BEBERAPA CATATAN UNTUK PERJALANAN SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA. Prof. Mardjono Reksodiputro

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BEBERAPA CATATAN UNTUK PERJALANAN SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA. Prof. Mardjono Reksodiputro"

Transkripsi

1 BEBERAPA CATATAN UNTUK PERJALANAN SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA Prof. Mardjono Reksodiputro Disampaikan pada Perkuliahan Hukum Pidana Kamis, 7 April 2016

2 2 Beberapa Catatan Untuk Perjalanan Sejarah Hukum Pidana Indonesia Mardjono Reksodiputro 1 Pengantar Tulisan ini akan mencoba memberikan selayang-pandang perjalanan sejarah hukum pidana kita. Baik hukum pidana materiil maupun hukum acara pidana (hukum pidana formil). Tentu untuk sebagian makalah ini saya harus memakai memori/ingatan saya dan tentu akan bersifat subyektif dalam komentar saya terhadap perjalanan sejarah tersebut. Tulisan ini juga akan bersifat lebih deskriptif daripada analitis dan karena itu juga masih memerlukan perbaikan berdasarkan pertanyaan dan kritik yang akan diajukan. Uraian singkat di bawah ini dibagi dua: 1) berhubungan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimulai dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie 1918; dan 2) tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimulai dengan Het Herziene Indonesisch Reglement Wetboek van Strafrecht (WvS-HB) untuk Hindia Belanda WvS HB ini diundangkan dalam tahun 1915 dengan Staatsblad No.732 tetapi mulai berlaku 1 Januari 1918, dan karena itu jangan kita lupakan umurnya sudah hampir 100 tahun (satu abad!). Menurut saya adalah sangat mengherankan bahwa terjadi kelambatan yang sangat besar dalam membicarakan Rancangan 1983 KUHP Nasional yang secara resmi disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada bulan Maret 1993 (lebih dari 20 tahun yang lalu!) dan disusun oleh suatu Tim yang resmi diangkat Pemerintah RI mulai tahun 1983 (jadi telah dikerjakan selama 10 tahun!). Sebelum adanya WvS pemerintah Hindia Belanda membiarkan daerahdaerah swapraja memakai hukum adat sebagai sumber langsung hukum pidana. Tetapi memang disamping itu terdapat pula strafrecht voor de 1 Gurubesar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila Jakarta Mantan Dekan Fakultas Hukum UI ( ) Mantan Sekretaris/Ketua Konsorsium Ilmu Hukum ( ) Mantan Sekretaris Komisi Hukum Nasional ( ) - Dosen di Program Magister Hukum UI dan Universitas Pancasila.

3 3 Inheemsche groepen, namun yang hanya berlaku apabila secara tegas dinyatakan demikian (voor zoover het uitdrukkelijk tooepasselijk is verklaard). Dan dalam kenyataannya yang dinyatakan secara tegas berlaku adalah perbuatan-perbuatan yang dalam hukum adat tidak ada persamaannya (geen aequivalent). Keadaan ini berlaku sampai tahun 1873, karena pada waktu itu mulai berlaku KUHPidana untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing dan ada pula KUHPidana untuk golongan Eropah (yang terakhir ini sudah berlaku sejak tahun 1866). Secara umum dan sederhana kita dapat simpulkan bahwa semasa Indonesia dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, terdapat tiga periode berbeda dalam politik hukum pidana di Indonesia: 1. periode sampai tahun 1873, dimana golongan Bumiputera masih dapat tunduk kepada hukum pidana yang bersumber langsung pada hukum adat; dengan ketentuan bahwa untuk hal-hal tertentu (umumnya yang berhubungan dengan tatakelola pemerintahan dan perdagangan hasil bumi yang dikuasai pemerintah), secara tegas (uitdrukkelijk) dinyatakan berlaku ketentuan dalam peraturan perundangundangan hukum pidana untuk golongan-golongan bumiputera (strafrecht voor de Inheemsche groepen); 2. periode mulai tahun 1873, dimana terdapat dua KUHPidana, yaitu untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing, dan yang lain untuk golongan Eropah. Ini dikenal sebagai sistem dualisme; 3. periode mulai tahun 1918, dimana ada sistem unifikasi dalam KUHPidana, yaitu berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederlands- Indie dalam tahun 1918, yang berlaku untuk semua golongan penduduk: Bumiputera (Indonesia), Timur Asing (Tionghoa dan Arab) dan Eropah (termasuk Jepang dan yang dipersamakan sebagai golongan Eropah). KUHPidana/WvS H-B ini, berdasarkan asas konkordansi, adalah serupa dengan WVS di Belanda yang mulai berlaku September 1886 di Belanda. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP- RI) 1918 untuk RI WvS yang ditulis dalam bahasa Belanda adalah yang sah merupakan undang-undang otentik yang berlaku bagi rakyat Indonesia sejak kemerdekaan kita dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan sejumlah perubahan (yang kurang signifikan?) dalam periode (periode pemerintahan militer Jepang di Indonesia) dan dalam tahun

4 4 (periode perang kemerdekaan Republik Indonesia), maka WvS ini tetap berlaku 2 Jadi WvS Hindia Belanda ini (S yang berlaku mulai 1 Jan 1918), oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan berlaku di Republik Indonesia ini kemudian dipertegas dengan UU No.1/1946, menjadi berlaku untuk seluruh wilayah RI dan nama resmi WvS Ned-Indie menjadi WvS saja. Kemudian pada masa RIS (periode adanya Lembaga Konstituante di Bandung) diterbitkan UU No.73/1958, untuk menegaskan kembali berlakunya UU No.1/1946 untuk seluruh wilayah RI. Setelah adanya Dekrit Presiden Sukarno 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 dan dibubarkannya Lembaga Konstituante, maka dengan UU No.1/1960 dikukuhkan kembali bahwa WvS (KUHP) berlaku untuk seluruh wilayah RI (namun selalu patut diingat bahwa WvS ini teksnya masih dalam bahasa Belanda!). Yang aneh adalah yang dipergunakan dalam praktek hukum dan dalam pendidikan hukum adalah terjemahan tidak resmi (atau tidak disahkan) dari undang-undang otentik berbahasa Belanda.Ada berbagai terjemahan WvS menjadi KUHP 3 dan juga buku tentang hukum pidana yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dan inilah yang menjadi rujukan para praktisi dan teoritisi hukum pidana di Indonesia. Meskipun sejumlah kritik dari kalangan hukum sudah sering diajukan, namun belum ada tanggapan Pemerintah kita tentang anomali ini. Juga Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di bawahnya tidak meresahkan kemungkinan salah atau beda tafsir dalam teks bahasa Indonesia terhadap teks bahasa Belanda. Saya tidak tahu apakah ada Negara lain (Malaysia?) yang juga demikian, undang-undang masih dalam bahasa asli dari pemerintah jajahan (misalnya bahasa Inggris), tetapi pengadilannya dan sistem hukumnya memakai terjemahan tidak resmi (tidak disahkan). 2 Teks bahasa Belanda yang berlaku sampai sekarang dapat dibaca dalam buku kumpulan peraturan Engelbrecht,1989 De Wetboeken, Wetten en Verordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie (Di dalam jilid ini dicantumkan undang-undang, peraturan-peraturan, ordonansi-ordonansi, dan lain-lainl, dari zaman Hindia Belanda yang masih berlaku sampai sekarang), P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta., halaman Ada beberapa terjemahan WvS menjadi KUHP yang dipergunakan oleh berbagai pihak di Indonesia, di kalangan akademisi banyak dipergunakan terjemahan Prof.Moeljatno, gurubesar Hukum Pidana di FH-UGM (1960-an). Di UI dan di PTIK/AHM tahun 1950-an beredar Diktat Perkuliahan Prof.Satochid Kartanegara, gurubesar Hukum Pidana UI/PTIK/AHM yang memuat teks-teks KUHP dalam bahasa Belanda dan terjemahannya tetapi Prof. Satochid selalu memakai teks Belanda dalam perkuliahannya. Terjemahan KUHP yang terbaru adalah dari Prof. Andi Hamzah dengan Edii Revisi-nya tahun 2008.

5 5 Adapun catatan saya ini, bukanlah mengada-ada hal yang kecil. Menurut saya dalam dunia hukum, maka bahasa adalah utama. Argumentasi hukum dibuat dalam tulisan dan bahasa Indonesia, dan hakim (atau pihak lawan advokat atau JPU) akan menafsirkan dan memberi argumentasi-kontra. Bagaimana melakukan hal ini dengan hukum pidana materiil (KUHP 1918) yang mempunyai berbagai terjemahan dari WvS-HB? Rancangan KUHP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI) Sekarang pada awal tahun 2016 di DPR sedang dibicarakan Konsep/Rancangan KUHP Nasional kita. Rancangan ini diajukan secara resmi oleh Pemerintah pada tahun 2014 (karena itu selanjutnya dalam makalah ini dinamakan R-KUHP 2014) 4. Seperti telah dijelaskan sebelumnya naskah R- KUHP yang pertama diserahkan pada tahun 1993 kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh, sehingga naskah ini sampai di DPR 21 tahun setelah resmi diterima dari Panitia Penyusunan Rancangan KUHP, dengan ketua Prof. R. Soedarto, SH ( ), Prof. Mr. Roeslan Saleh ( ) dan Prof. Mardjono Reksodiputro ( ). R-KUHP versi 2014, tentu telah memuat berbagai perubahan dibanding R- KUHP Karena saya hanya mengikuti perkembangan Rancangan tersebut sampai tahun 2000 (ada naskah resmi R-KUHP 1999/2000), dan selanjutnya hanya berdasarkan perkembangan di media massa, maka pemahaman saya juga akan terbatas dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun beberapa perubahan yang sangat mendasar dibanding WvS 1918, akan saya sampaikan di bawah ini. Sebagian catatan di bawah ini diambil dari buku saya (MR,2007, Pembaharuan Hukum Pidana Kumpulan Karangan Buku Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia). Kesepakatan umum yang diambil dalam Buku I dan Buku II Sejumlah pokok pikiran yang kemudian dijabarkan lebih lanjut adalah sbb: Beberapa asas dalam Buku I: 1) Dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran ; 2) Dipergunakannya istilah tindak pidana untuk strafbaarfeit ; 3) Pengertian bentuk-bentuk kesalahan dalam dolus dan culpa ditegaskan maknanya: 4 Secara resmi R-KUHP ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 11 Des 2012 ke DPR namun karena ada pergantian anggota DPR dan pergantian Presiden, maka menurut saya secara efektif baru tahun 2014 diterima oleh DPR baru dan tahun 2015 menjadi program Presiden Joko Widodo karena itu saya namakan R-KUHP 2014.

6 6 4) Pertanggungjawaban pidana korporasi dicantumkan; 5) Dicantumkan adanya kurang kemampuan bertanggungjawab (verminderde toerekeningsvatbaarheid); 6) Tetap mengakui asas legalitas, namun memberi tempat pada hukum pidana adat/delik adat dengan pidana pemenuhan kewajiban adat ; 7) Pidana mati diakui sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif; 8) Pidana pokok ditambah dengan pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial ; 9) Dalam sistem pemidanaan diperkenalkan pidana denda dengan kategori dan double track system (sistem dua jalur), yaitu adanya tindakan (maatregel), disamping pidana (straf); 10) Dicantumkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan bagi hakim (straftoemetingsleidraad). Beberapa jenis tindak pidana baru dalam Buku II 1) Melalui Buku I (asas-asas) dikenal delik adat dalam rumusan berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ; 2) Tindak pidana terhadap keamanan negara dari bahaya komunisme, ini merupakan delik terhadap negara dan pemerintahan; 3) Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, ini merupakan delik terhadap ketertiban sosial; 4) Tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan, ini merupakan delik contempt of court ; 5) Tindak pidana terhadap pencemaran lingkungan, ini merupakan delik membahayakan keamanan orang dan barang; 6) Tindak pidana komputer, ini dapat merupakan fraud by computer manipulation computer espionage software piracy computer sabotage unauthorized access dan secara umum dapat dikategorikan sebagai computer related economic crimes ; Dalam usaha menyederhanakan sistematika dalam Buku II, maka saya pernah mengajukan usul untuk membagi delik-delik dalam 7 (tujuh) bab atau kategori besar, yaitu: 1. Tindak pidana terhadap negara dan pemerintahan; 2. Tindak pidana terhadap ketertiban sosial; 3. Tindak pidana terhadap kejujuran; 4. Tindak pidana terhadap harta benda atau barang; 5. Tindak pidana terhadap rasa susila;

7 7 6. Tindak pidana terhadap keamanan dan kebebasan orang; 7. Tindak pidana terhadap pelayaran dan penerbangan. Namun, usul ini tidak diterima, karena akan mengubah seluruh sistematika dari Buku II (KUHP1918 sekarang mengenal Bab/Kategori dan 570 Pasal; R-KUHP 2000 mengenal 32 Bab/Kategori dan 645 Pasal; serta R-KUHP 2014 memakai 36 Bab/Kategori dan 756 Pasal). Sekarang dalam tahun 2016, masih saja kita belum mempunyai KUHP Nasional. Padahal setelah 10 tahun Panitia menyusunnya ( ) dan menyerahkannya kepada Pemerintah, diperlukan 20 tahun untuk rancangan tersebut sampai kepada DPR ( ). Sungguh lambat sekali cara kerja para petinggi sarjana hukum Indonesia! Sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa krtitik tajam yang akan menghambat jalannya diskusi di DPR tentang R-KUHP. 1. Tentang akan berlakunya delik adat Salah satu keberatan yang diajukan dalam tahun 1980-an adalah bahwa delik adat tidak tertulis, bagaimana prosedurnya menentukan ada- tidaknya suatu perbuatan yang harus dianggap sebagai delik adat? Dan bagaimana juga cara pengaduannya ke Kepolisian, bila tidak ada rumusan tertulis. Jawaban Panitia pada waktu itu adalah a.l.: kalau pemerintah Hindia Belanda mau memberi perhatian kepada delik adat dan kemudian melalui UU No.1 Drt 1951 dipertegas kembali, maka sepantasnya hal ini juga wajib dilakukan dalam R-KUHP. Pemerintah Hindia-Belanda dahulu meminta Kepala-kepala Adat untuk turut menentukan delik-adat dan sanksinya, dengan cara meminta mereka mendampingi Majelis Hakim Pengadilan Negeri. Apakah hal itu tidak dapat dilakukan dalam masyarakat kita yang telah merdeka? Apabila ada kendala dalam melaporkan delik-adat ke Kepolisian, apakah tidak dapat prosedur dilakukan oleh Kepala-Adat langsung ke Pengadilan? Kita telah mengakui adanya masyarakat multi-kultural Indonesia dan adanya pluralisme hukum, maka adalah kewajiban kita untuk mencari solusi dalam masalah ini. 2. Tentang adanya pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan kebebasan menyampaikan pendapat (terutama Pers) Dewan Pers pernah mengemukakan dalam media massa bahwa R- KUHP 1993 bertentangan dengan era kebebasan pers Negara demokrasi, karena banyaknya pasal-pasal (ada sekitar 40-an?) yang dapat menjerat pers dalam tugasnya memberi informasi kepada

8 8 publik. Sepanjang pemeriksaan saya, maka semua pasal yang dituduhkan sebagai melemahkan kebebasan pers, sebenarnya ditujukan kepada pelaku manusia yang menyebarkan fitnah, kabar bohong atau menyerang kehormatan. Apabila Dewan Pers ingin agar pasal-pasal ini dikecualikan bagi lembaga pers, maka menurut saya caranya adalah dengan atau dalam undang-undang: a) membuat prosedur, bahwa dalam hal yang dilaporkan adalah individu atau lembaga Pers, maka harus dilalui dahulu pelaporan kepada dan keputusan Dewan Pers; dan b) Dewan Pers menerbitkan Pedoman agar jelas yang dimaksud dengan trial by the press dan berita untuk kepentingan umum (public interest). 3. Tentang bab khusus Korupsi yang dianggap sebagai bencana terhadap legitimasi adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam R-KUHP 2014, terdapat Bab XXXII dengan judul Tindak Pidana Korupsi (berisi 14 Pasal). Bab ini tidak ada dalam R-KUHP 1993 maupun dalam R- KUHP 1999/2000, jadi dimasukkan oleh Panitia-panitia Penyusun Rancangan KUHP antara tahun R-KUHP 2014 ini telah beredar diantara kalangan akademisi dan pejabat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, & KPK) dan pejabat Pengadilan sebelum tahun Namun, baru tahun 2014 mulai diperdebatkan bahwa masuknya Bab ini adalah untuk membubarkan KPK. Adapun argumentasinya secara singkat adalah sbb: KPK dibentuk khusus untuk menangani masalah korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Korupsi adalah tindak pidana khusus (bijzondere delict), dengan adanya delik dalam KUHP, maka delik akan menjadi delik umum (algemeen delict), dan karena itu KPK tidak berhak lagi menanganinya dan harus dinyatakan bubar. Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa dengan mengikuti pendapat di kalangan hukum pidana Belanda, maka pendapat umum kalangan hukum pidana Indonesia adalah bahwa untuk hukum pidana (materiil dan formil) kita menganut asas kodifikasi (untuk menyusun peraturan per-uu-an pidana yang konsisten dan koheren/bertalian secara logis). Adanya delik umum sebagai delik pokok untuk korupsi (perbuatan curang, penyuapan, kejahatan dalam jabatan) tidak meniadakan keperluan adanya peraturan perundang-undangan khusus tentang korupsi. Berarti UU Korupsi di luar KUHP masih dapat dipertahankan dan sekaligus tentunya adanya UU khusus Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang membentuk KPK dan UU tentang Pengadilan Khusus Korupsi juga

9 9 dapat dipertahankan. Hanya saja, isi Bab XXXII tersebut masih harus disesuaikan dengan pikiran di atas. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Hindia Belanda HIR ini diundangkan dengan Staatsblad 1941 No.44, terjemahan yang dipergunakan adalah Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui atau Reglemen Indonesia 1941 saja. Reglemen ini dimulai pada tahun 1846 dan diundangkan dengan S untuk mulai berlaku 1 Mei Diperbaharui dengan S dan terakhir dengan S Reglemen ini mengatur tentang kepolisian, hukum acara perdata dan hukum acara pidana dan berlaku untuk orang Indonesia dan Golongan Timur Asing di Jawa dan Madura. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura berlaku peraturan lain (tetapi serupa) bernama Rechtsreglement Buitengewesten (Reglemen Daerah Luar) dengan S dan untuk golongan Eropah berlaku Reglement Op De Rechtsvordering (Reglemen Hukum Acara) dengan S Gambaran sederhana dan singkat di atas, hanya ingin menunjukkan adanya dualisme dalam hukum acara, antara golongan Eropah dengan golongan Bumiputera dan Timur Asing serta antara daerah Jawa Madura dengan daerah luar Jawa dan Madura. Keadaan ini berangsur-angsur berubah pada masa pendudukan militer Jepang dan kemudian setelah pemerintah dapat menyatukan seluruh Indonesia. Perhatian kita adalah hanya pada HIR yang kemudian pada tahun 1981 telah berubah total menjadi KUHAP. Adapun HIR 1941 adalah versi terakhir hukum acara pidana Hindia Belanda yang merupakan pembaruan dari IR tahun 1926, sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diajukan oleh sarjana-sarjana hukum Belanda terhadap tatacara menangkap dam menahan warga desa yang dicurigai melalukan kejahatan. Kepala Desa yang merupakan kepanjangan tangan polisi kolonial sering melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menangkap dan menahan warganya. 5 5 Sistem pemerintahan pamong praja kolonial adalah sebagai berikut: Dibawah Gubernur Jenderal (yang mewakili Raja Belanda di Indonesia) terdapat para Residen, Asisten Residen dan Kontrolir yang semuanya orang Belanda (totok atau campuran/indo). Di bawah ini baru terdapat pamong praja Indonesia, mulai Regent (Bupati), Patih, Wedana, Asisten Wedana dan terakhir Kepala Desa. Cara pemerintahan ini yang dinamakan indirect rule dengan mempergunakan administrator bumiputera untuk memerintah rakyat dengan pejabat-pejabat Belanda dalam posisi-posisi strategis sebagai pengawas. Dan dari Kepala Desa sampai Residen, semua mempunyai kewenangan kepolisian (De uitoefening van de politie Pasal 1, 2, 3 HIR 1941).

10 10 Jepang masuk di Indonesia (Hindia Belanda) pada bulan Maret 1942, kurang lebih satu tahun setelah HIR 1941 berlaku. Melalui Undang-undang No.1 Drt tahun 1951, maka HIR 1941 ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Menurut saya usaha pemerintahan Hindia Belanda untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia, melalui HIR1941 tidak dapat terlaksana, karena masuknya pemerintahan militer Jepang. Aparat sistem peradilan pidana Indonesia pada waktu masuknya militer Jepang masih memakai semangat kolonial IR Hal ini ditambah dengan sistem peradilan pemerintahan militer Jepang yang dikenal sangat keras dan bengis. Sehingga pada waktu awal kemerdekaan kita, sistem peradilan Indonesia ditangani oleh aparat petugas yang dididik dengan semangat IR 1926 dan semangat militer fasis Jepang (dengan polisi militer dan Kempetai-nya). Antara tahun (selama 36 tahun), inilah budaya SPP kita masih bercirikan semangat kolonial dan kempetai. Keadaan inilah yang dikritik dalam Seminar Hukum Ke-II yang diselenggarakan oleh LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) di Universitas Diponegoro, Semarang tanggal Desember 1968.Dalam seminar ini para Advokat yang tergabung dalam PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) mengeluhkan bagaimana parahnya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana dan ditujukan kepada perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia Merdeka kepada rakyatnya sendiri. Perjuangan untuk mempunyai hukum acara pidana Nasional baru berhasil 13 tahun kemudian dengan KUHAP Bagi saya ini, sekali lagi, ini menunjukkan bagaimana lambatnya para petinggi sarjana hukum Indonesia bekerja untuk memperbaharui hukumnya, dari berciri kolonial menjadi berciri nasional yang menghormati hak asasi manusia! Rancangan KUHAP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI) 6 Sekarang dalam tahun 2016 (25 tahun setelah berlakunya KUHAP 1981), akan dibicarakan di DPR Rancangan KUHAP Nasional Yang Telah Diperbaharui (R- KUHAP). Namun, masih saja ada kritik tajam tentang pembaruan yang diajukan, yang mungkin akan memperlambat pengesahan undang-undang ini. 6 R-KUHAP ini juga disampaikan ke DPR oleh Presiden SBY pada Desember 2012 tetapi baru efektif tahun 2014,dan tahun 2015 menjadi program Presiden Jokowi karena itu saya namakan R-KUHAP 2014.

11 11 Catatan saya tentang KUHAP 1981 dapat dibaca antara lain dalam buku saya tahun 2007, yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, diterbitkan oleh Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia. Adapun kritik tajam yang saya maksud di atas adalah: 1. Tentang kewenangan Jaksa-Penuntut Umum (JPU) Salah satu kelemahan pada KUHP 1981 adalah bahwa kurang jelas terlihat adanya Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Desain prosedur SPP ini terlihat terkotak-kotak yang didasarkan pada pendapat bahwa setiap sub-sistem dalam SPP ini seolah-olah mandiri dan memegang monopoli atas wewenangnya. Asas pembagian kewenangan diartikan sebagai separation (pemisahan yang menimbulkan persaingan) dan bukan distribution (pembagian suatu tugas bersama dalam SPP). Setelah JPU memeriksa dan menyetujui Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik, maka dia wajib membawa dan mempertahankan BAP tersebut di sidang Pengadilan. Sebenarnya ada dua asas yang bertolak-belakang dalam proses ini: 1) Semua tindak pidana yang cukup bukti, wajib di bawa ke sidang pengadilan, kecuali kepentingan umum menghendaki penutupan perkara; dan 2) Hanya apabila kepentingan umum menghendakinya, maka setiap tindak pidana tertentu yang cukup buktinya, wajib diselesaikan di sidang pengadilan.baik dalam asas pertama dan kedua, JPU diberi kesempatan menilai perlunya suatu tindak pidana diteruskan ke siding pengadilan. Menurut saya, dalam pelaksanaan KUHAP 1981 sekarang, maka JPU diposisikan hanya sebagai kurir pembawa BAP dan yang kemudian bertugas mempertahankannya di muka sidang pengadilan. 2. Tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) Konsep HPP ini dalam rancangan sebelumnya dinamakan Hakim Komisaris, mengikuti istilah yang dipergunakan dalam hukum pidana Belanda.Sebenarnya HPP ini sudah diusulkan dalam rancangan pertama KUHAP 1981 (pemrakarsa adalah Prof. Umar Senoadji sebagai Menteri Kehakiman), tetapi ditolak oleh pihak Kepolisian dan pihak Kejaksaan, karena dianggap akan melakukan intervensi pada wewenang mereka masing-masing, yaitu penyidikan dan penyusunan dakwaan. Maksud proses ini adalah untuk mengawasi agar penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan dengan sewenangwenang, dan hanya yang benar-benar cukup bukti dan diperlukan untuk kepentingan umum dibawa ke sidang pengadilan. KUHAP 1981 memakai lembaga pra-peradilan, meskipun secara harafiah hanya

12 12 dalam hal penangkapan dan penahanan. Namun menurut saya meskipun tersangka tidak ditangkap/ditahan, dia berhak meminta hakim pra-peradilan memeriksa apakah memang ada cukup bukti menyatakannya sebagai Tersangka. Mengapa? Karena status tersangka akan berakibat adanya berbagai pembatasan HAM yang dapat dilakukan pada dirinya dan hartanya (tidak dapat ke luar negeri, siap untuk diperiksa setiap waktu, penggeledahan, penyitaan). Konsep dasarnya adalah mencegah kesewenang-wenangan Penyidik dan JPU, yang berasumsi subyektif terhadap Tersangka. Jakarta, 7 April 2016 Disampaikan Sebagai Kuliah Tamu Pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia JENTERA

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

B. Rumusan Masalah Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana? Sebutkan jenis-jenis tindak pidana? Siapa saja subjek tindak pidana?

B. Rumusan Masalah Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana? Sebutkan jenis-jenis tindak pidana? Siapa saja subjek tindak pidana? Category : HUKUM ARTIKEL TENTANG HUKUM PIDANA Author : Eko Riyadi, S.H.,M.H 26 November 2016 Tags : diktat Comments 97 View BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II PURBALINGGA NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II NOMOR 3 TAHUN 1988 SERI D NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II NOMOR 6 TAHUN 1987 TENTANG PENYIDIKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Per June 2009 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Per June 2009 XII RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN NIAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

FAIQ TOBRONI, SHI., MH

FAIQ TOBRONI, SHI., MH FAQ TOBRON, SH., MH Sejarah dan Upaya Pembaharuan Hukum Pidana SEJARAH HUKUM PDANA Prof. Mr. J. E. Jonkers mengatakan orang-orang Belanda yang dengan melewati lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bahan TIMUS 23-06-04 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

SEJARAH HUKUM INDONESIA

SEJARAH HUKUM INDONESIA SEJARAH HUKUM INDONESIA GAMBARAN SEJARAH HUKUM INDONESIA ADAT VOC 1622-1799 AB RR IS JEPANG UUD 45 170845 RIS 1949 UUDS 1950 UUD 45 1959 SAAT INI INGGRIS SBL BLD PENJAJAHAN BELANDA SEBELUM BELANDA Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2)

BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2) BAHAN KULIAH SISTEM HUKUM INDONESIA MATCH DAY 13 PENEGAKAN HUKUM (BAGIAN 2) B. Lembaga/Pihak Dalam Penegakan Hukum Lembaga atau pihak apa saja yang terkait dengan upaya penegakan hukum? dan apa tugas dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi, bukti, keterangan ditempat kejadian suatu peristiwa yang diduga

BAB I PENDAHULUAN. informasi, bukti, keterangan ditempat kejadian suatu peristiwa yang diduga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidikan merupakan tindakan dari penyidik yang bertugas mencari informasi, bukti, keterangan ditempat kejadian suatu peristiwa yang diduga adanya tindak

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Panel B

Bahan Diskusi Panel B Bahan Diskusi Panel B Perkembangan Bab Bab Yang Terkait D engan Proteksi Negara Dalam RUU KUHP Oleh Andi Hamzah Konsultasi Publik Perlindungan HAM Melalui Reformasi KUHP Hotel Santika Slipi Jakarta, 3-4

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang PERINTAH JABATAN DAN PERINTAH JABATAN TANPA WEWENANG DALAM PASAL 51 KUH PIDANA 1 Oleh : Heindra A. Sondakh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perintah jabatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Dinamika Pembangunan dan Pengembangan Hukum di Indonesia sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan

Dinamika Pembangunan dan Pengembangan Hukum di Indonesia sejak masa kolonial hingga era kemerdekaan Mata Kuliah : Pengantar Hukum Indonesia Bobot : 4 SKS Tujuan : Mahasiswa dapat menguraikan hukum positif di Indonesia, yang meliputi Tata Hukum Indonesia, Sistem Hukum Indonesia, Lapangan lapangan hukum

Lebih terperinci

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang Uitlevering van Vreemdelingen. 1:1010 UNDANG-UNDANG (UU) Nomor : 1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal : 18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Sumber : LN 1979/2; TLN NO. 3130 Tentang : EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci