BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Pendengaran adalah salah satu indera yang memegang peran sangat

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Pendengaran adalah salah satu indera yang memegang peran sangat penting karena perkembangan bicara sebagai komponen utama komunikasi. Kesehatan indera pendengaran merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar informasi diserap melalui proses mendengar yang baik. Bagi anak fungsi pendengaran berpengaruh dalam perkembangan bicara dan berbahasa, komunikasi sosial dan perkembangan kognitifnya (Yoshinaga, 1998; Moeller, 2000; Gregg, 2004). Gangguan pendengaran berbeda dengan cacat yang lainnya yaitu pada bayi/ anak yang mengalami gangguan pendengaran sering kali tidak terdeteksi atau tidak segera diketahui baik oleh orangtua sendiri, kelainan ini disebut the invisible disability. Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Di Amerika prevalensi tuli kongenital sekitar 1/1000 atau sekitar 0,1%. Prevalensi bayi sehat yang mengalami gangguan pendengaran dengan berbagai derajat mencapai 3:1000 dan prevalensi bayi dengan faktor risiko yang mengalami gangguan pendengaran mencapai 6:1000 (Gregg, 2004; Rundjan et al., 2005). Insidensi sensorineural hearing loss (SNHL) yang berat sampai sangat berat pada anak secara global sekitar 1:2000 pada bayi baru lahir dan 6:1000 usia 18 tahun. Banyak negara-negara yang tidak mempunyai undang-undang melakukan skrining pendengaran pada anak dan tidak menghiraukan faktor risiko sehingga banyak 1

2 2 anak tidak terdeteksi (Billings, 1999). Berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing(JCIH) gangguan pendengaran pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko (JCIH,2000). Anak dengan satu faktor risiko akan memiliki kemungkinan 10,1 kali lebih besar mengalami gangguan pendengaran dan 63,2 kali lebih besar jika disertai tiga faktor risiko lainnya (Rundjan et al., 2005) Faktor risiko terjadinya SNHL pada masa neonatal berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) adalah lahir prematur (Umur kehamilan <34 minggu), berat badan lahir rendah (BBLR, berat badan <2500gram)(WHO,2006), adanya riwayat keluarga infeksi Toxoplasmosis,Rubella,Cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), adanya kerusakan pada saraf, hiperbilirubinemia, craniofacial anomalies, sindrom yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran dan asfiksia berat pada saat lahir (APGAR < 7 pada 5 menit)( JCIH, 2000). Faktor risiko yang lain adalah pemakaian obat-obatan pada masa kehamilan, tekanan paru yang tinggi dan menetap (Meyer, 1999), perdarahan intra ventricular(kountakis SE, 1997), C-reactive protein (CRP) yang tinggi ( 10 mg/dl) tetapi tidak terlalu berpengaruh (Yoshikawa, 2004). Pada tahun 1993 National Institute of Health Consensus Conference pertama kali menganjurkan program Universal Newborn Hearing Screening. Setahun kemudian The Joint Committee on Infant Hearing merekomendasikan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan dilakukan intervensi sebelum usia 6 bulan. Pada tahun 1999 American Academy of Pediatrics (AAP) mendukung pernyataan tersebut. Tujuan skrining pendengaran bayi baru lahir adalah menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin

3 3 sehingga dapat dilakukan habilitasi segera, menggunakan pemeriksaan elektrofisiologik; bersifat obyektif, praktis, otomatis dan non invasif (Suwento,2008). Dengan kemajuan teknologi masa kini memungkinkan untuk mendeteksi gangguan pendengaran sejak lahir dengan hasil yang dapat dipercaya. Saat ini Otoacoustic Emission (OAE) danauditory Brainstem Response Testing/ Brainstem Evoked Response Auditory(ABR/BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (Gold Standard) yang direkomendasikan sebagai metode skrining pendengaran pada neonatus dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak infasif dengan sensitifitas mendekati 100% (Suwento, 2008). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latarbelakang dan fakta-fakta tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Angka kejadian SNHL pada balitatermasuk tinggi. 2. Faktor risiko yang terjadi pada neonatal dapat mempengaruhi angka kejadian SNHL pada balita. 3. Berdasarkan Joint Committee on Infant Hearing (JCIH) terdapat beberapa faktor risiko kejadian SNHL pada balita. 4. SNHL pada anak perlu diketahui letak lesi nya yaitu sensori (cochlear), neural (retrocochlear) dan besar pengaruh faktor risiko pada tipe lesi sehingga dapat untuk tatalaksana selanjutnya.

4 4 C. Pertanyaan penelitian Berdasarkan latarbelakang tersebut diatas dapat diajukan pertanyaan penelitian: Apakah beberapa faktor risiko berpengaruh terhadap sensorineural hearing loss (SNHL) pada balita? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor risiko terhadap sensorineural hearing loss (SNHL) pada balita. E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data besar pengaruh faktor risiko pada kejadian gangguan pendengaran (sensorineural hearing loss) pada balita. 2. Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan pengembangan penelitian selanjutnya baik faktor risiko lainnya, diagnosis, terapi maupun prognosis dari sensorineural hearing loss (SNHL) padabalita. 3. Mendukung program skining pendengaran pada semua bayi. F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai faktor-faktor risiko terhadap kejadian gangguan sensorineural hearing loss sudah banyak dilakukan di negara-negara lain termasuk di Indonesia, tetapi penelitian mengenai pengaruh faktor risiko dan jumlah faktor risiko yang paling berperan secara signifikan dan bermakna terhadap kejadian sensorineural hearing loss pada balita belum banyak dilakukan.

5 5 Tabel 1. Penelitian-penelitian SNHL Penelitian (th) Bielecki et al., (2011) Misono et al., (2011) Christine et al., (2009) Billings al.,(1999) Tumpal, al.(2014) et et Rancangan Penelitian Cross sectional Tujuan Penelitian Sampel Hasil penelitian Mengetahui faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran pada neonatus Case Control Mengetahui kekuatan hubungan infeksi cytomegalovirus dengan kejadian penurunan pendengaran pada anak Cohort prospectif Skrining Hearing loss pada bayi dengan faktor resiko menggunakan OAE dan BERA Retrospective Untuk mencari penyebab umum dari SNHL Case control Untuk mengetahui infeksi TORCH sebagai faktor risiko terjadinya NHL neonatus yang terbagi dua grup yaitu dengan faktor risiko, tanpa faktor risiko. Anak-anak berusia lebih dari 4 tahun yang mengalami penurunan pendengaran Semua bayi baru lahir beresiko gangguan pendengaran 301 anak yang berusia antara 1minggu sampai 18 tahun 28 anak sebagi kasus dan 28 anak sebagai kontrol yang memiliki faktor risiko Pengobatan ototoksik merupakan faktor risiko paling tinggi (33,13%), selanjutnya kelahiran prematur (16.21%), berat badan lahir rendah (12,04%); perawatan intensif lebih dari 7 hari (10,64%). 1,4% dari kontrol dan 9,9% dari kasus (rasio odds: 10,5, 95% confidence interval, 2,6-92,4) positif terinfeksi cytomegalovirus. Dari 1461 bayi yang diskrining, 66 sampel (4,55%) HL, 10% loss to follow up Dari 301 anak, 68,1% memiliki faktor kausal penyebab SNHL, 18,9%, memiliki 1 atau lebih penyebab; dan 31,9% tanpa penyebab. Infeksi TORCH merupakan faktor risiko terhadap terjadinya NHL pada anak (OR 18,73; IK 95% 5,65-62,01; p 0,01).