KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM"

Transkripsi

1 KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 i

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2009 Nurul Khakhim NIM. C /SPL ii

3 ABSTRACT NURUL KHAKHIM. Study of Coastal Physical Typology in DIY Province for Coastal Development and Management. Guided by Dedi Soedharma, Ani Mardiatsuti, Vincentius P. Siregar dan Mennofatria Boer. The aim of this research is to analyze a coastal typology based on its land physical attribute as a guideline to develop a policy in developing and managing coastal area for the continuous development. The method used to do the analysis is by using the approach of data interpretation from remote sensing image integrated with geographic information system and field survey. The guideline in deciding the classification of coastal physical typology is using the Response- Process System with relief/slope, main constructing material, genesis process and dominate process happened in the mean time such as tide, wave and river flow. This response-process system divide the coastal physical typology into seven classes including coastal typology of land erosion coast, sub aerial deposition coast, volcanic coast, structurally shaped coast, wave erosion coast, marine deposition coast and coast built by organism. Deciding development model for fishery, agriculture, harbor, settlement and tourism using evaluation of land suitability and SBE (Scenic Beauty Estimation) special for coastal landscape panorama for tourism development. The method used to compose the policy of model development and management of coastal area is SWOT method. The material used including black and white panchromatic aerial photograph, thematic maps, GPS receiver, abney level, geological compass, digital camera, EC-meter and soil test kit. Result shows that all seven coastal physical typology are found in the coastal area. Land erosion coast and coast built by organism dominate in Gunungkidul coastal area and then in Bantul and Kulon Progo coastal area are dominated by marine deposition coast and sub aerial deposition coast. volcanic coast, structurally shaped coast, wave erosion coast can only be found in a small area of Gunungkidul coast. Each of this coastal typology has a special land characteristic which can be used to develop its potential. Land erosion coast only suitable for agricultural sector; sub aerial deposition coast suitable for fishery, agriculture, harbor and settlement; volcanic coast, structurally coast and wave erosion coast only suitable for specific tourism interest; marine deposition coast suitable for tourism, harbor and sand agriculture and coast built by organism is very suitable for tourism activity proved by the high score of SBE from the respondents. Recommendation for developing and managing coastal area in area of interest is by developing the coastal natural resources suitable to its physical typology, because this will make the management of coastal area for continuous development easier. Recommendations for coastal management in Gunungkidul were protected of karst ecosystem and coastal process. Recommendation for coastal management in Bantul and Kulon Progo using Limited Intervention by which adjustments are made to be able to cope with inundation, raising coastal land and buildings vertically. iii

4 RINGKASAN NURUL KHAKHIM. Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, ANI MARDIASTUTI, VINCENTIUS P. SIREGAR, dan MENNOFATRIA BOER. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut. Proses yang terjadi di laut dan di daratan yang terus-menerus berlangsung tentunya membentuk jenis pesisir tertentu (tipologi pesisir) tergantung pada proses genetik dan material penyusunnya, sehingga tiap tipologi pesisir tertentu akan memberikan ciri-ciri pada bentanglahan (landscape) dan berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan demikian, pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan akan mempermudah dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan pesisir secara tepat sesuai dengan kondisinya. Istilah tipologi fisik pesisir digunakan untuk lebih menekankan bahwa aspek-aspek yang dikaji lebih ditekankan pada aspek fisik pesisir. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis tipologi pesisir berdasarkan parameter fisik lahannya sebagai dasar untuk menyusun pola pengembangkan dan pengelolaan wilayah pesisir menuju kepada pembangunan yang berkelanjutan. Metode yang digunakan untuk melakukan analisis tipologi fisik pesisir adalah melalui pendekatan interpretasi data penginderaan jauh dipadukan dengan pengolahan data spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) dan survei lapangan. Dasar penentuan klasifikasi tipologi fisik pesisir menggunakan sistem Proses Respon, yang merupakan kombinasi antara sistem morfologi dan sistem cascade (merujuk pada aliran energi dan zat pada sistem pesisir). Sistem morfologi merujuk pada metode pengelompokan yang mendasarkan pada relief, material penyusun utama, proses genesa, sedangkan sistem cascade yang merujuk pada aliran energi mengacu pada penentuan tipologi pesisir yang dilakukan oleh Europen Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) terutama pada rezim pasang surut yaitu dominasi proses yang terjadi antara pasang surut, gelombang dan sungai. Dalam teknik identifikasi ini, terlebih dahulu diidentifikasi reliefnya (berelief tinggi atau rendah), kemudian diidentifikasi materi penyusun utamanya (material padu, material lepas/klastik, material lembek/lumpur, atau materinya organisme), setelah itu diidentifikasi proses genesanya (struktural, vulkanik, solusional, marin, fluviomarin, aeoliomarin, biomarin). Sistem Proses-Respon ini membagi tipologi fisik pesisir menjadi 7 (tujuh) klas yang meliputi tipologi pesisir erosi darat, pengendapan darat, volkanik, struktural, erosi gelombang, pengendapan laut dan organik. Penentuan pola pengembangan untuk perikanan, pertanian, pelabuhan, permukiman dan pariwisata menggunakan metode evaluasi kesesuaian lahan dan metode SBE (scenic beauty estimation) khusus untuk menilai panorama lanskap pesisir untuk pengembangan pariwisata. Metode yang digunakan untuk menyusun pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir adalah dengan menggunakan metode SWOT. Bahan dan alat yang digunakan meliputi foto udara pankromatik hitam putih, peta-peta tematik, GPS receiver, abney level, kompas geologi, kamera digital, EC-meter dan soil test kit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi relief daerah penelitian secara garis besar didominasi oleh dua kondisi relief yang berbeda yaitu wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul yang didominasi oleh kondisi relief cukup curam sampai sangat curam dengan kemiringan lereng > 15%, dan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo yang didominasi oleh kondisi relief yang relatif datar sampai landai dengan kemiringan lereng 0 14 %. Bentuklahan yang iv

5 terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul sebagian besar merupakan bentuklahan asal proses solusional (karst), dan sebagian kecil di beberapa tempat merupakan bentuklahan bentukan asal proses bio-marin, marin, fluvial, structural, dan volkanik. Tekstur tanah yang dominan adalah kerikil dan pasir (GC). Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo lebih banyak didominasi oleh bentuklahan asal proses marin, fluvial dan Aeolian.Pada bentuklahan bentukan asal proses marin (M) seperti gisik dan gumuk pasir tekstur tanah yang dominan adalah material kasar dari pasir hingga kerikil (GW, SM, dan SP). Pada bentuklahan bentukan asal fluvial (F) tekstur tanah yang dominan adalah material yang mengandung lempung (ML dan CL). Dari ketujuh tipologi fisik pesisir yang digunakan, semuanya ditemukan di wilayah pesisir daerah penelitian. Tipologi fisik pesisir erosi darat dan organik cukup mendominasi jenis tipologi fisik pesisir di Kabupaten Gunungkidul, sedangkan tipologi fisik pesisir di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo didominasi oleh tipologi pesisir pengendapan laut dan pengendapan darat (terutama di sekitar sungai-sungai besar). Tipologi pesisir volkanik, struktural, dan erosi gelombang hanya ditemukan di sebagian wilayah kecil pesisir Kabupaten Gunungkidul. Masing-masing tipologi fisik pesisir tersebut mempunyai karakteristik yang spesifik mengenai materi fisik lahan dan proses yang dominan pada lahan tersebut. Melalui evaluasi lahan, dapat diketahui bahwa karakteristik tersebut menentukan potensi pemanfaatannya mendasarkan pada tipologi fisiknya. Tipologi pesisir erosi darat terutama sesuai untuk tegalan tanaman keras, tipologi pesisir pengendapan darat sesuai untuk pertanian, perikanan, permukiman, dan pelabuhan. Tipologi pesisir volkanik, structural, dan erosi gelombang hanya sesuai untuk kegiatan pariwisata minat khusus. Tipologi pesisir pengendapan laut sangat sesuai untuk pariwisata dan pelabuhan, juga agak sesuai untuk dikembangkan perikanan dan pertanian, sedangkan tipologi pesisir organik sangat sesuai untuk kegiatan pariwisata. Pesisir organic sangat sesuai untuk pariwisata dibuktikan dengan nilai SBE (Scenic Beauty Estimation) yang relatif tinggi untuk semua foto lanskap yang dinilai oleh responden pengunjung wisata pantai. Pola pengembangan untuk pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir adalah sebagai berikut : a) perikanan tambak di tipologi pesisir pengendapan darat adalah model tambak sistem resirkulasi tertutup; b) perikanan tambak di tipologi pesisir pengendapan laut adalah model tambak sistem biocrete, Teknologi biocrete ini adalah berupa pengembangan tambak di lahan pasir. c) pertanian di tipologi pesisir erosi darat berupa pertanian tegalan dengan memanfaatkan sumur tadah hujan; d) pertanian di tipologi pesisir pengendapan laut berupa pertanian lahan pasir model sumur renteng dan pembuatan kolam penampungan air; e) pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan laut dengan dominasi tenaga gelombang adalah dengan model pelabuhan yang meletakkan kolam pelabuhan di wilayah pesisir bagian daratan dan bangunan pemecah gelombang yang tidak berhadapan langsung dengan arah datangnya gelombang (agak menyerong); f) permukiman pada tipologi pengendapan laut hendaknya pada jarak yang aman terhadap terjangan ombak; dan g) kegiatan pariwisata secara umum lebih ditekankan pada tipologi pesisir organic dan tipologi pengendapan laut, sedangkan pada tipologi pesisir erosi gelombang, volkanik dan structural lebih ditekankan pada pengembangan pariwisata minat khusus seperti panjat tebing sesuai dengan karakteristik lahannya berupa tebing yang sangat curam dan berbatuan keras. Rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul adalah dengan cara mempertahankan dan melindungi kelangsungan proses ekosistem karst dan ekosistem pesisir karena keduanya saling berkaitan. Cara v

6 yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemetaan dan pengklasifikasian perbukitan karst yang dilindungi dan yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis oleh masyarakat, sedangkan pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo adalah dengan cara Limited Intervention, yaitu upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membatasi pendirian bangunan dan ekploitasi yang berlebihan pada lahan-lahan pesisir yang secara ekologis berfungsi menahan gelombang laut seperti gumuk pasir (sand dunes). Model pendekatan melalui tipologi fisik pesisir yang diterapkan di wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menentukan pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir ternyata memberikan hasil yang memuaskan karena semua tipologi fisik pesisir ditemukan di daerah penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta adalah laboratorium alam yang lengkap untuk tipologi fisik pesisir. Model ini dapat diterapkan pada wilayah-wilayah pesisir di seluruh Indonesia, karena pada prinsipnya semua wilayah pesisir di seluruh Indonesia mempunyai karakteristik yang bervariasi yang meliputi seluruh tipologi fisik pesisir yang ada. Kata kunci : tipologi fisik pesisir, pola pengembangan dan pengelolaan. vi

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB vii

8 KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 viii

9 Judul Disertasi : Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Nama : Nurul Khakhim NIM : C /SPL Disetujui : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua Prof Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Anggota Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Anggota Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir.Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS Tanggal Ujian : 19 Februari 2009 Tanggal Lulus : ix

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rakmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul : Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Sejak penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini, penulis mendapat bantuan yang sangat berarti dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir Dedi Soedharma, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA, dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas saran dan bimbingan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, dan Dekan Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 (Program Doktor). Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada Letkol Drs. Haris Djoko Nugroho, M.Si, atas segala bantuan baik moril maupun materiil, kepada staf laboran di Laboratorium Kartografi Digital, Program Studi Kartografi, Penginderaan Jauh dan SIG Fakultas Geografi UGM, juga kepada staf laboran di Laboratorium Tanah dan Air Fakultas Geografi UGM, staf di Bapeda Provinsi dan Kabupaten DIY, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, atas semua bantuan baik data maupun informasi yang berguna bagi penelitian ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga penulis haturkan kepada ibu, bapak, dan istri Dra. Riana Tri Herwanti, serta anak-anak tercinta Nabila Puspakesuma dan Nabila Astridkesuma, atas segala doa dan kasih sayangnya. Merekalah karunia terindah dalam hidup penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2009 Nurul Khakhim NIM. C /SPL x

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati Jawa Tengah pada tanggal 26 Oktober 1966, putera pertama dari ayah H. Zaeni dan Ibu Hj. Siswati. Penulis menikah dengan Dra. Riana Tri Herwanti pada tahun 1992 dan dikaruniai 2 orang putri cantik yang bernama Nabila Puspakesuma (15 tahun) dan Nabila Astridkesuma (11 tahun). Putri pertama saat ini baru duduk di bangku SMA kelas 1 dan putri yang kedua duduk di bangku SD kelas 5. Tahun 1985 penulis tamat dari SMA Negeri I Pati, kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Geografi UGM melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) tanpa test, dan lulus tahun Setelah lulus penulis mengabdikan dirinya kembali ke almamater untuk menjadi dosen pada Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM sampai sekarang. Pada tahun 1995 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi pada jenjang S2 di UGM dan lulus tahun 1998 pada program studi Geografi. Tahun 2003 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi pada jenjang S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Saat ini penulis diberikan amanah untuk memangku jabatan sebagai Kepala Pusat Studi Sumberdaya dan Kelautan (PUSTEK Kelautan) UGM periode Selama mengikuti Program S3 ini, beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir telah penulis hasilkan dalam bentuk laporan dan naskah yang diterbitkan dalam majalah ilmiah. Penelitian dalam bentuk laporan antara lain : 1) Penelitian Hibah Bersaing ( ) berjudul Kajian Sel Sedimen melalui Integrasi Sistem Informasi Geografis dan Citra Penginderaan Jauh sebagai Acuan Penataan Ruang Pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, 2) Penyusunan Tata Ruang Kawasan Pesisir menggunakan Pendekatan Sel Sedimen. Dalam bentuk naskah yang diterbitkan dalam majalah ilmiah adalah : 1) Pendekatan Sel Sedimen menggunakan Citra Penginderaan Jauh sebagai Dasar Penataan Ruang Wilayah Pesisir (Studi Kasus di wilayah Pesisir Utara Propinsi Jawa Tengah). Majalah Geografi Indonesia. ISSN September 2005, 2) Pemetaan batas Wilayah Laut Propinsi Jawa Tengah Menggunakan Survei GPS Metode Diferensial. Dimuat di Majalah Geografi Indonesia. ISSN Tahun 2004, dan 3) Analisis Preferensi Visual Lanskap Pesisir DIY untuk Pengembangan Pariwisata Pesisir menuju pada Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan. Dimuat di Majalah Forum Geografi ISSN (terakreditasi) vol. 22 No. 1 Juli xi

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Perumusan Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Studi... 6 II. KERANGKA TEORITIS Tinjauan Pustaka Pesisir Tipologi Fisik Pesisir Bentanglahan Pesisir (coastal landscape) Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Pariwisata Pesisir Pengelolaan Wilayah Pesisir Penginderaan Jauh dan SIG Telaah Hasil Penelitian yang terdahulu dan terkait dengan penelitian ini Kerangka Teoritis Daftar Istilah (glossary) III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian Bahan-bahan penelitian Tahapan Penelitian Penentuan Tipologi Fisik Pesisir Penentuan Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Analisis Rekomendasi Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir xii

13 Halaman IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian Iklim Geologi Geomorfologi Tanah Oseanografi Erosi dan Sedimentasi Hidrologi Kerawanan Bencana Tsunami Penggunaan Lahan Aksesibilitas Peratutan Perundangan dan Tata Ruang Wilayah V. HASIL PENELITIAN Interpretasi Foto Udara Tipologi Fisik Wilayah Pesisir Kondisi Fisik Titik Sampel Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir VI. PEMBAHASAN Relief Materi Penyusun Utama dan Proses Genesa Tipologi Fisik Pesisir Kondisi Fisik Titik Sampel Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Evaluasi Aspek Visual Wilayah Pesisir Analisis Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah pesisir Analisis Rekomendasi Pengembangan dan Pengelolaan KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tipologi Pesisir di Eropa Tabel 2. Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Tabel 3. Klasifikasi Tipologi Pesisir Tabel 4. Matriks Jenis Data dan Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian 39 Tabel 5. Klasifikasi Proses Genesa untuk Penentuan Tipologi Fisik Pesisir 39 Tabel 6. Hubungan antara Bentuklahan dan Material Penyusun 40 Tabel 7. Klasifikasi Material Penyusun Utama untuk Penentuan Tipologi Fisik Pesisir Tabel 8. Klasifikasi Material Permukaan 41 Tabel 9. Klasifikasi Relief untuk Penyusunan Tipologi Fisik Pesisir 42 Tabel 10. Matrik Penentuan Tipologi Fisik Pesisir 43 Tabel 11. Matrik Kesesuaian Lahan untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi Tabel 12. Potensi Lahan untuk Perikanan (Tambak) Tabel 13. Potensi Lahan untuk Pertanian Tabel 14. Potensi Lahan untuk Pelabuhan Tabel 15. Potensi Lahan untuk Permukiman Tabel 16. Kriteria Klas Daya Dukung Tanah Tabel 17. Kriteria Klas Kerawanan Terhadap Bencana (Pembatas) Tabel 18. Matriks SWOT.. 57 Tabel 19. Data Curah Hujan Rerata Bulanan (mm/bulan) di Beberapa Stasiun Penakar Hujan Daerah Penelitian. 62 Tabel 20. Suhu Udara Rata-Rata Bulanan ( o C) Tahun Tabel 21. Kelembaban Udara Rata-Rata Daerah Penelitian Tahun Tabel 22. Arah (N o E) dan Kecepatan (m/dt) Angin Bulanan Rata-Rata Tahun Tabel 23. Data Frekuensi Gelombang Tabel 24. Kerugian Banjir di Daerah Hilir Sungai Serang xiv

15 Halaman Tabel 25. Tsunami di Indonesia Tabel 26. Luas Sawah, Tegalan, dan Pekarangan (Ha) di Beberapa Kecamatan yang berada di Wilayah Pantai Kabupaten Gunungkidul Tabel 27. Prinsip-Prinsip Pengembangan Lingkungan Daerah Selatan Kabupaten Gunungkidul 100 Tabel 28. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Kab.Gunungkidul Tabel 29. Hasil Analisis Tekstur Tanah dikaitkan dengan Bentuklahannya Tabel 30. Tipologi Fisik Pesisir Daerah Penelitian 109 Tabel 31. Matriks antara Tipologi Fisik Pesisir dengan Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Tabel 32. Perhitungan Nilai SBE Tabel 33. Nilai SBE pada setiap Tipologi Fisik Pesisir Tabel 34. Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Tipologi Fisik Pesisir` Tabel 35. Matrik SWOT Analisis Kebijkan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Gunungkidul Tabel 36. Matrik SWOT Analisis Kebijkan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo xv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Pada Daerah Berpasir... 9 Gambar 2. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Pada Daerah Rataan Terumbu Karang (Reef Flat)... 9 Gambar 3. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Pada Daerah Berlumpur atau Rataan Pasang Surut (Tidal Flat).. 10 Gambar 4. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Pada Daerah Batugamping dan Berbentuk Cliff 10 Gambar 5. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) Pada Daerah Batuan Beku dan Mempunyai Gisik Saku 10 Gambar 6. Klasifikasi Bentuk Delta berdasarkan pada Proses yang Dominan antara Pasang surut, Gelombang dan Sungai Gambar 7. Klasifikasi Genesa Pesisir menurut Shepard (1973) Gambar 8. Lima Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir.. 23 Gambar 9. Diagram Alir Kerangka Teoritis 30 Gambar 10. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Parangtritis, Bantul.. 38 Gambar 11. Peta Rupabumi lembar Brosot, Yogyakarta tahun Gambar 12. Pengukuran Kemiringan Lereng dengan Abney-level. 42 Gambar 13. Diagram Alir Identifikasi Geomorfologis Pesisir 44 Gambar 14. Diagram Alir Penelitian 59 Gambar 15. Peta Citra Mosaik Tak Terkontrol Gambar 16. Grafik Curah Hujan Rerata Bulanan Beberapa Stasiun Gambar 17. Grafik Mawar Angin Kecepatan Angin (m/dt) Bulanan rerata 67 Gambar 18. Tanah Mediteran di Pantai Krakal Gambar 19. Gelombang tipe Spilling (melimpah) Gambar 20. Gelombang tipe Plunging (menunjam) Gambar 21. Gelombang tipe Surging Gambar 22. Gelombang tipe Spilling (melimpah) di Pantai Parangtritis.. 74 Gambar 23. Data Pasang Surut Sungai Serang (PUSTEK UGM,2003).. 77 Gambar 24. Pasang Surut Muara Sungai Sadeng Gambar 25. Proses Erosi Pantai pada Clif Gambar 26. Delta Bentuk Elongated (memanjang) Gambar 27. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Opak xvi

17 Halaman Gambar 28. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Progo, DIY Gambar 29. Delta bentuk Crenulate Gambar 30. Sistem Akifer Batugamping Karst Gambar 31. Pengukuran Muka Airtanah di Lahan Pasir, Kulon Progo.. 84 Gambar 32. Proses terjadinya Tsunami Gambar 33. Peta Daerah Rawan Tsunami di Indonesia.. 89 Gambar 34. Kenampakan Padi Sawah Tadah Hujan di Pantai Krakal.. 92 Gambar 35. Model Sumur Renteng di Lahan Pasir,Congot, KP Gambar 36. Buah Naga yang ditanam di Lahan Pasir, Glagah, KP Gambar 37. Sistem Surjan, Trisik Kulon Progo Gambar 38. Penggunaan Lahan Sawah Dataran Aluvial S. Bogowonto 94 Gambar 39. Permukiman dan Pekarangan dengan Pola Memanjang di Sepanjang Sungai Gambar 40. Jalan Aspal menuju Pantai Krakal, Gunungkidul Gambar 41. Kondisi Jalan di Pantai Depok-Parangtritis, Bantul Gambar 42. Penampang Melintang (Profil) Pantai Ngungap, GK 104 Gambar 43. Penampang Melintang (Profil) Pantai Wediombo, GK 104 Gambar 44. Penampang Melintang (Profil) Pantai Krakal, GK 104 Gambar 45. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangendog 104 Gambar 46. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangtritis 105 Gambar 47. Penampang Melintang (Profil) Pantai Samas,Bantul 105 Gambar 48. Penampang Melintang (Profil) Pantai Trisik, KP 105 Gambar 49. Penampang Melintang (Profil) Pantai Glagah, KP 105 Gambar 50. Perbandingan antar Penampang Melintang 106 Gambar 51. Peta Tipologi Fisik Pesisir DIY Gambar 52. Pantai Karst Gunungkidul Gambar 53. Gisik Pantai di Teluk Baron Gunungkidul DIY Gambar 54. Zona Empasan Gelombang di Pantai Siung Gunungkidul Gambar 55. Citra Satelit Muara Bengawan Solo Purba dan Kenampakannya di Lapangan, Pantai Sadeng, GK Gambar 56. Kenampakan Gunung Batur, Pantai Wediombo, dan Pantai Siung Gambar 57. Kenampakan Batuan Volkanik berumur Tersier di Wediombo, Gunungkidul xvii

18 Halaman Gambar 58. Pantai Siung dengan Kenampakan Batuan yang berbeda Gambar 59. Pantai Ngobaran Gunungkidul Gambar 60. Dataran Aluvial Sungai Progo yang ditanami padi, Trisik Gambar 61. Dataran Banjir Sungai Bogowonto, Congot Kulon Progo Gambar 62. Tanggul Alam Sungai Opak, Depok Bantul Gambar 63. Rawa Belakang Sungai Opak, Depok Bantul Gambar 64. Gisik Pantai Parangtritis Gambar 65. Lokasi Gumuk Pasir Aktif dan Rawa Belakang, Sungai Opak, Depok Bantul Gambar 66. Gumuk Pasir Melintang (Transversal) Gambar 67. Gumuk Pasir Memanjang (Longitudinal) Gambar 68. Gumuk Pasir Sabit (Barchan) Gambar 69. Materi Sedimen Laut di Pantai Baron, Gunungkidul 129 Gambar 70. Materi Pasir Putih Pecahan Karang di Pantai Krakal,. 129 Gambar 71. Percontohan Tambak Pasir di Pantai Karangwuni, Gambar 72. Sebaran Nilai SBE dari Lanskap Pesisir yang dinilai Gambar 73. Grafik Hubungan antara Tipologi Fisik Pesisir dengan Nilai SBE Gambar 74. Proses Pemindahan Permukiman di Parangtritis Gambar 75. Permukiman di Gumuk Pasir yang Dekat dengan Laut 163 Gambar 76. Vegetasi pada Gumuk Pasir 164 xviii

19 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Urutan Nilai SBE Lanskap dari yang Terbesar sampai Terkecil Lampiran 2. Satuan Bentuklahan untuk Peta Geomorfologi Skala 1 : Lampiran 3. Satuan Penggunaan Lahan untuk Pemetaan P. Lahan 1 : Lampiran 4. Hasil Analisis Tekstur Tanah Lampiran 5. Deskripsi Kondisi Fisik Lahan Lampiran 6. Kenampakan Visual Fenomena Kecepatan Angin berdasarkan Skala Beaufort Lampiran 7. Perhitungan Nilai SBE Lanskap Daerah Penelitian xix

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983). Luas wilayah Indonesia sebesar 5,8 juta km 2 (70% dari luas total Indonesia) adalah berupa lautan, yang terdiri dari 3,1 juta km 2 Perairan Nusantara dan 2,7 km 2 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki pulau dan dirangkai oleh garis pantai sepanjang km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kondisi inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata (Dahuri, 2003). Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Departemen Dalam Negeri dan Bureau Central d'etudes pour les Equipements d'outre-mer (BCEOM), 1998) Bakosurtanal (2000) menyatakan bahwa wilayah pesisir merupakan bentanglahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang (breakers zone) ke arah darat hingga pada suatu bentanglahan yang secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin, seperti dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain). Proses yang terjadi di laut dan di daratan yang terus-menerus berlangsung tentunya membentuk jenis pesisir tertentu (tipologi pesisir) tergantung pada proses genetik dan material penyusunnya, sehingga tiap tipologi pesisir tertentu akan memberikan ciri-ciri pada bentanglahan (landscape) dan

21 2 berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan (selanjutnya disebut dengan tipologi fisik pesisir) akan mempermudah dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan pesisir secara tepat sesuai dengan kondisinya. Inilah yang menjadi kebaruan (novelty) dari penelitian ini, artinya setiap penelitian di wilayah pesisir selalu didahului dengan mengenali dan menentukan ciri-ciri fisik pesisir dalam bentuk menentukan tipologi fisik pesisirnya sehingga akan dapat diketahui dengan cepat karakteristik lahannya, model pemanfaatan dan pengelolaannya yang paling tepat. Perencanaan mempunyai fungsi yang cukup penting dalam mengarahkan bentuk pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir menuju pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip yang melandasi rencana pengaturan tersebut antara lain kekhasan sumberdaya biofisik setempat. Kekhasan sumberdaya biofisik lahan setempat dapat didekati dengan melihat tipologi fisiknya yang dicirikan oleh relief, materi penyusun dan proses genetik yang membentuknya. Dengan melihat potensi lahan maka akan dapat ditentukan dengan tepat model pamanfaatannya sekaligus model pengelolaanya untuk menuju pada pembangunan yang berkelajutan. Wilayah pesisir mengandung potensi ekonomi (pembangunan) yang sangat besar dan beranekaragam. Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk pembangunan bangsa telah membawa perkembangan pada berbagai kegiatan lapangan usaha dalam sektor pembangunan. Sektor-sektor tersebut meliputi sektor kegiatan perikanan, pertanian, pertambangan dan energi, pelabuhan/perhubungan laut, pariwisata bahari, dan sektor kegiatan jasa lainnya. Kegiatan perikanan meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya dan industri bioteknologi kelautan. Potensi perikanan tangkap yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah sangat besar. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah 80 persen dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton per tahun (Dahuri, 2002). Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan DIY (2007), potensi ikan lestari di wilayah pantai DIY mencapai ton per tahun, namun baru sekitar ton per tahun yang dimanfaatkan.

22 3 Salah satu komoditi pariwisata yang dapat membangkitkan kembali dunia pariwisata adalah wisata pesisir (coastal tourism). Wisata pesisir termasuk pada kegiatan wisata bahari atau wisata kelautan. Adapun yang dimaksud dengan wisata pesisir adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape). Pembangunan wisata pesisir pada hakekatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan obyek dan daya tarik wisata pesisir di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis (Dahuri 2003). Konsep wisata pesisir didasarkan pada pemandangan (view), keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Menurut catatan dari World Tourism and Travelling Council (WTTC) yang menyebutkan khusus bagi wisata pesisir secara global pada tahun 1997 mampu menghasilkan devisa lebih dari US$ 425 billion. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pariwisata ini merupakan kegiatan industri terbesar di dunia dan sangat potensial untuk dikembangkan, sehingga menjadi salah satu sektor yang diharapkan pemerintah dalam memperoleh devisa. Dari sisi efisiensi, sektor pariwisata ini merupakan sektor yang paling efisien dalam bidang kelautan yang ditunjukkan dengan nilai ICOR sebesar 3,10 (Kusumastanto, 2003). Dengan demikian adalah wajar jika pengembangan pariwisata pesisir ini menjadi prioritas. Dalam perencanaan kegiatan pariwisata pesisir, harus ditentukan terlebih dahulu tipologi pesisirnya sebagai unit analisis, yang memberikan ciri pada karakter lanskap sebagai daya tarik wisata dan sumberdaya lainnya yang berada di wilayah pesisir tersebut. Karakter lanskap merupakan wujud dari keharmonisan atau kesatuan yang muncul diantara elemen-elemen alam pesisir tersebut Perumusan Masalah Penelitian Pengembangan kawasan pesisir harus mengikuti pola keberlanjutan dan keterpaduan agar pemanfaatan kawasan pesisir tersebut tidak merugikan satu sama lainnya. Keberlanjutan mengandung arti integritas lingkungan, perbaikan kualitas hidup, serta keadilan antar generasi, sedangkan keterpaduan mengadung arti keterpaduan perencanaan antara nasional, propinsi, regional,

23 4 dan lokal maupun keterpaduan perencanaan antar sektor pada tiap-tiap tingkat pemerintahan, seperti keterpaduan antar sektor pariwisata dan sektor perikanan di tingkat regional, dan lain-lainnya. Dalam Agenda 21 Daerah Istimewa Yogyakarta (2004), disebutkan bahwa karakter Yogyakarta adalah pariwisata dan budaya, sehingga kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada beberapa kawasan pesisir yang memang sudah dikembangkan sebagai kawasan wisata, pertanian, perikanan dan laboratorium alam bagi kepentingan ilmiah seperti di Pantai Parangtritis, Pantai Kukup, Pantai Baron, dan Pantai Glagah, namun masih sangat banyak kawasan pesisir di wilayah DIY yang sebetulnya sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang sampai saat ini belum dikembangkan sama sekali karena memang belum ada kebijakan, penilaian dan upaya-upaya yang maksimal untuk mengembangkannya. Pemanfaatan yang demikian kompleks yaitu untuk pariwisata, perikanan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan lain di wilayah pesisir DIY berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor dan mengurangi daya dukung ekosistem pada kehidupan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis spasial (keruangan) untuk dapat menganalisis model pengembangan dan pengelolaan berbagai macam sumberdaya wilayah pesisir. Untuk keperluan analisis keruangan maka diperlukan penelitian tentang tipologi pesisir (data spasial) sebagai unit analisis dan inventarisasi parameterparameter fisik lahan untuk evaluasi lahan untuk berbagai pemanfaatan. Berdasarkan pemikiran tersebut dipandang sangat penting untuk diteliti model pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir DIY yang mendasarkan pada tipologi pesisirnya dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan. Teknik penyadapan data wilayah dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh sebagai sumber data spasial akan sangat membantu dan merupakan teknik yang sangat tepat dalam memperoleh data spasial wilayah pesisir. Selain teknik penginderaan jauh yang saat ini telah berkembang cukup pesat, berkembang pula pengelolaan data spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis komputer. Manfaat SIG yang terutama adalah kemampuannya dalam mengelola, menyimpan, menayangkan kembali, memanipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff, 1989). Pemanfaatan SIG ini berkembang dalam berbagai terapan dan instansi, dari tahap perencanaan sampai pemantauan. Oleh karena

24 5 itu SIG kemudian digunakan untuk pemrosesan dan pengelolaan data dari hasil interpretasi foto udara dan data lainnya. Keterpaduan/integrasi penginderaan jauh dengan SIG yaitu bahwa data penginderaan jauh mampu memberikan data spasial yang cukup lengkap terutama data fisik lahan yang akurat dan cepat sebagai input data dalam SIG, sehingga sangat memudahkan dalam pengolahan dan analisis data. Kombinasi antar keduanya mampu mengatasi permasalahan perencanaan dalam ketersediaan dan kebutuhan akan informasi yang akurat dan lengkap, serta pengolahan data spasial sehingga mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada. Dari identifikasi permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu : 1. Bagaimanakah kondisi tipologi fisik pesisir Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimanakah cara menyadap informasi data fisik lahan pesisir dari data penginderaan jauh dan pengolahan data spasial SIG untuk menentukan tipologi fisik pesisir daerah penelitian? 3. Apakah tipologi fisik pesisir dapat digunakan sebagai unit analisis dalam menentukan potensi pemanfaatan wilayah pesisir? 4. Bagaimanakah pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir mendasarkan pada tipologi fisik pesisirnya? 5. Bagaimanakah arahan kebijakan pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan tipologi fisik pesisirnya? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Melakukan analisis tipologi pesisir berdasarkan parameter fisik lahan di wilayah pesisir daerah penelitian. 2. Melakukan analisis potensi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir berdasarkan pada tipologi fisik pesisir 3. Menentukan pola pengembangan wilayah pesisir berdasarkan tipologi fisiknya. 4. Menentukan rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir menuju pada pembangunan yang berkelanjutan

25 Manfaat Penelitian 1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan yang baru tentang pentingnya penelitian tipologi fisik pesisir sebagai hal yang mendasar pada penelitian pengembangan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan mengetahui tipologi fisik pesisirnya, akan dapat diketahui ciri-ciri fisik dan karakteristik lahannya, sehingga akan dapat ditentukan dengan cepat model pengembangan dan pengelolaannya. 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang potensi pengembangan sumberdaya di wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk pola pengembangan dan pengelolaannya menuju pembangunan yang berkelanjutan. 3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang pola pengembangan dan pengelolaan pesisir di Daerah Istimewa Yogyakarta melalui pendekatan analisis tipologi fisik pesisirnya. 4. Bagi swasta, dapat ikut mengembangkan sumberdaya pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pola pembangunan yang berkelanjutan Ruang Lingkup Studi Penelitian ini meliputi seluruh wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dimulai dari pesisir timur sampai pesisir paling barat wilayah DIY. Pertimbangan pemilihan wilayah pesisir DIY adalah terdapatnya tipologi fisik pesisir yang sangat beragam sehingga akan sangat membantu dalam melakukan analisis spasial (keruangan) berbagai pemanfaatan pada setiap tipologi pesisir menuju pada pola pengembangan dan pengelolaan pesisir yang berkelanjutan. Analisis tipologi pesisir dikaji dari aspek fisik sebagai unit analisis dalam melakukan penilaian lahan untuk berbagai pemanfaatan sumberdaya pesisir. Mengingat bahwa daerah kajian rawan terhadap bahaya tsunami, maka dalam analisis pola pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir diasumsikan bahwa tsunami tidak terjadi (nol), karena jika bahaya tsunami dimasukkan dalam analisis maka semua hasil analisis akan menjadi nol (tidak berarti). Kajian tentang tsunami perlu dilakukan penelitian tersendiri mengingat kompleksnya parameter yang diteliti.

26 7 II. KERANGKA TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka Pesisir Berkaitan dengan definisi wilayah pesisir, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Kay (1999) mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut ilmiah keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sudut pandang ilmiah keilmuan, Ketchum (1972 dalam Kay 1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya. Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tergantung dari isu yang diangkat dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Hildebrand and Norrena, 1992 dalam Kay,1999). Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1998) menyatakan bahwa wilayah pesisir dapat dikategorikan menjadi dua subsistem. Subsistem yang pertama adalah daratan pesisir (shorelands), dan yang kedua adalah perairan pesisir (coastal water). Kedua subsistem ini berbeda, tetapi saling berinteraksi. Interaksi tersebut terjadi melalui media liaran massa air. Dibaginya wilayah pesisir ke dalam dua subsistem adalah untuk menekankan bahwa kedua subsistem diperlukan untuk memperoleh suatu ekosistem pesisir yang sempurna. Meskipun demikian, definisi ini masih belum menyatakan dengan jelas batas perairan pesisir (coastal water) ke arah lautan dan batas daratan pesisir (shorelands) ke arah daratan. Departemen Dalam Negeri dan BCEOM (1998) menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

27 8 maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran Dalam rapat koordinasi di Bakosurtanal (1990) yang membahas tentang pengertian wilayah pesisir disepakati bahwa wilayah pesisir adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut yang memiliki ciri geosfer yang khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut dan social ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat. Batas wilayah pesisir ke arah lautan dan ke arah daratan secara lebih tegas dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000, yang dirumuskan dari konsep CERC, 1984; Pethic, 1984; dan Sunarto, 2000) yang menyatakan bahwa wilayah pesisir merupakan bentanglahan yang dimulai dari garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang (breakers zone) ke arah darat hingga pada suatu bentanglahan yang secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin, seperti dataran aluvial pesisir (coastal alluvial plain). Lebih lanjut dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000), pada wilayah pesisir yang landai dan berpasir, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone) sampai beting gisik tua yang biasanya telah berkembang sebagai lahan permukiman (lihat Gambar 1). Pada wilayah pesisir yang landai dengan material terumbu karang, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone), pantai (shore) yang dijumpai rataan terumbu (reef flat), hingga wilayah terumbu karang tidak dijumpai lagi (lihat Gambar 2) Pada wilayah pesisir landai dengan material didominasi lumpur, maka wilayah pesisir (coastal area) dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) sampai pada rataan pasang-surut yang dapat berupa rataan lumpur (mud flat) jika seluruh materi penyusun lumpur dan tidak ada vegetasi apapun, tetapi dapat berupa rawa payau (saltmarsh) jika di atas lumpur telah tumbuh vegetasi seperti bakau atau tumbuhan lainnya (lihat Gambar 3). Pada wilayah pesisir dengan pantai clif maka wilayah pesisir (coastal area) hanya meliputi pantai (shore), yang dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) hingga tebing clif (lihat Gambar 4). Pada wilayah pesisir dengan pantai pseudo cliff maka wilayah pesisir (coastal area) meliputi pantai (shore)

28 9 dan gisiknya (beach), dimulai dari zone pecah gelombang (breakers zone) hingga tebing pseudo-cliff (lihat Gambar 5) Mendasarkan pada definisi wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000) tersebut di atas maka batas wilayah pesisir yang merupakan perairan pesisir (coastal water) selalu dimulai dari zona pecah gelombang (breakers zone) dan batas daratan pesisir (shorelands) tergantung pada material dan proses yang dominan terjadi di wilayah pesisir. Gambar 1. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Berpasir (Bakosurtanal, 2000). Gambar 2. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Rataan Terumbu Karang (Reef Flat) (Bakosurtanal, 2000).

29 10 Gambar 3. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Berlumpur atau Rataan Pasang Surut (Tidal Flat) (Bakosurtanal, 2000) Gambar 4. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Batugamping dan Berbentuk Cliff (Bakosurtanal, 2000) Gambar 5. Lingkup Wilayah Kepesisiran (Coastal Area) pada Daerah Batuan Beku dan Mempunyai Gisik Saku. (Bakosurtanal, 2000)

30 11 Untuk mengidentifikasi karakteristik pesisir haruslah terlebih dahulu disamakan cara pandangnya atau pendekatan yang digunakan. Pesisir dipandang dari pendekatan geomorfologi dimungkinkan sekali berlainan dengan pesisir ketika dipandang dari pendekatan biologi, klimatologi, hidrologi ataupun daerah perencanaan. Dipandang dari pendekatan geomorfologi, pesisir dapat diidentifikasi dari bentuklahannya yang secara genetik berasal dari proses marin, fluviomarin, organik, atau aeliomarin. Dipandang dari pendekatan biologi, karanteristik pesisir dapat diketahui dari persebaran ke arah darat biota pantai, baik persebaran vegetasi maupun persebaran hewan pantai. Dipandang dari pendekatan klimatologi, karakteristik pesisir ditentukan berdasarkan pengaruh angin laut (sea breeze). Dipandang dari pendekatan hidrologi, karakteristik pesisir ditentukan dari seberapa jauh pengaruh pasang air laut yang masuk ke darat. Berkaitan dengan penelitian ini maka karakteristik pesisir dilakukan dengan pendekatan geomorfologi dalam menentukan tipologi fisik pesisir dan batas wilayah pesisir ke arah laut ditentukan dari zona pecah gelombang dan batas ke arah darat ditentukan berdasarkan pada material dan proses yang terjadi di wilayah pesisir daerah penelitian Tipologi Fisik Pesisir Menyangkut tentang klasifkasi/tipologi fisik pesisir, sejak tahun 1888, E.Suess (dalam Haslett 2000) mengusulkan klasifikasi berdasarkan struktur geologis (batu-batuan) dan orientasinya dianggap sebagai kecenderungan terhadap garis pantai, sedangkan Haslett (2000) mengklasifikasikan sistem pesisir berdasarkan pada 4 sistem yaitu : 1. Sistem Morfologis : Pendekatan ini melukiskan sistem tidak dalam hubungan dinamis antara komponen-komponennya, tetapi pada hubungan dari ekspresi morfologisnya. Contoh: Adanya suatu sudut miring dari tebing pantai, dapat berkaitan dengan jenis batubatuannya, struktur batu-batuannya, ketinggian tebing, dsb 2. Sistem Cascade : secara eksplisit merujuk kepada aliran energi dan zat; gerakan sedimen melalui sistem pesisir, Contoh: gerakan sedimen melalui sistem pesisir, mungkin berasal dari tebing yang tererosi, dipasok ke pantai dan seterusnya ditiup angin ke gumuk pasir pesisir (coastal sand dunes)

31 12 3. Sistem Proses-Respons: kombinasi sistem morfologi dan sistem cascade. Proses ini sendiri didorong oleh energi dan materi dan ini mungkin cara yang paling berarti untuk menangani sistem pesisir. Contoh: mundurnya tebing pesisir melalui erosi oleh gelombang 4. Ekosistem: interaksi antara flora dan fauna dalam lingkungan fisik. Contoh: rerumputan yang tumbuh pada gumuk pasir memperkokoh endapan pasir yang diterbangkan angin, yang membentuk gumuk pasir, selanjutnya gumuk ini merupakan habitat untuk komunitas biologis gumuk, dan kemudian berkembang biak untuk kelanjutan hidup European Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) menentukan tipologi pesisir (coastal typology) mendasarkan pada hubungan antara karakteristik geologi yang penting dan faktor oseanografi. Tipologi pesisir ini selanjutnya digunakan untuk menentukan sistem pesisir (coastal system) di Eropa (The Coastal System of Europe). Parameter utama dan kriteria yang digunakan untuk menentukan tipologi pesisir ini adalah : 1. Material utama di zona litoral (Predominant Substrate in the litoral zone) Batuan keras (hard rocks) yaitu batuan yang tahan terhadap erosi dan hampir tidak memasok material sedimen ke zona litoral, kecuali sedimen sungai, termasuk disini adalah batuan gamping (hard limestone), dolomit, skis, granit, kuarsit, batuan kristalin dan batuan metamorf Batuan lunak (soft rocks) yaitu batuan yang mempunyai resistensi lebih rendah terhadap erosi, termasuk disini adalah sandstone, gravel, dan lain-lain Sedimen terkini (recent sediment) yaitu tanah lepas terdiri dari partikel kecil dengan resistensi rendah terhadap erosi. Umumnya memasok jumlah besar sedimen ke zona litoral; Termasuk dalam kategori ini adalah sedimen aluvial dan diluvial (alluvial and diluvial sediment). 2. Kemiringan lereng di wilayah pesisir (slope of the coastal zone). Pantai terjal yaitu pantai dengan karang yang terjal dan tinggi (mencapai lebih dari 100 m di atas muka laut dalam 5 km pertama dari titik air laut tinggi) Dataran pesisir, yaitu pantai dalam bentuk dataran

32 13 3. Rezim pasang surut (tidal rezim). Parameter ini memberikan pengaruh pada formasi dan evolusi dari lanskap pesisir dan habitat tergantung pada dampak relatif dari pasang surut, longshore drift, gelombang atau aliran sungai di zona litoral. Pesisir yang didominasi oleh pengaruh pasang surut (tide-dominated coasts) : julat pasang surut diatas 2 m. Pesisir yang didominasi oleh gelombang (wave-dominated coasts) : julat pasang surut kurang dari 2 m. Pesisir yang didominasi oleh aliran sungai. Berkaitan dengan parameter rezim pasang surut (tidal rezim) ini, Trenhale (1997) mengklasifikasikan bentuk pesisir yang dipresentasikan dalam bentuk delta yang berbeda-beda tergantung pada dominasi pengaruh antara pasangsurut, gelombang, dan sungai, seperti disajikan dalam Gambar 6 berikut ini. Gambar 6. Klasifikasi Bentuk Delta berdasarkan pada Proses yang Dominan antara Pasang surut, Gelombang dan Sungai (Trenhale, 1997)

33 14 Mendasarkan pada Gambar 6 tersebut, selanjutnya Alongi (1998) mengelompokkan berbegai bentuk pesisir sesuai dengan dominasi proses yang bekerja antara pasang surut, gelombang dan sungai. Tipe Sungai Pasut Gelombang Deskripsi I Delta sungai II Delta Sungai(+barrier) III Delta sungai pasut IV Estuari dtaran pesisir V Laguna pasut VI Teluk VII Laguna pesisir Sumber : Alongi (1998) Diluar ketiga parameter tersebut dipertimbangkan juga untuk dimasukkan faktor terumbu karang sebagai salah satu parameter dalam menentukan tipologi pesisir. Mendasarkan pada ketiga faktor tersebut, EUCC menentukan tipologi pesisir di Eropa dan contoh-contoh lokasi pesisirnya, seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Tipologi Pesisir di Eropa Tipologi Pesisir Bentanglahan Lokasi Pantai terjal berbatuan keras (hard rock, cliffed coasts) Dataran pantai berbatuan keras(hard rock coastal plains) Pantai-pantai berbatuan lunak (soft rock coasts) Dataran pantai yang didominasi oleh proses pasang surut (Tidedominated sediment. Plains) Dataran pantai yang didominasi oleh proses gelombang (wavedominated sediment. Plains) pantai clif, pantai berbatu dengan gua-gua (rocky shores with caves) Muara sungai (river mouths) di pantai karst Pantai clif berbutir pasir (sandstone) Pantai dengan gumuk pasir, laguna, estuaria, delta. Laguna, delta sungai, pantai bergumuk pasir. Pantai-pantai Samudera Atlantik bagian utara dan barat Eropa, pantai-pantai karst di laut Mediteran dan Laut Hitam Pantai Baltik termasuk Swedia dan Denmark bagian timur. Pantai Portugal bagian selatan, Laut Baltic bagian selatan, sebagian Pantai Laut Hitam. Pantai pasang surut di wilayah Samudera Atlantik dan Pantai di Samudera Artik bagian selatan Pantai pasang surut di Laut Baltik. Sumber : EUCC, Pethic (1984) menyatakan bahwa bentuk pesisir secara umum ditentukan oleh faktor tektonik yang berimplikasi pada formasi batuan (material) dan faktor struktural dalam bentuk aktifitas erosi dan sedimentasi. Klasifikasi pesisir

34 15 dikelompokkan berdasarkan pada tiga kategori utama yaitu bentuk morfologi (morphological) yang dicirikan oleh kenampakan reliefnya, asal mula terbentuknya (genetic) berupa materi penyusun utama, dan proses yang mengontrol (control based). Mendasarkan pada tiga kategori itu, selanjutnya Pethic (1984) mengelompokkan pesisir menjadi 2 kategori, yaitu pesisir primer (primary coast) dan pesisir sekunder (secondary coast). Morfologi dalam pesisir primer lebih dikontrol oleh proses-proses darat atau terrestrial (nonmarine processes) seperti : erosi, deposisi, volkanik, dan diatropisme, sedangkan pesisir sekunder merupakan pesisir yang terutama dibentuk oleh aktivitas laut (marine agents) seperti gelombang, pasang surut, dan arus laut atau aktifitas organisme laut (marine organisms): seperti terumbu karang. Pesisir primer dikelompokkan lagi menjadi 5 tipe pesisir yaitu pesisir akibat proses erosi darat (land erosion coasts), pesisir akibat proses deposisional sub arial (sub-aerial deposition coasts), pesisir akibat aktivitas volkanik (volcanic coasts), pesisir akibat pergerakan diastropik atau proses struktural (shaped by diastrophic movements), dan pesisir es (ice coast) khusus untuk pesisir es hanya terdapat di Antartika (kutub selatan); sedangkan pesisir sekunder dikelompokkan ke dalam 3 tipe pesisir, yaitu pesisir akibat erosi gelombang (wave erosion coasts), pesisir akibat proses pengendapan marin (marine deposition coasts), dan pesisir yang dibentuk oleh aktivitas organisme (coast built by organisms). Pengelompokan ini secara grafis dapat dilihat pada Gambar 7. Mengacu dari pengelompokan pesisir yang dilakukan oleh Shepard tersebut, Sunarto (2003) menentukan tipologi pesisir berdasarkan pada faktorfaktor geomorfologi, yaitu relief, materi penyusun dan proses genetik. Dengan mengetahui ketiga faktor tersebut akan memudahkan dalam mengetahui jenis pesisir (tipologi pesisir) yang dijumpai.

35 16 Gambar 7. Klasifikasi Genesa Pesisir menurut Shepard (1973). Selanjutnya dalam mempelajari morfologi pesisir, Sutikno (1993) mengemukakan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu (1) kenampakan hasil proses masa lampau yang terdapat pada pantai seperti teras marin dan gua pantai, dan (2) modifikasi sistem pantai oleh aktifitas manusia selama abad terakhir yang dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap perkembangan pantai seperti pembuatan pemecah gelombang, groin, jetty, pengerukan dan penimbunan pantai, dan lain-lain. Atas dasar genetiknya, Sutikno (1993) membedakan pesisir menjadi 2 yaitu (1) pantai primer atau pantai muda, yaitu pesisir yang garis pantainya belum termodifikasi oleh laut tetapi tergantung pada pengaruh proses sebelumnya, dan (2) pantai sekunder, yaitu pesisir yang garis pantainya telah termodifikasi oleh gelombang dan arus. Istilah tipologi fisik pesisir digunakan untuk membedakan dengan tipologi pesisir yang lain seperti tipologi sosial pesisir yang menekankan pada kajian sosial masyarakat pesisir, tipologi ekonomi pesisir yang menekankan pada kajian ekonomi wilayah pesisir, dan lain-lain. Tipologi fisik pesisir lebih menekankan pada kajian wilayah pesisir dari aspek fisik menyangkut proses geomorfologi, lereng, dan material dasar pembentuk wilayah pesisir.

36 Bentanglahan pesisir (coastal landscape) European Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) menyatakan bahwa bentanglahan pesisir (coastal landscape) dapat djelaskan dalam dua kelompok besar untuk kepentingan pengelolaan dan perencanaan. Kelompok pertama adalah clif dan pesisir berbatu (cliffed and rocky coasts) dan kelompok yang kedua adalah dataran pesisir (coastal plains). Kondisi pesisir seperti ini dijumpai di daerah penelitian sehingga akan sangat tepat apabila daerah penelitian dijadikan model untuk penelitian ini. Sutikno (1993) menyatakan bahwa bentanglahan adalah kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alam yang memiliki komposisi tertentu dan julat (range) karakteristik fisikal dan visual tertentu dimanapun medan tersebut ditemukan. Pada bentanglahan pesisir (coastal landscape) tercakup perairan laut yang disebut dengan pantai (shore) atau tepi laut yaitu suatu daerah yang meluas dari titik terendah air laut pada saat surut hingga arah ke daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang. Garis pantai (shoreline) adalah garis pertemuan antara air laut dengan daratan, yang kedudukannya berubah-ubah sesuai dengan kedudukan pada saat pasang surut, pengaruh gelombang dan arus laut. Pengertian bentanglahan (landscape) menurut Puslittanah Bogor (1996) adalah panorama atas suatu hamparan daratan yang terdiri dari berbagai keadaan alam, baik alami maupun buatan manusia, sedangkan bentuklahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula. Pengelompokan bentuklahan didasarkan pada proses geomorfik utama yaitu proses-proses yang menyebabkan terbentuknya suatu bentuklahan dan berdasarkan pada relief dan litologinya. Berkaitan dengan bentuklahan pesisir, terdapat kelompok bentuklahan marin dan fluvio-marin. Bentuklahan marin adalah bentuklahan yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung maupun daerah pasang-surut tergolong dalam bentuklahan marin ini, sedangkan bentuklahan fluvio-marin adalah bentuklahan yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial (sungai) dan marin (laut). Keberadaan bentuklahan ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) maupun di muara sungai yang terpengaruh langsung aktivitas laut.

37 18 Verstappen (1977) mengelompokkan bentuklahan (landform) ke dalam 9 klas menggunakan dasar utama geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigrafi, dan keadaan medan. Klas-klas tersebut adalah bentuklahan bentukan asal (1) Struktural, (2) Volkanik, (3) Denudasional, (4) Fluvial, (5) Marin, (6) Glasial, (7) Aeolin/angin, (8) Solusional/Karst, dan (9) Biologi/ Organisme. Selanjutnya Verstappen (1977) melakukan identifikasi bentuklahan dari foto udara secara visual melalui pendekatan bentuk atau relief, density (tekstur/photographic grey tone) dan lokasi (situs ekologi) : 1. Bentuk atau relief. Bentuk atau relief ini berkaitan dengan pola dan posisi vertikal obyek. Kenampakan bentuk atau relief di foto udara dapat diamati dengan cukup jelas melalui kenampakan tiga dimensi secara stereoskopis. Apabila kenampakan tiga dimensi ini tidak dimungkinkan maka dapat digunakan indikator bayangan obyek untuk mengenali bentuk. 2. Density. Density adalah tingkat keabuan (grey scale) pada citra hitam putih atau rona/warna pada citra berwarna. Density sangat penting dalam interpretasi relief. 3. Lokasi. Lokasi atau situs ekologi bentuklahan sangat menentukan dalam identifikasinya. Situs suatu bentukan dengan pola atau struktur tertentu memberikan petunjuk dalam identifikasinya. Berkaitan dengan daerah penelitian yaitu wilayah pesisir DIY, hampir semua klas bentuklahan tersebut di jumpai di daerah penelitian, kecuali bentukan glasial. Dengan demikian maka sangatlah tepat lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir DIY sehingga hasil pemodelan nantinya akan dapat memberikan hasil yang maksimal dan dapat diterapkan di wilayah pesisir lain di Indonesia. Pemodelan yang akan dilakukan menyangkut pola pemanfaatan untuk beberapa penggunaan yang utama seperti perikanan, pertanian, permukiman, pelabuhan, pariwisata dan penelitian dan juga pola pengelolaannya. Berkaitan dengan pariwisata, Sunarto (1999) mengemukakan bahwa istilah landscape (dalam bahasa Inggris) secara umum telah diindonesiakan menjadi lanskap, yang dapat diartikan sebagai bentanglahan atau dapat diartikan juga sebagai pemandangan. Sebagai bentanglahan, pengertian lanskap adalah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistem-sistem, yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuklahan, batuan, bahan pelapukan

38 19 batuan, tanah, air, udara, tetumbuhan, hewan, laut tepi-pantai, energi, dan manusia yang secara keseluruhan membentuk satu kesatuan. Arti lanskap sebagai pemandangan memberikan arti keadaan alam yang menunjukkan kenampakan indah dan suasana nyaman. Dari pengertian tersebut dapat diketahui, bahwa pemandangan mempunyai empat aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu aspek kondisional (keadaan alam), aspek visual (kenampakan), aspek estetika (indah), dan aspek situasional (suasana nyaman), sehingga dapat diketahui bahwa lanskap tersusun atas komponen-komponen bentuklahan, iklim, batuan, tanah, air, flora, fauna, dan budaya yang kesemuanya saling berinteraksi dan interdependensi membentuk satu kesatuan yang kondisinya dapat dilihat, keindahannya dapat dinikmati, dan kenyamanannya dapat dirasakan oleh segenap manusia. Kay and Alder (1999) mengemukakan pengertian lanskap (landscape) dalam 3 arti yang berbeda, yaitu lanskap dalam arti pemandangan (landscape painting), lanskap dalam arti bentanglahan dengan kenampakan bio-fisik (landscape ecology), dan lanskap dalam arti hasil interpretasi dan pengalaman lapang dari seseorang. Untuk kepentingan interpretasi ekosistem pesisir yang diperlukan untuk pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir, Rahayu (2000) mengemukakan perlunya dukungan dari para interpreter yang menguasai ilmu ekologi, arkeologi, etika, dan estetika. Hal ini disebabkan karena adanya peran ganda yang harus disangga oleh suatu kawasan pesisir, bahkan sampai menyangkut proses efek ganda (multiplier effect). Selanjutnya hasil dari interpretasi tersebut akan menjadi sumber informasi yang utama yang dapat dikemas menjadi points of interest bagi pengembangan kawasan pesisir dan pengelolaannya. Keindahan suatu lanskap dapat dinikmati dengan mengamati pemandangannya melalui indera penglihatan. Menurut Steinitz (1990) mengamati suatu lanskap dapat memberikan persepsi dan perasaan psikologis yang berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik. Pada intinya dengan mengamati suatu lanskap maka akan terjadi hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan dapat dijadikan dasar dalam menentukan keindahan suatu kawasan. Menurut Falero dan Alonzo (1995) perhatian terhadap aspek visual lanskap yang berkaitan dengan persepsi manusia merupakan salah satu pendekatan dalam perencanaan lanskap, pendekatan lainnya adalah melalui

39 20 studi lingkungan dan studi lanskap secara keseluruhan. Fungsi visual dapat memberikan arti mengenai bagaimana suatu lanskap dapat memberikan reaksi bagi yang mengamatinya. Fungsi ini dipengaruhi oleh banyaknya variasi yang ada dalam suatu lanskap. Daniel dan Boster (1976) menentukan nilai visual suatu lanskap menggunakan suatu metode yang disebut dengan Scenic Beauty Estimation (SBE). Dalam metode SBE ini digunakan prosedur standart berupa penetuan titik pengamatan dan pengambilan foto lanskap, seleksi foto, penilaian oleh responden dan perhitungan nilai SBE. Metode SBE ini diterapkan untuk menilai kualitas lanskap kehutanan untuk kepentingan pariwisata. Menurut Yu (1995) banyak penelitian visual yang menggunakan metode SBE ini dalam perhitungan nilai visualnya, hal ini disebabkan karena prosedur SBE dikenal efektif dan dapat dipercaya Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Pada Tabel 2 disajikan berbagai tipologi pemanfaatan wilayah pesisir dari berbagai pustaka yang dijumpai. Dari Tabel 2 tersebut nampak bahwa meskipun masing-masing pustaka memberikan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir yang berbeda jumlahnya, namun jika dicermati masing-masing pemanfaatan nampak bahwa terdapat tipe pemanfaatan wilayah pesisir yang dominan yaitu untuk perikanan, pertanian, kehutanan, pelabuhan, permukiman dan infrastruktur, industri, penambangan, kawasan konservasi, penelitian dan pariwisata. Farris and Wilmington (2002) menyatakan bahwa terdapat 5 prosedur untuk melakukan analisis kesesuaian lahan pesisir dan pembuatan peta kesesuaian lahannya. Prosedur tersebut adalah : 1. Identifikasi faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan, meliputi kenampakan alam (natural features), pola penggunaan lahan saat ini (existing land use patterns) dan faktor lainnya yang relevan. 2. Menentukan faktor-faktor yang relatif penting 3. Menentukan kelas kesesuaian dari setiap faktor 4. Melakukan proses tumpang-susun (overlay) setiap faktor 5. Gabungkan hasil tumpang-susun itu untuk menghasilkan peta kesesuaian lahan.

40 21 Couper s Global Marine Interaction Model (Couper 1983) 1. Navigasi dan komunikasi 2. Sumber energi dan mineral 3. Sumberdaya biologi 4. Pembuangan limbah 5. Strategi dan pertahanan Tabel 2. Tipologi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Sorensen and McCreary (1990) Pido and Chua (1992) Vallega Coastal Use Framework (Vallega 1992) Hawaii Ocean Resources Management (CZMapproach) (1991) 1. Perikanan 1.Pertanian 1. Pelabuhan 1. Penelitian 2. Daerah 2. Perikanan dan 2. Perkapalan 2. Rekreasi konservasi akuakultur 3. Suplai air 3. Infrastruktur 3. Jalur pipa laut 3. Pelabuhan 4. Rekreasi 4. Penambangan 4. Kabel 4. Perikanan 5. Pariwisata 5. Pelabuhan 5. Transportasi udara 5. Perlindungan ekosistem laut 6. Rekreasi 6. Pembangunan pelabuhan 6. Industri 6. Sumberdaya biologi 6. erosi pantai dan pesisir 7. Kualitas lingkungan laut 7. Sumber energi 7. Pariwisata 7. Hidrokarbon 7. pengelolaan buangan 8. Pembuangan limbah 8. Perkotaan 8. Sumberdaya alam 8. Akuakultur terbarukan 9. Industri 9. Kehutanan 9. Pertahanan 9. Sumber energi 10. Pertanian 10. Perkapalan 10. Rekreasi 10. Mamalia laut (Shipping) 11. Marikultur 11. Penahan gelombang 12. Pembuangan limbah 15.preservasi dankonservasi Sumber : Valega, 1996 dalam Cicin Sain & Knecht Penentuan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir terutama tergantung pada kondisi fisik wilayah yang dicirikan oleh kondisi iklim, topografi wilayah, kondisi batuan, jenis tanah, kondisi hidrologi (ketersediaan air tawar baik dari sumber airtanah maupun air permukaan) dan kondisi oseanografi yang meliputi kedalaman laut, perilaku gelombang, arus, dan pasangsurut air laut. Faktor lain yang menentukan adalah ekosistem utama yang ada di wilayah pesisir yang meliputi hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang, terutama pada keindahan lanskapnya untuk pariwisata. Berkaitan dengan tujuan penelitian dan juga wilayah penelitian maka tipologi pemanfaatan wilayah pesisir ditekankan pada pemanfaatan utama yaitu untuk pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman. Untuk pemanfaatan yang lain dapat dilakukan penelitian yang lebih lanjut karena hasil penelitian ini bersifat penelitian terbuka (open research). Kajian pariwisata menjadi kajian yang lebih ditekankan lagi karena karakteristik wilayah DIY sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia.

41 Pariwisata Pesisir Pariwisata didefinisikan sebagai kegiatan manusia yang meliputi perilaku manusia, menggunakan sumberdaya alam dan terjadi interaksi antara manusia, ekonomi dan lingkungan (Bull, 1991 dalam Holden, 2000). Pariwisata pesisir merupakan bagian dari wisata bahari. Wisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir dan bahari. Sunarto (2000) mengemukakan bahwa wisata pesisir termasuk pada kegiatan wisata bahari atau wisata kelautan. Adapun yang dimaksud dengan wisata pesisir adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape), sedangkan Wong (1991) mengemukakan bahwa pariwisata pesisir berhubungan dengan dua sistem yang komplek yaitu sistem pariwisata (the tourism system) dan sistem pesisir (the coastal system). Sunarto (2000) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor alam yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengembangan wisata pantai/pesisir yaitu angin, gelombang laut, arus laut, pasang surut, bentuk pantai, bentuk butir pasir, biota pantai, dan bahaya tsunami. Bertiupnya angin sepoisepoi di wilayah pantai membuat wisatawan merasa nyaman di pantai itu. Gelombang tipe melimpah (spilling) memudahkan wisatawan untuk melakukan kegiatan berperahu, memancing ataupun menikmati keindahan bawah laut, dan sebaliknya gelombang tipe menunjam (plunging) sangat potensial untuk kegiatan selancar. Arus sibak (rip current) sangat penting untuk diperhatikan, terutama bagi para perenang di perairan pantai, karena jenis arus ini dapat menyeret perenang ke laut lepas yang dalam sehingga dapat terjadi kecelakaan yang mematikan (di Parangtritis, arus sibak ini seringkali membawa korban jiwa). Sebaliknya bagi para peselancar, arus sibak ini justru dicari untuk memudahkan peselancar mencapai gelombang pecah. Pasang surut dijadikan pertimbangan dalam pembangunan dermaga ataupun anjungan di lepas pantai. Bentuk butir pasir

42 23 sangat berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata karena semakin bulat bentuknya (high sphericity), pasir pantai semakin nyaman untuk wisata pantai, dan perencanaan dan pengembangan wisata pantai harus memperhatikan adanya potensi bahaya tsunami karena wilayah Indonesia merupakan pertemuan tubrukan lempeng tektonik, sehingga di dasar laut Indonesia banyak dijumpai pusat gempa. Pantai-pantai yang potensial terlanda tsunami antara lain di pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Biak, dan Maluku Pengelolaan Wilayah Pesisir Dalam pengelolaan wilayah pesisir, terdapat lima strategi dalam pengelolaan wilayah pesisir (Shoreline management - Wikipedia, the free encyclopedia.htm, 2007) seperti yang tersaji dalam Gambar 8. Gambar 8. Lima Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir (Wikipedia, 2007) Keterangan : 1. Do Nothing, artinya tidak dilakukan upaya-upaya pengelolaan di wilayah pesisir. Wilayah pesisir dibiarkan apa adanya sesuai dengan dinamika ekosistem yang terjadi. Hal ini berarti bahwa proses dan dinamika yang terjadi di wilayah pesisir sudah mengalami keseimbangan secara alamiah dan tidak terjadi kerusakan lingkungan.

43 24 2. Managed realignment atau managed retreat, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara mengatur kembali semua bangunan untuk menjauh dari garis pantai disebabkan oleh dinamika oseanografi yang membahayakan bangunan-bangunan tersebut. Hal ini berarti bahwa di wilayah pesisir telah terjadi perubahan proses dan dinamika oseanografi sehingga upaya pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan cara menata ulang kembali semua kegiatan di wilayah darat pesisir. 3. Hold the line, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membuat bangunan (talut) sepanjang garis pantai untuk menahan gelombang laut. Hal ini berarti bahwa upaya pengelolaan wilayah pesisir perlu dimasukkan rekayasa teknologi berupa bangunan penahan gelombang, baik penahan gelombang alamiah (vegetasi) maupun penahan gelombang berupa bangunan fisik. 4. Move seaward, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara memindahkan bentangalam alami seperti gumuk pasir ke arah laut yang berfungsi untuk melindungi bangunan-bangunan yang ada di belakangnya. 5. Limited intervention, artinya upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membatasi pendirian bangunan pada lahan-lahan pesisir yang secara ekologis berfungsi menahan gelombang laut seperti lahan basah (wetland) antara lain mangrove, dan lain-lain Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk mengkaji tentang obyek atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat pengindera atau sensor tanpa kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji. Sensor tersebut pada umumnya dipasang pada pesawat terbang, satelit maupun pesawat ulang-alik (Lillesand and Kiefer, 1990 dan Sutanto, 1986). Sebagai sumber data spasial, citra penginderaan jauh baik foto udara maupun citra lain sangat sering digunakan untuk penyadapan data ekosistem, termasuk ekosisitem pesisir dan lautan. Dalam kaitannya dengan kajian tipologi pesisir yang ditinjau dari aspek fisik lahan, peranan data penginderaan jauh cukup besar dalam menyediakan data-data fisik lahan tersebut antara lain relief dapat diidentifikasi dari foto udara

44 25 skala besar, material penyusun dapat diidentifikasi dari foto udara skala besar dan citra Landsat TM, sumber dan lokasi pengendapan dari proses sedimentasi di muara sungai dan di sepanjang pantai dapat dilakukan dengan kajian data airborne dan spaceborne, pendekatan multitemporal dan multispektral visible dan inframerah dapat digunakan untuk melacak perkembangan sedimentasi yang terjadi, kajian arus dan gelombang dapat dilakukan dengan identifikasi citra multispektral terutama pada citra di spektrum tampak, dan lain-lain. Selain teknik penginderaan jauh, saat ini telah berkembang Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis merupakan alat yang dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali, transformasi, dan menampilkan suatu data dengan tujuan tertentu. Data tersebut dapat berupa data spasial maupun data atribut. Data spasial merupakan data yang mencerminkan aspek keruangan, sedangkan data atribut merupakan data yang menggambarkan suatu atribut tertentu (Aronoff, 1989). Keterpaduan/integrasi penginderaan jauh dengan SIG yaitu bahwa data penginderaan jauh mampu memberikan data spasial yang cukup lengkap terutama data fisik lahan yang akurat dan cepat sebagai input data dalam SIG, sehingga sangat memudahkan dalam pengolahan dan analisis data. Kombinasi antar keduanya mampu mengatasi permasalahan perencanaan dalam ketersediaan dan kebutuhan akan informasi yang akurat dan lengkap, serta pengolahan data spasial sehingga mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada Telaah Hasil Penelitian yang terdahulu dan terkait dengan penelitian ini Purnomo, H (2000) dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Foto Udara Inframerah Berwarna untuk Pemetaan Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Progo Bagian Hilir, Sentolo, Yogyakarta, melakukan interpretasi foto udara inframerah berwarna skala 1 : untuk melakukan pemetaan geomorfologi melalui relief, jenis dan umur batuan, Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat 6 bentukan asal meliputi : a) Bentukan asal fluvial dengan 8 unit bentuklahan, b) Bentukan asal volkanik dengan 1 unit bentuklahan, c). Bentukan asal struktural dengan 2 satuan bentuklahan, d) Bentukan asal denudasional terdiri dari 4 unit bentuklahan, e) Bentukan asal marin terdiri dari 6 unit bentuklahan, dan f) Bentukan asal aeolian terdiri dari 2 unit bentuklahan.

45 26 Yusuf (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Aplikasi Foto Udara dan SIG untuk Pemilihan Letak (Site Selection) Jalur Jalan Alternatif antara Panggang Wonosari Kabupaten Gunungkidul, DIY, melakukan interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : dan skala 1 : sebagian Kabupaten Gunungkidul dan peta tanah untuk memperoleh informasi kemiringan lereng, relief, kerawanan terhadap longsor, tutupan vegetasi, drainase permukaan dan penggunaan lahan. Metode yang digunakan melalui pengharkatan dan tumpang-susun (overlay) terhadap semua parameter informasi lahan yang digunakan sehingga diperoleh peta daerah terpilih untuk jalur jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketelitian interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : untuk semua karakteristik lahan mencapai lebih dari 80 % dan sebagian besar daerah penelitian merupakan lokasi potensial IV untuk pembuatan jalur jalan dengan karakteristik lahan berupa kemiringan lereng > 15%, relief berbukit, dan potensi longsor lahan besar. Wuryani, Esti (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Citra Digital Landsat 7 ETM+ untuk Penentuan Kedalaman Laut Dangkal di Perairan Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, melakukan pengolahan dan analisis data Landsat 7 ETM+ secara digital menggunakan perangkat lunak ER Mapper untuk memperoleh informasi tentang kedalaman perairan. Proses rektifikasi menggunakan interpolasi tetangga terdekat sedangkan tipe rektifikasinya adalah polinomial. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode terselia. Metode uji ketelitian menggunakan metode confussion matrix yang dilakukan dengan menggunakan titik-titik sekutu antara peta hasil klasifikasi dengan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) sebagai peta referensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan citra Landsat 7 ETM+ untuk pemetaan kedalaman laut dangkal memiliki keterbatasan hanya mampu mendeteksi sampai kedalaman 10 meter. Suanda (2001) melakukan penelitian di Kawasan Pantai Kabupaten Jembrana Bali untuk menentukan daerah rehabilitasi mangrove. Sumber data yang digunakan meliputi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : , data statistik, peta rupabumi, peta tanah dan uji lapang, dan pemrosesan data digunakan pengolah data spasial SIG. Variabel penentu kesesuaian lahan untuk mangrove terdiri atas aspek fisik (bentuklahan, penggunaan lahan, salinitas, tekstur, dan genangan) dan aspek sosial (kepadatan penduduk). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mangrove yang dominan di daerah penelitian adalah

46 27 Avicenia marina, Rhizophora apiculata, dan Sonneratia alba. Kondisi aktual mangrove sebagian dalam kondisi sedang (7 lokasi transek) dan rusak (1 lokasi transek) yang perlu direhabilitasi dan baik (3 lokasi transek) yang perlu dipertahankan Kerangka Teoritis Wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara darat dan laut. Berbagai macam proses yang terjadi di daratan dan di lautan akan bertemu di wilayah pesisir. Demikian juga material penyusun yang berasal dari daratan dan lautan akan bertemu dan berinteraksi di wilayah pesisir. Berbagai macam proses genetik dan material penyusun yang saling berinteraksi ini akan membentuk berbagai macam tipologi pesisir di lapangan. Karakteristik seperti ini terjadi di wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses fluvial dan marin yang mendominasi di wilayah pesisir bagian barat (meliputi Kabupaten Bantul dan Kulon Progo) membentuk tipologi pesisir dengan topografi yang datar dan bermaterial pasir dan lumpur, dan ini berbeda dengan tipologi pesisir di wilayah pesisir bagian timur (meliputi Kabupaten Gunungkidul) dengan dominasi proses solusional (karst) sehingga membentuk tipologi pesisir yang mempunyai topografi curam dan bermaterial padu (batu). Tipologi pesisir di wilayah pesisir DIY akan membentuk suatu pengelompokan (zonasi) sesuai dengan proses genetik dan material penyusunnya yang membentuk relief atau kondisi topografi tertentu. Pengelompokan tipologi pesisir ini akan memberikan ciri atau karakteristik pada sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di dalamnya, sehingga zonasi tipologi pesisir ini dapat digunakan sebagai unit analisis untuk perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir DIY yang berkelanjutan. Perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan dan permukiman akan sangat membantu apabila didasarkan pada tipologi pesisirnya. Citra penginderaan jauh seperti foto udara sebagai sumber data spasial, ditunjang dengan peta-peta tematik lainnya seperti peta geologi, peta topografi, merupakan sumber data untuk memperoleh data bentuklahan, proses genetik, material penyusun, dan relief sebagai indikator penentuan tipologi pesisir. Foto udara merupakan rekaman sesaat dari berbagai kenampakan alamiah maupun

47 28 bentang budaya sesuai kenampakan sebenarnya pada saat pemotretan. Oleh karena itu obyek yang tergambar pada foto udara mempunyai wujud dan posisi yang mirip dengan kenampakan di lapangan. Obyek yang tergambar pada foto udara dapat dikenali berdasarkan karakteristik spektral dan karakteristik spasialnya. Karakteristik spektral obyek dicerminkan oleh rona/warna, sedangkan karakteristik spasialnya dicerminkan oleh bentuk, ukuran, tekstur, bayangan, pola, situs, dan asosiasi. Berdasarkan karakteristik spektral dan spasial tersebut, sebagian variabel potensi wilayah pesisir untuk berbagai kegiatan dapat diidentifikasi. Untuk keindahan alam termasuk di dalamnya adalah potensi lanskap (landscape) yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam kegiatan pariwisata pesisir. Lanskap merupakan bagian dari permukaan bumi dengan seluruh fenomena yang ada di dalamnya yang berasal dari gabungan atau kombinasi dari kenampakan bentuklahan. Lanskap juga lebih mengarah pada suatu kenampakan dari alam yang dapat dinikmati karena keindahan dan kenyamanannya. Pariwisata pesisir adalah jenis wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pesisir (coastal landscape). Penentuan pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir DIY dimulai dari mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh besar terhadap dinamika wilayah pesisir seperti gelombang, arus, angin, pasang surut, termasuk di dalamnya lanskap-lanskap yang berpotensi untuk pariwisata dalam satu unit analisis tipologi pesisir tertentu. Banyak sekali aspek yang dinilai dari suatu landskap untuk dapat ditentukan pola pengembangan dan pengelolaannya, sehingga diperlukan suatu metode analisis yang berbasis komputer yang dapat melakukan penilaian sekaligus pemodelan secara cepat dan akurat untuk menentukan prioritas pengembangan wilayah pesisir dan pola pengelolaannya. Sebagai data spasial, analisis dan pemodelan spasial sumberdaya pesisir untuk menentukan pola pengembangan dan pengelolaannya digunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. SIG adalah sistem yang dapat mendukung pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan

48 29 deskripsi-deskripsi lokasi dengan karakteristik-karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut. Dalam menentukan pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan tipologi fisik pesisir dengan menggunakan pengolah data spasial SIG dimasukkan faktor-faktor eksternal seperti tata ruang, prinsip-prinsip pengelolaan dan faktor rawan bencana seperti tsunami, banjir, erosi, dengan harapan bahwa pola pengembangan dan pengelolaan yang dihasilkan akan lebih komprehensif mencakup banyak parameter dan lebih siap untuk diaplikasikan di lapangan. Penjelasan kerangka teoritis di atas secara skematis disajikan dalam Gambar 9.

49 WILAYAH PESISIR YOGYAKARTA Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Zonasi Tipologi Pesisir ---- unit analisis ---- Pariwisata Perikanan Pertanian Pelabuhan Permukiman SBE Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian : Kriteria Penilaian ; Lanskap Kualitas lingkungan Pola Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Model Visual dan Spasial Pola Pemanfaatan pada Tipologi Pesisir Tata Ruang Prinsip-prinsip Pengelolaan Rawan bencana : - banjir - gempa bumi - tsunami S W O T A N A L I S I S DAN P E M O D E L A N S P A S I A L Pola Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir DIY Gambar 9. Diagram Alir Kerangka Teoritis

50 Daftar Istilah (Glossary) Aeolian adalah bentuklahan yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin (Puslittanah Bogor, 1996) Arus laut adalah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, pasang surut, perbedaan kepekaan air laut atau aliran air sungai yang bermuara di laut itu (Sunarto, 2003) Arus balik (rip current) adalah aliran balik terkonsentrasi melewati jalur sempit yang mengalir kuat ke arah laut dari zona empasan (surf zone) melintasi gelombang pecah hingga ada di laut lepas-pantai (Sunarto, 2003) Bentanglahan (landscape) adalah kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alam yang memiliki komposisi tertentu dan julat (range) karakteristik fisikal dan visual tertentu dimanapun medan tersebut ditemukan (Sutikno, 1993) Cliff (sea cliff) adalah bidang vertikal batuan yang terbentuk oleh hantaman gelombang laut tepi pantai (Setiyono, 1996) Fluvial adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan proses geomorfik dimana air mengalir adalah faktor tenaga yang paling dominan (Setiyono, 1996) Fluvio-marin adalah bentulahan yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan bentuklahan ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut (Puslittanah Bogor, 1996) Gelombang laut adalah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau puncak gelombang dan palung atau lembang gelombang oleh gerak ayunan (oscillatory movement), akibat tiupan angin, erupsi gunungapi, gempa bumi, pelongsoran dasar laut, atau lalulintas kapal (Sunarto, 2003) Geluh (loam) adalah klas dalam tekstur batuan dimana terdapat percampuran secara proporsional antara pasir, debu dan lempung (Setiyono, 1996). Gisik (beach) adalah mintakat pantai dengan timbunan sedimen lepas yang tebal, yaitu terbatas pada bagian pantai-belakang (backshore) tetapi sering meluas ke arah pantai-depan (foreshore) (Setiyono, 1996) Gumuk pasir (sand dunes) adalah endapan pasir eolin yang tebal ( > 50cm) dengan bentuk-bentuk khas sesuai dengan arah angin berupa gumukgumuk (Puslittanah Bogor, 1996)

51 32 Karst adalah istilah yang digunakan untuk mendefinisikan bentuklahan yang didominasi oleh bahan batugamping masif (limestone), pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Bentuklahan ini dicirikan oleh adanya proses pelarutan bahan batuan penyusun, yaitu dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalakmitstalaktit, sinkhole, doline, uvala, dan tower karst (Puslittanah Bogor, 1996). Kawasan pesisir adalah bagian Wilayah Pesisir yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya (UU No. 27 tahun 2007) Kawasan Pemanfaatan adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan (UU No.27 tahun 2007). Pantai (shore) adalah mintakat antara tepi perairan laut pada pasang rendah sampai ke batas efektif pengaruh gelombang ke arah daratan (Setiyono, 1996). Pasang-surut adalah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh Bulan dan Matahari, terhadap massa air laut di Bumi (Sunarto, 2003) Patahan adalah bidang retakan pada batuan di kerak bumi yang menunjukkan adanya pergeseran atau pergerakan Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (UU No. 27 Tahun 2007) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk mengkaji tentang obyek atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat pengindera atau sensor tanpa kontak langsung dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990) Pesisir (coast) adalah mintakat yang meliputi pantai (shore) dan perluasannya ke arah darat sampai batas pengaruh laut tidak ada (Setiyono, 1996). (ke)pesisir(an) (coastal) adalah mintakat dimana ke arah laut dibatasi pada lokasi awal pertama kali gelombang pecah terjadi ketika surut terendah dan ke arah darat dibatasi oleh batas terluar bentuklahan kepesisiran di pedalaman (Sunarto, 2003).

52 33 Relief adalah rata-rata perbedaan ketinggian permukaan bumi, baik permukaan daratan maupun dasar laut (Setiyono, 1996) Scenic Beauty Estimation (SBE) adalah metode penilaian secara visual suatu lanskap untuk analisis suatu pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah system berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis (Aronoff, 1989). Swale (rawa pantai) adalah wilayah rendah di belakang tanggul pantai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Puslittanah Bogor, 1996). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksifraksi pasir, debu, dan lempung (Jamulya dan Suratman, 1993) Tipologi adalah penjabaran ilmiah dan pembagian menurut watak dan ciri (Dagun, 2006). Tipologi fisik pesisir adalah pengelompokan atau pembagian pesisir menurut sifat fisiknya dalam tipe-tipe (jenis-jenis) dan penggambaran tipe itu. Tsunami adalah istilah yang digunakan untuk menyebut gelombang dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh adanya gangguan atau perubahan elevasi dasar laut (Pratikto, 1997) Tsunami adalah gelombang yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunungapi di laut. Gelombang yang terjadi bervariasi dari 0,5 m sampai 30 m dan periode dari beberapa menit sampai sekitar 1 jam (Triatmojo, 1999). Unit analisis/unit pemetaan adalah satuan terkecil dalam pemetaan yang digunakan sebagai satuan analisis, misalnya sebagai satuan untuk pengambilan sampel lapangan Volkan adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan bentuklahan yang terbentuk karena aktifitas volkan/gunung berapi. Bentuklahan ini dicirikan dengan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava atau dataran yang merupakan akumulasi bahan volkanik (Puslittanah Bogor, 1996). Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut ( UU No. 27 tahun 2007) Zona Litoral adalah daerah pantai yang terletak diantara pasang tertinggi dan surut terendah (Dahuri, dkk, 2004)

53 34 III. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian 1. Global Positioning System (GPS) Receiver tipe navigasi, untuk mengetahui posisi titik di permukaan bumi berbasis satelit 2. Kompas Geologi, untuk mengukur arah dan kemiringan 3. Abney level, untuk mengukur kemiringan lereng 4. Yalon dan meteran, untuk mengukur jarak 5. Kamera Digital, untuk pengambilan gambar/foto lanskap pesisir 6. Stereoskop cermin, untuk interpretasi citra secara stereoskopis 7. Soil test kit untuk test secara cepat ciri tanah di lapangan 8. Seperangkat alat komputer, lengkap dengan program aplikasi berbasis windows, yaitu : a. ArcView GIS Version 3.1, untuk delineasi dan pembuatan peta lanskap, dan konversi format data b. ArcView Spatial Analysis Version 1.0, untuk analisis dan pemodelan spasial data lanskap untuk pariwisata Bahan-bahan penelitian 1. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Skala 1 : Tahun 2000 yang meliputi wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk menyadap data/informasi bentuklahan, penggunaan lahan dan aksesibilitas 2. Peta Bathimetri skala 1 : lembar daerah penelitian yang diterbitkan oleh DISHIDROS TNI-AL, untuk mengetahui data kedalaman laut wilayah pesisir daerah penelitian 3. Peta Rupabumi skala 1 : lembar daerah penelitian yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL, untuk mengetahui kondisi topografi/relief dan juga penggunaan lahan daerah penelitian 4. Peta Geologi skala 1 : Lembar Yogyakarta, yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan Bandung, untuk mengetahui kondisi batuan, proses genetik dan materi penyusun utama wilayah pesisir

54 35 5. Peta Kerawanan Bencana dari Bappeda DIY, untuk mengetahui kerawanan bencana di wilayah pesisir. 6. Data Iklim meliputi suhu, curah hujan, kelembaban, dan kecepatan angin, yang diterbitkan oleh Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta. 7. Data pasang surut, gelombang, angin dan arus laut, yang diterbitkan oleh DISHIDROS TNI-AL. 8. Data obyek wisata dari Dinas Pariwisata Kabupaten di daerah penelitian Tahapan Penelitian Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada bulan September 2006 April Tahapan penelitian secara garis besar meliputi tahap pendahuluan untuk orientasi wilayah penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2006, kemudian tahap perolehan data (penelitian lapangan) yang dilaksanakan pada bulan Oktober Desember 2006, tahap pengolahan dan analisis data, serta tahap penyajian hasil dan analisis hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Januari April Metode Pengambilan Sampel Penentuan titik sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan titik sampel mendasarkan pada tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah menentukan tipologi pesisir dari aspek fisik, maka penentuan titik sampel memperhatikan kondisi fisik wilayah pesisir. Kondisi fisik ini dicerminkan oleh bentuklahannya yang merupakan cerminan kondisi geologi, geomorfologi, lereng, tanah, hidrologi, dan penggunaan lahan, sehingga penentuan titik sampel mendasarkan pada sebaran bentuklahannya. Secara terperinci dalam tahapan penelitian ini akan diuraikan metode penelitian yang mencakup : Penentuan Tipologi Fisik Pesisir Dasar penentuan klasifikasi tipologi fisik pesisir menggunakan sistem Proses Respon, yang merupakan kombinasi antara sistem morfologi dan sistem cascade (merujuk pada aliran energi dan zat pada sistem pesisir). Sistem morfologi merujuk pada metode pengelompokan yang mendasarkan pada relief,

55 36 material penyusun utama, proses genesa, sedangkan sistem cascade yang merujuk pada aliran energi mengacu pada penentuan tipologi pesisir yang dilakukan oleh Europen Union for Coastal Conservation/EUCC (1998) terutama pada rezim pasang surut yaitu dominasi proses yang terjadi antara pasang surut, gelombang dan sungai, sehingga klasifikasi tipologi fisik pesisir dikelompokkan seperti dalam Tabel 3 di bawah ini. Penentuan tipologi fisik pesisir dilakukan dengan menelusuri tiga komponen (unsur) pembentuknya yaitu materi penyusun utama, relief dan proses genesanya (termasuk disini adalah proses yang dominan). Dalam teknik identifikasi ini, terlebih dahulu diidentifikasi reliefnya (berelief tinggi atau rendah), kemudian diidentifikasi materi penyusun utamanya (material padu, material lepas/klastik, material lembek/lumpur, atau materinya organisme), setelah itu diidentifikasi proses genesa (struktural, vulkanik, solusional, marin, fluvio-marin Tipologi Pesisir A. Primer (primary coast) 1. Pesisir erosi darat (land erosion coast) 2. Pesisir pengendapan darat (sub-aerial deposition coast) 3. Pesisir gunungapi (volcanic coast) 4. Pesisir structural (structurally shaped coast) B. Sekunder (secondary coast) Tabel 3. Klasifikasi Tipologi Pesisir Keterangan pesisir yang terbentuk terutama akibat proses erosi di darat. Termasuk disini adalah pantai-pantai pada topografi karst.berbatuan keras dan mempunyai bentuk pantai yang terjal. Pesisir yang terbentuk akibat proses pengendapan bahan-bahan sedimen sungai. Termasuk disini adalah proses pembentukan delta sungai dan rataan pasang-surut. Berbatuan lunak atau lembek (lumpur), mempunyai bentuk pantai yang datar dan proses yang dominan adalah aliran sungai. Pesisir yang terbentuk akibat proses vulkanik di tengah laut. Termasuk disini adalah pantai aliran lava. Berbatuan keras (padu) dan mempunyai bentuk pantai yang terjal. pesisir yang terbentuk akibat proses patahan, lipatan, Berbatuan keras (padu) dan mempunyai bentuk pantai yang terjal. 1. Pesisir erosi gelombang (wave erosion coast) Pesisir dengan garis pantai yang terbentuk akibat aktivitas gelombang, yang mungkin berpola lurus atau tidak teratur, tergantung pada komposisi maupun struktur dari batuan penyusun, seperti pada proses erosi gelombang pada tebing pantai. Berbatuan keras (padu), mempunyai bentuk pantai yang terjal dan proses yang dominant adalah gelombang.

56 37 2. Pesisir pengendapan laut (marine deposition coast) 3. Pesisir organic (coast built by organism) pesisir yang dibentuk oleh deposisi/ pengendapan material sedimen laut. Berbatuan lunak dan sedimen terkini (recent sediment), mempunyai bentuk pantai yang datar dan proses yang dominan umumnya adalah pasang-surut. Pesisir dengan garis pantai yang terbentuk akibat aktivitas hewan atau tumbuhan, termasuk terumbu karang, atau tumbuh-tumbuhan seperti mangrove. Material penyusun lunak (pasir) dan mempunyai bentuk pantai yang datar. Sumber : Shepard (1973), EUCC (1998),Sunarto (2003) dan Rahardjo (2003),modifikasi aeoliomarin, biomarin). Proses marin sendiri lebih diperinci pada aktivitas gelombang atau pasang surut yang lebih dominan pengaruhnya, yaitu dengan melihat julat pasang-surutnya (apabila julat pasang-surutnya lebih dari 2 m maka aktivitas pasang-surut yang lebih dominan, sedangkan apabila julat pasang-surutnya kurang dari 2 m maka aktivitas gelombang yang lebih dominan). Dengan mengetahui ketiga faktor tersebut akan memudahkan dalam menentukan tipe pesisir di daerah penelitian. Teknik pengumpulan data Sumber data yang dipergunakan untuk memperoleh data-data tersebut adalah foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : tahun 2000 (lihat Gambar 10), Peta Geologi skala 1 : , Peta Rupabumi skala 1 : (lihat Gambar 11), dan cek lapangan. Cek lapangan dilakukan dengan mendatangi titik-titik lokasi di lapangan yang telah ditentukan sebelumnya dengan mendasarkan pada identifikasi bentuklahan untuk melakukan pengamatan, pengukuran, dan pencocokan hasil interpretasi. Hasil interpretasi foto udara pankromatik hitam putih diperoleh data bentuklahan, penggunaan lahan dan aksesibilitas. Hasil interpretasi peta geologi diperoleh data materi penyusun utama suatu bentuklahan, sedangkan dari peta rupabumi diperoleh data tentang kemiringan lereng melalui interpretasi garis kontur. Cek di lapangan dilakukan untuk mengecek hasil interpretasi citra dan peta-peta tematik untuk dicocokkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, disamping itu dalam cek lapangan dilakukan pengamatan dan pengukuran data-data penelitian yang tidak dapat disadap dari interpretasi citra dan peta-peta.

57 38 Gambar 10. Foto Udara Pankromatik Hitam Putih Daerah Parangtritis, Bantul tahun 2000 (Fakultas Geografi UGM, 2000) Gambar 11. Peta Rupabumi lembar Brosot, Yogyakarta tahun 1998 (Bakosurtanal, 1998) Data sekunder dari instansi terkait juga digunakan dalam penelitian ini. Data sekunder tersebut mencakup data-data yang membutuhkan waktu cukup lama untuk pengukurannya seperti data gelombang, pasang-surut, arus, kedalaman laut, dan data-data iklim yang meliputi curah hujan, arah dan kecepatan angin, dan lain-lain. Instansi yang dihubungi untuk memperoleh data tersebut adalah BMG stasiun Geofisika Yogyakarta, Dishidros TNI-AL, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, dan dinas terkait lainnya. Secara grafis hubungan antara jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.

58 39 Tabel 4. Matriks Jenis Data dan Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian No Jenis Data FU Pankromatik (H/P) 1 Bentuklahan 2 Penggunaan Peta Rupabumi Sumber Data Peta Geologi Peta Batimetri Uji Lapangan dan Lab. Data seknder lahan 3 Relief/lereng 4 Materi utama 5 Proses genesa 6 Kedalaman 7 Gelombang 8 Pasang surut 9 Arus 10 Curah hujan 11 Suhu udara 12 Kec.angin 13 Hidrologi 14 Flora fauna 15 Aksesibilitas 16 Rawan bencana Identifikasi bentuklahan Bentuklahan diinterpretasi secara visual dari foto udara. Identifikasi bentuklahan dari foto udara mengacu pada bentuk atau relief, density (tekstur/photographic grey tone) dan lokasi (situs ekologi). Hasil identifikasi bentuklahan kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan proses genesa (bentukan asal) dari setiap bentuklahan tersebut. Klasifikasi proses genesa yang digunakan dalam penentuan tipologi fisik pesisir adalah seperti dalam Tabel 5. Sistem klasifikasi bentuklahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 5. Klasifikasi Proses Genesa untuk Penentuan Tipologi Fisik Pesisir No Proses Genesa Keterangan 1. Struktural Pesisir yang terbentuk akibat proses-proses tektonik, seperti lipatan dan patahan 2 Vulkanik Pesisir yang terbentuk oleh aktivitas gunungapi 3. Solusional Pesisir yang terbentuk oleh proses pelarutan seperti pantai-pantai karst. 4 Marin Pesisir yang terbentuk oleh aktivitas marin (laut) yaitu gelombang dan pasang-surut 5 Fluviomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas sungai (fluvial) yang dominan dan marin (laut) 6 Aeoliomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas angin (aeolian) yang dominan dan marin (laut) 7 Biomarin Pesisir yang terbentuk oleh campuran aktivitas biogenik/organisme yang dominan dan marin (laut) Sumber : Sunarto, 2003 dan modifikasi

59 40 Identifikasi penggunaan lahan Identifikasi penggunaan lahan dari foto udara dilakukan berdasarkan jenis penutup lahan yang dikaitkan dengan bentuklahannya, yang dikenali dari unsur-unsur interpretasi seperti rona, bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, situs dan asosiasi. Identifikasi penggunaan lahan dibantu juga dengan menggunakan peta rupabumi dan pengecekan lapangan. Identifikasi penggunaan lahan saat ini melalui penelitian lapangan penting untuk diketahui sebagai dasar untuk mengetahui apakah pemanfaatan lahan yang ada sudah sesuai dengan kondisi fisik yang dicerminkan dari tipologi fisik pesisirnya. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dapat dilihat pada Lampiran 3. Identifikasi materi penyusun utama Identifikasi materi penyusun terutama dilakukan melalui interpretasi peta geologi, dibantu dengan hasil interpretasi bentuklahan melalui foto udara. Dalam identifikasi materi penyusun utama ini selalu dikaitkan dengan bentuklahan karena pada setiap bentuklahan yang berbeda akan dibentuk oleh materi penyusun yang berbeda pula. Lihat Tabel 6. Tabel 6. Hubungan antara Bentuklahan dan Material Penyusun Satuan Bentuklahan Dasar sungai, gosong sungai, padang lahar Teras sungai, kipas alluvial, lereng kaki Gumuk pasir, delta bar, pasir pantai, beting pantai, spit, tanggul alam Dataran alluvial, dataran pantai, ledok fluvial, rawa belakang Material Penyusun Campuran gravel/kerikil (0,6 60 mm) pasir (0,02 0,6 mm) Campuran gravel-pasir-material halus/lempung Pasir atau pasir dengan material halus/lempung Hampir seluruhnya material halus/lempung Sumber : Rib (1975) dalam Suharsono (1984) Klasifikasi materi penyusun utama dikelompokkan dalam materi padu, material lepas/klastik, material lembek/lumpur, dan materi yang berasal dari sisa organisme. Klasifikasi material penyusun utama yang digunakan dalam penentuan tipologi fisik pesisir seperti pada Tabel 7.

60 41 Tabel 7. Klasifikasi Material Penyusun Utama untuk Tipologi Fisik Pesisir No Material Penyusun Utama 1 Pesisir dengan material padu (keras) 2 Pesisir dengan material lempung/lumpur (liat) 3 Pesisir dengan material pasir (lepas) 4 Pesisir dengan material sisa-sisa organisme Sumber : Sunarto, 2003 Penentuan kelompok material penyusun utama tersebut mendasarkan pada ukuran butir (lihat Tabel 8). Penentuan jenis material pasir dan lempung dapat dilakukan melalui analisis tekstur tanah untuk mengetahui sifat fisis tanah yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah yaitu pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat). Tabel 8. Klasifikasi Material Permukaan Jenis Material Permukaan Berangkal (boulder) Kerakal (cobble) Batu kerikil (Gravel) Pasir (sand) Lempung (clay) Ukuran Butir (mm) > 200 mm mm 2 60 mm 0,02 2 mm < 0,02 mm Sumber : Wesley (1977) Pengukuran kemiringan lereng Kemiringan lereng permukaan bumi adalah sudut yang dibentuk antara bidang datar (bidang semu) terhadap bidang miring permukaan bumi. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan menggunakan alat abney-level melalui pengukuran langsung di lapangan. Pengukuran dengan menggunakan alat abney-level akan diperoleh data kemiringan lereng dalam satuan derajat dan persen. Abney-level adalah alat pengukur sudut miring menggunakan suatu teropong yang diperlengkapi dengan alat bidik. Teropong dapat berputar dengan sumbu mendatar sebagai sumbu putar dan bersama-sama dengan teropong dapat berputar pada suatu rangka yang bagian bawahnya berbentuk busur lingkaran. Busur lingkaran ini diberi skala yang menyatakan sudut miring garis bidik teropong dalam derajat atau dalam persen. Cara menggunakan alat ini adalah alat abney level ditempatkan di atas tongkat seperti yalon. Untuk mengukur sudut miring lapangan,

61 42 teropong diarahkan ke titik yang sama tingginya dengan teropong pada tongkat yang ditancapkan di titik lain di lapangan. Dengan mengeraskan skrup keadaan teropong tetap, sedang pada skala dengan garis yang ada pada plat dipat dibaca besarnya sudut miring. α = sudut kemiringan lereng α Gambar 12. Pengukuran Kemiringan Lereng dengan Abney-level Klasifikasi relief yang digunakan dalam penyusunan tipologi fisik pesisir adalah seperti dalam Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi Relief untuk Penyusunan Tipologi Fisik Pesisir No Relief Keterangan 1 Datar Sudut kemiringan lereng 0-2 % 2 Landai Sudut kemiringan lereng 3 14 % 3 Agak curam Sudut kemiringan lereng % 4 : 5 V Curam/terjal Sangat curam Sudut kemiringan lereng % Sudut kemiringan lereng > 40 % Sumber : van Zuidam, R.A. and van Zuidam-Cancelado Cek lapangan Hasil interpretasi foto udara tersebut selanjutnya diuji kebenarannya dengan mencocokkan pada kondisi lapangan sebenarnya berdasarkan sampel yang telah ditetapkan, disamping itu juga dilakukan beberapa pengukuran lapangan untuk memperoleh data-data yang tidak dapat disadap dari hasil interpretasi foto udara, seperti data tentang kondisi

62 43 tanah meliputi tekstur, ph, salinitas, bahan organic, dan lain-lain, dan juga kondisi air (hidrologi) meliputi suhu, salinitas, ph, dan lain-lain. Alat yang digunakan adalah soil test kit (tanah) dan EC meter (air). Data-data ini penting untuk diketahui sebagai dasar dalam menentukan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir. Tipologi fisik pesisir Untuk mempermudah dalam mengklasifikasikan tipologi pesisir yang mendasarkan pada relief/kemiringan lereng, materi penyusun utama dan proses genesanya, selanjutnya dibuat tabel analisis berupa matriks seperti yang tersaji pada Tabel 10. Tipe Pesisir Tabel 10. Matrik Penentuan Tipologi Fisik Pesisir Pesisir Erosi Darat Pesisir Pengendapan Darat Pesisir Gunung Api Pesisir Struktural Pesisir Pengendapan Laut Pesisir Erosi Gelombang Pesisir Organik Parameter Tipologi A. Relief 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam/terjal 5. Sangat curam B.Material Penyusun Utama 1. Padu (batu) 2.Lembek(lumpur 3. Lepas (pasir) 4. Organisme C. Proses Genesa 1. Struktural 2. Vulkanik 3. Solusional 4. Marin a. pasang surut b. gelombang 5. Fluviomarin 6. Aeoliomarin 7. Biomarin Sumber : Shepard (1973), EUCC (1998), Sunarto (2003), dan modifikasi Sunarto (2003) memberikan cara mengidentifikasi secara geomorfologis tipe pesisir seperti tersaji dalam Gambar 13.

63 31 Relief Materi Penyusun Utama Proses Genesa Tipologi Fisik Pesisir Struktural Sesar Pesisir Struktural Kekar Pesisir Struktural Relief Tinggi: - Agak curam - Curam/terjal - Sangat curam Materi penyusun padu Marin (gelombang) Vulkanik Lipatan Pesisir Struktural Pesisir Erosi Gelombang Pesisir Vulkanik Solusional Pesisir Erosi Darat PESISIR Materi penyusun padu Biogenik Pesisir Organik Aeoliomarin Pesisir Materi penyusun pasir (lepas) Marin (pasang surut) Pengendapan Laut Pesisir Pengendapan Laut Relief rendah: - datar - landai Biomarin Marin (pasang surut) Pesisir Organik Pesisir Pengendapan Laut Materi penyusun Lumpur (lembek) Fluviomarin (sungai) Pesisir Pengendapan Darat Gambar 13. Diagram Alir Identifikasi Geomorfologis Pesisir (Sunarto, 2003) dengan modifikasi

64 45 Pengolahan data Tahap pengolahan data dilakukan dengan melakukan konversi data/peta analog ke dalam bentuk digital. Metode yang digunakan adalah on screen digitizing, yaitu input data/peta analog melalui proses scanning kemudian dilakukan digitasi pada monitor (on screen digitizing) sehingga dihasilkan peta digital. Koreksi hasil digitasi (seperti undershoot dan overshoot) perlu dilakukan untuk menghasilkan peta digital yang siap untuk dianalisis menggunakan SIG. Disamping koreksi hasil digitasi, perlu juga dilakukan transformasi proyeksi dan koordinat untuk memposisikan peta seperti kondisi sebenarnya di lapangan. Proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Software yang dipergunakan adalah ArcView 3.2. dan ArcGIS 9.1. Pemodelan spasial menggunakan SIG dilakukan dengan metode tumpang-susun (overlay) dari ketiga parameter yaitu parameter relief, materi penyusun utama, dan proses genesa, sehingga dihasilkan peta tipologi fisik wilayah pesisir daerah penelitian. Peta tipologi fisik pesisir yang dihasilkan ini selanjutnya dipergunakan sebagai peta unit analisis, yaitu sebagai unit atau area untuk keperluan analisis tipologi pemanfaatan pesisir dan analisis model pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian. Pengambilan titik sampel di lapangan juga ditentukan berdasarkan pada peta tipologi fisik pesisir ini, artinya setiap tipologi yang ada di lapangan diambil sebagai satu sampel untuk kemudian dilakukan pengecekan hasil interpretasi dan pengukuran langsung di lapangan untuk data-data yang memang harus diukur di lapangan, seperti data kemiringan lereng, materi penyusun utama pesisir, kondisi tanah, air, dan lain-lain. Penambahan titik sampel di lapangan dimungkinkan untuk bertambah sesuai dengan perkembangan kondisi di lapangan dan kemudahan aksesibilitas untuk mencapai lokasi sampel. Data oseanografis Faktor oseanografi merupakan kondisi kelautan yang berpengaruh terhadap penentuan tipologi fisik pesisir dan tipologi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir. Kondisi kelautan sangat dipengaruhi oleh tiga macam tenaga laut, yaitu gelombang laut, arus laut, dan pasang surut laut.

65 46 Gelombang Laut Gelombang memiliki dimensi dan sifat. Dimensi gelombang mencakup periode, panjang, tinggi, kecepatan dan energi gelombang. Untuk menentukan dimensi gelombang, sifat gelombang, dimensi gelombang pecah diperlukan data-data sekunder dari hasil penelitian yang pernah dilakukan atau data dari instansi terkait. Arus Laut Arus laut merupakan gerakan air di permukaan yang terutama kecepatan dan arah arusnya ditentukan oleh angin yang berhembus di atasnya. Data arah dan kecepatan angin diperoleh dari BMG Stasiun Geofisika Yogyakarta, sedangkan data arus laut diperoleh secara instansional melalui instansi terkait yaitu Dishidros TNI-AL. Pasang surut Pasang-surut adalah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh Bulan dan Matahari, terhadap massa air laut di Bumi (Sunarto, 2003). Data pasang surut diperoleh secara instansional melalui instansi terkait yaitu Bakosurtanal dan Dishidros TNI-AL. Data yang berasal dari Bakosurtanal merupakan data pasang-surut dari pengukuran langsung di Pelabuhan Sadeng Yogyakarta, sedangkan data pasang surut dari Dishidros TNI-AL merupakan data hasil peramalan pasang-surut mendasarkan pada hasil perhitungan. Kedua data tersebut sifatnya saling melengkapi untuk menentukan kisaran pasangsurut di daerah penelitian. Kedalaman Laut Data tentang kedalaman laut ditentukan melalui interpretasi Peta Bathimetri yang diterbitkan oleh Dishidros TNI- AL. Peta Bathimetri yang digunakan berskala 1 : Informasi kedalaman laut ditunjukkan oleh angka-angka kedalaman laut dan garis kontur yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai angka kedalaman yang sama.

66 Penentuan tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir Unit Analisis Unit analisis atau unit pemetaan yang digunakan untuk melakukan analisis tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir adalah peta tipologi fisik pesisir daerah penelitian. Hal ini berarti bahwa area yang digunakan untuk menganalisis setiap pemanfaatan wilayah pesisir adalah setiap tipologi fisik pesisir. Penggunaan unit analisis ini akan mempermudah kita dalam memahami karakteristik fisik wilayah pesisir dikaitkan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya. Tipologi pemanfaatan wilayah pesisir meliputi pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman. Pemilihan jenis-jenis pemanfaatan tersebut mendasarkan pada jenis pemanfaatan utama di wilayah pesisir. Penetuan tipologi pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir menggunakan metode analisis kesesuaian lahan pesisir. Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk pemanfaatan tertentu. Dalam menilai kesesuaian lahan, metode yang digunakan adalah menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan (matching) antara karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan pemanfaatan lahan. Penilaian kesesuaian lahan pesisir dibedakan menurut tingkatannya, yaitu kelas sesuai (S1), agak sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Kelas sesuai (S1) artinya lahan pesisir tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap pemanfaatan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata. Kelas agak sesuai (S2) artinya lahan pesisir mempunyai pembatas, dan faktor pembatas ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pemanfaatan secara berkelanjutan. Kelas tidak sesuai (N) artinya lahan pesisir mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi. Berikut metode kesesuaian lahan dari masing-masing pemanfaatan wilayah pesisir. Pada metode penentuan pemanfaatan lahan pesisir untuk pariwisata, disamping digunakan metode kesesuaian lahan, juga digunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) untuk menilai kualitas visual lanskap pesisir.

67 48 Pariwisata pesisir Kualitas Visual Lanskap Pesisir DIY Pada tahap ini dilakukan analisis spasial dalam bentuk penilaian visual lanskap yang merupakan metode penetapan nilai kualitas lanskap dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Metode yang dapat digunakan untuk menentukan nilai visual suatu lanskap adalah prosedur Scenic Beauty Estimation (SBE). Beberapa pertimbangan mengapa digunakan metode SBE ini adalah ; Banyak penelitian visual yang menggunakan metode SBE ini dalam perhitungan nilai visualnya, hal ini disebabkan karena prosedur SBE dikenal efektif dan dapat dipercaya (Yu, 1995). Awal mula dikembangkannya metode SBE ini adalah untuk menilai secara visual suatu lanskap untuk pengembangan wisata kehutanan. Dengan prinsip dasar bahwa metode SBE digunakan untuk menilai secara visual lanskap, dimana wilayah pesisir juga mempunyai lanskap yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pesisir (coastal tourism), maka digunakanlah metode SBE ini, dengan menyesuaikan pada kondisi dan jenis lanskap yang ada di wilayah pesisir. Penggunaan metode SBE untuk penilaian lanskap pesisir, sepanjang pustaka yang telah dibaca, termasuk juga pada penelusuran data melalui internet, belum pernah dilakukan, sehingga mendorong peneliti untuk menggunakan metode SBE ini dalam melakukan analisis dan pemodelan pemodelan spasial sumberdaya wilayah pesisir DIY untuk pengembangan pariwisata. Tahapan yang dilakukan dalam menentukan nilai SBE ini diawali dengan penentuan titik pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, penilaian oleh responden dan diakhiri dengan perhitungan nilai SBE dengan menggunakan rumus : SBEx = (Zx Zo) X 100. Cara seperti ini memang ada kekurangannya/kelemahan yaitu pada unsur subyektifitas yang cukup tinggi dan tergantung pada kualitas foto yang dinilaikan kepada responden, tetapi dari pertimbangan tenaga, waktu, dan biaya sangat efektif. Secara lebih ideal dengan hasil yang lebih bagus apabila metode ini diterapkan pada saat responden keluar dari obyek wisata langsung disodori daftar penilaian dari lanskap yang baru saja dilihat, hanya memang butuh waktu, tenaga dan biaya yang banyak karena semua obyekwisata harus didatangi dan disurvei.

68 49 a. Penentuan titik pengamatan dan pengambilan foto Titik pengamatan ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan karakteristik lanskap wilayah pesisir pada setiap tipologi pesisir sebagai unit analisis, dengan berpedoman pada hasil penentuan tipologi fisik pesisir wilayah pantai. Masingmasing karakteristik lanskap yang telah diidentifikasi kemudian diambil fotonya dengan terlebih dahulu menentukan titik pengamatannya. Titik pengamatan ini merupakan daerah terbuka, tempat yang tinggi atau pada tepian jalan raya maupun tempat-tempat lain yang memungkinkan. b. Seleksi foto Foto-foto yang akan dipresentasikan kepada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap paling mewakili keanekaragaman pemandangan yang dapat dilihat di sepanjang wilayah pesisir DIY. Pengambilan foto dilakukan pada waktu yang berbeda-beda, sehingga kemungkinan adanya pengaruh cuaca pada hasil foto yang diambil akan memberikan kualitas foto yang berbeda-beda. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cuaca, maka dilakukan editing dengan menggunakan software Adobe Photoshop 7.0, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan pada responden memiliki kualitas gambar yang sama. c. Penilaian oleh responden Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengunjung wisata yang ditemui di lokasi pantai. Lokasi pantai yang dipilih adalah Pantai Sadeng, Ngungap, Wediombo, Krakal, Kukup, Baron, Parangendog, Parangtritis, Depok, Trisik, Glagah, dan Congot. Pemilihan ini didasari oleh telah dikenalnya obyek wisata di pantai-pantai tersebut sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal baik bagi masyarakat dari dalam maupun luar DIY, sehingga diasumsikan keanekaragaman respondennya cukup tinggi. Dipilihnya

69 50 pengunjung kawasan wisata sebagai responden karena berkaitan dengan salah satu tujuan dari preferensi visual yaitu untuk melihat kemungkinan dikembangkannya kawasan pesisir yang selama ini masih belum dikembangkan untuk wisata dapat dikembangkan untuk obyek wisata, sehingga kecenderungan pelaku wisata terhadap obyek-obyek yang dianggap menarik dapat diamati. Responden diseleksi pada hari Sabtu dan Minggu. Setiap kali presentasi dikumpulkan sekitar 3 5 orang. Presentasi dilakukan dengan menggunakan LCD Projector dengan program presentasi Microsoft Power Point. Setiap foto ditampilkan selama 10 detik dan langsung dinilai oleh responden. Responden menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1 sampai 10, dimana skor 1 menunjukkan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. d. Perhitungan nilai SBE Tahapan perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan Tabel z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ) digunakan rumus perhitungan cp = 1 1/(2n) atau cp = 1/(2n) (Bock dan Jones, 1968 dalam Daniel dan Boster, 1976). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap fotonya kemudian dimasukkan dalam rumus SBE sebagai berikut: SBE x = (Zx Zo) x 100 Dimana, SBEx = nilai penduga nilai keindahan pemandangan lanskap ke-x Zx = nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x Zo = nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar

70 51 Kemampuan lahan untuk Wisata Penentuan kemampuan lahan pesisir untuk wisata pantai menggunakan metode yang disampaikan oleh Yulianda (2007) yang membuat matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi. Pertimbangan penggunaan metode ini adalah karena memiliki kriteria yang spesifik dan komprehensif (lengkap) tentang penentuan kemampuan lahan untuk wisata pantai kategori rekreasi di wilayah pesisir. Metode yang digunakan adalah evaluasi lahan dengan parameter/kriteria yang dipergunakan meliputi : kedalaman perairan, tipologi pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya, dan ketersediaan air tawar. Tabel 11. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Wisata Pantai Kategori Rekreasi No Kriteria Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1 Kedalaman perairan (m) > 10 2 Tipe pantai Pasir putih Pasir putih, sedikit karang Lumpur, berbatu, terjal 3 Lebar pantai (m) > < 3 4 Material dasar perairan Pasir Karangberpasir Lumpur 5 Kecepatan arus (m/dt) 0 0,17 0,17 0,51 > 0,51 6 Kemiringan pantai ( o ) < > 45 7 Kecerahan perairan (m) > < 2 8 Penutupan lahan pantai Kelapa, lahan terbuka Semak belukar, savana Hutan bakau, permukiman, pelabuhan 9 Biota berbahaya Tidak ada Bulu babi Bulu babi, ikan 10 Ketersediaan air tawar (jarak/km) pari, lepu, hiu < 0,5 km 0,5-2 > 2 Sumber : Yulianda (2007) Kriteria kemiringan pantai, tipe pantai, ketersediaan air tawar, dan penutup lahan pantai digunakan untuk menilai potensi lahan untuk wisata karena sangat berpengaruh dalam kenyamanan berwisata. Wisatawan akan merasa sangat nyaman sekali apabila tempat wisata yang dikunjungi secara fisik lahan mempunyai lereng yang relatif datar, material pasir apalagi pasir putih sehingga lebih terasa indah jika dibandingkan dengan materi pasir hitam lebih-lebih lumpur, persediaan air banyak dan kualitas baik, serta penutup lahan yang rindang dan alamiah.

71 52 Perikanan (Tambak) Perikanan yang dimaksud disini adalah perikanan budidaya darat. Kriteria yang digunakan adalah kriteria umum yang dikaitkan dengan kriteria dalam menentukan tipologi fisik pesisir, yaitu kemiringan lereng, materi penyusun utama, dan proses genesa. Kriteria Tabel 12. Potensi Lahan untuk Perikanan (Tambak) Potensi Lahan Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1. Kemiringan Lereng (%) > 2 2. Materi penyusun utama (tekstur tanah) Lempung, lempung berpasir ( Kode : CL) Geluh (lekat), geluh berlempung, geluh berpasir, geluh lempung berdebu (kode : CL) Pasir (Kode : SW / SP) 3. Proses genesa Fluvio-marin, Marin Solusional, struktural, volkanik 4. Kisaran pasang surut (m) <1; > <0.5 ; > Kondisi Air (hidrologi) a. Salinitas (ppt) b. Suhu ( o C) c. ph ; ; <10 <26 ; >32 >8.7 ; < Iklim CH tahunan rata-rata (mm) <1000 ; > 3000 Sumber : CSR/FAO (1993) Pertanian Lahan yang sesuai untuk pertanian adalah lahan yang mempunyai sifat fisik lahan yang baik, yaitu lahan yang daya serap air dan sirkulasi udara di dalam tanahnya cukup baik. Sifat fisis ini ditunjukkan oleh tekstur dan struktur tanahnya. Tekstur tanah adalah sifat fisis tanah yang berkaitan dengan ukuran partikel pembentuk tanah. Partikel utama pembentuk tanah adalah pasir, lanau (debu), dan lempung (tanah liat). Tekstur tanah berpengaruh terhadap daya serap dan daya tampung air. Tanah lempung teksturnya sangat halus, mudah menampung air tetapi daya serapnya kecil. Sebaliknya tanah pasir mudah menyerap air, tetapi sukar menampungnya. Tekstur tanah yang ideal untuk pertanian adalah geluh, yaitu tanah yang lekat. Tekstur tanah geluh terdiri dari dua macam tanah, yaitu tanah lanau (20% lempung, 30-50% lanau dan 30-50% pasir) dan tanah lanau berpasir (20-50% lanau/lempung, 50-80% pasir). Struktur tanah adalah sifat fisis tanah yang dikaitkan dengan cara partikel-partikel tanah berkelompok. Struktur

72 53 tanah ini berpengaruh terhadap pengaliran air dan sirkulasi udara di dalam tanah. Kriteria umum yang digunakan untuk menentukan lahan yang sesuai untuk pertanian adalah : Kriteria 1. Kemiringan Lereng (%) a. Sawah b. Tegalan 2. Materi penyusun utama (tekstur tanah) Tabel 13. Potensi Lahan untuk Pertanian Potensi Lahan Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) Geluh (lekat) lempung berpasir, geluh berdebu, geluh berlempung (Kode : CL) Geluh lempung berdebu, lempung ( Kode : CL) 3. Proses genesa Fluvial Fluvio-marin, Aeolio-marin, solusional, volkanik, struktural 4. Iklim a. CH tahunan rata-rata (mm) b.suhu rata-rata tahunan ( o C) Pelabuhan > 5 > 8 Kerikil (Kode : GW/GP) marin <1000 ; > ; <24 > 32 ; <18 Sumber : CSR/FAO (1993) Penilaian lahan untuk pemanfaatan pelabuhan lebih ditekankan pada jenis pelabuhan umum, dengan kriteria sebagai berikut : Kriteria Tabel 14. Potensi Lahan untuk Pelabuhan Potensi Lahan Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1. Kemiringan Lereng (%) > Materi penyusun utama : a. material batuan/tekstur tanah Tanah berpasir, berbatu, kerikil (Kode : GW) > 45 Tanah berpasir (Kode : SW) Lumpur/lempung (Kode : CL) < 17.5 b. Daya dukung tanah (CBR) 3. Proses genesa Marin, fluvio-marin Aeolio-marin Solusional, struktural, volkanik 4. Oseanografi : a. tinggi gelombang (m) b. kecepatan angin (m/dt) c. kisaran pasang surut (m) d. kedalaman laut (m) < < 1.0 > 5 5. Aksesibilitas Tanpa halangan atau tingkat kesulitan paling rendah (slight) Tingkat kesulitan sedang (moderate) dengan halangan ringan yang dapat diatasi dengan rekayasa teknik > 1.5 > 8 > 2.0 < 4 Tingkat kesulitan tinggi karena semua halangan tidak bisa diatasi dengan rekayasa teknik Sumber : Triatmodjo (1999), Kramadibrata (2002), Sunarto (1998)

73 54 Permukiman Lahan yang sesuai untuk permukiman dicirikan oleh beberapa parameter antara lain daya dukung tanah yang besar yang memiliki kemampuan untuk menahan beban dalam ton tiap satu meter kubik, mempunyai fluktuasi tanah air yang baik, mempunyai kandungan lempung yang cukup yang berpengaruh terdhadap kembang kerutnya tanah, dan mempunyai topografi yang datar sampai landai. Penilaian lahan untuk pemanfaatan permukiman lebih ditekankan pada penilaian kondisi fisik untuk bangunan. Kriteria yang digunakan adalah : Kriteria Tabel 15. Potensi Lahan untuk Permukiman Potensi Lahan Sesuai (S1) Agak Sesuai (S2) Tidak Sesuai (N) 1. Kemiringan Lereng (%) > Materi penyusun utama : a. material batuan/tekstur tanah Tanah berpasir, berbatu, kerikil (Kode : GW) > 15 Tanah berpasir (Kode : SW) b. Daya dukung tanah (CBR) 3. Proses genesa Fluvio-marin aeolio-marin, solusional, struktural, volkanik Lumpur/lempung (kode : CL) < 12 Marin 4. Kisaran pasang surut (m) < > 3 5. Ketersediaan dan kualitas air Besar dan kualitas baik (> 500 lt/dt) Sedang ( lt/dt) Sedikit dan kualitas jelek (< 100lt/dt) 6. Aksesibilitas Tanpa halangan atau tingkat kesulitan paling rendah (slight) Tingkat kesulitan sedang (moderate) dengan halangan ringan yang dapat diatasi dengan Tingkat kesulitan tinggi karena semua halangan tidak bisa diatasi dengan rekayasa teknik rekayasa teknik Sumber : MREP (2000) Daya dukung tanah digunakan sebagai faktor yang dipertimbangkan untuk menentukan teknis konstruksi bangunan yang sesuai. Horonjeff & Mc Kelvey (1991) membuat kriteria klas daya dukung tanah yang ditunjukkan oleh nilai CBR berdasarkan pada tekstur tanah.

74 55 Tabel 16. Kriteria Klas Daya Dukung Tanah Tekstur tanah Kode Nilai CBR Kerikil bergradasi baik, campuran kerikil pasir, sedikit atau tanpa GW butiran halus Kerikil bergradasi jelek, campuran kerikil pasir, sedikit atau tanpa GP butiran halus Kerikil berlanau, campuran kerikil pasir lanau GM Kerikil berlempung, campuran kerikil pasir lempung GC Pasir bergradasi baik, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus SW Pasir bergradasi jelek, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus SP Pasir berlanau, campuran pasir lanau SM Pasir berlempung, campuran pasir lempung SC Lanau organik dan pasir sangat halus, serbuk batuan, pasir halus ML 5 15 berlanau atau berlempung, atau lanau berlempung dengan sedikit plastisitas Lempung organik dengan plastisitas rendahsampai sedang, lempung CL 5 15 berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau Lanau organik dan lempung berlanau organik dengan plastisitas rendah OL 4 8 Lanau organik, pasir halus atau tanah berlanau yang mengandung mika MH 4 8 Lempung anorganik dengan plastisitas tinggi CH 3 5 Lempung organik dengan plastisitas sedang hingga tinggi, lanau organik OH 3 5 Sumber : Horonjeff & Mc Kelvey (1991) Tabel 17. Kriteria Klas Kerawanan Terhadap Bencana (Pembatas) Jenis rawan Bencana Banjir (luapan air sungai dan air laut pasang/rob) Kelas Sesuai (S1) Agak sesuai (S2) Tidak sesuai (N) Tidak pernah banjir, hampir tidak pernah tergenang dalam 1 tahun Tidak ada erosi/abrasi 3x tergenang dalam 1 tahun, genangan 3 5 jam Selalu tergenang, 5x tergenang dalam 1 tahun Erosi/abrasi (gelombang) Tingkat erosi/ abrasi kecil Erosi/abrasi berat sangat berat Gempa Tidak ada gempa Potensial terjadi gempa Gerak massa batuan Sangat stabil Gerak massa batuan Gerak massa batuan dengan pengaruh kecil dengan resiko tinggi terhadap proyek terhadap longsor kerekayasaan Tsunami Tidak potensial terjadi - Potensial terjadi tsunami tsunami Sumber : Suharsono, (1993) dan modifikasi

75 Analisis rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir Tujuan akhir dari penelitian ini adalah membuat pola pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir DIY yang mendasarkan pada tipologi fisik pesisirnya. Pola pengembangan yang dimaksud adalah menganalisis jenis pemanfaatan sumberdaya yang paling sesuai dengan kondisi fisik yang dicerminkan pada tipologi fisik pesisirnya. Untuk menentukan model pengembangan ini, digunakan analisis matrik yang diilhami dari analisis SWOT. Pemilihan metode ini didasarkan kepada relevansi dari pendekatan yang dilakukan melalui metode tersebut, yang akan menghasilkan Analisis dan Pilihan Strategis (Strategic Analysis and Choices) yang merupakan asumsi-asumsi hasil analisis dan kemudian dapat digunakan untuk menentukan Faktor Penentu Keberhasilan dan Faktor Ancaman Kegagalan. Analisis SWOT ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal strengths dan weaknesses serta lingkungan eksternal opportunities dan threats. Analisis ini biasanya diterapkan untuk mengatasi masalah perusahaan/organisasi, tetapi dalam penelitian ini dicoba untuk digunakan dalam menentukan model pengembangan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dengan mempertimbangkan faktor-faktor fisik sebagai faktor lingkungan internal yang sangat menentukan optimalisasi pemanfaatannya. Faktor lingkungan eksternal yang ikut dijadikan pertimbangan lebih banyak dipengaruhi pada dinamika lingkungan seperti kondisi iklim, perilaku oseanografis, dan kerawanan bencana yang mungkin terjadi seperti banjir, longsor, rob, dan tsunami. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut: Tahap pengumpulan data Dalam tahap pengumpulan data ini dilakukan evaluasi faktor internal dan eksternal dalam bentuk pembuatan matrik profil kompetitif. Bentuk matrik profil kompetitif yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian lahan pada setiap tipologi fisik pesisir untuk kegiatan pariwisata, perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman (yang metodenya telah diuraikan pada bab sebelumnya). Faktor

76 57 yang dipergunakan untuk penentuan tipologi fisik pesisir adalah faktor utama pembentuknya yaitu relief, materi penyusun utama dan proses genesa, sedangkan faktor penentuan kesesuaian lahan untuk berbagai peruntukan mendasarkan pada persyaratan kesesuaian lahan yang dikaitkan dengan faktor penentu tipologi fisik pesisir. Hasil dari matriks profil kompetitif ini adalah tipe pemanfaatan lahan yang sesuai (S1), agak sesuai (S2) atau tidak sesuai (N) pada setiap tipologi fisik pesisir. Hasil matrik kompetitif dalam bentuk pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (N) untuk selanjutnya tidak diikutsertakan dalam proses analisis SWOT secara lebih lanjut (drop). Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data kondisi fisik secara lebih detil pada setiap tipologi pesisir sebagai faktor internal seperti kondisi iklim, dan perilaku oseanografis, dan faktor eksternal berupa rawan bencana seperti banjir/rob, erosi dan tsunami, dan juga peratuan atau kebijakan pemerintah daerah seperti tata ruang, dan lain-lain, untuk kemudian dibuat matrik dengan tipe pemanfaatan lahan yang sesuai (S1) dan agak sesuai (S2) yang telah dihasilkan pada matrik profil kompetitif. Tahap analisis Tahap analisis yang dilakukan adalah membuat matriks SWOT dengan memanfaatkan faktor-faktor internal dan eksternal yang telah diperoleh sebelumnya, untuk menjelaskan berbagai kemungkinan pemanfaatan lahan yang paling sesuai di setiap tipologi pesisir dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal tersebut. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) suatu kegiatan, dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Untuk lebih jelasnya dapat pada Tabel 18 berikut ini : Tabel 18. Matriks SWOT Faktor internal kekuatan kelemahan (strength) (weaknesses) Faktor eksternal Peluang (opportunities) peluang- Strategi kelemahan kekuatan- Strategi peluang kelemahan- Strategi ancaman Ancaman (threats) Strategi kekuatanancaman

77 58 Tahap pengambilan keputusan Dalam tahap pengambilan keputusan ini, matriks SWOT yang telah dihasilkan digunakan untuk menentukan alternatif strategi penggunaan unsurunsur kekuatan kawasan tipologi fisik pesisir tertentu untuk mendapatkan peluang pengembangan pemanfaatan yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada dalam suatu kawasan tipologi pesisir tertentu untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), pengurangan kelemahan kawasan tipologi pesisir yang ada dengan memanfaatkan peluang pengembangan pemanfaatan lahan yang ada (WO), dan pengurangan kelemahan yang ada dalam suatu tipologi pesisir untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Strategi yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif strategi. Untuk menentukan prioritas strategi yang harus dilakukan, maka dilakukan penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi. Jumlah bobot tadi kemudian akan menentukan rangking prioritas alternatif strategi pengelolaan kawasan tipologi pesisir.

78 Foto Udara 1 : Peta Geologi 1: Peta Rupabumi 1: Studi Pustaka Data Primer dan Sekunder Penggunaan. Lahan Aksesibilitas Bentuklahan Proses Genetik Materi Penyusn Utama Zonasi Tipologi Pesisir ---- unit analisis Relief Lanskap : Metode SBE Pariwisata Kualitas Lingkungan Perikanan Kriteria Penilaian - Relief/lereng - Kondisi tanah - Pasang surut - Kualitas air - Kerawanan bencana (banjir) Pertanian Tipologi Pemanfaatan Pesisir Kriteria penilaian - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Iklim - Kerawanan bencana (banjir dan erosi) Pelabuhan Krieria penilaian: - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Kerawanan bencana - Kedalaman laut - Gelombang - Pasang-surut Permukiman Kriteria penilaian - Relief/lereng - Daya dukung tanah - Kerawanan bencana - kedalaman muka airtanah - Kebijakan Pemda (tata ruang) - Data : iklim, tanah, air, oseanografi - rawan bencn (tsunami, banjir, erosi) Kualitas visual lanskap EVALUASI KESESUAIAN LAHAN Pola Pemanfaatan Pesisir Pola Pemanfaatan pada Tipologi Pesisir S W O T ANALISIS DAN PEMODELAN SPASIAL Pola Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir DIY Gambar 14. Diagram Alir Penelitian

79 60 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di wilayah pesisir Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah pesisir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wilayah pesisir dari aspek fisik yaitu batas ke arah darat adalah sejauh pengaruh proses yang terjadi di lautan seperti gelombang dan pasang surut sampai ke arah darat dan batas ke arah laut adalah sejauh pengaruh proses yang terjadi di darat memberikan pengaruh di laut. Batas ke arah darat adalah batas secara ekologis ditinjau dari aspek fisiknya dan tidak pada batas kecamatan seperti yang diamanatkan dalam UU No.27 Tahun 2007 (pada Penjelasan) dengan alasan karena fokus penelitian ini adalah pada kajian fisik dan proses fisik yang terjadi. Batas ke arah laut, dengan memperhatikan karakteristik gelombang yang besar yang terdapat di Samudera Hindia sehingga akan cukup sulit untuk menentukan besarnya pengaruh proses yang terjadi di darat yang masuk ke wilayah laut, maka penentuan batas wilayah pesisir ke arah laut adalah pada zone pecah gelombang (breakers zone). Hal ini sesuai dengan definisi wilayah pesisir yang dikemukakan oleh Shepard (1958, dalam King, 1972). Secara administratif, wilayah pesisir tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulonprogo. Daerah penelitian ini sebelah barat dan sebelah timur dibatasi menurut pembagian wilayah secara administratif. Untuk batas sebelah timur berbatasan dengan wilayah adminsitasi Kabupaten Wonogiri dan batas sebelah barat berbatasan dengan wilayah administrasi Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Batas sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan batas sebelah utara adalah bagian daratan yang masih termasuk dalam wilayah pesisir. Secara spasial wilayah pesisir daerah penelitian tersaji secara jelas pada Peta Rupabumi skala 1 : lembar (Temon), (Brosot), (Dringo), (Panggang), (Baron), (Jepitu), dan (Paranggupito). Panjang garis pantai secara keseluruhan mendasarkan perhitungan pada peta rupabumi tersebut adalah kurang lebih 112 Km. Letak koordinat daerah penelitian adalah 110 o o BT dan 07 o o LS atau dalam koordinat UTM mT dan mU (Zone 49 M dan 49 L).. Secara grafis lokasi daerah penelitian digambarkan dalam Peta Lokasi Daerah Penelitian.

80 Gambar 15. PETA FOTO CITRA WILAYAH PESISIR 61

81 mu mu PETA REKOMENDASI PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 5 2 LEGENDA : # mt mt 2 Ibukota Kecamatan Batas Desa Batas Kecamatan Batas Kabupaten Batas Propinsi Jalan Raya Sungai Garis Kontur Batas Wilayah Pesisir Sistem Proyeksi : Universal Transverse Mercator (UTM) Sistem Grid : Grid UTM Zone UTM : 49 M & 49 L 5 U Km S A M U D E R A H I N D I A Tipologi Fisik Pesisir Tipologi Pesisir Erosi Darat Tipologi Pesisir Pengendapan Darat Tipologi Pesisir Volkanik Tipologi Pesisir Struktural Tipologi Pesisir Pengendapan Laut Tipologi Pesisir Erosi Gelombang Tipologi Pesisir Organik Sumber Data : 1. Peta Rupabumi 1 : th Pengukuran lapangan, Oktober Peta Relief Wilayah Pesisir DIY 4. Peta Materi Penyusun Utama Wilayah Pesisir DIY 5. Peta Proses Genesa Wilayah Pesisir DIY SAMUDERA HINDIA Lokasi Penelitian 1 PROVINSI D.I YOGYAKARTA 0 U 5 Km Disusun Oleh : Nurul Khakhim No. Mhs. C /SPL mu mu mt mt

82 Iklim Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Unsur-unsur penyusun iklim antara lain meliputi curah hujan, kelembaban udara, suhu udara dan angin. Curah Hujan Data curah hujan selama 15 tahun yaitu mulai dari tahun yang diambil dari beberapa stasiun penakar hujan di daerah penelitian dapat dilihat seperti dalam Tabel 19. di bawah ini. Tabel 19. Data Curah Hujan Rerata Bulanan (mm/bulan) di Beberapa Stasiun Penakar Hujan Daerah Penelitian Stasiun Bulan Wono- Sari Karang mojo Playen Paliyan Semin Ponjong Semanu Sanden Temon Wates Panjatan Rata- Rata J ,8 F ,9 M ,6 A ,9 M ,1 J ,9 J ,9 A ,2 S O ,8 N ,3 D ,8 Jmlah ,2 Sumber : BMG, Stasiun Geofisika Yogyakarta (2006) Gambar 16. Grafik Curah Hujan Rerata Bulanan Beberapa Stasiun Hujan

83 63 Mendasarkan pada Tabel 20 terlihat bahwa jumlah curah hujan tahunan adalah lebih dari 1500 mm/tahun dengan bulan-bulan kering ( < 60 mm) terjadi pada bulan Juli September dan bulan-bulan basah ( >100 mm) terjadi pada bulan November Maret. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen, tipe iklim yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul termasuk dalam tipe Awa, dan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo termasuk dalam tipe iklim Am. Tipe iklim Awa memiliki karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah ( curah hujan > 100 mm) tidak dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering (curah hujan < 60 mm), sedangkan tipe iklim Am memiliki karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah mampu untuk mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering. Suhu Udara Suhu udara adalah panas atau dinginnya udara yang diukur dengan termometer. Suhu udara suatu tempat sangat dipengaruhi oleh lintang geografi, tinggi tepat, jarak dari laut, angin, arus laut, terlindung atau tidaknya suatu tempat, dan keberadaan awan. Mengingat bahwa di wilayah pesisir daerah penelitian belum ada stasiun pengukur suhu udara maka data suhu udara di daerah penelitian didekati dengan pendekatan empiris menggunakan data suhu udara bulanan rata-rata yang diukur di Stasiun Klimatologi Adi Sucipto Tahun , yaitu dengan menggunakan metode Mock dengan rumus : T = 0,006 (Z 1 Z 2 ) o C (Mock, 1972) Dalam hal ini : T = beda temperature udara antara Z 1 dan Z 2 Z 1 = elevasi tempat 1 (m dpal) Z 2 = elevasi tempat 2 (m dpal) Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 20. Dari Tabel 20 tersebut menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata tahunan di daerah penelitian adalah 26,50 o C dengan suhu rata-rata minimum 23,45 o C dan maksimum sebesar 31,31 o C. Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah perbandingan massa uap air yang betul-betul ada di udara dalam suatu satuan volume dengan massa uap air yang jenuh dalam satuan volume itu, pada suhu dan tekanan udara yang sama. Satuan

84 64 kelembaban udara dinyatakan dalam persen (%). Jika kelembaban udara mencapai 100% berarti udara itu jenuh dengan uap air. Data kelembaban udara diambil dari Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto Yogyakarta dalam jangka waktu 14 tahun ( ) dan ditunjukkan dalam Tabel 21. Dari Tabel 21 tersebut terlihat bahwa besarnya kelembaban udara rata-rata bulanan maksimum 86% yang terjadi pada bulan Januari dan minimum 72,3% yang terjadi pada bulan Juni dan besarnya rata-rata tahunan adalah 81,08%. Tabel 20. Suhu Udara Rata-Rata Bulanan ( o C) Tahun Bulan Rata-Rata Januari Minimum 23,72 Rata-rata 26,19 Maksimum 30,55 Februari Minimum 23,65 Rata-rata 26,28 Maksimum 30,86 Maret Minimum 23,87 Rata-rata 26,58 Maksimum 31,45 April Minimum 24,15 Rata-rata 26,83 Maksimum 31,87 Mei Minimum 23,8 Rata-rata 26,95 Maksimum 32,09 Juni Minimum 23,1 Rata-rata 26,48 Maksimum 31,73 Juli Minimum 21,95 Rata-rata 25,59 Maksimum 31,29 Agustus Minimum 21,95 Rata-rata 25,7 Maksimum 31,6 September Minimum 23,08 Rata-rata 26,56 Maksimum 32,11 Oktober Minimum 23,86 Rata-rata 27,3 Maksimum 32,73 November Minimum 24,29 Rata-rata 27,07 Maksimum 31,65 Desember Minimum 23,94 Rata-rata 26,51 Maksimum 27,82 Rata-Rata Tahunan Minimum 23,45 Rata-rata 26,50 Maksimum 31,31 Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2006)

85 65 Tabel 21. Kelembaban Udara Rata-Rata Daerah Penelitian Tahun Bulan Rata-Rata Januari 86 Februari 85,9 Maret 84,5 April 84 Mei 81,3 Juni 72,3 Juli 78,6 Agustus 77,8 September 76,5 Oktober 80 November 81,6 Desember 84 Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2005) Angin Angin merupakan pergerakan udara pada arah horizontal atau hampir horizontal. Dimensi angin meliputi arah dan kecepatan bergeraknya udara. Arah angin diukur dalam N o E (North derajat East) atau searah jarum jam, sedangkan kecepatan angin diukur dalam satuan km/jam, m/detik atau dalam knot. Pengukuran arah dan kecepatan angin biasanya dilakukan dengan menggunakan anemometer yang terpasang pada puncak menara stasiun dengan ketinggian kurang lebih 10 m dari muka tanah. Data arah dan kecepatan angin diambil dari Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto Yogyakarta dalam rentang waktu 10 tahun ( ), seperti yang tersaji dalam Tabel 22. Dari Tabel 22 tersebut nampak bahwa arah angin pada musim penghujan bertiup dari barat daya sampai barat laut sedangkan pada musim kemarau angin bertiup dari selatan sampai tenggara. Perubahan musiman dari arah dan kecepatan angin dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada musim emarau angin dengan kecepatan tinggi bertiup dari selatan sampai tenggara, sedangkan mendekati musim hujan angin menjadi lebih lemah dan bertiup dari barat daya sampai barat laut.

86 66 Sebagian besar angin berkecapatan kurang dari 5 m/dt. Kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan September dan Oktober. Angin maksimum dapat mencapai m/dt. Tabel 22. Arah (N o E) dan Kecepatan (m/dt) Angin Bulanan Rata-Rata ( ) Rata-rata JANUARI arah Kec.rata-rata ,8 Kec.maksimum ,4 FEBRUARI arah Kec.rata-rata ,8 Kec.maksimum ,2 MARET arah Kec.rata-rata ,4 Kec.maksimum ,2 APRIL arah Kec.rata-rata ,3 Kec.maksimum ,4 MEI arah Kec.rata-rata ,7 Kec.maksimum ,6 JUNI arah Kec.rata-rata ,9 Kec.maksimum ,7 JULI arah Kec.rata-rata ,2 Kec.maksimum ,8 AGUSTUS arah Kec.rata-rata ,4 Kec.maksimum ,9 SEPT arah Kec.rata-rata ,8 Kec.maksimum ,3 OKT arah Kec.rata-rata ,7 Kec.maksimum NOV arah Kec.rata-rata ,6 Kec.maksimum DES arah Kec.rata-rata ,5 Kec.maksimum Sumber : Stasiun Klimatologi Lanud Adi Sucipto, Yogyakarta (2005)

87 67 Gambar 17. Grafik Kecepatan Angin Bulanan Rata-Rata (m/dt) 4.3. Geologi Kondisi geologi daerah penelitian secara garis besar dikelompokkan menjadi 2 bagian meliputi kondisi geologi wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan karakteristik wilayah pegunungan berupa lereng-lereng terjal/clif dan kondisi geologi wilayah Kabupaten Bantul dan Kulonprogo dengan karakteristik pesisir berupa dataran pantai dengan lereng yang relatif datar. Menurut Bemmelen (1970) kondisi geologi wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul merupakan zonasi Gunung Sewu/Pegunungan Seribu yang membujur ke timur hingga wilayah Kecamatan Eromoko Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Secara stratigrafi, daerah penelitian termasuk dalam formasi Wonosari yang mempunyai kemiringan lereng ke arah selatan dengan dip rata-rata 15 o 30 o. Litologi penyusunnya adalah batu gamping terumbu (reef), kecuali kawasan Pantai Siung bagian timur ke arah timur hingga kawasan Pantai Wediombo yang merupakan bagian dari satuan panggung masif berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier (Bakosurtanal, 2000). Ketebalan formasi Wonosari ini adalah ± 800 m, sedangkan umur geologinya Miosen Atas Pliosen. Formasi Wonosari ini membentuk perbukitan karst yang dikenal dengan nama Gunung Sewu/Pegunungan Seribu. Surono (1992) menyatakan struktur geologi yang berkembang di daerah ini adalah berupa lipatan, sesar, dan kekar. Lipatan terdiri dari antiklin dan siklin dengan arah umum timurlaut-baratdaya dan timur-barat, serta beberapa lipatan

88 68 dengan arah baratlaut-tenggara. Lipatan yang berarah baratlaut-tenggara umumnya terdapat dibagian timur, dan yang berarah timurlaut-baratdaya dan timur-barat terdapat di bagian barat. Sesar utama berarah baratlaut-tenggara, dan setempat timurlaut-baratdaya. Batuan yang terdapat di Pegunungan Seribu merupakan batuan sedimen laut yang terdiri dari pasir dan pasir halus yang mempunyai lingkungan pengendapan di sekitar pantai dan membentuk bentuklahan gisik pantai berbentuk saku. Pada zona perbukitan karst terbentuk oleh batu gamping terumbu koral yang inti terumbunya membentuk ratusan bukitbukit kecil membentuk Pegunungan Seribu. Menurut Bemmelen (1970) kondisi geologi wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo tersusun dari sedimen marin tersier dan endapan volkanik yang terangkat pada kala miosen akhir. Pada kala Pliosen awal, jalur pegunungan tersebut patah yang sebagan besar mengalami penenggelaman secara tektonik ke arah Samudera Hindia. Bagian yang mengalami penenggelaman selanjutnya menjadi dasar lautan dan sejak kala Pleosen tengah terjadi kegiatan marin yang membentuk endapan lagun, fluviomarin. Pada kala Pleistosin holosen terbentuk beting gisik dan gumuk-gumuk pasir yang tersusun atas bahan pasiran dari Pegunungan Kulonprogo, Serayu Selatan, Gunung Api Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sundoro yang terangkut melalui Sungai Opak, Progo, Serang dan Bogowonto Geomorfologi Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan yang membentuk permukaan bumi, baik yang ada di atas maupun di bawah permukaan laut yang menekankan pada genesis dan perkembangan bentuklahan dengan lingkungannya (Verstappen, 1983). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa aspek terpenting dari geomorfologi adalah bentuklahan dan untuk mengetahui bentuklahan suatu wilayah maka perlu pengklasifikasian bentuklahan atas dasar genesis, artinya bahwa pengelompokan bentuklahan didasarkan pada proses yang dominan yang membentuk bentuklahan tersebut. Berkaitan dengan wilayah pesisir maka proses-proses utama yang mungkin berlangsung terutama adalah proses marin (laut), fluvial (sungai), aeolin (angin), denudasional (erosi dan sedimentasi) atau gabungan dari proses-proses yang dominan tersebut (fluvio-marin, aeolio-marin, dsb). Proses geomorfologi yang dominan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Gunung Kidul antara lain pengendapan sedimen laut oleh arus dan

89 69 gelombang, sehingga membentuk bentuklahan gisik pantai yang arah pengangkutannya dipengaruhi oleh kondisi angin pada saat itu. Gelombang laut mengikis tebing-tebing curam/clif di bagian pinggir pantai, sedangkan di bagian yang ke arah darat terjadi proses pelarutan/solusional membentuk bukit dan ledok karst. Adanya iklim tropis dan curah hujan yang tinggi ikut mempengaruhi kelangsungan pembentukan topografi karst. Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul meliputi bentuklahan asal proses marin, asal proses fluvial, asal proses solusional (karst), dan asal proses volkanik. Bentuklahan asal proses volkanik terdapat di kawasan Pantai Siung bagian timur ke arah timur hingga kawasan Pantai Wediombo yang merupakan bagian dari satuan panggung masif (G. Batur) berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier. Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo lebih banyak didominasi oleh bentuklahan asal proses marin, fluvial dan aeolian. Proses fluvial (aliran sungai) menghasilkan bentuklahan dataran aluvial, dataran banjir, tanggul alam dan rawa belakang. Pada proses fluvial ini, material barasal dari daerah hulu terangkut oleh aliran sungai dan masuk ke laut. Material yang masuk ke laut ini oleh proses marin (laut) melalui gelombang laut dihempaskan di sepanjang pantai yang menghasilkan bentuklahan gisik. Selanjutnya proses aeolian (angin) mengangkut material pasir di sepanjang pantai yang dihempaskan oleh gelombang laut tersebut untuk diendapkan di tempat-tempat tertentu di darat menghasilkan bentuklahan gumuk pasir Tanah Tanah adalah hasil transformasi mineral dan bahan organik dari permukaan bumi oleh pengaruh faktor lingkungan (iklim, organisme, batuan, dan relief) yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Tanah berfungsi sebagai media tumbuh tanaman. Jenis tanah, sifat, potensi dan kemampuan tanah sangat menentukan dalam keberhasilan dan produktifitas penggunaan tanah (lahan). Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Skala 1 : yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (2001), Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi : 1. Mediteran (Haplustalf) Jenis tanah ini berkembang dari batuan gamping (limestone). Jenis tanah ini mempunyai sifat-sifat : tekstur lempung, struktur granuler-gumpal, konsistensi sangat teguh dan bila basah lekat dan plastis, warna merah cerah hingga merah kekuningan,

90 70 permeabilitas lambat, ph 6,0 6,5, kejenuhan basa tinggi, kesuburan dan potensi tanah rendah sedang. Tanah ini tegolong agak subur dengan potensi sedang untuk pertanian. Penyebaran jenis tanah ini umumnya menempati daerah bertopografi karst yang terdapat di bagian utara wilayah Kecamatan Panggang, Saptosari, Tepus, dan Girisubo. Gambar 18. Tanah Mediteran di Pantai Krakal (Sumber : Foto Lapangan, 2006) 2. Tanah Litosol (Usturthents, Undurthemts) Tanah litosol merupakan jenis tanah yang berkembang dari asosiasi tanah latosol dan mediteran karena proses erosi sangat berat. Bahan induk jenis tanah litosol adalah batugamping koral. Jenis tanah ini mempunyai sifat-sifat : solum tanah tipis (kurang dari 25 cm) bahkan sebagian besar tinggal singkapan batuan induk (consolidated rock out crop), tekstur geluh debuan hingga geluh pasiran, struktur remah hingga gumpal, konsistensi agak teguh bila basah agak lekat, warna coklat hingga merah kekuningan, kejenuhan basa sedang, kesuburan dan potensi tanah sangat rendah. Penyebaran tanah ini mencakup sebagian besar wilayah Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tanjungsari, dan Girisubo. 3. Tanah Regosol Bahan induk jenis tanah regosol adalah material pasir pantai atau material volkanik piroklastis. Jenis tanah ini berkembang di sepanjang pantai baik pada bentuklahan gisik, beting gisik, maupun gumuk pantai. Umumnya bertekstur pasir, struktur granuler, warna tanah putih kekuningan hingga coklat muda, permeabilitas sangat tinggi dan daya mengikat air rendah. Jenis tanah ini belum terjadi perkembangan horison tanah, ph umumnya netral, dan kesuburan sedang.

91 71 4. Tanah Grumusol Jenis tanah ini berasal dari batuan gamping, batuan lempung (aluvium) atau batuan volkanis bersifat basa. Ciri-ciri tanah grumusol ini adalah tekstur lempung, struktur granuler di lapisan atas dan gumpalan hingga pejal di lapisan bawah, konsistensi sangat teguh, bila basah sangat lengket dan sangat plastis, bila kering sangat keras dan retak-retak, permeabilitas lambat, dan peka erosi. Jenis tanah ini lebih banyak ditemukan di bekas laguna daerah penelitian. 5. Tanah Aluvial Tanah aluvial merupakan tanah hasil pengendapan bahan-bahan aluvium. Tanah aluvial belum mengalami diferensiasi horison, tekstur pasir, pasir berdebu, dan pasir berlempung, ph antara 7 8, warna coklat tua, permeabilitas tinggi, konsistensi dalam keadaan basah lekat, dan kesuburannya sedang hingga tinggi. Tanah aluvial banyak terdapat di dataran aluvial sungai dan mayoritas digunakan untuk lahan pertanian dan juga permukiman Oseanografi Kondisi oseanografi yang akan dibahas berikut ini meliputi gelombang, arus, dan pasang surut air laut. Pemilihan ketiga elemen oseanografi ini berkaitan dengan peran yang begitu besar dalam penentuan tipologi fisik pesisir. Gelombang laut Gelombang laut adalah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau punca gelombang dan palung atau lembah gelombang oleh gerak ayunan (oscillatory movement), akibat tiupan angin, erupsi gunung api, pelongsoran dasar laut, atau lalu lintas kapal (Sunarto, 2003). Gelombang laut memilki dimensi yaitu periode gelombang, panjang gelombang, tinggi gelombang, dan cepat rambat gelombang. Periode gelombang (T) adalah waktu tempuh di antara dua puncak atau dua lembah gelombang secara berurutan pada titik yang tetap (satuan detik). Panjang gelombang (L) adalah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah yang berurutan (satuan meter). Tinggi gelombang (H) adalah jarak vertikal antara puncak gelombang dan lembah gelombang (dalam meter). Cepat rambat gelombang (C) adalah kecepatan tempuh perjalanan suatu gelombang, yang dapat diperoleh dengan pembagian panjang gelombang (L) dengan periode gelombang (T) atau C=L/T.

92 72 Mendasarkan pada data hasil pengukuran gelombang yang dilakukan oleh Puslitbang Air pada tahun 1989 (selama 4,5 bulan) dan 1992 (selama satu tahun yaitu Maret 1992 sampai Februari 1993), hasil analisis gelombang tersebut seperti disajikan pada Tabel 20. Dari hasil analisis gelombang didapat (Hs) 5th = 3,8 m, (Hs) 10th = 4,1 m, dan (Hs) 20th = 4,5 m. Tinggi Gelombang (H) (meter) Tabel 23. Data Frekuensi Gelombang Frekuensi 1989 (4,5 bulan) 1992 (12 bulan) 0,0 <0,5 7,16 18,41 0,5<1 41,90 44,78 1,0<1,5 29,70 33,00 1,5<2,0 14,08 3,20 2,0<2,5 4,08 0,10 2,5<3,0 1,68 0,01 3,0<3,5 0,40 - >3,5 0,20 - Sumber : Bappeda Kulonrpogo dan PUSTEK UGM, 2001 Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh JICA (1989) yang mendasarkan pada hasil analisis gelombang yang didapat dari buku U.S. Navy Marine Climatic Atlas of the World volume 3 Indian Ocean (1976) didapatkan data distribusi arah gelombang sebagai berikut yaitu dari arah tenggara 12,39%, dari arah selatan 65,79% dan dari arah baratdaya 21,82%. Data arah gelombang ini dibuat berdasarkan data gelombang yang dikumpulkan selama 120 tahun. Secara umum di pantai selatan Pulau Jawa tinggi gelombang dengan kala ulang 25 tahun berkisar antara 2,8 m, dengan periode gelombang (10 15) detik. Tinggi gelombang harian berkisar antara (1,0 2,0) m, gelombang ini berupa gelombang swell dengan daerah pembangkitan (generating area) berada di tengah laut. Gelombang yang mencapai pantai akan mengalami pecah gelombang. Ada tiga tipe utama pecah gelombang yaitu tipe melimpah (spilling breakers type), tipe menunjam (plunging breakers type), dan tipe menyentak atau menggelora (surging breakers type). Tipe Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan kecil menuju pantai yang datar (kemiringan kecil). Buih terjadi pada puncak gelombang selama mengalami pecah dan meninggal kan suatu lapis buih pada jarak yang cukup panjang.

93 73 Gambar 19. Gelombang tipe Spilling /melimpah (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Tipe Plunging terjadi apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah sehingga gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air pada puncak gelombang akan terjun ke depan. Gambar 20. Gelombang tipe Plunging /menunjam (Sumber : Internet, 2007) Tipe Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan sangat besar seperti terjadi pada pantai yang berkarang. Daerah gelombang pecah sangat sempit. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan plunging, tetapi sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah. Gambar 21. Gelombang tipe Surging (Sumber : Internet, 2007)

94 74 Tipe pecah gelombang yang terdapat di wilayah laut Provinsi DIY adalah tipe spilling (melimpah) seperti yang terlihat pada Gambar 22. Gambar 22. Gelombang tipe Spilling/melimpah di Pantai Parangtritis (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Arus laut Arus laut adalah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, gelombang, pasang surut, perbedaan kepekaan air laut, atau aliran air sungai yang bermuaran di laut itu (Sunarto, 2003). Pola arus pantai yang disebabkan gelombang yang menuju pantai disebabkan oleh besar sudut yang dibentuk oleh gelombang dengan arus pantai. Jika sudut datang cukup besar, maka akan terbentuk arus sepanjang pantai. Jika sudut datang kecil atau nol (gelombang yang datang sejajar pantai) maka akan membentuk arus meretas pantai dengan arah menjauhi pantai disamping terbentuknya arus sepanjang pantai. Arus laut di Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh arus yang disebabkan oleh angin musim atau disebut dengan arus musim. Arus musim yang terjadi di Samudera Hindia terutama adalah arus musim barat dan arus musim timur. Menurut Wyrtki (Nontji, 1987 dalam Sunarto, 2003) arus musim barat yang terjadi di Samudera Hindia pada bulan Februari rata-rata berkecepatan 75 cm/detik ke arah timur. Pada musim pancaroba (peralihan antara musim brat dan timur) awal tahun di bulan April rata-rata arus laut di Samudera Hindia berkecepatan 25 cm/detik ke arah timur. Pada bulan Agustus terjadi arus musim timur dengan kecepatan rata-rata 75cm/detik ke arah barat. Pada musim pancaroba akhir tahun pada bulan Oktober, arus laut di Samudera Hindia rata-rata berkecepatan 25 cm/detik.

95 75 Kedua arus musim tersebut sangat berpengaruh terhadap pergerakan/ transportasi sedimen sepanjang pantai yang terbawa ke laut oleh Sungai Opak dan Sungai Progo. Besarnya arus sepanjang pantai berpengaruh terhadap karakteristik sedimen terendapkan. Sedimen sepanjang pantai hampir tidak dijumpai debu ataupun lempung karena untuk mengendapkan tersebut hanya diperlukan kecepatan kurang dari 0,6 m/detik. (Sobur, 1982). Jenis arus laut yang lain adalah arus susur pantai (longshore current) dan arus balik (rip current). Arus susur pantai adalah arus laut yang terdapat di zona empasan, yang umumnya bergerak sejajar garis pantai, yang ditimbulkan gelombang pecah yang datang menyudut terhadap garis pantai (Sunarto, 2003). Arus susur pantai berperan besar dalam dinamika pantai. Arus balik adalah aliran balik terkonsentrasi melewati jalur sempit yang mengalir kuat ke arah laut dari zone empasan (surf zone) melintasi gelombnag pecah hingga di laut lepaspantai (Sunarto, 2003). Arus balik di Samudera Hindia memiliki kecepatan sekitar 2 m/detik dan berlangsung dalam waktu yang pendek (Ritter, 1996). Arus balik umumnya membahayakan bagi para perenang maupun para wisatawan yang berkunjung ke pantai. Namun bagi para peselancar air dan para nelayan, arus balik sangat bermanfaat karena dapat membawa para peselancar, perahu nelayan, atau jaring nelayan ke arah lepas-pantai. Banyak wisatawan yang datang ke pantai selatan Yogyakarta mengalami kecelakaan yang antara lain banyak disebabkan oleh arus balik ini. Pasang surut Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berurutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rerata ke posisi yang sama berikutnya. Periode pasang surut bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam tiga tipe yaitu pasang surut harian ganda (semidiurnal tide), harian tunggal (diurnal tide) dan jenis campuran (mixed tide).

96 76 1. Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide) Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. 2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide) Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. 3. Pasang surut jenis campuran (mixed tide) Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Hasil pengukuran pasang surut di Pantai Sadeng DIY yang dilakukan oleh PUSTEK UGM (2003) selama 15 hari berturut-turut dengan interval waktu 1 jam memberikan hasil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 23, sedangkan pengukuran data pasang surut di Sungai Serang yang dilakukan oleh Puslitbang Air Bandung dalam Proyek Pengendalian Banjir Selatan Jawa (Java Flood Control Project) tahun 1993 (dalam PUSTEK UGM, 2003) memberikan hasil seperti yang tersaji dalam Gambar 24. Dengan melakukan superposisi antara elevasi muka air rerata di muara Sungai Serang dan di Pelabuhan Sadeng maka dapat diperoleh beberapa elevasi muka air berikut ini (PUSTEK UGM, 2003) : Elevasi HHWL : 2.15 m Elevasi MHWL : 1,65 m Elevasi MSL : 1,05 m Elevasi MLWL : 0,45 m Elevasi LLWL : - 0,05 m

97 77 Gambar 23. Data Pasang Surut Sungai Serang (PUSTEK UGM, 2003) Gambar 24. Pasang Surut Muara Sungai Sadeng (PUSTEK UGM, 2003) Suhu air laut Suhu air laut merupakan kondisi panas air laut akibat pemanasan sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Air mempunyai daya muat panas jauh lebih tinggi daripada daratan dalam jumlah pemanasan yang sama, daratan akan cepat menjadi panas daripada lautan, demikian juga sebaliknya (Hutabarat dan Stewart, 1985). Berdasarkan pada hasil penelitian pengukuran suhu yang dilakukan oleh Bapeda DIY dan Fakultas Geografi UGM (2002), suhu permukaan air laut pantai DIY rata-rata sebesar 26,7oC.

98 78 Kedalaman laut Kedalaman laut dapat diketahui dari peta batimetri. Berdasarkan pada hasil penelitian Pusat Studi Sumberdaya dan Teknologi Kalutan (PUSTEK) UGM yagyakarta (2001) menunjukkan pada jarak 180 m dari garis pantai kedalaman laut mencapai 3 m dan pada jarak kurang lebih 600 m dari garis pantai kedalaman laut mencapai 25 m Erosi dan Sedimentasi Pantai Erosi pantai Erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang dan arus laut yang bersifat merusak (destruktif). Erosi pantai disebut juga dengan istilah abrasi. Prose erosi pantai umumnya didominasi oleh kerja gelombang karena energi gelombang bersifat sangat erosif. Energi gelombang yang sangat erosif tersebut sangat tergantung pada tinggi gelombang (H), panjang gelombang (L), cepat rambat gelombang (C) dan kecuraman gelombang. Murck (1996 dalam Sunarto, 2003) menyatakan bahwa kebanyakan erosi pantai dilakukan oleh gelombang yang bergerak ke arah pantai. Kebanyakan erosi pantai terjadi pada zona yang terletak di bawah 10 m dan di atas 10 dari rata-rata muka laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi pantai adalah keterbukaan pantai terhadap serangan gelombang, konfigurasi garis pantai, sifat dasar batuan di sepanjang pantai, dan ada tidaknya gisik pelindung. Berkaitan dengan hal tersebut, karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dengan dominasi bentuklahan cliff, erosi yang terjadi pada clif tersebut dipengaruhi oleh daya rusak gelombang dan daya tahan material clif. Umumnya erosi pantai pada clif akan meninggalkan jejak yang berupa gerongan pantai (marine notch). Gerongan pantai dapat dijadikan indikator bagi ketinggian muka air laut pada saat itu dan aktivitas erosi yang bekerja di pantai tersebut. Di depan gerongan pantai umumnya terbentuk pelataran pantai (shore platform). Pelataran pantai tidaklah datar, tetapi berlereng landai ke arah laut dengan kemiringan berkisar 1 2 %. Hamblin (1992 dalam Sunarto, 2003) mengemukakan bahwa erosi pantai pada clif mengikuti sekuen atau urutan sebagai evolusi garis pantai. Sekuen tersebut adalah sebagai berikut :

99 79 a. Tahap awal : kerja gelombang mulai membentuk gerongan pantai pada muka laut, yang membentuk pula clif kikisan gelombang (wavecut cliff) b. Tahap menengah : erosi oleh gelombang masih berlanjut yang menyebabkan cliff itu mundur dan berkembang pelataran pantai kikisan gelombang. Disepanjang zona yang lemah terbentuk tiang laut (sea stack), pelengkung laut (sea arches), dan gua laut (sea cave) sebagai akibat erosi yang berbeda evolusinya. c. Tahap akhir : pelataran pantai berkembang meluas, sehingga energi gelombang yang melintas teredam. Erosi di sepanjang pantai jauh berkurang. Gisik bekembang dan clif mundur karena gerakan massa. Gambar 25. Proses Erosi Pantai pada Clif (Sumber : Internet, 2007) Sedimentasi pantai Istilah sedimentasi pantai sangat berkaitan dengan erosi pantai karena jika erosi pantai telah terjadi maka segera berlangsung proses pengangkutan sedimen-sedimen hasil erosi pantai dan diendapkan di daratan membentuk gisik pantai. Laju sedimentasi atau kecepatan endapan (settling) sedimen tergantung pada ukuran partikel. Kebanyakan sedimen yang terbawa ke wilayah estuaria berada dalam bentuk suspensi dan berukuran kecil. Partikel-partikel tersebut

100 80 umumnya berdiameter < 2 µm, dan merupakan komposisi dari clay mineral, yaitu illite, kaolonite, dan montmorilonite, yang dibawa oleh air sungai. Semakin kecil diameter sedimen semakin sulit mengendap. King (1976) menjelaskan bahwa pasir dan pasir kasar mengendap secara cepat di perairan. Sedimen-sedimen ini mengendap dalam suatu siklus pasang, sedangkan sedimen-sedimen yang lebih kecil seperti silt dan clay, kecepatan endapannya sangat lambat, tidak dapat mengendap dalam suatu siklus pasang. Proses sedimentasi di pantai dapat dibedakan menjadi deposisi dan siltasi (Sunarto, 2003). Deposisi umumnya diartikan sebagai pengendapan sedimen lepas (klastik), sedangkan siltasi atau pelumpuran diartikan sebagai pengendapan materi lumpur atau sedimen lembek. Proses deposisi di pantai akan menimbulkan bentukan-bentukan deposisi antara lain gisik seperti yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo, sedangkan pengendapan material lumpur umumnya berasal dari sungai yang membentuk delta. Delta adalah wilayah dataran rendah yang mendekati rata pada muara sungai yang terbentuk oleh pengendapan material sungai yang tersebar ulang oleh laut. Oleh karena itu delta merupakan bentuklahan yang secara genetik terbentuk oleh gabungan proses sungai dan proses laut yang dikenal dengan istilah fluvio-marin. Bentuk delta dapat digunakan untuk mengidentifikasi proses yang dominan dalam pembentukannya yaitu antara proses sungai, gelombang atau pasang-surut. Delta berbentuk elongated (memanjang) umumnya terbentuk pada daerah dengan material aluvium yang melimpah, kekuatan sungai dapat membangun delta ke arah laut, dan pengaruh gelombang dan pasang surut relatif kecil. Proses yang dominan pada delta bentuk elongated adalah proses sungai. Contoh sangat jelas dari delta berbentuk elongated adalah delta Mississippi, USA (Gambar 26). Delta berbentuk cuspate memiliki karakteristik bentuk seperti tanduk, erosi gelombang lebih mendominasi daripada distribusi sedimen dari muara sungai. Proses yang dominan pada delta bentuk cuspate adalah erosi gelombang. Delta berbentuk cuspate banyak dijumpai di daerah penelitian ini dan sebagian besar sungai di Pulau Jawa yang bermuara di Samudera Hindia (lihat Gambar 27). Pada delta berbentuk crenulate arus pasang surut menghasilkan sejumlah pulau pasiran yang terpisah-pisah oleh saluran pasang surut di sepanjang depan-delta (delta front). Proses yang dominan pada delta bentuk crenulate adalah proses pasang surut.

101 81 Gambar 26. Delta Bentuk Elongated/memanjang (Sumber : Internet, 2007) Gambar 27. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Opak, Parangtritis DIY (Sumber : Barandi, 2003) Gambar 28. Delta bentuk Cuspate di Muara Sungai Progo, DIY (Sumber : Google, 2007) Gambar 29. Delta bentuk Crenulate (Sumber : Google, 2007)

102 Hidrologi Pembahasan tentang kondisi hidrologi daerah penelitian terdiri dari air permukaan dan airtanah. Air permukaan terutama dibahas tentang kondisi sungai- sungai, kemudian dikaitkan dengan kemungkinan rawan banjir sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan tipologi penggunaan lahan wilayah pesisir. Sedangkan pembahasan tentang airtanah lebih ditekankan pada potensi menyangkut kuantitas airtanah yang juga digunakan sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan tipologi penggunaan lahan wilayah pesisir. Air Permukaan Sungai-sungai besar yang mengalir di daerah penelitian dan bermuara di Samudera Hindia adalah Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Serang, dan Sungai Bogowonto. Di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul yang sebagian besar wilayahnya berupa topografi karst, sebenarnya banyak terdapat sungaisungai besar yang mengalir, hanya sungai-sungai tersebut merupakan sungai bawah tanah yang merupakan fenomena khas wilayah karst, yang mengalir di bawah tanah dan bermuara di Samudera Hindia. Karena letaknya di bawah tanah, maka aliran sungai-sungai tersebut sulit untuk diikuti dari permukaan tanah, hanya beberapa ditemukan muaranya saja seperti muara sungai di Pantai Baron. Berkaitan dengan sungai di wilayah Kabupaten Gunungkidul ini, ada satu fenomena menarik berupa muara bekas aliran sungai Bengawan Solo purba di Pantai Sadeng. Kenampakan ini sangat menarik karena dapat digunakan untuk menjelaskan proses-proses yang terjadi pada masa lalu, disamping itu juga dapat digunakan sebagai daya tarik wisata. Penggunaan saat ini, Pantai Sadeng dimanfaatkan untuk pelabuhan perikanan dan tempat wisata. Sungai Opak merupakan sungai berstadium dewasa dan bermata air di lereng atas Gunungapi Merapi. Sungai Opak merupakan sungai permanen (mengalir sepanjang tahun). Dari data survei Sub Seksi Dinas Pengairan Provinsi DIY tahun didapatkan debit minimum Sungai Opak sebesar ± 1,859 m 3 /detik, yang terjadi pada bulan Oktober. Perubahan debit sungai Opak dari bulan ke bulan sangat dipengaruhi oleh curah hujan di daerah hulu. Walaupun demikian pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (musim kemarau) sungai tersebut masih mengalir. Sungai Progo juga merupakan sungai permanen yang mengalir sepanjang tahun. Hulu Sungai Progo berasal dari Gunung Sumbing, sehingga bahan yang diangkut sebagian besar berupa lahar dan piroklastik.

103 83 Sungai Serang juga merupakan sungai yang permanen dan periodik, artinya pada musim hujan debit sungainya besar dan pada musim kemarau debit sungainya kecil. Akibat kecilnya debit sungai di musim kemarau menyebabkan aliran air sungai tidak mampu untuk mengimbangi laju sedimentasi pasir yang dihasilkan oleh tenaga gelombang laut, sehingga terjadi pembendungan muara sungai oleh pasir tersebut membentuk delta cuspate. Kondisi ini juga terjadi di sungai-sungai yang mengalir di wilayah penelitian, seperti sungai Opak, Progo, Serang dan Bogowonto. Tertutupnya mulut sungai merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir di daerah hulu. Pada musim penghujan air banjir tidak mudah dibuang ke laut, sehingga di daerah sebelah hulu terjadi luapan dan genangan banjir. Kerugian banjir di daerah hilir Sungai Serang seperti terlihat dalam Tabel 24. Tabel 24. Kerugian Banjir di Daerah Hilir Sungai Serang Periode Ulang Daerah Genangan (ha) Daerah Genangan Jumlah rumah (tahun) sawah permukiman total Kedalaman Durasi Rumah Orang (m) (hari) Sumber : Sogreah, Airtanah Kondisi airtanah di Kabupaten Gunungkidul mempunyai sifat-sifat hidrogeologi yang khas karena merupakan bentuklahan karst. Akuifernya mempunyai tingkat permeabilitas primer yang rendah karena tersusun dari batugamping, sehingga airtanah tidak tersimpan secara baik di dalam zona akuifer. Sifat akuifer batugamping adalah kompak dan mempunyai permeabilitas primer yang rendah. Meskipun demikian, retakan-retakan pada batuan gamping dapat berkembang menjadi batuan akuifer sekunder, sehingga banyak sedikitnya air yang dapat dikandung oleh batugamping sangat tergantung dari banyak sedikitnya retakan yang dapat dilalui oleh air permukaan (lihat Gambar 30)

104 84 Gambar 30. Sistem Akifer Batugamping Karst (Mandel dan Shiftan,1981) Kedalaman airtanah pada bentuklahan beting gisik berkisar antara 2 6 meter dan merupakan air tawar. Kedalaman airtanah pada dataran aluvial bekas lagun dan rawa belakang rata-rata kurang dari 1,5 meter dan di beberapa tempat ditemui airtanah payau yang merupakan connate water. Pada daerah gumuk pasir tua, tersedia airtawar yang cukup banyak dengan kedalaman < 6 meter. Fluktuasi muka airtanah sekitar 2 meter, namun pada umumnya lebih kecil di dekat sungai. Hidrograf satuan menunjukkan bahwa muka airtanah akan segera naik bila hujan turun dan kembali turun bila hujan tidak turun, hal ini menunjukkan sistem penyimpan permeabilitas rendah. Pada daerah gumuk pasir fluktuasi muka airtanah antara musim penghujan dan musim kemarau sekitar 0,70 meter. Gambar 31. Pengukuran Muka Airtanah di Lahan Pasir, Karangwuni, Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

105 Kerawanan Bencana Tsunami Bentuk kerawanan bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bahaya tsunami, banjir, dan erosi. Bahaya banjir sudah diuraikan pada uraian tentang hidrologi, sedangkan uraian tentang bahaya erosi sudah diuraikan pada uraian tentang erosi dan sedimentasi, sehingga pada uraian tentang kerawanan bencana ini lebih banyak akan diuraikan tentang bahaya tsunami. Uraian tentang bahaya tsunami ini dimaksudkan hanya untuk memberikan gambaran tentang pengertian tsunami, kejadian-kejadian tsunami yang pernah terjadi di Samedera Hindia dan tindakan/langkah-langkah untuk menyelamatkan diri apabila terjadi tsunami. Pada analisis penentuan pola pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian, faktor tsunami dianggap tidak ada atau diasumsikan nol seperti yang diutarakan pada batasan studi pada bab terdahulu. Tsunami adalah istilah yang diberikan untuk gelombang dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh adanya gangguan atau perubahan elevasi dasar laut (Pratikto, 1997). Tsunami merupakan gelombang laut berperiode panjang yang terbentuk akibat adanya energi yang merambat ke lautan akibat gempa bumi, letusan gunung berapi dan runtuhnya lapisan-lapisan kerak bumi yang diakibatkan bencana alam tersebut di samudra atau di dasar laut, peristiwa yang melibatkan pergerakan kerak bumi seperti pergeseran lempeng di dasar laut, atau dampak tumbukan meteor. Penyebutan istilah tsunami sebagai gelombang pasang (tidal wave) atau gelombang raksasa (the giant wave) tidaklah tepat (Sunarto, 2003), sebab tsunami tidak ada kaitannya dengan pasang surut air laut akibat pengaruh gaya tarik Bulan dan Matahari. Untuk memahami tsunami, sangatlah penting untuk dapat membedakannya dari pergerakan pasang-surut dan gelombang biasa yang diakibatkan oleh angin. Angin yang bertiup di atas permukaan laut menimbulkan arus yang terbatas pada lapisan bagian atas laut dengan memunculkan gelombang-gelombang yang relatif kecil. Gelombang laut mungkin dapat mencapai setinggi 10 meter atau lebih saat terjadi badai dahsyat, tapi hal ini tidak menyebabkan pergerakan air di kedalaman. Selain itu, kecepatan gelombang laut biasa yang diakibatkan angin tidaklah lebih dari 20 km/jam, sebaliknya, gelombang tsunami dapat bergerak pada kecepatan km/jam. Gelombang pasang surut bergerak di permukaan bumi dua kali dalam rentang waktu satu hari dan, seperti halnya tsunami, dapat menimbulkan arus

106 86 yang mencapai kedalaman hingga dasar samudra. Namun, berbeda dengan gelombang pasang surut, penyebab gelombang tsunami bukanlah gaya tarik bumi dan bulan. Kejadian tsunami kebanyakan disebabkan oleh gelombang tektonik, seperti halnya yang terjadi di laut selatan Jawa. Penelitian menunjukkan bahwa tsunami ternyata bukan terdiri dari gelombang tunggal, melainkan terdiri atas rangkaian gelombang dengan satu pusat di tengah, seperti sebuah batu yang dilemparkan ke dalam kolam renang. Jarak antara dua gelombang yang berurutan dapat mencapai kilometer. Ini berarti tsunami dapat melintasi samudra dalam hitungan jam saja. Tsunami hanya melepaskan energinya ketika mendekati wilayah pantai. Gelombang raksasa ini, melepaskan kekuatan dahsyat saat menerjang pantai dengan kecepatan tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan hebat dan menelan banyak korban jiwa. Tsunami memindahkan lebih dari ton air laut ke daratan untuk setiap meter garis pantai, dengan daya rusak yang sulit dibayangkan. (Gelombang tsunami terbesar yang pernah diketahui, yang melanda Jepang pada bulan Juli 1993, naik hingga 30 meter di atas permukaan air laut.) Tanda awal datangnya tsunami biasanya bukanlah berupa dinding air, akan tetapi surutnya air laut secara mendadak. Katili (1986) menjelaskan bahwa di selatan Jawa terdapat palung laut dalam sebagai zona subduksi yang dijumpai banyak pusat gempa yang potensial menimbulkan tsunami atau tsunamigenic earthquake. Menurut Sopaheluwaken (2007) bahwa syarat terjadinya tsunami adalah kekuatan gempa di atas 6.4 SR, lebih dangkal dari Km, berada di bawah laut, kolom air yang cukup dan gerakan patahan bumi yang vertikal. Menurut informasi yang diberikan oleh Dr. Walter C. Dudley (2007), profesor oseanografi dan salah satu pendiri Museum Tsunami Pasifik, pergerakan lantai dasar samudra merupakan syarat terjadinya tsunami. Dengan kata lain, semakin besar perpindahan lempeng kerak bumi di lantai dasar samudra, semakin besar jumlah air yang digerakkannya, dan hal ini akan menambah kedahsyatan tsunami. Hal lain yang meningkatkan daya rusak tsunami adalah struktur pantai yang diterjangnya: Selain faktor seperti bentuk pantai yang berupa teluk atau semenanjung, landai atau curam, bagian dari pantai yang selalu berada di dalam air mungkin saja memiliki struktur yang dapat menambah kedahsyatan gelombang tsunami ini.

107 87 Gambar 32. Proses terjadinya Tsunami (Sumber : Internet, 2007) Gelombang-gelombang laut raksasa terbesar akibat gempa bumi (tsunami) yang tercatat dalam sejarah adalah sebagai berikut : Juli 365 M. Gelombang raksasa paling tua yang pernah diketahui akibat gempa di laut, yang diberi nama "tsunami" oleh orang Jepang dan "hungtao" oleh orang Cina, adalah yang terjadi di Laut Tengah sebelah timur dan menewaskan ribuan orang di kota Iskandariyah, Mesir November Ibukota Portugal hancur akibat gempa dahsyat Lisbon. Gelombang samudra Atlantik yang mencapai ketinggian 6 meter meluluhlantakkan pantai-pantai di Portugal, Spanyol dan Maroko Agustus 1883: Gunung berapi Krakatau di Indonesia meletus dan gelombang tsunami yang menyapu pantai-pantai Jawa dan Sumatra menewaskan orang. Letusan gunung berapi tersebut sungguh dahsyat sehingga selama bermalam-malam langit bercahaya akibat debu lava berwarna merah Juni 1896: "Tsunami Sanriku" menghantam Jepang. Tsunami raksasa berketinggian 23 meter tersebut menyapu kerumunan orang yang berkumpul dalam perayaan agama dan menelan korban jiwa Desember 1896: Tsunami merusak bagian pematang Santa Barbara di California, Amerika Serikat, dan menyebabkan banjir di jalan raya utama Januari 1906: Gempa di samudra Pasifik menghancurkan sebagian kota Tumaco di Kolombia, termasuk seluruh rumah di pantai yang terletak di antara Rioverde di Ekuador dan Micay di Kolombia; orang meninggal dunia.

108 April 1946: Tsunami yang menghancurkan mercu suar Scotch Cap di kepulauan Aleut beserta lima orang penjaganya, bergerak menuju Hilo di Hawaii dan menewaskan 159 orang Mei 1960: Tsunami berketinggian 11 meter menewaskan orang di Cili dan 61 orang di Hawaii. Gelombang raksasa melintas hingga ke pantai samudra Pasifik dan mengguncang Filipina dan pulau Okinawa di Jepang Maret 1964: Tsunami "Good Friday" di Alaska menghapuskan tiga desa dari peta dengan 107 warga tewas, dan 15 orang meninggal dunia di Oregon dan California Agustus 1976: Tsunami di Pasifik menewaskan orang di Teluk Moro, Filipina Juli 1998: Gelombang laut akibat gempa yang terjadi di Papua New Guinea bagian utara menewaskan orang, menghancurkan 7 desa dan mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Bahaya tsunami juga telah terbukti terjadi di Samudera Hinda. Menurut catatan dari Badan Geologi Bandung (2006), tsunami di Samudera Hindia (tepatnya di wilayah lautan DIY dan sekitarnya) pernah terjadi pada tahun 1840, 1883, 1904, 1957, dan Tsunami terbesar di Samudera Hindia terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember Gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter dan gelombang laut raksasa yang melanda enam negara di Asia Tenggara menewaskan lebih dari orang. Beberapa kejadian tsunami yang tercatat di pesisir selatan Pulau Jawa adalah tsunami di Pantai Pangandaran Ciamis Jawa Barat pada tahun 2006 dan di pesisir pantai selatan Kabupaten Banyuwangi pada tahun Wilayah pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta juga termasuk bagian dari pesisir selatan Pulau Jawa, yang sampai saat ini masih belum terkena bahaya tsumani, tetapi kemungkinan untuk dapat terkena tsunami cukup besar karena merupakan satu rangkaian lempeng tektonik dengan pantai Pangandaran dan Banyuwangi yang pernah terjadi tsunami (lihat Gambar 33).

109 89 Gambar 33. Peta Daerah Rawan Tsunami di Indonesia (J.Murjaya, 2001) Beberapa kejadian tsunami yang pernah tercatat, baik yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia maupun yang terjadi di Provinsi Jawa Timur disajikan dalam Tabel 25. Tabel 25. Tsunami di Indonesia No Tanggal Pusat Gempa Kekuatan (Hiposenter) Gempa 1 24 mei LS ; 124.7BT, 33 Km 6.6 Ende 2 2 Feb LS ; BT, 33 Km 6.6 P.Banda dan Kei 3 20 Mei LS ; BT, 13 Km 6.6 P.Banda dan Kei 4 25 Mei LS ; BT, 13 Km 6.3 Selat Makassar 5 11 April LS ; BT, 55 Km 6.3 Maluku, 71 tewas Keterangan 6 12 April Pantai Tinambung Sulsel, 58 tewas 7 14 Agsts LU ; BT, 23 Km 6.0 PantaiBarat Sulteng, 200 tewas 8 23 Feb LU ; BT, 13 Km 6.1 Pantai Majene, 64 tewas Jan LS ; BT, 33 Km 5.4 Banda Naira 10 5 Maret LS ; BT, 33 Km 6.5 Pantai Sasana Maluku Agst LS ; 118.5BT, 33 Km 7.0 Bali,Smbawa,Sumba ; 189 tewas Des LS ; 123.0BT, 33 Km 5.6 Larantuka, 13 tewas

110 Feb LS ; 118.8BT, 95 Km 5.9 Pantai Mamuju Des LS ; BT, 15 Km 6.8 Flores, 2100 tewas 15 3 Juni LS ; BT, 15 Km 5.9 Jawa Timur, 208 tewas Des LU ; 95.6 BT, 20 K m 8.5 Provinsi NAD (Aceh), lebih orang tewas Juli LS ; BT,48 Km 7.2 Pangandaran Jawa Barat, 341 tewas Sumber : Puspito dan Triyoso (1994) Tanda-tanda bahaya terjadinya gelombang tsunami di dekat episentrum adalah : a. Terjadinya guncangan/getaran gempa yang berpusat di dasar laut atau samudera b. Terjadinya air surut secara tiba-tiba di permukaan laut sejauh puluhan meter bahkan hingga ratusan meter dari bibir pantai ke arah laut, terjadi dengan relatif cepat c. Ikan-ikan dan biota laut lainnya akan terdampar di dasar pantai yang kering akibat surut yang mendadak d. Selang beberapa menit kemudianakan terjadi gelombang pasang yang tinggi dan cepat hingga mencapai lebih kurang 200 km/jam dan dapat terjadi secara berulang Tindakan/langkah-langkah penyelamatan diri apabila terjadi bencana tsunami adalah : a. jika terjadi tanda-tanda di atas, segera mencari tempat ketinggian atau menjauh dari pantai secepatnya b. Lakukan tindakan aksi penyelamatan diri secepat mungkin, prioritaskan keselamatan jiwa, abaikan harta benda c. Jika gelombang tsunami sudah reda, jangan segera kembali ke rumah/mendekat daerah pantai karena kemungkinan terjadi gelombang tsunami susulan d. Sebaiknya tetap berada di daerah aman/tempat ketinggian sampai dipastikan benar-benar aman dari gelombang tsunami susulan e. Jika terjadi ombak atau gelombang, sedapat mungkin untuk meraih benda yang mudah terapung sebagai pegangan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) adalah segala bentuk aktivitas campur tangan manusia terhadap suatu lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

111 91 Bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian dikategorikan menjadi dua bagian yaitu bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dan di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Dari hasil interpretasi Peta Rupabumi skala 1 : dan pengecekan lapangan, bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul meliputi tegalan/ladang, semak/ belukar, sawah tadah hujan, permukiman dan pekarangan. Bentuk penggunaan lahan yang ada sekarang memang menyesuaikan dengan kondisi wilayah yang sebagain besar merupakan bentuklahan karst dengan karakteristik yang khas pula. Jenis tanah yang terdapat pada bentuklahan karst adalah tanah mediteran dan litosol yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, sehingga bentuk penggunaan lahannya juga menyesuaikan berupa tegalan/ladang dengan tanaman yang dibudidayakan berupa ketela pohon, kacang tanah, dan tanaman tahunan seperti jati, yang berfungsi sebagai tanaman pelindung. Potensi air permukaan yang sangat rendah (hampir tidak ada) terutama pada musim kemarau ikut mendukung bentuk penggunaan lahan ini. Penggunaan lahan sawah tadah hujan hanya dilakukan pada saat musim penghujan dengan mengandalkan air hujan untuk mengairi tanaman padi. Permukiman penduduk yang jaraknya relatif dekat dengan pantai mempunyai pola yang menyebar, sedangkan perkampungan penduduk jaraknya relatif jauh dari pantai dan pola permukimannya lebih mengelompok bila dibandingkan dengan permukiman penduduk yang relatif dekat dengan pantai. Tabel 26. Luas Sawah, Tegalan, dan Pekarangan (Ha) di Beberapa Kecamatan No yang berada di Wilayah Pantai Kabupaten Gunungkidul Kecamatan Sawah ½ tehnis Tadah hujan Tegalan Pekarangan 1 Purwosari Pangang Saptosari Tanjungsari Tepus Girisubo Jumlah Sumber : Gunungkidul dalam Angka, 2003 Dari Tabel 26. nampak bahwa di wilayah pantai Kabupaten Gunungkidul tidak terdapat jenis penggunaan lahan berupa sawah irigasi, tetapi yang ada

112 92 adalah sawah tadah hujan dan luasnya relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jenis penggunaan lahan berupa tegalan dan pekarangan. Lahan pertanian di kawasan Baron-Sundak merupakan lahan pertanian yang paling luas dan memiliki sistem pengairan yang cukup baik, karena mendapat pasokan air dari sumur bor di Krakal. Meskipun demikian, tidak dijumpai permukiman penduduk di sekitar lahan pertanian tersebut, karena kegiatan pertanian dan juga kehutanan di daerah penelitian dilakukan oleh penduduk yang bermukim di luar daerah penelitian. Gambar 34. Kenampakan Padi Sawah Tadah Hujan di Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuk penggunaan lahan di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo adalah tegalan, sawah irigasi, perkebunan, semak belukar, lahan terbuka, beting pantai, gosong sungai, gumuk pasir, pasir pasang-surut, rawa, permukiman dan pekarangan. Bentuk penggunaan lahan tegalan menempati pada sebagian gumuk pasir yang sudah tidak aktif dan bekas rawa belakang. Jenis vegetasi yang ada meliputi jagung, ketela, semangka, dan lombok. Pada saat menjelang musim penghujan, lahan gumuk pasir mulai diolah menggunakan traktor untuk dapat ditanami tanaman cabe, semangka, dan lain-lain. Sistem pengairannya menggunakan sistem sumur renteng, yaitu suatu sistem sawah yang sumber airnya berasal dari satu sumur utama, kemudian dari sumur utama tersebut dibuat saluran-saluran pipa pralon ke beberapa sumur yang berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk mengairi sawah.

113 93 Gambar 35. Model Sumur Renteng di Lahan Pasir,Congot Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Pada saat ini di lahan gumuk pasir yang sudah tidak aktif seperti di Pantai Glagah dan Pantai Bugel dikembangkan tanaman buah naga dan sudah mulai panen (lihat Gambar 36). Gambar 36. Buah Naga yang ditanam di Lahan Pasir, Glagah Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Lahan sawah irigasi terdapat di rawa belakang dan dataran aluvial bekas lagun dengan drainase yang cukup jelek, yang pada musim penghujan selalu tergenang. Untuk memperbaiki drainase, selain membuat saluran drainase juga dilakukan pertanian sistem surjan, yaitu pembuatan petak-petak memanjang berselang-seling tinggi rendah dengan ukuran lebar pada bagian yang tinggi 1,5 meter. Bagian yang tinggi sebagian besar ditanami palawija seperti ketela pohon, jagung, cabe, terong, kacang tanah, kedelei, bawang merah dan kacang panjang, sedangkan bagian yang rendah pada musim penghujan ditanami padi dan pada musim kemarau ditanami jagung.

114 94 Gambar 37. Sistem Surjan, Trisik Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Pada dataran aluvial di kanan-kiri sungai utama, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Serang, dan Sungai Progo penggunaan lahannya berupa sawah dan sedikit tambak seperti di Sungai Bogowonto. Dataran aluvial memang merupakan tanah yang sangat subur sehingga cocok untuk penggunaan lahan sawah. Muara S. Bogowonto sawah Gumuk pasir Gambar 38. Penggunaan Lahan Sawah di Dataran Aluvial Sungai Bogowonto, Congot Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuk penggunaan lahan permukiman dan pekarangan banyak ditemukan pada bentuklahan beting gisik tua dengan pola memanjang sejajar garis pantai, dan di dataran aluvial sungai dengan pola memanjang sepanjang sungai (lihat Gambar 39). Komposisi tanaman di pekarangan adalah kelapa, pisang, pepaya, melinjo, mangga, jambu, dan lain-lain. Lahan kosong/terbuka letaknya menyebar mulai dari pantai bagian selatan sampai dekat beting pantai bagian utara. Pada beberapa bagian lahan kosong ini ditumbuhi berbagai jenis vegetasi antara lain rumput grinting, tanaman pandan dan semak-semak,

115 95 sedangkan pada bagian lahan terbuka yang tanpa vegetasi penutup terbentuk gumuk-gumuk pasir yang masih aktif. Gambar 39. Permukiman dan Pekarangan dengan Pola Memanjang di Sepanjang Sungai (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Aksesibilitas Aksesibilitas merupakan gambaran tingkat kemudahan keterjangkauan dan sirkulasi suatu wilayah. Untuk mengetahui tingkat aksesibilitas di daerah penelitian, variabel yang digunakan meliputi variabel jarak terdekat masingmasing desa di wilayah pesisir dengan pusat kota kecamatan, kota kabupaten serta kota kabupaten lainnya, dan variabel kondisi jalan yang dapat diakses dengan baik. Purwohandoyo (2007) menyatakan bahwa rata-rata jarak terdekat antar desa dengan kota kecamatan adalah 4,87 km, sedangkan rata-rata jarak terdekat antara desa dengan ibukota kabupaten adalah 25,09 km dan dengan ibukota kabupaten lainnya adalah 36,16 km. Purwohandoyo (2007) juga menyatakan apabila tingkat aksesibilitas ini dilihat dari masing-masing desa, terdapat 12 (dua belas) desa yang memiliki kategori dekat dengan pusat kota, desa-desa tersebut meliputi desa : Sindutan, Palihan, Glagah, Pleret, Bugel, Karangsewu, dan Banaran (masuk wilayah administratif Kabupaten Kulonprogo), kemudian desa Poncosari, Gadingsari, Gadingharjo, dan Srigading (wilayah adminstratif Kabupaten Bantul), serta Desa Sidoharjo (masuk wilayah administratif Kabupaten Gunungkidul). Kondisi jalan menuju wilayah pantai di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul sebagian sudah beraspal dan dapat dilewati kendaraan meskipun tidak begitu lebar, tetapi beberapa wilayah pantai hanya dapat dilewati dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang berupa susunan batu dan tanah, atau

116 96 kadang hanya berupa susunan batu saja. Kondisi seperti ini lebih disebabkan kondisi wilayah Kabupaten Gunungkidul yang berupa perbukitan karst sehingga pembangunan prasarana jalan dibutuhkan biaya yang cukup besar dan perencanaan yang baik. Gambar 40. Jalan Aspal menuju Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Kondisi jalan menuju pantai di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo relatif sebagian besar sudah beraspal dan dapat dilewati kendaraan bermotor, meskipun beberapa jalan dalam kondisi rusak terutama jalan pinggir pantai. Disamping kondisi topografinya yang datar sehingga memudahkan untuk pembangunan jalan, juga tingkat kebutuhan akan prasarana jalan yang tinggi disebabkan oleh kedekatan dan interaksi antara satu desa dengan desa yang lainnya. Gambar 41. Kondisi Jalan di Pantai Depok-Parangtritis, Bantul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

117 Peraturan Perundangan dan Tata Ruang Wilayah Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Pasal 7 disbutkan bahwa Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terdiri atas : a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K; c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K. Selanjutnya dalam Pasal 9 disebutkan bahwa : a. RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. b. RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Dalam rencana tata ruang wilayah provinsi DIY pasal 37a disebutkan bahwa pengembangan kawasan pesisir dan laut ditujukan untuk : a. Menjaga fungsi wilayah pesisir dan laut agar tetap lestari. b. Menjaga dan mempertahankan batas teritorial dan kepemilikan kekayaan sumberdaya laut yang ada di dalamnya. c. Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengembangan kawasan pesisir dan laut meliputi: a. Pelestarian kawasan pesisir dan laut b. Pengendalian pemanfaatan kawasan pesisir dan kelautan dari pengaruh budidaya lain c. Pengamanan dari pemanfaatan oleh kegiatan bangsa lain d. Penyediaan sarana dan prasarana produksi pesisir dan kelautan Selanjutnya dalam Pasal 41a disebutkan strategi pengembangan kawasan pesisir dan laut meliputi kegiatan-kegiatan :

118 98 a. Informasi dan penyadaran kepada masyarakat tentang urgensi dan kerentanan wilayah pesisir dan laut beserta potensi yang terkandung di dalamnya. b. Peningkatan partisipasi masyarakat untuk pengembangan wilayah pesisir dan laut sesuai kemampuan masing-masing. c. Penyediaan sarana dan prasarana termasuk instrumen-instrumen peraturan dan kelembagaan yang perlu untuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut. d. Implementasi kerjasama yang setara dengan swasta untuk dapat memanfaatkan kawasan pesisir dan laut secara lestari. Selanjutnya dalam bidang transportasi laut, Pasal 53 ayat (4) berbunyi bahwa sistem transportasi laut hanya mencakup Sadeng, Pandansimo dan Glagah yang berfungsi sebagai pangkalan pendaratan ikan dengan skala pelayanan lokal dan regional masing-masing terletak di wilayah Gunungkidul, di wilayah Bantul dan di wilayah Kulon Progo. Pasal 57 disebutkan bahwa pengembangan pelabuhan Sadeng, Pandansimo dan Glagah diutamakan untuk pangkalan pendaratan ikan yang melayani pasar ikan, baik di dalam, maupun di luar daerah, dan untuk memperlancar arus pengangkutan ikan ke tempat-tempat pemasaran perlu dikembangkan jalan kolektor primer yang menghubungkan Sadeng, Pandansimo dan Glagah dengan Yogyakarta dan Surakarta. Berkaitan dengan penelitian ini maka penilaian tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk pelabuhan akan langsung dikaitkan dengan wilayah pesisir Sadeng, Pandansimo, dan Glagah. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul disebutkan bahwa wilayah pantai Kabupaten Bantul yang meliputi Kecamatan Kretek, Sanden, dan Srandakan masuk dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) IV yang diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian lahan basah, permukiman, peternakan, perikanan, dan wisata. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kulonprogo No. 1 Tahun 2003 Lampiran IV berupa Peta Kawasan Permukiman dan Lokasi Militer, disebutkan bahwa kawasan darat yang berbatasan langsung dengan wilayah pesisir diarahkan untuk permukiman perdesaan dan di sebelah timur dari Kali Serang diarahkan untuk lokasi militer. Lokasi militer yang dimaksud adalah Pangkalan MIliter TNI-AL yang rencananya merupakan pindahan dari Pangkalan TNI-AL (Lantamal) V masih dalam tahap survei awal tingkat kelayakan. Lokasi

119 99 lahan yang digunakan sudah memperoleh persetujuan dari Pakualaman Yogyakarta dan Pemkab Kulon Progo. Sehubungan dengan adanya cadangan pasir besi di sepanjang pesisir Kabupaten Kulonprogo, saat ini sedang dilakukan pengumpulan data cadangan pasir besi di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo sepanjang 22 km dengan luas 4000 hektar. Perkiraan kandungan biji besi sebesar 300 juta ton dan akan didirikan pabrik baja dan besi untuk pengolahannya di lokasi penambangan. Model penambangan menggunakan sistem blok yaitu per 1 km 2 ditambang, langsung diolah di pabrik. Upaya konservasi dilakukan dengan membuat talud pada jarak 200 m dari garis pantai sepanjang 22 km, dimana talud ini kemudian ditanami tanaman untuk menahan gelombang, juga angin dan kemungkinan terjadinya tsunami. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Gunungkidul Tahun disebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul mempunyai tata ruang yang ditetapkan berdasarkan atas potensi wilayah dan aksesibilitasnya. Rencana pengembangan tata ruang Kabupaten Gunungkidul diarahkan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pelaksanaannya, pengembangan tersebut didahului dengan melakukan pembagian wilayah pengembangan menjadi 5 yaitu : 1. Wilayah pengembangan daerah selatan, yaitu daerah pantai/pesisir yang dikembangkan utuk pengembangan wisata alam dan bahari 2. Wilayah pengembangan daerah utara, yaitu Daerah Batur Agung untuk pengembangan agrowisata 3. Wilayah pengembangan daerah tengah, yaitu daerah Wonosari Comb untuk pengembangan wisata budaya dan wisata rekreatif 4. Wilayah pengembangan daerah tenggara, yaitu daerah Pegunungan Seribu untuk pengembangan wisata alam goa 5. Wilayah pengembangan daerah barat laut, yaitu sepanjang Sungai Oyo yang dapat dikembangkan untuk wisata alam sungai. Selanjutnya dalam pengembangan daerah pantai di wilayah selatan untuk wisata alam dan bahari, disusun prinsip-prinsip pengembangan lingkungan dan pendekatan pengelolaan lingkungan seperti tersaji dalam Tabel 27 dan Tabel 28.

120 100 Zona Pengembangan Pengambangan Wisata pada Kawasan Karst (zona Pegunungan Seribu) Tabel 27. Prinsip-Prinsip Pengembangan Lingkungan Daerah Selatan Kabupaten Gunungkidul Karakteristik ODTW Pengembangan obyek wisata goa karst Pengembangan obyek wisata perbukitan karst Pengembangan obyek wisata hutan di kawasan karst Pengembangan obyek dan paket wisata arkeologi/budaya pada goagoa karst Prinsip Pengembangan Lingkungan Menghindari pembangunan fasilitas fisik wisata di goa, dan dapat merusak ornament goa Penambahan sarana prasaran fisik wisata di atas perbukitan karst harus disertai dengan pengelolaan dan pemeliharaan yang berkesinambungan Pengembangan sarana prasarana umum (MCK< gardu pandang, areal parker) harus disesuaikan dengan kemampuan lahan, jauh dari resiko longsoran tebing perbukitan karst Perlu diupayakan aksesibilitas menuju obyek wisata dengan memperhatikan kemampuan lahan di sekitar obyek wisata yang akan dikelola Mengupayakan penyediaan dan pengaturan sumber air bersih dan pembuangan limbah cair dan sampah padat Pengembangan wisata pada kawasan Pantai Selatan (Zona Pegunungan Seribu) Pengembangan obyek Pengembangan obyek wisata tidak wisata pantai, morfologi harus memaksakan penambahan ombak tepian pantai, biota fasilitas fisik dan disekitar obyek perairan pantai wisata Pengembangan wisata Penambahan fasilitas fisik harus perikanan dan bahari memperhatikan kondisi kemampuan maupun teknologi perikanan lahan setempat, jauh dari resiko laut abrasi pantai, jauh dari resiko erosi tebing maupun longsoran tanah rombakan batu gamping Fasilitas fisik pada obyek-obyek wisata pantai di Gunungkidul harus disertai kegiatan pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas terhadap kebutuhan air bersih, pengaturan limbah cair dan sampah padat Pengembangan sarana aksesibilitas untuk obyek-obyek wisata dan pantai yang akan dikelola secara terpadu dan berkesinambungan yang disertai pemeliharaannya. Sumber : RIPPDA Kabupaten Gunungkidul, 2000

121 101 Tabel 28. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Kabupaten Gunungkidul Lingkungan Pantai Permukiman atau pekarangan Persawahan Strategi Pengelolaan Lingkungan Rekayasa Teknik Rekayasa Biologi Rekayasa Sosial 1. Pembuatan bangunan tidak diijinkan di puncak bukit 2. Penetapan sempadan pantai 3. Dermaga TPI hanya di Pantai Baron dan Sadeng 4. Menetapkan diving resort, swimming resort, dan boating resort 1. Mengembangkan pemakaian sumur peresapan air hujan 2. Memperketat building coverage ratio 3. Menjaga sanitasi lingkungan 1. Mengembangkan saluran irigasi 2. Mengembangkan embung atau dam ukuran kecil 1. Pembuatan jalur hijau pada sempadan pantai 2. Penghijauan puncakpuncak bukit 3. Menjaga habitat penyu 4. Penetapan daya dukung (ecological carrying capacity) 1. Membuat penghijauan pekarangan 2. Menanam berbagai jenis empon-empon 1. Mengembangkan varietas local lahan hama dan penyakit 2. Mengembangkan pola tanam penggiliran 1. Penetapan tata ruang pantai 2. Mengedalikan eksploitasi sumberdaya pesisir (terumbu karang, pasir putih, penyu, ikan hias) 3. Penangan sampah Menyadarkan masyarakat dalam penanganan limbah nusantara dan sampah Menurangi pemakaian pestisida Tegalan 1. Membuat waterdays, drop structure 2. membuat embung 3. Merujuk puncak bukit yang boleh dieksploitasi 1. Mengembangkan hutan rakyat dengan jenis yang lebih komersial 2. Menanam tanaman campuran (obatobatan, cinderamata) 1. Mengembangkan hutan rakyat jenis multi purpose 2. Kerapatan pohon lebih baik 3. Melarang eksploitasi seluruh bukit kapur Hutan Telaga Goa 1. Menetapkan beberapa kawasan untuk pariwisata alam 2. Menetapkan jalur-jalur jalan yang terbuka dan tertutup 1. Menjaga keaslian telaga 2. Mengendalikan pengurasan telaga (tanpa membuka pohon) 1. Pembuatan bangunan hanya boleh di luar goa dengan tipe arsitektur setempat 2. Mencegah perusakan ekosistem di mulut goa 1. Memilih jenis tanaman yang tidak dipungut daunnya 2. Mengembangkan jenis multi purpose maupun jenis langka Menanam tanaman jenis asli di sekitar telaga 1. Membuat penghijauan di daerah mulut goa 2. Membuat landscape yang sesuai dengan jenis dan bentuk tanah mengembangkan hutan kemasyarakatan 1. Membatasi pemakaian yang berlebihan 2. menetapkan regulasi telaga untuk ODTW 1. Membuat regulasi pemanfaatan goa 2. mengembangkan goa sebagai ODTW Sumber :RIPPDA Kabupaten Gunungkidul, 2000

122 102 V. HASIL PENELITIAN Dalam menguraikan hasil penelitian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh dari pemrosesan dan interpretasi foto udara untuk pemetaan parameter tipologi fisik pesisir dan parameter evaluasi lahan untuk berbagai pemanfaatan Interpretasi Foto Udara Foto udara yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Interpretasi foto udara dilakukan secara on screen digitizing dengan dilakukan koreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik perlu dilakukan untuk mengoreksi kesalahan ukuran di foto udara akibat proyeksi sentral (artinya ukuran yang hampir sama dengan kondisi di lapangan terletak pada bagian tengah/sentral dari foto udara, semakin ke arah tepi kesalahan semakin besar). Rujukan yang digunakan menggunakan Peta Rupabumi digital skala 1 : Pemilihan titik ikat pada foto udara terletak menyebar dan dipilih pada obyek-obyek yang mudah dikenali dan tidak banyak mengalami perubahan di lapangan. Perangkat lunak yang digunakan adalah ER Mapper versi 6.4. Hasil dari interpretasi foto udara adalah berupa informasi spasial bentuklahan, penggunaan lahan, materi penyusun utama, dan aksesibilitas wilayah pesisir daerah penelitian. Informasi spasial ini digunakan sebagai data masukan untuk menentukan tipologi fisik pesisir Tipologi Fisik Wilayah Pesisir Bertitik tolak dari konsep penentuan tipologi fisik pesisir dengan menelusuri tiga komponen (unsur) pembentuknya yaitu relief, materi penyusun utama, dan proses genesanya (termasuk dalam hal ini adalah proses yang dominan), berikut akan diuraikan hasil penelitian yang menyangkut ketiga komponen tersebut. Relief Hasil penelitian menyangkut kondisi relief daerah penelitian, ternyata daerah penelitian secara garis besar didominasi oleh dua kondisi relief yang berbeda yaitu wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul yang didominasi oleh

123 103 kondisi relief cukup curam sampai sangat curam dengan kemiringan lereng > 15%, dan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulonprogo yang didominasi oleh kondisi relief yang relatif datar sampai landai dengan kemiringan lereng 0 14 %. Kondisi relief dasar laut (bathimetri) menurut hasil penelitian Pusat Studi Sumberdaya dan Teknologi Kalutan (PUSTEK) UGM yaoyakarta (2003) menunjukkan pada jarak 180 m dari garis pantai ke arah laut, kemiringan lerengnya sebesar 1,7 %, kemudian semakin ke arah laut lepas dengan jarak 800 m dari garis pantai kemiringan lerengnya mencapai 4 %. Data kemiringan lereng dasar laut ini didasarkan pada hasil perhitungan menggunakan garis penampang melintang pada peta bathimetri Kabupaten Kulonprogo yang dihasilkan oleh PUSTEK UGM Yogyakarta. Hasil pengukuran relief/topografi permukaan bumi secara langsung di lapangan pada beberapa titik sampel yang telah ditentukan menggunakan abney-level, kompas geologi, yalon, dan GPS disajikan pada Gambar 42 sampai Gambar 50.

124 104 Gambar 42. Penampang Melintang (Profil) Pantai Ngungap, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 44. Penampang Melintang (Profil) Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 43. Penampang Melintang (Profil) Pantai Wediombo, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 45. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangendog, Gunungkidul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)

125 105 Gambar 46. Penampang Melintang (Profil) Pantai Parangtritis, Bantul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 48. Penampang Melintang (Profil) Pantai Trisisk, Kulon Progo (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 47. Penampang Melintang (Profil) Pantai Samas, Bantul (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006) Gambar 49. Penampang Melintang (Profil) Pantai Glagah, Kulon Progo (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)

126 106 Gambar 50. Perbandingan antar Penampang Melintang (Profil) di Wilayah Pesisir DIY (Sumber : Pengukuran Lapangan, 2006)

127 107 Materi penyusun utama dan proses genesa Materi penyusun utama dan proses genesa (asal terbentuknya) suatu wilayah pesisir adalah sangat berkaitan, dan keduanya diturunkan dari analisis bentuklahan yang ada di wilayah pesisir daerah penelitian. Penentuan materi penyusun utama dilakukan melalui uji lapangan dan uji laboratorium. Uji lapangan melalui cara pengamatan dan pengukuran langsung, sedangkanj uji laboratorium melalui analisis tekstur tanah (lihat Lampiran 4). Hasil analisis tekstur tanah yang dikaitkan dengan bentuklahannya disajikan dalam Tabel 29. Tabel 29. Hasil Analisis Tekstur Tanah dikaitkan dengan Bentuklahannya No Lokasi Sampel Tekstur Tanah Bentuklahan 1. Sadeng GC K5 Tekstur Tanah 2 Wediombo GW M3 3 Siung GW M3 4 Weru GW M3 5 Krakal GW M3 6 Sepanjang GW M3 7 Kukup GW M3 8 Baron SP M3 9 Parangendog SM M6 10 Parangtritis SP M3 11 Gumuk pasir aktif SP M7 12 Rawa belakang CL F5 13 Depok SP M3 14 Dat. Alluvial Opak CL F1 15 Desa Srigading ML F7 16 Samas SP M3 17 Pandansimo SP M8 18 Desa Poncosari ML F7 19 Bleberan ML F7 20 Trisik SP M8 21 Gupit SP M8 22 Bugel GW M3 23 Siliran Dua SP M8 24 Gisik Pranaji GW M3 25 Pleret satu SP M8 Bentuklahan : 26 Garongan GW M3 27 Kriyan SP M4 28 Karangwuni SP M8 29 Desa Glagah CL F5 30 Pantai Glagah SP M8 31 Kretek SP M4 32 Trisik SP M8 Keterangan GC = Kerikil berlempung, campuran kerikil pasir lempung GW = Kerikil bergradasi baik, campuran kerikil pasir, sedikit atau tanpa butiran halus SM = Pasir berlanau, campuran pasir lanau SP = Pasir bergradasi jelek, pasir berkerikil, sedikit atau tanpa butiran halus CL = Lempung organik dengan plastisitas rendahsampai sedang, lempung berkerikil, lempung berpasir, lempung berlanau ML = Lanau organik dan pasir sangat halus, serbuk batuan, pasir halus berlanau atau berlempung, atau lanau berlempung dengan sedikit plastisitas K5 = dataran alluvial karst M3 = gisik M4 = beting gisik M6 = depresi antar beting gisik M7 = gumuk pasir aktif M8 = gumuk pasir tidak aktif/pasif F1 = dataran alluvial F5 = rawa belakang F7 = dataran banjir 33 Dat. Banjir ML F7 S. Bogowonto 34 Kledekan Lor CL F1 Sumber : analisis laboratorium dan uji lapangan (2006)

128 108 Tipologi Fisik Pesisir Tipologi fisik pesisir dihasilkan dari proses tumpang-susun (overlay) antara parameter kondisi relief/kemiringan lereng, materi penyusun utama dan proses genesa. Data yang digunakan sebagai data spasial dalam bentuk peta dan proses yang dilakukan menggunakan pemrosesan data spasial Sistem Informasi Geografis (SIG).Hasilnya adalah Peta Tipologi Fisik Pesisir daerah penelitian. Analisis dari peta tipologi fisik pesisir yang dihasilkan ternyata bahwa di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul ditemukan hampir semua tipe pesisir, dimulai dari yang paling dominan yaitu tipe pesisir erosi darat dengan dicirikan pada relief dengan kemiringan lereng agak curam sampai sangat curam, berbatuan padu (keras), dan proses genesa solusional (pelarutan/karst), sampai pada tipe pesisir organik. Di beberapa tempat terutama di pantai yang berbentuk teluk termasuk dalam tipe pesisir pengendapan laut dan tipe pesisir organik. Kedua tipe pesisir ini dicirikan oleh relief dengan kemiringan datar sampai landai, materi penyusun utamanya berupa material lepas (pasir), dan proses genesanya marin (aktivitas laut). Tipe pesisir volkanik, struktural, dan erosi gelombang dijumpai di beberapa tempat yang spesifik, ditandai dengan ditemukannya kenampakan yang menonjol dari proses genesa tersebut di lapangan. Tipologi pesisir yang terdapat di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo secara dominan merupakan tipe pesisir pengendapan laut dan beberapa tempat seperti di kanan kiri sungai merupakan tipe pesisir pengendapan darat. Tipe pesisir pengendapan laut bercirikan relief yang datar hingga landai, mempunyai materi pasir, dan prosesnya terdiri dari proses marin (gelombang) untuk wilayah yang dekat dengan laut dan proses aeolian (angin) pada daerah yang lebih ke arah darat. Kenampakan yang mudah untuk dikenali di lapangan adalah kenampakan gisik pantai (untuk proses marin) dan gumuk pasir (untuk proses aeolian). Tipe pesisir pengendapan darat dicirikan oleh relief yang datar hingga landai, dengan materi berupa lumpur (lembek), dan proses genesanya berupa proses fluvial (aliran sungai). Secara lebih jelas sebaran tipologi pesisir yang ada di daerah penelitian disajikan dalam Tabel 30.

129 109 Tabel 30. Tipologi Fisik Pesisir Daerah Penelitian No Nama Pantai Wilayah Administrasi (kabupaten) Relief Materi Penyusun Utama 1. Sadeng Gunungkidul Datar lumpur dan pasir 2 Ngungap Gunungkidul Sangat terjal Batuan keras (padu) 3 Wediombo Gunungkidul Datar landai Pasir dan batuan volkan 4. Siung Gunungkidul Datar-landai (teluk) dan agak curam (bagian timur) Batuan volkanik dan pasir marin Proses Genesa fluvial dan marin (fluviomarin) Marin (gelombang) Volkanik dan marin Volkanik dan marin 5 Weru Gunungkidul Landai Pasir putih Organisme laut dan marin (bio-marin) Tipologi Fisik Pesisir Pesisir pengendapan darat Pesisir erosi gelombang Pesisir volkanik Pesisir volkanik Pesisir organik Kenampakn Khusus di Lapangan Lembah sungai purba (Bengawan Solo Purba) Tebing clif terjal dan terdapat bekas erosi gelombang (marine notch) Bongkahan batuan volkanik di pantai dan pasir laut Sisi sebelah timur berbatuan volkanik dan sebelah barat berbatuan gamping, sedangkan bagian tengah (teluk) pasir marin. Hamparan pasir putih Penggunaan Lahan Tegalan, sawah (musim penghujan), pelabuhan wisata wisata wisata Lokasi pendaratan kapal nelayan dan wisata Keterangan Proses marin dimasukkan dalam gelombang karena pasang-surut < 2m Proses genesanya merupakan aktivitas volkan G. Batur yang terletak di tengah antara Pantai Wediombo dan Pantai Siung sehingga kedua pantai ini merupakan tipe pesisir volkanik

130 110 No Nama Pantai Wilayah Administrasi (kabupaten) Relief Materi Penyusun Utama Proses Genesa 6 Turen Gunungkidul Sangat curam Batuan keras (padu) Solusional (karst) 7 Krakal dan Gunungkidul Landai Pasir putih Organisme Sundak laut dan marin (bio-marin) Tipologi Fisik Pesisir Pesisir erosi darat Pesisir organik Kenampakn Khusus di Lapangan Fenomena karst Hamparan pasir putih Penggunaan Lahan Tegalan Wisata Keterangan 8 Drini Gunungkidul Datar-landai Pasir putih Organisme laut dan marin (bio-marin) 9 Sepanjang Gunungkidul Datar-landai Pasir putih Organisme laut dan marin (bio-marin) 10 Kukup Gunungkidul Datar Pasir putih Organisme laut dan marin (bio-marin) 11 Baron Gunungkidul Datar Pasir Marin (gelombang) 12 Ngobaran Gunungkidul Curam sangat curam Batuan keras (padu) 13 Jepitu Gunungkidul Sangat curam Batuan keras (padu) 14 Nampu Gunungkidul Sangat curam Batuan keras (padu) 15 Parangendog Gunungkidul Sangat curam Batuan keras (padu) struktural Salusional (karst) Salusional (karst) Solusional (karst) Pesisir organik Pesisir organik Pesisir organik Pesisir pengendapan laut Pesisir struktural Pesisir erosi darat Pesisir erosi darat Pesisir erosi darat Hamparan pasir putih Hamparan pasir putih dan tempat bertelur penyu laut Hamparan pasir putih dan hamparan padang lamun Hamparan pasir sedimen laut Terdapat jalur patahan aktivitas struktural Fenomena karst Fenomena karst Fenomena karst Wisata Wisata, permukiman, tegalan Wisata, ikan hias Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan Wisata tegalan tegalan Tegalan Tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah

131 111 No Nama Pantai Wilayah Administrasi (kabupaten) 16 Parangwedang, Parangkusumo Relief Materi Penyusun Utama Bantul Datar landai Batuan volkanik dan pasir Proses Genesa Volkanik dan marin Tipologi Fisik Pesisir Pesisir volkanik Kenampakn Khusus di Lapangan Mata air panas Penggunaan Lahan Wisata dan permukiman Keterangan Nama parangwedang (wedang = panas) 17 Gumuk pasir aktif Bantul Datar landai Pasir (lepas) Aeolian (angin dan marin (gelombang) 18 Parangtritis Bantul Datar landai Pasir (lepas) - Marin (gelombang) Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan laut Fenomena gumuk pasir barchan, longitudinal, transversal Gisik pantai (aktivitas marin) dan gumuk pasir (aeolio-marin) Wisata dan laboratorium alam Wisata, permukiman, tegalan 19 Depok Bantul Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin), 20 Depok 2 (rawa belakang) 21 Dataran Banjir S. Opak Bantul Datar Lumpur Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Bantul Datar Lumpur Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan darat Pesisir pengendapan darat Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Hamparan sawah yang ditanami padi Hamparan sawah yang ditanami padi Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, tegalan, Sawah dan permukiman sawah Muara Sungai Opak

132 112 No Nama Pantai Wilayah Administrasi (kabupaten) Relief Materi Penyusun Utama Proses Genesa 22 Pandansimo Bantul Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin) 23 Dataran banjir S. Progo Bantul Datar Lumpur Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Tipologi Fisik Pesisir Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan darat Kenampakn Khusus di Lapangan Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Kenampakan sawah yang ditanami padi Penggunaan Lahan Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, tegalan Sawah Keterangan Muara Sungai Progo bagian timur 24 Trisik Kulon Progo Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin) 25 Bugel Kulon Progo Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin), 26 Gumuk pasir pasif Kulon Progo Landai Pasir (lepas) Aeolian (angin) dan marin (gelombang) 27 Karangwuni 1 Kulon Progo Landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan laut Pesisir pengendapan laut Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir pasif (aeoliomarin) Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) Kenampakan gumuk pasir pasif Kenampakan gisik pantai Wisata, TPI, pendaratan kapal nelayan, dan tegalan Wisata, permukiman, tegalan, tanah terbuka Tegalan (ditanami semangka) dan tanah terbuka Pangkalan TNI-AL Yogyakarta Muara Sungai Progo bagian barat Muara Sungai Serang sebelah timur

133 113 No Nama Pantai Wilayah Administrasi (kabupaten) Relief Materi Penyusun Utama Proses Genesa 28 Karangwuni 2 Kulon Progo Datar Lumpur Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) 29 Glagah Kulon Progo Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin), dan fluvial (sungai) Tipologi Fisik Pesisir Pesisir pengendapan darat Pesisir pengendapan laut (dekat laut) dan Pesisir pengendapan darat (sekitar sungai) Kenampakn Khusus di Lapangan Kenampakan dataran aluvial sungai Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) dan dataran aluvial sungai (fluvial) Penggunaan Lahan Permukiman Wisata, pendaratan kapal nelayan, dan tegalan. Keterangan Muara Sungai Serang sebelah barat 30 Congot Kulon Progo Datar landai Pasir (lepas) Marin (gelombang), Aeolian (angin), dan fluvial (sungai) 31 Dataran Bajir S. Bogowonto Kulon Progo Datar Lumpur Fluvial (sungai) dan marin (intrusi) Pesisir pengendapan laut (dekat laut) dan Pesisir pengendapan darat (sekitar sungai) Pesisir pengendapan darat Kenampakan gisik pantai (marin), kenampakan gumuk pasir (aeolio-marin) dan dataran aluvial sungai (fluvial) Kenampakan dataran untuk sawah dan tambak udang Wisata, tegalan, sawah, dan tambak air tawar Sawah dan tambak Muara Sungai Bogowonto Muara S. Bogowonto Sumber : Hasil Analisis Spasial menggunakan SIG

134 GAMBAR 51. PETA TIPOLOGI FISIK PESISIR WILAYAH PESISIR DIY 114

135 Kondisi Fisik Titik Sampel Titik sampel di lapangan ditentukan berdasarkan pada tipologi fisik pesisir yang telah dihasilkan. Hal ini berarti bahwa masing-masing unit tipologi fisik pesisir diambil satu sampel lapangan. Dalam tiap sampel tersebut kemudian dilakukan pengamatan, pengambilan foto lapangan, pengukuran dan pengecekan hasil interpretasi foto udara dan data sekunder lainnya. Hasilnya dapat dilihat pada Lampiran Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir ditentukan melalui metode pencocokan (matching) antara kondisi fisik pada masing-masing tipologi fisik pesisir dengan persyaratan yang dibutuhkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk perikanan, pertanian, pelabuhan, permukiman, dan wisata. Unit analisis yang digunakan adalah tipologi fisik pesisir. Hasilnya disajikan dalam Tabel 31.

136 Tabel 31. Matriks antara Tipologi Fisik Pesisir dengan Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir PANTAI (titik sampel) TIPOLOGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR TIPOLOGI FISIK PESISIR Perikanan Pertanian Pelabuhan Permukiman Wisata Ed Pd Vc St Pl Eg Og S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N Sadeng Ngungap Wediombo Siung Weru Turen Krakal-Sundak Drini Sepanjang Kukup Baron Ngobaran Jepitu Nampu Parangendog Parangwedang Parangtritis * Keterangan : Ed : Erosi darat, Pd : Pengendapan darat, Vc : Volcanik, St : Struktural, Pl : Pengendapan laut, Eg : Erosi gelombang, Og :Organik S1 : Sesuai, S2 : Agak sesuai, N : Tidak sesuai. * = dengan rekayasa teknik PANTAI TIPOLOGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR

137 117 (titik sampel) TIPOLOGI FISIK PESISIR Perikanan Pertanian Pelabuhan Permukiman Wisata Gumuk aktif pasir Ed Pd Vc St Pl Eg Og S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N S1 S2 N Depok * Depok (rawa belakang) Dataran banjir S. Opak Pandansimo * Dataran aluvial S. Progo Trisik * Bugel * Gumuk pasif pasir * Karangwuni * Karangwuni 2 Glagah * Congot * Dataran banjir S. Bogowonto Keterangan : Ed : Erosi darat, Pd : Pengendapan darat, Vc : Volcanik, St : Struktural, Pl : Pengendapan laut, Eg : Erosi gelombang, Og :Organik S1 : Sesuai, S2 : Agak sesuai, N : Tidak sesuai. * = dengan rekayasa teknik Sumber : Hasil Analisis Spasial menggunakan SIG

138 VI. PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara lebih jelas tentang hasil penelitian yang telah dihasilkan pada penelitian ini Relief Kondisi relief yang relatif datar sampai landai yang ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul banyak dijumpai di wilayah-wilayah pesisir yang berbentuk gisik saku atau teluk seperti di Pesisir Sadeng, Wediombo, Siung, Krakal, Kukup, dan Baron. Lebar kondisi relief datar sampai landai ini ke arah darat tidak terlalu lebar karena di bagian belakangnya sudah dijumpai tebing clif dengan kemiringan lereng yang sangat terjal ( > 40%). Kondisi relief di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo hampir semuanya berrelief datar sampai landai dengan kemiringan lereng 0 14 %. Relief datar (0 2 %) banyak dijumpai di wilayah pesisir yang lebih ke arah darat pada bentuklahan rawa belakang dan penggunaan lahan pertanian, sedangkan relief landai (3 14%) banyak dijumpai pada beting gisik sepanjang pantai dan gumuk pasir. Hasil analisis grafis (lihat Gambar 42 sampai Gambar 50) menunjukkan bahwa kemiringan lereng di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul untuk daerah pantai yang berbentuk clif berrelief sangat curam/sangat terjal dengan kemiringan lereng > 40% seperti yang terlihat di Pantai Ngungap, sedangkan kemiringan lereng di wilayah pesisir berbentuk saku atau teluk seperti di Pantai Baron, Pantai Krakal berrelief datar-landai dengan kemiringan lereng < 5 %. Untuk wilayah pesisir di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo menunjukkan topografi yang datar-landai dengan kemiringan lereng < 5%, hanya dijumpai beberapa tempat yang berelief agak curam dengan kemiringan lereng sekitar 16 % yaitu di beting gisik sepanjang tepi pantai.

139 Materi Penyusun Utama dan Proses Genesa Pembahasan menyangkut materi penyusun utama dan proses genesa, terlihat bahwa pada bentuklahan bentukan asal proses marin (M) seperti gisik dan gumuk pasir tekstur tanah yang dominan adalah material kasar dari pasir hingga kerikil (GW, SM, dan SP). Pada bentuklahan bentukan asal fluvial (F) tekstur tanah yang dominan adalah material yang mengandung lempung (ML dan CL), sedangkan pada bentuklahan bentukan asal karst (K) tekstur tanah yang dominan adalah kerikil dan pasir (GC). Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul sebagian besar merupakan bentuklahan asal proses solusional (karst), dan sebagian kecil di beberapa tempat merupakan bentuklahan bentukan asal proses bio-marin, marin, fluvial, struktural, dan volkanik. Bentuklahan asal proses solusional terbentuk dan berkembang pada batuan gamping. Proses solusional dimulai dari diaklas-diaklas yang akhirnya terbentuk ledok karst dan bukit karst membentuk bentuklahan lereng dan perbukitan karst terkikis. Adanya iklim tropis dan curah hujan yang cukup tinggi ikut mempengaruhi kelangsungan pembentukan topografi karst. Di bagian selatan yang berbatasan secara kontras dengan laut, banyak dijumpai runtuhan batu gamping dan bukit terpisah yang memberikan keindahan alamiah yang spesifik. Gambar 52. Pantai Karst Gunungkidul (Sumber : Google, 2007) Bentuklahan asal proses marin terbentuk oleh aktivitas gelombang yang bervariasi sesuai dengan pasang surut air laut. Bentuklahan tersebut adalah Gisik Pantai. Bentuklahan ini berupa dataran yang sejajar dengan garis pantai

140 120 dengan beda tinggi yang relatif kecil. Di depan bentuklahan gisik pantai ini yaitu ke arah laut merupakan zona empasan gelombang. Material pada bentuklahan gisik pantai terdiri dari pasir kasar, fragmen karang, kerakal, dan sisik binatang laut dangkal (sisa-sisa organisme laut). Tenaga yang mempengaruhi terbentuknya bentuklahan ini adalah arus dan gelombang laut. Arus sepanjang pantai mempunyai peranan dalam pengangkutan sedimen laut dan arah pengangkutannya dipengaruhi oleh kondisi angin saat itu. Gelombang yang besar yang terjadi pada waktu air laut pasang ikut mempengaruhi terbentuknya bentuklahan ini dengan ditunjukkannya variasi ukuran butir, jenis endapan yang beraneka, serta relatif tidak terkotori oleh endapan dari daratan. Bentuklahan ini terdapat di Teluk Baron dengan materi penyusun utama berupa material pasir (lepas) endapan marin, sedangkan materi penyusun utama di Pantai Kukup, Pantai Krakal, dan Pantai Sundak adalah pasir putih sisa-sisa organisme laut. Gambar 53. Gisik Pantai di Teluk Baron Gunungkidul DIY (Sumber : Foto Lapangan, 2006) \ Gambar 54. Zona Empasan Gelombang di Pantai Siung Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuklahan asal proses fluvial didominasi oleh pembentukan lembah yang merupakan pengendapan material yang berasal dari lereng bukit sekitarnya. Material penyusunnya tergantung dari jenis batuan pada lereng bukit

141 121 sekitarnya. Jenis bentuklahan ini meliputi dataran aluvial karst, dataran aluvial pantai dan lembah bekas sungai. Karakteristik dataran aluvial karst mempunyai lereng landai dan berbentuk cekung, solum tanahnya dalam dan pada umumnya tanahnya bertekstur kerikil berlempung, dan airtanahnya dangkal. Penggunaan lahan di dataran aluvial karst adalah untuk lahan pertanian intensif. Bentuklahan lembah bekas sungai terlihat sangat jelas pada lembah bekas sungai yang bermuara ke laut di Pantai Sadeng, yang merupakan lokasi bekas muara sungai Bengawan Solo Purba Gambar 55. Citra Satelit Muara Bengawan Solo Purba dan Kenampakannya di Lapangan, Pantai Sadeng, Gunungkidul (Sumber : Google, 2007 dan Foto Lapangan, 2006) Bentuklahan asal proses volkanik di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dijumpai di Gunung Batur yang merupakan bagian dari satuan panggung masif berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier. Gunung Batur ini terletak di sebelah barat Pantai Wediombo, sehingga di sekitar pantai Wediombo banyak ditemukan bongkahan batuan volkan. Bongkahan batuan volkan juga banyak ditemukan di sebelah timur Pantai Siung, sehingga pada kenampakan di lapangan terdapat gambar yang cukup menarik yaitu sebelah barat merupakan batuan gamping dan di sebelah timur merupakan batuan volkan.

142 122 Siung G. Batur Wediombo Gambar 56. Kenampakan Gunung Batur, Pantai Wediombo, dan Pantai Siung (Sumber : Google, 2007) Gambar 57. Kenampakan Batuan Volkanik berumur Tersier di Wediombo, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Gambar 58. Pantai Siung dengan Kenampakan Batuan yang berbeda (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuklahan asal proses struktural berupa patahan yang terjal terdapat di Pantai Ngobaran Kabupaten Gunungkidul. Batuan penyusunnya berupa batugamping yang membentuk topografi karst. Bentuk lereng tidak teratur dengan kemiringan lebih dari 100 %. Di beberapa tempat terdapat runtuhan bebatuan atau rockfall.

143 123 Gambar 59. Pantai Ngobaran Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuklahan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulonprogo lebih banyak didominasi oleh bentuklahan asal proses marin, fluvial dan aeolian. Proses fluvial (aliran sungai) menghasilkan bentuklahan dataran aluvial, dataran banjir, tanggul alam dan rawa belakang. Pada proses fluvial ini, material berasal dari daerah hulu terangkut oleh aliran sungai dan masuk ke laut. Material yang masuk ke laut ini oleh proses marin (laut) melalui gelombang laut dihempaskan di sepanjang pantai yang menghasilkan bentuklahan gisik. Selanjutnya proses aeolian (angin) mengangkut material pasir di sepanjang pantai yang dihempaskan oleh gelombang laut tersebut untuk diendapkan di tempat-tempat tertentu di darat menghasilkan bentuklahan gumuk pasir. Bentuklahan asal proses fluvial (sungai) 1. Dataran aluvial Dataran aluvial merupakan bentukan dari proses fluvial (sungai) dan proses akumulasi yang terjadi karena pengaruh aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi. Tanahnya relatif subur untuk pertanian sehingga penggunaan lahan yang dominan adalah sawah dan permukiman. Gambar 60. Dataran Aluvial Sungai Progo yang ditanami padi, Trisik Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

144 Dataran banjir Satuan bentuklahan ini terdapat hampir di sepanjang sungai-sungai besar seperti Sungai Bogowonto, Progo dan Opak dengan topografi datar, sering tergenang banjir dan merupakan bentukan proses fluvial. Dataran banjir ini terbentuk karena air sungai semasa banjir melimpah tebing dan tidak lagi tersalurkan karena terhambat dan tergenang secara periodik. Material pembentuknya adalah sedimen tanah dengan tekstur pasir halus berlempung dengan sedikit plastisitas. Perkembangan selanjutnya tergantung dari sungai dan pemanfaatan lahannya. Gambar 61. Dataran Banjir Sungai Bogowonto, Congot Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006) 3. Tanggul alam (natural levee) Satuan bentuklahan ini terdapat di sepanjang sungai dengan topografi yang relatif tinggi dibanding sekitarnya dan mempunyai tekstur tanah pasir halus berlempung dengan sedikit plastisitas. Penggunaan lahannya berupa permukiman dan pekarangan. Gambar 62. Tanggul Alam Sungai Opak, Depok Bantul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

145 Rawa belakang Rawa belakang merupakan bentuklahan yang terbentuk akibat genangan air dalam periode waktu yang panjang. Merupakan dataran rendah yang dibatasi oleh igir yang ke arah laut (beting gisik) dan dibatasi bentuklahan yang lain yang ke arah daratan. Material permukaan mempunyai tekstur tanah lempung berpasir sampai lempung berkerikil. Proses pembentukannya dimulai dari proses pembentukan lagun berupa penutupan muara sungai yang menyebabkan terbentuknya genangan yang terpisah dari laut. Akibat dari proses sedimentasi yang berasal dari daratan maka lagun ini menjadi tertutup dan berubah menjadi daratan. Dengan andanya campur tangan manusia, genangan ini kemudian diatus dengan dibuatkan saluran air sehingga genangan ini dapat menjadi kering dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Gambar 63. Rawa Belakang Sungai Opak, Depok Bantul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Bentuklahan asal proses marin (laut) 1. Gisik pantai (beach) Bentuklahan ini dijumpai di sepanjang garis pantai. Materi penyusunnya merupakan akumulasi material tak padu atau lepas seperti pasir dan kerikil. Bentuk dari gisik pantai ini berupa bentangan permukaan lahan yang relatif sempit yang dibatasai oleh rata-rata surut terendah hingga rata-rata pasang tertinggi. Dicirikan dengan relief yang landai dengan kemiringan lereng 3-8% dan berbatasan dengan gumuk pasir ke arah daratan.

146 126 Gambar 64. Gisik Pantai Parangtritis (Sumber : Barandi, 2003) 2. Swale (depresi antar beting gisik) Swale merupakan morfologi berupa ledokan yang terdapat diantara dua beting gisik yang tersusun oleh material pasir. Tekstur tanahnya adalah pasir berlanau. Topografinya berbentuk cekung dengan pola letak sejajar dengan garis pantai. Penggunaan lahannya berupa tegalan, perkebunan dan sawah. Bentuklahan asal proses aeolian (angin) Gumuk pasir (sand dunes) Gumuk pasir merupakan bentuklahan yang dihasilkan oleh kekuatan angin yang menerbangkan material pasir dan diendapkan disuatu tempat membentuk bentukan-bentukan yang khas. Syarat terbentuknya gumuk pasir antara lain adanya suplai material pasir yang cukup banyak, kelengasan pasir, sinar matahari, adanya kekuatan angin yang bertiup, adanya vegetasi sebagai penghalang, dan tempat pengendapan yang cukup luas. Dua faktor utama yang menentukan morflogi gumuk pasir adalah karakter angin (arah dan kecepatan) dan pasokan material (ukuran butir dan jumlah).

147 127 Rawa belakang Gumuk pasir aktif Gambar 65. Lokasi Gumuk Pasir Aktif dan Rawa Belakang, Sungai Opak, Depok Bantul (Sumber : Barandi, 2003) Gumuk pasir melintang (transversal) cenderung terbentuk pada daerah yang banyak cadangan pasirnya dan sedikit tumbuhan. Proses terbentuknya dibawah pengaruh angin yang lemah yang hanya memindahkan material pasir yang halus sehingga material pasir yang kasar tidak terangkut. Tinggi dan lebar pematang tergantung pada besarnya tenaga angin yang bertiup dan komposisi ukuran butir material pasir. Ketinggian pada umumnya antara 5 sampai 15 m dan berbentuk seperti ombak dengan punggung melengkung dan melintang tegak lurus terhadap arah angin. Gambar 66. Gumuk Pasir Melintang/Transversal (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Gumuk pasir memanjang (longitudinal) merupakan gundukan pasir yang hampir lurus yang bentuknya sejajar terhadap arah angin. Gumuk pasir memanjang ini terdapat pada pengaruh angin yang kuat dan berhembus dengan arah tetap, sehingga mampu memindahkan

148 128 semua material pasir yang ada di lokasi tersebut. Umumnya berketinggian kurang dari 15 m dan panjang beberapa ratus meter. Gambar 67. Gumuk Pasir Memanjang/Longitudinal (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Gumuk pasir sabit (barchan) cenderung terbentuk pada daerah yang pasirnya terbatas dan sedikit vegetasi. Ujung dan tanduk gumuk pasir sabit berarah ke belakang dan pasir tersapu ke sekitar gumuk maupun ke atas serta melampaui puncak. Penampang gumuk tidak simetri pada puncaknya tetapi berangsur-angsur menjadi hampir simetri pada tanduknya. Ketinggian gumuk pasir sabit umumnya antara 5-15 m dan maksimum mencapai 30 m. Gambar 68. Gumuk Pasir Sabit/Barchan (Sumber : Foto Lapangan, 2006) 6.3. Tipologi Fisik Pesisir Tipologi fisik pesisir di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul ditemukan hampir semua tipe pesisir, dimulai dari yang paling dominan yaitu tipe pesisir erosi darat dengan dicirikan pada relief dengan kemiringan lereng agak curam sampai sangat curam, berbatuan padu (keras), dan proses genesa solusional (pelarutan/karst), sampai pada tipe pesisir organik. Tipe pesisir erosi darat dalam

149 129 istilah yang dikemukakan oleh Bakosurtanal (2000) disebut dengan pesisir karstik berdinding terjal karena terdapat pada bentuklahan karst dan berbatuan clif yang terjal. Contoh dari pesisir erosi darat adalah pantai : Turen, Jepitu, Nampu, dan Parangendog. Di beberapa tempat terutama di pantai yang berbentuk teluk termasuk dalam tipe pesisir pengendapan laut dan tipe pesisir organik. Kedua tipe pesisir ini dicirikan oleh relief dengan kemiringan datar sampai landai, materi penyusun utamanya berupa material lepas (pasir), dan proses genesanya marin (aktivitas laut). Perbedaan keduanya hanya terletak pada spesifikasi materi penyusun utamanya. Tipe pesisir pengendapan laut materi utamanya adalah pasir sedimen laut, sedangkan tipe pesisir organik materi utamanya adalah pecahan karang (organisme laut). Kenampakannya di lapangan juga menunjukkan perbedaan, dimana pasir sediment laut lebih hitam warnanya, sedangkan pecahan karang tampak lebih putih dan terdapat sisa-sisa binatang laut. Lokasi yang cukup jelas untuk tipe pesisir pengendapan laut adalah Pantai Baron, sedangkan tipe pesisir organik terdapat di Pantai Krakal sampai Pantai Sundak, Pantai Drini, Pantai Sepanjang, dan Pantai Kukup. Gambar 69. Materi Sedimen Laut di Pantai Baron, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Gambar 70. Materi Pasir Putih Pecahan Karang di Pantai Krakal, Gunungkidul (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

150 130 Tipe pesisir pengendapan darat dijumpai di lembah Bengawan Solo purba dengan karakteristik wilayah berupa relief datar, materi penyusun utama berupa materi pasir bercampur lumpur, serta proses genesanya adalah proses fluvial (aliran sungai). Muara dari sungai ini adalah di Pantai Sadeng dengan materi utamanya berupa pasir sedimen laut dan proses marin, sehingga proses genesa yang terjadi di Pantai Sadeng ini adalah proses fluvio-marin, yaitu campuran proses fluvial dari arah darat dan marin, tetapi yang lebih dominan adalah proses fluvial. Tipe pesisir volkanik, struktural, dan erosi gelombang dijumpai di beberapa tempat yang spesifik, ditandai dengan ditemukannya kenampakan yang menonjol dari proses genesa tersebut di lapangan. Tipe pesisir volkanik terdapat di sebelah timur Pantai Siung sampai Pantai Wediombo. Diantara ke dua pantai tersebut, terdapat Gunung Batur yang merupakan bagian dari satuan panggung masif berbatuan sedimen volkanik klastik berumur tersier (Bakosurtanal, 2000). Kenampakan yang cukup menonjol adalah terlihatnya batuan sedimen volkan di Pantai Wediombo. Tipe pesisir struktural dijumpai di Pantai Ngobaran dengan kenampakan struktural berupa patahan yang terjal, sedangkan tipe pesisir erosi gelombang terdapat di Pantai Ngungap, yang juga ditandai dengan kenampakan yang khas berupa proses erosi gelombang. Ketiga tipe pantai ini mempunyai karakteristik berupa relief yang terjal dan berbatuan keras (padu). Tipologi pesisir yang terdapat di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo secara dominan merupakan tipe pesisir pengendapan laut dan beberapa tempat seperti di kanan kiri sungai merupakan tipe pesisir pengendapan darat. Tipe pesisir pengendapan laut bercirikan relief yang datar hingga landai, mempunyai materi pasir, dan prosesnya terdiri dari proses marin (gelombang) untuk wilayah yang dekat dengan laut dan proses aeolian (angin) pada daerah yang lebih ke arah darat. Kenampakan yang mudah untuk dikenali di lapangan adalah kenampakan gisik pantai (untuk proses marin) dan gumuk pasir (untuk proses aeolian). Proses aeolian ini tidak dapat bekerja sendiri tetapi berkaitan dengan proses marin sehingga proses genesanya adalah proses aeolio-marin. Pantai-pantai yang termasuk dalam tipe pesisir pengendapan laut yaitu pantai : Parangtritis, gumuk pasir aktif di Parangtritis, Depok, Pandansimo, Trisik, Bugel, gumuk pasir pasif, Karangwuni, Glagah dan Pantai Congot.

151 131 Tipe pesisir pengendapan darat dicirikan oleh relief yang datar hingga landai, dengan materi berupa lumpur (lembek), dan proses genesanya berupa proses fluvial (aliran sungai). Proses fluvial ini tidak bekerja sendiri karena terdapat campur tangan juga proses marin (intrusi melalui muara sungai) sehingga prosesnya disebut dengan proses fluvio-marin. Tipe pesisir pengendapan darat ini banyak terdapat di sempadan sungai besar seperti S. Opak, S. Progo, S. Serang, dan S. Bogowonto. Delta di wilayah muara sungai utama tidak terbentuk dengan baik karena kekuatan gelombang yang cukup dominan Kondisi Fisik Titik Sampel Wilayah Pesisir Kabupaten Gunungkidul Secara umum kondisi fisik pantai-pantai di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul mempunyai kondisi iklim yang relatif sama karena perhitungan kondisi iklim di wilayah ini didasarkan pada hasil perhitungan data-data iklim dari stasiun-stasiun klimatologi yang berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Kondisi iklim ditandai dengan terdapatnya musim penghujan (Muson Barat) terjadi antara bulan November sampai dengan bulan Mei, sedangkan musim kemarau (Muson Timur) terjadi antara bulan Mei sampai dengan bulan November. Rerata hujan terendah terjadi pada bulan Agustus, dan tebal hujan berangsur-angsur bertambah hingga mencapai maksimum pada bulan Januari- Februari. Setelah bulan Februari curah hujan berangsur-angsur kembali berkurang sampai pada bulan Agustus. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1938 mm. Tipe iklim menurut Koppen termasuk dalam tipe Awa yang memiliki karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah ( curah hujan > 100 mm) tidak dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering (curah hujan < 60 mm). Suhu udara rata-rata tahunan sebesar 26,5 o C (tertinggi 31,31 o C). besarnya kelembaban udara rata-rata bulanan maksimum 86% yang terjadi pada bulan Januari dan minimum 72,3% yang terjadi pada bulan Juni dan besarnya rata-rata tahunan adalah 81,08%. Kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap penentuan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir, seperti untuk perikanan, pertanian sampai pada kepentingan wisata pesisir. Kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap faktor kenyamanan wisatawan yang berkunjung di wilayah pesisir. Suhu udara yang terlalu tinggi akan menyebabkan wisatawan kurang nyaman dalam berwisata.

152 132 Kondisi iklim juga berpengaruh terhadap kondisi oseanografi wilayah pesisir. Disamping itu kondisi iklim juga berpengaruh terhadap proses geomorfologi pada suatu bentuklahan, baik pembentukan topografi/relief maupun batuannya. Proses geomorfologi ini adalah pelapukan batuan, erosi, dan gerak massa batuan (mass movement). Kondisi oseanografi di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul ditunjukkan oleh tinggi gelombang berkisar antara 0,52 1,4 m dengan kecepatan angin rata-rata 2,1 5,6 m/detik. Pada Skala Beaufort (lihat Lampiran 6), terdapat hubungan yang positif antara kecepatan angin dengan tinggi gelombang, artinya bahwa semakin cepat kecepatan angin maka akan diikuti dengan semakin tingginya gelombang yang terjadi. Menurut Skala Beaufort, kecepatan angin 2,1 5,6 m/detik adalah termasuk dalam kategori sangat lemah sampai sedang, dan tinggi gelombang yang terjadi dengan kecepatan angin ini adalah 0,3 1,5 m. Keadaan seperti ini ditandai kondisi di laut berupa gelombang kecil menjadi lebih panjang, punggung gelombang menjadi lebih lebar, gelombang putih menjadi lebih banyak, dan kondisi di darat berupa debudebu terangkut, kertas berterbangan, cabang-cabang kecil bergerak. Tipe empasan gelombang termasuk dalam tipe melimpah (spilling). Tipe melimpah (spilling) terjadi apabila gelombang dengan kemiringan kecil menuju pantai yang datar (kemiringan kecil). Buih terjadi pada puncak gelombang selama mengalami pecah gelombang dan meninggalkan suatu lapis buih pada jarak yang cukup panjang. Tipe empasan gelombang melimpah (spilling) ini seringkali membentuk arus yang kuat tegak lurus pantai menghempas wilayah daratan, sehingga di beberapa wilayah pantai seperti Pantai Sadeng dipasang bangunan balok-balok penahan gelombang untuk melindungi hantaman gelombang terhadap bangunan pelabuhan tempat berlabuh kapal-kapal nelayan. Kondisi hidrologi berupa airtanah banyak ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul dalam bentuk sumur-sumur gali. Air permukaan berupa sungai-sungai di atas permukaan maupun bawah permukaan juga ditemukan di wilayah pesisir. Kedalaman muka airtanah berkisar antara 1, 75 4,5 m dengan nilai daya hantar listrik (DHL) berkisar antara µmhos/cm, terasa tawar, tidak berwarna dan tidak berbau. Beberapa sumur nilai DHL nya lebih dari 1000 µmhos/cm (berkisar antara µmhos/cm) airnya terasa agak payau karena sudah terkena intrusi air laut melalui akifer. Keberadaan airtanah pada musim kemarau relatif masih ada walaupun sangat terbatas. ph air berkisar antara 6,5 7,5. Keberadaan air permukaan dijumpai di Pantai Siung berupa

153 133 sungai kecil yang mempunyai kecepatan aliran kurang dari 2 m/dt dengan karakteristik nilai DHL 525 µmhos/cm dan ph 7. Keberadaan air permukaan berupa sungai bawah tanah dijumpai di Pantai Baron, yaitu tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah yang kemudian mengalir ke laut. Kecepatan alirannya sekitar 2 m/dt dengan nilai DHL 500 µmhos/cm dan ph 7. Air terasa tawar, tidak berwarna dan tidak berbau. Penggunaan lahan saat ini secara umum berupa tegalan dengan jenis tanaman seperti ketela, kacang tanah, jagung, dan lain-lain, kemudian pantaipantai yang cukup menarik digunakan untuk kegiatan wisata dan permukiman, untuk pelabuhan dan pendaratan perahu nelayan, TPI, dan lain-lain. Vegetasi alami yang terdapat di pantai antara lain pandan, widuri, ketapang, kelapa, dan lain-lain. Jenis binatang yang ditemukan antara lain monyet ekor panjang, burung walet, penyu, ikan hias, dan lain-lain. Aksesibilitas menuju lokasi titik sampel relatif sudah cukup baik dengan jalan beraspal meskipun beberapa tempat relatif sempit. Hanya aksesibiltas menuju wilayah pantai di Kecamatan Panggang yang masih berupa jalan setapak, bahkan ada yang tidak ada jalannya sama sekali, sehingga untuk menuju wilayah pantai harus berjalan kaki atau naik sepeda motor. Wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo Kondisi iklim di wilayah pantai Kabupaten Bantul yang meliputi Pantai Parangtritis, Depok, dan Pandansimo mempunyai rata-rata curah hujan sebesar 1624 mm dan suhu udara rata-rata sebesar 27,15 o C (tertinggi 30,56 o C). Tipe iklim menurut Koppen termasuk dalam tipe Am atau tropika basah, yang mempunyai karakteristik jumlah hujan pada bulan-bulan basah ( curah hujan > 100 mm) mampu mengimbangi kekurangan hujan pada bulan-bulan kering (curah hujan < 60 mm). Nilai kelembaban relatif berdasarkan pada data sekunder adalah 78 %. Kondisi iklim di wilayah pantai Kabupaten Kulon Progo ditunjukkan dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2077 mm dan suhu udara ratarata sebesar 26,7 o C (tertinggi 30,56 o C). Tipe iklim menurut Koppen termasuk dalam tipe Am, sama seperti di wilayah pesisir Kabupaten Bantul. Kelembaban relatif berkisar antara %. Kondisi oseanografi ditunjukkan oleh tinggi gelombang antara 1, 4 1,5 m dengan kecepatan angin rata-rata antara 2,7 5,3 m/dt. Menurut Skala Beaufort, kecepatan angin 2,7 5,3 m/detik adalah termasuk dalam kategori sangat lemah sampai sedang, dan tinggi gelombang yang terjadi dengan

154 134 kecepatan angin ini adalah 0,3 1,5 m. Keadaan seperti ini ditandai kondisi di laut berupa gelombang kecil menjadi lebih panjang, punggung gelombang menjadi lebih lebar, gelombang putih menjadi lebih banyak, dan kondisi di darat berupa debu-debu terangkut, kertas berterbangan, cabang-cabang kecil bergerak. Tipe empasan gelombangtermasuk dalam tipe melimpah (spilling) dengan tinggi pasang surut 1,8 m. Tinggi pasang surut yang hanya 1,8 m ( < 2 m) menunjukkan bahwa proses yang dominan di wilayah pesisir daerah penelitian adalah gelombang. Kondisi hidrologi ditunjukkan dengan keberadaan sumur gali airtanah tawar yang ditemukan di wilayah gisik, dataran aluvial, dan gumuk pasir pasif. Kedalaman muka airtanah bervariasi mulai dari 1, 5 6 m dengan nilai DHL µmhos/cm. Variasi kedalaman muka airtanah ini tergantung pada letak sumur gali, dimana muka airtanah cukup dangkal dijumpai di sekitar aliran sungai utama, sedangkan sumur gali yang terletak di gumuk pasir pasif muka airtanahnya relatif lebih dalam. Airtanah ini terasa tawar, tidak berasa dan tidak berbau. Airtanah ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan juga digunakan untuk mengairi sawah-sawah di lahan gumuk pasir pasif yang ditanami buah semangka menggunakan sistem sumur renteng. Keberadaan air permukaan ditunjukkan dengan adanya sungai-sungai besar yang bermuara ke Samudera Hindia, antara lain Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Serang, dan Sungai Bogowonto. Debit sungai-sungai besar tersebut rata-rata di atas 50 m 3 /dt dengan nilai DHL lebih dari 2450 µmhos/cm. Sifat dari sungai-sungai besar ini adalah permanen, artinya aliran air ada sepanjang tahun meskipun musim kemarau lebih sedikit. Penggunaan air sungaisungai tersebut adalah untuk pengairan, tambak, dan pemenuhan air bersih untuk sehari-hari. Nilai DHL yang cukup tinggi menunjukkan pengaruh intrusi air laut melalui muara sungai sehingga air sungai di dekat muara relatif lebih asin rasanya. Pengaruh intrusi inilah yang digunakan sebgai dasar dalam menentukan wilayah pesisir ke arah daratan. Penggunaan lahan saat ini meliputi wisata, tegalan, sawah, permukiman, pelabuhan dan TPI, dan Pos TNI-AL. Permukiman yang sangat dekat dengan garis pantai ( < 200 m) saat ini telah mulai ditertibkan karena melanggar peraturan pemerintah daerah, seperti yang terjadi di Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul. Bentuk penggunaan lahan tegalan menempati pada sebagian gumuk pasir yang sudah tidak aktif dan bekas rawa belakang. Jenis vegetasi yang ada meliputi jagung, ketela, semangka, dan lombok. Pada saat ini di lahan

155 135 gumuk pasir yang sudah tidak aktif seperti di Pantai Glagah dan Pantai Bugel dikembangkan tanaman buah naga dan sudah mulai panen. Lahan sawah irigasi terdapat di rawa belakang dan dataran aluvial bekas lagun dengan drainase yang cukup jelek, yang pada musim penghujan selalu tergenang. Bentuk penggunaan lahan permukiman dan pekarangan banyak ditemukan pada bentuklahan beting gisik tua dengan pola memanjang sejajar garis pantai, dan di dataran aluvial sungai dengan pola memanjang sepanjang sungai. Vegetasi alami yang ditemukan di wilayah pesisir meliputi ipomea pescaprae, pandan, widuri, rumput angin, dan lain-lain, sedangkan tanaman budidaya meliputi semangka, kelapa, akasia, klereside, cabe, jagung, dan lainlain. Potensi fauna lebih banyak dari potensi kelautan seperti ikan layur, hiu, kakap, dan lain-lain. Aksesibiltas menuju lokasi pantai relatif sudah sangat bagus berupa jalan beraspal dan lebar, hanya jalan yang menghubungkan antar pantai yang melewati gumuk pasir pasif sudah dalam kondisi rusak dan berbatu. Kemungkinan rawan bencana yang terjadi berupa banjir dari sungai-sungai besar dan juga kemungkinan tsunami Tipologi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Membahas tentang tipologi pemanfaatan sumberdaya pesisir, mendasarkan pada Tabel 32, dapat dilihat bahwa tipologi pesisir erosi darat yang mempunyai penciri utama berupa relief dengan kemiringan lereng yang curam sampai sangat curam, material penyusun utamanya berupa material batuan keras (padu) dan proses genesanya adalah pelarutan (solusional/karst) hanya cocok untuk pemanfaatan pertanian berupa tegalan dan tidak cocok untuk perikan an, pelabuhan, permukiman dan wisata. Penggunaan lahan tegalan yang dapat dikembangkan meliputi tanaman palawija dan tanaman tahunan seperti jati. Tanaman padi hanya dapat dilakukan pada musim penghujan dengan memanfaatkan curah hujan yang cukup tinggi. Pemanfaatan untuk wisata, secara umum tipologi pesisir erosi darat ini tidak menarik dari segi panorama dan suasana kenyamanan karena sangat panas, kecuali ditemukan panorama yang spesifik seperti goa-goa karst, doline, maka akan menjadi tempat tujuan wisata yang cukup menarik. Tipologi pesisir pengendapan darat yang mempunyai penciri utama berupa relief datar-landai, materi penyusun utama berupa lumpur (liat) dan proses genesanya adalah fluvio-marin sangat cocok untuk peruntukan perikanan, pertanian, pelabuhan, dan permukiman. Untuk kegiatan wisata kurang begitu

156 136 cocok karena tidak adanya panorama yang khas yang dapat ditawarkan untuk wisata. Pemanfaatan perikanan tambak sangat didukung oleh relief yang datar, materi yang liat dan pasokan air sungai untuk mengatur sirkulasi salinitas air dalam tambak. Begitu juga untuk pemanfaatan pertanian, didikung oleh relief yang datar, materi liat dan dukungan air sungai untuk pengairan sawah. Hambatan untuk pertanian akan muncul pada saat musim kemarau dimana terjadi intrusi air laut melalui muara sungai menuju ke arah hulu sungai, yang berakibat pada gangguan pasokan air untuk mengairi sawah. Pada tipologi pengendapan darat, pemanfaatan untuk pelabuhan adalah sangat sesuai dilihat dari faktor daratan, yaitu pemanfaatan jalur sungai untuk lalu lintas kapal dan untuk pembangunan sarana-prasaran pelabuhan di wilayah daratan, tetapi dari faktor lautan kategorinya menjadi agak sesuai dengan faktor hambatan berupa kedalaman laut yang kurang mendukung. Pemanfaatan untuk permukiman termasuk dalam kategori sesuai pada bentuklahan dataran aluvial sungai dan rawa belakang, tetapi untuk bentuklahan dataran banjir menjadi tidak sesuai untuk permukiman karena faktor bahaya berupa banjir. Tipologi pesisir volkanik yang mempunyai penciri utama berupa relief yang landai sampai sangat curam, materi penyusun utama berupa batuan keras (padu), dan proses genesanya aktivitas volkan atau gunung api, tidak sesuai untuk perikanan dan pelabuhan, tetapi agak sesuai untuk pertanian (tegalan) dan permukiman, dan sesuai untuk kegiatan wisata karena adanya panorama yang khas seperti air panas, dan lain-lain. Pembatas utama dari tipologi pesisir volkanik ini untuk pengembangan peikanan dan pelabuhan adalah pada relief yang curam dan materi penyusun utama berupa batuan keras (padu), sedangkan untuk pertanian hanya sesuai untuk tegalan dengan ditanami tanaman-tanaman keras seperti pohon jati, dan lain-lain. Pada tipologi pesisir struktural dengan penciri utama hampir sama dengan tipologi pesisir volkanik, yaitu mempunyai relief yang curam sampai sangat curam, materi penyusun utama berupa batuan keras (padu) dan proses genesanya adalah proses struktural (patahan), mempunyai kesesuaian lahan yang relatif hampir sama dengan tipologi pesisir volkanik, yaitu tidak sesuai untuk perikanan, pelabuhan, dan permukiman, dan agak sesuai untuk pertanian dalam bentuk tegalan dan untuk wisata. Jenis kegiatan wisata yang dapat dikembangkan berupa memancing di laut, dan juga panjang tebing. Pada tipologi pesisir pengendapan laut dengan penciri utama berupa relief dengan kemiringan lereng datar sampai landai, materi penyusun utama

157 137 berupa pasir (lepas) dan proses genesa yang utama adalah marin (laut) termasuk aeolio-marin, sangat sesuai untuk pelabuhan dan untuk wisata, agak sesuai untuk pertanian lahan kering, permukiman, dan untuk perikanan tambak (rekayasa teknik). Penggunaan lahan untuk pelabuhan sangat didukung oleh relief yang datar sampai landai yang memudahkan kapal untuk mendarat, juga material pasir di darat sangat mendukung untuk pembangunan sarana-prasaran pelabuhan. Penggunaan lahan untuk wisata sangat cocok karena menawarkan panorama laut dan darat yang sangat menarik. Kegiatan wisata meliputi jalanjalan pantai, berjemur, dan berselancar air. Pada bentuklahan gumuk pasir, terdapat panorama khas berupa gumuk pasir barchan yang langka untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan (wisata minat khusus). Pada tipologi pesisir pengendapan laut ini, penggunaan lahan untuk pertanian relatif agak cocok untuk dikembangkan dalam bentuk pertanian lahan kering dengan sistem sumur renteng untuk mengatasi infiltrasi yang cukup cepat karena materialnya adalah pasir. Jenis tanaman yang dapat dikembangkan meliputi semangka, melon, lombok, buah naga, dan lain-lain. Penggunaan lahan untuk permukiman dilihat dari kemampuan lahannya adalah sesuai, tetapi jika dilihat dari lokasi dan kemungkinan bencana marin yang datang setiap saat maka pada tipologi pesisir pengendapan laut ini tidak begitu sesuai untuk permukiman, kecuali pada lokasi yang jaraknya > 300 m dari garis pantai. Pengembangan untuk perikanan pada tipologi pesisir pengembangan laut ini terhambat pada materi penyusun utama berupa pasir yang tidak mampu untuk menahan air, kecuali dengan mengembangkan rekayasa teknologi untuk perikanan pada lahan pasir seperti yang dikembangkan oleh BPPT, IPB Bogor dengan Pemda Kabupaten Kulonprogo di pesisir Karangwuni, sebelah timur dari muara Sungai Serang. Gambar 71. Percontohan Tambak Pasir di Pantai Karangwuni, Kulon Progo (Sumber : Foto Lapangan, 2006)

158 138 Pada tipologi pesisir erosi gelombang dengan penciri uama berupa relief dengan kemiringan lereng curam sampai sangat curam, materi penyusun utama berupa batuan keras (padu) dan proses genesanya adalah proses marin (gelombang), penggunaan lahan yang agak sesuai untuk dikembangkan adalah wisata dengan panorama berupa tebing terjal dan gua-gua di tebing-tebing tersebut. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan adalah memancing. Pemanfaatan lahan untuk perikanan, pertanian, pelabuhan dan permukiman tidak mungkin untuk dilakukan pada tipologi pesisir ini karena keterbatasan medan. Pada tipologi pesisir organik dengan penciri utama berupa relief dengan kemiringan lereng yang datar landai, materi penyusun utama berupa pasir putih sisa-sisa organisme laut, proses genesanya adalah bio-marin, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata, untuk pelabuhan dan untuk permukiman, tetapi untuk pengembangan perikanan tambak dan pertanian kurang sesuai. Pengembangan untuk wisata sangat potensial untuk dikembangkan karena menawarkan panorama yang menawan berupa pasir putih hasil pecahan karang dan ditemukannya banyak ikan hias diantara karang. Jenis kegiatan wisata berupa jalan-jalan pantai, berjemur, selancar air, dan lain-lain. Pengembangan untuk pelabuhan dan permukiman juga sangat sesuai karena didukung oleh relief yang datar dan relatif terlindung dari gelombang dan arus laut karena berbentuk teluk atau gisik saku. Pengembangan untuk perikanan dan pertanian menjadi tidak sesuai karena faktor keterbatasan pada material pasir yang tidak mampu untuk menyimpan air, kecuali dengan rekayasa teknologi tertentu untuk pengembangannya Evaluasi Aspek Visual Wilayah Pesisir Hasil dari penilaian kualitas visual oleh responden merupakan skor untuk masing-masing foto. Rata-rata nilai yang diperoleh dari hasil penilaian responden kemudian dimasukkan dalam rumus SBE (Tabel 32). Keseluruhan nilai visual untuk masing-masing foto dapat dilihat pada Lampiran 1dan hasil perhitungan nilai SBE untuk seluruh foto dapat dilihat pada Lampiran 7. Skor tertinggi (nilai SBE tinggi) menunjukkan bahwa lanskap tersebut paling banyak dipilih sebagai lanskap yang indah, sedangkan skor rendah (nilai SBE rendah) menggambarkan lanskap yang jelek (tidak disukai).

159 139 Tabel 32. Perhitungan Nilai SBE Lanskap/Foto 49 Lanskap/Foto 3 Lanskap/foto 69 Skor f cf cp Z Skor f Cf cp Z Skor f cf Cp z ,74 0, , , ,68 0, , , ,56 0, , , ,42-0, ,86 1, ,98 2, ,3-0, ,74 0, ,98 2, ,16-0, ,34-0, ,98 2, ,06-1, ,18-0, ,94 1, ,02-2, ,08-1, ,68 0, , , ,44-0,15 Z = - 6,36 Z = 5,2 Z = 15,05 Z = - 0,71 Z = 0,58 Z = 1,67 SBE = (-0,71-(-0,71)) X 100 = 0,00 SBE = (0,58 (-0,71)) X 100 = 129 SBE = (1,67 (- 0,71)) X 100 = 238,22 Hasil perhitungan nilai SBE menunjukkan bahwa nilai tertinggi SBE yang diperoleh adalah 238,22 dan nilai terendah adalah 0,00 (lihat Lampiran 7). Sebaran nilai SBE ini kemudian disajikan dalam bentuk grafik pencar (scatter diagram) dan disajikan dalam Gambar y = 1,0684x + 84,773 R 2 = 0,1689 Nilai SBE Foto Lanskap Gambar 72. Sebaran Nilai SBE dari Foto Lanskap Pesisir yang dinilai Penjelasan dari Gambar 72, ternyata dari sebaran nilai SBE untuk 72 foto yang dinilai memberikan nilai R 2 yang kecil yaitu 0,1689, nilai korelasi sebesar 0,41 dan standart deviasi sebesar 60,04. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara foto lanskap dengan nilai SBE kecil. Analisis yang dapat diberikan

160 140 berkaitan dengan hal ini adalah bahwa foto yang dinilai masih sedikit jumlahnya. Hasil yang diberikan mungkin akan lebih baik hasilnya apabila jumlah responden ditambah jumlahnya, sehingga variasi SBE menjadi semakin besar. Dari sebaran apabila dibuat klasifikasi menjadi 3 yaitu nilai SBE tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Sutrisno Hadi (2001) dengan rumus : Nilai tertinggi nilai terendah 238,22-0,00 I = = = 79,41 Jumlah kelas 3 Nilai SBE Kategori 0,00-79,41 Rendah 79,42-158,83 Sedang 158,84-238,22 Tinggi Dari hasil pengklasifikasian menggunakan jenjang sederhana tersebut, maka masing-masing foto lanskap dengan nilai SBE-nya yang menunjukkan tipologi fisik pesisir dan lokasinya dapat dibuat tabel seperti yang tersaji pada Tabel 33. Tabel 33. Nilai SBE pada setiap Tipologi Fisik Pesisir KELAS SBE TINGGI NILAI SBE TIPOLOGI FISIK PESISIR WILAYAH ADMINISTRASI 238,22 Organik Kabupaten Gunungkidul 221,78 Organik Kabupaten Gunungkidul 207,9 Erosi gelombang Kabupaten Gunungkidul 207,11 Organik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Erosi darat Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Erosi gelombang Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul 176 Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Volkanik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan laut Kabupaten Gunungkidul 155 Erosi darat Kabupaten Gunungkidul Volkanik Kabupaten Gunungkidul 154 Pengendapan laut Kabupaten Bantul Erosi darat Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Volkanik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul

161 141 SEDANG RENDAH Organik Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan darat Kabupaten Gunungkidul Organik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Erosi darat Kabupaten Gunungkidul 134 Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Organik Kabupaten Gunungkidul 129 Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Organik Kabupaten Gunungkidul 123 Pengendapan laut Kabupaten Bantul 123 Pengendapan laut Kabupaten Gunungkidul Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Gunungkidul Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo 117 Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Organik Kabupaten Gunungkidul Pengendapan darat Kabupaten Bantul 97.2 Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo 92 Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan darat Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Bantul 80 Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan darat Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul 51 Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo Volkanik Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul Pengendapan laut Kabupaten Bantul 0.00 Pengendapan laut Kabupaten Bantul Sumber : Hasil Analisis Jika dibuat grafik (Gambar 73) yang menunjukkan hubungan antara nilai SBE dengan tipologi fisik pesisirnya, ternyata bahwa tipologi fisik pesisir organik mempunyai nilai SBE rata-rata lebih tinggi jika tinggi dibandingkan dengan tipologi fisik pesisir yang lain. Tipologi fisik pesisir pengendapan laut mempunyai nilai SBE yang sangat bervariasi dari mulai tinggi sampai rendah, demikian juga dengan tipologi fisik pesisir pengendapan darat. Aspek yang menonjol dari tipologi fisik pesisir organik yang menjadikan nilai SBE-nya tinggi adalah pada kenampakan visual pasir putih yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata.

162 142 Dilihat dari penyebaran lokasi foto lanskap, ternyata bahwa lanskap pesisir organik di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul sangat mendominasi nilai SBE yang tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Hubungan Tipologi Pesisir dengan Nilai SBE NILAI SBE TINGGI SEDANG RENDAH 0 organik Pengendapan laut TIPOLOGI PESISIR lainnya Pengendapan darat Gambar 73. Grafik Hubungan antara Tipologi Fisik Pesisir dengan Nilai SBE 6.7. Analisis Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Analisis pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian didasarkan pada hasil penilaian melalui metode evaluasi lahan antara tipologi fisik pesisir dengan tipologi pemanfaatan wilayah pesisir (lihat Tabel 34). Bentuk pemanfaatan lahan yang tidak sesuai (N) tidak ikut dilakukan analisis pengembangan dan pengelolaannya. Metode yang digunakan melalui analisis deskriptif untuk memperoleh bentuk pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berkelanjutan. Perikanan Perikanan pada tipologi pesisir pengendapan darat Jenis pemanfaatan perikanan di wilayah pesisir adalah perikanan budidaya (tambak). Jenis tipologi fisik pesisir yang sesuai untuk perikanan adalah tipologi pesisir pengendapan darat, dengan karakteristik lahan berupa relief datar, materi penyusun utama lumpur dan pasir serta proses genesanya adalah fluvio-marin. Pada tipologi pesisir pengendapan darat ini potensi sumberdaya air payau sebagai medium utama kegiatan perikanan adalah cukup

163 143 besar, baik yang berasal dari aliran sungai (fluvial) maupun aktifitas laut (marin), tetapi di sisi yang lain kegiatan-kegiatan di lahan atas maupun sekitar area perikanan dapat mempengaruhi ekosistem-ekosistem akuatik alami maupun buatan manusia (tambak) yang ada di wilayah pesisir melalui aliran air. Dalam kegiatan budidaya tambak, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitar area budidaya tambak termasuk aktivitas di lahan atas dan abrasi laut. Volume air yang masuk ke tambak baik melalui pasang maupun yang berasal dari aliran sungai, sangat menentukan kualitas air tambak. Proses sedimentasi di mulut saluran sungai atau kanal-kanal akan menghambat masuknya aliran pasang ke daerah pertambakan. Selain itu, kegiatan pemupukan dan penggunaan alat pemberantas hama di daerah pertanian di sekitarnya juga akan berpengaruh terhadap kualitas air tambak melalui proses pencucian. Mendasarkan pada kondisi dan pengaruh yang mungkin terjadi, maka pengembangan perikanan tambak pada tipologi pesisir pengendapan darat adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Penyediaan saluran irigasi khusus tambak Pembuatan saluran irigasi khusus tambak bertujuan untuk mencegah sisa-sisa bahan beracun dari aktivitas pertanian di sekitarnya tidak masuk dan mencemari perairan tambak. 2. Pengendalian sedimentasi dan abrasi Untuk mencegah sedimen hasil erosi darat tidak masuk dalam system irigasi tambak, perlu dibangun struktur pencegah masuknya sedimen ke dalam sistem irigasi. Pengendalian proses sedimen juga penting untuk ditangani melalui sistem pengelolaan lahan yang tepat dan baik di wilayah hulu. Pengaruh abrasi perlu diperkecil dengan cara menyediakan suatu wilayah penyangga (buffer zone) antara garis pantai dan wilayah pertambakan.

164 144 Tabel 34. Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Tipologi Fisik Pesisir Jenis Tipologi Fisik Pesisir Potensi Kendala Model Model Pemanfaatan dan Ciri fisik lahan Pengembangan Pengelolaan Perikanan Pengendapan darat ; Relief : datar Materi : Lumpur dan pasir Proses : fluvio-marin Relief datar dan sumberdaya air payau cukup besar Pengaruh dari lingkungan sekitar terutama aktifitas pertanian seperti pemupukan dan alat pemberantas hama cukup besar Tambak Pengendalian pengaruh kegiatan tambak terhadap lingkungan Pengaruh abrasi laut Perikanan Pengendapan laut : Relief : datar landai Materi : pasir Proses : marin Relief datar dan sumberdaya air laut untuk tambak besar Materi berupa pasir yang mempunyai sifat tidak mampu menahan air Tambak system biocrete Pengendalian pengaruh kegiatan tambak terhadap lingkungan Pertanian (tegalan) Erosi darat : Relief : curam sangat curam Batuan keras (padu) Proses : solusional (karst) Bukit gamping dan bentuklahan karst Solum tanah tipis Ketersediaan air sedikit Ditanami jenis tanaman keras dan tahunan Mengembangkan pemanfaatan sumur tadah hujan Mengembangkan embung Melarang eksploitasi bukit kapur

165 145 Jenis Tipologi Fisik Pesisir Potensi Kendala Model Model Pemanfaatan dan Ciri fisik lahan Pengembangan Pengelolaan Pertanian (sawah) Pengendapan laut : Relief : datar landai Materi : pasir Proses : marin Lahan pasir bersifat mudah menyerap sehingga mudah dipupuk organic Sumber airtanah dangkal (± 6 m) Lahan pasir tidak mampu untuk menahan air (porous) Pertanian model sumur rentang Pembuatan kolam penampungan air sehingga cukup waktu bagi tanah untuk menyerap air Teknik penanaman mengikuti kontur dan tegak lurus terhadap lereng utama Konservasi tanah pertanian dalam hal : - pencegahan erosi - pengaturan tata air - teknik penanaman - pengendalian pupuk dan pestisida Pertanian (sawah) Pengendapan darat : Relief : datar Materi : Lumpur dan pasir Potensi air permukaan besar Lahan mampu untuk menahan air Intrusi air asin melalui muara sungai Membuat zona buffer pada sempadan sungai dan sempadan pantai Pengendalian erosi tanah melalui konservasi daerah pertanian Proses : fluvio-marin Pelabuhan (Glagah dan Pandansimo) Pengendapan laut : Relief : datar landai Materi : pasir Proses : marin Relief dan dan materi pasir sehingga cocok untuk pembuatan konstruksi Gelombang besar Sedimentasi besar dari arah hulu sungai Pembuatan bangunan pecah gelombang Pengaturan pintu masuk pelabuhan Kolam pelabuhan di bagian darat pesisir Kegiatan dan pengembangan aktifitas pelabuhan tidak mengganggu dan merusak ekosistem pesisir lainnya (perairan pantai, sungai, rawa)

166 146 Jenis Tipologi Fisik Pesisir Potensi Kendala Model Model Pemanfaatan dan Ciri fisik lahan Pengembangan Pengelolaan Pelabuhan (Sadeng) Pengendapan darat dan laut : Relief : datar Materi : pair dan Lumpur Proses : marin, fluviomarin Relief datar dan materi pasir dan lempung sehingga cocok untuk konstruksi pelabuhan Gelombang laut besar Sedimentasi yang cukup besar dari arah darat Pembuatan bangunan pemecah gelombang Kolam pelabuhan dibuat di daratan pesisir Dilakukan pengukuran kedalaman kolam pelabuhan (sounding) secara rutin untuk mengetahui kedalaman kolam dan dilakukan pengerukan Penghijauan sekitar pelabuhan untuk mencegah erosi dari perbikitar gamping sekitar pelabuhan Pelabuhan Organik : Relief : datar Materi : pasir putih Proses : bio-marin Bentuk pesisir teluk (gisik saku) Dikembangkan untuk pendaratan kapal-kapal nelayan, terutama pada pesisir yang berbentuk teluk Pembatasan jumlah perahu Permukiman Pengendapan laut : Relief : datar landai Materi : pasir Proses : marin Airtanah dangkal Gelombang laut yang besar Lokasi permukiman aman terhadap terjangan gelombang ( > 200 m dari garis pantai) Pengelolaan aliran air Pengelolaan daerah banjir Pelarangan kegiatan pengerukan dan penimbunan

167 147 Jenis Tipologi Fisik Pesisir Potensi Kendala Model Model Pemanfaatan dan Ciri fisik lahan Pengembangan Pengelolaan Permukiman Pengendapan darat : Relief : datar Materi : Lumpur dan pasir Proses : fluvio - marin Sumberdaya air besar (air permukaan dan airtanah) Tanah subur Tanggul alam penahan banjir Banjir sungai Intrusi air laut Membebaskan lahan sempadan sungai dari permukiman Membuat zona buffer (penyangga) saepanjang sungai Pengelolaan aliran air Pengelolaan daerah banjir Pelarangan kegiatan pengerukan dan penimbunan Pariwisata (Kabupaten Gunungkidul) Organik dan Pengendapan Laut : Relief : datar landai Materi : pasir putih dan pasir laut Proses : marin, biomarin) Panorama indah berupa hamparan pasir putih Potensi ikan hias Aksesibilitas terbatas Arus balik (rip current) besar Iklim yang panas Penambahan jaringan jalan menuju pantai dan pembangunan sarana-prasarana wisata disesuaikan kemampuan lahannya Penyediaan dan pengaturan sumber air bersih dan pembuangan limbah cair dan padat Pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas wisata Pengendalian eksploitasi sumberdaya pesisir (pasir putih, ikan hias, terumbu karang, dan penyu laut) Pariwisata (Kabupaten Bantul Kulon Progo) dan Pengendapan Laut : Relief : datar landai Materi : pasir Proses : marin, Panorama indah berupa hamparan pasir dan gumuk pasir Arus balik (rip current) besar Iklim yang panas Perencanaan pariwisata dilakukan secara menyeluruh melalui : Inventarisasi dan penilaian sumberdaya untuk pariwisata Perkiraan pengaruh terhadap lingkungan pesisir Pengelolaan pencemaran air dan sirkulasi air yang baik Pengelolaan limbah Tidak merubah garis pantai

168 148 Dari analisis pengembangan perikanan pada tipologi pesisir pengendapan darat tersebut, kemudian dilakukan analisis pengelolaan dalam bentuk pengendalian pengaruh kegiatan tambak terhadap lingkungan. Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pemberantas hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Penggunaan pupuk yang berlebih dan tidak tepat waktunya dapat menimbulkan pencemaran (eutrofikasi) akibat meningkatnya jumlah unsur hara yang berlebih dalam air tambak, terutama apabila air tambak keluar melalui bocoran-bocoran dan mencuci serta mengangkut bahan-bahan tersebut ke perairan sekitarnya. Pengelolaan yang dapat dilakukan berupa pengendalian bocoran-bocoran, penggunaan pupuk dan obat pemberantas hama di wilayah budidaya tambak. Perikanan pada tipologi pesisir pengendapan laut Pada tipologi pesisir pengendapan laut dengan karakteristik lahan berupa relief datar-landai, materi penyusun utama pasir, dan proses genesa adalah marin, dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan melalui rekayasa teknik khusus untuk mengatasi kendala materi pasir yang tidak mampu menahan air. Rekayasa teknik tersebut adalah tambak sistem biocrete. Teknologi biocrete ini adalah berupa pengembangan tambak di lahan pasir. Penemu dari teknologi biocrete ini adalah Bambang Widigdo dan Kadarwan Soewardi. Secara prinsip, penemuan tersebut berhubungan dengan metode untuk membangun kolam budidaya dengan media air, akan tetapi dengan menggunakan teknologi Biocrete. Teknologi biocrete ini sangat berbeda dengan metoda pada umumnya yang mengunakan tanah liat sebagai lapisan dinding kolam untuk menghindari kebocoran air. Perbedaan yang sangat dominan, diantaranya, dinding kolam bukan dilapisi dengan batako atau batu bata namun menggunakan campuran plastik, anyaman bambu, ijuk dan semen, sedangkan untuk dasar kolam menggunakan media plastik, serta metode pembuangan limbah yang lubang pembuangnya berada di atas permukaan tanah, sehingga mempermudah pemanenan. Dasar kolam dengan media plastik ini bertujuan agar dapat menghindari kerugian akibat terkumpulnya lapisan lumpur pada permukaan dasar kolam yang menciptakan media pembiakan virus dan gangguan lain yang merusak budidaya udang.

169 149 Menurut penemunya, ada beberapa keunggulan dengan menggunakan teknologi Biocrete ini, diantaranya adalah dapat memanfaatkan 80 persen luas efektif kawasan untuk petak tambak, sedang tambak tanah maksimum hanya 60 persen. Untuk masa satu tahun, dapat menghasilkan tiga musim tanam, sedang tambak tanah maksimum dua musim tanam/tahun, dan produktivitas lahan bisa lebih tinggi dari tambak tanah. Tambak biocrete dapat mencapai 7-8 ton/ha udang windu, sedang tambak tanah 5-6 ton/ha. Persiapan teknologi biocrete ini jauh lebih pendek, yakni maksimal seminggu, dan lebih murah, sedangkan pada tambak tanah bisa tiga bulan sehingga perawatan lebih mudah dan efisien, disamping udang hasil panen lebih bersih dan kualitasnya menjadi lebih baik. Dengan teknologi Biocrete dasar tambak dapat terjaga dalam keadaan bersih dan nyaman untuk udang hidup. Sementara dari segi sanitasi, tambak Biocrete lebih steril dari tambak tanah, karena jika dijemur tambak pasir dapat mencapai suhu derajat celcius sehingga jika dijemur selama tiga sampai sempat hari, semua bakteri pathogen yang dapat menyebabkan penyakit akan mati. Bakteri itu, diantaranya adalah "Vibrio parachemotilicus", "v.vularificus", "salmonela" dan lainnya. Teknologi bicrete ini juga tahan gempa, sesuai untuk diterapkan di pesisir DIY yang rawan gempa tektonik. Sistem tambak biocrete ini dikembangkan atas dasar beberapa pertimbangan, antara lain : Tanah pasir yang didominasi oleh partikel pasir, pada dasarnya miskin bahan organik serta bukan merupakan habitat mikroba organik patogen sehingga cukup baik sebagai substrat tambak udang. Tanah pasir umumnya tidak produktif untuk usaha tanaman pangan, maka apabila dimanfaatkan sebagi lahan tambak akan meningkatkan nilai guna lahan. Pengembangan tambak di lahan pasir akan membantu dalam mengurangi kemungkinan tekanan ekologi hutan mangrove akibat dikonversikan sebagai tambak. Pertanian Pertanian pada tipologi pesisir erosi darat Pertanian dalam bentuk tegalan dapat dikembangkan pada tipologi pesisir erosi darat dengan karakteristik lahan berupa lereng yang curam-sampai sangat curam, materi batuan keras (gamping) dan proses genesanya adalah solusional (karst). Kendala utama bagi pengembangkan pertanian adalah pada

170 150 solum tanah yang tipis dan ketersediaan air permukaan yang langka. Batu gamping bersifat porous, dan langsung meluluskan air hujan yang jatuh di permukaan tanah melewati rekahan-rekahan pelapisan batuan vertikal dan horizontal, sehingga tidak memungkinkan terdapatnya air di permukaan. Kemudian air yang mengalir di bawah permukaan akan terakumulasi dalam suatu pola aliran tertentu sebagaimana layaknya sungai permukaan, dengan melewati lorong-lorong gua menjadi sungai bawah tanah. Dan setiap musim kemarau tiba, timbul masalah kekurangan air karena hilangnya sungai permukaan melalui rekahan-rekahan berupa gua yang tersebar di seluruh kawasan. Pemanfaatan lahan untuk pertanian yang dapat dikembangkan pada tipologi erosi darat ini adalah menanam tanaman keras dan tahunan yang berfungsi sebagai pencegah erosi bukit gamping. Pada lahan-lahan yang memungkinkan untuk ditanami padi pada musim penghujan, dapat dikembangkan dengan membuat sumur-sumur tadah hujan atau membuat embung (doline) yang berfungsi sebagai air irigasi. Pelestarian tanaman penutup dipilih jenis tanaman yang memiliki laju penguapan rendah, mudah dan cepat tumbuh dan tahan panas. Usaha pelestarian lainnya dapat dilakukan dengan memperbaiki bentuk bentang lahan, misalnya dengan pembuatan teras siring. Disamping itu perlu diusahakan juga penjagaan kualitas air sungai bawah tanah. Pemakaian pestisida dan penyubur buatan di permukaan dapat mengakibatkan terkontaminasinya air sungai bawah tanah oleh polutan kimia. Pertanian pada tipologi pesisir pengendapan laut Pertanian pada tipologi pesisir pengendapan laut dengan karakteristik lahan berupa relief datar-landai, materi penyusun utama pasir dan proses genesa adalah marin yang dapat dikembangkan adalah sawah. Potensi pertanian pada lahan pasir mempunyai beberapa kelebihan berupa sifat lahan pasir yang mudah menyerap sehingga mudah untuk dipupuk organic dan sumberdaya airtanah yang relatih dangkal (± 6 meter). Hambatan utamanya adalah sifat lahan pasir yang tidak mampu untuk menahan air, sehingga pengembangan lahan pasir untuk pertanian adalah dengan sistem sumur renteng. Sistem sumur renteng yaitu suatu sistem sawah yang sumber airnya berasal dari satu sumur utama, kemudian dari sumur utama tersebut dibuat saluran-saluran pipa pralon ke beberapa sumur yang berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk mengairi sawah.

171 151 Sistem pengembangan yang lain berupa pembuatan kolam penampung air sehingga menaikkan waktu bagi air untuk berada pada permukaan tanah untuk dapat diserap oleh tanah. Teknik penanaman tanaman perlu disesuaikan dengan kemiringan lereng areal pertanian untuk meperlambat aliran air permukaan. Baris tanaman dibuat dengan mengikuti kontur, tegak lurus terhadap lereng utama dengan maksud untuk mengurangi erosi tanah dan mempertinggi perembesan air ke dalam tanah. Pengelolaan pertanian pada tipologi pengendapan laut ini berupa konservasi tanah pertanian, dalam hal pencegahan erosi, pengaturan tata air, teknik penanaman, dan pengendalaian pupuk dan pestisida. Pencegahan erosi, pengaturan tata air, dan pengendalian pupuk dan pestisida dapat dilakukan dengan sistem menanam tanaman secara berkelompok dan rapat. Jenis tanaman yang dapat dikembangkan antara lain cabe, bawang merah, terong, melon, dan semangka. Dinas Pertanian dan Kalautan Kab. Kulon Progo mencatat bahwa luas lahan pasir di pesisir selatan Kulon Progo mencapai ha, tetapi yang baru dimanfaatkan untuk pertanian sekitar ha. Pertanian pada tipologi pesisir pengendapan darat Pertanian sawah pada tipologi pesisir pengendapan darat adalah paling sesuai untuk dikembangkan dengan karakteristik lahan berupa relief yang datar, materi penyusun utama lumpur dan pasir serta proses genesanya adalah fluviomarin. Hambatan yang utama adalah adanya intrusi air laut melalui muara sungai yang dapat mencemari lahan sawah sehingga menggangu pertumbuhan tanaman. Pengembangan pertanian yang dapat dilakukan adalah pembuatan zona penyangga (buffer) pada sempadan sungai dan sempadan pantai. Zona penyangga ini berfungsi untuk menahan bahan-bahan pencamar, menahan serta memperlambat aliran air permukaan. Zona ini dapat berupa vegetasi alami atau tanaman rumput yang rapat dan padat yang tidak memerlukan pupuk dan pestisida. Lebar zona penyangga ini tergantung dari beberapa faktor seperti sifat-sifat tanah, kemiringan, iklim, waktu untuk panen, luas tanah yang dibajak, dan jenis tanaman yang tumbuh pada zona penyangga ini. Selain itu, keadaan erosi (pengikisan) tanah permukaan juga menentukan lebar zona ini. Pengelolaan lahan pertanian pada tipologi pesisir pengendapan darat adalah konservasi daerah pertanian dalam hal pencegahan erosi, pengaturan

172 152 tata air, teknik penanaman, dan pengendalaian pupuk dan pestisida. Disamping itu rencana pengembangan pertanian perlu mengikutsertakan pengendalian kualitas air, karena pada umumnya perhatian terhadap pengendalian kualitas air hampir tidak ada dalam perencanaan awal tata ruang suatu daera pertanian. Hal ini dapat mengakibatkan proses sedimentasi dan pencemaran perairan pesisir. Pelabuhan Pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan laut Pengembangan pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan laut adalah sangat sesuai untuk dikembangkan sesuai dengan karakteristik lahannya berupa relief yang datar landai, materi penyusun berupa pasir dan proses genesanya adalah marin (aktivitas laut). Hambatan utama berupa gelombang laut yang besar dan sedimentasi sungai dari arah hulu juga besar. Gelombang dominan adalah dari arah selatan, sedangkan gelombang dari tenggara dan barat daya hampir seimbang. Oleh karena orientasi garis pantai agak menyerong ke arah barat laut dan besarnya gelombang menyebabkan terjadinya angkutan sedimen sepanjang pantai dalam jumlah cukup besar, yang secara nyata bergerak dari timur ke barat, maka pembuatan pelabuhan harus memperhatikan kondisi ini. Menurut PUSTEK UGM (2003), untuk menjamin ketenangan di alur pelayaran dan kolam pelabuhan, maka diperlukan pemecah gelombang yang ditempatkan di muara sungai pada perpanjangan bagian sungai yang lurus. Pemecah gelombang di sebelah timur dibuat lebih panjang dan membelok ke arah barat sehingga gelombang dari tenggara dan selatan tidak masuk ke alur pelayaran. Selain itu, untuk menghindari atau mengurangi sedimentasi di alur pelayaran dan kolam pelabuhan, di sebelah timur pemecah gelombang dibuat groin, dan di sebelah barat juga dibuat groin yang dimaksudkan untuk mencegah erosi pantai. Kolam pelabuhan ditempatkan di daratan dengan melakukan pengerukan, yang dimaksudkan untuk mengurangi biaya pembangunan pemecah gelombang. Apabila kolam pelabuhan berada di laut, untuk luas kolam yang sama akan diperlukan pemecah gelombang yang lebih panjang, sehingga biaya pekerjaan pemecah gelombang akan mahal. Disamping itu, pertimbangan lainnya adalah adanya lahan cukup luas di sepanjang pantai selebar ± 1 km. Pengelolaan pembangunan pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan laut pada prinsipnya adalah bahwa kegiatan dan pengembangan aktifitas

173 153 pelabuhan tidak mengganggu dan merusak ekosistem pesisir lainnya (perairan pantai, sungai, dan rawa). Kegiatan pengelolaan meliputi : 1. Perencanaan pembangunan pelabuhan yang berwawasan lingkungan Perlu untuk dilakukan studi awal tentang kemungkinankemungkinan pengaruh yang ditimbulkan akibat konstruksi dan aktivitas pengembangan pelabuhan terhadap fungsi dan struktur ekosistem wilayah pesisir. Pembangunan suatu lokasi untuk pelabuhan baru dapat dilaksanakan apabila layak secara teknis, layak ekonomis dan layak lingkungan. 2. Pertimbangan faktor erosi dan sedimentasi pantai Penentuan lokasi pelabuhan hendaknya mempertimbangkan kemungkinan adanya pengaruh pengikisan (erosi) dan pendangkalan (sedimentasi) baik dari laut maupun dari darat. Demikian juga pembangunan jetty sebagai alat pemecah gelombang harus mempertimbangkan dinamika oseanografi sekitarnya. 3. Faktor hidrologi Lokasi pengembangan pelabuhan hendaknya mempertimbangkan pula faktor kemudahan pengadaan air bersih. Pemanfaatan secara besar-besaran dan kontinyu terhadap sumber airtanah dapat menyebabkan intrusi air laut. Oleh karena itu, faktor hidrologi yang berhubungan dengan kapasitas sumber air permukaan dan airtanah perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dengan seksama. Pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan darat dan laut Pengembangan pelabuhan pada tipologi pesisir darat dan laut lebih tertuju pada pelabuhan Sadeng di ujung timur wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul. Pelabuhan Sadeng memang menjadi pelabuhan utama Provinsi DIY dan saat ini sudah dikembangkan, bangunan pemecah gelombang dank lam pelabuhan sudah dibangun dan berfungsi dengan baik. Aspek pengelolaan yang perlu dilakukan menyangkut pada besarnya erosi berupa longsoran batu gamping di sekitarnya adalah pada pengukuran kedalaman (sounding) kolam pelabuhan untuk mengetahui kedalamannya dan dilakukan pengerukan apabila sudah cukup dangkal.

174 154 Permukiman Permukiman pada tipologi pesisir pengendapan laut dan darat Hakekat permukiman di wilayah pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologi pesisir yang menyeluruh. Kebutuhan yang meningkat akan permukiman menuntut pengaturan tata ruang permukiman di wilayah pesisir, dalam hal ini seringkali menimbulkan pertentangan dengan keharusan untuk melindungi ekosistem wilayah tersebut terhadap degradasi mutu lingkungan. Kegiatan permukiman memerlukan tunjangan fasilitas sarana jalan, lokasi pembuangan limbah permukiman, sistem drainase, dan lain-lain, dan setiap pembangunan fasilitas tersebut akan membawa perubahan terhadap ekosistem wilayah pesisir. Pengembangan permukiman di wilayah pesisir yang tidak berwawasan lingkungan akan menyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan antara lain : erosi, sedimentasi, pencemaran lingkungan, dan bajir. Model pengembangan dan pengelolaan permukiman di wilayah pesisir antara lain dalam bentuk : 1. Penataan kembali rencana pengembangan permukiman di wilayah pesisir demi terwujudnya konsep berwawasan lingkungan. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Bantul telah melakukan penataan kembali permukiman yang berada pada jarak yang terlalu dekat dengan garis pantai di wilayah Pantai Parangtritis, dipindahkan ke tempat yang jauh dari pantai (> 200 m dari garis pantai). Lokasi permukiman di daerah muka pantai mengandung resiko besar terhadap bencana gelombang pasang besar akibat angina rebut atau angin topan. Kerugian besar baik harta benda maupun jiwa akan dapat dialami oleh penduduk di daerah permukiman tersebut. Gambar 74. Proses Pemindahan Permukiman di Parangtritis (Sumber : Foto Lapangan,2006)

175 Semua kegiatan dan pengembangan permukiman harus dibawah pengawasan dan tidak meyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan seperti kualitas, volume dan kelancaran aliran air maupun sistem drainase alami dan sumber air lainnya. Permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan terjadinya degradasi mutu lingkungan sebagai akibat kegiatan pengembangan permukiman di daerah muka pantai disebabkan oleh adanya konstruksi pembuatan jalan, bangunan pantai, dan pencemaran perairan. 3. Pelarangan kegiatan pengerukan dan penimbunan untuk membuat kanal-kanal di daerah permukiman. Kerusakan yang ditimbulkan akibat kegiatan pengerukan dan penimbunan ini akan berakibat fatal apabila habitat tersebut merupakan daerah vital. Pariwisata Dalam pengembangan pariwisata pesisir, keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah dibangun untuk pariwisata,segera fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang dengan pesat. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan pariwisata di wilayah pesisir dilakukan secara menyeluruh, termasuk diantaranya inventarisasi dan penilaian sumberdaya yang cocok untuk pariwisata, perkiraan tentang berbagai pengaruh (impact) terhadap lingkungan pesisir, hubungan sebab akibat dari berbagai macam tata guna lahan disertai dengan perincian untuk masing-masing tata guna lahan, serta pilihan pemanfaatan. Berkaitan dengan bahaya arus balik (rip current) yang besar di pantai selatan DIY, perlu dibuat aturan yang jelas dan tegas untuk melarang mandi di laut apapun alasannya. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan cara melakukan pemetaan secara detil tentang perilaku arus balik (rip current) selama setahun penuh untuk mengetahui siklus dan gerakannya sehingga dapat ditentukan dengan tepat daerah yang aman untuk berwisata pantai pada waktuwaktu tertentu dan upaya pertolongan apabila terjadi kecelakan. Salah satu usaha pengembangan wilayah pesisir yang asli untuk pariwisata dan rekreasi adalah pembentukan kawasan khusus yang memadukan usaha perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dengan kepariwisataan. Contoh yang jelas adalah penetapan kawasan gumuk pasir aktif Parangtritis sebagai kawasan laboratorium alam gumuk pasir pertama di Indonesia.

176 156 Panorama khas adalah gumuk pasir bentuk barchan (bulan sabit) yang langka. Penetapan kawasan khusus ini adalah untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (geografi dan geomorfologi) dan juga untuk pariwisata. Contoh lain adalah penetapan kawasan khusus pariwisata di bekas aliran sungai Bengawan Solo Purba di Pantai Sadeng Kabupaten Gunungkidul. Penetapan kawasan khusus ini juga untuk kepentingan penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan (geologi dan arkeologi) serta untuk pariwisata. 6.8.Analisis Rekomendasi Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dalam melak$ukan analisis rekomendasi ini, metode yang digunakan adalah analisis SWOT. Dalam tahap analisis SWOT untuk menentukan rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir daerah penelitian, diawali dengan pembuatan matrik SWOT yang mendasarkan pada analisis pengembangan dan pengelolaan yang telah dihasilkan pada bagian sebelumnya. Untuk lebih mempermudah dalam menganalisis rekomendasinya, maka dalam penyajian matrik SWOT disajikan dalam dua matriks SWOT yaitu Matriks SWOT Kabupaten Gunungkidul dan matriks SWOT Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Matriks SWOT yang dihasilkan seperti tersaji pada Tabel 35 dan Tabel 36. Strategi-strategi yang dihasilkan dalam analisis SWOT digunakan untuk membuat rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir. Strategi Kekuatan-Peluang (SO) dan strategi Peluang-Kelemahan (WO) digunakan untuk menentukan rekomendasi pengembangan, sedangkan strategi Kekuatan- Ancaman (ST) dan strategi Ancaman-Kelemahan (WT) digunakan untuk menentukan rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir.

177 157 Tabel 35. Matriks SWOT Analisis Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Gunungkidul Analisis Lingkungan Internal Analisis Lingkungan Eksternal PELUANG (opportunities) 1. Komitemen pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Gunungkidul tahun berupa pengembangan daerah pantai untuk wisata alam dan bahari 2. Bantuan dana dan tawaran kerjasama dari luar negeri untuk pengembangan wilayah Kabupaten Gunungkidul 3. Kondisi wilayah yang aman dan kondusif KEKUATAN (strength) 1. Memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial Pantai dan karst : pariwisata dan penelitian Ikan hias dan penyu laut : pariwisata (produksi ikan hias ton (2006) dan ton (2007) Potensi perikanan laut yang besar ( ton tahun 2006 dan ton tahun 2007) Aliran sungai Bengawan Solo Purba : penelitian dan wisata minat khusus STRATEGI KEKUATAN + PELUANG (SO) 1. Mengembangkan potensi alam yang sangat potensial untuk pengembangan pariwisata alam dan bahari melalui promosi wisata dan penyusunan basis data (database) potensi wilayah pesisir 2. Mempermudah perijinan penelitian dan kemudahan perolehan data untuk kepentingan penelitian pesisir dan karst 3. Memanfaatkan kondisi wilayah yang aman dan kondusif untuk mengembangkan potensi pariwisata dan pengembangan perikanan laut melalui pengembangan Pelabuhan Sadeng dan pembangunan TPI Sadeng dan Baron 4. Memanfaatkan bantuan dan bentuk kerjasama dengan pihak lain untuk mengembangkan potensi alam yang ada bagi kepentingan kesejahteraan rakyat KELEMAHAN (weaknesses) 1. Iklim yang panas dan kurang nyaman untuk wisata 2. Kondisi medan yang gersang dan berbatu-batu 3. Aksesibilitas jalan yang sulit menuju pantai (Kec. Panggang dan Kec. Purwosari) 4. Sumberdaya air terbatas 5. Kualitas sarana dan prasarana public yang belum memadai 6. SDM pesisir masih rendah 7. Minat masyarakat di bidang perikanan rendah 8. Pengelolaan wilayah pesisir belum optimal dan terpadu 9. Rendahnya daya saing produk perikanan 10. Belum optimal kelembagaan masyarakat 11. Akses modal dan pemasaran masih rendah STRATEGI KELEMAHAN + PELUANG (WO) Memanfaatkan komitmen pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan wilayah pesisir untuk wisata alam dan bahari, dalam bentuk alokasi dana untuk kepentingan : Penghijauan wilayah pesisir dan bukit-bukit gamping di sekitarnya dengan tujuan menambah rindang dan nyaman berwisata, serta untuk kepentingan konservasi lahan (mencegah erosi dan sedimentasi) Meningkatkan kemampuan SDM dan peranan kelembagaan masyarakat pesisir melalui program pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat Membuka akses yang mudah dan seluas-luasnya bagi usaha masyarakat pesisir Pembangunan fisilitas fisik pada obyek-obyek wisata pantai dengan memperhatikan kemampuan

178 158 ANCAMAN (threats) 1. Kerusakan lingkungan pantai baik biotis maupun abiotis 2. Erosi dan sedimentasi 3. Arus balik (rip current) laut yang besar STRATEGI KEKUATAN + ANCAMAN (ST) 1. Membuat kebijakan pemerintah daerah tentang pelarangan penambangan batu gamping terutama yang berada dekat wilayah pesisir dan juga pelarangan penambangan pasir putih dan telur penyu. 2. Menyusun Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Pantai, dengan mempertimbangkan bahaya erosi dan sedimentasi melalui penetapan kawasan sempadan pantai, jalur hijau, dan penetapan kawasan rawan longsor. 3. Menetapkan kawasan aman berwisata untuk kegiatan berjemur, jalan-jalan pantai, berburu ikan hias, berenang, dan memancing. lahan setempat, jauh dari resiko bencana seperti abrasi laut, erosi tebing maupun longsoran tanah rombakan batu gamping, disertai dengan pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk pengaturan limbah cair dan padat STRATEGI KELEMAHAN + ANCAMAN (WT) 1. Mengembangkan hutan rakyat dengan jenis tanaman tahunan dan mempunyai nilai komersial seperti jati dan akasia, yang mampu untuk tumbuk dengan baik di tanah kapur sekaligus berfungsi sebagai pencegah erosi dan longsoran batu gamping 2. Pembuatan bangunan pemecah gelombang pada kawasan-kawasan pantai yang potensial untuk dikembangkan dan relatif terbuka terhadap laut. 3. Memanfaatkan hasil penelitian tentang pantai dan kawasan karst dalam rangka pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.

179 159 Rekomendasi Pengembangan Mendasarkan analisis SWOT pada Tabel 36, rekomendasi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul adalah untuk kegiatan pariwisata dengan memanfaatan keindahan panorama yang khas di wilayah pesisir. Langkah-langkah untuk mengembangkan tersebut adalah : 1. Melalui promosi wisata dengan menjual keindahan dan kekhasan sumberdaya wilayah pesisir, antara lain tebing terjal untuk panjang tebing, pasir putih untuk tempat berjemur, bentanglahan karst untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, aliran sungai Bengawan Solo Purba untuk kegiatan penelitian dan pariwisata minat khusus, dan lain-lain. Promosi ini diawali dengan penyusunan basis data (database) potensi sumberdaya pesisir untuk kemudian di upload ke internet, sehingga promosi dapat dilakukan secara internasional. Cara seperti ini perlu dilakukan karena mendasarkan hasil kajian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ( ) tentang daya saing pariwisata daerah, terungkap bahwa wisatawan mancanegara dari negara asal yang berbeda memiliki preferensi kunjungan ke daerah yang berbeda. Informasi ini sangat berguna dan perlu disosialisasikan kepada daerah agar daerah dapat menyusun program pemasaran dengan target yang tepat sesuai dengan pasar dominan yang dimilikinya. 2. Dalam melakukan promosi wisata harus dilengkapi dengan perbaikan dan pembangunan sarana-parasara pariwisata antara lain dengan pembangunan jalan-jalan baru, perbaikan dan pelebaran jalan-jalan yang sudah ada, pembangunan fasilitas fisik wisata seperti air bersih dan pengelolaan limbah (padat dan cair). 3. Koordinasi semua pihak untuk bersama-sama memajukan sektor pariwisata di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul. Pemerintah daerah berperan dalam mengoptimalkan kegiatan promosi wisata, pembangunan sarana prasarana penunjang pariwisata dan mengupayakan kemudahan bagi kunjungan wisatawan mancanegara dan investasi pariwisata, sedangkan masyarakat dan swasta berperan dalam menambah nilai kualitas kunjungan wisata yang semua unsurnya termuat dalam konsep Sapta Pesona.

180 160 Rekomendasi Pengelolaan Rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul adalah dengan cara mempertahankan dan melindungi kelangsungan proses ekosistem karst dan ekosistem pesisir karena keduanya saling berkaitan. Kawasan karst di Kabupaten Gunungkidul merupakan bentuklahan yang sangat spesifik dilihat dari proses terbentuknya, keindahan panoramanya, maupun peran ekologinya. Kawasan karst memiliki peran penting dalam penyediaan air bawah tanah serta sebagai tempat perlindungan bagi aneka flora dan fauna langka. Empat puluh enam persen kawasan Kabupaten Gunungkidul terdiri atas perbukitan karst dan terletak di wilayah bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul berbatasan langsung dengan kawasan karst di sebelah daratan. Upaya pelestarian karst cukup dilematis karena sering berbenturan dengan pemanfaatan oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhannya. Umumnya masyarakat mengambil batugamping untuk dijual tanpa memperdulikan kawasan karst. Perusakan kawasan karst yang dekat dengan wilayah pesisir akan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Disinilah pentingnya pemetaan dan pengklasifikasian perbukitan karst yang dilindungi dan yang dapat ditambang secara ekonomis. Kawasan karst yang perlu dilindungi adalah perbukitan karst yang dekat dengan wilayah laut, yang mempunyai bentang alam khas dan langka di bagian permukaan maupun di bawahnya, mempunyai fungsi seabagi penyimpan air dalam bentuk sungai maupun telaga, dan mempunyai potensi airtanah yang sedang hingga tinggi. Pemetaan juga diarahkan untuk menetapkan kawasan sempadan pantai, jalur hijau, dan kawasan rawan longsor untuk kegiatan pariwisata bahari. Penghijauan di kawasan karst juga perlu terus dilakukan melalui tanaman-tanaman tahunan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi supaya dapat memberi nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat.

181 161 Tabel 36. Matriks SWOT Analisis Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo Analisis Lingkungan Internal Analisis Lingkungan Eksternal KEKUATAN (strength) 1. Memiliki sumberdaya alam yang potensial Hamparan pasir, gumuk pasir : pariwisata dan penelitian Pertanian, perikanan, dan pertambangan Pelabuhan 2. Topografi datar landai 3. Aksesibiltas jalan yang baik dan lancar 4. Sumberdaya air yang besar, baik airtanah maupun air permukaan (sungai) dengan kualitas yang relatif baik 5. Lokasi yang strategis dan jarak yang dekat dengan pusat kota KELEMAHAN (weaknesses) 1. Iklim yang panas dan kurang nyaman untuk wisata 2. Merupakan wilayah pesisir terbuka yang rawan terhadap bencana alam dan tsunami, termasuk rawan gempa karena terdapat jalur patahan mayor Opak 3. Rendahnya kemampuan keuangan daerah PELUANG (opportunities) 1. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo tentang pengembangan wilayah selatan untuk pariwisata, pertanian lahan basah, permukiman dan perikanan 2. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentang pengembangan Pantai Pandansimo dan Glagah untuk pelabuhan pangkalan pendaratan ikan dengan skala pelayanan lokal dan regional 3. Rencana Pembangunan Pelabuhan Militer TNI- AL (Lantamal V) di Pantai Karangwuni Kulon Progo STRATEGI KEKUATAN + PELUANG (SO) 1. Penggunaan teknologi maju dan rekayasa teknik lainnya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam pantai yang potensial untuk dikembangkan pada berbagai kegiatan, misalnya perikanan di lahan pasir (biocrete), pertanian lahan pasir, pelabuhan pedaratan perahu nelayan yang ramah lingkungan dan tahan lama, serta ekowisata pantai 2. Penggunaan teknologi baru untuk konservasi sumberdaya air tawar. 3. Pembuatan rencana yang detil, terpadu dan menyeluruh tentang pengembangan wilayah pesisir sehubungan dengan akan dibangunnya Lantamal V TNI-AL STRATEGI KELEMAHAN + PELUANG (WO) 1. Memanfaatkan komitmen pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan wilayah pesisir dengan perencanaan dan pengembangan yang berkelanjutan, antara lain dengan membuat jalur hijau sebagai kawasan pelindung pantai dengan tanaman yang mampu untuk meredam gelombang laut seperti cemara udang, dll 2. Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta untuk bersama-sama megembangkan kawasan pesisir

182 162 ANCAMAN (threats) 1. Gelombang pasang 2. Banjir sungai-sungai besar 3. Arus balik (rip current) laut yang besar 4. eksploitasi pasir besi di wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo yang tidak ramah lingkungan 5. Gempa tektonik dan tsunami STRATEGI KEKUATAN + ANCAMAN (ST) 1. Pemetaan daerah-daerah yang rawan untuk pariwisata pantai seperti mandi dan berenang, melalui pemetaan perilaku arus balik (rip current) 2. Pembuatan AMDAL bagi penambangan pasir besi 3. Menetapkan jalur hijau (green belt) sepanjang sempadan sungai yang berfungsi untuk menahan banjir 4. Peratutan Daerah tentang larangan permukiman yang sangat dekat dengan pantai (pemukiman minimal pada jarak > 200 m dari garis pantai) STRATEGI KELEMAHAN + ANCAMAN (WT) 1. Memasang tanda bahaya bencana secara dini (early warning system) terutama bahaya tsunami dan juga bahaya oseanografi lainnya (arus balik, gelombang pasang) termasuk banjir. 2. Meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan potensi pesisir yang berbasis pada penanggulangan bencana

183 163 Rekomendasi Pengembangan Mendasarkan analisis SWOT pada Tabel 36, rekomendasi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo adalah menyesuaikan pada tipologi fisik pesisirnya. Kegiatan pariwisata dapat dikembangkan pada semua tipologi fisik pesisir yang ada, terutama pada tipologi pesisir pengendapan laut termasuk bentulahan gumuk pasir yang dibentuk oleh proses angin. Kegiatan perikanan model biocrete dan pertanian lahan pasir dapat dikembangkan pada tipologi pesisir pengendapan laut. Pembangunan pelabuhan dapat dikembangkan pada tipologi pesisir pengendapan laut dan tipologi pesisir pengendapan darat dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menunjang kegiatan pelabuhan. Desain pembangunan pelabuhan dibuat dengan memperhatikan laju sedimentasi dari darat, perilaku arus dan gelombang. Perikanan model biocrete dan pertanian lahan pasir dapat lebih dikembangkan di sepanjang pesisir pengendapan laut Kabupaten Bantul dengan memperhatikan kemampuan lahan yang ada dan rencana detil tata ruang untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan, sedangkan di sepanjang pesisir pengendapan laut Kabupaten Kulon Progo, pertanian lahan pasir yang sudah ada lebih diintensifkan, dan pembukaan lahan baru untuk kegiatan perikanan dan pertanian sedapat mungkin untuk dihindari sehubungan dengan rencana Pemerintah Daerah kabupaten Kulon Progo yang akan melakukan pertambangan pasir besi di sepanjang wilayah pesisir yang dimiliki. Sehubungan dengan rencana akan dibangunnya pelabuhan militer TNI- AL (Lantamal V) di pantai Karangwuni Kabupaten Kulonprogo, studi tentang kelayakannya termasuk AMDAL untuk pembangunan pelabuhan militer tersebut harus direncanakan secara detil, terpadu dan menyeluruh tentang semua aspek yang terkait, karena pembangunan pelabuhan militer akan diikuti oleh pembangunan-pembangunan sarana-prasaran fisik pendukung lainnya di sekitar pelabuhan.

184 164 Rekomendasi Pengelolaan Rekomendasi pengelolaan di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo ditentukan berdasarkan pada tipologi fisik pesisir dan rencana pemanfaatan pada masa yang akan datang. Pola pengelolaan yang paling sesuai adalah dengan cara Limited Intervention, yaitu upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membatasi pendirian bangunan pada lahan-lahan pesisir yang secara ekologis berfungsi menahan gelombang laut seperti gumuk pasir (sand dunes). Sebagai contoh pola pengelolaan ini secara teknis dapat diterapkan di pantai Parangtritis dan sekitarnya dimana ditemukan bangunan-bangunan permukiman penduduk yang dekat dengan laut dan sering terkena gelombang pasang. Cara ini sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul yang melakukan relokasi permukiman penduduk yang letaknya < 150 m dari garis pantai, dan pemerintah daerah Kabupaten Bantul sudah membuat aturan yang melarang pendirian bangunan permukiman pada jarak < 200 m dari garis pantai. Penertiban permukiman penduduk yang terlalu dekat dengan laut dan berada di atas gumuk pasir sedini mungkin mulai perlu untuk ditertibkan walaupun baru berdiri 1 atau 2 rumah, untuk menghindari lebih berkembangnya pembangunan permukiman baru di sekitarnya. Lihat Gambar 76. Gambar 75. Permukiman di Gumuk Pasir yang Dekat dengan Laut (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Contoh yang lain adalah tentang keberadaan dan kelangsungan proses pembentukan gumuk pasir (sand dunes) aktif di Pantai Parangtritis. Fungsi gumuk pasir disamping bentuk panoramanya yang khas sehingga sangat cocok untuk pariwisata, juga mampu untuk meredam energi gelombang yang sampai ke arah darat. Ini artinya bahwa dengan membiarkan dan membebaskan gumuk pasir terbentuk secara alami maka akan mampu untuk melindungi wilayah pesisir secara keseluruhan beserta dengan sumberdaya yang ada di atasnya. Material

185 165 pasir terbukti juga mampu untuk meredam energi gempa tektonik yang terjadi di Yogyakarta pada Mei 2006 yang mempunyai pusat gempa di daratan Pantai Parangtritis, yaitu dengan ditunjukkannya kerusakan bangunan yang relatif lebih ringan pada daerah-daerah yang mempunyai material pasir (Pantai Samas dan sekitarnya) dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi pada daerah-daerah yang berbatuan keras seperti Imogiri dan seterusnya sepanjang jalur patahan Opak. Strategi yang lain yang sekarang baru di uji coba adalah dengan cara membuat penahan gelombang dalam bentuk penanaman vegetasi yang mampu menahan gelombang laut dan cocok untuk ditanam pada substrat pasir seperti cemara udang (lihat Gambar 76) Gambar 76. Vegetasi pada Gumuk Pasir (Sumber : Foto Lapangan, 2006) Strategi ini dipilih berkaitan dengan rencana penambangan pasir besi sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Kulon Progo oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) sebagai pemegang kuasa pertambangan. Penambangan rencananya akan dilakukan di pantai sepanjang 22 kilometer, dari Sungai Bongowonto hingga Kali Progo, masuk ke dalam ke arah daratan dan memasuki kawasan perumahan sejauh 1,8 kilometer dan menggerus sedalam 14,5 meter. Pasir besi baru tereksploitasi tahun Bahan galian golongan B tersebut banyak tersebar di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. Dengan potensi cadangan pasir besi sebanyak 166 juta ton, produksi biji besi dari pabrik yang akan dibangun di kabupaten ini diperkirakan bisa berlangsung sekitar 30 tahun. Pabrik biji besi yang akan dibangun tahun 2008 ini menjadi satu-satunya di Asia Tenggara dengan kapasitas produksi ton besi mentah atau pig iron per tahun. Hasil pengolahan pasir besi menjadi biji besi tersebut diperkirakan akan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kulon Progo hingga Rp 604 miliar tiap tahun. Namun, jika kegiatan penambangan skala besar tersebut tidak

186 166 terkelola dengan baik dan mengabaikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), akan berdampak negatif bagi masyarakat Kulon Progo dan sekitarnya. Pencemaran terhadap lingkungan akan berpotensi merusak sistem air bawah tanah serta menyebabkan bentangan lahan rusak, kondisi pantai lambat laun akan keruh, dan abrasi pantai terjadi lebih cepat. (PETA : REKOMENDASI PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN)

187 167 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Mengacu pada penentuan tipologi fisik pesisir yang mendasarkan pada relief/kemiringan lereng, materi penyusun utama, proses genesa, dan rezim pasang surut yaitu dominasi proses yang terjadi antara pasang surut, gelombang dan sungai, maka wilayah pesisir daerah penelitian dikelompokkan menjadi tujuh tipologi fisik pesisir, yaitu tipologi pesisir erosi darat (mendominasi dan hanya terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul), pesisir pengendapan darat (hanya terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Bantul dan Kulon Progo), pesisir volkanik, pesisir struktural, dan pesisir erosi gelombang (hanya terdapat di sebagian kecil wilayah pesisir Kabupaten Gunungkidul), pesisir pengendapan laut, dan pesisir organik. 2. Masing-masing tipologi fisik pesisir tersebut mempunyai karakteristik yang spesifik mengenai materi fisik lahan dan proses yang dominan pada lahan tersebut. Melalui evaluasi lahan, dapat diketahui bahwa karakteristik tersebut menentukan potensi pemanfaatannya mendasarkan pada tipologi fisiknya. Tipologi pesisir erosi darat terutama sesuai untuk tegalan tanaman keras, tipologi pesisir pengendapan darat sesuai untuk pertanian, perikanan, permukiman, dan pelabuhan. Tipologi pesisir volkanik, structural, dan erosi gelombang hanya sesuai untuk kegiatan pariwisata minat khusus. Tipologi pesisir pengendapan laut sangat sesuai untuk pariwisata dan pelabuhan, juga agak sesuai untuk dikembangkan perikanan dan pertanian, sedangkan tipologi pesisir organik sangat sesuai untuk kegiatan pariwisata. Pesisir organic sangat sesuai untuk pariwisata dibuktikan dengan nilai SBE (Scenic Beauty Estimation) yang relatif tinggi untuk semua foto lanskap yang dinilai oleh responden pengunjung wisata pantai. 3. Pola pengembangan untuk pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir adalah : a) perikanan tambak di tipologi pesisir pengendapan darat adalah model tambak sistem resirkulasi tertutup; b) perikanan tambak di tipologi pesisir pengendapan laut adalah model tambak sistem biocrete; c) pertanian di tipologi pesisir erosi darat berupa pertanian tegalan dengan memanfaatkan

188 168 sumur tadah hujan; d) pertanian di tipologi pesisir pengendapan laut berupa pertanian lahan pasir model sumur renteng dan pembuatan kolam penampungan air; e) pelabuhan pada tipologi pesisir pengendapan laut dengan dominasi tenaga gelombang adalah dengan model pelabuhan yang meletakkan kolam pelabuhan di wilayah pesisir bagian daratan dan bangunan pemecah gelombang yang tidak berhadapan langsung dengan arah datangnya gelombang (agak menyerong); f) permukiman pada tipologi pengendapan laut hendaknya pada jarak yang aman terhadap terjangan ombak; dan g) kegiatan pariwisata secara umum lebih ditekankan pada tipologi pesisir organic dan tipologi pengendapan laut, sedangkan pada tipologi pesisir erosi gelombang, volkanik dan structural lebih ditekankan pada pengembangan pariwisata minat khusus seperti panjat tebing sesuai dengan karakteristik lahannya berupa tebing yang sangat curam dan berbatuan keras. 4. Rekomendasi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir lebih didasarkan pada aspek tipologi fisik pesisirnya. Kabupaten Gunungkidul dengan tipologi fisik pesisir yang dominan adalah tipologi pesisir erosi darat dan organic, sangat sesuai untuk dikembangkan untuk kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan bentang alam yang khas dan spesifik. Gabungan dari kedua tipologi pesisir tersebut membentuk bentanglam yang khas berupa pesisir dengan tebing yang terjal sehingga sesuai untuk kegiatan pariwisata minat khusus (panjat tebing). Rekomendasi pengelolaan wilayah pesisirnya adalah dengan cara mempertahankan dan melindungi kelangsungan proses ekosistem karst dan ekosistem pesisir karena keduanya saling berkaitan. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemetaan dan pengklasifikasian perbukitan karst yang dilindungi dan yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis oleh masyarakat. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo dengan tipologi pesisir yang dominan adalah tipologi pesisir pengendapan laut dan pengendapan darat, sangat sesuai untuk kegiatan pariwisata, kegiatan perikanan model biocrete dan pertanian lahan pasir. Pembangunan pelabuhan dapat dikembangkan pada tipologi pesisir pengendapan laut dan tipologi pesisir pengendapan darat dengan memanfaatkan aliran sungai untuk menunjang kegiatan pelabuhan. Desain pembangunan pelabuhan dibuat dengan memperhatikan laju sedimentasi dari darat, perilaku arus dan gelombang.

189 169 Pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo adalah dengan cara Limited Intervention, yaitu upaya pengelolaan wilayah pesisir dengan cara membatasi pendirian bangunan pada lahan-lahan pesisir yang secara ekologis berfungsi menahan gelombang laut seperti gumuk pasir (sand dunes). Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, hasil penelitian ini dapat dikategorikan sebagai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir (RZWP) yang merupakan arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, dan RZWP diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Saran : 1. Disarankan pada setiap penelitian tentang pesisir dan laut, terutama tentang pola pemanfaatan dan pengelolaannya dapat dimulai dengan meneliti terlebih dahulu tipologi fisik pesisirnya, karena dengan diketahui tipologi fisik pesisirnya maka akan dapat diketahui karakteristik dan ciriciri lahannya sehingga memudahkan untuk melakukan pemodelannya. 2. Penelitian ini hanya terbatas pada penelitian tipologi pesisir dari aspek fisik lahannya. Akan sangat bermanfaat dan berkelanjutan apabila penelitian ini dapat dilanjutkan pada penelitian tipologi pesisir dari aspek sosial, ekonomi, budaya dan lainnya sehingga akan lebih melengkapi dalam melakukan pemodelan pemanfaatan dan pengelolaannya. 3. Pada ujicoba model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir, pada penelitian ini hanya terbatas pada pemanfaatan secara makro yaitu untuk perikanan, pertanian, pelabuhan, permukiman dan pariwisata sehingga hasil pemodelannya masih bersifat semi detil. Akan lebih baik jika dilanjutkan pada model pemanfaatan yang lebih detil dan bervariasi, misalnya untuk industri, kehitanan, perikanan tambak udang, pertanian lahan pasir, pelabuhan barang, pelabuhan militer, ekowisata, dan lainlainnya. 4. Pada pemakaian metode Scenic Beauty Estimation (SBE), hasil yang diperoleh akan lebih komprehensif seandainya responden yang dipilih untuk menilai lanskap pesisir adalah para wisatawan yang baru keluar dari tempat wisata untuk menilai langsung lanskap yang baru saja

190 170 dilihatnya dengan cara mengisi lembar penilaian yang diajukan. Cara seperti ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak mengingat bahwa penilaian dilakukan di seluruh tempat kunjungan wisata. 5. Mengingat bahwa daerah penelitian merupakan wilayah yang rawan terhadap tsunami, disarankan pada penelitian-penelitian yang akan dating yang menyangkut wilayah pesisir daerah penelitian perlu dilakukan penelitian tentang tsunami mencakup pada model tsunami yang mungkin terjadi dan cakupan wilayah pesisir yang terkena dampaknya agar dapat diprediksi tentang kemungkinan pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir secara lebih menyeluruh.

191 171 DAFTAR PUSTAKA,2003. Rencana Strategis Daerah (Renstrada) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun Yogyakarta. Alongi, D.A Coastal Ecosystem Processes. CRC Press. New York, USA Aronoff, S Geographic Information System : A Management Perspetive.: WDL Publication. Ottawa Bakosurtanal Pedoman Survei Cepat Terintegrasi (Rapid Integrated Survey) Inventarisasi Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir. Laporan Penelitian.Jakarta. Bakosurtanal dan Fakultas Geografi UGM., Klasifikasi Satuan Bentuklahan untuk Pemetaan Geomorfologi Sistematik Wilayah Indonesia, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Bapeda Kabupaten Kulon Progo dan PUSTEK Kelautan UGM Studi kelayakan Rencana Pembangunan Pelabuhan Kabupaten Kulon Progo. Laporan Akhir. Yogyakarta. Bapedalda DIY dan Fakultas Geografi UGM Kajian Profil Kawasan Pantai Provinsi DIY. Laporan Akhir. Yogyakarta. Beer, T Environment Oceanography. 2/ed. CRC Press, Boca Raton, Florida. Bemmelen, R.W. van The Geology of Indonesia. The Hague. Bengen, D.G Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. BPS DIY dalam Angka BPS Provinsi DIY. Yogyakarta. Bishop, P and P.Cowell Lithological and drainage between network determinants of the Character of drowned, embayed coastline. Journal of Geology. 105: Carter, R.W.G Coastal Conservation. Coastal Zone Planning and Management. Thomas Telford. London. Carter, R.W.G dan C.D Woodroffe Coastal Evolution Late Quartenary Shoreline Morphodynamics. Canbridge University Press. London,UK CERC Shore Protection Manual, Vol. II. Department of The Army, U.S. Army Corp of Engineers, Washington D.C.

192 172 Chang, K.T Introduction to Geographic Information System. New York : Prentice Hall. Cincin-Sain, B. and Kencht Integrated Coastal and Ocean Management, Concepts and Practise. Island Press, Washington DC and Covelo California. Clark, J.R Coastal Zone Management Handbook, CRC Press, Boca Raton, Florida. Dagen, M. Save., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Jakarta Dahuri, R, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. Daniel, T.C., and R.S. Boster., Measuring Landscape Aesthetics : The Scenic Beauty Estimation Method. USDA Forest Service Research Paper RM p. Departemen Dalam Negeri RI dan Bureau Central d'etudes pour les Equipements d'outre-mer (BCEOM), Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Jakarta. Edgren, G Expected Economic and Demographic Developments in Coastal Zones World Wide. In World Coast 93 (eds P. Beukenkamp, P.Gunther, R. Klein et al.), pp , National Institute for Coastal and Marine Management, Coastal Zone management Centre, Noordwijk, The Netherlands. European Union for Coastal Conservation/EUCC Coastal Typology. Falero, E.M., and S.G. Alonzo Quantitative Techniques in Landscape Planning. CRC Press Inc. USA. 273 p. Fandeli, C Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Liberty, Yogyakarta. Field, J.G., Gotthilf Hempel, and Colin P. Summerhayes Oceans 2020: Science, Trends, and the Challenge of Sustainability. Island Press. Washington.

193 173 Ford, A Modelling the Environment : An Introduction to System Dynamics Modelling of Environment System. Island Press, Washington D.C. Goodwin H Terestrial Ecotorism. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung Gun, C.A Tourism Planning Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor and Francis. London. 460 p. Haslett, S.K Coastal System. Routledge, New York Higuchi, T The Visual and Spatial Structure of Landscapes. Gihodo Publishing Co.Ltd., Tokyo. 2-5 p. Holden, A Environment and Tourism. Routledge, London. Jamulya dan Suratmon Woro Suprojo, Pengantar Geografi Tanah. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Kamiso, H.N. et al Studi Rencana Pembangunan pelabuhan Perikanan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir. PUSTEK Kelautan UGM Dinas Perikanan Provinsi DIY. Kay, R., and J. Alder, Coastal Planning and Management. An Imprint of Routledge. London and New York. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia Konsepsi Pembangunan Kepariwisataan Indonesia. Jakarta. Ketchum, B.W., Water s Edge : Critical Problems of The Coastal Zone. MT.Press, Massachusetts. King, Beaches and Coast. Edward Arnold Publising, London. Kramadibrata, Soejono, Perencanaan Pelabuhan. Penerbit ITB, Bandung Kusumastanto, T Reposisi Marine Police Pembangunan Kelautan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ligterink, G.H Dasar-Dasar Fotogrametri Interpretasi Foto Udara. Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Lillesand, T.T, dan R.W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Edisi terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lynch, K Site Planning. The MIT Press. Mac Kinnon, J., M.K. Kathy, C. Graham, and T. Jim Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

194 174 Malingreau, J.P., & R. Christiani, A Land Cover/Land Use Classification for Indonesia---First Revision. The Indonesian Journal of Geography, 11 (41), Marimin, Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT.Grasindo, Jakarta. Maryadi, D Peluang Pengembangan Ekowisata di Kawasan Rawa Danau dan Sekitarnya, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Meitner, M.J., and T.C. Daniel Vista Scenic Beauty Estimation Modelling : AGISApproach. ap202/p202.htm. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pengelolaan Wilayah Pesisir. Proyek Penelitian Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pencemaran Laut. Jakarta. Muhammadi, Erman Aminullah, dan Budhi Soesilo Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press, Jakarta. Nugroho, E Citra Satelit Resolusi Spasial Sangat Tinggi dalam Kaitannya dengan Perkembangan Industri Geoinformasi di Indonesia, dalam Danoedoro, P Sains Informasi Geografis : Dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Nuryanti, W., Perencanaan Pembangunan Regional dan Kawasan untuk Kepariwisataan Alam. Yogyakarta. Pethic, J An Introduction to Coastal Geomorphology. London : Edward Arnold. Prahasta, E Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika Bandung. Pratikto, W.A., Haryo, D.A., dan Suntoyo Perencanaan Fasilitas Pantai dan Laut. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Yogyakarta. Polunin, N.V The Marine Resources of Indonesia. Oceanogr.Mar.Biol. Annu. Rev. 21:

195 175 Purnomo, Hadi Pemanfaatan Foto Udara Inframerah Berwarna untuk Pemetaan Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Progo Bagian Hilir, Sentolo, Yogyakarta. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rahardjo, N Sebaran Tipe Pantai dan Karakteristik Lingkungan di Pantai Selatan Jawa Barat. Majalah Geografi Indonesia, Volume 17, Nomor 2, September ISSN Diterbitkan oleh Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Rahayu, L Interpretasi Ekosistem. Tulisan Pendukung dalam Buku Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Ugm. Yogyakarta. Rahmafitria, F Evaluasi Lanskap Tepian Sungai Perkotaan Melalui Pendekatan Kualitas Visual dan Kualitas Lingkungan (Studi Kasus : Tepian Sungai Cisadane, Wilayah Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rangkuti, F Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis- Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ritter, D.F Process Geomorphology, Edisi III. Wm.C.Brown Publ, Dubuque. Ross. W.G Technical Manual for Coastal Land Use Planning. A How-To Manual for Addressing the Coastal Resources Commission s 2002 Land Use Planning Guidelines. Department of Environment and Natural Resources. North Carolina. Salm, R.V., R.C. John. and Erkki, S Marine and Coastal Protected Areas : A Guide for Planners and Managers (Third Edition). IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Setiyono, Heryoso Kamus Oseanografi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Skidmore, A.K Environmental Modelling Using Remote Sensing and GIS. Taylor and Francis, London. Snead, R.E Coastal Landforms and Surface Features. Hutchinson Press. Stroudsburg. Soeriaatmadja Prospect of Developing Marine and Beach Tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung

196 176 Soetoto Interpretasi Citra untuk Survei Geologi. PUSPICS Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Steinitz, C Toward a Sustainable Landscape With High Visual Preference and High Ecological Integrity : The Loop Road in Acadia National Park, U.S.A. Landscape Urban Planning. 19: p. Steyaert, L.T A Perspective on the State of Environment Simulation Modelling. Environmental Modelling with GIS. Goodchild, Park, Steyaert. Oxford University Press, New York. Suanda, Risyanto, Penggunaan Foto Udara dan Sistem Informasi Geografis untuk Perencanaan Lokasi Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pantai Jembrana Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sudjana, Metode Statistika. Penerbit Transito Bandung. Suharsono, P Identifikasi Bentuklahan dan Interpretasi Citra untuk Geomorfologi. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Suharyadi dan Danoedoro Sistem Informasi Geografis : Konsep Dasar dan Beberapa Catatan Perkembangannya Saat Ini, dalam Danoedoro, P Sains Informasi Geografis : Dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Sulthoni, A Pengembangan Ekowisata dalam Kawasan Konservasi. Penerbit Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Sunarto, Sumberdaya Lanskap dalam Pengembangan Kepariwisataan di Indonesia. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta Sunarto, Kausalitas Poligenetik dan Ekuilibrium Dinamik Sebagai Paradigma Dalam Pengelolaan Ekosistem Pesisir. Prosiding. Seminar Nasional Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Pulau-Pulau Kecil dalam Konsteks Negara Kepulauan. Badan Penerbit Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. Sunarto, Geomorfologi Kepesisiran dan Peranannya dalam Pembangunan Nasional Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala pada Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Sunarto, Geomorfologi Pantai : Dinamika Pantai. Laboratorium Geomorfologi Terapan Jurusan Geografi Fisik-Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.

197 177 Sutanto Penginderaan Jauh. Jilid 1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sutikno Karakteristik Bentuk dan Geologi Pantai di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Yogyakarta. Thurman,H.V Introductory Oceanography. Bell & Howell Co. Columbus. Trenhale, A.S Coastal Dynamics and Landforms. Oxford Uniuversity Press. Oxford, UK Triatmodjo, Bambang Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta. Van Zuidam, R.A. and van Zuidam-Cancelado Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photographs: A Geomorfological Approach, ITC Textbook Vol. VII Ch.6, ITC, Enschede. Verstappen The Use of Aerial Photographs in Geomorphological Mapping. ITC the Netherlands. Wong, P.P Coastal Tourism in Southeast Asia. ICLARM Education Series 13, 40p. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. Wuryani, Esti Pemanfaatan Citra Digital Landsat 7 ETM+ untuk Penentuan Kedalaman Laut Dangkal di Perairan Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yoeti, O.A Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung. Yu, K Cultural Variation in Landscape Preference : Comparisons Among Chinese Sub-Group and Western Design Expert. Landscape and Urban Planning p. Yu, K Local People and Tourist : Two Models of Change : a case Study of Red Stone National Park, China. Conference paper on 32 nd IFLA World Conggress. Thailand. Yulianda, F., Ekowisata Bahari sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah Seminar. Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB. Bogor Yusuf, Daud Aplikasi Foto Udara dan SIG untuk Pemilihan Letak (Site Selection) Jalur Jalan Alternatif antara Panggang Wonosari Kabupaten Gunungkidul. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

198 L A M P I R A N 178

199 Lampiran 1. Urutan Nilai SBE Lanskap dari yang Terbesar sampai Terkecil 238,22 221,78 207,9 207,11 206,78 204,3 202,67 181,4 180,4 179, ,6 172,89 172,7 172,4 171,67 168,8 168,56 165,2 157, , ,6 152,44 144,33 144,2 143,11 143,1 142,7 140,67 139,9 136,2 134, , ,3 123

200 ,22 121,22 116,6 113,9 107,1 97,2 96,56 95,44 82,67 82, ,22 66,11 63,89 48,11 47,89 35,78 20,33 14,22 0,00 120,11 99, ,33 53,22 26, ,67 84,11 66, ,33

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM

KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM KAJIAN TIPOLOGI FISIK PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR NURUL KHAKHIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

VI. PEMBAHASAN. Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara lebih jelas tentang hasil penelitian yang telah dihasilkan pada penelitian ini.

VI. PEMBAHASAN. Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara lebih jelas tentang hasil penelitian yang telah dihasilkan pada penelitian ini. VI. PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini akan diuraikan secara lebih jelas tentang hasil penelitian yang telah dihasilkan pada penelitian ini. 6.1. Relief Kondisi relief yang relatif datar sampai landai yang

Lebih terperinci

Nurul Khakhim Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Tlp (0274) , Fax. (0274) ,

Nurul Khakhim Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Tlp (0274) , Fax. (0274) , ANALISIS PREFERENSI VISUAL LANSKAP PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNTUK PENGEMBANGAN PARIWISATA PESISIR MENUJU PADA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN Nurul Khakhim Fakultas Geografi Universitas

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir) Adipandang Yudono 12 GEOLOGI LAUT Geologi (geology) adalah ilmu tentang (yang mempelajari mengenai) bumi termasuk aspekaspek geologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Geomorfologi Bentuk lahan di pesisir selatan Yogyakarta didominasi oleh dataran aluvial, gisik dan beting gisik. Dataran aluvial dimanfaatkan sebagai kebun atau perkebunan,

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Wilayah Pesisir Pacitan

Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Wilayah Pesisir Pacitan ISSN 0853-7291 Evaluasi Kemampuan Lahan untuk Mendukung Pengembangan Pariwisata Wilayah Pesisir Pacitan Agus AD. Suryoputro 1 *, Denny Nugroho S 2 1) Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 34 III. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1. Alat Penelitian 1. Global Positioning System (GPS) Receiver tipe navigasi, untuk mengetahui posisi titik di permukaan bumi berbasis satelit

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi PENENTUAN JALUR WISATA BERDASARKAN POTENSI OBYEK DI KABUPATEN KULONPROGO MELALUI PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat S-1 Program Studi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR PETA... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Evaluasi Kemampuan Lahan Ditinjau dari Aspek Fisik Lahan Sebagai Informasi Dasar untuk Mendukung Pengembangan Wisata Pantai Srau Kabupaten Pacitan

Evaluasi Kemampuan Lahan Ditinjau dari Aspek Fisik Lahan Sebagai Informasi Dasar untuk Mendukung Pengembangan Wisata Pantai Srau Kabupaten Pacitan ISSN 0853-7291 Evaluasi Kemampuan Lahan Ditinjau dari Aspek Fisik Lahan Sebagai Informasi Dasar untuk Mendukung Pengembangan Wisata Pantai Srau Kabupaten Pacitan Agus. A. D. Suryoputro Jurusan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORITIS

II. KERANGKA TEORITIS 7 II. KERANGKA TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pesisir Berkaitan dengan definisi wilayah pesisir, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : YOGA

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Diketahui bahwa Papua diberi anugerah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya hayati dan sumberdaya non-hayati. Untuk sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menuju kemandirian ( Bandung, 1995 ), p. III-1

BAB I PENDAHULUAN. Menuju kemandirian ( Bandung, 1995 ), p. III-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kondisi Kelautan Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas kepulauan Indonesia mencapai 2,82 juta km 2 dengan teritori 0,42 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dari sisi geografi dan letaknya merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut. Wilayah ini memiliki keunggulan berupa potensi ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ketika kesetimbangan neraca air suatu daerah terganggu, maka terjadi pergeseran pada siklus hidrologi yang terdapat di daerah tersebut. Pergeseran tersebut dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 3.1 Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 3.1 Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 22 BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.1.1 Letak Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang terdapat

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSETUJUAN... KATA PENGANTAR... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR PETA... INTISARI... ABSTRACT... i ii iii iv

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gumuk Pasir (sand dunes) merupakan bentukan alam berupa gundukangundukan pasir menyerupai bukit akibat pergerakan angin (eolean). Istilah gumuk berasal dari bahasa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan saat ini semakin meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk tidak hanya dari dalam daerah, namun juga luar daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN Mata Kuliah : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kode MK : M10B.111 SKS : 3 (2-1) DOSEN : Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi.,., MSc. DASAR-DASAR PENGELOLAAN PESISIR UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SPASIAL PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM KONTEKS UUK DIY

KARAKTERISTIK SPASIAL PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM KONTEKS UUK DIY KARAKTERISTIK SPASIAL PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM KONTEKS UUK DIY Oleh: Oleh: Suhadi Purwantara 1, Sugiharyanto 2, Nurul Khotimah 3 Jurusan Pendidikan Geografi, FIS UNY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 99.093km, sehingga memiliki potensi sumberdaya pesisir

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA

Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA Geomorfologi Terapan INTERPRETASI GEOMORFOLOGI CITRA SATELIT SEBAGAI DASAR ANALISIS POTENSI FISIK WILAYAH SELATAN YOGYAKARTA A. Pendahuluan Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk muka

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata Pada dasarnya pengembangan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR Oleh : Sunarto Gunadi *) Abstrak Lahan pesisir sesuai dengan ciri-cirinya adalah sebagai tanah pasiran, dimana dapat dikategorikan tanah regosal seperti

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA DIGITAL ALOS AVNIR-2 DAN SIG UNTUK EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DI WILAYAH PESISIR BANTUL

PEMANFAATAN CITRA DIGITAL ALOS AVNIR-2 DAN SIG UNTUK EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DI WILAYAH PESISIR BANTUL PEMANFAATAN CITRA DIGITAL ALOS AVNIR-2 DAN SIG UNTUK EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DI WILAYAH PESISIR BANTUL Rr. Anna Dyah Retno Manuhoro annadyahretno@gmail.com Nurul Khakhim nrl_khakhim@yahoo.com Ibnu Kadyarsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pantai adalah wilayah perbatasan antara daratan dan perairan laut. Batas pantai ini dapat ditemukan pengertiannya dalam UU No. 27 Tahun 2007, yang dimaksud dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Dinamika morfologi muara menjadi salah satu kajian yang penting. Hal ini disebabkan oleh penggunaan daerah ini sebagai tempat kegiatan manusia dan mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci