SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK"

Transkripsi

1 SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK Diajukan oleh : Chanritika Indah Pratiwi NPM : Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Penyelesaian Sengketa Hukum UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2014 i

2

3

4 HALAMAN MOTTO Segala perkara dapat kutanggung didalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Filipi 4:13) iv

5 HALAMAN PERSEMBAHAN Penulisan Hukum / Skripsi ini ku persembahkan untuk yang paling tercinta: Tuhan Yesus Kristus Papiku Salamat Simanjuntak, S.H., M.H. dan Mamiku Rolan Napitupulu, S.Pd. yang tersayang. Abangku Mc Xaver, S. TP. dan adikku Rouli Aprilicya yang terkasih. v

6 HALAMAN KATA PENGANTAR Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih sayang serta penyertaan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi dengan judul: Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Terhadap Kejiwaan Anak sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang turut memberikan bantuan, semangat, dorongan, bimbingan dan motivasi hingga akhirnya Penulisan Hukum ini dapat selesai dengan baik. Oleh kerena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa membimbing, melindungi, menyertai serta memberikan petunjuk dan jalan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 2. Bapak Dr. G. Sri Nurhartanto, SH, L.LM, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 3. Bapak Dr. V. Hari Supriyanto, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing akademik yang telah mengarahkan penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 4. Ibu Prof. Dr. Dra. MG. Endang Sumiarni., SH. M. Hum, selaku dosen pembimbing skripsi dan penguji sidang skripsi yang telah meluangkan vi

7 waktu, tenaga, dan pikirannya serta dengan penuh kesabaran telah membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Bapak Dr. G. Widiartana, S.H., M.Hum. selaku tim penguji sidang skripsi yang telah memberikan waktu, pikiran, dan ilmu. 6. Bapak Ch. Medi Suharyono, S.H., M.Hum. selaku tim penguji sidang skripsi yang telah memberikan waktu, pikiran, dan ilmu. 7. Bapak dan Ibu dosen, serta seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang telah membimbing dan membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 8. Ajun Komisaris Polisi Jabaran Kepala Unit VI Sat Reskrim Polresta Yogyakarta Bapak Neko Budi Andoyo, S.H., atas wawancara yang diberikan dalam rangka mendukung penulisan skripsi ini, serta sudah melayani dengan baik dan telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 9. Ibu Pihasniwati di Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa atas bantuannya dalam memberikan informasi dan telah memberikan semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 10. Kepada Kedua Orang Tua Penulis tercinta yaitu Salamat Simanjuntak, S.H., M.H. dan Rolan Napitupulu, S.Pd. yang senantiasa memberikan semangat, doa, dukungan lainnya baik materiil maupun imateriil. vii

8 11. Kepada abangku Mc Xaver, S. TP. dan adikku Rouli Aprilicya yang senantiasa memberikan dukungan, masukan, doa dalam menyusun penulisan skripsi ini. 12. Kepada kekasihku Septian Nur Cahyo yang sudah memberi doa, masukan, menemani bertemu dan mencari narasumber, serta semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 13. Kepada teman begadangku yang setia Adelson Gultom yang senantiasa sabar dan selalu memberi semangat, doa, dan dukungan serta menamani penulis disaat suka maupun duka dalam proses penulisan skripsi ini. 14. Sahabat-sahabat yang saya sayangi (Dewi, Ani, Floren, Dita, Funny, Priska, Marco, Atied, Aik, Adi, Yayas, Aan, Irwan, Marlon) yang selalu saling memberikan dukungan satu sama lain supaya sama-sama sukses. 15. Teman-teman KKN 65 Pedukuhan Tritis yang paling kece (Cahyo, Inka, Fidel, Herry, Ana, Aceng, dan Gloria) yang memberikan semangat, dukungan, dan canda tawa setiap berkumpul. 16. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta khususnya angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap agar penulisan hukum ini dapat berguna bagi semua pihak. Penulis menyadari akan kekurangan, untuk itu penulis bersedia mendapatkan masukan atau saran yang membangun untuk penyempurnaan penulisan hukum. Semoga Tuhan Yesus Kristus selalu Menyertai dan Memberkati Kita. viii

9 SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku. Yogyakarta, 24 Juni 2014 Yang menyatakan, Chanritika Indah Pratiwi ix

10 ABSTRACT The thesis entitled The Impact of the Detention on Investigation Level towards Child s Psychic. The objective of this writing process is to know the impact of the detention on investigation level that can influence child s psychic. This writing utilized normative law research type, which is a research that focuses on positive law norm and learn legislative rules related to detention impact on investigation level towards child s psychic. Of the writing, it can be concluded that the impact seen from the detention on the investigation level is negative emotional condition such as anxiety, fear, confusion, powerless, depression, until the most serious level, which is mental disorder. Keywords: detention, investigation, psychic, child x

11 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN. HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN.. ABSTRACT... DAFTAR ISI. i ii iii iv v vi ix x xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah.. 7 C. Tujuan Penelitian 7 D. Manfaat Penelitian... 8 E. Keaslian Penelitian 9 F. Batasan Konsep G. Metode Penelitian.. 13 H. Sistematika Penulisan Skripsi 21 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Pengertian Dampak Penahanan Pengertian, Peran, dan Tugas Penyidikan xi

12 B. Tinjauan Umum Tentang Dampak Penahanan Terhadap Kejiwaan Anak Pengertian Kejiwaan Anak Dampak Penahanan Terhadap Kejiwaan Anak C. Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Terhadap Kejiwaan Anak BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran.. 66 DAFTAR PUSTAKA. 67 LAMPIRAN xii

13 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlihat dari tingginya angka kelahiran yang harus menjadi perhatian serius untuk memberikan kebutuhan, perlindungan, dan kesejahteraan kepada anak-anak. Anak membutuhkan perhatian khusus pada masa-masa perkembangannya yang pada masa perkembangan seorang anak dengan mudah mempelajari apa yang mereka lihat dan dengarkan dari lingkungan terintimnya yaitu keluarga. Keluarga merupakan kelompok masyarakat yang terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak yang akan mempengaruhi perilakunya. 1 Anak juga merupakan pribadi-sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai, ingin diakui dan dihargai. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendapatkan tempat dalam kelompoknya. Hanya dalam komunikasi dan relasi dengan orang lain (guru, pendidik, pengasuh, orang tua, anggota keluarga, kawan sebaya, kelompoknya, dan lain-lain) seorang anak dapat berkembang menuju kedewasaan. 2 1 Nashriana, S.H., M.Hum., Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2011, hlm DR. Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Mandar Maju, Bandung: 1999, hlm. 43.

14 2 Anak manusia kodratnya adalah makhluk sosial dapat dibuktikan pula bahwa ketidakberdayaannya (terutama pada usia bayi dan kanak-kanak) menuntut adanya perlindungan dan bantuan. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat paripurna. 3 Perhatian terhadap anak sudah lama sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental, dan spritualnya secara maksimal. 4 Anak merupakan harapan bagi orang tua, bangsa, dan negara karena mereka yang nantinya menjadi penerus bangsa. Mengingat besarnya harapan terhadap anak, maka pantas jika hak hidup yang dimiliki oleh seorang Anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya harus dijamin, tidak hanya oleh orangtua tetapi juga oleh negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amademen Keempat bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 5 Anak Indonesia dalam arti luas merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa Indonesia. Anak merupakan subyek dan obyek pembangunan. 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Lembaran Negara Nomor 3 Pasal 1 angka 1 mengatur bahwa Anak adalah orang yang dalam perkara 3 ibid 4 Darwin Prinst, S.H., Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 2003, hlm Undang-Undang Dasar 1945, Giri Ilmu, Solo, hlm Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta: 1985, hlm. 123.

15 3 Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan) belas tahun dan belum pernah kawin. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Bukan hanya pengertian anak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, hak-hak anak juga telah diatur secara universal dengan disahkannya Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun Dalam substansi Konvensi Hak Anak melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat atau dimiliki anak sebagai manusia dan hak-hak anak sebagai anak yang memerlukan perlakuan dan perlindungan khusus. 7 Materi hukum mengenai hak yang melekat secara tradisional dikelompokkan dalam empat kategori yaitu hak terhadap kelangsungan hidup, hak terhadap perlindungan, hak untuk tumbuh kembang, dan hak untuk berpartisipasi. 8 Banyak peraturan perundang-undangan yang memuat tentang hak-hak anak, namun tetap banyak anak di Indonesia yang masih mengalami penindasan dan ketidaksejahteraan, sehingga anak-anak berpotensi meningkatkan kenakalan anak. Mencari sebab anak melakukan kenakalan akan sangat membantu dalam memberi masukan tentang apa yang sebaiknya diberikan terhadap anak 7 Muhammad Joni, S.H dan Zulchaina Z. Tanamas S.H., Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung: 1999, hlm Muhammad Joni, S.H dan Zulchaina Z. Tanamas S.H., Ibid. hlm. 35.

16 4 yang telah melakukan kenakalan. Artinya, berbicara tentang kenakalan anak tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motivasi sehingga seorang anak melakukan kenakalan, dan pada akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang anak dalam memberi reaksi atas kenakalannya. 9 Motivasi anak menjadi nakal dapat dibedakan menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik sangat berkaitan dengan pribadi dan tumbuh kembangnya seorang anak seperti faktor intelegensi, faktor umur, faktor kelamin, dan faktor kedudukan si anak dalam keluarga. Hal yang menjadi motivasi ektrinsik lebih berkaitan dengan lingkungan tumbuh kembang si Anak yang mempengaruhi kehidupan sosialnya, termasuk diantaranya adalah faktor lingkungan rumah tangga anak dibesarkan, faktor lingkungan pergaulan anak, dan faktor media massa yang banyak tidak mendidik. Tidak adanya penanganan dari buruknya faktor-faktor tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan anak dan terutama kejiwaannya, dan tidak dapat dihindari bahwa anak dapat melakukan tindak pidana yang juga dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini bukan tidak mungkin seorang anak dapat berhadapan dengan hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh dirinya. Yang harus diperhatikan disini yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh anak berkaitan dengan persoalan kedewasaan yang belum dicapai. Kedewasaan berintikan tanggung jawab. 10 Unsur kedewasaan merupakan salah satu unsur pemidanaan yang penting untuk menentukan subjek hukum 9 Nashriana, S.H., M.Hum., Op. cit. hlm Drs. B. Simandjuntak, S.H., Dasar-Dasar Psychologi-Kriminil, Tarsito, Bandung: 1975, hlm. 101.

17 5 pidana. Suatu perkara dapat diproses dan diadili secara hukum apabila pelakunya mampu dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukannya. 11 Anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan dan/atau perbuatan yang dilakukannya, sehingga belum mampu mempertanggungjawabkan tindakannya termasuk tindakan yang menyimpang dan/atau melanggar hukum, ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir dan bertindak. Tanpa disadari, anak yang berhadapan dengan hukum tentu saja menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si Anak tersebut. Dengan memperlakukan anak sama dengan orang dewasa sangat dikhawatirkan si Anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak untuk mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak pidana dikenal sebagai Anak nakal. Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak. Menghadapi dan menanggulanggi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, karena itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara spesifik 11 Drs. Bunadi Hidayat, S.H., M.H., Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, PT Alumni, Bandung: 2014, hlm. 33.

18 6 terkait dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap Anak yang melakukan perbuatan pidana. Menjatuhkan penahanan terhadap anak adalah upaya hukum yang bersifat ultimum remedium yang artinya penahanan terhadap anak merupakan upaya terakhir setelah tidak ada lagi upaya lain yang dapat menguntungkan untuk si anak. Penahanan terhadap anak harus memperhatikan pengaturan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa: 1. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. 2. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. 3. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan dewasa. Untuk memperbandingkan dengan Undang-Undang Pengadilan Anak, penahanan terhadap seorang anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Bab III Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) bahwa: 1. Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. 2. Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. 3. Syarat penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Pengaturan terhadap penahanan terhadap anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jauh lebih baik

19 7 dibandingkan peraturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Apabila ditelusuri, alasan utama pengganti undang-undang tersebut dikarenakan Undang-Undang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat karena secara komprehensif belum memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. 12 Yang lebih penting untuk diperhatikan yaitu kejiwaan anak tersebut bila ditempatkan di rumah tahanan untuk penyidikan. Anak harus terpisah oleh orangtuanya dan bertemu hingga beradaptasi dengan orang baru. Berada dalam situasi seperti itu bukan tidak mungkin kejiwaan seorang anak akan sangat terganggu, untuk itu diperlukan perhatian khusus untuk anak pada saat penyidikan. Berdasarkan uraian tersebut dengan membatasi penelitian di Kota Yogyakarta, maka penulis menulis skripsi dengan judul dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan Rumusan Masalah: bagaimana dampak penahanan di tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan Rumusan Masalah, tujuan dari penelitian ini yaitu : untuk mengetahui dampak dari penahanan di tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. 12 Dr. Lilik Muladi, S.H., M.H. dalam Seminar Nasional Menyongsong Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Seraut Wajah Terhadap Eksistensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Normatif, Praktik, dan Permasalahannya, Penyelenggara Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta bekerjasama dengan YPKK DIY, LP3NI, dan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, 26 Maret 2013.

20 8 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Manfaat Obyektif Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta dampak pelaksanaan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana dan pentingannya melihat kejiwaan anak yang ditahan. 2. Manfaat Subyektif a. Bagi penyidik Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penegak hukum khususnya Penyidik POLRI untuk mempertimbangkan dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. b. Bagi pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. c. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan wawasan kepada masyarakat lebih memahami memberikan kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak agar anak tidak melakukan perbuatan melanggar hukum sehingga harus berhadapan dengan sistem peradilan, maka masyarakat diharapkan peka dan bekerja

21 9 sama memberikan pendidikan sejak dini terhadap anak tentang berperilaku sesuai norma yang ada didalam masyarakat. d. Bagi penulis Hasil penelitian diharapkan dapat lebih memperdalam pengetahuan penulis mengenai dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. E. Keaslian Penelitian Penulisan hukum ini merupakan hasil karya penulis, dan bukan merupakan duplikasi atau plagiasi dari karya penulis lain. Penelitian yang penulis teliti berjudul Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Terhadap Kejiwaan Anak belum pernah ditulis sebelumnya. Letak kekhususannya adalah untuk mengetahui dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. Adapun judul penulis yang mirip adalah : 1. Stefi Pritasari, Nomor Mahasiswa , Fakultas Hukum Tahun 2013, Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak Dalam Proses Penyidikan. Tujuan dari penelitian hukum adalah untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap tersangka anak dalam proses penyidikan serta hambatan yang dihadapi Kepolisian dalam memberikan perlindungan hukum terhadap tersangka anak dalam proses penyidikan. Hasil penelitian adalah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak Penyidik meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS) dan apabila perlu juga

22 10 dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.serta faktor yang menjadi hambatan yaitu datang dari pihak Penyidik antaranya kurangnya profesionalisme, pengetahuan dan pengalaman Penyidik, dan pihak tersangka anak yang tidak mau diajak bekerja sama karena keadaan psikologi anak yang tertekan. 2. Enid Yustiono Barkah, Nomor , Fakultas Hukum Tahun 2010, Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul Perlakuan Dan Kendala Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Proses Peradilan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami jaminan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam proses peradilan serta faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan. Hasil penelitian adalah perlindungan yang diberikan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu pengembalian kepada orang tua masing-masing tanpa perlu melalui proses persidangan. Faktor kendala yang dihadapi dalam proses peradilan terhadap anak pelaku tindak pidana yaitu dalam proses penyidikan, anak bersikap diam dan tidak adanya pendampingan dari psikolog anak pada waktu penyidikan. Dalam proses penuntutan, kurangnya profesionalisme, pengetahuan dan pengalaman. Dan dalam proses peradilan, kurangnya sarana dan prasarana untuk melakukan persidangan anak.

23 11 3. Yohanes Eko Saputro, Nomor Mahasiswa , Fakultas Hukum Tahun 2010, Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul Penyidikan Terhadap Anak Pelaku Perbuatan Cabul Di Wilayah Hukum Poltabes Yogyakarta. Tujuan dari penelitian hukum adalah untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap anak pelaku perbuatan cabul di wilayah hukum poltabes Yogyakarta serta kendala yang dihadapi penyidik dalam melakukan penyidikan. Hasil penelitian adalah dalam proses penyidikan terhadap anak, penyidik harus merahasiakan data yang berkaitan dengan anak tersebut, hal ini untuk upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak dan hak anak sebagai tersangka diperhatikan serta tidak ada penekanan. Kendala yang dihadapi yaitu anak tidak mau memberiakn keterangan di karenakan anak merasa asing terhadap penyidik dan ruangan yang digunakan untuk memeriksa anak. Berbeda dengan ketiga hasil penelitian di atas, penelitian penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memperoleh data mengenai dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. Penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian di atas dapat dilihat bahwa peneliti juga membahas mengenai kejiwaan anak, adanya dampak dari penahanan pada tingkat penyidikan pastinya akan mempengaruhi kejiwaan seorang anak yang seharusnya anak masih harus dalam perlindungan orang tuanya dan tingkah laku seorang anak yang belum dewasa harusnya menjadi tanggungjawab kedua orangtuanya. Apapun pelanggaran maupun tindakan

24 12 yang dilakukan seorang belum seharusnya anak tersebut bertanggungjawab. F. Batasan Konsep 1. Dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. 2. Penahanan menurut Pasal 1 angka21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 3. Penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Angka 1 Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981 adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. 4. Kejiwaan yaitu tingkat kecerdasan, sifat dan perilaku, serta kepribadian seperti emosi, adaptasi, dan minatnya terhadap sesuatu. 5. Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997adalah adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

25 13 Dengan demikian yang dimaksud dengan dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif dari penempatan tersangka di tempat tertentu oleh penyidikuntuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi yang mempengaruhi sifat dan perilaku, serta kepribadian dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma hukum positif dan dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan berkaitan dengan permasalahan hukum yang diteliti. 2. Sumber Data Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder atau bahan hukum sebagai data utama, yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer Sumber data yang berupa peraturan perundang-undangan, berupa: 1) Undang-Undang Dasar 1945 Bab Pasal 28B Ayat (2) tentang hak anak atas hidup, tumbuh, berkembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

26 14 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 tentang pengertian penyidik, Pasal 1 angka 2 tentang pengertian penyidikan, Pasal 1 angka 3 tentang penyidik pembantu, Pasal 1 angka 4 tentang pengertian penyelidik, Pasal 1 angka 5 tentang pengertian penyelidikan, Pasal 1 ayat 21 tentang pengertian penahanan, Bab IV Penyidik Dan Penuntut Umum Pasal 4 tentang pejabat yang dapat menjadi penyelidik, Pasal 5 tentang wewenang dan tindakan penyelidik, Pasal 6 tentang pejabat yang dapat menjadi penyidik, Pasal 7 tentang wewenang penyidik, Pasal 8 tentang tugas penyidik, Pasal 9 tentang penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang dan tugas masing-masing sesuai di daerah hukum di mana ia diangkat,pasal 10 tentang pejabat yang dapat menjadi penyidik pembantu, Pasal 11 tentang wewenang penyidik pembantu, Pasal 12 tentang tugas penyidik pembantu, Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Pasal 20 tentang tujuan penahanan, Pasal 21 tentang syarat-syarat penahanan, Pasal 22 tentang jenis penahanan, Pasal 23 ayat (1) tentang penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, dan Pasal 24 tentang jangka waktu penahanan yang diberikan oleh penyidik. 3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 tentang pengertian anak, Pasal 1

27 15 angka 2 tentang pengertian anak nakal, Pasal 1 angka 4 tentang pengertian penahanan, Bab V Acara Pengadilan Anak Pasal 41 tentang pejabat yang melakukan penyidikan terhadap Anak nakal beserta syarat-syarat dan tugas penyidik, Pasal 42 tentang proses pemeriksaan terhadap Anak nakal, Pasal 44 tentang tujuan penahanan terhadap Anak nakal beserta jangka waktu penahanannya, dan Pasal 45 tentang syaratsyarat penahanan. 4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2002 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 tentang pengertian Anak, Bab III Hak Dan Kewajiban Anak Pasal 4 tentang hak anak untuk hidup dan tumbuh, Pasal 10 tentang hak anak untuk menyatakan dan didengarkan pendapatnya, Pasal 11 tentang hak anak untuk memanfaatkan waktu luang dan bergaul dengan teman sebaya, Pasal 13 tentang hak anak dalam pengasuhan orangtua atau walinya berhak mendapatkan perlindungan dari perilaku ketidakadilan, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, Pasal 14 tentang hak anak untuk diasuh oleh orangtuanya kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah untuk memisahkan anak dengan orangtuanya, Pasal 15 tentang hak anak mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, Pasal 16 tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi termasuk penangkapan dan penahanan merupakan upaya

28 16 hukum yang terakhir, Pasal 17 tentang hak anak yang dirampas kebebasannya untuk diperlakukan secara manusiawi dan memperoleh bantuan hukum serta keadilan, dan Pasal 18 tentang Anak yang menjadi pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum. 5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara Nomor 153 Tahun 2012 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, Bab II Diversi Pasal 13, Bab III Acara Peradilan Pidana Anak Pasal 32. 6) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Bab II Syarat Kepangkatan dan Pengangkatan Penyidik Pasal 2 tentang syarat dan pengangkatan penyidik dan Pasal 3 tentang syarat dan pengangkatan penyidik pembantu. b. Bahan hukum sekunder Sumber data berupa pendapat hukum yang diperoleh dari buku dan website yang berhubungan dengan dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. c. Bahan hukum tersier, yaitu merupakan Kamus Besar Bahasa Indonesia 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara: 1) Studi kepustakaan, adalah dengan mempelajari, membaca, memahami perundang-undangan, buku-buku, pendapat hukum, dan website yang

29 17 berhubungan dengan permasalahan tentang dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. 2) Wawancara Wawancara dilakukan kepada narasumber, yaitu: 4. Analisis bahan hukum Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka analisis bahan hukum yang digunakan adalah analisis kualitatif. Yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah analisis dengan menggunakan ukuran kualitatif. Analisis ini menggunakan beberapa tahap yaitu: 1) Deskripsi hukum positif, adalah proses memaparkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. 2) Sistematika hukum positif, dilakukan untuk menganalisasi hukum positif, yaitu secara vertikal dan secara horizontal. Secara vertikal dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 28B bahwa Anak memiliki hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 20 ayat (1) bahwa penahanan untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu berwenang melakukan penahanan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 44 ayat (1) bahwa Anak dapat ditahanan untuk kepentingan penyidikan dan penyidik karena kewenangannya. Secara vertikal tidak ada sinkronisasi. Sistematisasi ini menggunakan prinsip

30 18 penalaran hukum derogasi yaitu menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini terdapat antinomi atau konflik hukum, sehingga diperoleh asas hukum yaitu asas Lex superior derogat legi inferiori, artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B telah ada sinkronisai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 yaitu Anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sistematisasi ini menggunakan prinsip penalaran hukum secara subsumsi yaitu adanya hubungan logis antara dua aturan dalam hubungan aturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah. Sistematisasi secara horizontal terdapat antinomi atau konflik hukum antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Pasal 24 ayat (2) yang mengkaji tentang jangka waktu perpanjangan penahanan pada tingkat penyidik adalah empat puluh hari, sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 44 ayat (3) mengkaji jangka waktu perpanjangan penahanan terhadap anak di tingkat penyidikan adalah 10 hari. Secra sistematisasi horizontal, prinsip penalaran hukum yang digunakan adalah prinsip penalaran non kontradiksi, yaitu tidak boleh menyatakan ada tidaknya suatu kewajiban dikaitkan dengan situasi yang sama. Asas hukum yaitu asas Lex spesialis derogate legi generalis, artinya

31 19 peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyisihkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Dalam menggunakan asas ini tingkatan kedua perundang-undangan ini harus sama. Maka dari itu ditemukan aturan hukum yang berlaku sebagai dasar hukum apabila menyangkut permasalahan tentang hukum acara anak, maka peraturan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun ) Interpretasi hukum digunakan untuk memperoleh kejelasan terhadap suatu masalah yang diteliti, yaitu dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Interpretasi hukum gramatikal, yaitu mengartikan suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. b) Interpretasi hukum sistematis, yaitu terjadi suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundangundangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri atau lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. c) Interprestasi hukum teleologis, yaitu setiap interprestasi pada dasarnya teleologis adalah makna undang-undang ini ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. 13 Selanjutnya adalah menilai hukum positif sehingga dapat diketahui nilai-nilai yang terkandung 13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta: 1985, hlm. 55.

32 20 dalam peraturan-peraturan hukum positif yang terkait mengenai dampak penahanan pada tingkat penyidikan serta dampak penahanan terhadap kejiwaan anak, yaitu nilai kepentingan yang terbaik bagi anak. Yang dimaksud dengan kepentingan yang terbaik untuk anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Dengan membandingkan antara bahan hukum primer dengan bahan hukum sekunder untuk memperoleh sinkronisasi atau perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pendapat hukum yang diperoleh dari buku-buku dan website, sehingga diperoleh data tentang dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. Penarikan kesimpulan dengan deduktif yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui, diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam hal ini yang umum berupa peraturan perundangundangan mengenai Hukum Acara Pidana, Pengadilan Anak, dan Perlindungan Anak ke hal-hal yang khusus yaitu dampak penahanan di tingkat penyidikan mempengaruhi kejiwaan anak.

33 21 H. Sistematika Penulisan Hukum BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Metode Penelitian yang diuraikan tentang jenis penelitian, narasumber, serta metode analisis data. BAB II : PEMBAHASAN Bab ini membahas tentang: A. Dampak penahanan pada tingkat penyidikan yang meliputi: pengertian dampak, pengertian penyidikan, tugas dan wewenang penyidik, tujuan penyidikan, dan dampak dari penyidikan. B. Penahanan dan kejiwaan anak yang meliputi: pengertian penahanan, pihak yang berwenang menahan, tujuan penahanan, syarat penahanan, serta jangka waktu penahanan. Pengertian kejiwaan, kaitan kejiwaan dengan ilmu kejiwaan, ilmu kejiwaan terhadap anak, pengertian anak, hak-hak anak, pengaruh kejiwaan anak dengan penahanan. C. Hasil penelitian tentang dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. BAB III : PENUTUP Bab ini berisi jawaban dari rumusan masalah yang berupa kesimpulan dan saran. Bagian akhir penulisan hukum ini terdiri

34 22 dari daftar pustaka, peraturan-peraturan hukum yang terkait serta lampiran-lampiran yang dipakai dan berkaitan dengan penulisan hukum ini.

35 23 BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Umum Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan 1. Pengertian Dampak Penahanan Dampak adalah benturan, pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. 14 Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 1 Angka 1 tentang Hukum Acara Pidana adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berkaitan dengan penahanan Mr. S.M. Amin berpendapat bahwa penahanan atas diri seseorang merupakan penyimpangan daripada ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi kebebasan bergerak, dan hanya dapat dilakukan oleh ketentuan dalam undang-undang ini. Tujuan dari penahanan diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menjelaskan seseorang ditahan untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penyidik. Kepentingan penyidik adalah kepentingankepentingan untuk melaksanakan rangkaian tindakan penyelidikan dalam rangka membuat terangnya suatu perkara dan menemukan pelaku yang 14 Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widya Karya, Semarang:2012, hlm.116.

36 24 dapat dipertanggungjawabkan atas terjadinya suatu tindak pidana. 15 Ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidik itu sendiri secara objektif. Berarti, jika pemeriksaan penyidik sudah cukup, penahanan tidak diperlukan lagi kecuali ada alasan lain untuk tetap menahan tersangka. 16 Sesuai dengan kepentingan tersebut maka penahanan dapat dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yakni penyidik atau penyidik pembantu yang mendapat limpahan wewenang dari penyidik, penuntut umum, dan hakim. 17 Dalam Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pejabat yang berwenag untung melakukan penahanan terhadap Anak adalah penyidik khusus dalam sidang anak yaitu penyidik POLRI yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI. Untuk menjadi penyidik Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 41 ayat (2) adalah a. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. 15 Harum M. Husein, S.H., Op. Cit. hlm, M. Yahya Harahap, S.H., Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta:1991, hlm Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H., Op. Cit. hlm. 112.

37 25 Tujuan dari penahanan sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 20 KUHAP, yang menjelaskan: 18 a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. b. Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan. c. Demikian juga penahanan yang dilakukan oleh peradilan, dimaksud untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Syarat-syarat dilakukannya penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Pasal 21 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut. Anak yang diduga melakukan tindak pidana, tidak tertutup kemungkinannya untuk ditahan. Syarat yang harus dipenuhi untuk menahan seorang Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) 18 M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit. hlm. 161.

38 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu Penahanan dilakukan setelah dengan sungguhsungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Dengan memperbandingkan dengan Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dasar seorang anak dapat ditahanan yaitu: 1. Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. 2. Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. 3. Syarat penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Anak Nakal yang belum mencapai usia 8 (delapan) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana sebagaimana didalam pengaturan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengaturan hukum terhadap Anak itu ditur dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa :

39 27 2. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 3. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Anak ditahan sebaiknya segera ditemui oleh seorang petugas Bapas dan telah memperoleh penasehat hukum. Penting diingat, anak berhak memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat. Bila pihak korban akan menarik tuntutannya, penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas hukum, dalam hal ini penyidik, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum) demi kepentingan anak. Apabila penyidik menolak diskresi, sanksi pidana berupa penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus

40 28 anak, tahanan luar juga dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah. 19 Kepentingan anak dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir dan dalam jangka waktu singkat. Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan Balai Pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap Anak Nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama (rohaniawan) dan lain-lain. 20 Dengan adanya pembaharuan hukum dalam pidana Anak, dengan diubahnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menjadi Undang-Undang SNomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memperlihatkan adanya perbaikan dalam perlindungan terhadap Anak yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana pengaturan penahanan terhadap Anak, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) tidak mengatur syarat umur anak untuk dapat ditahan dan dasar seorang Anak untuk ditahan tidak seperti pada pengaturan dalam Pasal 32 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Santi Kusumaningrum, Hukum Bagi Anak Di Bawah Umur, tanggal 20 Juli 2014 pukul WIB. 20 Ibid

41 29 macam yaitu: Moeljatno (1978:25) membagi syarat penahanan menjadi dua 1) Syarat obyektif yaitu karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang lain; 2) Syarat subyektif, yaitu karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak. Tata cara penahanan atau penahanan lanjutan, baik yang dilakukan penyidik maupun penuntut umum serta hakim merujuk kepada ketentuan Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3): 21 (2) Penahanan oleh penyidik terhadap tersangka harus dengan memberikan surat perintah penahanan, sedangkan penahanan oleh hakim harus dengan penetapan. (3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim tersebut di atas harus diberikan kepada keluarganya. KUHAP mengenal tiga jenis penahanan yang diatur dalam Pasal 22 terdiri dari: 22 1) Penahanan rumah tahanan negara (RUTAN) Dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan rumah tahanan negara dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga masyarakat dan di rumah sakit. 2) Penahanan rumah 21 M. Yahya Harahap, S.H., Op. Cit. hlm Harun M. Husein, Op. Cit. hlm. 127.

42 30 Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. 3) Penahanan kota Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. Atas dasar wewenang yang inherent diberikan undang-undang kepadanya, penyidik dapat melakukan penahanan dengan batas waktu sesuai yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu: (1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Lamanya waktu penahanan untuk tiap tingkat pemeriksaan tidak sama dengan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberi waktu penahanan lebih pendek dibanding dengan KUHAP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) mengatur sebagai berikut:

43 31 (2) Penahanan sebagaimana dimaksud hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. Jangka waktu penahanan tersebut lebih pendek, memang dimaksudkan demi kepentingan Anak. Di samping itu dengan penahanan yang singkat ini juga akan mempengaruhi waktu penyelesaian pemeriksaan dalam setiap tingkatan, sebab biasanya petugas pemeriksa berpatokan kepada lamanya penahanan. 23 Dampak penahanan pada tingkat penyidikan dapat dikaitkan dalam tulisan menurut Rochelle Semmel Albin berupa: 24 (a) Rasa sedih, rasa dukacita, dan depresi. (b) Rasa takut dan cemas. (c) Menimbulkan rasa bersalah dan rasa malu pada diri sendiri. (d) Menimbulkan rasa benci kepada orang lain. 2. Pengertian, Peran, dan Tugas Penyidikan Untuk menggambarkan pengertian kata penyidikan, A. Hamzah menyatakan, bahwa KUHAP membedakan penyidikan dan penyelidikan. Penyidikan sejajar dengan pengertian opsporing atau investigation. 25 Definisi opsporing menurut de Pinto (R. Tresna, 1978,77) adalah pemeriksan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar 23 Gatot Supramono, S.H., Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta: 2000, hlm Rochelle Semmel Albin, Emosi Bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya, Kanisius, Yogyakarta: 1986, hlm Harum M. Husein, S.H., Op. Cit., hlm. 1.

44 32 kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. 26 Secara yuridis pengertian Penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyelidikan sendiri diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Meskipun KUHAP membedakan penyelidikan dengan penyidikan namun hal tersebut tetap berkaitan, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Disini penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidik. Sebelum dilakukannya tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana menerangkan sebagai berikut: Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H. Op. Cit. hlm Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H., Op.Cit. hlm. 20.

45 33 Penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyedikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. 28 Pejabat yang berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 Angka 4 yaitu Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Fungsi dan wewenang penyelidik diatur berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai berikut: (1) Penyelidik sebagaimana dimaksud: a. karena kewajibannya mempunyai wewenang: 1. menerima laporan atau pengaduan dai seorang tentang adanya tindak pidana; 2. mencari keterangan dan barang bukti; 3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik. 28 M. Yahya Harahap, S.H., Op.Cit. hlm. 109.

46 34 (2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik. Penyelidikan monopoli tunggal Polri. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan: 29 a) Menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan: b) Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dialami pada masa HIR. c) Merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien. Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan M. Yahya Harahap, S.H., Ibid 30 Harun M. Husein, S.H., Op. Cit. hlm. 87.

47 35 Pejabat yang memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu penyidik adalah pejabat POLRI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Hal ini kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Disamping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.penyidik pembantu sebagaimana dalam Pasal 1 butir 3 KUHAP adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik: 1) Pejabat Penyidik POLRI Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Bab II ditentukan ditentukan mengenai kepangkatan penyidik POLRI, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik kepolisian yaitu : a) Pejabat Penyidik Penuh Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat penyidik penuh sesuai yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah

48 36 Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana harus memenuhi syarat yaitu: (1) Pejabat POLRI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi; (2) Bila dalam suatu sektor tidak ada, maka komandan sektor yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik; (3) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. b) Penyidik Pembantu Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menurut ketentuan ini syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu adalah: (1) Pejabat POLRI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat sersan Dua Polisi. (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurangkurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golonan II/a) atau yang disamakan dengan itu. (3) Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. 2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil

49 37 Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pembatasan wewenangan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI. Kewenangan penyidik sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 7 ayat (1) yang mengatur kewenangan penyidik Polri sebagai berikut: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tepat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka. d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

50 38 g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Kewenangan penyidik pembantu pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sama halnya dengan kewenangan penyidik Polri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang membedakan yaitu penyidik pembantu untuk kewenangan mengenai penahanan harus diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Untuk menangani perkara pidana Anak, Undnag-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memiliki petugas khusus untuk melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, tidak hanya untuk penyidik yang khusus tetapi juga kekhususan diberikan kepada penuntut umum dan hakim yang menangani Anak. Penegak-penegak hukum tersebut diberi wewenang undang-undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingakatan pemeriksaan masing-masing. Dengan pembeklan pengetahuan menyangkut Anak, diharapkan pemeriksaan perkara memperhatikan kepentingan anak dengan tidk memperlakukan sama dengan orang yang telah dewasa. Sejalan dengan hal tersebut, dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah dipertegas,

51 39 bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan ooleh penyidi Polri. Dasar hukumnya adalah Pasal 41 ayat (1) undang-undang bersangkutan yang menyebutkan: Penyidikan terhadap anak nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Untuk dapat diangkat sebagai penyidik anak, sesuai dengan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri, sebagai berikut: (2) syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud adalah: a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Kewenangan penyidik anak sama halnya dengan kewenangan penyidik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam melakukan kewajibannya tersebut, penyidik anak tetap harus memperhatikan aturan dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 31 a. Penanganan proses penyidikan perkara anak nakal wajib dirahasiakan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 42 ayat (3) bahwa Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan. 31 Nashriana, S.H., M.Hum, Op. Cit. hlm. 118.

52 40 b. Penyidik wajib memeriksa tersangka anak dalam suasana kekeluargaan. Hal ini dipertegas dalam Pasal 42 ayat (1) bahwa Penyidik wajib memeriksa tersngka dalam suasana kekeluargaan. c. Dalam melakukan penyidikan, Penyidik wajib meminta pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini dipertegas dalam pasal 42 ayat (2) bahwa Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya. d. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka berkasnya dipisah. Hal ini dipertegas dalam Pasal 7 aya (1) bahwa Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. e. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak menggunakan seragam saat melakukan pemeriksaan terhadap anak nakal. Hal ini dipertegas dalam Pasal 6 bahwa Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. Dengan melihat aturan khusus yang diberikan terhadap Anak dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, dengan memperhatikan dokumen Internasional, memang diakui bahwa dalam kontak awal antara seorang

53 41 anak yang diduga melakukan tindak pidana dengan polisi yang melakukan penyelidikayn/penyidikan, sangat memperhatikan ttindakan yang harus terhindar dari penanganan-penanganan yang berupa gertakan, kekerasan fisik, dan sebagainya. 32 B. Dampak Penahanan Terhadap Kejiwaan Anak 1. Pengertian Kejiwaan Anak Kejiwaan menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, S.Pi adalah tingkat kecerdasan, sifat dan perilaku, serta kepribadian seperti emosi, adaptasi, dan minatnya terhadap sesuatu. 33 Kejiwaan adalah suatu kelompok perasaan, pikiran dan perilaku yang menyatu dalam tubuh manusia. 34 Pembentukan kejiwaan dimulai sejak seseorang terlahir, selama proses itu ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Sifat dan faktor yang mempengaruhi hal itu akan menyatu membentuk sifat dan mental yang kuat, akhlak, serta jiwa yang dapat dipelajari berdasarkan ilmu psikologi. Psikologi adalah ilmu yang mengkaji tentang kejiwaan seseorang. Psikologi kejiwaan berkaitan sangat erat dengan psikologi kepribadian. Psikologi kepribadiaan adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dalam menyesuaikan dirinya 32 Nashriana, Op. Cit. hlm Anne Ahira, Pengertian Kejiwaan- Pembentukan Kepribadian Manusia, hlm.1, tanggal 9 Maret 2014 pukul WIB 34 Jiwa Manusia, hlm.1, tanggal15 Maret 2014 pukul WIB

54 42 dirinya terhadap lingkungannya. Psikologi kepribadian mempunyai hubungan dengan psikologi perkembangan dan sosial. 35 Anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di Indonesia, penentuan batas usia anak yang berhadapan dengan hukum dalam kaitan dengan pertanggungjawaban pidana telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3, dimana usia anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Batasan usia juga dapat dilihat pada Dokumen-Dokumen Internasional, seperti: 36 1) Task Force on Juvenile Delinquency Prevention, menentukan bahwa seyogyanya batas usia penentuan seseorang dikategorikan sebagai anak dalam konteks pertanggungjawaban pidananya, ditetapkan usia terendah 10 tahun dan batas atas antara tahun Anne Ahira, Pengertian Kejiwaan- Pembentukan Kepribadian Manusia, tanggal 20 Maret 2014 pukul WIB 36 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency. Pemahaman dan Penanggulangannya, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1997, hlm. 7.

55 43 2) Resolusi PBB 40/33 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) menetapkan batasan anak yaitu seseorang yang berusia 7-18 tahun. 3) Resolusi PBB 45/113 hanya menentukan batas atas 18 tahun, artinya anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Dari rumusan itu, menurut Wagiati Soetodjo pembentukan undangundang telah mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psikologi anak Dampak Penahanan Terhadap Kejiwaan Anak Anak nakal sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 Angka 2 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang menurut perundang-undangan maupun peraturan hukum lain. Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency, yang berasal dari kata juvenile artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja; sedangkan delinquency artinya menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain Wagianti Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung: 2006, hlm Nashriana, S.H., M.Hum, Op. Cit. hlm. 25.

56 44 Apa yang dimaksud dengan kenakalan anak, banyak pendapat yang memberikan definisi. Paul Moedikno memberikan perumusan bahwa juvenile deliquency yaitu: 39 a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti: mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya. b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jengki tidak sopan dan baju mode you can see. c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain. Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan juvenile delinquency adalah perbuatan antisosial yang diilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. 40 Bagi anak yang termasuk dalam Juvenile Delinquency, tentu memiliki kejiwaan yang labil, kemantapan psikis yang masih dalam proses pengembangan, dan perkembangan otak yang belum sempurna, yang tentu saja konsekuensinya belum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, berbeda dengan kondisi orang dewasa. Tindakan si anak dalam lingkup Juvenile Delinquency yang memang kadang-kadang menjurus kepada pelanggaran ketertiban umum, tidak lalu diartikan sebagai kejahatan, tetapi 39 Paul Moedikno dalam Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja. Armico, Bandung: 1983, hlm Fuad Hassan dalam Romli Atmasasmita, Ibid.

57 45 kenakalan karena perilakunya tersebut timbul karena kondisi psikologis yang tidak seimbang, selain ia juga tida sadar secara penuh akan perbuatannya. 41 Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah kepada kenakalan Anak : Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi. 2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di sekolah. Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing. 3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah yang oleh dia sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada kegoncangan emosi. 4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan ketakutan anal-anak normal. 5. Anak-anak yang suka berbohong. 6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah. 41 Nashriana, S.H, M.Hum., Op. Cit. hlm Kenakalan Anak, Wujud Kepribadian Dan Kreatifitas, hlm.3, tanggal 14 Juni 2014 pukul WIB.

58 46 7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka dan sengaja menghambat mereka. 8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian. Latar belakang seorang Anak melakukan kejahatan berbeda dengan latar belakang orang dewasa melakukan kejahatan. Berbicara tentang kenakalan anak, tidak terlepas dari faktor-faktor pendorong atau motivasi sehingga seorang anak melakukan kenakalan, yang akhirnya dapat menentukan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang anak dalam memberi reaksi atas kenakalan yang diperbuatnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi memiliki arti dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. 43 Menurut Romli Atmasasmita, bentuk motivasi itu ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. 44 Motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai dengan perangsang dari luar. Yang termasuk motivasi intrinsik dari kenakalan anak adalah faktor intelegensia, faktor usia, faktor kelamin dan faktor kedudukan anak dalam keluarga. Motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar. Yang termasuk motivasi ektrinsik dari kenakalan anak adalah faktor rumah tangga, faktor pendidikan dan sekolah, faktor pergaulan anak, dan faktor mass media. 43 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: Romli Atmasasmita, Op. Cit. hlm. 46.

59 47 Untuk menentukan apakah perbuatan anak tersebut memenuhi unsur tindak pidana atau tidak, dapat dilihat minimal melalui tiga visi, yaitu: 45 a. Subjek, artinya anak tersebut memiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya. Menurut Muljatno kemampuan bertanggung jawab harus ada: 46 1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukumm. 2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. b. Adanya unsur kesalahan, artinya apakah benar anak itu telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh undang-undang. c. Keakurasian alat bukti yang diajukan penuntut umum dan terdakwa untuk membuktikan kebenaran surat dakwaannya. Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak kadangkala sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa, tidak berarti sanksi yang diberikan juga sama. Anak tentu saja masih mengalami proses perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki orang dewasa. Perlakuan khusus terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, harus sejalan dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Sebagaimana yang diatur 45 Drs. Bunadi Hidayat, S.H., M.H., Op. Cit. hlm Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara Cetakan Pertama, Jakarta:1983, hlm. 165.

60 48 dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak antara lain: 1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spritual, dan sosial. 3) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sarana penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi. 4) Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 5) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya merupakan upaya hukum terakhir. 6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. 7) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Hak-hak anak yang diatur dalam ketentuan yuridis di atas, sangat meperhatikan kejiwaan anak. Mempelajari kejiwaan anak memerlukan ilmu jiwa anak. Ilmu jiwa anak bertugas untuk menyelidiki kehidupan

61 49 kejiwaan anak dan berusaha menemukan hal-ihwal yang beraturan, serta aspek-aspek yang khusus dalam diri anak yang tengah berkembang. Penyelidikan tersebut meliputi seluruh segi kehidupan jiwa anak. 47 Untuk memahami perkembangan ilmu jiwa anak harus melihat latar belakang historisnya. Dalam ilmu jiwa lama anak dipandang sebagai obyek penelitian, yaitu mereka meneliti proses-proses jiwa dan gejalagejala kesadaran yang umum, terlepas dari subyek yang menampilkan gejala-gejala psikis. Pada ilmu jiwa lama anak tidak dipandang sebagai satu totalitas psiko-psikis, yang menurut hakikatnya berlainan struktur kejiwaannya dengan kejiwaan orang dewasa. Dalam ilmu jiwa baru, setiap peristiwa kejiwaan itu tidak dapat dipisahkan dari subyeknya, tidak dapat dipisahkan dari pribadi seorang Anak yang menampilkan peristiwa kejiwaan itu. Dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara kontinu yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara interdependen, saling bergantung satu sama lain. Psikologi perkembangan atau psikhologi genetis adalah ilmu mempelajari jiwa dan perkembangan kehidupan psikhis manusia normal yaitu memasalahkan perkembangan dari kehidupan individual termasuk didalamnya ialah psikhologi bayi, psikhologi anak, psikhologi anak usia 4747 Dr. Kartini Kartono, Op. Cit. hlm. vii.

62 50 sekolah, psikhologi puber, psikhologi remaja dan adolesens, dan psikhologi kakek-nenek atau geronthologi. 48 Menilai kejiwaan seorang anak harus melihat kepribadian Anak itu. Kepribadian tersusun dari 3 (tiga) sistem pokok, yakni id, ego, dan superego. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting. Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif. Superego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua kepada anak, dan dilaksanakan dengan cara memberinya hadiah atau hukuman. 49 Tingginya insting dan ego seorang anak memunculkan kecemasan atau kekhawatiran pada diri seorang Anak. Kekhawatiran dan panik adalah tanda-tanda ketakutan yang rangsangannya telah ditekan. Rasa panik memberi bukti yang lebih kuat, selama mengalami panik itu Anak kemungkinan takut pada peristiwa-peristiwa tertentu seperti takut pada kenyataan bahwa dirinya adalah bagian yangtak berarti atau mungkin takut pada hal-hal tidak menentu. 50 Kejiwaan anak yang belum matang secara tingkah laku dan kepribadiaannya, penting untuk melindungi dan memberikan perhatian penuh kepada anak agar tidak sampai melakukan tindak pidana. Bila 48 Dra. Kartini Kartono, Psikhologi Umum, Yayasan Penerbitan Kosgoro, Bandung: 1980, hlm Calvin S.Hall dan Gardner Lindzey, Psikologi Kepribadian 1 Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Kanisius, Yogyakarta: 2005, hlm Drs. M. Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar Edisi 1, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta: 1990, hlm. 236.

63 51 seorang anak telah melakukan perbuatan yang melanggar, hingga mengalami penahanan pastinya akan mengalami dampak berupa ketakutan hingga kecemasan terhadap dirinya sendiri. Anak juga akan mengalami kepribadian terpecah yaitu fuga. Fuga adalah suatu reaksi terhadap situasi yang menekan. 51 Anak masih dipandang dan diperlakukan sebagai layaknya orang dewasa pada saat mereka melakukan kejahatan, mulai dari awal penyidikan, pengadilan sampai dengan penahanan. Kondisi inilah yang semakin memperparah anak dan semakin menjadikan reinforcement bagi mereka untuk menetapkan perilaku menyimpang sebagai bagian dari dirinya. Pada akhirnya melakukan recovery sosio-psikologis pada merekapun semakin sulit, karena secara individual dan sosial telah menetapkan anak pada bagian yang tidak diminati namun dipaksakan untuk menikmati kondisi tersebut. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan diskresi pada palaku kenakalan atau kejahatan anak, baik secara sistem hukum yang berlaku maupun bimbingan yang intens pada mereka. 52 Dampak yang dapat ditimbulkan dari adanya proses hukum yang dialami oleh Anak, khususnya pada proses penyidikan yang menguras secara afektif maupun kognitif, berbelit-belit, kelelahan emotional (fatique), serta kebosanan akan proses yang begitu panjang. Ujung dari proses ini adalah penahanan, baik sebagai tersangka maupun terpidana. 51 Drs. M. Dimyati Mahmud, Loc. Cit. hlm Social Recovery Pada Anak Pasca Masa Penahanan (PMP), tanggal 19 Juni 2014 pukul WIB.

64 52 Inilah yang menjadi klimaks dari semua persoalan psikologis yang dialami pelaku kejahatan, dihadapkan pada situasi yang sama sekali baru (unusual situation, unpredictable situation, unpleasant situation) di balik jeruji tahanan, akan memicu naiknya tingkat stress atau depresi. Kondisi ini tidaklah selesai saat mereka keluar dari tahanan, pandangan negatif dan tekanan sosial dari masyarakat, bahwa sekali penjahat tetap penjahat akan menjadi labeling bagi pelaku kejahatan yang menyuburkan keinginan untuk melakukan perbuatan jahat berikutnya. Agar Anak tidak terjerumus dalam tindak pidana atau dalam peraturan yuridis disebut Anak nakal, anak dapat dihambat kebiasaankebiasaan buruknya melalui membuat anak memiliki motivasi yang kuat pada dirinya, anak diajarkan untuk memiliki kemauan yang keras dalam hal positif, mengajarkan anak dengan strategi memerangi kebiasaan buruk dengan menghilangkan satu per satu kebiasan itu, dan menanamkan kepada anak dalam kebiasaan sehari-harinya dengan menanamkan pikiran menghentikan perbuatan yang buruk untuk dirinya dan orang lain. 53 C. Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Terhadap Kejiwaan Anak Penelitian ini dilakukan di Polresta Yogyakarta dan Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa untuk memperoleh data mengenai dampak penahanan pada tingkat penyidikan terhadap kejiwaan anak. Penelitian di Polresta Yogyakarta Bagian Sat Reskrim dengan tujuan untuk menggali data-data penyelenggaraan kegiatan-kegiatan penyelidikan/penyidikan 53 Florence Wedge, Menghilangkan Kebiasaan Buruk Seri Kesehatan Mental, Mardi Yuana, Bogor: 1989, hlm.13

65 53 tindak pidana umum dan tertentu, dengan memberikan pelayanan/perlindungan khusus kepada korban/pelaku remaja dan anak, dalam rangka penegakan hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian di Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa dengan ketertarikan adanya penegakan hukum di Indonesia dipandang negatif oleh masyarakat, khususnya penegakan hukum terhadap Anak sebagai pelaku kejahatan. Penelitian ini, memahami hubungan psikologi dan hukum, dan sejauhmana kontribusi psikologi dalam proses penegakan hukum terhadap Anak sebagai pelaku kejahatan di Indonesia, terlebih Anak yang mengalami penahanan pada tingkat penyidik. Polresta Yogyakarta bagian Sat Reskrim mempunyai visi dan misi yaitu: 1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, tanggap/responsif dan tidak diskriminatif agar masyarakat bebas dari segala bentuk gangguan fisik dan psikis. 2. Mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional, secara proporsional, objektif, transparan dan akuntabel agar memiliki kinerja yang produktif dalam menjalankan tugas penyelidikan dan penyidikan. 3. Menegakan hukum secara professional, objektif proporsional, transparan dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan. Berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang

66 54 khas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disahkan disebabkan oleh perkembangan zaman, pengaruh lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan berkembang pesat, dan kurangnya pengawasan dari orang tua kepada anaknya, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang akan mempengaruhi nilai dan perilaku anak. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini, pola perilaku kejahatan terhadap pelaku anak meningkat, namun hal ini tidak tampak disebabkan belum ada undang-undang yang mengatur tentang peradilan anak. Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada penyidik kepolisian yaitu Bapak Neko Budi Andoyo, S.H. dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi Jabaran Kepala Unit VI Sat Reskrim, didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan beberapa kasus tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak-anak dari tiga tahun terakhir yaitu sebanyak 59 kasus pada tahun 2011, 43 kasus pada tahun 2012, dan 36 kasus pada tahun Menurut Bapak Neko yang merupakan anggota Bagian Sat Reskrim Polresta Yogyakarta mengatakan beberapa faktor yang membuat kejahatan anak terjadi yaitu faktor lingkungan, faktor perkembangan teknologi yang cenderung tanpa batasan umur, faktor lemahnya penanaman tentang etika dan keagamaan, dan kurangnya pengawasan dari orang tua. Hasil penyidikan yang ada, kejahatan anak yang paling menonjol adalah

67 55 pengeroyokan, pencabulan, persetubuhan, tawuran, pencurian dengan pemberatan, pencurian sepeda motor, dan penggunaan senjata tajam. Tindak kejahatan yang dilakukan Anak dari tahun ke tahun selalu terjadi, untuk itu penahanan terhadap anak dapat dilakukan agar Anak mendapatkan efek jera atas perilakunya. Penahanan terhadap Anak, yang dilakukan penyidik harus tetap sesuai dengan peraturan perundangundangan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ada pembatasan penahanan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan dikarenakan sifat anak yang masih labil. Hal ini diatur dalam Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu (2) Penahanan sebagaimana yang dimaksud hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari. Dengan adanya pembatasan penahanan terhadap anak sebagai perlakuan yang berbeda yang diberikan oleh Negara kepada Anak Nakal diharapkan membuat segala proses hukum, dalam hal ini penyidikan yang dilalui oleh Anak itu lebih cepat ditanganin, sehingga anak tidak perlu merasakan proses hukum yang panjang dan rumit. Kasus Anak yang berhadapan dengan hukum ditangani lebih dahulu daripada kejahatan yang ditanganin oleh orang dewasa dan dibuat dengan proses yang cepat. Penahanan pada tingkat penyidikan terhadap Anak Nakal memberikan dampak terhadap kejiwaan anak itu sendiri. Di sisi lain penahanan

68 56 diharapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku Anak untuk tidak menggulanggi perbuatannya kembali, namun efek jera tersebut membawa pengaruh lain terhadap jiwa Anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut narasumber, dampak penahanan yang paling terlihat dari Anak yang mengalami proses penahanan di tingkat penyidikan yaitu ketakutan dan depresi. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari penahanan tersebut, penyidik memiliki acuan dengan memberikan perlakuan khusus sesuai dengan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial harus tetap dipenuhi. Selain mengacu pada pasal itu, Penyidik juga memberikan pendekatan khusus saat melakukan penyidikan yaitu dengan cara memberikan ruang yang nyaman saat melakukan penyidikan, tidak menggunakan seragam, memberikan pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa yang mudah dimengerti, serta menyertakan Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan untuk melakukan pendampingan terhadap si Anak. Sebagai pihak yang juga bertanggung jawab atas tindak kriminal anak-anak, Pemerintah harus melakukan tindakan untuk mengurangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah yaitu a. Sosialisasi di lingkungan pendidikan. b. Perlindungan yang maksimal terhadap anak dari ekploitasi kejahatan baik sebagai pelaku maupun sebagai korban.

69 57 c. Pembinaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. d. Menekankan terhadap orang dewasa pentingnya peran orang tua dan para tenaga pendidik terhadap perkembangan anak. e. Memberikan penyuluhan tentang penerapan undang-undang yang berkaitan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang- Undang Pengadilan Anak. Berdasarkan pendapat narasumber di atas, menurut hemat penulis penahanan terhadap Anak seharusnya bukan menjadi bagian untuk memberikan efek jera terhadap anak atas tindakan pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukannya. Menjatuhkan pidana terhadap anak adalah upaya hukum yang bersifat ultimum remedium yang artinya penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya hukum terakhir setelah tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat menguntungkan untuk si anak. Sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana disamakan seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa. Pemidanaan berorientasi kepada individu pelaku atau dapat disebut dengan pertanggungjawaban individual atau personal. Pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas

70 58 tindakan atau perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Anak yang melanggar hukum, sanksi pidananya harus lebih bersifat mendidik dan membina ke arah kehidupan yang lebih baik, agar menjadi anggota masyarakat yang patuh kepada hukum. Melihat anak sebagai individu yang belum matang dalam berpikir, dengan memperlakukan Anak sama dengan orang dewasa membuat kekhawatiran si anak akan dengan mudah dan cepat meniru perlakuan dari orang-orang khususnya orang dewasa yang ada di dekatnya. Menurut penulis, penyidik belum memberikan perlindungan hukum sepenuhnya kepada Anak dalam proses hukum di tingkat penyidikan. Pada saat anak dalam proses penyidikan tidak mendapatkan pembimbingan kejiwaannya dari Psikolog. Pentingnya peran Psikolog dalam pendampingan Anak yang bermasalahan dengan hukum, dapat membantu Anak tidak merasa tertekan. Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada Ibu Pihasniwati, M.A. seorang Psikolog dari Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa, mengatakan bahwa setiap kelompok umur memiliki kekhasan periode perkembangan kejiwaan, mulai dari usia bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Seperti halnya usia anak-anak memiliki cara merespon yang unik, cara berpikir yang unik, perkembangan moral yang berbeda, perkembangan kognitif yang berbeda, perkembangan emosi dan sosial, serta perkembangan bahasa yang unik.

71 59 Anak-anak dapat melakukan kejahatan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal berasal dari kepribadian seorang Anak itu, dan faktor eksternal berasal dari lingkungan tumbuh kembang si Anak. Dalam aspek perkembangan tertentu, mereka masih sangat bergantung pada peran orang dewasa yang ada di sekitar mereka yang mendorong anak melakukan kejahatan sehingga faktor eksternal sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan anak. Seperti halnya meniru perbuatan yang kurang sesuai dengan umur mereka, hal ini dalam ilmu psikologi disebut modelling. Hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya kemampuan critical thinking mereka, apa yang dilihat langsung mereka kerjakan tanpa berpikir dahulu akibatnya seperti apa. Dengan adanya perbuatan meniru seorang Anak dapat menjadi faktor yang mendorong anak melakukan tindakan kejahatan antara lain a. Rasa ingin menikmati kesenangan Secara eksternal ada rasa seorang Anak untuk memiliki benda yang lebih daripada teman sebayanya, sehingga dari pujian orang di sekitarnya si Anak ini mendapatkan kenikmatan sekaligus kesenangan untuk dirinya sendiri. Hal ini menjadi faktor pendorong si Anak untuk melakukan tindakan kejahatan bila orang tua tidak dapat memberikan hal yang diminta si anak untuk memperoleh kenikmatan untuk dirinya. Anak akan mencari sendiri bagaimana cara untuk tetap memperoleh kenikmatan dan kesenangan itu meskipun cara yang dilakukannya salah dan menyimpang.

72 60 b. Adanya sikap untuk menghindari hukuman Adanya sikap kekhawatiran seorang Anak saat bersosialisasi dengan lingkungannya yaitu teman sebayanya. Sebagai contoh Si A bermain dengan si B yang merupakan tetangganya, saat si A sedang bermain dengan si B datang si D yang tiba-tiba memukul si A. Dikarenakan kekhawatiran dan ketakutan akan dipukul oleh si D juga, maka si B mengambil batu dan memukulkannya ke kepala si D. Dari contoh ini dapat dilihat bahwa dalam keadaan yang tertekan dapat menjadi faktor pendorong si Anak untuk melakukan tindakan kekerasan. c. Sikap menyelamatkan diri (proteksi diri) Sikap ini timbul karena adanya tekanan batin berupa kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran akan adanya ancaman terhadap dirinya. Akibat perkembangan kognitif seorang Anak yang belum sempurna dapat menimbulkan impulse (dorongan) untuk melakukan kejahatan untuk menyelamatkan dirinya. Sebagaimana diketahui melakukan tindakan kejahatan tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Dollard & Miller mengungkapkan bahwa perilaku kejahatan melewati sebuah proses yang disebut dengan frustasi, adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan realitas yang didapatkan. Semakin terjadi kesenjangan antara kedua hal tersebut akan meningkatkan terjadinya frustasi. Seseorang yang frustasi akan mengarahkan untuk melakukan tindakan kekerasan atau agresi pada orang lain. Jadi situasi sosial yang menjadi dasar terjadinya perilaku agresif atau

73 61 kriminal. Artinya manusia tidak disiapkan untuk menjadi penjahat, tapi lingkunganlah yang mengarahkan perilaku kejahatan. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak merupakan akibat dari kemampuan menalar dan kontrol terhadap dirinya yang masih sangat terbatas. Maka dari itu, lingkungan sekitar dan orang dewasa yang dekat dengan kehidupan anak itu harus memberikan pengayoman dan memfasilitasi anak dan lingkungannya dengan nyaman sehingga anak itu dapat berbicara bila dia dalam suatu masalah ataupun ada kecemasan yang dia rasakan akan menjadi ancaman untuk dirinya. Pengasuhan keluarga yang baik juga dapat menjadi faktor anak akan takut melakukan tindakan kejahatan. Dalam hal ini kelurga menciptakan suatu konsep diri yang baik untuk tumbuh kembang Anak sehingga anak tidak dengan mudah tergoda dengan lingkungan teman sebayanya. Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menepati kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gagal memberi cinta kasih dan perhatian akan memupuk kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anakanaknya. Demikian pula jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya. Jelaslah keluarga menjadi tempat pendidikan pertama yang dibutuhkan seorang anak. Bagaimana pendidikan itu

74 62 diberikan akan menentukan. Sebab pendidikan itu pula pada prinsipnya adalah untuk meletakkan dasar dan arah bagi seorang anak. Dampak pemberian hukuman sangat berpengaruh sekali terhadap anak-anak yang melakukan tindak kriminal. Dampak yang akan dialami oleh si Anak akan sangat berat disebabkan sumber daya seorang anak yang kecil dan terbatas. Dampak emosional yang muncul adalah emosi negatif, berupa rasa cemas, rasa takut, bingung, tidak berdaya, hingga depresi, dan pada tingkatan yang lebih berat yaitu gangguan jiwa. Dalam proses hukum, pendampingan anak sangat diperlukan untuk mengurangi stimulus aversif (stimulus yang menakutkan) yang membuat anak-anak sangat tertekan. Proses hukum seperti halnya penahanan yang dilakukan terhadap anak menurut Ibu Pihasmiwati sebenarnya tidak diperlukan mengingat kemampuan bernalar seorang anak yang belum sempurna dan kontrol terhadap dirinya yang terbatas. Apapun tindak kekerasan yang dilakukan oleh seorang anak merupakan fase dimana anak belum memahami perbuatannya yang seutuhnya. Disinilah peran orang dewasa diperlukan agar anak tidak sampai pada tahap perbuatan menyimpang dan jahat. Bila perbuatan menyimpang dan jahat telah terjadi, maka lebih baik penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan agar hukuman yang diberikan oleh anak itu tidak sampai mempengaruhi kejiwaannya. Dengan menghindari proses hukum pada usia anak, akan membantu anak memperbaiki dirinya dan tidak memberikan dampak negatif pada jiwa

75 63 anak itu. Mengingat anak akan tumbuh dan berkembang, diharapkan anak itu tetap sejahtera dan hak-haknya terlindungi. Dalam mengatasi kenakalan Anak yang paling dominan mengendalikan adalah dari keluarga, karena merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu: 1. Sikap/cara yang bersifat preventif Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan/mengadakan tindakan sebagai berikut : a. menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak. b. memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu. c. pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak. d. menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga. Di samping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula : a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna. b. Penyaluran bakat si anak ke arah yang berguna dan produktif, supaya kepribadian dan kreatifitas anak terasah. c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.

76 64 d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya. 2. Sikap/cara yang bersifat represif Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah perlindungan anakanak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut : a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan anak. b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya. c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu. d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari. Dengan ini, Penulis sependapat dengan Psikolog, dimana seorang Anak yang melakukan kejahatan tidak perlu ditahan. Anak sebagai subjek hukum yang dipandang khusus oleh hukum, maka proses perlindungan hukum terhadap anak memerlukan perlakuan dan jaminan-jaminan khusus dari undangundang. Hal ini dibuktikan dengan pengaturan dalam Pasal 2 huruf (a) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimana

77 65 penyelenggaraan perlindungan anak harus melihat kepentingan yang terbaik bagi Anak.

78 66 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang Dampak Penahanan Pada Tingkat Penyidikan Terhadap Kejiwaan Anak, dampak yang terlihat dari adanya penahanan di tingkat penyidikan adalah emosional negatif yang berupa emosi negatif seperti rasa cemas, rasa takut, bingung, tidak berdaya, depresi, hingga tingkatan yang paling berat yaitu gangguan jiwa. Maka dari adanya efek negatif yang ditimbulkan dari penahanan, sebaiknya kasus Anak Nakal diselesaikan secara kekeluargaan agar anak terhindar dari proses hukum pada usianya, dan tidak mempengaruhi kejiwaannya saat tumbuh dan kembangnya. B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka perlu dipertimbangkan beberapa saran, yaitu: 1. Anak tidak perlu menjalani penahanan atas kejahatan yang dilakukannya mengingat Pemerintah dan penegak hukum, khususnya Penyidik memberikan perlindungan yang terbaik untuk Anak. 2. Penyidik sebaiknya saat melakukan penyidikan terhadap Anak memberikan pendampingan kejiwaan dari Psikolog untuk kebaikan anak.

79 67 DAFTAR PUSTAKA Buku : Albin, Rochelle Semmel, 1986, Emosi Bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya, Kanisius, Yogyakarta. Calvin S.Hall dan Gardner Lindzey, 2005, Psikologi Kepribadian 1 Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Kanisius, Yogyakarta. Gosita, Arif, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta. Harahap, M. Yahya, 1991, PenyidikanDan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta. Hidayat, Bunadi, 2014, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, PT Alumni, Bandung. Kartono, Kartini, 1999, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Mandar Maju, Bandung. Kartono,Kartini, 1980, Psikhologi Umum, Yayasan Penerbitan Kosgoro, Bandung. Mahmud, M. Dimyati,1990, Psikologi Suatu Pengantar Edisi 1, BPFE- Yogyakarta, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1985,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Prinst, Darwin, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman, 1982, Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sasangka, Hari, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, Dan Praperadilan Dalam Teori Dan Praktek Untuk Praktisi, Dosen, Dan Mahasiswa, Mandar Maju, Bandung. Simandjuntak, B., 1975, Dasar-Dasar Psychologi-Kriminil, Tarsito, Bandung. Soetodjo, Wagianti,2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung.

80 68 Undang-Undang Dasar 1945, Giri Ilmu, Solo. Wedge, Florence,1989, Menghilangkan Kebiasaan Buruk, Mardi Yuana, Bogor. Website: Social Recovery Pada Anak Pasca Masa Penahanan (PMP), diakses pada tanggal 19 Juni 2014 pukul WIB. Kenakalan Anak, Wujud Kepribadian Dan Kreatifitas, hlm.3, tanggal 14 Juni 2014 pukul WIB. Santi Kusumaningrum, Hukum Bagi Anak Di Bawah Umur, tanggal 20 Juli 2014 pukul WIB. Anne Ahira, Pengertian Kejiwaan- Pembentukan Kepribadian Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2014 pukul WIB. Anne Ahira, Pengertian Kejiwaan- Pembentukan Kepribadian Manusia, diakses pada tanggal 20 Maret 2014 pukul WIB. Jiwa Manusia, diakses pada tanggal 15 Maret 2014 pukul WIB. Carapedia, Pengertian dan Definisi Dampak, diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul WIB. Kamus: Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Kedua, 1989, Balai Pustaka, Jakarta. Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widya Karya, Semarang. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amademen Keempat.

81 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Lembaran Negara Nomor 76 Tahun 1981, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 109 Tahun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara Nomor 153 Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK

SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK SKRIPSI DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK Diajukan oleh : Chanritika Indah Pratiwi NPM : 100510231 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Penyelesaian Sengketa Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlihat dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlihat dari tingginya angka kelahiran yang harus menjadi perhatian serius untuk memberikan kebutuhan, perlindungan,

Lebih terperinci

JURNAL DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK

JURNAL DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK JURNAL DAMPAK PENAHANAN PADA TINGKAT PENYIDIKAN TERHADAP KEJIWAAN ANAK Diajukan Oleh : CHANRITIKA INDAH PRATIWI N P M : 100510231 Program Studi Program kekhususan : Ilmu Hukum : Penyelesaian Sengketa Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, hakhak sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu keberhasilan dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam peradilan pidana. Salah satu pembuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan perlindungan

Lebih terperinci

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut belum mempunyai kemampuan untuk melengkapi serta. kepentingan pribadi mereka masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut belum mempunyai kemampuan untuk melengkapi serta. kepentingan pribadi mereka masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Anak sebagai generasi muda penerus bangsa, mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam membangun negara. Anak merupakan modal pembangunan yang kelak akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang, karena anak mempunyai peran yang sangat penting untuk memimpin dan memajukan bangsa. Peran

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya, sebagai generasi muda penerus cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Salah satunya dalam hal ini mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tahun 1967 telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum, hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar tercipta suatu kehidupan yang serasi, selaras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang- 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Dalam hukum acara pidana ada beberapa runtutan proses hukum yang harus dilalui, salah satunya yaitu proses penyidikan. Proses Penyidikan adalah tahapan-tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun dewasa bahkan orangtua sekalipun masih memandang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. maupun dewasa bahkan orangtua sekalipun masih memandang pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal utama yang menjadi tujuan hidup bagi setiap orang. Baik di kalangan ekonomi lemah maupun menengah, usia muda maupun dewasa bahkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

SKRIPSI HAK NARAPIDANA WANITA YANG SEDANG HAMIL SERTA HAK ANAK SEJAK DALAM KANDUNGAN ATAS MAKANAN BERGIZI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

SKRIPSI HAK NARAPIDANA WANITA YANG SEDANG HAMIL SERTA HAK ANAK SEJAK DALAM KANDUNGAN ATAS MAKANAN BERGIZI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SKRIPSI HAK NARAPIDANA WANITA YANG SEDANG HAMIL SERTA HAK ANAK SEJAK DALAM KANDUNGAN ATAS MAKANAN BERGIZI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN Diajukan oleh : Tri Julian Dewi Sianturi NPM : 100510230 Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kasus bullying (tindak kekerasan) di sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kasus bullying (tindak kekerasan) di sekolah-sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa demi peristiwa bullying masih terus terjadi di wilayah sekolah. Kasus kekerasan ini telah lama terjadi di Indonesia, namun luput dari perhatian. Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat serta hak-hak asasi yang harus dijunjung tinggi. 1 Hak-hak asasi yang

BAB I PENDAHULUAN. martabat serta hak-hak asasi yang harus dijunjung tinggi. 1 Hak-hak asasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan calon generasi baru penerus bangsa yang diharapkan dapat menjadi penerus perjuangan cita-cita bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tersangka menurut Pasal 1 ayat (14) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orang tua yang harus dijaga, dilindungi dan diberi kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara utuh dilindungi hak asasinya termasuk yang masih dalam kandungan. Setiap anak

BAB I PENDAHULUAN. secara utuh dilindungi hak asasinya termasuk yang masih dalam kandungan. Setiap anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada orangtua yang harus dijaga dan dilindungi, karena dalam diri anak juga melekat harkat dan martabat sebagai

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan pembinaan,sehingga anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tanpa beban pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan pada saat ini banyak terjadi di lingkungan sekitar kita yang tentunya harus ada perhatian dari segala komponen masyarakat untuk peduli mencegah kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan. Meskipun pengaturan tentang kejahatan di Indonesia sudah sangat

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan. Meskipun pengaturan tentang kejahatan di Indonesia sudah sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman, maka permasalahan dalam kehidupan masyarakat juga semakin kompleks, khususnya mengenai permasalahan kejahatan. Meskipun pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat modern, banyak menimbulkan dampak positif dan juga dampak negatif bagi pembangunan nasional dan sumber daya manusia. Sesuai mengikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan selalu terjadi pada masyarakat pelakunya dapat orang dewasa, maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan Perlindungan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Pembahasan mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah sekaligus cermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sering terjadi tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sering terjadi tindak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, sering terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok tertentu. Ada berbagai faktor penyebab

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

13 ayat (1) yang menentukan bahwa :

13 ayat (1) yang menentukan bahwa : A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Anak adalah amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas-tunas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang harus dapat ditegakkan hukumnya. Penghilangan nyawa dengan tujuan kejahatan, baik yang disengaja

Lebih terperinci

JURNAL PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

JURNAL PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA JURNAL PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Diajukan Oleh: PRADHITA RIKA NAGARA NPM : 100510227 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 SKRIPSI PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 Oleh ALDINO PUTRA 04 140 021 Program Kekhususan: SISTEM PERADILAN PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. 1 Anak adalah amanah

BAB I PENDAHULUAN. tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. 1 Anak adalah amanah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak adalah merupakan bagian dari keluarga yang pada saatnya nanti akan menjadi tumpuan bangsa dan Negara, oleh karena itu anak perlu dilindungi

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN OLEH ORGANISASI MASYARAKAT (STUDI KASUS DI TASIKMALAYA)

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN OLEH ORGANISASI MASYARAKAT (STUDI KASUS DI TASIKMALAYA) PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI KEKERASAN OLEH ORGANISASI MASYARAKAT (STUDI KASUS DI TASIKMALAYA) Disusun Oleh: MARLON PARDAMEAN SIMANJUNTAK NPM : 10 05 10243 Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga baik oleh masyarakat maupun Negara karena dalam dirinya melekat harkat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi

Lebih terperinci