BAB III PUTUSAN PANGAWAS PEMILU YANG BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
|
|
- Harjanti Sugiarto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB III PUTUSAN PANGAWAS PEMILU YANG BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Model Penyelesaian Sengketa Pemilu di Indonesia Pengertian sengketa Pemilu sebagaimana disebutkan dalam undang-undang di Indonesia cenderung sempit, yaitu sengketa tata usaha negara pemilihan umum yang ditangani pengadilan tata usaha negara, sengketa pemilihan umum yang ditangani oleh Bawaslu dan Panwas, dan perselisihan hasil pemilihan umum yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Sengketa tata usaha negara (TUN) pemilihan umum memiliki pengertian yang lebih jelas, yaitu gugatan warga negara terhadap keputusan Badan atau Pejabat TUN pemilihan umum atau pemilihan (Pilkada). Sejumlah contoh sengketa tata usaha negara pemilu baik pemilu legislatif yaitu DPR/DPD dan DPRD, pemilu presiden maupun pemilu kepala daerah) dapat disebutkan di sini antara lain; gugatan partai politik yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu terhadap keputusan KPU tentang partai politik peserta pemilu, gugatan bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terhadap Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, gugatan seorang bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota
2 terhadap keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota tentang Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 127 Sebelum ada Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, sengketa pemilu yang ditangani oleh Bawaslu/Panwas tidak begitu jelas cakupannya. Salah satu tugas Bawaslu/Panwas menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum tetapi tidak disebutkan secara konkrit jenis sengketa yang dimaksud. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD memberikan sedikit kejelasan pada Pasal 268 dan Pasal 269. Dalam pasal ini disebutkan dua jenis sengketa Pemilu, yaitu gugatan terhadap keputusan KPU tentang partai politik peserta pemilu, dan gugatan terhadap keputusan KPU tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada awalnya partai atau calon yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta atau calon mengajukan gugatan kepada Bawaslu terhadap keputusan Bawaslu tidak final mengikat karena keputusan Bawaslu masih dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Selain ketentuan seperti ini tidak ada lagi keterangan atau penjelasan tentang sengketa Pemilu yang ditangani Bawaslu/Panwas sehingga sengketa Pemilu yang ditangani Bawaslu/Panwas adalah sengketa Pemilu diluar kedua hal tersebut tetapi tidak termasuk perselisihan hasil pemilu yang ditangani mahkamah konstitusi (MK) Irvan Mawardi, Dinamika Sengketa Hukum Administrasi di Pemilukada, Rangkang Education, 2014, hal. XVII 128 Ibid.
3 1. Mekanisme Pencegahan Sengketa Pemilu Mekanisme pencegahan sengketa Pemilu di Indonesia pada dasarnya sudah terbentuk tetapi masih memerlukan sejumlah perbaikan. Pertama, dari segi kepastian hukum masih diperlukan perbaikan pada cakupan yang diatur dalam undang-undang yang mengatur Pemilu. Apa saja cakupan ketentuan administrasi pemilu beserta sanksinya, apa saja kewenangan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota untuk menegakkan ketentuan administrasi pemilu. Apa saja cakupan sengketa yang ditangani Bawaslu/Panwas. Apa saja cakupan kode etik penyelenggara pemilu (yang dalam praktek telah memasuki hukum positif, bahkan dalam beberapa kasus mengambil alih kewenangan PTUN ataupun Mahkamah Konstitusi) dan hukum acara untuk semua jenis ketentuan yang mengatur pemilu, termasuk penentuan jangka waktu yang ditentukan dalam menangani setiap kasus. 129 Kedua, badan/lembaga yang menyelesaikan sengketa pemilu atau pemilihan juga sudah terbentuk walaupun masih memerlukan perbaikan. Karena keputusan yang diambil badan ini tidak hanya harus adil tetapi juga tepat waktu, maka patut dipertanyakan apakah peran Bawaslu/Panwas untuk menampung dan mengkaji pengaduan (dari pemilih, peserta pemilu atau pemantau pemilu) sebelum diteruskan kepada Kepolisian masih diperlukan. Proses penegakan ketentuan pidana pemilu ataupun proses penegakan ketentuan administrasi pemilu jauh lebih terikat daripada proses penegakan hukum pidana pada umumnya, pada kendala waktu karena harus sudah tuntas sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu. Pintu masuk proses penegakan hukum pidana pada umumnya hanya kepolisian, pintu 129 Ibid. hal. XX
4 masuk proses penyelesaian tindak pidana korupsi tidak hanya kepolisian tetapi juga kejaksaan dan komisi pemberantasan korupsi (KPK), sedangkan pintu masuk untuk proses penegakan ketentuan pidana pemilu atau pidana pemilihan hanya melalui Bawaslu/Panwas. Apabila Bawaslu/Panwas menjadi pintu masuk proses penegakan ketentuan pidana pemilu, maka waktu yang diperlukan akan sangat panjang karena melibatkan 4 atau 5 lembaga: Bawaslu/Panwas, Kepolisian, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Tinggi (kalau ada upaya hukum). Kehadiran sejumlah lembaga negara untuk menyelesaikan berbagai jenis sengketa pemilu niscaya mampu mengurangi kekerasan pemilu (electoral violence) karena ketidak-puasan atau perasaan diperlakukan tidak adil dapat disalurkan secara hukum melalui satu atau lebih saluran yang tersedia. Pada saat proses penyelenggaraan pemilu semua badan yang bertugas menyelesaikan sengketa membuka diri terhadap pengaduan. Bawaslu beserta seluruh jajarannya di daerah membuka diri bagi pengaduan mengenai dugaan pelanggaran. Ketentuan administrasi pemilu, dugaan pelanggaran ketentuan pidana pemilu ataupun sengketa pemilu dari pemilih, peserta pemilu, ataupun pemantau pemilu. KPU beserta seluruh jajarannya di daerah bersiap mengambil kata putus perihal sengketa administrasi pemilu yang diajukan kepada Bawaslu/Panwas. Bahkan ketika melaksanakan proses penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, KPU beserta seluruh jajarannya juga harus siap menyelesaikan berbagai rekomendasi Bawaslu/Panwas mengenai dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan ketentuan administrasi pemilu. Bawaslu/Panwas menjalin kerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan
5 Agung dalam wadah sentra penegakan hukum terpadu (sentra gakkumdu) untuk memperlancar proses penegakan ketentuan pidana pemilu. 2. Penyelesaian Sengketa Pemilu Korektif Untuk memperbaiki kemungkinan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara dalam hal ini keputusan KPU yang keliru, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan upaya administrasi ke Bawaslu atau Panwas Kabupaten/Kota dan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara hingga Mahkamah Agung. Adapun beberapa keputusan KPU yang kerap menjadi objek sengketa pada tahapan pemilu antara lain : (a) Partai Politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai tidak memenuhi persyaratan menjadi Peserta Pemilu dapat mengajukan gugatan kepada Bawaslu. Akan tetapi keputusan Bawaslu terhadap gugatan atas keputusan KPU tersebut tidak bersifat final dan mengikat karena pihak yang tidak puas masih dapat mengajukan kasus tersebut kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal yang sama berlaku untuk keputusan KPU tentang daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD. Bakal calon Anggota DPR, DPD dan DPRD yang dinyatakan KPU tidak memenuhi persyaratan menjadi calon dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan KPU tersebut kepada Bawaslu. Keputusan Bawaslu mengenai gugatan terhadap Keputusan KPU tersebut tidak bersifat final dan mengikat karena pihak yang tidak puas masih dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
6 (b) Keputusan KPU yang tidak menyangkut partai politik peserta pemilu, daftar calon tetap anggota DPR, DPD dan DPRD dan hasil Pemilu secara nasional dapat digugat oleh pihak yang tidak puas kepada Bawaslu/Panwas. Putusan Bawaslu/Panwas tentang sengketa Pemilu diluar tiga tahapan Pemilu ini bersifat final dan mengikat. Berbagai keberatan diajukan oleh Saksi peserta pemilu dalam proses rekapitulasi hasil penghitungan suara kepada KPU/KPU Provinsi/KPU Kabuapten/Kota sehingga terjadilah sengketa tentang jumlah perolehan suara. Sengketa ini direspon oleh Bawaslu/Panwas dengan rekomendasi berupa penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara ulang yang harus ditindaklanjuti KPU beserta jajarannya. Tidak jarang keputusan KPU harus dikoreksi sesuai dengan kenyataan faktual tentang perolehan suara. 130 (c) Keputusan KPU tentang hasil Pemilu legislatif secara nasional, keputusan KPU tentang hasil pemilu presiden dan wakil presiden dan keputusan KPU Provinsi tentang hasil Pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan keputusan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat digugat oleh pihak yang tidak puas kepada Mahkamah Konstitusi. Putusan MK tentang perselisihan tentang hasil pemilu bersifat final dan mengikat. Kalau gugatan yang diajukan itu didukung bukti yang cukup, maka MK mengoreksi keputusan KPU tersebut. 130 Ibid. hal. XXIII
7 3. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu : Punitif Di Indonesia terdapat tiga jenis ketentuan pemilu yang apabila dilanggar (sengketa Pemilu) akan diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat punitif. Pertama, apabila pemilih, peserta pemilu atau pemantau pemilu mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran ketentuan administrasi pemilu, Bawaslu/Panwas akan segera melakukan penyelidikan apakah pengaduan itu memiliki bukti awal yang memadai untuk diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupten/Kota akan membahas dan mengambil keputusan atas kasus dugaan pelanggaran yang disampaikan Bawaslu/Panwas : apakah terbukti bersalah atau tidak terbukti bersalah. Sanksi administratif mulai dari peringatan sampai dengan pembatalan status sebagai peserta pemilu atau calon terpilih akan dapat diputuskan oleh KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupten/Kota apabila terbukti bersalah tergantung pada kasusnya. 131 Kedua, apabila pemilih peserta Pemilu atau Pemantau Pemilu mengajukan pengaduan tentang dugaan pelanggaran ketentuan pidana pemilu, Bawaslu/Panwas akan segera melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, yaitu apakah dugaan pelanggaran itu didukung oleh bukti awal yang memadai untuk diteruskan kepada Polri. Bila Polri menilai kasus dugaan pelanggaran itu memenuhi persyaratan, maka hasil penyidikan itu akan diteruskan kepada Kejaksaan Negeri sebagai Penuntut Umum. Bila dinilai memenuhi persyaratan sebagai dugaan pelanggaran ketentuan pidana pemilu, Kejaksaan akan menyampaikan kasus itu kepada Pengadilan Negeri untuk diputus. Bila Pengadilan Negeri menilai apa yang dituduh kejaksaan terbukti 131 Ibid, hal xxiv
8 secara meyakinkan (beyond reasonable doubt), maka Pengadilan Negeri akan menjatuhkan sanksi pidana penjara dan denda kepada terdakwa. Bila tidak puas dengan Putusan Pengadilan, terpidana atau pengacaranya berhak mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dan ketiga, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan segera melakukan penyelidikan apabila menerima pengaduan mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara pemilu. Apabila kasus yang diajukan dinilai didukung bukti yang kuat, maka DKPP akan mengenakan salah satu dari tiga sanksi berikut : peringatan tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap. Pada awalnya, Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Akan tetapi atas permohonan Ramdansyah, mantan anggota Panwas DKI Jakarta, Mahkamah konstitusi mengambil putusan bahwa amar putusan DKPP tidak bersifat final dan mengikat karena pihak yang tidak puas masih dapat melakukan upaya hukum berupa naik banding kepada pengadilan tinggi tata usaha negara Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Alternatif Peran yang dilaksanakan Bawaslu beserta seluruh jajarannya di daerah untuk menyelesaikan sengketa pemilu sudah tidak bisa dikategorikan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pemilu informal karena sudah dilembagakan secara formal dengan peraturan perundang-undangan UU Nomor 15 Tahun 2011 dikuatkan dengan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 1 tahun Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, hal 74-75, diakses pada tanggal 25/11/2015 pkl wib
9 sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 8 tahun Bawaslu beserta aparatnya di daerah sesungguhnya dapat memainkan peran sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pemilu maupun pemilihan alternatif apabila membentuk dan mengembangkan sistem menampung dan merespon pertanyaan, keluhan, ataupun kesalah-pahaman dalam pelaksanaan tata cara setiap tahapan pemilu atau pemilihan kepala daerah. Hal yang terakhir ini dapat dikategorikan sebagai respon dini atas pertanyaan ataupun keluhan. Berbagai perkara atau sengketa pemilu atau sengketa pemilihan kepala daerah yang timbul karena ketidak-tahuan atau kesalah-pahaman dapat diselesaikan secara awal melalui mekanisme yang dimandatkan oleh undang-undang dan disusun oleh Bawaslu sebagai lembaga banding administrasi yang putusannya bersifat final dan mengikat tanpa membawa kasus ini kepada pengadilan murni. Sistem peradilan (adjudikasi) khusus yang mampu menyelesaikan sengketa semacam ini diharapkan semakin kuat dan dipercaya publik. 133 Penyelesaian sengketa inilah yang disebut sebagai penyelesaian sengketa alternatif melalui adjudikasi (peradilan) administrasi semu sambil menunggu adanya peradilan khusus pemilu yang defenitif pada pemilihan umum serentak nasional yang dicanangkan. B. Pengaturan Sengketa Administrasi Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pengaturan sengketa administrasi pemilihan kepala daerah (SAP) di Indonesia saat diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 Jo Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Ada tiga pasal penting dalam undang-undang ini, yang merupakan norma pengaturan sengketa 133 Ibid. hal. XXVI
10 maupun sengketa administrasi pemilihan kepala daerah. Lebih detail adapun norma hukum pengaturan sengketa itu dapat diurasikan sebagai berikut : Pasal 142 yang berbunyi, sengketa pemilihan terdiri atas: a. sengketa antarpeserta pemilihan; dan b. sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Pada Pasal 143 berbunyi sebagai berikut : (2) Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142. (3) Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan. (4) Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota melakukan penyelesaian sengketa melalui tahapan: a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; dan b. mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat. Sementara pada pasal 144, berbunyi sebagai berikut : (1) Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat.
11 (2) Seluruh proses pengambilan Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota wajib dilakukan melalui proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan Bawaslu. Jika mengacu kepada ketiga pasal pengaturan mengenai sengketa pemilihan dalam undang-undang ini, dapat ditarik unsur norma yang diatur yaitu : jenis sengketa pemilihan, otoritas hukum yang berwenang menyelesaikan sengketa (Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota), batas waktu penyelesaian, cara penyelesaian, sifat keputusan dan prinsip pertanggungjawaban. Walau demikian perlu dipertegas keputusan KPU yang mana saja yang dapat dijadikan objek sengketa administrasi masih belum ada batasannya sehingga masih terlalu umum. Selebihnya, jika diamati, undang-undang memberikan delegasi kewenangan untuk mengatur tata cara penyelesaian sengketa itu dengan suatu peraturan bawaslu. Perihal pendelegasian kewenangan ini, memang secara hukum dikenal dengan kewenangan legislasi limpahan (delegated legislation). Oleh sebab peraturan tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar selalu berbentuk Undang-Undang, wet, gessetz, law, atau legislative acts yang disebut dengan nama-nama lainnya, dan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, yang berwenang membentuk undang-undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Menurut pendapat Jimmly : Apabila ketentuan itu belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan itu baru dapat dilakukan dengan tiga (3) alternatif syarat, yaitu (a) adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan dan
12 bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan, (b) adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan, atau (c) adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari undangundang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi. 134 Maka dengan demikian ketentuan tata cara penyelesaian sengketa yang diatur dengan suatu Peraturan Bawaslu merupakan ketentuan yang memiliki kekuatan mengikat karena diperintahkan dengan tegas oleh undang-undang. Masalahnya, memang undang-undang telah memberi perintah dengan tegas tentang pengaturan lebih lanjut yaitu dengan bentuk Peraturan Bawaslu, akan tetapi siapa subjek yang berwenang membentuk Peraturan Bawaslu itu tidak dengan tegas diperintahkan oleh perundang-undangan. Secara logika hukum bahwa yang berwenang untuk membentuk peraturan bawaslu adalah Bawaslu Republik Indonesia (Bawaslu RI) namun undang-undang mestinya tegas memerintahkan. Ke depan dalam penyempurnaan aturan hukum perundangan-undangan perlu mempertegas tugas dan kewenangan Bawaslu untuk membentuk Peraturan Bawaslu sebagai turunan pelaksanaan dari peraturan perundangan diatasnya. Kembali ke istilah atau konsep sengketa administrasi dalam Pilkada pada sistem hukum yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 belum sepenuhnya dibahas dan diatur secara utuh dan sistematis. Hal ini misalnya dapat dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Jo.Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 Jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu. Bahkan 134 Jimly Assshiddiqie, Op.Cit, hal. 266
13 apabila ditarik lebih jauh bahwa ketentuan perundang-undangan tentang Pemilu selama ini khususnya dalam ketentuan hukum Pilkada, perumus undang-undang belum pernah merumuskan defenisi tentang sengketa Pemilu atau sengketa Pilkada secara tegas. Bisa dilihat bahwa panitia pengawas pemilu yang dibentuk menjelang Pemilu 2014 mendefenisikan sengketa pemilu sebagai berikut : sengketa yang timbul akibat adanya : (a) perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; (b) keadaaan dimana terdapat pengakuan yang berbeda dan/atau penolakan penghindaran antarpeserta pemilihan atau antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan; dan (c) keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota. Dalam materi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 ini, telah mengenal sengketa yang menghadapkan antarpeserta Pilkada atau antara peserta Pilkada dengan penyelenggara Pilkada. Ketika KPUD (Provinsi atau Kabupaten/Kota) mengeluarkan surat keputusan (SK) penetapan pasangan calon dalam Pilkada maka keputusan KPUD tersebut sesungguhnya belum bersifat final dan mengikat dalam arti masih dapat diajukan upaya keberatan kepada Bawaslu/Panwas sesuai tingkatannya yaitu banding administrasi (administrative beroep atau administrasi appeals). Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya sengketa yang dapat diajukan kepada Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah adanya surat keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha
14 Negara dalam hal ini KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota. Tanpa adanya surat keputusan, mustahil ada sengketa tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon, dasar lahirnya sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara, sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah ketetapan berupa keputusan (beschikking). Sehingga dalam hal ini, defenisi atau konsep tentang sengketa administrasi dalam Pilkada harus jelas dan terukur agar para pihak yang berselisih memiliki perangkat dan aturan yang jelas sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 masih belum begitu konkrit mendefeniskan sengketa Pilkada, namun hanya berupa pembedaan jenis sengeta yang timbul dalam proses penyelenggaraan Pilkada. Dalam hal ini, sengketa administrasi dalam Pilkada dapat didefenisikan sebagai sengketa yang timbul dalam bidang administrasi pemilihan antara masyarakat (bakal pasangan calon dan /atau pasangan calon maupun partai politik pengusung bakal pasangan calon dan/atau partai politik pengusung pasangan calon) dengan penyelenggara pemilihan (KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang merugikan kepentingan hukum seseorang atau badan hukum. Salah satu contoh kongkret dari sengketa administrasi dalam Pilkada adalah sengketa yang timbul akibat keputusan KPU yang tidak meloloskan bakal calon kepala daerah menjadi calon tetap kepala daerah. Pada fase atau tahapan pencalonan ini sering muncul gugatan hukum berupa keberatan atau ketidakpuasan pasangan calon atau peserta pemilihan terhadap surat keputusan yang dikeluarkan oleh KPU
15 Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tersebut. Untuk itu, sekali lagi, perlu mempertegas dan memperjelas definisi dan jenis keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang mana saja yang dapat dijadikan objek sengketa administrasi pemilihan agar tidak terlalu umum. Hal terakhir ini penting sehingga akan mempermudah dan dapat membedakan dengan objek sengketa tata usaha negara umumnya di pengadilan (PTUN). Mengapa demikian, karena Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 hanya menyebut sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. 135 Walaupun demikian, keputusan penetapan hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon bukanlah menjadi objek kewenangan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya. Untuk sengketa hasil yang disebut terakhir ini undang-undang memberi kewenangan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi hingga terbentuknya badan peradilan khusus 136. Mengacu kepada teori kepastian yang dikemukakan, Roscoe Pound, kepastian hukum mengandung pengertian akan adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Apa yang boleh dan tidak boleh dijadikan objek sengketa administrasi atau dengan kata lain keputusan TUN apa saja yang dibolehkan disengketakan kepada lembaga banding administrasi (Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota, haruslah jelas. Tentunya juga selain batasan jenis keputusannya, harus ada batasan secara kualitatif, 135 Lihat pasal 142 b) : sengketa pemilihan terdiri atas : dts b) sengketa antara Peserta Pemilihan dan penyelenggara Pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota 136 Lihat pasal 157 ayat 3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015
16 keputusan yang merugikan kepentingan hukum secara langsung dan dapat terbukti secara nyata saja yang dapat dijadikan objek hukum sengketa administrasi pemilihan. Sehingga dengan demikian aturan yang bersifat umum diketahui publik dan tidak menimbulkan tafsir. Kecuali itu, memang ada azas kekuasaan kehakiman, dimana hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan aturan kurang atau tidak jelas mengaturnya. C. Bawaslu/Panwaslu Sebagai Lembaga/Majelis Banding Administratif Dalam teori Lawrence Friedmen, penegak hukum merupakan bagian struktur yang penting dalam pembentukan sistem hukum. Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi atau lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah sistem hukum peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Mengenai hal ini Friedman menulis :.structure is the body, the framework, the longlasting shape of the system; the way courts of police depatements are organized, the lines of jurisdication, the table of organization. 137 (struktur adalah bodi atau kerangka, bentuk sistem yang bermotif, cara pengorganisasian pengaturan departemen kepolisian, garis-garis yurisdiksi, bagan organisasi). Komponen struktur hukum dalam hal ini mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu institusi tersebut adalah Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota diberikan kewenangan oleh peraturan 137 Lawrence M.Friedman, The Legal System, Op. Cit
17 perundangan untuk menjalankan fungsinya sebagai struktur lembaga atau majelis dalam sistem peradilan administrasi pemilihan pada Pilkada. Variabel penegakan hukum administrasi perlu dimasukkan pada sengketa pemilihan kepala daerah. Sebagaimana yang diungkapkan Lawrence, struktur adalah bodi atau kerangka, bentuk sistem yang bermotif, cara pengorganisasian pengaturan departemen kepolisian, garis-garis yurisdiksi, bagan organisasi. Komponen struktur hukum dalam hal ini mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum. Dikaitkan dalam sistem hukum Pilkada yang ada, salah satu institusi itu adalah Bawaslu dan Panwas Kabupaten/Kota yang menjalankan fungsinya sebagai struktur sistem peradilan administrasi Pilkada. Komponen struktur hukum (legal structure) yang menekankan pada upaya dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota yang memiliki kewenangan dalam memutus dan menyelesaikan adanya laporan pelanggaran atau sengketa administrasi dalam pelaksanaan tahapan Pilkada dan putusan Bawaslu/Panwas terhadap proses penyelesaian sengketa dan/atau pelanggaran administrasi pemilukada tersebut bersifat terakhir dan mengikat. Pelanggaran administrasi yang menjadi kewenangan Bawaslu/Panwas dalam hal ini objek sengketa hukum adalah setiap tindakan hukum administrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 yang telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu,
18 Bawaslu atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu/Panwaslu) adalah lembaga penyelenggara pemilu setara dengan KPU. Jika KPU memiliki fungsi pelaksana teknis penyelenggaraan pemilu, maka Bawaslu/Panwas memiliki fungsi pelaksana teknis pengawasan pemilu. Secara normatif, fungsi dan wewenang pengawas pemilu atau pengawas pemilihan sudah diatur dalam undang-undang penyelenggara pemilu maupun secara khusus dalam undang-undang pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Komposisi Bawaslu mengalami perubahan setelah berlakunya Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu. Berdasarkan undang-undang ini keanggotaan Bawaslu/Panwaslu, dulunya kurang independen karena diisi unsur Kepolisian dan Kejaksaan, sekarang menjadi independen, tidak ada dari kedua unsur tersebut. Dengan demikian Bawaslu/Panwas adalah lembaga yang memiliki kemandirian dan kebebasan dari intervensi atau campur tangan dari pihak/institusi luar. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, eksistensi dan pengaturan Bawaslu dan Panwaslu telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan. Sebagaimana dijelaskan, jauh sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu, pengaturan tentang Bawaslu/Panwaslu mulai tercantum pada ketentuan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah khususnya diatur mekanisme pemilihan langsung kepala daerah dan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8
19 tahun 2015 terkait pemilihan gubernur/wakil gubernur,bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, salah satu persoalan Bawaslu atau Panwas (pengawas pemilihan) yang tidak berubah adalah terletak pada ketidakmampuannya menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat. Terlihat bahwa Bawaslu/Panwas (pengawas pemilihan) tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani laporan pelanggaran. Kondisi ini tentunya disebabkan pula oleh ada beberapa faktor penyebab. Namun sehubungan dengan berubahnya tuntutan perkembangan dan politik hukum kepemiluan di Indonesia, belakangan didasari oleh pembentuk undang-undang perlu memperkuat kewenangan pengawas pemilihan dimana perlu daya eksekusi dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi dengan berwenangnya menyelesaikan sengketa pemilihan yang terjadi dalam proses dan tahapan yang dilaksanakan oleh KPU dan jajarannya sesuai tingkatan. Salah satu adalah sengketa utama yang timbul dalam proses tahapan pemilihan adalah sengketa administrasi pemilihan sebagai akibat keluarnya keputusan KPU yang merugikan kepentingan calon atau peserta pemilihan maupun masyarakat. Adanya tuntutan atau perkembangan hukum yang memberikan ruang bagi pencari keadilan untuk menuntut hak-haknya yang dilanggar akibat adanya keputusan pejabat tata usaha negara dalam bidang pemilihan baik pemilihan legislatif, presiden/wakil presiden khususnya pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota merupakan suatu
20 kebutuhan. Sehingga dengan demikian sangat dibutuhkan suatu sarana atau wadah untuk memfasilitasi pencari keadilan dalam memperjuangkan keadilan dan kepastian dalam proses pemilu atau pemilihan dalam kerangka negara hukum Pancasila adalah suatu keniscayaan. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka timbulnya suatu sengketa tata usaha negara tersebut, bukanlah hal yang harus dianggap sebagai hambatan pemerintah (badan/pejabat TUN) dalam melaksanakan tugas di bidang urusan pemerintah, melainkan harus dipandang sebagai : Pertama, sudut pandang warga masyarakat, adalah merupakan pengejawantahan asas negara hukum bahwa setiap warga negara dijamin hak-haknya menurut hukum, dan segala penyelesaian sengketa harus dapat diselesaikan secara hukum pula; Kedua, Dari sudut pandang badan/pejabat TUN, adalah sarana atau forum untuk menguji apakah keputusan (beschikking) tata usaha negara yang diterbitkannya telah memenuhi asas-asas hukum dan keadilan melalui sarana hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara (undang-undang peratun), khususnya pasal 48 yang mengatur : dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana
21 dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Dengan merujuk kepada pasal 48 undang-undang Peratun dimaksud, klausul.. dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.. kita bandingkan apakah Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota dalam proses Pilkada diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, pada pasal 143 ayat (1) Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota berwenang menyelesaian sengketa pemilihan 138. Salah satu jenis sengketa pemilihan yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini adalah sengketa yang timbul akibat keluarnya keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota 139. Selanjutnya kembali merujuk lagi pasal 48 UU Peratun, klausul, untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka jika kita bandingkan dengan pasal 142 UU Nomor 1 Junto Nomor 8 tahun 2015 tersebut, salah satu jenis sengketa yang diatur adalah sengketa akibat keluarnya keputusan atau beschikking yang dikeluarkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, maka dengan demikian keputusan yang dikeluarkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah menjadi objek keputusan tata usaha negara yang dapat disengketakan karena dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha 138 Bandingkan UU Nomor 1 jo 8 tahun 2015, pasal 143 ayat (1) : Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal Bandingkan UU Nomor 1 jo 8 tahun 2015, pasal 142, sengketa pemilihan terdiri atas: (a) sengketa antarpeserta Pemilihan; dan sengketa antara peserta Pemilihan dan penyelenggara Pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
22 negara. 140 Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Bawaslu provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota merupakan badan atau pejabat tata usaha negara yang diberi wewenang oleh peraturan perundangan di bidang pemilihan kepala daerah untuk menyelesaikan sengketa administrasi tata usaha negara yang timbul dalam proses penyelenggaraan Pilkada. Maka Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam penyelesaian sengketa administrasi pada proses Pilkada mempunyai kedudukan sebagai wadah atau sarana perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan akibat keluarnya keputusan tata negara di lapangan pemilihan kepala daerah adalah rasional, untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan dengan adanya upaya administrasi berupa banding administrasi. Untuk memperjelas hal itu, dapat kembali dianalisis terhadap ketentuan undang-undang Pilkada ini yang menyebutkan bahwa pengajuan gugatan sengketa tata usaha pemilihan dapat dilakukan setelah seluruh upaya administrasi di pengawas pemilihan telah dilakukan. 141 Semakin memperkuat, apa yang dimaksud upaya administrasi dalam aturan hukum tata usaha usaha negara atau hukum administrasi 140 Bandingkan dengan UU Nomor 5 tahun 1986 (UU Peratun) pasal 1 poin : (1) Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; (2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; 141 Lihat Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015, pasal 153 : Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Pasal 154 ayat (1) : Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan.
23 negara sehingga dapat kita letakkan kedudukan lembaga pengawas pemilihan dalam penyelesaian sengketa administrasi pemilihan sebagai upaya perlindungan hukum apabila masyarakat ingin mencari perlindungan dan keadilan terhadap sengketa administrasi negara tersebut. Jika demikian adanya, maka Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam sengketa yang timbul dalam setiap tahapan Pilkada merupakan majelis banding administrasi atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai assemblies administrative appeal atau dalam bahasa Belanda assemblies administratief beroep. Maka dari itu, perlulah untuk semakin meyakinkan kedudukan suatu majelis banding administrasi (MBA) dalam sistem peradilan administrasi Pilkada, perlu pula dijelaskan dulu tentang upaya administrasi, keberatan dan banding administrasi dalam peristilahan sistem peradilan administrasi di Indonesia sehingga dapat membedakannya supaya tidak tumpang tindih pemahaman dan pemaknannya. a. Upaya Administrasi Sesungguhnya, eksistensi upaya administratif telah dikenal sejak lama dan telah memperoleh tempat serta pengakuan dalam tata hukum Indonesia, jauh sebelum UU No.5 Tahun 1986 memberikan tempat secara yuridis-formal sebagai bagian dari sistem peradilan administrasi. Eksistensi upaya administratif yang selama ini dikenal adalah dalam bentuk banding dan keberatan. Beberapa bentuk banding dan keberatan itu, kemudian dijadikan sebagai contoh dalam Penjelasan Pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 antara lain : Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK), Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)
24 dan Keputusan Gubernur mengenai UU Gangguan. Jadi upaya administratif bukan merupakan hal baru dalam tata hukum Indonesia. Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa tata usaha negara (TUN) oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Dalam hal penyelesaian keputusan tata usaha negara (KTUN) tersebut dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan "Banding Administrasi". Contoh : Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam hal penyelesaian keputusan tata usaha negara tersebut dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut dinamakan "keberatan". Berbeda dengan prosedur di peradilan tata usaha negara (PTUN), maka prosedur banding administratif dan prosedur keberatan dilakukan penilaian secara lengkap baik dari segi penerapan hukum (rechtmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaan (doelmatigheid) oleh instansi yang memutus. Lembaga upaya administratif ini dapat dilaksanakan apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan tersebut memberikan kemungkinan melalui prosedur tersebut. Pemahaman maksud pasal 48 berguna untuk menghindari kekeliruan yang bersifat prosedural ataupun keliru
25 memasukkan gugatan ke Pengadilan (PT TUN). Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk penyelesaian sengketa tata usaha negara tersebut melalui upaya administratif, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut penjelasan pasal 48 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 Jo Undang- Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peratun, ada dikenal dua (2) bentuk upaya administrasi yaitu : 1) Keberatan, dan 2) Banding Administrasi. 1) Keberatan Apabila penyelesaian sengketa tata usaha negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut, hal ini disebut upaya administras. Sebagai contoh : a. Pasal 27 Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang ketentuanketentuan Umum Perpajakan; b. Pemberian hukuman disiplin sedang dan berat (selain pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat bagi (PNS). 2) Banding Administrasi Apabila penyelesaian sengketa tata usaha negara tersebut dilakukan oleh instasi lain dari badan/pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha
26 negara yang bersangkutan. Hal ini disebut sebagai banding administrasi. Sebagai contoh : a. Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS b. Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) berdasar Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta c. Keputusan Gubernur, berdasar pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Gangguan, Staasblad 1926 No. 226; d. Keputusan Panitia Tenaga Kerja Migas di lingkungan Departemen Pertambangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi (PERTAMINA); e. Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten; f. Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek; g. Majelis Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi perpajakan; h. Dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan milik Negara dari PERJAN dan PERUM menjadi PERSERO (BUMN) tersebut membuat ketentuan sendiri tentang operasional, kepegawaian, dll. Pengujian (toetsing) dalam upaya administrasi berbeda dengan pengujian di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Di PTUN pengujiannya hanya dari segi
27 penerapan hukum sebagaimana ditentukan pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan (b) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, yaitu apakah keputusan tata usaha negara tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar asas-asas umum pemerintah yang baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya administrasi, pengujiannya dilakukan baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus, sehingga pengujiannya dilakukan secara lengkap. Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu keputusan tata usaha negara (KTUN) baik dari segi legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (win or loose) seperti halnya di lembaga peradilan (murni), tapi dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang menerbitkan surat keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya ditempuh. Sebagaimana diketahui, tidak semua peraturan dasar penerbitan keputusan tata usaha negara mengatur mengenai upaya administrasi, oleh karena itu adanya ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Junto Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Peratun merupakan aspek hukum yang sangat penting yang berkaitan dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadili sengketa tata
28 usaha negara. Pada tataran administrasi pemilihan kepala daerah, KPU (KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota tunduk kepada aturan dan perintah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, dimana aturan hukum perundang-undangan ini merupakan peraturan dasar penerbitan setiap keputusan tata usaha negara apapun dalam bidang pemilihan kepada daerah. Disini, jelas dikenal upaya administrasi dalam bentuk banding administrasi kepada lembaga Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya. Dengan demikian telah jelas upaya administrasi ini wajib ditempuh terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan kepada peradilan tata usaha negara yaitu pengadilan tinggi tata usaha negara (PT TUN). Sebagai gambaran terhadap upaya administrasi, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peratun, disebutkan, yang dimaksud upaya adiministratif adalah : a. Pengajuan surat keberatan (bezwaarscriff beroep) yang diajukan kepada badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan (penetapan/ beschikking) semula; b. Pengajuan banding administratif (administratif beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau Instansi Lain dari badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan tata usaha negara (KTUN) yang disengketakan. Dalam hal ini dapat dibedakan sebagai berikut :
29 a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan tata usaha negara. b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif, maka gugatan terhadap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) dalam tingkat pertama yang berwenang. Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan pengadilan baru berwenang memeriksa, menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan junto ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) apabila keputusannya merupakan keputusan banding administratif. Namun dari segi yuridis tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan, dapatkan sebuah Surat Edaran Mahkamah Agung merubah ketentuan (isi) sebuah pasal dalam undang-undang? 142 Bukankah hal ini berkaitan dengan persoalan kedaulatan rakyat, yakni persoalan hubungan antara kekuasaan pembuat undang-undang dengan kekuasaan Mahkamah Agung? Bagaimanakah kedudukan suatu undang-undang secara teoritis dan mengapa undang-undang tidak dapat diuji secara materiil? 142 Ibid
30 Bagi mereka yang telah menempuh upaya administratif dan tidak puas dengan keputusan tersebut, dapat mengajukan sengketanya ke pengadilan administrasi (murni) yang dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Administrasi. Ketentuan mengenai prosedur ini dimuat pada Pasal 51 ayat (3) UU No.5 Tahun 1986, yang berbunyi : Pasal 53 (1) dan seterusnya; (2) dan seterusnya; (3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 48. Dengan dijadikannya pengadilan tinggi administrasi yang seharusnya sebagai pengadilan tingkat banding, menjadi pengadilan tingkat pertama dalam hal tersedia upaya administratif, berakibat pengadilan tinggi administrasi mempunyai tugas dan wewenang lain, di samping tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara di tingkat banding. Hal ini merupakan pengecualian dan bahkan penyimpangan dari ketentuan pasal 6 butir b UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum. 143 Akibat bergesernya posisi tugas dan wewenang pengadilan tinggi administrasi tersebut, ternyata telah menimbulkan loncatan atau lompatan. Terjadinya loncatan atau lompatan itu menurut Sjachran Basah, 144 : dapat berakibat negatif, berupa kerugian hilangnya suatu tingkatan dan kesempatan memperoleh saluran peradilan administrasi (murni). Justiciabelen kehilangan satu kesempatan memperoleh sarana untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum. Hal demikian tidak sesuai dengan tolak ukur atribusi vertikal, meskipun keduanya, yakni Peradilan tingkat pertama dan Peradilan Tingkat Banding merupakan peradilan judex facti. 143 Pasal 6 butir b UU Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, berbunyi : pengadilan tinggi merupakan pengadilan tingkat banding 144 Sjachran Basah, Menelaah Liku-Liku RUU tentang PTUN, Alumni, 1986, hal 67
31 Adanya peradilan banding sebagai peradilan tingkat pertama seperti peradilan administrasi ini, bukan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Dalam perkara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, bagi yang merasa tidak puas terhadap Keputusan Presiden mengenai kecilnya uang ganti rugi, dapat menagajukan gugatan ke pengadilan tinggi dalam wilayagh hukum di mana lokasi tanah itu terletak. 145 Karena bergesernya tugas dan wewenang pengadilan tinggi administrasi menjadi pengadilan tingkat pertama, maka ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke pengadilan tinggi administrasi. Ketentuan pasal 48 di atas telah menimbulkan interprestasi yang bermacammacam, seperti dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) mengenai ketentuan prosedur keberatan, dapat langsung diajukan ke pengadilan administrasi tingkat pertama. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh berkenaan dengan ketentuan pasal 48 tersebut antara lain : 1. Banding administratif baru boleh ditempuh berkenaan dengan keberatan ditempuh lebih dahulu; 2. Banding administratif dapat langsung ditempuh, meskipun prosedur keberatan tersedia untuk itu; 3. Banding administratif atau prosedur keberatan ditempuh sesuai dengan perintah atau ketentuan peraturan perundang-udnangan yang menjadi dasar ditempuhnya banding administratif atau prosedur keberatan. 145 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973 tentang Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya
SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA
SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : Herma Yanti ABSTRAK Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD telah
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 119/PUU-XII/2014 Pengujian Formil Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu 2/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB I KETENTUAN UMUM
- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB III BAWASLU DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU. A. Kewenangan Bawaslu dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu
41 BAB III BAWASLU DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILU A. Kewenangan Bawaslu dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu Pemilihan umum merupakan pesta demokrasi yang dilakukan untuk memilih seorang pemimpin.
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG
1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.983, 2013 KEPOLISIAN. Penyidikan. Tindak Pidana. Pemilu. Tata Cara. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENYIDIKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses panjang sistem ketatanegaraan dan politik di Indonesia telah mengalami suatu pergeseran atau transformasi yang lebih demokratis ditandai dengan perkembangan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 11 TAHUN
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XI/2013 Tentang Pemberhentian Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu I. PEMOHON Ramdansyah, S.S,, S.Sos, S.H, M.KM. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 28
Lebih terperinci2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.773, 2015 BAWASLU. Pemilihan Umum. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
Lebih terperinciPenegakan Hukum Pemilu
Penegakan Hukum Pemilu Ketika Komisi Pemilihan Umum menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum menilai legitimasi suatu proses penyelenggaraan pemilu dari dua segi. Pertama, apakah
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciNaskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di
BEBERAPA MASUKAN UNTUK PERUBAHAN UU PEMILU LEGISLATIF A. Umum Meski Pemilu 2004 dinilai berlangsung cukup lancar, namun banyak pihak yang merasa kecewa atas penyelenggaraan pemilihan umum tersebut, terutama
Lebih terperinci2017, No Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2
No.810, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DKPP. Kode Etik. Perubahan. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciPOLA PENEGAKAN HUKUM PEMILU Oleh: Arief Budiman Ketua KPU RI Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, 12 Desember 2017
POLA PENEGAKAN HUKUM PEMILU 2019 Oleh: Arief Budiman Ketua KPU RI Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, 12 Desember 2017 LANDASAN HUKUM Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciJAKARTA, 03 JUNI
KESIAPAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PILPRES TAHUN 2014 Oleh: Basrief Arief JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Disampaikan Pada Acara Rapat Koordinasi Nasional Dalam Rangka Pemantapan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
Lebih terperinciDEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA
DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN BERACARA KODE ETIK PENYELENGGARA PEMIILIHAN UMUM DENGAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
Lebih terperinciBAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA
BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA A. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada di Mahkamah Agung 1. Tugas dan Kewenangan Mahkamah
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.907, 2012 DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU. Penyelenggara Pemilu. Pedoman. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Administratif di Badan Pertimbangan Kepegawaian dan Pengadilan Tata. Usaha Negara jika dilihat dari Tata Cara sebagai berikut :
132 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Persamaan Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Banding Administratif di Badan Pertimbangan Kepegawaian dan Pengadilan Tata Usaha Negara jika dilihat dari Tata Cara sebagai
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
1 PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM, Menimbang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.906, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemilu. Penyelenggara Kode Etik. PERATURAN BERSAMA KOMISI PEMILIHAN UMUM, BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM, DAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN BERSAMA KOMISI PEMILIHAN UMUM, BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM, DAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN 2012 NOMOR 11 TAHUN 2012 NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KODE ETIK PENYELENGGARA
Lebih terperinciDAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA
DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA NO NO. PUTUSAN TANGGAL ISI PUTUSAN 1 011-017/PUU-I/2003 LARANGAN MENJADI ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan
Lebih terperinciPemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN KETERANGAN DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.792, 2013 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM. Pemberian Keterngan. Perselisihan Hasil Pemilu. MK. Bawaslu. Tata Cara. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN
Lebih terperinciUPAYA ADMINISTRASI DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1
UPAYA ADMINISTRASI DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 Oleh : UJANG ABDULLAH, SH.,Msi. 2 1. PENDAHULUAN Dalam pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang baik yang menyangkut urusan eksternal (pelayanan
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA ANTARPESERTA PEMILIHAN UMUM DENGAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Lebih terperinciBAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada
BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada 1. Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 Mahkamah
Lebih terperinci2017, No sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huru
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1428, 2017 BAWASLU. Penanganan Pelanggaran Administrasi. Pencabutan. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUUXIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka I. PEMOHON 1. Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) (Pemohon I)
Lebih terperinciPILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)
PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah) R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 21 Mei 2008 Pokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reformasi memberikan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat pada hasil amandemen ketiga Undang-
Lebih terperinciSOP Sentra Gakkumdu dan Tantangannya. Purnomo S. Pringgodigdo
SOP Sentra Gakkumdu dan Tantangannya Purnomo S. Pringgodigdo Sentra Penanganan Hukum Terpadu, atau disebut Sentra Gakkumdu merupakan upaya untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu
Lebih terperinci2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P
No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PELAPORAN DAN PENANGANAN PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
Lebih terperinci2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent
No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Pengawasan dalam..., Ade Nugroho Wicaksono, FHUI, 2009
72 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pengawas pemilu adalah Panitia Pengawas dengan tingkatan yang berbeda yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilu. Pengawas pemilu adalah lembaga
Lebih terperinciHUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
HUKUM KEPEGAWAIAN SENGKETA KEPEGAWAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Administrasi Negara Rombel 05 Semester Genap 2016-2017 Dosen Pengampu : Dr.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciKUASA HUKUM Fathul Hadie Ustman berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 20 Oktober 2014.
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON Drs. Fatahillah, S.H.,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik. Rakyat, hakikatnya memiliki kekuasaan tertinggi dengan pemerintahan dari, oleh, dan untuk
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinci- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM
- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id
Lebih terperinciPEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008
PEMILIHAN UMUM R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008 Sub Pokok Bahasan Memahami Sistem Pemilu dalam Ketatanegaraan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBudi Evantri Sianturi 1, Fifiana Wisnaeni 2. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ABSTRAK
PENGUATAN KELEMBAGAAN PANWAS PEMILIHAN DALAM MENYELESAIKAN PELANGGARAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH (STUDI KASUS PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI, PIDANA, DAN KODE ETIK PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
Lebih terperinci2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In
No.1421, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU. Kode Etik Pegawai. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI BADAN PENGAWAS PEMILIHAN
Lebih terperinciRechtsVinding Online
KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN KONSULTASI YANG MENGIKAT BAGI PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 19 Juni 2016; disetujui: 8 Agustus 2016 Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU OLEH PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum Kewenangan absolut pengadilan dilingkungan peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1603, 2013 DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU. Kode Etik. Beracara. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada I. PEMOHON Dani Muhammad Nursalam bin Abdul Hakim Side Kuasa Hukum: Effendi Saman,
Lebih terperinciTANTO LAILAM, S.H., LL.M.
PENYELESAIAN SENGKETA HASIL PILKADA DI MAHKAMAH KONSTITUSI TANTO LAILAM, S.H., LL.M. PILKADA Sukses pilkada tidak hanya diukur dari tahapan perencanaan dan pelaksanaannya, namun juga penyelesaian sengketa
Lebih terperinciBEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1
BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1 Oleh: A. Mukthie Fadjar 2 I. Pendahuluan Salah satu kewenangan konstitusional yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (disingkat
Lebih terperinciPengantar. Purnomo S. Pringgodigdo
Pengantar Membaca peraturan perundang undangan bukanlah sesuatu yang mudah. Selain bahasa dan struktur, dalam hal Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tantangan ini bertambah dengan perubahan
Lebih terperinciADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI
ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI 2012-2017 KEPASTIAN HUKUM PILKADA UU NOMOR 8 TAHUN 2015 PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 7 huruf r Putusan Mahkamah Konstitusi
Lebih terperinci2 Mengingat : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambaha
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1985, 2014 PERATURAN BERSAMA. Pemilihan Umum. Penyelenggaraan. Tata Laksana. PERATURAN BERSAMA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen I. PARA PEMOHON 1. M. Fadjroel Rachman, Pemohon I 2. Saut Mangatas Sinaga, Pemohon II
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil
Lebih terperinci2018, No Pengadilan Tinggi diberi kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu; c. bahwa dengan berlakunya ke
No.452, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum. Pencabutan. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciKuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XIII/2015 Kualifikasi Selisih Perolehan Suara Peserta Pemilihan Kepala Daerah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan Hasil Penghitungan Perolehan
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN UMUM
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM DAN PENGGANTIAN CALON TERPILIH
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan
Lebih terperinciUU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Copyright (C) 2000 BPHN UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH *14124 UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa pemilihan umum secara langsung, umum, bebas,
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM,
1 PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGAWASAN PERGERAKAN KOTAK SUARA, REKAPITULASI HASIL PENGHITUNGAN SUARA, DAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik baik di pemerintah maupun di legislatif. Pelaksanaan pemilihan
Lebih terperinciKata Pengantar. Surabaya, 09 Mei Purnomo S. Pringgodigdo, SH., MH.
Kata Pengantar Buku ini merupakan e-book kedua yang saya hasilkan. Sebagaimana e-book yang pertama, buku ini juga merupakan hasil dari kegundahan ketika mempelajari pasal pasal yang ada, khususnya terkait
Lebih terperinciPemilihan Umum Kecamatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 187);
-2- Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta
Lebih terperinci