II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catcment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2004). Menurut Asdak (2004), DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu : daerah bagian hulu, daerah bagian tengah dan daerah bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air. Ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Tidak ada ukuran yang baku bagi suatu DAS, namun secara umum dapat diketahui dari panjangnya anak sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Batas DAS juga tidak identik dengan batas wilayah administrasi. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004) DAS mempunyai potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. DAS dapat dijadikan sebagai tempat dalam proses formulasi dan implementasi kegiatan masyarakat setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Potensi sumberdaya alam ini bersifat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya harus tidak melebihi daya dukungnya dengan memperhatikan kelestariannya agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada hakekatnya adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan

2 10 mereka (Soemarwoto, 2004). Dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan menurut Asdak (2004) dapat dicapai apabila perangkat kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : (1) Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan alat untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan. (2) Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada gilirannya, menurunkan tingkat kemakmuran rakyat pedesaan. (3) Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumberdaya alam tersebut di atas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir DAS, sehingga produk kebijakan yang dihasilkan tidak atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS. (4) Adanya ketidak-sesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administratif (politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi pandang tersebut di atas. (5) Kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan dilaksanakan, antara lain, yang mendorong semua aktor yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Berdasakan hal tersebut, maka dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan. Permasalahan yang sering dijumpai pada DAS adalah degradasi lahan, erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan, penurunan kuantitas dan kualitas air, serta pendangkalan sungai dan waduk. Permasalahan ini memerlukan penanganan yang serius dan harus dilakukan secara komprehensif. Upaya-upaya penanganan permasalah tersebut telah banyak dilakukan namun masih bersifat spasial, sebagai

3 11 contoh penanganan pendangkalan sungai dan waduk hanya ditangani dengan kegiatan pengerukan sedimen secara kontinyu, padahal kegiatan ini banyak menelan biaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2005) dalam studi valuasi ekonomi kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat menunjukkan bahwa kerusakan selama tiga tahun di daerah hilir sama dengan biaya rehabilitasi daerah hulu, sehingga akan lebih ekonomis jika rehabilitasi daerah hulu dilakukan secara tuntas daripada melakukan pengerukan sedimen dan menderita segala dampak banjir di daerah hilir setiap tahun. Namun demikian di dalam pemilihan teknik rehabilitasi hutan dan lahan perlu diperhatikan sifat DAS yang mencakup tanah, iklim, sungai, bukit dan masyarakat yang ada didalamnya. Oleh karena itu pertimbangan memilih teknologi itu adalah tercapainya sasaran rehabilitasi hutan dan lahan dalam kerangka meningkatnya kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani di sekitarnya. Kerusakan hutan dan lahan di daerah hulu DAS menyebabkan erosi tanah. Proses erosi dimulai dari penghancuran agregat-agregat tanah akibat pukulan air hujan atau gesekan aliran air yang mempunyai energi lebih besar dari daya tahan tanah. Menurut Agus dan Widianto (2004) ada lima faktor penentu besarnya erosi, yaitu jumlah dan intensitas hujan (erosivitas hujan), kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah), bentukan lahan (kemiringan dan panjang lereng), vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. erosivitas hujan merupakan sifat alam yang hampir tidak mungkin dikelola. Erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kandungan bahan organik. Kemiringan dan panjang lereng, vegetasi, dan faktor pengelolaan tanah adalah faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan jumlah erosi. Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah,

4 12 sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi tanah (Asdak, 2004). Tingginya laju erosi tanah dan sedimentasi antara lain disebabkan karena menurunnya fungsi hutan dan lahan. Hutan mempunyai efektifitas pengendalian erosi yang cukup tinggi apabila tanamannya mampu membentuk serasah pada permukaan tanah atau bila tajuknya tersebar sedemikian rupa mulai dari tajuk rendah sampai tajuk tinggi. Dengan demikian mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah tersebut adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan tanah. Menurut Agus dan Widianto (2004) untuk mengatasi tingginya erosi dan sedimentasi teknik konservasi yang dapat dilakukan di wilayah DAS adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS. Peningkatan fungsi filter ini dapat ditempuh dengan penanaman rumput, belukar, dan pohon pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen (sedimen trap). Apabila menggunakan metode vegetatif, maka penempatan tanaman di dalam suatu DAS menjadi penting. Penanaman tanaman permanen pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS, mungkin sudah sangat efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman tersebut ditanam pada tempat yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone riparian (zone penyangga di kiri kanan sungai) Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS) yang berdampak pada kondisi krisis sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Bertitik tolak dari fenomena tersebut pada tanggal 28 April 2005, Pemerintah c.q Presiden Republik Indonesia mencanangkan suatu gerakan yang disebut Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA). Gerakan ini merupakan wadah jaringan kemitraan dan keterpaduan tindak nyata dari berbagai

5 13 sektor, wilayah, para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya air dan merupakan gerakan bersama. GN-KPA bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS), sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali. Sasaran yang akan dicapai dari GN-KPA adalah merespon dekade air untuk kehidupan dan tercapainya tujuan pembangunan yang mencakup pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, peningkatan pertumbuhan ekonomi-sosial-budaya bangsa dan perlindungan ekosistem (Tim GN-KPA, 2006). Sebagai langkah awal implementasi kegiatan GNK-PA telah ditentukan lokasi program terpadu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo adalah merupakan salah satu Sub DAS kritis yang menjadi pilot project implementasi program jangka pendek GN-KPA dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air berupa konservasi sipil teknis dan vegetatif di hutan dan lahan masyarakat dengan menekankan peran serta masyarakat sebagai bagian integral dari ekosistem hutan.

6 14 Tabel 1 Program GN - KPA jangka pendek tahun No. Nama DAS Kegiatan 1. DAS Ciliwung Penataan ruang dan pengendalian daya rusak air 2. DAS Citarum Kualitas air dan konservasi 3. DAS Cimanuk Konservasi DAS hulu dalam pembangunan Waduk Jatigede 4. DAS Citanduy Pengendalian sedimentasi Segara Anakan dan konservasi 5. DAS Cisadea-Cimandiri Penyelamatan mata air dan air untuk rumah tangga 6. DAS Asahan Konservasi DAS 7. DAS Sungai Ular Penghematan air irigasi dan pengendalian banjir 8. DAS Way Seputih pengendalian sedimen dan konservasi hulu waduk Batu Tegi 9. DAS Bengawan Solo Rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air 10. DAS Brantas Pengendalian sedimen dan konservasi 11. DAS Palung (NTB) Penyediaan air baku dan konservasi 12. DAS Benanain (NTT) Pengelolaan air tanah dan embung 13. DAS Manggar (Kaltim) Konservasi dan illegal logging 14. DAS Mahakam (Kaltim) Air baku dan illegal logging 15. DAS Jeneberang Penyediaan air baku dan pengendalian sedimen 16. DAS Walanae Cenranae Konservasi DAS dan danau Tempe 17. DAS Sambas (Kalbar) Konservasi dan rehabilitasi hutan 18. DAS Barito (Kalteng) Konservasi DAS dan rehabilitasi hutan 19. DAS Membramo (Papua) Penataan ruang dan konservasi 20. DAS Digul (Merauke) Penyusunan pola pengelolaan sumberdaya air 21. DAS Batanghari (Jambi) penatan ruang, konservasi sumberdaya alam, penyelamatan hutan, perkebunan dan lahan Sumber : GN KPA, 2006 Tabel 2 Program GN - KPA jangka menengah tahun No. Nama DAS Kegiatan 1. DAS Ciujung Ciliman (Banten) - 2. DAS Jratun Seluna (Jawa Tengah) - 3. DAS Serayu Bogowonto (Jawa Tengah) - 4. DAS Krueng Aceh (NAD) - 5. DAS Indragiri (Riau) - 6. DAS Manna-Padang Guci Musi (Bengkulu) - 7. DAS Dodokan (NTB) - 8. DAS Kota Waringin (Kalteng) - 9. DAS Baubau-Wanca (Sultra) DAS Tondano (Sulut) DAS Tukad Unda (Bali) - Sumber : GN KPA, 2006

7 15 Tabel 3 Program GN - KPA jangka panjang tahun No Nama DAS Kegiatan 1. DAS Krueng Peusangan (NAD) - 2. DAS Lau Renun (Sumut) - 3. DAS Nias, Kepulauan (Sumut) - 4. DAS Kampar (Riau) - 5. DAS Rokan (Riau) - 6. DAS Kuantan (Riau) - 7. DAS Kampar Kanan (Riau) - 8. DAS Cipunegara (Jabar) - 9. DAS Kali Garang (Jateng) DAS Kali Bodri (Jateng) DAS Bribin (DIY) DAS Pasiraman (Jatim) DAS Rejoso (Jatim) DAS Sampean (Jatim) DAS Noelmina (NTT) DAS Aisissa (NTT) DAS Kambaheru (NTT) DAS Lois (NTT) DAS Billa (Sulsel) DAS Saddang (Sulsel) DAS Lasolo (Sultra) DAS Poso (Sulteng) DAS Lamboru (Sulteng) DAS Limboto (Sulut) DAS Dumoga (Sulut) DAS Hatu Tengah (Maluku) DAS Baliem (Papua) - Sumber : GN KPA, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Hutan hujan tropis Indonesia yang menduduki posisi ketiga setelah Brazil dan Zaire yang pada saat ini sedang mengalami degradasi dikarenakan tingkat deforestasi yang sangat tinggi. Kerusakan hutan semakin lama semakin meningkat. Sebelum tahun 1997 tingkat kerusakan hutan sekitar ha per tahun, meningkat menjadi 3,8 juta ha pada tahun 2003 (Siahaan, 2007).

8 16 Pemerintah cq. Departemen Kehutanan telah memberikan perhatian yang serius terhadap kerusakan hutan tersebut, antara lain dengan telah terbentuknya Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan yang mengalami degradasi. Selama lima tahun ( ) pemerintah telah melaksanakan kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GN-RHL) seluas ha. (Departemen Kehutanan, 2007). Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan pada umumnya diselenggarakan dengan cara penerapan teknik konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak produktif yang berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut dilaksanakan. Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan. 2. Memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi vegetasi. 3. Memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut. 4. Menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi yang ada. Trison (2005) mengemukakan tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery). Pertama, adalah restorasi (restoration)

9 17 yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Kedua, melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli. Ketiga, adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari areal yang terdegradasi. Permasalahan rehabilitasi hutan dan lahan dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS yang antara lain adalah sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga menyulitkan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan). Rehabilitasi hutan dan lahan juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, penghasilan dan jumlah tenaga kerja. Sebagaimana dikatakan oleh Agus dan Widianto (2004) bahwa tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahannya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan tersebut.

10 Partisipasi Masyarakat Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan. Dalam beberapa hal, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah rehabilitasi hutan dan lahan merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak bisa dilepaskan dari peran dan keberadaan masyarakat setempat. Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 7 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diciptakan landasan hukum bagi eksistensi sosial dan partisipasi masyarakat. Demikian juga dalam pasal 67 sampai dengan pasal 70 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, memberikan landasan hukum pengakuan masyarakat dalam konteks ekosistem hutan. Iklim ini menunjukkan begitu pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan kebijakan lingkungan hidup. Kekuatan, kemampuan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses pengelolaan kebijakan itulah yang disebut dengan istilah partisipasi masyarakat. Menurut Adisasmita (2006), partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan termasuk penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya Adisasmita (2006) mendefinisikan partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/ proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Dalam konteks partisipasi masyarakat, definisi ini mengandung pengertian selain keterlibatannya, juga diperlukan adanya suatu prakarsa dan peran aktif dari masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan program. Seringkali partisipasi masyarakat hanya diukur dari jumlah kehadiran dalam suatu pertemuan. Mereka dikumpulkan hanya sebagai formalitas dalam program-program partisipasi tanpa adanya hak berpendapat dan keterlibatan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Oleh karena itu pelaksanaan program sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

11 19 Partisipasi sebagai strategi kebijakan dimaksudkan sebagai upaya atau tindakan dalam perumusan dan implementasi berbagai program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat terlaksana secara reliable, acceptable, implementable, dan workable (Adisasmita, 2006). Pengertian reliable adalah program-program yang dirumuskan meyakinkan dan terpercaya karena dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat. Acceptable artinya dapat diterima oleh masyarakat luas karena program yang akan diimplementasikan disusun dan dirumuskan oleh, dari dan untuk anggota masyarakat setempat secara bersama-sama. Implementable artinya program-program dapat diimplementasikan karena disusun oleh masyarakat berdasarkan potensi, kondisi dan kemampuan yang dimilikinya sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Workable atau dapat dikerjakan masyarakat setempat, artinya bilamana ada hambatan atau kekurangan dalam implementasinya, maka dapat diatasi dengan partisipasi anggota masyarakat setempat (Adisasmita, 2006). Menurut Baharsjah (1999) ada dua pengertian partisipasi masyarakat yang merupakan pusat dari proses pembangunan sosial. Pertama, partisipasi masyarakat sebagai tujuan sentral dari pembangunan sosial, yaitu terciptanya masyarakat yang aktif mengambil bagian dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pengertian ini juga mencakup pemacuan keterlibatan seluruh warga masyarakat untuk mengambil peran dan sekaligus menikmati hasil-hasilnya. Kedua, partisipasi lebih menitik beratkan pentingnya keikutsertaan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya atau politik. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dalam produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat, seperti UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Bab III, pasal 7), UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Bab IX, pasal 70) dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan dikembangkannya pendekatan partisipatif yang dapat merealisir

12 20 hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya. Ada beberapa alasan yang diberikan dalam penyertaan peran masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Mitchell dan Setiawan (2000) bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Pengertian partisipatif menurut Daniel et al. (2006) adalah pengambilan bagian/ pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling). Selanjutnya Daniel et al. (2006) mengatakan bahwa tingkat partisipasi dalam masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai contoh : (1) masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; (2) anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek namun sebatas pendengar semata; (3) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek; (4) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring. Dari keempat contoh tersebut, tingkatan partisipasi masyarakat yang tinggi secara berturut-turut adalah pada contoh kasus No. 4, 3, 1 dan 2. Bentuk-bentuk pengambilan bagian atau pengikutsertaan keterlibatan langsung) masyarakat

13 21 dalam pembangunan pertanian dapat berupa : pengambilan keputusan bersama pada semua aktivitas, belajar bersama, bertanggung jawab bersama, menerima manfaat bersama, melakukan monitoring, dan evaluasi bersama-sama. Seperti halnya dengan Mitchell dan setiawan (2000), Daniel et al. (2006) juga mengatakan bahwa pendekatan partisipatif memberikan keuntungan, antara lain : orang-orang akan lebih energik, lebih komit, dan lebih bertanggung jawab bila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Komitmen dan tanggung jawab dalam berpartisipasi adalah (1) masyarakat lebih punya komitmen terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; (2) masyarakat lebih mengerti masalahmasalahnya daripada para profesional pelayanan; (3) masyarakat lebih fleksible dan kreatif daripada birokrasi besar; (4) masyarakat lebih mudah daripada profesional pelayanan; (5) masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap/ perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; (6) lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, masyarakat menawarkan kepedulian; (7) sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat. Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasanketerbatasan, seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan hak-

14 22 hak kekuasaan kepada masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif. Arenstein (1969) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah: A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economic processes, to deliberately include in the future. Definisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Berdasarkan hal tersebut Arenstein (1969) mengidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tangga/tingkatan (level), mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pendelegasian kewenangan untuk mengawasi. Delapan tingkatan partisipasi tersebut secara grafis disajikan pada Gambar 2. 8 Citizen Control 7 Delegated Power Citizen Power 6 Partnership 5 Placation 4 Consultation Tokenism 3 Informing 2 1 Therapy Manipulation Nonparticipation Gambar 2 Delapan tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969)

15 23 Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969) adalah sebagai berikut : Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation). Tingkat partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan penasehat. Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulanusulan mereka. Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi (informing). Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet, poster, dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak tersalurkan dengan baik.

16 24 Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survai tentang arah pikiran masyarakat, neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat. Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya. Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan relatif egaliter (setara).

17 25 Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan (delegeted power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa programprogram yang akan dilaksanakan bermanfaat dari mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini. Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspekaspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benarbenar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Selanjutnya Arenstein (1969) mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasan, yaitu : (a) Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah). Termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan therapy. (b) Tokenism ( tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini adalah : informing, consultation, dan placation. (c) Citizen power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok ini adalah : partnership, delegated power, citizen control. Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun

18 26 tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan, komunikasi, kesempatan dan fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000). Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendorong keikut sertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat. Dalam konteks konservasi, hambatan-hambatan tersebut oleh Suparmoko (1997) dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik misalnya dalam hal pemanfaatan lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuat teras terlebih dahulu, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan, sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka kurang memperhatikan manfaatnya, sedang hambatan teknologi adalah penyesuaian diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan. Kartasasmita (1996) dalam bukunya pembangunan untuk rakyat menyatakan bahwa berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas

19 27 masyarakat (capacity building) sebagai faktor pendorong meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kurangnya dana, pendidikan, dan sumber-sumber lain, serta tingkat organisasi merupakan suatu ekspresi dari ketidak mampuan masyarakat untuk berpartisipasi (Mikkelsen, 2001). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Trison (2005), Gerung (2004), Matrizal (2005) dan Muis (2007) tentang partisipasi masyarakat, menujukan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan, persepsi masyarakat, intensitas kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, ketersediaan sarana rehabilitasi, peran kelembagaan dan peran pendamping memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Konsepsi pemikiran tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong atau penghambat, baik yang berasal dari dalam masyarakat (faktor internal) maupun yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal). Faktor internal dapat diujudkan dalam bentuk penyediaan tenaga, sumbangan pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan-kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa dukungan pemerintah yang diujudkan dalam bentuk kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana rehabilitasi (dana, bibit dan pupuk), fasilitasi pembentukan lembaga sosial serta kegiatan pendampingan. Kedua faktor tersebut dapat berinteraksi menjadi suatu kegiatan yang bersifat partisipatif.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 TENTANG PENETAPAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) PRIORITAS DALAM RANGKA RENCANA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN, LAHAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DI SUB DAS KEDUANG, DAERAH HULU DAS BENGAWAN SOLO KUAT PUDJIANTO

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN, LAHAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DI SUB DAS KEDUANG, DAERAH HULU DAS BENGAWAN SOLO KUAT PUDJIANTO PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM REHABILITASI HUTAN, LAHAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA AIR DI SUB DAS KEDUANG, DAERAH HULU DAS BENGAWAN SOLO KUAT PUDJIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang

TINJAUAN PUSTAKA. Lanskap Hutan. Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Hutan Istilah lanskap secara umum dipahami sebagai bentang alam yang memiliki karakter unik sebagai resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik alami maupun pengaruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan yang terutama dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan/vegetasi dan penggunaan lahan tanpa memperhatikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.10/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan di Indonesia seluas 120 juta hektar mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga hutan kita tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Usaha konservasi menjadi kian penting ditengah kondisi lingkungan yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak mengedepankan aspek lingkungan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan isu terkini yang menjadi perhatian di dunia, khususnya bagi negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kedua fenomena tersebut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN Latar Belakang Air dan sumber daya air mempunyai nilai yang sangat strategis. Air mengalir ke segala arah tanpa mengenal batas wilayah administrasi, maka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009 DRAFT-4 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa pertanian mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa : lahan kritis, lahan gundul, erosi pada lereng-lereng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber. daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar

I. PENDAHULUAN. kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber. daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2012 Seri : E Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG IRIGASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

KONSEPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR MENYELURUH DAN TERPADU. Oleh: Imam Anshori

KONSEPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR MENYELURUH DAN TERPADU. Oleh: Imam Anshori KONSEPSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR MENYELURUH DAN TERPADU Oleh: Imam Anshori 1) PENDAHULUAN Ketika kota Jakarta, Bekasi dan beberapa wilayah di Kabupaten Tangerang sedang ditimpa hujan yang amat deras

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan 252 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Perairan Sagara Anakan memiliki potensi yang besar untuk dikelola, karena berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut, lapangan kerja, transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci