BAB I PENDAHULUAN. perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa perpajakan merupakan salah satu bentuk perwujudan partisipasi wajib pajak dalam bernegara. Melalui proses pemungutan yang bersifat memaksa dan harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur sebagai dasar pengenaan, Negara memiliki dasar kewenangan memungut pajak kepada warganya. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ini merupakan dasar konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 1 1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Edisi I, Graha Ilmu, Cet. I Yogyakarta, 2010, h

2 2 Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 2 Jadi, pemungutan pajak sendiri merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Peningkatan potensi penerimaan pajak dapat dilakukan melalui kebijakan intensifikasi pajak dan/atau ekstensifikasi pajak. Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 3 BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan. Yang menjadi peristiwa/keadaan/perbuatan yang melahirkan kewajiban pembayaran pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Wirawan B. Ilyas dan 2 Masdianto, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002, h Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Edisi I, Cet. I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003, h. 6.

3 3 Richard Burton menyatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan. 4 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang- Undang dan peraturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk memiliki hak atas tanah dan bangunan. Dalam konteks hukum pajak, tindak pidana pajak diartikan suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang - undang pajak yang dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat dihukum. Dalam Undang-undang Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana pajak. Adanya tindak pidana perpajakan ini dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan Jakarta, 2004, h Wirawan B. Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat,

4 4 sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 5 Dalam kepustakaan hukum disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana atau delik adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Apabila ketentuan dilanggar berkaitan dengan Undang-undang Perpajakan, disebut dengan yang tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Pemberian sanksi pidana termasuk yang diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya merupakan senjata pamungkas atau terakhir (ultimum remidium) yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan penegakkan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran apabila dalam Undang-undang Perpajakan juga mengatur ketentuan pidana. 6 Terdapat berbagai perbuatan pidana atau tindak pidana atau pelanggaran pajak yang dapat dikenakan sanksi pidana. Salah satu contoh pelanggaran pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan kerugian keuangan negara adalah kasus manipulasi Faktur Pajak Fiktif. 5 Jun Cai dan Amelia Tobing, Tindak Pidana Perpajakan Oleh Wajib Pajak, dalam diakses pada tanggal 2 Juli Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Salemba Empat. Jakarta, 2010, h. 154.

5 5 Kasus ini terjadi karena Wajib Pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur Pajak tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan negara dari sisi penerimaan pajak. 7 Menurut Pasal 39 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa apabila seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sementara itu, menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, ancaman hukumannya bervariasi karena Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun Ibid, h. 182.

6 6 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menganut sanksi pidana minimum dan maksimum khusus. 8 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana khusus yang memuat tentang hukum pidana formil dan materiil telah memadai sebagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Undangundang tersebut berfungsi sebagai sarana prevensi mengingat ancaman pidananya sangat berat sehingga dapat menakutkan orang untuk berbuat atau melakukan tindak pidana korupsi lebih-lebih lagi apabila dalam kenyataannya pengadilan telah menjatuhkan pidana yang berat kepada si pelaku dalam berbagai kasus korupsi termasuk kasus pelanggaran pajak yang salah satunya berupa penggelapan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Lebih lanjut, dalam perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, bagi pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima pengalihan masing-masing telah ada ketentuan yang mengatur dan menetapkan dalam peraturan yang berbeda mengenai kewajiban masing- 8 Ibid. h. 182.

7 7 masing pihak dalam hal pembayaran. Tujuan adanya ketentuan ini adalah agar dapat memaksimalkan penerimaan pajak bagi kas negara. 9 Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan PPh Final berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun Sejak perubahan Undang-undang No.28 Tahun 2009 ini, maka setiap pengalihan atas tanah dan bangunan yang terjadi dalam tanah dan bangunan maka dikenakan pajak PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sementara itu, bagi menerima pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan BPHTB. Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan terhadap penghasilan dari peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan (selanjutnya disebut PPh-PHTB) merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian, bagi pihak yang menerima pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal Dengan demikian dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam transaksi atau peristiwa peralihan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB dikenakan hanya kepada pembeli atau penerima perolehan hak tanah dan/atau bangunan. 9 Kartasapoetra G, Pajak Bumi dan Bangunan Prosedur dan Pelaksanaannya, Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 10.

8 8 Seiring dengan dinamika administrasi pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dengan adanya Otonomi Daerah, serta untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pembiayaan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahannya, maka BPHTB kemudian dijadikan sebagai salah satu komponen Pajak Daerah dengan dikeluarkannya Undang undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya masing-masing pemerintah daerah diberikan kewenangan mengatur sendiri pemungutan BPHTB dan diwajibkan pengaturannya melalui Peraturan Daerah. Adapun Perda yang mengatur dalam hal ini terdapat dalam Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2011 Tentang BPHTB. Selanjutnya dalam penelitian ini dititikberatkan pada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yaitu pajak yang dikenakan bagi pihak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut. Perolehan hak atas tanah yang telah bersertifikat yang dilakukan para pihak harus dibuat dengan menggunakan akta otentik dan dilakukan di hadapan PPAT. Oleh karena peralihan hak atas tanah itu, merupakan salah satu perbuatan hukum yang dibuat dengan akta otentik oleh PPAT, maka salah satu kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa pembayaran BPHTB yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB), barulah pembuatan dan penandatanganan akta hibah

9 9 tersebut dapat dilaksanakan, dan kewajiban PPAT melaporkan pembuatan akta itu kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB) (sekarang KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah dan atau bangunan dimaksud berada selambat-lambatnya adalah pada tanggal 10 bulan berikutnya. BPHTB yang terutang harus sudah dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana telah disebutkan. Ketentuan mengenai waktu pembayaran pajak oleh pembeli ini dipertegas lagi dengan kewajiban bagi PPAT, dan Pejabat lelang Negara untuk menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan dimaksud setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya (Pasal 24 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000) dan bagi PPAT dan pejabat lelang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dikenakan denda sebesar Rp ,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran (Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000). Demi menjaga kemungkinan agar tidak terjadinya penundaan pembayaran pajak, biasanya pembayaran pajak yang menjadi kewajiban penjual maupun pembeli dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dilakukan pada hari dan tanggal akta jual belinya ditandatangani oleh para pihak di hadapan PPAT, dan demi menjaga kepastian pembayaran pajak tersebut dilakukan oleh para pihak, biasanya PPAT yang bersangkutan

10 10 dengan sukarela membantu para pihak untuk membayarkan pajak tersebut kepada instansi yang berwenang melalui Kantor Pos atau Bank. Dalam penelitian ini, terdapat transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan dimana pembayaran BPHTB nya dititipkan oleh penerima tanah dan/atau bangunan kepada Notaris. Namun dalam kenyataannya, Notaris yang telah menerima penitipan pembayaran BPHTB tersebut tidak pernah melakukan pembayaran BPHTB ke Negara. Sehubungan dengan ini, terdapat dugaan tindak pidana korupsi atas pemalsuan bukti setor dan validasi bank persepsi pembayaran pajak BPHTB / SSB dan PPh Final / SSP pada proses peralihan hak atas tanah dan bangunan SHM 295 / Kalibanteng Kulon, Kota Semarang tahun 2010 di Bank BTN Cab. Semarang dan Bank BPD Jateng Cab. Semarang sehingga diduga mengakibatkan kerugian Negara ± Rp ,00 (delapan ratus dua puluh tiga juta lima ratus tiga puluh enam ribu rupiah) yang dilakukan oleh Pelaku 10 Dalam kasus ini, apabila diuraikan terdapat dua kemungkinan tindak pidana yaitu : a. Tindak pidana pemalsuan dokumen b. Tindak pidana korupsi karena adanya dugaan tindakan yang merugikan keuangan Negara. 10 Subdit III Ditreskrimsus Polda Jateng, Oktober 2014

11 11 Bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, adalah perbuatan melanggar hukum (korupsi) sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 Undang -undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 3 ini setiap orang meliputi orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri. Delik korupsi penyalahgunaan wewenang terdapat dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999

12 12 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini tidak ada unsur melawan hukum, hanya ada unsur menyalahgunakan kewenangan. Namun, secara implisit penyalahgunaan wewenang inheren (sama) dengan melawan hukum, sebab penyalahgunaan wewenang essensinya merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur melawan hukum merupakan gennya, sementara penyalahgunaan wewenang adalah spesiesnya. Penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diperuntukkan bagi subyek atau pelaku delik pejabat atau pegawai negeri. Hal tersebut berbeda dengan melawan hukum dalam pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini setiap orang meliputi

13 13 orang atau korporasi, khusus untuk subyek delik orang meliputi semua orang minus atau tidak termasuk pejabat atau pegawai negeri. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan tesis dengan judul : PENGGELAPAN PAJAK OLEH NOTARIS/PPAT DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI B. Permasalahan Berdasarkan uraian sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini adalah: 1. Kapankah uang pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final sudah dikategorikan sebagai uang Negara, sehingga bisa diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Korupsi? 2. Apakah PPAT yang tidak membayarkan uang titipan pembayaran pajak BPHTB dan PPh final kepada Negara masuk sebagai Korupsi? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui sejak kapan uang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final dapat dikategorikan sebagai uang negara.

14 14 2. Untuk mengetahui mengenai pemenuhan unsur Tindak Pidana Korupsi pada penyimpangan pembayaran uang titipan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan PPh final. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah: 1. Manfaat Teorities a. Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang sejenis. b. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis mencari kejelasan guna melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan penulis tentang tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya dalam hal pelanggaran pajak maupun penyalahgunaan wewenang dalam jabatan oleh pejabat PPAT. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Pemerintah Memberikan informasi yang bermanfaat, yang dapat dijadikan acuan bagi pengambil keputusan, terutama dalam menangani permasalahan tindak pidana khusus, yaitu korupsi khususnya dalam hal pelanggaran pajak berupa penggelapan BPHTB oleh Notaris/PPAT.

15 15 b. Bagi Mahasiswa Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai penanganan permasalahan PPAT dalam melakukan pelanggaran atas tidak dilakukannya penyerahan BPHTB ke kas Negara. c. Bagi Masyarakat Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada masyarakat luas sehingga Notaris lebih berhati hati dalam menerima uang titipan BPHTB dan PPh. E. Kerangka Teori Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi dari suatu penelitian. Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. 11 Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang 11 Soetandyo Wignjosoebroto dalam Salman Otje dan Susanto Anton, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali menyebutkan bahwa teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 21.

16 16 digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut. 12 Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori ini merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 13 Setiap hukum tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan. Demikian pula dengan hukum pajak. Terdapat berbagai teori untuk memberikan dasar hukum kepada negara dalam memungut pajak dari rakyat. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut: Teori Timbulnya Hutang Pajak Mengenai timbulnya utang pajak terdapat 2 (dua) teori yang saling berbeda argumentasi karena sudut pandang yang dijadikan pokok analisis yang berbeda. Perbedaan itu sebagai wacana terbaik dalam pengembangan hukum pajak di masa kini dan di masa mendatang. Sebenarnya perbedaan itu 12 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hlm 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, h M.Solly Lubis (I) Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h , h Tunggul Anshari Setia Negara, Pengantar Hukum Pajak. Bayumedia, Malang,

17 17 dikategorikan sebagai sumber hukum pajak, yakni terdapat (doktrin) di kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat yakni pendapat (doktrin) di kalangan ahli hukum pajak sepanjang pendapat tersebut dapat disepakati untuk diterima sebagai doktrin. Kapan timbulnya hutang pajak, menurut Brotodihardja masih tetap diperdebatkan, apakah karena undang-undang ataukah oleh tindakan fiskus. 15 Lebih lanjut dikatakan bahwa: Dalam hukum pajak tidaklah selalu dinyatakan dengan terang di dalam undang-undangnya, pada saat manakah terjadi suatu utang pajak. Melainkan dicurahkan semua perhatian kepada timbulnya keharusan untuk membayarnya. Demikian itu adalah karena sehari-hari, saat yang disebut terakhir ini jauh lebih penting 16. Utang pajak dapat timbul apabila telah adanya peraturan yang mendasarnya dan telah terpenuhinya atau terjadi suatu Taatbestand (sasaran perpajakan), yang terdiri dari : keadaan-keadaan tertentu, peristiwa, dan atau perbuatan tertentu. Tetapi yang sering terjadi ialah karena keadaan, seperti pajak-pajak yang sangat penting yaitu atas suatu penghasilan atau kekayaan, dikenakan atas keadaan-keadaan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan walaupun keadaan itu dalam kebanyakan hal timbulnya karena perbuatanperbuatannya. Tapi keadaan wajib pajak yang menimbulkan hutang pajak itu sendiri. Adanya hutang pajak berhubungan dengan adanya kewajiban masyarakat kepada Negara berdasarkan Undang Undang. 15 Brotodihardja, Pengantar Hukum Pajak, Co. Bandung, 1995, h Ibid, h. 113

18 18 Dengan demikian, dalam hutang pajak ini memiliki beberapa sifat, antara lain : a. Jumlahnya sudah ditetapkan baik oleh masyarakat atau Fiskus; b. Ditetapkan jangka waktu pelunasannya; c. Jika terlambat bayar/kurang bayar, berakibat dikenakan sanksi; d. Dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Apabila melihat timbulnya utang pajak, ada 2 (dua) ajaran yang mengatur tentang timbulnya utang pajak tersebut, yaitu: a. Ajaran Formil. Hutang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System. Teori formil dipelopori oleh Steimmetz sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Djafar Saidi bahwa timbulnya utang pajak pada saat dikeluarkannya SKP oleh fiskus bukan karena undangundang pajak yang menentukannya. 17 Dalam hal ini, diperlukan campur tangan fiskus untuk menentukan jumlah utang pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Bentuk campur tangan fiskus adalah menerbitkan SKP yang memuat jumlah utang pajak dan kalau perlu ada tambahan sanksi administrasi. Begitu pula yang dikatakan oleh Bohari bahwa Jakarta, 2007, h Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, PT. RajaGrafindo Persada:

19 19 penganut teori formil berpendapat bahwa utang pajak itu timbul karena adanya ketetapan pajak oleh fiskus. 18 Dengan demikian, meskipun sudah dipenuhi adanya tatbestand, namun belum ada ketetapan pajak, maka ini berarti belum ada utang pajak. bahwa: Senada dengan hal tersebut adalah Soemitro yang menyatakan Teori formil beranggapan utang pajak timbul karena undang-undang pajak pada saat dikeluarkan ketetapan pajak oleh Direktoral Jendral Pajak. Jadi selama belum ada ketetapan pajak, belum ada utang pajak walaupun syarat subjektif dan syarat objektif telah dipenuhi. Keuntungan dari teori ini, adalah karena pada saat utang pajak timbul, sekaligus dapat diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena yang menentukan besarnya pajak itu adalah Direktorat Jenderal Pajak yang menguasai ketentuanketentuan undang-undang pajak. Kelemahan teori ini, adalah besar sekali kemungkinannya utang pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. 19 Dalam teori formil, surat ketetapan pajak memiliki fungsi, diantaranya : 1) Menimbulkan utang pajak; 2) Dasar penagihan pajak; 3) Menentukan jumlah pajak yang terutang. 18 Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Ed. revisi. Cet. 5. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 112). 19 Soemitro, Sistem Perpajakan, RajaGrafindo: Jakarta, 1988, h 3

20 20 Jadi, selama belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada utang pajak, walaupun syarat-syarat subjektif dan syarat objektif telah terpenuhi. Kelemahan teori formil ini yaitu besar sekali kemungkinan utang pajak ditetapkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain itu, teori formil tidak dapat diterapkan terhadap pajak tidak langsung karena pajak tidak langsung tidak menggunakan surat ketetapan pajak. Teori ini hanya diterapkan pada saat timbulnya utang pajak bumi dan bangunan. Contoh : hutang pajak si A baru akan timbul sesudah fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Jadi, si A tidak mempunyai kewajiban membayar pajak penghasilan/ pendapatannya jika fiskus belum menerbitkan SKP nya. Teori ini sangat lemah karena banyak jenis pajak yang terutang dan dibayar tidak perlu menunggu diterbitkannya surat ketetapan pajak, misalnya bea materi, PPh pasal 21, dan lain-lain. b. Ajaran Materiil Hutang pajak timbul karena berlakunya undang undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.

21 21 Teori material yang dipelopori oleh Adriani menyatakan bahwa: Timbulnya utang pajak adalah karena undang-undang saja, tanpa diperlukan suatu perbedaan manusia (jadi sekalipun tidak dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus asalkan dipenuhi syarat atau terapat suatu tatbestand. Sehingga tidak memerlukan campur tangan pihak fiskus untuk menerbitkan surat ketetapan pajak. 20 Selaku pengikut teori material adalah Soemitro yang mengatakan kalau dianalisis lebih lanjut maka teori material itu mengelompokkan bahwa utang pajak timbul dengan sendirinya karena undang-undang, sebab dipenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. 21 Dengan sendirinya artinya, bahwa untuk timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari fiskus, asal syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang pajak telah dipenuhi. Dalam kaitan teori material maka dikatakan oleh Muhammad Djafar Saidi, bahwa teori material memandang SKP yang dikeluarkan oleh pejabat pajak tidak menimbulkan utang pajak. 22 Sebab utang pajak telah timbul karena undang-undang pada saat dipenuhinya tatbestand. SKP hanya berfungsi sebagai: (1). dasar penagihan pajak, dan (2). memuat jumlah utang pajak termaksud sanksi administrasi. 20 Brotodihardjo, op. cit 1995, h Soemitro, Op. Cit, h Muhammad Djafar Saidi, Op. cit, h. 156

22 22 Menurut teori materiil utang pajak timbul karena telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, sehingga tidak memerlukan campur tangan pejabat pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak. Keberadaan surat ketetapan pajak tidak menimbulkan utang pajak. Jadi utang pajak timbul karena undang-undang pajak sendiri. Hal ini terkait dengan Pasal 12 Ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Contohnya : Syarat timbulnya utang pajak bagi si A dalam contoh di atas menurut Undang Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jika si A telah bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan si A telah mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP, maka sudah timbul utang pajak bagi si A. Dia tidak perlu menunggu fiskus menerbitkan SKP. Timbulnya utang pajak menurut faham materiil secara sederhana dapat dikatakan karena Undang- Undang atau karena sasaran perpajakan, yaitu rangkaian dari keadaankeadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.

23 23 Sebenarnya teori materi malah memberi keuntungan pada petugas pajak. Petugas pajak hanya bertugas melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Kelemahan teori materiil adalah pada saat timbulnya utang pajak, belum diketahui dengan pasti berapa besarnya utang pajak karena kebanyakan wajib pajak tidak memahami dan menguasai ketentuan undang-undang pajak, sehingga kurang mampu menerapkannya. Dengan demikian disimpulkan bahwa hutang pajak timbul jika undang-undang yang menjadi dasar pemungutannya telah ada dan telah dipenuhi syarat-syarat subjek dan objektifnya, yang ditentukan oleh undang-undang secara bersama (simultan). Syarat objektif dipenuhi apabila keadaan yang nyata yang disebut oleh Undang -undang dipenuhi, keadaan ini berupa: a. Perbuatan b. Keadaan c. Peristiwa Saat timbulnya utang pajak mempunyai peranan yang menentukan dalam: a. Pembayaran/penagihan pajak b. Memasukkan surat keberatan

24 24 c. Penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu kadaluwarsa d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum (undang undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Sementara itu persoalan apakah (uang) BPHTB yang terhutang apakah sudah dapat dikategorikan sebagai uang Negara atau bukan dapat didekati dengan kemungkinan dua system yang lazim digunakan menentukan pembukuan pendapatan, yaitu cash based system dan accrual based system, atau kombinasi yang dikembangkan dari dua system tersebut. Secara teoritik penerimaan negara dalam APBN dapat dipisahkan menjadi beberapa sistem, yaitu : 1. Cash Based System Basis kas (cash basis) menetapkan pengukuran atau pencatatan transaksi ekonomi hanya dilakukan apabila transaksi tersebut menimbulkan perubahan pada kas. Apabila transaksi tersebut

25 25 belum menimbulkan perubahan pada kas maka transaksi tersebut tidak dicatat. 2. Accrual Based System Basis akrual (acrual basis) adalah dasar akuntansi yang mengakui transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa tersebut terjadi (dan bukan hanya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar ). Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui dalam laporan keuangan periode terjadinya. 3. Basis Kas Modifikasian (Modified Cash Basis) Menurut butir (12) dan (13) lampiran XXIX (tentang kebijakan akuntansi) Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 disebutkan bahwa : (12) basis/dasar kas modifikasian merupakan kombinasi dasar accrual (13) Transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan (dicatat atau dijurnal) pada saat uang diterima atau dibayar (dasar kas). Pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari transaksi dan kejadian dimaksud belum terealisir.

26 26 Jadi, penerapan basis akuntansi ini menuntut Satuan Pemegang Kas mencatat transaksi dengan basis kas selama tahun anggaran dan melakukan penyesuaian pada akhir tahun anggaran berdasarkan basis akrual. 4. Basis Akrual Modifikasian (Modified Accual Basis) Basis akrual (modified acrual basis) modifikasian mencatat transaksi dengan menggunakan basis kas untuk transaksi-transaksi tertentu dan menggunakan basis akrual untuk sebagian besar transaksi. 23 Berdasarkan teori tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa apabila pemerintah daerah menggunakan cash based system (uang) BPHTB tersebut baru akan menjadi uang Negara ketika uang tersebut telah secara riil diterima oleh Negara (baca : Pemerintah Daerah setempat) dan telah dibukukan (menimbulkan perubahan pada kas). Sementara itu, kalau system pembukuan Pemerintah Daerah setempat menggunakan accrual based system, (uang) BPHTB telah menjadi uang Negara pada saat taatsbestand ada, yaitu pada saat peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut terjadi. 23 Abdul Halim, Op. cit, 2007, hal 47

27 27 2. Teori Kewenangan PPAT Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Ada banyak istilah dan definisi dari kewenangan yang dikemukakan oleh pakar, diantaranya menurut P. Nicolai dalam Ridwan HR., bahwa: Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 24 Menurut J.H.A. Logeman yang diterjemahkan oleh Makkatutu dan Pangkerego (1948:160) bahwa menurut hukum tata negara positif, sesuai sifatnya biasanya wewenang dijadikan sebagai kompetensi bagi jabatanjabatan tertentu misalnya wewenang untuk membuat peraturan bagi tujuan tertentu, memberikan izin tertentu, memberikan pensiun, mengenakan suatu pengenaan pajak dsb. 25 Menurut Bagir Manan dalam Ridwan HR. bahwa: Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus bererti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri 24 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2006, h Makkatutu dan Pangkerego, Op. cit, h. 160

28 28 (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. 26 Menurut Ridwan HR. bahwa seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteisbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangundangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. 27 Indroharto menyatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. 28 Lebih lanjut menurut Ridwan HR., legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara lain: a. berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan 26 Ridwan HR. Op. cit, h Ibid, h Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Penerbit Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1993, h. 104.

29 29 suatu undang-undang, dan tingkat daerah adalah DPRD dan pemda yang melahirkan Peraturan Daerah; b. bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. 29 Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian teori-teori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak yang disetorkan pada kas negara seyogyanya digunakan untuk mendukung pembangunan negara Indonesia demi mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi pada kenyataannya, penyetoran pajak oleh warga negara Indonesia tidak sedikit yang disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu baik dari pegawai perpajakan sendiri maupun dari pihak Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran pajak, yang salah satunya berupa penggelapan pajak BPHTB. Penuntutan penggelapan pajak ini dapat saja didasari dengan peraturan di luar Undang-undang Perpajakan seperti Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila 29 Ridwan HR. Op. cit, h

30 30 perbuatan pidana pelanggaran pajak seperti penggelapan pajak telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka Undang-undang Perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan dapat dikurangi dan diantisipasi. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat dicegah dan diberantas. Sejalan dengan itu, setiap pelaku kejahatan di bidang perpajakan harus dihukum dan hasil kejahatannya harus disita oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30 Tindak pidana korupsi dapat ditinjau sebagai pelanggaran Undangundang Perpajakan dengan menggunakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur tentang jenis penghasilan yang menjadi objek pajak dan Undang-undang Nomor 6 Tahun Susno Duadji, Penggelapan Pajak Kejahatan Asal Praktik Pencucian Uang, 16 Oktober 2010 dalam diunduh 23 November 2015

31 31 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang prosedur pemenuhan kewajiban perpajakan beserta sanksinya. 31 Sistem target dalam pemungutan pajak dapat mendorong peningkatan penerimaan negara, namun di sisi lain dapat menimbulkan masalah krusial bilamana penerapan target yang dimaksudkan hanya untuk memunculkan data subjektif. Kendati data subjektif bukan data fiktif akan tetapi hal itu dapat digunakan untuk mengelabui masyarakat dari keadaan dan kondisi riil penerimaan sektor pajak. Praktik menyimpang dalam upaya pencapaian target pajak akan menjadi celah (loophole) yang memberi peluang bagi oknum petugas pajak, wajib pajak dan konsultan pajak untuk bekerjasama dan secara terencana melakukan tindak kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) seperti penggelapan, penghindaran, penyimpangan, pemerasan dan pemalsuan dokumen, yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan keuntungan ilegal yang sebesar-besarnya atau memperkaya diri sendiri, sehingga pada gilirannya menyebabkan distorsi penerimaan atau kekayaan negara. 32 Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak 31 Arles Ompusunggu, Gagasan Hukum, Artikel, Legal Opinion. Media Online Slamet Hariyanto dan Rekan: Adovokat, Konsultan Hukum dan Politik, Solusi UU Pajak di Tengah Ironi Korupsi dalam diunduh 23 November Loc. Cit. Susno Duadji. 16 Oktober 2010.

32 32 yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Dalam praktek misalnya, Wajib Pajak hanya membayar lima puluh persen dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya "dikantongi" oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang dua puluh lima persen lagi yang disetorkan ke kas negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang negara bisa mencapai tujuh puuh lima persen. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yang semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah negara negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.33 Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara dan karenanya aturan perpajakan pun di atur begitu lengkapnya, baik sekarang maupun sejak zaman sebelum dilakukan Tax Reform dimana ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam KUHP pada pasal-pasal tertentu karena sektor perpajakan diharap menyumbang finansial terbesar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun dalam realisasinya, terjadi pelanggaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak, aparat pajak maupun pihak ketiga yang akibatnya dapat merugikan pendapatan dan keuangan negara. 34 Oleh karena itu, pelanggaran pidana perpajakan dimungkinkan untuk memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan penuntutannya dapat pula 33 Ibid 34 Mokhamad Khoirul Huda. Jurnal Ilmiah: Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam , diunduh 23 November 2015

33 33 didasari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Pasal 36A ayat (4) Undangundang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan: Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 38 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dinyatakan: Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana. Penjelasan pada Pasal 38 di atas, secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek, aparat penegak hukum lebih cenderung menerapkan ketentuan Undang undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

34 34 terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan dimana keadaan seperti ini menyalahi asas lex specialist derogat lex generalis. 35 Berdasarkan pada asas lex specialist derogat lex generalis, semua tindak pidana perpajakan seharusnya dijerat dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat sumber daya manusia (SDM) kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan sistem perpajakan. Disisi lain, bahwa seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan PPAT, namun dalam hal ini PPAT dapat menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran BPHTB tersebut kepada PPAT. Jadi PPAT disini sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri. 35 Ibid

35 35 Keberadaan PPAT senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. PPAT sebagai pejabat akta tanah harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, PPAT dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya. Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada PPAT untuk disetor namun tidak disetorkan oleh PPAT maka perbuatan yang dilakukan oleh PPAT tersebut dapat dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. PPAT tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta tanah tidak berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT merupakan pejabat umum maka akta-akta yang dibuatnya juga merupakan akta-akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Akta-akta otentik tersebut yaitu Akta jual beli, tukar menukar, akta hibah, akta pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), akta Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. PPAT dilarang membuat akta otentik (akta jual beli) apabila ada hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu :

36 36 (1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika : a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa / Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa / Kelurahan; atau c. Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;atau e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Begitu pentingnya kedudukan PPAT dalam ikut serta membantu Kantor Pertanahan dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah maka

37 37 agar kegiatan pendaftaran tanah dapat berjalan dengan baik, kerja sama yang baik dan harmonis antara Kantor Pertanahan dan PPAT mutlak diperlukan. PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu sebelum menjalankan jabatanya Hal ini berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu : (1) Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor Pertanahan atas akta akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan. Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 jo. PP Nomor 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang

38 38 jabatan Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik. Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh Undang-undang. F. Metode Penelitian Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai dengan proses menyusun laporannya. Penelitian ialah suatu kegiatan yang bersifat ilmiah dengan mempergunakan pengetahuan yang didapatkan dari sumber-sumber primer yang bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip umum yang sebelumnya belum pernah

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB negara. 2 Bagi pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan berlaku PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah iuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional. moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

BAB I PENDAHULUAN. agar tidak terombang-ambing di tengah-tengah masyarakat internasional. moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam lingkup berbangsa dan bernegara dewasa ini terutama dalam masa reformasi, bangsa Indonesia harus memiliki visi serta pandangan hidup yang kuat agar tidak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. A. Buku DAFTAR PUSTAKA A.R.Putri, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang berimplikasi Perbuatan Pidana, PT. Sofmedia, Jakarta, 2011. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5) BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap orang yang berada di suatu negara dan yang berada di seluruh dunia, oleh karena itu pajak merupakan suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah obyek pajak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai suatu benda yang keberadaannya merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Hal ini dapat dilihat hampir semua aktivitas manusia berhubungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap MATRIKS PERBANDINGAN PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DAN PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan fasilitas umum, perbaikan infrastruktur, pembangunanpembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pengadaan fasilitas umum, perbaikan infrastruktur, pembangunanpembangunan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, banyaknya pengadaan fasilitas umum, perbaikan infrastruktur, pembangunanpembangunan dan pemekaran daerah yang dilakukan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REJANG LEBONG Menimbang

Lebih terperinci

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK A. Ruang Lingkup Hukum Pajak Pajak dilihat dari segi hukum, menurut Rochmat Soemitro, didefinisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan dari sektor pajak adalah salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Hal ini dapat dilihat dari persentase dalam APBN tahun 2006 yang terdiri dari: realisasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Menimbang : a. Mengingat : 1. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, bahwa

Lebih terperinci

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut: 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut: Pajak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. 5 Guna mewujudkan hal. tersebut diperlukan adanya pemungutan pajak.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. 5 Guna mewujudkan hal. tersebut diperlukan adanya pemungutan pajak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam mendukung pelaksanaan pembangunan nasional. Penerimaan negara dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Undang-Undang

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan yang

membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan yang Keberhasilan pembangunan Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya pengadaan dana dalam jumlah uang yang cukup besar dan berkesinambungan untuk membiayai segala pengeluaran-pengeluarannya. Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup, berkembang biak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. memenuhi pembangunan nasional secara merata, yang dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. memenuhi pembangunan nasional secara merata, yang dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri Sumber penerimaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian besar berasal dari pajak. Pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN I. UMUM 1. Undang-Undang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan yang ingin dicapai oleh Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yaitu dapat melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. volume dan dinamika pembangunan itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. volume dan dinamika pembangunan itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Peranan pajak sebagai penerimaan dalam suatu negara sangat besar manfaatnya dalam meningkatkan rencana penerimaan negara yang berasal dari pajak sebagai sumber utama

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG Menimbang

Lebih terperinci

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL

PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL PELATIHAN PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PADA USAHA KECIL Oleh: Amanita Novi Yushita, SE amanitanovi@uny.ac.id *Makalah ini disampaikan pada Program Pengabdian pada Masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, Menimbang : a. bahwa dengan telah diundangkannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. atau definisi pajak yang berbeda-beda, namun demikian berbagai definisi

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. atau definisi pajak yang berbeda-beda, namun demikian berbagai definisi BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Pajak Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI, Menimbang : a. bahwa dengan terbentuknya Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor... UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 (1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan Harta Kekayaan

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang

Lebih terperinci

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright 2002 BPHN UU 20/1997, PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK *9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemungutan Pajak Daerah dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemungutan Pajak Daerah dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemungutan Pajak Daerah dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber dana pembangunan yang perlu dipacu secara terus menerus

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RGS Mitra 1 of 15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses pemajakan seringkali Wajib Pajak dirugikan oleh tindakan aparat pajak yang semena - mena. Saat ini, sebagian masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang Mengingat : : a. bahwa pajak daerah

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara. Banyak negara, termasuk Indonesia mengandalkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara utama. 1 Pajak

Lebih terperinci

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Copyright (C) 2000 BPHN UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN *9928 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 1997 (21/1997) TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PAJAK 1. Pengertian Pajak Menurut S.I.Djajadiningrat (Resmi,2009:1) Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN RANCANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGETAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN SALINAN NOMOR 41/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN DAN TEMPAT PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

BAB II LANDASAN TEORI. dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara

Lebih terperinci

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Adriani seperti dikutip Brotodihardjo (1998) mendefinisikan, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi seluruh makhluk dimuka bumi. Oleh karena itu, tanah memiliki peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. bagi seluruh makhluk dimuka bumi. Oleh karena itu, tanah memiliki peranan yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanah adalah benda yang diciptakan Tuhan sebagai tempat hidup dan berpijak bagi

Lebih terperinci

Dasar-dasar Studi Kasus Perpajakan

Dasar-dasar Studi Kasus Perpajakan S Modul 1 Dasar-dasar Studi Kasus Perpajakan PENDAHULUAN Suryohadi, S.H., M.M. tudi Kasus Perpajakan adalah suatu kajian mengenai masalah-masalah yang timbul atau yang terjadi di dalam masyarakat berkenaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH. guna membantu menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH. guna membantu menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH A. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berdasarkan negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang

Lebih terperinci

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem Pendahuluan Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self Assesment System yang dimulai sejak reformasi perpajakan tahun 1983 menuntut wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber utama bagi penerimaan negara yang berasal dari dalam negeri sebagai sumber utama pembiayaan untuk pembangunan nasional. Sesuai dengan data penerimaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pembangunan di segala bidang merupakan tanggung jawab pemerintah dan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU,

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU, PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar pula dalam menjalankan fungsi kenegaraannya.sebagai Negara yang

BAB I PENDAHULUAN. besar pula dalam menjalankan fungsi kenegaraannya.sebagai Negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tugas Akhir Negara adalah sebuah rumah tangga yang besar yang memerlukan biaya yang besar pula dalam menjalankan fungsi kenegaraannya.sebagai Negara yang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spirituil. Untuk dapat. mendapatkan dukungan dari masyarakat (Waluyo dan Ilyas, 2000: 1)

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spirituil. Untuk dapat. mendapatkan dukungan dari masyarakat (Waluyo dan Ilyas, 2000: 1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak adalah hal yang terpenting bagi negara, karena hampir keseluruhan sumber penerimaan negara berasal dari pajak yang didapat dari masyarakat. Peningkatan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN - 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci