V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Kondisi Habitat Harimau Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan ketinggian pada masing masing lokasi, dimana tipe hutan perbukitan berada pada ketinggian antara mdpl dan tipe hutan sub pegunungan berada pada ketinggian mdpl. Vegetasi dominan yang menyusun habitat pada kedua tipe hutan tersebut adalah famili Dipterocarpaceae (4 jenis), Fabaceae (2 jenis), dan Ebenaceae (2 jenis). Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian adalah jenis Meranti, Borneo, dan Damar. Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP (%) (%) 1 Meranti Borneo Pening-pening kapur Asem-asem Medang sungai Melangir Kalek Keling Ulin Rambutan Arang-arang Beringin hutan Damar Durian hutan Medang kunyit Ketapang hutan Jumlah Tipe hutan perbukitan memiliki kondisi topografi sebagian besar bergelombang dan sedikit datar yang memudahkan harimau dalam melakukan pergerakan hariannya. Sungai pada hutan perbukitan memiliki lebar antara m dan mengalir sepanjang tahun. Sungai pada lokasi penelitian merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan dan juga satwa yang ada didalam hutan. Sumber air lainnya yaitu cekungan yang terisi oleh air hujan atau bekas kubangan satwa. Lokasi yang biasa digunakan untuk mengasin bagi satwa

2 25 terdapat di pinggir sungai besar. Sekitar lokasi tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa seperti rusa sambar dan kijang. Harimau melakukan pengintaian di tempat-tempat yang sering didatangi oleh satwa mangsa seperti sungai dan tempat mengasin Pohon-pohon berukuran sedang hingga besar dengan diameter cm banyak terdapat pada tipe hutan perbukitan. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat membantu mengurangi panas sinar matahari. Strata tajuk pembentuk cover pada lokasi ini terdiri atas lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan atau strata B (10-25 m), strata C dan lapisan vegetasi pembentuk tumbuhan bawah atau strata D dan E. Strata tajuk yang berlapis memenuhi kriteria habitat bagi harimau untuk menghindari panas dan dalam melakukan pengintaian. Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari Lokasi hutan sub pegunungan memiliki tingkat topografi yang lebih curam dan banyak terdapat tebing batu. Tebing batu ini digunakan kambing hutan yang merupakan satwa mangsa harimau untuk cover. Lokasi hutan sub pegunungan sangat jarang ditemukan sumber air di sepanjang jalur pengamatan. Sumber air kecil biasanya terdapat pada lereng-lereng curam dengan kemiringan hampir 70 o dengan beda ketinggian lebih dari 100 m. Sumber air pada lokasi ini tergantung oleh hujan yang akan membuka mata air atau mengisi cekungan-cekungan.

3 26 Harimau akan menggunakan sumbaer air tersebut jika tidak menemukan sumber air lainnya. Kondisi lantai hutan berupa lumut tebal dan serasah yang selalu basah, sehingga tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Kondisi penutupan tajuknya yang rapat membuat udara pada lokasi ini terasa lebih sejuk dan selalu basah. Penutupan tajuk pada lokasi ini berlapis seperti pada hutan perbukitan yang terdiri dari strata A hingga E. Pohon-pohon besar dominan penyusun tajuk hutan diantaranya adalah meranti (Shorea spp), borneo (Dipterocarpus borneensis) dan damar (Agathis damara). Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan sub pegunungan No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP 1 Meranti Borneo Kalek Pening-pening hitam Rambutan Beringin hutan Medang batu Damar Kecapi hutan Jumlah Satwa Mangsa Tingkat keanekaragaman satwa ungulata di kawasan hutan Batang hari cukup tinggi. Variasi ini lebih disebabkan kebutuhan pakan yang berbeda-beda dari tiap jenis satwa karnivora sehingga lokasi tempat ditemukannya satwa mangsa juga berbeda-beda. Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari antara lain rusa sambar, kambing hutan, kijang, dan babi jenggot. Tabel 5. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau No Nama Lokal Nama Ilmiah Foto Independen Tingkat perjumpaan Standar deviasi 1 Landak Hystrix braciura Beruk Macaca nemestrina Kijang Muntiacus muntjak Beruang Helarctos malayanus Babi jenggot Sus Barbatus Tapir Tapirus indicus Kancil Tragulus napu Rusa sambar Cervus unicolor Kambing hutan Capricornis sumatraensis

4 27 (a) Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari. (b) Berdasarkan jumlah foto independen yang didapat selama perangkap kamera terpasang, satwa mangsa dominant yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah beruk (56 foto), beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Selain jenis satwa mangsa utama, beberapa jenis satwa menjadi alternatif sasaran mangsa bagi harimau, seperti pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus). Gambar 5. Kancil merupakan salah satu satwa alternatif bagi harimau

5 28 Satwa mangsa yang tertangkap kamera pada lokasi hutan perbukitan adalah beruang madu (Hystrix brachyura), babi jenggot (Sus Barbatus), beruk (Macaca nemestrina), kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor) dan landak (Hystrix brachyura). Sedangkan jenis satwa mangsa yang terdapat pada lokasi hutan sub pegunungan adalah beruang madu (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus) dan landak (Hystrix brachyura). Beruk sering tertangkap kamera karena aktivitas hariannya dilakukan di tanah (terrestrial) Jenis satwa yang paling sering tertangkap oleh kamera adalah kuau raya (Argusianus argus). Jenis ini merupakan salah satu mangsa potensial bagi harimau. Kuau sering tertangkap pada salah satu titik kamera karena satwa ini membuat gelanggang untuk menarik pasangannya. Tabel 6. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan No Jenis satwa Nama Ilmiah Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Beruang madu Helarctos malayanus 2 Musang galing Paguma larvata 3 Musang leher kuning Martes flavigulata 4 Beruk Macaca nemestrina 5 Babi jenggot Sus Barbatus 6 Rusa sambar Cervus unicolor 7 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 8 Kijang Muntiacus muntjak 9 Pelanduk napu Tragulus napu 10 Tapir Tapirus indicus 11 Landak Hystrix brachyura 12 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis 13 Kuau raya Argusianus argus 14 Sempidan sumatera Lophura inornata Cover Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki strata tajuk dari lapisan A hingga E. Berdasarkan hasil pengukuran analisis vegetasi diketahui bahwa jenis pohon dominan yang menjadi cover pada habitat harimau sumatra di kawasan hutan batang hari adalah jenis meranti (Shorea spp.), borneo (Dipterocarpus borneensis), dan damar (Agathis spp.). Hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging di hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk yang jarang hingga terbuka,

6 29 dan di sepanjang jalan banyak ditumbuhi semak belukar yang rapat. Kondisi hutan perbukitan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi pada tingkat pohon, sehingga membantu harimau menghindari panas matahari dan membantu dalam pengintaian. Hutan sub pegunungan juga memiliki tingkat kerapatan pohon yang tinggi dengan komposisi vegetasi pembentuk tumbuhan bawah berupa rotan. Pada lokasi ini harimau menggunakan cover untuk berlindung dari gangguan yang banyak terdapat di hutan perbukitan. Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan Gambar 7. Lapisan tajuk pertengahan atau strata B pada hutan perbukitan

7 Air Air merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup satwaliar. Air menjadi komponen habitat yang penting bagi harimau untuk berendam dan mandi karena satwa ini tidak suka denganudara panas. Sumber air pada lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi sungai, kubangan atau cekungan yang terisi air hujan, dan mata air. Sumber air berupa sungai hanya terdapat di tipe hutan perbukitan. Sungai yang terdapat di lokasi ini adalah sungai Batang hari, Anduring, Gumanti, Kandi dan Batarum gadang. Karakteristik sungai yang ada di lokasi penelitian adalah berarus deras, berbatu, serta memiliki substrat berpasir. Sungai Batang hari memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, airnya berwarna kuning kecoklatan karena substratnya yang berlempung dan berpasir. Sungai Anduring memiliki air yang jernih, berarus deras, dan berbatu. Sungai ini sering menjadi tempat perlintasan satwa. Beberapa kali pergerakan satwa seperti rusa sambar, kijang, dan musang leher kuning terlihat langsung. Selain itu, di tepi sungai anduring ditemukan tempat mengasin bagi satwa. Jejak kaki rusa sambar dan kijang banyak ditemukan di sekitar lokasi tersebut, dan beberapa kali rusa sambar terlihat langsung melakukan aktifitas disana. Sungai Gumanti, sungai Kandi dan sungai Batarum gadang memilki karakter yang tidak jauh berbeda dengan sungai Anduring yang berbatu dan memiliki substrat tanah berpasir, hanya saja pada ketiga sungai tersebut arusnya tidak terlalu deras dan berukuran lebih kecil. Sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun tersebut cenderung terletak pada tipe hutan perbukitan. Sedangkan pada tipe hutan sub pegunungan hanya terdapat sumber-sumber air kecil, kubangan, dan cekungan yang terisi oleh air hujan. Lokasi hutan sub pegunungan banyak ditemukan sumber-sumber air kecil yang berasal dari mata air. Biasanya sumber air yang kecil ini bersifat sementara dan akan hilang pada saat musim kemarau. Kubangan pada lokasi ini ada yang masih aktif dan ada yang sudah lama tidak dijadikan tempat berkubang bagi satwa.

8 31 (a) (b) (c) Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir Karakteristik Habitat Harimau Sumatera Cover Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m). Harimau butuh perlindungan dari panas matahari, sehingga bentuk tajuk yang berlapis pada hutan sangat membantu. Selain itu strata tajuk yang berlapis mengurangi ancaman dari perburuan oleh manusia serta menambah efektifitas dalam perburuan. Penutupan tajuk tipe hutan perbukitan bervariasi dari mulai terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging penutupan tajuk berada pada lapisan tajuk pertengahan dan terbuka. Akan tetapi pada jalur ini banyak ditumbuhi oleh semak dan belukar yang yang tidak terlalu rapat, sehingga dapat membantu menyamarkan tubuh harimau dalam melakukan pemangsaan. Walaupun arealnya yang sedikit terbuka dan cenderung lebih panas, tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak kaki (pugmark) dan garukan pada tanah (scrape) lebih banyak ditemukan pada lokasi ini. Begitu pula dengan satwa mangsanya, pada jalur bekas logging juga banyak ditemukan tanda-tanda keberadaannya.

9 32 Gambar 9. Jalan bekas logging yang sering dijadikan perlintasan oleh harimau Berdasarkan kondisi di lokasi pada tiap-tiap tipe habitat, keberadaan jejak harimau lebih mudah dideteksi pada tipe hutan perbukitan daripada tipe hutan sub pegunungan. Pada umumnya kedua tipe hutan tersebut masih dalam kondisi yang baik, hal ini didasari masih dapat ditemukannya satwa dengan perilaku yang sensitif terhadap perubahan lingkungannya, selain itu kawasan hutan Batang hari merupakan daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya dan juga merupakan sumber air bagi sungai Batang hari. Gambar 10. Jejak kaki (pugmark) harimau yang ditemukan di jalan bekas logging

10 33 Harimau di tipe hutan sub pegunungan lebih cenderung menggunakan tutupan tajuk untuk menghindari sinar matahari dan menghindari gangguan oleh manusia. Gangguan yang banyak terjadi pada lokasi hutan perbukitan membuat harimau lebih sering melalui lokasi ini. Walaupun tingkat perjumpaan satwa mangsa pada hutan sub pegunungan terbilang rendah, namun jumlah jenis yang terdapat pada lokasi ini tidak jauh berbeda dengan hutan perbukitan. Strata tajuk pada lokasi hutan sub pegunungan didominasi oleh pohon borneo pada lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk pertengahan banyak didominasi oleh meranti dan borneo. Semak belukar banyak ditumbuhi oleh rotan dan pandan yang cukup rapat. Harimau cenderung menghindari jalur ini dan memilih jalur yang sudah ada. Tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Lantai hutannya yang ditutupi oleh lumut tebal dan serasah tidak memungkinkan ditemukannya jejak tapak kaki. Tanda keberadaan yang dapat dijumpai pada lokasi ini hanya sebatas kotoran. Gambar 11. Kondisi habitat pada tipe hutan sub pegunungan Satwa Mangsa Satwa mangsa yang berhasil diidentifikasi melalui fofo hasil perangkap kamera adalah sebanyak 9 jenis. Satwa mangsa utama harimau merupakan satwa ungulata dengan biomassa yang besar. Namun tidak jarang harimau memangsa satwa yang lebih kecil ukurannya seperti pelanduk napu, landak, dan beruk. Hal tersebut dilakukannya sebagai alternatif jika sulit mendapatkan mangsa yang lebih besar. Babi jenggot merupakan satwa mangsa yang penyebarannya merata hampir di seluruh lokasi kamera pada tipe hutan perbukitan.

11 34 Pola penyebaran satwa mangsa yang ditemukan bersifat acak dan tersebar pada kedua tipe hutan, akan tetapi ada beberapa jenis satwa yang hanya tertangkap pada satu salah satu tipe hutan saja. Rusa sambar dan kambing hutan merupakan satwa mangsa utama harimau, namun selama perangkap kamera aktif, kedua satwa ini hanya satu kali tertangkap kamera dan hanya ada di satu titik lokasi kamera. Rusa sambar tertangkap kamera pada jalur bekas logging di hutan perbukitan, sedangkan kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan. Kebutuhan akan habitat bagi satwa mangsa lebih terpenuhi pada tipe hutan perbukitan. Tempat mengasin (Salt lick) yang digunakan satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan mineralnya ditemukan di pinggir sungai pada tipe hutan ini. Aktifitas yang tinggi terlihat dari beberapa kali perjumpaan langsung yang terjadi. Beberapa jenis satwa yang terlihat langsung melakukan aktifitas di lokasi mengasin dan kubangan adalah kijang dan rusa sambar. Gambar 12. Tempat mengasin (salt lick) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral satwa

12 35 Tabel 7. Jenis satwa mangsa potensial yang tertangkap oleh kamera selama penelitian. No Nama lokal Nama inggris Total Foto Foto Independen 1 Harimau sumatera Sumatran Tiger Kucing emas Asian Golden Cat Kucing batu Marbled Cat Macan dahan Clouded leopard Beruang madu Malayan Sun Bear Ajag Asian wild dog Musang galing Masked palm civet Musang leher kuning Yellow throated marten Beruk Pig tailed macaque Babi jenggot Bearded Pig Rusa sambar Sambar Deer Kambing hutan Serow Kijang Red muntjac Pelanduk napu Grater mouse-deer Tapir Malayan tapir Landak Common porcupine Bajing tanah bergaris tiga Three-striped Ground Squirrel Kuau raya Great argus Sempidan sumatera Salvadori's Pheasant Unidentified Manusia Jumlah foto independen rusa sambar dan kambing hutan yang menjadi mangsa utama harimau sangat sedikit. Selama penelitian, foto yang berhasil dikumpulkan untuk kedua jenis satwa mangsa tersebut hanya 1 foto. Rusa sambar terfoto pada kamera K16 sedangkan kambing hutan terfoto pada kamera K01. Rusa sambar terfoto di jalur bekas logging pada hutan perbukitan yang masih digunakan oleh masyarakat untuk masuk kedalam hutan. Sepanjang jalur tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa lainnya seperti babi jenggot, kijang, dan napu. (a) Gambar 13. Kambing hutan (a) dan rusa sambar (b) sebagai satwa mangsa utama harimau (b)

13 36 Beruk adalah satwa mangsa yang paling sering tertangkap oleh kamera dan memiliki kelimpahan yang bervariasi pada berbagai kondisi habitat karena tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan yang banyak terdapat tebing batu. Tandatanda keberadaan kambing hutan seperti gua peristirahatan dan shelter banyak ditemukan di sekitar lokasi tebing. (a) (b) Gambar 14. Beruk (a) dan (b) landak adalah satwa mangsa potensial bagi harimau Tapir yang merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau hanya terfoto dua kali pada hutan sub pegunungan, setelah itu tidak pernah tertangkap oleh kamera lagi. Tapir merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau yang memiliki biomassa besar, namun satwa ini dijadikan pilihan terakhir dalam hal pemangsaannya.

14 37 Tabel 8. Daftar jenis satwa yang tertangkap pada masing-masing lokasi kamera selama penelitian No Nama lokal Nama latin Titik kamera Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae 2 Kucing emas Catopuma temminckii 3 Kucing batu Pardofelis marmorata 4 Macan dahan Neofalis nebulosa 5 Beruang madu Helarctos malayanus 6 Ajag Cuon alpinus 7 Musang galing Paguma larvata 8 Musang leher kuning Martes flavigulata 9 Beruk Macaca nemestrina 10 Babi jenggot Sus barbatus 11 Rusa sambar Cervus unicolor 12 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 13 Kijang Muntiacus muntjak 14 Pelanduk napu Tragulus napu 15 Tapir Tapirus indicus 16 Landak Hystrix brachyura 17 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis 18 Kuau raja Argusianus argus 19 Sempidan sumatera Lophura inornata 20 Manusia 21 Unidentified

15 Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Hasil analisis program CAPTURE menyatakan bahwa populasi (N) harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 (4,88) ekor dengan nilai standar error sebesar 1,35. Dengan menggunakan selang kepercayaan 95%, individu harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari berkisar antara 5 11 ekor dengan kepadatan 1,43 3,13 ekor/100 km2. Tabel 9. Hasil dari analisa program CAPTURE Effektif sampling area 351,26 Kriteria model yang digunakan Mh Jumlah Individu (Mt+1) 4 Rata-rata (p-hat) 0,22 Peluang capture 0,8 Populasi (N) dan standar error (SE) 4,88 (1,35) Populasi Cl 95% (individu) 5-11 ekor Kepadatan Harimau/100 km2 1,43-3,13 ekor/100km2 Dengan menggunakan asumsi populasi tertutup, didapatkan nilai rata-rata probablitas capture (p-hat) sebesar 0,22. Nilai ini mempengaruhi besarnya peluang suatu jenis tertangkap oleh kamera dalam satu ulangan. Peluang tertangkapnya suatu jenis oleh kamera sangat dipengaruhi oleh lokasi pemasangan kamera dan perilaku keberadaan suatu jenis (penetap atau penjelajah). Peluang kemungkinan harimau tertangkap oleh kamera pada seluruh occasion adalah sebesar 80%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa mudah untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatra. Tabel 10. Jumlah foto individu harimau pada masing-masing tipe hutan No Jenis satwa Jumlah foto Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Damar Gumanti Meranti Bulan 1 4 Pergerakan individu harimau yang berbeda-beda menyebabkan sebaran lokal harimau pada tiap tipe hutan menjadi berbeda. Jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas berhasil tertangkap kamera yang terletak pada kedua tipe hutan. Berdasarkan tabel 12, sebaran lokal harimau pada hutan perbukitan lebih tinggi daripada hutan sub pegunungan.

16 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) Sex ratio dari individu yang terfoto oleh kamera adalah 1 jantan dan 3 betina. Satu dari betina dewasa tersebut memiliki 2 ekor anak. Hal ini dapat dipastikan karena salah satu dari anak tersebut tertangkap kembali oleh kamera, namun yang lainnya tidak tertangkap kamera lagi sehingga tidak dapat diidentifikasi. Setelah semua individu harimau berhasil diidentifikasi lalu diberi identitas (ID) atau nama harimau yaitu Gumanti, Bulan, Damar, dan Meranti. Tabel 11. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tipe hutan No ID Harimau Jenis Tipe hutan kelamin Hutan sub Hutan perbukitan pegunungan 1 Damar Jantan 2 Gumanti Betina 3 Meranti Betina 4 Bulan Betina 5 Anak Gumanti 2 Unidentified Struktur Umur Proses identifikasi individu harimau dilakukan dari foto hasil camera trap dengan membandingkan 2 sisi tubuh harimau yang tertangkap oleh perangkap, dan diketahui bahwa terdapat 4 ekor harimau sumatera. Berdasarkan tingkat umurnya individu harimau yang terfoto merupakan individu sub-adult hingga dewasa. Individu dewasa berjumlah 3 ekor, sedangkan individu sub adult berjumlah 2 ekor. Individu dengan tingkat umur sub adult merupakan anak dari salah satu individu betina dewasa yaitu Gumanti. Tabel 12. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada masing-masing tipe hutan. Tipe hutan No ID Harimau Kelas umur Hutan sub Hutan perbukitan pegunungan 1 Damar Dewasa 2 Gumanti Dewasa 3 Meranti Dewasa 4 Bulan Sub adult 5 Anak Gumanti 2 Sub adult

17 Wilayah Jelajah Dari hasil analisis dengan menggunakan program ArcGis 9.2 dan ArcView 3.2 diketahui bahwa Damar merupakan individu jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas. Titik kamera yang paling sering menangkap keberadaan Damar adalah K02 dengan jumlah 4 foto. Sedangkan 3 individu lainnya yaitu Gumanti, Meranti, dan Bulan hanya tertangkap di beberapa lokasi kamera saja. Gumanti dan Meranti hanya ditemukan di tiga lokasi kamera, sedangkan Bulan hanya ditemukan di dua lokasi kamera saja. Aktifitas harimau lebih banyak terlihat pada lokasi kamera yang terletak pada tipe hutan perbukitan. Dari keseluruhan harimau yang berhasil diidentifikasi, hampir semua individu harimau memiliki daerah jelajah yang melewati kedua tipe hutan. Berdasarkan peta penyebaran harimau, Damar lebih banyak melewati daerah hutan sub pegunungan. Individu betina (Gumanti dan Meranti) lebih banyak melakukan pergerakan di lokasi hutan perbukitan. Sedangkan jantan dewasa (Damar) melintasi kedua tipe hutan baik perbukitan maupun sub pegunungan. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan melalui foto, individu jantan lebih banyak melintas di hutan sub pegunungan. Individu sub adult (Bulan) terlihat pada kedua tipe hutan, namun berulang kali tertangkap pada lokasi kamera di hutan sub pegunungan. Gambar 15. Damar, individu harimau jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah paling luas

18 Gambar 16. Peta penyebaran lokasi kamera dan wilayah jelajah harimau 41

19 Perilaku Harimau Pola Aktifitas Harian Aktifitas harimau di lokasi penelitian lebih banyak dilakukan pada malam hari (58%) daripada siang hari (42%). Pola aktifitas harimau dapat dikategorikan crepuscular dan diurnal. Hal ini ditandai dengan adanya aktifitas harimau pada pukul dini hari hingga Pada siang hari aktifitas harimau mulai tertangkap oleh kamera pada pukul hingga sore hari pukul Tingkat perjumpaan harimau lebih tinggi pada hutan perbukitan diikuti dengan tingginya tingkat perjumpaan satwa mangsa. Gambar 17. Harimau yang tertangkap kamera sedang melakukan pergerakan pada sore hari dan menjelang pagi Mengasuh Anak Perilaku membesarkan anak ditunjukkan oleh Gumanti yang terlihat masih bersama kedua anaknya. Gumanti tertangkap bersama kedua anaknya pada lokasi kamera K 04. Lokasi kamera terletak di hutan perbukitan pada jalan bekas logging. Tanda-tanda keberadaan induk dan anaknya ini terdeteksi pada dua tempat. Lokasi pertama pada titik kamera, dan lokasi kedua pada tanah lapang di jalan bekas logging. Setelah berpisah dengan induknya, masingmasing anaknya memiliki daerah jelajah sendiri namun masih dalam pengawasan induknya. Bulan, salah satu anak dari Gumanti tertangkap melakukan pergerakan harian sendiri pada lokasi kamera yang tidak terlalu jauh menangkap kehadiran Gumanti.

20 43 Gambar 18. Induk harimau sedang bersama dengan kedua anaknya Gangguan Habitat Harimau Tingkat aktifitas masyarakat yang tinggi didalam maupun dipenggir hutan dapat mempengaruhi kualitas hutan sebagai habitat. Beberapa hasil pengamatan selama di lapangan masih ditemukan sisa-sisa kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam hutan. Kegiatan berburu dan mencari hasil tambang seperti emas merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Minimal dalam waktu satu bulan mereka akan kembali kedalam hutan. Kegiatan berburu masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan memasang jerat. Di beberapa jalur ditemukan jerat-jerat yang terpasang. Jerat dipasang untuk menjerat satwa dari ukuran kecil seperti kancil hingga besar seperti rusa sambar. Kegiatan perambahan dilakukan dengan cara mengkonversi lahan hutan menjadi kebun. Komoditi utama hasil perkebunan dari desa sekitar kawasan hutan Batang hari adalah Kapulaga dan kopi. Kegiatan perambahan juga terjadi akibat perjalanan yang mereka lakukan didalam kawasan. Sisa-sisa sampah plastik dan botol yang mereka bawa dari desa berserakan di sepanjang jalur, sehingga kondisi lantai hutan menjadi telihat kumuh.

21 44 Gambar 19. Jerat yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwaliar di dalam hutan. Kegiatan penebangan liar masih terjadi disekitar pinggiran hutan. Kegiatan penebangan olh masyarakat dilakukan dengan skala kecil namun rutin. Meski rumah bekas kegiatan penebangan sudah tidak dipakai lagi, terkadang masih digunakan untuk tempat bermalam bagi masyarakat yang masuk ke dalam kawasan. Gambar 20. Kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat di pinggir kawasan hutan

22 45 Didalam hutan masih terdapat balok-balok kayu siap angkut yang sudah terbengkalai, karena jalur yang rusak dan pertimbangan biaya maka kayu tersebut dibiarkan begitu saja. Di desa masih terdapat tempat-tempat pengolahan kayu (sawmill) dengan skala kecil. Kayu yang diambil dari hutan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juga untuk memenuhi pesanan dari luar desa. Tabel 13. Jenis gangguan habitat di dalam kawasan hutan Batang hari No Jenis gangguan Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Penambangan liar 2 Perburuan 3 Perambahan 4 Illegal logging Gambar 21. Bangunan sisa kegiatan logging yang sudah tidak digunakan lagi, dan balok kayu yang ttidak sempat terangkut dari dalam kawasan

23 Pembahasan Kondisi Habitat Harimau Kawasan hutan Batang hari memiliki dua tipe hutan yaitu hutan perbukitan dan sub pegunungan. Jenis pohon yang paling banyak ditemui yaitu meranti (Shorea spp) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, pohon dominan yang ada di hutan perbukitan berasal dari famili Dipterocarpaceae, Fabaceae, dan Ebenaceae. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat sangat berguna bagi harimau untuk menghindari panas matahari pada siang hari. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi mengindikasikan struktur komunitas yang mantap dan stabil. Suatu keanekaragaman yang besar mengenai bentuk kehidupan mengisyaratkan terdapat suatu keanekaragaman yang besar juga pada rantai makanan dengan tingkat trofik, yaitu penyediaan makanan dan kebutuhan nutrisi (Kartawinata et al., 1991 dalam Lestari, 2006). Sungai sebagai sumber air bagi satwaliar menjadi tempat yang vital bagi pemenuhan kebutuhan akan air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa ketersedian air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal. Karakteristik sungai yang besar, berbatu, dan panjang menjadi salah satu tempat yang sering di kunjungi oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air. Harimau mengunjungi kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan akan air dan satwa mangsa. Hutan sub pegunungan memiliki kontur yang lebih curam dan terjal karena banyak terdapat tebing batu. Tanda-tanda keberadaan harimau di kawasan hutan Batang hari dapat dijumpai hingga ketinggian 1500 mdpl pada daerah yang berlereng curam. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Harimau dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di kawasan hutan yang relatif dekat dengan aktivitas manusia yang tinggi selama di hutan tersebut masih tersedia cukup satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhannya (Endri, 2006). Lokasi yang berlereng curam dan banyak tebing berbatu merupakan ciri khas dari habitat kambing hutan yang menjadi satwa mangsa harimau. Kambing hutan suka menghuni tebing-tebing yang menghadap ke lembah atau jurang untuk bersembunyi pada siang hari (Endri,2006). Sumber air yang terdapat di lokasi

24 47 hutan sub pegunungan berupa cekungan-cekungan atau sisa kubangan. Sumber air tersebut bersifat temporal, sehingga pemenuhan kebutuhan akan air bagi harimau tidak dilakukan di lokasi ini melainkan pada sungai-sungai besar yang terdapat di hutan perbukitan. Kondisi habitat menjelaskan keadaan harimau dan satwa mangsanya dalam memilih tempat hidupnya. Jika salah satu komponen dalam habitat terganggu, maka baik harimau dan satwa mangsanya akan mengalami pergeseran ekosistem. Berkurangnya satwa mangsa bagi harimau berarti penurunan populasi bagi harimau. Kegiatan pembinaan habitat yang maksimum merupakan langkah awal pencegahan kepunahan harimau Satwa mangsa Kondisi habitat dapat dikenali dari keadaan kelimpahan satwaliar yang dimangsa, sedang pemangsa tidak mencerminkan keadaan habitatnya (Alikodra, 2002). Satwa mangsa harimau berupa satwa-satwa herbivor yang bergantung pada kelimpahan dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan sebagai pakannya. Berdasarkan jumlah foto independent, jenis satwa mangsa yang sering tertangkap kamera adalah beruk (Macaca nemestrina). Populasinya yang menyebar pada kedua tipe hutan membuat satwa ini mudah dijumpai. Satwa ini sering melakukan aktifitas hariannya di atas tanah (terrestrial) walaupun sering di jumpai berada di atas pohon. Perilaku sosial yang bergerombol membuat satwa ini selalu melakukan pergerakan hariannya dalam kelompok. Sistem berkelompok satwa ini juga berfungsi sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan predator (Dinata, 2002). Jumlah kelompok dapat mencapai 40 ekor dan paling sering ditemukan dihutan perbukitan (Payne et al., 2000). Selain beruk jenis satwa mangsa yang memiliki foto independent tertinggi adalah beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari adalah babi jenggot (Sus barbatus). Penyebaran satwa ini tergolong luas namun hanya terkonsentrasi pada hutan perbukitan saja. Satwa ini memiliki perilaku sosial dalam melakukan pergerakan hariannya. Jenis babi ini hidup dalam kelompokkelompok besar dan dalam pergerakan hariannya sering dijumpai secara bergerombol (Riansyah, 2007). Penyebaran kijang terdapat pada kedua tipe hutan, namun tingkat perjumpaan kijang lebih sering pada tipe hutan perbukitan. Kijang merupakan jenis satwa mangsa bertipe browser yang lebih menyukai memakan tunas-tunas daun (Endri, 2006).

25 48 Jenis satwa mangsa alternatif biasanya berukuran kecil dan cenderung mudah didapatkan. Jenis satwa ini menjadi pilihan bagi harimau karena lebih mudah didapat dalam proses pemangsaannya. Jenis satwa mangsa alternatif bagi harimau antara lain adalah pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus). Tapir merupakan satwa mangsa potensial dengan biomassa yang besar bagi harimau. Namun dalam hal pemangsaannya, tapir dijadikan pilihan terakhir dalam daftar menu mangsa harimau. Tapir merupakan satwa nokturnal yang ketika mencari makan selalu bergerak dalam jalur zig-zag (Anonimus, 2004) dan berjalan melalui semak-semak. Perilaku tapir tersebut menyebabkan jejak tapir lebih mudah dijumpai karena secara proporsi tapir mampu memanfaatkan ruang habitat yang lebih luas (Endri, 2006). Tanda keberadaan tapir dan foto hasil perangkap kamera dijumpai pada tipe hutan sub pegunungan. Jenis ini menunjukkan kecenderungan yang signifikan terhadap tipe hutan dengan elevasi yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jejak tapir lebih banyak dijumpai di tipe hutan yang memiliki elevasi lebih tinggi. Meijaard & Van Strien (2003) menyatakan bahwa di Sumatera, tapir sering terdapat di pegunungan karena di daerah pegunungan sering ditemukan daerah yang ada mineralnya seperti saltlick. Jenis satwa mangsa potensial harimau cenderung lebih mudah dijumpai pada hutan perbukitan. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor habitat yang terdapat pada hutan berbukitan lebih lengkap dibandingkan hutan sub pegunungan. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi harimau untuk menjelajah hutan sub pegunungan karena masih terdapat satwa mangsa yang merupakan faktor utama penunjang habitat. Adanya gangguan yang banyak terjadi di hutan perbukitan membuat harimau menghabiskan waktu di hutan sub pegunungan.

26 Cover Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki lapisan strata yang cukup lengkap. Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m),. Kondisi strata tajuk pohon yang berlapis tersebut menaungi lantai hutan dari cahaya matahari langsung sehingga menciptakan suasana hutan yang teduh dan sejuk pada waktu siang hari (Endri, 2006). Pada hutan perbukitan vegetasi pembentuk tajuk didominasi oleh jenis meranti (Shorea spp.) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Tipe hutan ini memiliki tingkat strata A dan B. Kondisi penutupan tajuknya yang berlapis mulai dari jarang pada jalur bekas logging hingga rapat pada jalur hutan primer. Jalur bekas logging yang terdapat pada tipe hutan perbukitan memiliki fungsi cover sebagai tempat membesarkan anak dan berburu. Hal ini diperkuat dari foto hasil kamera trap dan juga jejak tapak kaki yang banyak ditemukan disekitar daerah tersebut selama beberapa kali pengamatan. Walaupun penutupan tajuknya jarang, namun disepanjang jalan terdapat alang-alang yang biasa digunakan dalam berburu. Kondisi tajuk yang terbuka memudahkan harimau dalam melakukan pengintaian, dan kondisi alang-alang tang cukup rapat sangat efektif untuk menyamarkan kehadirannya. Harimau membutuhkan tajuk hutan yang rimbun untuk melindunginya dari sengatan matahari. Harimau juga menghindari hutan yang terbuka karena badannya yang besar dapat dengan mudah terlihat. Untuk itu harimau membutuhkan vegetasi hutan sebagai cover, namun juga menghindari menerobos semak belukar yang rapat (Endri, 2006). Semak sering digunakan untuk menyamarkan tubuh harimau dalam perburuan dan juga untuk menghabiskan sisa makanannya. Karakteristik lantai hutan pada lokasi ini merupakan tanah yang tertutup oleh serasah. Pada lantai hutan, harimau lebih menggunakannya sebagai tempat beristirahat (shelter). Serasah daun pada lantai hutan mampu menghangatkan suhu tubuh harimau dari suhu tanah yang lembab dan dingin (Riansyah, 2007). Hutan sub pegunungan di kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer. Didalamnya masih banyak terdapat pohon-pohon berdiameter besar dan memiliki tinggi di atas 25 m. Jenis pohon yang mendominasi pada tipe hutan ini adalah meranti. Penutupan tajuknya yang rapat membuat sinar matahari sedikit menyentuh lantai hutan. Kondisi ini membuat keadaan di dalamnya lembab, lantai hutan yang tertutup lumut tebal, dan juga menyebabkan batang pohon

27 50 ditumbuhi lumut dan selalu dalam kondisi basah. Fungsi cover pada tipe hutan sub pegunungan bagi harimau lebih kepada pemenuhan kebutuhan tempat berlindung. Harimau melintasi daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada hutan perbukitan juga karena terdapat satwa mangsa didalamnya. Menurut van Steenis (2006) menyebutkan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi. Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Primack et al., (1998) menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Kelimpahan jenis satwa mangsa utama pada lokasi ini memang tergolong rendah, namun tidak berarti pada jumlah jenis yang ditemukan Air Air menjadi komponen habitat yang sangat penting bagi harimau untuk memenuhi kebutuhannya untuk, berendam, mandi dan membersihkan tubuhnya karena satwa ini merupakan satwa yang bersih. Perilaku tersebut dikarenakan harimau sebagai satwa pemburu aktif menyebabkan harimau mempunyai kadar metabolisme dan suhu badan yang tinggi (Yong, 2005). Karanth (2001) menyatakan bahwa harimau merupakan jenis yang suka air dan perenang yang handal. Sungai yang dapat di temukan di lokasi penelitian dan mengalir sepanjang tahun adalah Batang hari, Anduring, Gumanti, dan Batarum gadang. Hutan perbukitan memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun berupa sungai. Sungai-sungai yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki karakter fisik sungai yang hampir sama yaitu bersubstrat tanah berpasir. Dari keseluruhan sungai yang ada hanya sungai Batang hari yang memiliki air yang keruh. Substratnya yang berupa tanah lempung berpasir membuat sungai ini terlihat keruh. Sunquist (1981) menemukan bahwa harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan. Menurut Lestari (2006) karakteristik sumber air yang dipakai oleh harimau secara umum memiliki warna keruh sampai jernih, ph tergolong asam yaitu enam, tepian sumber air yang landai dan teduh, serta dekat dengan jalur satwa mangsa. Contoh sumber air yang tidak jernih airnya yang dijumpai di lokasi

28 51 penelitian adalah kubangan dan cekungan yang terisi air hujan ketika hujan. Sumber air tersebut tidaklah jernih namun tetap digunakan oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air pada hutan sub pegunungan. Berdasarkan fakta tersebut diduga harimau juga menggunakan sumber air yang sama. Hutan sub pegunungan tidak memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai. Lokasinya yang lebih banyak berada pada topografi tebing berbatu yang curam menyebabkan sumber air jarang ditemukan. Pada lokasi ini sumber air hanya berupa mata air yang sangat kecil dan bersifat temporary atau sementara Karakteristik habitat harimau Cover Cover bagi harimau adalah tempat yang digunakan sebagai tempat berlindung dari panas sinar matahari. Stuktur vegetasi hutan sebagai salah satu bentuk pelindung, berfungsi sebagai tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hal ini dapat dilihat dari kondisi kerapatan vegetasi yang berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan (Alikodra, 1990). Kondisi penutupan tajuk yang beragam pada tipe semua hutan dapat memenuhi segala kebutuhan utama bagi harimau. Hal ini terkait dengan kebutuhan harimau terhadap sinar cahaya yang akan mempengaruhi aktivitas pergerakan hariannya. Pada siang hari, harimau akan menghabiskan waktunya untuk berteduh dan bernaung pada pepohonan yang rimbun. Endri (2006) menyatakan hutan yang disukai harimau adalah hutan dengan tutupan tajuk yang rimbun tetapi lantai hutannya tidak dipenuhi oleh semak belukar atau tumbuhan berduri yang terlalu rapat. Kondisi penutupan tajuk pada jalan bekas logging dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan harimau akan cover sebagai pelindung dari panas matahari. Pada lokasi ini harimau cenderung menggunakan cover untuk berburu dan istirahat. Pemanfaatan cover oleh harimau dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu pemanfaatan penutupan tajuk atas (overstory), penutupan semak (understory), dan penutupan lantai hutan (ground story) (Alikodra, 2002). Pemanfaatan understory digunakan pada aktifitas berburu yang bertujuan untuk menyamarkan tubuhnya. Kondisi semak belukar yang tidak terlalu rapat merupakan tempat yang disukai oleh harimau ketika berburu. Harimau

29 52 merupakan satwa karnivora yang menangkap mangsanya dengan teknik mendekat secara diam-diam dari dalam semak-semak atau alang-alang dan kemudian langsung menyergapnya dalam sekali terkam (Sangkhala, 2004). Tipe hutan perbukitan memiliki tingkat kerapatan tajuk yang tinggi sehingga kondisi semak belukar atau tumbuhan bawah tidak terlalu rapat (Rudiansyah, 2007). Sedangkan bentuk ground story yang digunakan oleh harimau berupa serasah yang berguna untuk menghangatkan tubuh. Cover bagi beberapa jenis satwa mungkin berbeda dengan cover untuk jenis satwa liar lainnya. Pada lokasi ini, kondisi ground story berupa lumut yang tebal dan serasah (Suryana, 2004). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, bentuk cover yang digunakan oleh harimau sebagai tempat berkembang biak dan membesarkan anak yaitu berupa bekas jalan logging yang telah tertutup semai dan alang-alang. Lokasi hutan sub pegunungan merupakan hutan peralihan menuju hutan pegunungan. Pohon-pohon yang terdapat pada tipe hutan ini memiliki batang yang tertutup lumut dan selalu dalam kondisi basah. Van Steenis (2006) mengatakan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi dan semakin kecil ukuran vegetasi. Faktor elevasi atau ketinggian tempat memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang sering terjadi di tipe hutan perbukitan. Hutan sub pegunungan masih dalam kondisi sangat baik daripada tipe hutan perbukitan yang sering dilalui oleh masyarakat. Harimau sumatera memiliki kecendrungan tidak melalui semak belukar pada hutan sub pegunungan dalam pergerakannya dan memilih jalur yang ada seperti bekas jalur yang dibuat oleh manusia dan binatang. Hal ini dikarenakan pada semak belukar yang rapat juga banyak terdapat jenis-jenis rotan dan pandan yang berduri (Riansyah, 2007). Udara yang sejuk dan suhu yang rendah membuat lokasi ini selalu dalam kondisi lembab. Tipe hutan sub pegunungan memiliki banyak tebing batu. Tempat tersebut sering dijadikan cover dan shelter bagi kambing hutan.

30 Satwa mangsa Mangsa yang cukup banyak, air tersedia dan tanaman pelindung (cover) merupakan tiga hal yang berpengaruh penting sebagai faktor ekologi harimau (Grzimek, 1975). Harimau memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Ketersediaan mangsa yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki penyebaran yang merata memungkinkan harimau untuk tidak terkonsentrasi pada satu daerah saja yang memiliki tingkat konsentrasi keberadaan mangsa. Mangsa yang beragam memiliki dampak positif bagi kelangsungan harimau karena tidak akan bergantung pada keberadaan mangsa utama saja (Riansyah, 2007). Satwa mangsa utama harimau berasal dari jenis ungulata berukuran besar, seperti rusa sambar, babi hutan, kijang, dan kambing hutan. Akan tetapi tidak jarang pula harimau memangsa jenis satwa yang berukuran kecil seperti beruk, landak, dan kancil. Jenis satwa mangsa utama harimau adalah babi hutan (Suryana, 2004). Harimau lebih menyukai mangsa dengan biomass diatas 20 kg sedangkan macan dahan menyukai dengan biomass lebih kecil (Karanth & Sunquist 1995; Sunquist et al. 1999). Keragaman dan kelimpahan jenis satwa mangsa pada satu lokasi dapat mengubah preferensi pemangsaan harimau (Sunquist et al. 1999). Harimau juga cenderung akan memangsa jenis dengan biomass kecil bila keberadaan satwa mangsa dengan biomass besar sudah berkurang. Pada hutan perbukitan tingkat perjumpaan satwa mangsa tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan faktor pendukung ekologis tersedia dengan baik, terutama air sebagai penunjang kehidupan satwa dan lokasi mengasin yang terletak dipinggir sungai. Jenis satwa mangsa yang dapat ditemukan pada tipe hutan perbukitan adalah beruang madu, babi jenggot, beruk, kijang, rusa sambar, dan landak. Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya,

31 54 baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas. Hutan sub pegunungan yang cenderung memiliki elevasi yang lebih tinggi menyebabkan tingkat perjumpaan satwa mangsa lebih rendah dari tipe hutan perbukitan. Primack et al., (1998) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada tipe hutan perbukitan. Satwa mangsa yang ada pada tipe hutan ini adalah beruang madu, beruk, kambing hutan, kijang, pelanduk napu, tapir dan landak. Babi merupakan hewan yang mudah berkembang biak; dengan pengembang-biakan pertama di usia dini dan jumlah per kelahirannya yang besar, babi dapat bertahan hidup dengan memakan tanaman, sehingga mereka merupakan menu yang ideal bagi harimau (Mauget, 1991 dalam Sunquist et al., 1999). Penyebarannya yang luas dan jumlahnya yang melimpah membuat satwa ini menjadi sasaran utama bagi harimau. Beberapa jenis satwa dijadikan alternatif mangsa jika mangsa berukuran besar sulit ditemukan seperti beruang dan tapir. Pada dasarnya satwa karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan daripada kualitasnya, juga selalu memilih jenis makanan yang tersedia dan mudah untuk dikuasai (Lestari, 2006), dan tidak seperti hewan karnivora yang lainnya, kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat mengganti pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitchener, 1991). Kijang dan rusa memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat menyesuaikan dengan tipe hutan tempat tinggalnya (Endri, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Riansyah (2007) menyatakan bahwa pada saat tingkat perjumpaan kijang meningkat juga diikuti oleh peningkatan tingkat perjumpaan harimau. Penyebaran kijang di kawasan hutan Batang hari meliputi kedua tipe hutan dan selalu diikuti dengan kemunculan harimau. Apabila populasi kijang seimbang maka kijang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan (Seidensticker et al., 1999). Griffiths (1996) mengatakan skenario kijang muncak di Taman Nasional Gunung Leuser memberi jaminan tentang makanan untuk populasi harimau yang berkepadatan rendah (1 ekor individu harimau/100 km 2 ). Menurut Seidensticker et al., (1999), pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar mangsa dari harimau sumatera adalah kijang dan

32 55 kadang-kadang kambing hutan. Adanya jenis satwa mangsa lain seperti babi dan rusa dapat memungkinkan terjadinya pengembangbiakan kijang secara berkala (Seidensticker, 1999). Hasil penelitian dari Karanth (1991) dalam Seidensticker (1999) menunjukkan bahwa penyusutan mangsa memiliki efek yang kuat terhadap dinamika populasi harimau. Oleh karena itu penyusutan mangsa mungkin menjadi faktor utama menyusutnya populasi harimau liar. Potensi untuk mempertahankan populasi harimau yang kecil tetapi produktif tergantung terutama pada usaha mempertahankan kepadatan mangsa yang tinggi. Ungulata besar yang merupakan mangsa utama harimau memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada hutan tropis yang sering diganggu oleh manusia. Oleh karena itu penyusutan habitat secara fisik bukanlah kendala bagi pemulihan populasi harimau di sebagian besar wilayah (Seidensticker & McDougal, 1993; Karanth & Sunquist, 1995). Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1984). Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997).

33 Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Sejak pengembangannya pada tahun 1980, camera trap menjadi alat utama bagi kegiatan monitoring satwa cryptic dan juga digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut dengan metode capture recapture (Carbone et. al, 2000 dan Karanth & Nichols, 2002). Jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi selama sembilan periode sampling (satu periode sampling = sepuluh hari) adalah 4 individu. Model yang digunakan dalam program CAPTURE adalah Mh dengan harapan adanya variasi kemungkinan tertangkap pada masing-masing individu (Karanth & Nichols, 2003). Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 11 ekor dengan total luas ekektif sampling area 351,26 km 2. Sehingga diperoleh kepadatan harimau di kawasan hutan Batang hari dengan selang kepercayaan 95% yaitu (X + SE) 1 3 ekor (1,4 3,1 + 1,35% individu harimau/100 km2). Estimasi ini mengatakan bahwa terdapat satu individu harimau per 100 km2. Berdasarkan analisis tersebut kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang Hari tergolong rendah jika dibandingkan dengan kepadatan harimau di Ipuh-Seblat dengan luas efektif sampling area yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu 2 4 ekor individu/100 km2 (Riansyah, 2007). Akan tetapi hasil ini tidak berbeda jauh dengan Kawanishi (2002) yang melakukan penelitian di kawasan hutan tropis Taman Negara dengan luas efektif sampling area 338,2 km2 (X + SE) (1,18 + 0,54% individu harimau/100 km2). Namun harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1-3 ekor harimau dewasa/100 km² memiliki daerah jelajah yang luas sekitar 180 km² untuk jantan dewasa (Linkie, 2006b). Selanjutnya Linkie (2005b) mengatakan kamera trap bekerja lebih baik pada wilayah yang mempunyai kepadatan harimau yang tinggi sedangkan pada wilayah yang dengan kepadatan yang rendah seperti hutan pegunungan atau hutan dengan tingkat perburuan yang tinggi, harimau lebih baik dimonitor dan selanjutnya dilakukan perkiraan kelimpahan relatif. Periode sampling selama tiga bulan dengan metode capture-markrecapture untuk estimasi jumlah populasi harimau tidak melanggar asumsi populasi tertutup (Nichols & Karanth 2002). Model ini dalam analisis populasi lebih disukai dengan pertimbangan ketepatan estimasi dan kesempurnaan penduga (estimator robustness) (Karanth et al 2004). Estimasi jumlah populasi secara cepat dalam penelitian tentu dengan pertimbangan waktu dan kecukupan

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Pergerakan Harimau Translokasi Berdasarkan GPS Collar Berdasarkan data GPS Collar yang dipakai, pergerakan harimau translokasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Gunardi Djoko Winarno dan Revi Ameliya Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Abstract

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Status Kawasan Kawasan ini ditunjuk berdasarkan Besluit Van Der Gouverneur General Van Netherlanch Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.

I. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB III ANALISA. Lokasi masjid

BAB III ANALISA. Lokasi masjid BAB III ANALISA 3.1. Analisa Tapak 3.1.1. Lokasi Lokasi : Berada dalam kawasan sivitas akademika Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang KDB : 20% KLB : 0.8 GSB : 10 m Tinggi Bangunan : 3 lantai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA Materi Penyebaran Komunitas Fauna di Dunia Keadaan fauna di tiap-tiap daerah (bioma) tergantung pada banyak kemungkinan yang dapat diberikan daerah itu untuk memberi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01 0 32

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3).

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). B. Alat dan Objek Penelitian

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT RHAMA BUDHIANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Mamalia Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Distribusi populasi babi hutan meliputi benua Eropa, Afrika Utara, Mediterania

II. TINJAUAN PUSTAKA. Distribusi populasi babi hutan meliputi benua Eropa, Afrika Utara, Mediterania II. TINJAUAN PUSTAKA A. Distribusi dan Klasifikasi Distribusi populasi babi hutan meliputi benua Eropa, Afrika Utara, Mediterania (termasuk pegunungan Atlas di Afrika Tengah) dan Asia hingga daerah paling

Lebih terperinci

Disiapkan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Walhi Jakarta, 13 Mei 2013

Disiapkan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Walhi Jakarta, 13 Mei 2013 Usulan Perubahan Fungsi menjadi Hutan Lindung DAS Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara Disiapkan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Walhi

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme

Lebih terperinci

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci