BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN
|
|
- Adi Tan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu faktor penggerak perekonomian daerah, pembiayaan pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja dan pengelolaan potensi ekonomi daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; b. bahwa untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif perlu menciptakan kemudahan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi penanam modal yang menanamkan modalnya di Kabupaten Luwu Utara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal Daerah; : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3497); 3. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613);
2 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3826); 7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872); 8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahuan 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 11. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843); 12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 13. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); 14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 15. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); 16. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
3 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 17. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); 18. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3563), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4541); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4987); 23. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Bidang Usaha Terbuka dan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 24. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 221);
4 25. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 Nomor 13); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA dan BUPATI LUWU UTARA MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 3. Bupati adalah Bupati Luwu Utara. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berdudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 5. Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal yang dipimpin oleh seorang kepala, yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 6. Perangkat Daerah adalah Unsur Pembantu Bupati dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. 7. Rencana Umum Penanaman Modal Kabupaten adalah dokumen perencanaan penanaman modal jangka panjang berlaku sampai dengan Tahun Modal adalah asset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang mempunyai nilai ekonomis
5 9. Modal asing adalah modal yang dimiliki Negara Asing, perseorangan Warga Negara Asing, Badan Usaha Asing, Badan Hukum Asing, dan/atau Badan Hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki pihak asing. 10. Modal Dalam Negeri adalah modal yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, perseorangan Warga Negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. 11. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. 12. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 13. Penanam Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 14. Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. 15. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 16. Non Perizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, insentif, kemudahan daerah dan informasi mengenai penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 17. Pendelegasian wewenang adalah Penyerahan tugas, hak, kewajiban dan pertanggungjawaban Perizinan dan Non Perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang. 18. Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban Perizinan dan Non Perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang
6 19. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik, selanjutnya disingkat SPIPISE adalah sistem pelayanan Perizinan dan Non Perizinan yang terintegrasi antara Pemerintah yang memiliki kewenangan Perizinan dan Non Perizinan dengan Pemerintah Daerah. 20. Perusahaan Penanaman Modal adalah badan usaha yang melakukan penanaman modal baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. 21. Perluasan Penanaman Modal adalah penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan. 22. Pendaftaran Penanaman Modal adalah bentuk persetujuan pemerintah daerah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal. 23. Pendaftaran Perluasan penanaman modal adalah bentuk persetujuan awal pemerintah daerah sebagai dasar memulai rencana perluasan penanaman modal. 24. Izin prinsip penanaman modal adalah izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal. 25. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal adalah izin untuk memulai rencana perluasan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal. 26. Izin prinsip perubahan Penanaman Modal adalah izin untuk melakukan perubahan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin prinsip/izin prinsip perluasan sebelumnya. 27. Izin usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial baik produksi barang maupun jasa sebagai pelaksanaan atas pendaftaran/izin, prinsip/persetujuan penanaman modalnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. 28. Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas izin prinsip perluasan/persetujuan perluasan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan sektoral
7 29. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial perusahaan merger. 30. Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha/izin usaha perluasan sebelumnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal. 31. Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing selanjutnya disingkat IMTA adalah izin perpanjangan bagi perusahaan untuk memperkerjakan tenaga kerja Warga Negara Asing dalam jumlah, jabatan dan periode tertentu. 32. Penugasan adalah penyerahan tugas, hak, wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban, termasuk penandatanganan atas nama penerima wewenang dari kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada pemerintah Kabupaten untuk melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan hak subtitusi. 33. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh perseorangan atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelengaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. 34. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan perseorangan atau badan. 35. Pemberian insentif adalah dukungan dari pemerintah kepada penanam modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah. 36. Pemberian kemudahan adalah penyediaan fasilitas dari pemerintah daerah kepada penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan penanaman modal di daerah. 37. Sengketa Penanaman Modal adalah sengketa yang terjadi antara Pemerintah Daerah dengan Penanaman Modal atau Penanaman Modal dengan Penanaman Modal lainnya
8 38. Pengendalian adalah kegiatan untuk melakukan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 39. Pemantauan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memantau perkembangan pelaksanaan kegiatan penanaman modal yang telah mendapat penanaman modal dan/atau izin prinsip penanaman modal dan/atau surat persetujuan penanaman modal dan/atau izin usaha dan melakukan evaluasi dan pelaksanaannya. 40. Pembinaan adalah kegiatan bimbingan kepada penanam modal untuk merealisasikan penanaman modalnya dan fasilitas penyelesaian masalah/ hambatan atas pelaksanaan kegiatan penanaman modal. 41. Pengawasan adalah upaya atau kegiatan yang dilakukan guna mencegah dan mengurangi terjadinya penyimpangan atas pelaksanaan penanaman modal serta pengenaan sanksi terhadap pelanggaran/penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan. 42. Laporan Kegiatan Penanaman Modal adalah laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanaman modal dalam bentuk dan tata cara sebagaimana yang telah di tetapkan. 43. Usaha Mikro adalah Usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. 46. Tanggung jawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) adalah berbagai bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan diantaranya konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala bentuk aspek operasional perusahaan
9 BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas : a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal daerah/negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi daerah. (2) Tujuan penyelanggaraan penanaman modal untuk : a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah; b. menciptakan lapangan kerja; c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha Daerah; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan tekhnologi Daerah; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. BAB III KEBIJAKAN DASAR PENANAM MODAL Pasal 3 (1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan dasar Penanaman Modal untuk : a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal; dan b. mempercepat peningkatan realisasi penanaman modal
10 (2) Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati : a. memberikan perlakuan dan peluang sama bagi penanam modal; b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; dan c. membuka kesempatan bagi pengembangan dan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. (3) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal Daerah yang diatur dengan Peraturan Bupati. BAB IV URUSAN PEMERINTAH DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL Pasal 4 Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari : a. urusan pemerintah daerah di bidang penanaman modal yang ruang lingkupnya berada pada satu kabupaten dan urusan lainnya yang berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, menjadi kewenangan pemerintah kabupaten; dan b. Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah yang diberikan penugasan kepada pemerintah kabupaten oleh kepala Badan Pelayanan Perizinanan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal berdasarkan hak subtitusi. Pasal 5 Dalam menjalankan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 pemerintah daerah menetapkan kebijakan daerah dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal
11 Pasal 6 Kebijakan daerah di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi : a. pengkajian, pengusulan, dan penetapan kebijakan daerah di bidang penanaman modal dalam bentuk rencana umum penanaman modal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan rencana strategis penanaman sesuai dengan program pembangunan daerah; dan b. koordinasi pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal. Pasal 7 Pelaksanaan kebijakan daerah di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi : a. perencanaan, pelaksanaan promosi dan kerjasama penanaman modal daerah; b. pengembangan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; c. pembinaan pelaksanaan penanaman modal, dan pemberian bantuan penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang di hadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal; d. koordinasi dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu serta pemberian layananan perizinan dan intensif dan atau kemudahan daerah di bidang penanaman modal; dan e. pengelolaan data dan sistem informasi serta pengendalian pelaksanaan penanaman modal. BAB V KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL Pasal 8 (1) Pemerintah daerah mengkoordinir kebijakan penanaman modal baik koordinasi antara instansi Pemerintah Daerah, perangkat daerah provinsi yang membidangi penanaman modal, maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal
12 (2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman modal. (3) Perangkat daerah yang membidangi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas pokok dan fungsi koordinasi kebijakan penanaman modal dan pelayanan penanaman modal. (4) Perangkat daerah yang membidangi penanaman modal melaksanakan tugas pelayanan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui pelayanan terpadu satu pintu. BAB VI HAK, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENANAMAN MODAL Pasal 9 Setiap penanam modal berhak mendapat : a. kepastian hak, hukum dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk insentif dan atau kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 Setiap Penanam modal berkewajiban : a. mengutamakan dana dan memprioritaskan kepentingan usaha mikro, kecil dan menengah; b. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; c. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan/corporate Social Responsibility (CSR); d. membuat laporan kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada SKPD yang membidangi penanaman modal; e. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; f. memiliki Kantor Pusat dan Cabang atau perwakilan atau menunjuk Kuasa Perusahaan di daerah; dan g. mematuhi segala ketentuan peraturan perundngundangan
13 Pasal 11 Setiap penanam modal bertanggung jawab : a. menjamin ketersediaan modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha sehat, mencegah praktek monopoli, dan hal lain yang merugikan daerah; d. menjaga kelestarian, keseimbangan dan mencegah serta menanggulangi kerusakan lingkungan; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 12 (1) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c, diatur dengan Peraturan Bupati. (2) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan skala usaha investasi. Pasal 13 Penanaman modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII BENTUK BADAN USAHA DAN KEDUDUKAN Pasal 14 (1) Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, atau tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14 (2) Penanaman Modal Asing wajib dalam bentuk Perseorangan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh Undang- Undang. (3) Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan: a. menguasai saham mayoritas; b. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; c. membeli saham; d. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan oleh Perseroan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), Firma (Fa), Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penanaman modal yang tidak berbadan hukum, atau perseorangan. (2) Penanaman Modal Asing dapat dilakukan oleh warga negara asing dan/ atau badan hukum asing dan/atau penanam modal asing yang patungan dengan warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. BAB VIII KETENAGAKERJAAN Pasal 16 (1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. (2) Perusahaan penanam modal berhak menggunakan tenaga kerja ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Perusahaan penanaman modal wajib menanamkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
15 (4) Perusahaan penanaman modal yang memperkerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IX BIDANG USAHA DAN LOKASI Bagian Kesatu Bidang Usaha Pasal 17 (1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan/atau terbuka dengan persyaratan. (2) Bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan/atau terbuka dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Lokasi Pasal 18 (1) Pemerintah Daerah menetapkan lokasi pengembangan penanaman modal berdasarkan Rencana Tata Ruang Lingkup Daerah. (2) Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kawasan budidaya; b. kawasan lindung; dan c. kawasan pengembangan sarana dan prasarana. BAB X PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL BAGI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH, DAN KOPERASI Pasal 19 (1) Penanaman modal wajib memperhatikan modal usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus
16 bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. (2) Pemerintah daerah melakukan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan koperasi melalui kemitraan usaha, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. (3) Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai peraturan perundangundangan. BAB XI PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Tata Cara Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Pasal 20 (1) Pemerintahan daerah memberikan insentif dan atau kemudahan kepada penanaman modal yang melakukan penanaman modal. (2) Pemberian insentif dan atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada penanaman modal yang : a. melakukan penanaman modal baru; atau b. melakukan perluasan usaha. (3) Tata cara pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut : a. penanam modal mengajukan permohonan pemberian insentif dan/atau pemberian kemudahan kepada bupati sesuai kriteria yang telah ditetapkan daerah; b. bupati membentuk tim teknis untuk melakukan penilaian dan evaluasi; c. tim teknis memberikan rekomendasi pemberian insentif dan atau pemberian kemudahan kepada bupati; dan d. bupati memberikan atau menolak pemberian insentif dan atau pemberian kemudahan kepada penanam modal
17 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Kriteria Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Pasal 21 (1) Pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) kepada penanam modal sekurang-kurangnya memenuhi salah satu dari kriteria : a. memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat; b. menyerap banyak tenaga kerja lokal; c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal; d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik; e. memberikan kontribusi dalam peningkatan produk domestik regional bruto; f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; g. termasuk skala prioritas tinggi; h. termasuk pembangunan infrastruktur; i. melakukan alih teknologi; j. melakukan industri pionir; k. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan; l. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; m. bermitra dengan usaha mikro, kecil, atau koperasi; atau n. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. (2) Pemerintah Daerah memberikan insentif dan/atau kemudahan Penanaman Modal sesuai dengan kewenangan, kondisi dan kemampuan Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Pemerintah Daerah menjamin kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi Penanam Modal yang menanamkan modal di daerah
18 (4) Pemberian insentif dan pemberian kemudahan Penanam Modal kepada Penanam Modal ditetapkan dengan Peraturan Bupati. (5) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat nama dan Alamat Badan Usaha Penanaman Modal, Bidang Usaha atau Kegiatan Penanaman Modal, bentuk, jangka waktu, serta hak dan kewajiban penerima insentif dan/atau kemudahan Penanaman Modal. Bagian Ketiga Dasar Penilaian Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Pasal 22 (1) Penilaian Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan didasarkan pada pengukuran salah satu kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Keempat Jenis Usaha atau Kegiatan Penanaman Modal yang Diprioritaskan Memperoleh Insentif dan Kemudahan Pasal 23 (1) Jenis Usaha atau kegiatan Penanaman Modal yang diprioritaskan memperoleh insentif dan kemudahan adalah : a. pembangunan Infrastruktur; b. pertanian dan peternakan; c. kehutanan dan perkebunan; d. pariwisata; e. pertambangan, energi, dan mineral; f. perdagangan dan perindustrian; g. perikanan dan kelautan; dan h. sektor lainnya. (2) Jenis usaha atau kegiatan yang diprioritaskan memperoleh insentif dan kemudahan sebagaimana dimaksud ayat (1) paling sedikit memiliki modal sebesar Rp ,00 (lima milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
19 (3) Sektor lainnya sebagaimana dimkasud ayat (1) huruf h ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Bagian Kelima Bentuk Insentif dan Kemudahan Pasal 24 (1) Pemberian isentif dalam berbentuk : a. pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; b. pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi Daerah; c. pemberian dana stimulan; dan/atau d. pemberian bantuan modal. (2) Pemberian kemudahan dapat berbentuk : a. penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; b. penyediaan sarana dan prasarana; c. penyediaan lahan dan lokasi; d. pemberian bantuan teknis; dan/atau e. percepatan pemberian perizinan. Pasal 25 Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada pasal 23 ayat (2) diselenggarakan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XII PERENCANAAN, PROMOSI, DAN KERJASAMA PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Perencanaan Penanaman Modal Pasal 26 (1) Pemerintah daerah mengkaji, merumuskan, menyusun, dan melaksanakan perencanaan kebijakan penanam modal. (2) Perencanaan kebijakan penanaman modal sebagaimana dimaksud ayat (1) memperhatikan kebutuhan bidang usaha penanaman modal
20 (3) Kebutuhan bidang usaha penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan dalam peta penanaman modal. Bagian Kedua Promosi Penanaman Modal Pasal 27 (1) Pemerintah Daerah melaksanakan promosi penanaman modal secara aktif bagi pengembangan peluang dan potensi daerah. (2) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara mandiri dan atau kerjasama dengan pemerintah, pemerintah provinsi, dan badan usaha. (3) Promosi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagian Ketiga Kerjasama Penanaman Modal Pasal 28 (1) Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama penanaman modal dengan pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota lain atau badan usaha. (2) Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama penanaman modal dengan negara asing dan/atau badan hukum asing melalui koordinasi pemerintah. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi : a. perencanaan penanaman modal; b. promosi penanaman modal; c. pengembangan penanaman modal; d. penyediaan infrastruktur; dan e. kegiatan penanaman modal lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati
21 BAB XIII PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Ruang Lingkup Pelayanan Penanaman Modal Pasal 29 (1) Jenis pelayanan penanaman modal meliputi : a. pelayanan perizinan; dan b. pelayanan non perizinan. (2) Jenis pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi : a. pendaftaran penanaman modal; b. izin prinsip penanaman modal; c. izin prinsip perluasan penanaman modal; d. izin prinsip perubahan penanaman modal; e. izin usaha; f. izin usaha perluasan; g. izin usaha penggabungan perusahaan penanaman modal (merger); dan h. izin usaha perubahan. (3) Jenis pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya berlaku untuk pelayanan perizinan penanaman modal dalam negeri. (4) Jenis pelayanan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi : a. pengusulan pemberian usulan fasilitas fiskal kepada perangkat daerah yang membidangi pelayanan perizinan; b. perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); c. layanan informasi penanaman modal; d. layanan pengaduan masyarakat di bidang penanaman modal; dan e. insentif daerah dan atau kemudahan penanaman modal di daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pelayanan perizinan dan non perizinan sebagaimana di maksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati
22 Bagian Kedua Pelayanan Perizinan Pasal 30 (1) Penyelenggaraan pelayanan perizinan dilaksanakan oleh perangkat daerah yang membidangi perizinan. (2) Dalam menyelenggarakan pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati memberikan pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal kepada kepala perangkat daerah yang membidangi perizinan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 31 (1) Permohonan jenis pelayanan perizinan dan non perizinan di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) diajukan kepada perangkat daerah yang membidangi perizinan. (2) Penanam modal dapat mengajukan permohonan secara paralel untuk berbagai perizinan dan non perizinan yang tidak berkaitan dengan hanya menyampaikan satu berkas persyaratan permohonan melalui sistem elektronik perizinan. (3) Penanam modal dapat mengajukan permohonan perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara manual atau elektronik melalui sistem elektronik perizinan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman tata cara permohonan penanaman modal diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 32 (1) Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dan dilaksanakan melalui perangkat daerah yang membidangi perizinan. (2) Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar
23 (3) Penerbitan perizinan dan non perizinan terkait dengan tata ruang, lingkungan hidup, keselamatan, dan kesehatan masyarakat, atau yang diatur khusus dengan peraturan perundang-undangan, dapat dikecualikan dari batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 33 Penerbitan jenis perizinan dan non perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, tidak dipungut biaya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan. BAB XIV PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL Pasal 34 (1) Pengendalian pelaksanaan penanaman modal dilakukan dengan cara pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. (2) Pemantauan, pembinaan, dan pengawasan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara : a. pemantauan melalui kompilasi, verifikasi, serta evaluasi LKPM dan sumber informasi lainnya; b. pembinaan melalui : 1. penyuluhan pelaksanaan ketentuan penanaman modal; 2. pemberian konsultasi dan bimbingan pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan perizinan yang telah diperoleh; dan 3. bantuan dan fasilitas penyelesaian masalah/hambatan yang dihadapi penanam modal dalam merealisasikan penanaman modalnya. c. pengawasan melalui : 1. penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan insentif atau kemudahan yang telah diberikan; 2. pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan 3. tindak lanjut terhadap penyimpangan ketentuan penanaman modal.
24 (3) Pemantauan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman modal sesuai kewenangannya melakukan pendaftaran penanaman modal dan atau izin prinsip penanaman modal dan/atau persetujuan penanaman modal dan atau izin usaha. (4) Pembinaan dan pengawasan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dan huruf (c) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi penanaman modal terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 35 (1) Perusahaan yang telah mendapat pendaftaran penanaman modal dan/atau izin prinsip penanaman modal dan atau persetujuan penanaman modal dan atau izin usaha wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal secara berkala kepada Kepala perangkat daerah yang membidangi perizinan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 36 (1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Penanaman Modal dengan cara : a. penyampaian saran; dan b. penyampaian informasi potensi daerah. (2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk : a. mewujudkan penanaman modal yang berkelanjutan; b. menjunjung pencegahan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan;
25 c. menunjang pencegahan dampak negatif sebagai akibat penanaman modal; dan d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat dengan penanaman modal. BAB XVI PENYELESAIAN SENGKETA/PERMASALAHAN Pasal 37 (1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah daerah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. (2) Dalam penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah daerah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. (4) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan dan difasilitasi oleh satuan tugas (Task Force) yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati. (5) Permasalahan dan/atau sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dirinci dan langkah penyelesaiannya sebagai berikut: a. penanganan masalah, dapat dilakukan dalam bentuk koordinasi dan fasilitasi; b. penanganan sengketa, dapat dilakukan melalui Non Litigasi dan Litigasi Pasal 38 Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara penanam modal dengan penanam modal lainnya wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
26 BAB XVII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 39 (1) Badan usaha dan atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9, Pasal 10, dan 12 dapat dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan atau insentif/kemudahan daerah; d. penarikan fasilitas penanaman modal; e. pencabutan kegiatan usaha dan atau insentif/kemudahan daerah; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati BAB XVIII PENYIDIKAN Pasal 40 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal;
27 c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal; d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan untuk pembukuan, pencatatan, dan dokumen ini, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan/atau dokumen yang dibawa; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penanaman modal; i. memanggil orang untuk didengar keterangan dan diperiksa sebagai tersangka atau sanksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 41 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. (3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke kas daerah.
28 BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 42 (1) Penanaman modal yang dilakukan sebelum ditetapkannya peraturan daerah ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin penanaman modal. (2) Permohonan penanaman modal dan permohonan lainnya yang berkaitan penanaman modal yang telah disampaikan kepada instansi yang berwenang dan pada saat diundangkannya Peraturan Daerah ini belum memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. (3) Penanaman modal yang telah diberi izin oleh pemerintah daerah, apabila izin penanaman modalnya berakhir, dapat diperpanjang berdasarkan Peraturan Daerah ini. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya pada Lembaran Daerah Kabupaten Luwu Utara. Ditetapkan di Masamba pada tanggal 18 Agustus 2016 BUPATI LUWU UTARA, TTD Diundangkan di Masamba pada tanggal 18 Agustus 2016 INDAH PUTRI INDRIANI SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA, TTD ABDUL MAHFUD LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2016 NOMOR 10 NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN : B.HK.HAM
29 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan daerah adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundangundangan di bidang perekonomian. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal daerah harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomiana daerah dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah menciptakan lapangan kerja, mendorong ekonomi kerakyatan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal daerah hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal daerah dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien,, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan, dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Huruf b Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal
30 Huruf c Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Huruf d Yang dimaksud dengan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. Huruf e Yang dimaksud dengan asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejateraan rakyat. Huruf f Yang dimaksud dengan asas efesiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing Huruf g Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah asas secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang. Huruf h Yang dimaksud dengan asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup Huruf i Yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi Huruf j Yang dimaksud dengan asas keseimbangan dan kemajuan ekonomi daerah adalah keseimbangan kemajuan wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional
31 Ayat (2) Pasal 3 Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan perlakuan yang sama adalah bahwa Pemerintah Daerah tidak membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Kabupaten Luwu Utara kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan Huruf b Huruf c Ayat (3) Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Huruf a Yang dimaksud dengan kepastian hak adalah jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Yang dimaksud dengan kepastian Hukum adalah jaminan untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Yang dimaksud dengan kepastian perlindungan adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan modal. Huruf b Huruf c
32 Huruf d Pasal 10 Huruf a Huruf b Huruf c Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat Huruf d Yang dimaksud dengan laporan kegiatan penanaman modal adalah laporan kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala kepada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Huruf e Huruf f Huruf g Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal
33 Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 36 Pasal
BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI
1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO
BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciBUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,
Lebih terperinciBUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA
SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang
Lebih terperinciRANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH
RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,
Lebih terperinciWALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciWALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL
WALIKOTA SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciPROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa Penanaman Modal
Lebih terperinciPROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 21 TAHUN : 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 21 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN, PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BOMBANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOMBANA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BOMBANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOMBANA, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO
PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,
BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pembangunan
Lebih terperinciBUPATI MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN
BUPATI MUARA ENIM PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM, Menimbang : a.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL
PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciRANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciBUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIANTAN SELATAN
BUPATI BARITO KUALA PROVINSI KALIANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO KUALA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah
Lebih terperinciBUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciWALIKOTA BUKITTINGGI
WALIKOTA BUKITTINGGI PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BUKITTINGGI, Menimbang : a. bahwa penanaman modal adalah salah
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,
1 Menimbang : PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, a. bahwa dalam rangka memacu pertumbuhan
Lebih terperinciBUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan
Lebih terperinciBUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL
1 BUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBUPATI KEPULAUAN SELAYAR
BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL
PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN
PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang : a.
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL
- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciWALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI
WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciBUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL
BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciBUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL
BUPATI SOLOK SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOLOK SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOLOK SELATAN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA
BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,
BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, penanaman modal
Lebih terperinciNCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG
NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015
1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN
Lebih terperinciBUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH
BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciBUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT
BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G
SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 103 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 3 TAHUN 2015 T E N T A N G PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG
PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
3 Agustus 2012 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI B 1/B PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT
Lebih terperinciBUPATI SIDOARJO PROPINSI JAWATIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI SIDOARJO PROPINSI JAWATIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan
Lebih terperinciBUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,
BUPATI BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
Lebih terperinciBUPATI SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL
BUPATI SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBA TENGAH, Menimbang : a.
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR
QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL
LEMBARAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KOTA SALATIGA NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. b. c. WALIKOTA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN
Lebih terperinciWALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN,
WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PARIAMAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pembangunan
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR
1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR Menimbang Mengingat SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,
SALINAN NOMOR 1/2015 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu
Lebih terperinciWALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,
WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu
Lebih terperinciBUPATI MERANGIN PROVINSI JAMBI PERATURANDAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL
BUPATI MERANGIN PROVINSI JAMBI PERATURANDAERAH KABUPATEN MERANGIN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERANGIN, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,
FINAL PANSUS 15 DES 2011 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2011 NOMOR 34 SERI E NOMOR 11
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2011 NOMOR 34 SERI E NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG
0 GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN BERINVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa untuk mempercepat pembangunan
Lebih terperinciBUPATI ENDE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENDE NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI ENDE PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENDE NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ENDE, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 12 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciRANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,
RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi Aceh
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN,
92 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memajukan pertumbuhan
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,
QANUN ACEH NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi Aceh guna mewujudkan
Lebih terperinci7. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republi
WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu faktor
Lebih terperinciPROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH
PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang: a. bahwa penanaman
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANJAR
1 Menimbang Mengingat : : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, a. bahwa
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SALINAN NOMOR : 6 TAHUN :2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a.
Lebih terperinciKEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 13 TAHUN 2009
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah perlu adanya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG
SALINAN QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN IZIN GANGGUAN DI KABUPATEN PIDIE BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO
BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 17 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciWALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING
WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciBUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DI KABUPATEN
Lebih terperinciBUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a.
Lebih terperinciBUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR
BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang: a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciBUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 17 TAHUN 2017
BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA INDUSTRI
PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IZIN USAHA INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI PANDEGLANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 7 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,
BUPATI PANDEGLANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciWALIKOTA SURAKARTA PERATURANDAERAHKOTASURAKARTA NOMOR 8 TAHUN2012 TENTANG PENANAMANMODAL DENGAN RAHMATTUHANYANGMAHAESA WALIKOTASURAKARTA,
WALIKOTA SURAKARTA PERATURANDAERAHKOTASURAKARTA NOMOR 8 TAHUN2012 TENTANG PENANAMANMODAL DENGAN RAHMATTUHANYANGMAHAESA WALIKOTASURAKARTA, Menimbang Mengingat a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan salah satu
Lebih terperinciBUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG
1 BUPATI BALANGAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL
PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan otonomi daerah
Lebih terperinci