakibatkan oleh proses pemanasan, bahan dasar pembuatan cookies, seperti mentega dan margarin dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein. Palupi et al (2007) menyatakan bahwa penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya interaksi antara protein dengan lipid teroksidasi, yang seringkali tidak diperhatikan dalam proses pengolahan pangan. Oksidasi lipid yang mengandung asam lemak tidak jenuh berlangsung melalui tiga tahap: (1) pembentukan produk primer seperti lipid hidroperoksida; (2) degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produk-produk sekunder seperti aldehid, hidrokarbon dan lain-lain; serta (3) polimerisasi produk primer dan sekunder membentuk produk akhir yang stabil. Produk-produk yang terbentuk tersebut dapat bereaksi dengan protein, terutama dengan asam amino lisin, membentuk protein modifikasi yang sulit dicerna oleh enzim proteolitik. Disamping itu, asam amino triptofan dan asam amino lain yang mengandung sulfur juga dapat rusak teroksidasi oleh adanya radikal bebas dan hidroperoksida. Berdasarkan nilai gizinya cookies fungsional berbasis tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn memiliki sejumlah keunggulan.

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 13 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Analisis makanan, Laboratorium pengolahan pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Cookies Tepung Beras 4.1.1 Penyangraian Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan pada wajan dan disangrai menggunakan kompor,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ceker ayam Ceker adalah bagian dari tubuh ayam yang berhubungan langsung dengan benda-benda kotor. Meski demikian, tanpa ceker ayam tidak mungkin menjadi gemuk untuk diambil

Lebih terperinci

FORTIFIKASI Fe ORGANIK DARI BAYAM (Amaranthus tricolor L) DALAM PEMBUATAN COOKIES UNTUK WANITA MENSTRUASI

FORTIFIKASI Fe ORGANIK DARI BAYAM (Amaranthus tricolor L) DALAM PEMBUATAN COOKIES UNTUK WANITA MENSTRUASI PKMI-1-03-1 FORTIFIKASI Fe ORGANIK DARI BAYAM (Amaranthus tricolor L) DALAM PEMBUATAN COOKIES UNTUK WANITA MENSTRUASI Dian Sukma Kuswardhani, Yaniasih, Bot Pranadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia

4. PEMBAHASAN 4.1. Analisa Kimia 4. PEMBAHASAN Biskuit adalah salah satu makanan ringan yang disukai oleh masyarakat, sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan produk biskuit yang lebih sehat. Pembuatan biskuit ini menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ikan gabus (Channa stirata)

TINJAUAN PUSTAKA Ikan gabus (Channa stirata) 4 TINJAUAN PUSTAKA Ikan gabus (Channa stirata) Ikan gabus (Channa stirata) adalah sejenis ikan buas yang hidup di air tawar. Ikan ini dikenal dengan banyak nama di berbagai daerah, seperti aruan, haruan,

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang I PENDAHULUAN Cookies merupakan salah satu produk yang banyak menggunakan tepung. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang dihasilkan. Tepung kacang koro dan tepung

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Air Rata-rata kadar air kukis sagu MOCAL dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji lanjut DNMRT terhadap kadar air kukis (%) SMO (Tepung sagu 100%, MOCAL 0%) 0,331"

Lebih terperinci

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, dan Laboratorium Analisis Kimia Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tepung Tulang Ikan Tuna 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan. Perhitungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini

I PENDAHULUAN. hidup dan konsumsinya agar lebih sehat. Dengan demikian, konsumen saat ini I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

Dewi Kartika Sari 1, Sri Anna Marliyati 2, Lilik Kustiyah 2, Ali Khomsan 2, Tommy Marcelino Gantohe 2. AGRITECH, Vol. 34, No.

Dewi Kartika Sari 1, Sri Anna Marliyati 2, Lilik Kustiyah 2, Ali Khomsan 2, Tommy Marcelino Gantohe 2. AGRITECH, Vol. 34, No. BIOAVAILABILITAS FORTIFIKAN, DAYA CERNA PROTEIN, SERTA KONTRIBUSI GIZI BISKUIT YANG DITAMBAH TEPUNG IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus) DAN DIFORTIFIKASI SENG DAN BESI Fortificant Bioavailability, Protein

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Analisa Proksimat Kadar Air

4. PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Analisa Proksimat Kadar Air 4. PEMBAHASAN Produk snack bar dikategorikan sebagai produk food bar, dan tidak dapat dikategorikan sama seperti produk lain. Standart mutu snack bar di Indonesia masih belum beredar sehingga pada pembahasan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 14 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni sampai September 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Percobaan Makanan, dan Laboratorium

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Sampel Tabel 8 menyajikan data hasil analisis proksimat semua sampel (Lampiran 1) yang digunakan pada penelitian ini. Data hasil analisis ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bolu Kukus Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan telur dan gula. Terdapat banyak macam kue bolu, misalnya kue tart yang biasa dihidangkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Purata kadar air (% ± SE) tempe dengan penambahan tepung belut dan variasi usar tempe berkisar antara 60,37 ±

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia.

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi. pembentukan Hb yang mengakibatkan kondisi anemia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah rendah. Hemoglobin merupakan salah satu komponen sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan.

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizinya belum sesuai dengan kebutuhan balita. zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada balita dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia bayi dibawah tiga tahun merupakan fase emas pertumbuhan yang harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan. Winarno dan Rika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumbangan zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Snack telah menjadi salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di dunia mengonsumsi snack karena kepraktisan dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

PENENTUAN JENIS DAN KOMPOSISI PRODUK

PENENTUAN JENIS DAN KOMPOSISI PRODUK PENENTUAN JENIS DAN KOMPOSISI PRODUK A. TUJUAN Sebagai acuan dalam menentukan jenis kompoisi produk yang meliputi komposisi bahan, jumlah jenis fortifikan yang digunakan dalam pembuatan produk. B. BAHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian analisis sifat fisik cookies berbahan baku tepung terigu dengan substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014).

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014). 4. PEMBAHASAN Snack atau yang sering disebut dengan makanan selingan adalah suatu produk yang biasannya dikonsumsi diantara waktu makan utama. Snack biasa dikonsumsi dengan jangka waktu 2-3 jam sebelum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah berkembang dengan cepat. Pangan fungsional yang merupakan konvergensi antara industri, farmasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen di bidang Teknologi Pangan. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat pembuatan cake rumput laut dan mutu organoleptik

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar )

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN. ( Food Bar ) LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN KACANG-KACANGAN ( Food Bar ) Oleh : Nama NRP Kelompok Meja Tanggal Praktikum Asisten : Lutfi Hanif : 143020097 :D : 02 (

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. 3.1. Materi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair

I. PENDAHULUAN. poliaromatik hidrokarbon / PAH (Panagan dan Nirwan, 2009). Redestilat asap cair I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil pirolisis tempurung kelapa yang komponen penyusunnya berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang dimurnikan dengan proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian

I PENDAHULUAN. dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Redistilat asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap dalam air yang diperoleh dari pirolisis kayu (Maga,1987). Redistilat asap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Gaplek Menurut Soetanto (2008), umbi ketela atau singkong umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Pada penelitian ini bahan dasar tepung

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melakukan eksperimen, metode ini ditempuh dalam pembuatan Chiffon cake dengan subtitusi tepung kulit singkong 0%, 5%, 10%,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Ganyong Tahapan pembuatan tepung ganyong meliputi pemilihan bahan, pengupasan bahan, pembersihan dan pencucian ganyong, serta proses pengeringan dengan drum dryer.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah,(3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka Berpikir, (6) Hipotesa penelitian dan (7)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenang adalah salah satu hasil olahan dari tepung ketan. Selain tepung ketan, dalam pembuatan jenang diperlukan bahan tambahan berupa gula merah dan santan kelapa. Kedua bahan

Lebih terperinci

SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott)

SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott) SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott) SUBSTITUTION OF GREEN BEAN FLOUR (Phaseolus radiathus L) IN MAKING KIMPUL BISCUIT

Lebih terperinci

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai. Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai. Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as D ABSTRAK Vitamin A dan zat besi termasuk salah satu zat gizi mikro yang dibutuhkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tepung Sorghum. Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan sifat kimianya. HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Sorghum Tepung sorghum yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, sifat fungsional dan Sifat Fisik Tepung Sorghum Sifat fisik tepung sorghum yang dianalisis meliputi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian. I PENDAHULUAN Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah berdasarkan latar belakang tertentu. Dengan maksud dan tujuan yang sudah jelas selanjutnya dikembangkan kerangka pemikiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat spreads, yang kandungan airnya lebih besar dibandingkan minyaknya. Kandungan minyak dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan target penempatan fortifikan yang tepat pada formula wafer krim. Percobaan pertama dimulai dengan kombinasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Hampir 60% produksi kakao berasal dari pulau Sulawesi yakni

I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Hampir 60% produksi kakao berasal dari pulau Sulawesi yakni I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan salah satu buah tropis yang paling banyak ditemukan dan dikonsumsi di Indonesia. Produksi pisang di Indonesia adalah yang tertinggi dibandingkan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tepung terigu sangat dibutuhkan dalam industri pangan di Indonesia. Rata-rata kebutuhan terigu perusahaan roti, dan kue kering terbesar di Indonesia mencapai 20 ton/tahun,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Tepung Bumbu Ayam Goreng Pada proses pengolahan tepung bumbu ayam goreng, formula dasar diperoleh dari hasil survei dari internet dan buku yang kemudian dimodifikasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Penepungan Kacang Tunggak Kacang tunggak yang akan digunakan dalam pembuatan cookies harus terlebih dahulu ditepungkan. Kacang tunggak ditepungkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cake merupakan adonan panggang yang dibuat dari empat bahan dasar yaitu tepung terigu, gula, telur dan lemak. Cake banyak digemari masyarakat terutama bagi anak-anak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik

TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik TINJAUAN PUSTAKA Indeks Glikemik Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Penilaian Organoleptik, dan Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Produksi dan Nilai Ikan Jangilus per Bulan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2012

Lampiran 1. Produksi dan Nilai Ikan Jangilus per Bulan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 2012 45 Lampiran 1. Produksi dan Nilai Ikan Jangilus per Bulan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Tahun 01 No Bulan Produksi (kg) Nilai (Rp) 1 Januari 137 3.083.000 Februari.960 67.737.000 3 Maret

Lebih terperinci

OPTIMALISASI ZAT GIZI SERTA UJI ORGANOLEPTIK PADA PRODUK BISKUIT MORINGGA OLEIFERA DENGAN SUBSTITUSI SERBUK DAUN KELOR

OPTIMALISASI ZAT GIZI SERTA UJI ORGANOLEPTIK PADA PRODUK BISKUIT MORINGGA OLEIFERA DENGAN SUBSTITUSI SERBUK DAUN KELOR OPTIMALISASI ZAT GIZI SERTA UJI ORGANOLEPTIK PADA PRODUK BISKUIT MORINGGA OLEIFERA DENGAN SUBSTITUSI SERBUK DAUN KELOR Dwi Ana A 1) Lisa Lukita 2)., Bayu Arif C 3) 1,2,3) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mudjajanto dan Yulianti (2004). Roti tawar merupakan salah satu jenis roti yang

I. PENDAHULUAN. Mudjajanto dan Yulianti (2004). Roti tawar merupakan salah satu jenis roti yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roti merupakan produk pangan hasil fermentasi tepung dengan ragi roti atau bahan pengembang lainnya yang kemudian dipanggang untuk mematangkannya Mudjajanto dan Yulianti

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil Fortifikasi dengan penambahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) selama penyimpanan, dilakukan analisa

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB

PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN. Teti Estiasih - THP - FTP - UB PENGGORENGAN, EKSTRUSI, & PEMANGANGGAN 1 PENGGORENGAN 2 TUJUAN Tujuan utama: mendapatkan cita rasa produk Tujuan sekunder: Inaktivasi enzim dan mikroba Menurunkan aktivitas air pada permukaan atau seluruh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. juta penduduk Indonesia (Siagian, 2003). Asupan yang cukup serta ketersediaan

I PENDAHULUAN. juta penduduk Indonesia (Siagian, 2003). Asupan yang cukup serta ketersediaan I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis) LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN Disusun Oleh: FERAWATI I 8311017 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 KATA PENGANTAR Segala

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mutu gizi makanan seseorang dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi makanan beranekaragam yang dapat memberikan sumber zat gizi yang cukup bagi tubuh, dengan adanya program

Lebih terperinci