BAB I PENDAHULUAN. industri kelapa sawit sebagai salah satu agribisnis unggulan di Indonesia.

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri kelapa sawit yang cukup pesat telah menjadikan industri kelapa sawit sebagai salah satu agribisnis unggulan di Indonesia. Pengembangan komoditas ekspor kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun, terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama sebesar 7,67 % dengan total luas lahan ha. Sedangkan produksi kelapa sawit selama meningkat rata-rata 11,09 % per tahun dengan total produksi pada tahun 2014 sebesar ton. Hal ini menjadikan Indonesia merupakan produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia, menggeser kedudukan Malaysia (Ditjenbun, 2014). Perkebunan kelapa sawit berpotensi terus berkembang secara berkelanjutan dengan pembukaan lahan baru/ekstensifikasi yang kontinu dilakukan. Begitupun dengan re-planting (penanaman kembali) tanaman kelapa sawit yang berusia lebih dari 20 tahun juga mulai dilakukan pada tahun-tahun kedepan, karena adanya penurunan produktivitas tanaman. Kondisi ini mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan benih maupun bibit. Bibit tanaman kelapa sawit unggul merupakan modal utama untuk mendapatkan produktivitas tinggi. Dengan bibit tanam unggul maka produksi TBS (Tandan Buah Segar) dan turunannya jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan bibit dari benih yang sembarangan. Untuk mendapatkan bibit unggul perlu penanganan secara intensif pada tahap pembibitian, terutama perihal pemberian air 1

2 irigasi. Tercukupinya kebutuhan air pada pemberian air irigasi merupakan faktor utama untuk keberhasilan pembibitan. Hal ini akan menjadikan bibit terhindar dari terjadinya stress akibat kekurangan air. Rata-rata kebutuhan air di pembibitan setara dengan hujan 3,4 mm/hari atau 2,25 liter per polibag/hari (Pahan, 2013). Pelaksanaan pemberian air irigasi yang berkembang selama ini dinilai kurang efisien dalam penggunaan sumberdaya. Pemberian air yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan air tanaman akan mengancam kondisi pertumbuhan tanaman. Lubis (2008) menambahkan upah tenaga kerja dalam melakukan penyiraman dan pemupukan sebesar juta rupiah/ha untuk pembibitan setiap tahun (5-6 orang/hari/hektar). Abnormalitas akibat human error pada penyiraman air dan pemupukan melebihi nilai batas 25% (Darmosarkoro dkk., 2008). Salah satu langkah untuk mengatasi kendala pada tahap penyiraman bibit kelapa sawit adalah penerapan sistem irigasi tetes. Penggunaan irigasi tetes lebih efisien dan efektif karena hanya zona perakaran tanaman yang diberi air, sehingga dapat meminimalkan evaporasi. Selain itu, kehilangan air akibat perkolasi menjadi berkurang. Pada sistem irigasi ini, emitter secara langsung terhubung ke perakaran tanaman. Air yang dilepaskan melalui emitter akan langsung menuju ke tempat yang dapat diakses akar sehingga mengurangi risiko terbuangnya air maupun nutrisi yang diberikan (Schwab dkk., 1992). Dalam perkembangannya sistem irigasi tetes berkolaborasi dengan teknologi pengukuran dan instrumentasi di bidang pertanian. Menurut Grisso dkk. (2009) teknologi irigasi tetes menggunakan sensor lengas tanah untuk mengukur tingkat kebutuhan air pada tanaman berdasarkan ketersediaan lengas di dalam tanah 2

3 secara tidak langsung (indirect methode). Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui tingkat ketersediaan lengas di dalam tanah secara tidak langsung adalah dengan mengukur nilai konduktivitas elektrik tanah (electrical conductivity). Nilai konduktivitas elektrik tanah merupakan kemampuan tanah untuk menghantarkan suatu arus listrik per satuan milli siemens per meter (ms/m). Pada sistem irigasi tetes terkendali, sensor lengas tanah digunakan sebagai feedback untuk membandingkan hasil pengukuran lengas tanah aktual dengan lengas tanah yang diinginkan (setting point). Hasil perbandingan digunakan sebagai dasar pemicu (trigger) hidup dan matinya aktuator kendali. Aktuator kendali yang berupa pompa air dan solenoid valve digunakan sebagai alat untuk mendistribusikan air, dari sumber air menuju ke emitter yang dipasang di lahan pertanian melalui sistem perpipaan sebagai satu kesatuan instalasi irigasi tetes. Sistem irigasi tetes otomatis (terkendali) didasarkan pada pengukuran kadar lengas tersedia (field capacity-welting point). Doorenbos dkk. (1977) menyatakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebutuhan air tanaman pada aplikasi irigasi tetes. Selain total air yang tersedia dalam tanah dan fraksinya, kedalaman perakaran dan luas lahan, adapula efisiensi aplikasi serta nilai evapotranspirasi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang seberapa besar tingkat kecukupan jumlah pemberian air irigasi pada sistem irigasi terkendali. Hal ini dilakukan dengan membandingkan jumlah air yang seharusnya dipenuhi berdasarkan perhitungan (Vhitung) dengan jumlah air yang keluar dari emitter (Vaktual) selama proses pembibitan bersistem irigasi tetes terkendali. 3

4 Pemberian air yang akurat dan tepat baik waktu maupun jumlahnya, diharapkan dapat sedikit menjawab kekhawatiran khalayak luas tentang kerusakan yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit. Terlebih tentang isu kesetimbangan air di wilayah perkebunan sawit. Penelitian ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya industrialisasi perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk 1. Menilai kinerja terhadap sistem irigasi tetes terkait dengan kemerataan keluar air irigasi 2. Menghitung kinerja sistem kendali dalam pembacaan lengas tanah untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. 3. Menganalisis tingkat kecukupan air irigasi untuk bibit kelapa sawit dengan penggunaan irigasi tetes terkendali berdasarkan ketersediaan lengas di dalam tanah. 4

5 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menjadi referensi pengembangan aplikasi sistem irigasi tetes pada pembibitan kelapa sawit. Agar penerapan sistem irigasi tetes terkendali dengan pendekatan ketersediaan lengas di dalam tanah, sesuai dengan tingkat kebutuhan air pada bibit kelapa sawit. Sehingga pemberian air irigasi dapat presisi, tepat waktu dan jumlah sesuai kebutuhan tanaman (precision farming). Kemudian diharapkan dapat mendorong terwujudnya industrialisasi perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 5