EKOBIOLOGI DAN DINAMIKA STOK SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN IKAN ENDEMIK BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOBIOLOGI DAN DINAMIKA STOK SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN IKAN ENDEMIK BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN"

Transkripsi

1 EKOBIOLOGI DAN DINAMIKA STOK SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN IKAN ENDEMIK BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN SYAHROMA HUSNI NASUTION SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ii

3 PERNYATAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ekobiologi dan Dinamika Stok sebagai Dasar Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Maret 2008 Syahroma Husni Nasution NIM: C iii

4 ABSTRACT SYAHROMA HUSNI NASUTION. Ecobiology and Stock Dinamic as a base on Management of Endemic Fish Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) in Towuti Lake, South Sulawesi. Advisory committe: SULISTIONO, DEDI SOEDHARMA, ISMUDI MUCHSIN, and SOETIKNO WIRJOATMODJO. Bonti-bonti (Paratherina striata), is one of endemic and vulnerable fish in Towuti and Mahalona Lake. It should be protected from decreasing of it population due to habitat quality decline and increasing of exploitation. The objectives of this research is to study the spatial and temporal distribution, growth potency (somatic and reproductive), and relationship between exploitation level and stock ability to recover as base management of the fish. This research was conducted in Towuti Lake, South Sulawesi from May 2006 to April Samples were collected at five stations using experimental gillnet sized 0.625, 0.75, 1.0, and 1.25 inches and bagan (dipnet). The results show that bonti-bonti is dispersing widely from lakeside to the middle of the lake. The highest abundance of the fish are in inlet with sand, gravel, and stone substrat. The highest temporal distribution of the fish abundance in November and December influenced by dissolved oxygen and high water level. The result of covarian and cluster analysis towards standard morphometric character, could be said that male and female at I, II, III, IV, and V stations is similar tendency or predicted from one fish population. Bonti-bonti is kind of partial spawner fish with peak spawning in May and November. Spawning site, nursery site, and feeding site of the fish are in inlet station. Recruitment of the fish each month with the peak estimated in September, October, and November. Growth pattern of male is L t =20.05 [1-e -1.7(t+0.02) ], while female is L t =20.45 [1-e -2.0(t+0.01) ]. Total length of male and female mature gonad (50%) were and cm, respectively. Pursuant to growth parameters value and matured fish (50%), growth potency of bonti-bonti is still in good condition. Exploitation level of bonti-bonti stock in Towuti Lake indication to over-fishing (male E=0.54 and female E=0.56). The increasing catch effort (unit/month) of bagan tend to reduce the catch productivity. Decreasing of ability of bonti-bonti stock to recover is not caused by the environmental variables, but caused by over exploitation activity. Key words: Ecobiology, stock dynamic, management, endemic fish, Paratherina striata, and Towuti Lake iv

5 RINGKASAN SYAHROMA HUSNI NASUTION. Ekobiologi dan Dinamika Stok sebagai Dasar Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SULISTIONO, DEDI SOEDHARMA, ISMUDI MUCHSIN, dan SOETIKNO WIRJOATMODJO. Ikan bonti-bonti (Paratherina striata) yang termasuk ke dalam famili Telmatherinidae adalah salah satu dari empat jenis ikan Paratherina. Ikan bontibonti selain endemik, statusnya tergolong rawan punah (vulnerable species) dan hanya terdapat di Danau Towuti dan Danau Mahalona, Sulawesi Selatan. Masyarakat di sekitar danau memanfaatkan ikan ini sebagai ikan konsumsi dalam bentuk ikan kering/ikan asin maupun sebagai ikan hias dan bahan pakan hewan. Diperkirakan potensi kemampuan pulih kembali populasi ikan ini mengalami penurunan selain diduga karena kualitas habitat mengalami penurunan, juga karena tingkat eksploitasi yang meningkat, sehingga dikhawatirkan sumberdaya ikan bontibonti mengalami tekanan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan yaitu: 1) mengkaji distribusi ikan bonti-bonti secara spasial dan temporal, 2) menganalisis potensi tumbuh somatik dan reproduktif ikan bonti-bonti dari beberapa habitat perairan, dan 3) mengkaji hubungan antara tingkat eksploitasi dengan kemampuan untuk pulih kembali sebagai dasar pengelolaan stok ikan endemik bonti-bonti. Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Pengamatan dilakukan setiap bulan secara time series selama 12 bulan dari bulan Mei 2006 hingga April Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Desain penelitian ditetapkan dengan cara zonasi (segmentasi) dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik perairan Danau Towuti berdasarkan tipologi habitat dan pengaruh/tekanan lingkungan sekitar danau, dan eksploitasi. Berdasarkan hal tersebut, ditetapkan lima stasiun penelitian yaitu: stasiun I=Tanjung Bakara, stasiun II=Inlet Danau Towuti, stasiun III=Pulau Loeha, stasiun IV=Outlet Danau Towuti, dan stasiun V=Beau. Dilakukan pengukuran parameter lingkungan perairan, parameter biologi, dan parameter dinamika stok dan tingkat eksploitasi. Data kualitas air diperoleh menggunakan Water Quality Checker- Horiba. Sampel ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet dengan ukuran mata jaring ⅝, ¾, 1, dan 1¼ inci dan bagan. Untuk memperoleh data hasil tangkapan bagan dilakukan dengan cara observasi (mengikuti penangkapan) dan wawancara melalui enumerator. Hubungan parameter kualitas air dengan kelimpahan ikan dianalisis menggunakan analisis multivariat. Nisbah kelamin dihitung dengan membandingkan antara jumlah total ikan jantan dan betina. Untuk membedakan populasi ikan bontibonti antar stasiun pengamatan, dilakukan analisis regresi antara karakter panjang total dengan karakter morfometrik lainnya, Analisis kovarian (Ancova) dan analisis pengelompokan (Cluster analysis) menggunakan perangkat lunak Multivariate Statistics Package (MVSP). Struktur populasi ikan berdasarkan jenis kelamin, struktur ukuran dan struktur tingkat kematangan gonad (TKG) baik menurut stasiun dan waktu, dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test, demikian pula kelimpahan ikan antar stasiun dan waktu. TKG dilihat secara morfologis dan histologis. Ukuran ikan pertama kali matang gonad dengan peluang 50% berdasarkan ukuran panjang total diketahui menggunakan metode Least Square v

6 Regression. Nilai indeks kematangan gonad ikan antar stasiun/habitat dan antar waktu/musim, dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test. Hubungan fekunditas dengan ukuran ikan (panjang dan bobot) ditentukan menggunakan analisis regresi. Sampel telur yang diukur, dibuat frekuensi diameter telurnya. Parameter pertumbuhan (K, L, dan t o ) dianalisis menggunakan metode ELEFAN I yang terakomodasi pada perangkat lunak FiSAT II. Pendugaan laju mortalitas total (Z) dihitung dengan menggunakan metode kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang dan metode Beverton and Holt. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly. Dihitung juga mortalitas karena eksploitasi (F). Dianalisis hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan (yield/effort). Analisis pola rekrutmen/r (penambahan baru) menggunakan perangkat lunak FiSAT II. Analisis stok berdasarkan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) menggunakan rumus Beverton and Holt. Dari hasil kajian-kajian tersebut akan disusun suatu konsep pengelolaan ikan bonti-bonti yang berdasar pada potensi pembentukan biomasa (rekrut), sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dan usaha penangkapan dapat terkendali, serta daya pulih sumberdaya ikan bonti-bonti dapat berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan ikan bonti-bonti menyebar mulai dari pinggir danau hingga ke bagian pulau di tengah danau. Kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun inlet Danau Towuti dengan tipe substrat pasir, kerikil, dan batu. Berdasarkan uji Mann-Whitney dapat dikatakan bahwa nilai parameter kualitas air antar stasiun (secara spasial), adalah sama. Patut diduga bahwa secara spasial parameter kualitas air bukan merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan bonti-bonti yang tidak merata di Danau Towuti. Secara temporal kelimpahan ikan bonti-bonti tertinggi dijumpai pada bulan Nopember dan Desember. Parameter oksigen terlarut dan tinggi muka air lebih berpengaruh terhadap kelimpahan ikan dibandingkan parameter lain. Hasil uji Ancova dan analisis pengelompokan menunjukkan bahwa ikan bonti-bonti di kelima stasiun merupakan satu kelompok populasi. Makanan utama ikan bonti-bonti adalah Insekta dan ikan kecil. Perkembangan gonad ikan bonti-bonti digolongkan dalam lima tahap yaitu TKG I, II, III, IV, dan V baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Fekunditas ikan bonti-bonti dengan ukuran panjang total antara 11,30-18,33 cm dan bobot total antara 14,00-77,52 gram sebanyak butir. Hubungan antara fekunditas dengan panjang dan bobot total ditentukan dengan masing-masing persamaan F =0,704 PT 3,220 dan F = 118,815 BT 1,003. Diameter telur ikan bonti-bonti berkisar antara 0,01 hingga 1,50 mm. Ukuran panjang total ikan jantan dan ikan betina matang gonad dengan peluang 50% adalah 16,78 dan 14,61 cm. Stasiun II dan III diduga merupakan tapak pemijahan ikan bonti-bonti karena ditemukan ikan dengan nilai IKG tertinggi baik pada ikan jantan maupun betina. Nilai rata-rata IKG ikan bonti-bonti jantan dan betina secara temporal memiliki nilai tertinggi pada bulan Mei dan Nopember. Ikan bonti-bonti adalah tipe ikan yang memijah secara parsial (partial spawner) dengan puncak pemijahan pada bulan Mei dan Nopember. Pertumbuhan ikan bonti-bonti jantan dan betina pada panjang tertentu ditentukan dengan rumus L t =20,05 [1-e -1,70.(t+0,02) ] dan L t =20,45 [1-e -2,00.(t+0,01) ]. Mortalitas total ikan bonti-bonti jantan dan betina adalah 6,32 dan 7,32 per tahun. Mortalitas alami ikan jantan dan betina masing-masing sebesar 2,89 dan 3,20 per tahun. Mortalitas karena penangkapan pada ikan jantan dan betina masing-masing vi

7 adalah 3,43 dan 4,12 per tahun. Rekrutmen ikan bonti-bonti terjadi setiap bulan dengan puncaknya diperkirakan pada bulan September, Oktober, dan November. Pola strategi adaptasi ikan bonti-bonti termasuk strategi tipe r. Tingkat pemanfaatan stok ikan bonti-bonti di Danau Towuti ada indikasi kelebihan tangkap pada ikan jantan dan betina (E=0,54 dan E=0,56). Produktivitas alat tangkap bagan pada effort >100 unit bagan/bulan cenderung menurun. Jumlah effort yang optimal adalah sebesar 188 unit bagan/bulan dan masing-masing bagan hanya diperbolehkan beroperasi selama 10 hari/bulan. Hasil tangkapan ikan di Danau Towuti saat ini didominasi oleh hasil dari alat tangkap bagan dengan ukuran mata jaring sangat kecil (0,3 cm) sehingga ukuran ikan yang pertama kali tertangkap juga kecil (L c 4 cm). Pada kondisi demikian laju eksploitasi menghasilkan E maksimum sebesar 0,420 per tahun, Y/R sebesar 0,021 dan B/R sebesar 25%. Strategi reproduksi ikan bonti-bonti yaitu memijah pada saat yang tepat di sekitar bulan Oktober-Nopember, menghasilkan penambahan baru, yaitu ikan ukuran kecil (3,80-9,00 cm) ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi (75,83-87,20%; N= ekor) di bulan Nopember dan Desember. Namun hasil penambahan baru tidak dapat mempertahankan kestabilan stok ikan bonti-bonti karena adanya tekanan penangkapan yang intensif. Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap didasarkan atas pertimbangan ikan telah mampu melakukan reproduksi, sehingga ikan mempunyai kesempatan melakukan pemijahan untuk proses kelangsungan keturunannya. Ukuran ikan ratarata yang tertangkap pada L 50 adalah 9,42 cm. Ukuran ikan pertama kali tertangkap adalah 4,00 cm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang gonad dengan peluang 50% pada ikan jantan dan betina masing-masing adalah 16,78 dan 14,61 cm. Berdasarkan ukuran ikan bonti-bonti pertama kali matang gonad tersebut, ukuran ikan yang tertangkap pertama kali jauh lebih kecil dari ukuran ikan yang matang gonad. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerawanan penggunaan alat tangkap bagan terhadap kemampuan pulih kembali stok ikan bonti-bonti. Kombinasi pengaturan tempat (daerah penangkapan) dan waktu (musim penangkapan) merupakan hal terbaik yang perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan stok ikan bonti-bonti. Implementasi dari hal tersebut adalah menetapkan pembatasan atau pengaturan penangkapan ikan pada daerah inlet Danau Towuti pada bulan Nopember dan Desember. Berdasarkan jenis tapak suaka perikanan, pada stasiun II=Inlet Danau Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga masuk ke dalam kriteria sebagai tapak pemijahan, tapak pembesaran, dan tapak untuk mencari makan. Hal tersebut diketahui dari gonad (komposisi IKG), ukuran ikan bonti-bonti yang beragam mulai dari ukuran kecil sampai besar, dan makanan yang terdapat dalam lambung. Daerah yang patut dipertimbangkan sebagai suaka perikanan adalah stasiun II dengan kedalaman air 1-20 m, substrat terdiri dari batu, kerikil, dan pasir. Perlu dilakukan pengaturan jumlah bagan yang beroperasi di Danau Towuti dengan jumlah 19 unit bagan dan masing-masing bagan disarankan beroperasi sebanyak 10 hari/bulan. Ukuran ikan yang disarankan boleh ditangkap adalah pada ukuran >14,0 cm. vii

8 EKOBIOLOGI DAN DINAMIKA STOK SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN IKAN ENDEMIK BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN SYAHROMA HUSNI NASUTION Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 viii

9 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Sutrisno Sukimin (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Enang Harris. M.S (Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB) Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Gadis Sri Haryani (Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI) 2. Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Sumberdaya dan Lingkungan, Pusat Riset Perikanan Tangkap-BRKP) ix

10 Judul Disertasi : Ekobiologi dan Dinamika Stok sebagai Dasar Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan Nama : Syahroma Husni Nasution NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Anggota Dr. Soetikno Wirjoatmodjo Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Enang Harris. M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 31 Maret 2008 Tanggal Lulus: x

11 PRAKATA Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 ini adalah pengelolaan ikan bonti-bonti, dengan judul Ekobiologi dan Dinamika Stok sebagai Dasar Pengelolaan Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, dan Dr. Soetikno Wirjoatmodjo selaku anggota komisi pembimbing atas segala masukan dan saran-saran yang diberikan. 2. Para penguji, yaitu penguji di luar komisi pembimbing serta wakil dari Program Studi Ilmu Perairan dan Sekolah Pascasarjana IPB yang berkenan menyumbangkan buah pikiran untuk memperkaya penelitian ini. 3. Pemerintah RI, melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Limnologi atas bantuan beasiswa yang diberikan. 4. Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan Kepala Bidang Produktivitas Perairan Darat Pusat Penelitian Limnologi-LIPI atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan S3. 5. P.T. INCO Soroako Sulawesi Selatan atas segala bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalankan penelitian. 6. Yayasan Damandiri-P2SDM LPPM IPB yang telah memberikan bantuan penelitian. 7. Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo dan Bapak Dr. Chairul Muluk atas masukan yang diberikan. 8. Dr. Ir. Dede Irving Hartoto, APU atas masukan, saran, dan referensi yang telah diberikan untuk menunjang penelitian ini. 9. Seluruh Staf Pusat Penelitian Limnologi-LIPI atas bantuan dan dukungan yang diberikan. 10. Ibunda, Hj. Siti Asmah Tanjung (alm.); Ayahanda, Drs. H.M. Syarif Nasution yang telah memberi kasih sayang dan semangat serta doanya kepada penulis untuk terus menuntut ilmu. Abangda, Zulfadhli Nasution, Drh.Zulkarnain Nasution, Dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An.; Kakanda, Syahridha Yanti Nasution, SE.; dan Adinda, Ir. Prita Zuhroh Nasution, Asrul Akmal Nasution, dan Afrida Aryani Nasution atas doa dan dukungannya. 11. Suami, Ir. Zulkifli dan Ananda, Andika Nur Zulhusni dan Ridzki Nugraha Zulhusni atas pengertian, dukungan, pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang dicurahkan. 12. Drs. Jefry Jack Mamangkey, M.Si, Dista Setiana, dan Siti Aminah atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penelitian serta teman-teman S3-AIR. 13. Keluarga Bapak Mas ud dan Bapak Cillik yang telah membantu penulis selama pengambilan data di perairan Danau Towuti. 14. Berbagai pihak lainnya yang memiliki andil terhadap keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi S3 di Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. xi Bogor, Maret 2008 Syahroma Husni Nasution

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 26 Januari 1965 sebagai anak kelima dari pasangan Drs. H.M. Syarif Nasution dan Hj. Siti Asmah Tanjung. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun Pada tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan dengan Minat Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan Perairan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun Pada tahun yang sama penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor di Program Studi Ilmu Perairan dengan Minat Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan Perairan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Penulis bekerja sebagai Peneliti Madya di Pusat Penelitian Limnologi LIPI sejak tahun 1988 dan ditempatkan di Cibinong Jawa Barat. Bidang keahlian yang diampu adalah Konservasi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Perairan Darat. Pada tahun 1990, penulis menikah dengan Ir. Zulkifli dan telah dikaruniai dua orang putra yaitu Andika Nur Zulhusni dan Ridzki Nugraha Zulhusni. Karya ilmiah berjudul Kajian Aspek Reproduksi Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan telah diterbitkan pada Jurnal Biologi Indonesia Vol. IV, No.4, Desember 2007 (Akreditasi A). Karya ilmiah berjudul Distribusi Spasial dan Temporal Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan telah disajikan pada Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2007 di Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, Jogjakarta pada bulan Juli Artikel lain yang berjudul Pertumbuhan, Umur, dan Mortalitas Ikan Endemik Bontibonti (Paratherina striata) dari Danau Towuti dalam proses penerbitan di Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. xii

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xvi xvii xx PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Tipologi Perairan Danau Towuti... 6 Klasifikasi Ikan Bonti-bonti... 8 Ekobiologi... 9 Distribusi... 9 Reproduksi Makanan dan Kebiasaan Makanan Dinamika Stok Ikan Pertumbuhan Rekrutmen (Penambahan Baru) Mortalitas Total (Z) Mortalitas Alami (M) Mortalitas Eksploitasi (F) Model Hasil per Penambahan Baru (Y/R) Konservasi dan Pengelolaan METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian Variabel Pengukuran Bahan dan Metode Pengukuran Analisis Data xiii

14 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekobiologi Distribusi Ikan secara Spasial Hubungan Kualitas Air dengan Kelimpahan Ikan antar Stasiun Piramida Umur antar Stasiun Pengelompokan Populasi Ikan Bonti-bonti secara Spasial Distribusi Ikan secara Temporal Hubungan Kualitas Air dengan Kelimpahan Ikan antar Waktu Piramida Umur antar Waktu Kebiasaan Makanan Nilai Index of Preponderance masing-masing Stasiun Pengamatan Perubahan Pola Kebiasaan Makanan Reproduksi Seksualitas Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Fekunditas Diameter Telur Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad Indeks Kematangan Gonad (IKG) Dinamika Stok Ikan Pertumbuhan Mortalitas Rekrutmen (Penambahan Baru) Potensi Rekrut Tingkat Eksploitasi Laju Eksploitasi Tingkat Produksi dan Upaya Penangkapan Ikan Analisis Stok berdasarkan Hasil per Penambahan Baru Relatif (Y/R ) dan Biomasa per Penambahan Baru Relatif (B/R ) Pengaruh Tingkat Eksploitasi terhadap Kemampuan Pulih Kembali Ikan Bonti-bonti. 96 xiv

15 Status Perikanan Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti Pengelolaan dan Konservasi Konsep Pengelolaan Perikanan Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti Penentuan Ukuran Ikan yang Boleh Ditangkap Pengaturan melalui Penentuan Ukuran Mata Jaring yang Boleh Digunakan Pengaturan Daerah dan Musim penangkapan Daerah Suaka Perikanan (Reservat) Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

16 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Pola seleksi tipe k dan r kaitannya dengan siklus hidup ikan Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina antar stasiun Nilai rata-rata kualitas air masing-masing stasiun dari bulan Mei 2006 hingga April Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap nilai parameter kualitas air antar stasiun Hubungan antara karakter PT dengan karakter morfometrik lainnya yang memiliki nilai korelasi yang erat Kelompok makanan ikan bonti-bonti (P. striata) Karakter meristik ikan bonti-bonti (P. striata) Karakter morfometrik ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina Tingkat perkembangan gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan Tingkat perkembangan gonad ikan bonti-bonti (P. striata) betina Nilai IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina di setiap stasiun penelitian di Danau Towuti Hasil tangkapan ikan bonti-bonti (P. striata) menggunakan experimental gillnet dan bagan di Danau Towuti Ukuran rata-rata ikan bonti-bonti (P. striata) yang tertangkap selama penelitian di Danau Towuti Panjang dan umur ikan bonti-bonti (P. striata) yang tertangkap selama penelitian di Danau Towuti Penghitungan mortalitas total ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan rumus Beverton and Holt (1957) Potensi rekrut ikan bonti-bonti (P. striata) dibandingkan dengan beberapa jenis ikan Telmatherinidae lain Variabel yang diperlukan dalam penghitungan Y/R Jumlah penduduk dan produksi perikanan di Danau Matano, Mahlona, dan Towuti xvi

17 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka pemecahan masalah penelitian Ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) Jenis ikan dominan dari famili Telmatherinidae yang terdapat di Danau Towuti Hubungan antara pengkajian stok ikan, strategi pengelolaan, dan peraturan perikanan Peta lokasi penelitian di Danau Towuti Karakter morfometrik ikan bonti-bonti (P. striata) Diagram alir kerangka penelitian Distribusi spasial ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian di Danau Towuti Nilai kisaran kualitas air masing-masing stasiun dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti Piramida umur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan stasiun penelitian Pengelompokan populasi ikan jantan dan ikan betina berdasarkan persen koefisien kemiripan karakter morfometrik masing-masing stasiun pengamatan Kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan waktu penelitian Ukuran rata-rata ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina dari bulan Mei 2006 hingga April Parameter lingkungan selama penelitian dari bulan Mei 2006 hingga April Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) yang dianalisis secara multivariat Hubungan antara kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) dengan tinggi muka air dan kandungan oksigen terlarut Piramida umur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan waktu penelitian pada bulan Nopember dan Desember Komposisi makanan ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan stasiun penelitian Komposisi makanan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang xvii

18 20. Hubungan antara frekuensi kelompok Insekta dan ikan dengan selang kelas panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina Hasil tangkapan ikan bonti-bonti (P. striata) dan ikan pangkilang halus (Telmatherina exilis sp.) selama penelitian menggunakan bagan Ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina Gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV Histologi gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan di Danau Towuti Histologi gonad ikan bonti-bonti (P. striata) betina di Danau Towuti Hubungan antara fekunditas dengan panjang dan bobot total ikan bonti-bonti (P. striata) Sebaran ukuran diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan tingkat kematangan gonad Analisis Bhattacharya berdasarkan sebaran diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) pada TKG III dan IV Ukuran ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina 50% matang gonad Nilai rata-rata IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina secara temporal Ukuran rata-rata diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) matang gonad berdasarkan waktu pengamatan Sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dari bulan Mei 2006-April 2009 di Danau Towuti Sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) betina dari bulan Mei 2006-April 2009 di Danau Towuti Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan data frekuensi panjang ikan ikan bonti-bonti (P. striata) Analisis Bhattacharya berdasarkan sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) bulan Nopember Mortalitas ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dikonversi Penambahan baru ikan bonti-bonti (P. striata) di Danau Towuti dari bulan Mei 2006 hingga April Nisbah kelamin dan komposisi induk ikan bonti-bonti (P. striata) dari bulan Mei 2006 hingga April Komposisi hasil tangkapan bagan di Danau Towuti Hasil dan upaya penangkapan bagan xviii

19 41. Hubungan antara hasil (Y) dan upaya (f) penangkapan bagan Hubungan antara laju eksploitasi dengan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) dan biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) pada kondisi simulasi Hubungan antara laju eksploitasi dengan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) dan biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) pada kondisi saat ini Pengaruh tingkat eksploitasi terhadap hasil kemampuan untuk pulih kembali stok ikan bonti-bonti (P. striata) Hubungan antara ukuran ikan bonti-bonti (P. striata) dengan jumlah ikan yang tertangkap, jumlah ikan jantan dan betina matang gonad xix

20 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Gambar keadaan stasiun penelitian di Danau Towuti Beberapa alat yang digunakan selama penelitian Gambar alat tangkap experimental gillnet dan bagan Lembar data hasil tangkapan nelayan bagan di Danau Towuti Parameter suhu air di Danau Towuti Parameter oksigen terlarut di Danau Towuti Parameter konduktivitas di Danau Towuti Parameter ph air di Danau Towuti Parameter alkalinitas di Danau Towuti Analisis kovarian (Ancova) pada karakter morfometrik ikan bonti-bonti (P. striata) jantan di Danau Towuti Analisis kovarian (Ancova) pada karakter morfometrik ikan bonti-bonti (P. striata) betina di Danau Towuti Uji Mann-Whitney terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina Komposisi ukuran panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina dari bulan Mei 2006 hingga April Piramida umur ikan bonti-bonti (P. Striata) berdasarkan waktu penelitian Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) Curah hujan rata-rata bulanan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti Jenis alage di Danau Towuti Kisaran diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) pada TKG I-V Uji Mann-Whitney terhadap IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina antar stasiun penelitian Uji Mann-Whitney terhadap IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina antar waktu penelitian Sebaran data frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan Sebaran data frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) betina Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh alat tangkap Experimental gillnet di Danau Towuti xx

21 24. Hasil tangkapan bagan di Danau Towuti berdasarkan observasi dan wawancara melalui enumerator Hasil tangkapan ikan bonti-bonti (P. striata) menggunakan experimental gillnet dan bagan di DanauTowuti Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan bonti-bonti (P. striata) jantan berdasarkan data frekuensi panjang Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan bonti-bonti (P. striata) betina berdasarkan data frekuensi panjang Produksi ikan bonti-bonti (P. striata) (kg) dan effort (unit bagan) selama penelitian di di Danau Towuti tahun xxi

22 PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman ikan air tawar di Indonesia adalah yang tertinggi kedua setelah Brazil, sebanyak 1300 jenis (World Bank, 1998). Keanekaragaman ikan di Indonesia saat ini menghadapi ancaman dari berbagai aktivitas manusia yang dapat menyebabkan menurunnya keanekaragaman ikan-ikan tersebut. Dari 87 jenis ikan Indonesia yang terancam punah, diketahui 66 spesies (75%) diantaranya adalah ikan air tawar (Froese and Pauly, 2004). Sebagian besar (68%) dari ikan air tawar yang terancam punah ini adalah ikan endemik (Kottelat et al., 1993). Ikan bonti-bonti (Paratherina striata) adalah salah satu dari empat jenis ikan Paratherina yang endemik di danau sekitar Kompleks Malili. Ikan bontibonti selain endemik, statusnya tergolong rawan punah (vulnerable species) (IUCN, 2003 dan Froese and Pauly, 2004) dan hanya terdapat di Danau Towuti dan Danau Mahalona, Sulawesi Selatan (Kottelat et al., 1993 dan Wirjoatmodjo dkk., 2003). Ikan ini merupakan bagian dari kekayaan sumberdaya hayati dan plasma nutfah dimana keberadaannya sangat penting dalam kestabilan ekosistem perairan danau, namun pemerintah belum melindungi ikan tersebut. Masyarakat di sekitar danau memanfaatkan ikan ini sebagai ikan konsumsi dalam bentuk kering/asin maupun sebagai ikan hias dan bahan pakan hewan (Nasution, 2006). Diperkirakan potensi kemampuan pulih kembali populasi ikan ini mengalami penurunan, selain diduga karena kualitas habitat yang mengalami penurunan, juga karena tingkat eksploitasi yang meningkat. Data akurat seberapa besar tingkat eksploitasi ikan ini belum diperoleh, namun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan di sekitar Danau Towuti, hasil tangkapan dari tahun cenderung mengalami penurunan. Menurut Samuel dkk., (2005), jumlah alat tangkap terutama bagan yang beroperasi di perairan Danau Towuti pada tahun 2003 hanya berjumlah empat buah, meningkat menjadi 15 buah pada tahun Berdasarkan pengamatan langsung tahun 2006, jumlah bagan sudah mencapai 19 buah. Melihat peningkatan alat tangkap tersebut dan sifatnya tidak selektif, disinyalir akan menurunkan populasi ikan bonti-bonti. 1

23 Menurut Reid and Miller (1989) kepunahan stok ikan air tawar sebagian besar disebabkan oleh kerusakan/lenyapnya habitat (35%), introduksi spesies eksotik (30%), dan eksploitasi spesies yang berlebihan (4%). Sisanya karena pencemaran, persaingan penggunaan air, dan pemanasan global. Beberapa kegiatan yang dilakukan di sekitar Danau Towuti, berpotensi dapat mengancam kerusakan lingkungan perairan antara lain: 1) penebangan hutan baik secara legal maupun illegal; 2) industri penggergajian kayu yang menghasilkan limbah saw-mill; 3) industri pertambangan nikel yang menghasilkan limbah; dan 4) penangkapan ikan yang cenderung intensif (Nasution, 2006). Kegiatan ini tentunya akan mempengaruhi lingkungan perairan Danau Towuti sebagai tempat hidup berbagai organisme akuatik yang dihuni banyak spesies endemik tersebut. Kegiatan penebangan hutan, penggergajian kayu, dan pertambangan nikel menghasilkan limbah yang dapat menurunkan kualitas air yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan ikan. Informasi mengenai ikan bonti-bonti terbatas pada sistematika (Weber and De Beaufort, 1922 dan Kottelat et al., 1993) dan distribusinya (Wirjoatmodjo et al., 2003). Namun ada beberapa penelitian yang dilakukan pada kelompok ikan famili Telmatherinidae lain yaitu pada ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti mengenai distribusi, pertumbuhan, reproduksi, dan kualitas perairan danau tersebut (Nasution dan Sulistiono, 2003; Nasution, 2004a; Nasution dkk., 2004; Indiarto dan Nasution, 2004; Soeroto et al., 2004; Nasution, 2005a dan 2005b; Nasution dkk., 2006; Nasution, 2007; dan Nasution dkk., 2007). Gray and McKinnon (2006) meneliti tentang tingkah laku kawin (mating behavior) dan Herder et al., (2006) tentang keragaman dan evolusi pada beberapa ikan famili Telmatherinidae. Perumusan Masalah Ikan bonti-bonti merupakan bagian dari kekayaan sumberdaya hayati dan termasuk ikan endemik yang hanya ditemukan di Danau Towuti dan Danau Mahalona, Sulawesi Selatan. Ikan ini juga dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi, ikan hias, dan bahan pakan hewan oleh penduduk sekitar danau. Keberadaan ikan ini perlu dipertahankan di perairan tersebut agar dapat berkelanjutan. Kemampuan pulih kembali populasi ikan ini diperkirakan telah mengalami penurunan. Hal ini diduga karena adanya peningkatan penangkapan yang 2

24 cenderung intensif pada daerah tertentu dan penurunan kualitas habitat (faktor lingkungan) di perairan Danau Towuti. Penurunan daya pulih terkait dengan adanya dugaan bahwa potensi pertumbuhan dan rekrutmen yang cenderung menurun. Hal ini diduga: 1) karena kualitas habitat untuk mencari makan (feeding ground) dan memijah (spawning ground) mengalami perubahan menjadi kurang mendukung. Ikan yang mampu tumbuh dan bereproduksi normal (menghasilkan induk matang gonad) menyebar untuk mendapatkan makanan dan habitat yang cocok, yaitu habitat dengan sumberdaya makanan yang cukup tersedia dan habitat untuk pemijahan yang tepat; 2) meningkatnya eksploitasi yang efektif karena daerah operasional penangkapan berada atau tepat pada pusat penyebaran ikan pada periode tertentu. Rekrut (penambahan baru) tidak akan tercapai apabila jumlah induk ikan yang sudah mencapai matang gonad tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini disebabkan tingkat eksploitasi yang tinggi (F) terutama pada musimmusim pemijahan, ikan dewasa selalu tereksploitasi, sehingga tidak memadai untuk rekrut, dan adanya kompetisi dan pemangsaan (M). Rekrut dalam stok perikanan (R) tercapai apabila pertumbuhan dan rekrutmen (G+R) lebih besar dari hasil tangkapan dan kematian alami (F+M)=kematian total (Z). Pendekatan terhadap permasalahan tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi antara lain: 1) lingkungan yang mendukung keberadaan ikan tersebut diduga telah mengalami penurunan, interaksi faktor fisika-kimia dan biologi (ekobiologi) adalah merupakan satu kesatuan komponen ekologis yang akan berpengaruh kepada struktur stok ikan; 2) belum adanya pengawasan dan pengendalian yang efektif serta jumlah alat tangkap yang beroperasi dalam menangkap calon induk atau induk matang gonad untuk menunjang keberlanjutan stok. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 yaitu kerangka pemecahan masalah penelitian. Kebaharuan penelitian ini adalah: Penelitian terhadap ikan endemik bonti-bonti yang berkaitan dengan ekobiologi dan dinamika populasinya belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Hal penting yang perlu diketahui dari segi ekobiologi antara lain habitat memijah dan musim pemijahan, ukuran ikan pertama kali matang gonad, potensi rekrut, dan strategi adaptasi ikan terhadap lingkungan. Dari segi dinamika populasi 3

25 yang dapat diketahui antara lain pola pertumbuhan, pola rekrutmen, dan tingkat eksploitasi. Informasi mengenai hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji distribusi ikan bonti-bonti secara spasial dan temporal 2. Menganalisis potensi tumbuh somatik dan reproduktif ikan bonti-bonti dari beberapa habitat perairan. 3. Mengkaji hubungan antara tingkat eksploitasi dengan kemampuan untuk pulih kembali sebagai dasar pengelolaan stok ikan endemik bonti-bonti. Manfaat penelitian ini adalah: Menghasilkan konsep mengenai pengelolaan stok ikan bonti-bonti sehingga menjamin keberlanjutan stok ikan ini di perairan Danau Towuti. 4

26 Gambar 1. Kerangka pemecahan masalah penelitian 5

27 TINJAUAN PUSTAKA Tipologi Perairan Danau Towuti Danau Towuti terdapat di wilayah Kompleks Malili di samping Danau Matano, Mahalona, Masapi dan Wawontoa. Danau Matano, Towuti dan Mahalona adalah danau cascade, dimana Danau Matano terletak di bagian hulu, Danau Mahalona di bagian tengah serta Danau Towuti di bagian hilir. Danau Towuti mempunyai luas 560 km 2, kedalaman maksimum 203 m, ketinggian dari permukaan laut 293 m, dan transparansi sedalam 22 m (Fernando dalam Haffner et al., 2001). Danau Towuti merupakan danau tipe tektonik yang dikelilingi oleh hutan-hutan lebat. Danau Towuti memperoleh air disamping dari air hujan yang jatuh langsung ke permukaan danau dan dari 26 sungai-sungai kecil. Di tengah danau terdapat sebuah pulau yaitu Pulau Loeha yang tidak ada penghuninya. Air dari Danau Towuti (outlet) mengalir melalui sungai Larona dan bermuara ke Teluk Bone. Kondisi alamnya yang unik menyebabkan danau ini memiliki keanekaragaman hayati yang unik pula dengan berbagai jenis organisme di dalamnya yang bersifat endemik. Sebagian besar hewan air yang terdapat di danau-danau tersebut distribusinya terbatas pada satu atau beberapa danau saja dan tidak ditemukan di danau lainnya (Kottelat, 1991). Ketiga danau ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam berdasarkan keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/1979. Di Indonesia, situ/telaga, rawa dan waduk masuk dalam kategori danau yang memiliki multi fungsi yaitu fungsi ekologi maupun fungsi sosial ekonomi budaya (sebagai sumber air bersih, sumber perikanan dan tempat hidup berbagai biota air, penghasil ikan dan tumbuhan air, sumber tenaga listrik (PLTA), pengatur tata air, dan sebagai pusat kegiatan religi dan tradisi). Perairan Danau Towuti antara lain dimanfaatkan untuk air minum, PLTA, taman wisata, perikanan, dan transportasi (Husnah dkk., 2005). Suhu berpengaruh nyata terhadap kualitas air, peningkatan suhu akan mendorong reaksi kimia lebih cepat sesuai dengan hukum kinetika kimia. Secara langsung suhu mempengaruhi sintasan (kelulus hidupan), pertumbuhan (khususnya pada ikan-ikan muda), dan keberhasilan proses reproduksi. Secara tidak langsung suhu menentukan daya kompetisi dari satu jenis ikan, resistensi terhadap penyakit, predator, dan parasit yang terdapat di sekitarnya. Perubahan 6

28 suhu air antara lain akan mempengaruhi derajat metabolisme ikan. Bagi ikan perubahan suhu merupakan tanda secara alamiah dimulainya proses pemijahan dan ruaya. Ikan mempunyai sifat yang dapat mengadaptasi perubahan suhu lingkungan, dan ikan air tawar mempunyai daya toleransi yang besar terhadap perubahan suhu (Krebs, 1985) dan (Goto, 1987). Menurut Anonim(1995), nilai suhu di perairan Danau Towuti berdasarkan stratifikasi kedalaman 0, 2, 5, 10, 20, 40, 80, 100, dan 150 m masing-masing adalah 27,1; 25,0; 26,4; 25,9; 25,7; 25,4; 25,4; 25,9; dan 27,5 o C. Suhu air Danau Towuti berkisar antara o C (Nasution dkk., 2007). Kedalaman air berpengaruh terhadap kehidupan ikan terutama dalam hal pemijahan. Ikan yang hidup di perairan alami umumnya memijah pada musim hujan karena terjadi peningkatan volume air. Pada saat itu, terjadi perubahan kondisi perairan dan dapat merangsang ikan untuk memijah (Welcomme, 2001). Rendahnya oksigen terlarut dalam air dapat menyebabkan stres bahkan kematian pada ikan. Perairan yang mengalir, perairan yang terdapat tanaman air, dan permukaan danau umumnya memiliki kandungan oksigen yang tinggi, yaitu berkisar 6-8 mg/l. Daya larut oksigen menurun pada saat suhu meningkat dan tingkat konsumsi oksigen melalui oksidasi kimiawi dan biologi juga akan meningkat (Jeffries and Mills, 1996). Menurut Anonim (1995), kandungan oksigen terlarut di perairan Danau Towuti berdasarkan stratifikasi kedalaman 0, 2, 5, 10, 20, 40, 80, 100, dan 150 m masing-masing adalah 7,22; 9,45; 8,76; 9,75; 8,88; 8,56; 8,54; 8,76; dan 6,71 mg/l. Menurut Nasution dkk., (2007), kandungan oksigen terlarut di perairan Danau Towuti berkisar 3,0-7,8 mg/l. Parameter kualitas air yang memiliki keeratan hubungan dengan kelimpahan ikan rainbow selebensis di Danau Towuti adalah oksigen terlarut. Derajat keasaman (ph) adalah banyaknya ion hidrogen yang terkandung di dalam air. Air yang agak basa dapat mendorong proses perombakan atau penguraian bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuhan dan fitoplankton sehingga ph turut berperan dalam menentukan produktivitas perairan. Batas toleransi organisme air terhadap ph bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut serta jenis dan stadia setiap organisme (Pescod, 1973). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai ph sekitar 7,0-8,5. Menurut Hartoto dan Awalina (1996), nilai ph di perairan Danau Towuti berkisar antara 7,9-8,4. 7

29 Alkalinitas diartikan sebagai gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau kemampuan kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan ph perairan (APHA, 1989). Nilai alkalinitas pada perairan alami jarang sekali melebihi 500 mg/l CaCO 3. Nilai alkalinitas yang baik menurut Boyd (1988) berkisar mg/l. Menurut Nasution (2004a) kisaran nilai alkalinitas di perairan Danau Towuti adalah mg/l. Menurut Anonim (1995), nilai konduktivitas di perairan Danau Towuti berdasarkan stratifikasi kedalaman 0, 2, 5, 10, 20, 40, 80, 100, dan 150 m masing-masing adalah 0,16; 0,16; 0,16; 0,16; 0,16; 0,16; 0,15; 0,16; 0,16 ms/cm. Ketersediaan makanan adalah salah satu faktor yang menentukan kepadatan populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi, serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Lagler et al., 1977). Kekurangan makanan merupakan faktor pembatas yang serius terhadap populasi ikan di perairan umum. Selain sebagai faktor pembatas populasi ikan, ketersediaan makanan juga merupakan faktor yang mempengaruhi pola distribusi ikan. Di suatu habitat yang kaya akan bahan makanan seperti tempat dangkal yang berarus lemah serta banyak tanaman air, cenderung lebih padat populasi ikannya. Sebaliknya ditempat yang sedikit mengandung bahan makanan, seperti tempat dangkal berarus kuat atau tempat dalam yang tidak dapat dihuni oleh tanaman air, cenderung lebih sedikit populasi ikannya (Scott, 1979). Untuk melakukan reproduksi ikan mencari tempat memijah yang sesuai sehingga dapat menghasilkan individu baru (Effendie, 1979). Di daerah tropis, makanan baik jenis maupun jumlahnya merupakan faktor yang penting (Goetz, 1983). Klasifikasi Ikan Bonti-bonti Klasifikasi ikan bonti-bonti menurut Nelson (1984) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Chordata : Osteichthyes : Atheriniformes : Telmatherinidae : Paratherina 8

30 Spesies Nama daerah : Paratherina Striata Aurich : Bonti-bonti Ikan bonti-bonti memiliki bentuk tubuh pipih (compressed), agak memanjang. Warna ikan keperakan, sedikit lebih gelap di bagian punggung. Ujung sirip berwarna kekuningan dan mata berwarna biru cerah. Profil kepala bagian bawah membulat (Gambar 2). Gambar 2. Ikan bonti-bonti (Paratherina striata Aurich), Foto: Nasution (2006) Ikan bonti-bonti yang ditemukan selama penelitian memiliki ukuran panjang maksimum 197,8 mm. Sirip punggung pertama ikan jantan lebih panjang dibandingkan betina. Ekobiologi Distribusi Sulawesi termasuk salah satu pulau besar di Indonesia yang memiliki karakter geomorfgologi yang kompleks. Hal ini berkaitan dengan hasil dari pergerakan tiga lempeng benua yaitu lempeng Indo-Ausralia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia (Kinnaird, 1997). Wilayah ini menjadi tempat hidup bagi fauna Oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates et al., 2000). Pemisahan dan pergeseran lempeng tersebut, menyebabkan perbedaan keanekaragaman hayati di beberapa pulau. Fauna air tawar Sulawesi dikenal memiliki banyak ikan-ikan endemik. Menurut Whitten et al., (2002), Kottelat (1990), dan Soeroto (1995), Sulawesi memiliki 69 jenis ikan air tawar yang mana 52 jenis (77%) adalah ikan endemik. Menurut Mc Kinnon 9

31 (1994), tingkat endemisitas yang tinggi ditemukan di perairan Sulawesi Tengah (Danau Poso) dan Sulawesi Selatan (Danau Matano dan Danau Towuti). Distribusi biota perairan tergantung dari beberapa faktor biotik maupun abiotik. Pola distribusi yang khas dari suatu biota, sesuai dengan habitat dimana biota tersebut berada. Jenis biota yang ditemukan di Sulawesi adalah khas yang tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia maupun di dunia (Husnah dkk., 2005). Faktor penentu distribusi ikan yaitu tipe habitat, stratifikasi suhu dan oksigen terlarut, serta ketersediaan makanan alami (Krebs, 1985; Lagler et al., 1977). Ikan bonti-bonti termasuk ikan endemik dan bersifat pelagis. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007, Pasal 23 ayat 2c menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan endemik (daerah penyebaran terbatas), endemisitas merupakan suatu keadaan dari jenis ikan tertentu yang memiliki sebaran terbatas. Menurut Weber and Beaufort (1922), ikan ini hanya terdapat di perairan Danau Towuti. Sedangkan menurut Kottelat et al., (1993) dan Wirjoatmodjo dkk., (2003) ikan ini selain terdapat di Danau Towuti juga terdapat di Danau Mahalona. Ikan dari famili Telmatherinidae menyebar luas di Danau Towuti (Wirjoatmodjo et al., 2003). Ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) yang merupakan famili Telmatherinidae (satu famili dengan P. striata) dijumpai mulai dari bagian tepi hingga ke bagian tepi Pulau Loeha di bagian tengah Danau Towuti (Nasution, 2004). Gambar 3 memperlihatkan jenis-jenis ikan famili Telmatherinidae yang dominan. Kelimpahan ikan rainbow selebensis Gambar 3. Jenis ikan dominan dari famili Telmatherinidae yang terdapat di Danau Towuti (Sumber: Wirjoatmodjo dkk., 2003) 10

32 (37,8 %) dan bonti-bonti (41,7 %) di Danau Towuti adalah paling tinggi dibandingkan dengan famili Telmatherinidae yang lain (Wirjoatmodjo dkk., 2003 dan Nasution, 2006). Reproduksi Sifat seksual primer pada ikan ditandai adanya testis dan ovarium untuk membedakan jenis kelamin. Sifat seksual sekunder pada ikan ialah tanda-tanda luar pada ikan yang dipakai untuk membedakan antara ikan jantan dan ikan betina. Beberapa ikan merupakan ikan yang tergolong seksual dimorfisme artinya ikan tersebut memiliki sifat yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina. Seperti halnya pada kelompok rainbow, untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina dapat dilihat dari sirip punggung pertama, sirip punggung ikan jantan lebih panjang dibandingkan ikan betina. Tanda lain adalah pada warna tubuh, ikan jantan memiliki warna yang lebih cerah dan menarik dibandingkan ikan betina yang lebih pucat (Nasution, 2005a), tanda seksual ini disebut sexual dichromatisme. Tingkat kematangan gonad adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan tersebut memijah. Perkembangan gonad merupakan bagian dari proses reproduksi ikan. Terjadinya perkembangan gonad ini sebagai akibat adanya proses vitellogenesis yaitu proses pengendapan kuning telur pada tiap-tiap sel telur. Sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme ikan dimanfaatkan bagi keperluan perkembangan gonadnya. Untuk mengetahui perubahan gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu indeks kematangan gonad (IKG) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. Bagenal (1978) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai IKG <20% dapat memijah berkali-kali dalam setahun. Menurut Biusing (1987) ikan jantan umumnya mempunyai nilai IKG yang lebih rendah dibandingkan ikan betina. Sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah berat sampai mencapai batas maksimum sesaat sebelum terjadi pemijahan. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu maka dapat diketahui ukuran ikan mulai memijah. 11

33 Ukuran ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta strategi reproduksinya. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama. Hal ini disebabkan antara lain oleh perbedaan strategi hidup atau pola adapatasi ikan itu sendiri (Biusing, 1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dalam meliputi perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologi kemampuan ikan beradaptasi terhadap lingkungannya, sedangkan faktor luar antara lain makanan, suhu, arus, dan perbandingan jumlah ikan jantan dan betina (Lagler et al., 1997). Ikan rainbow selebes yang terdapat di Sungai Maros (ukuran panjang total ikan jantan dan ikan betina antara mm) pertama kali berkembang gonadnya pada ukuran 15 mm (Andriani, 2000). Ikan jantan mencapai TKG IV (matang gonad) pertama kali berukuran 45,00-50,99 mm dan ikan betina berukuran 33,00-44,99 mm panjang baku. Menurut Hoedeman (1975) rainbow selebes mencapai kematangan seksual pada ukuran ± 50 mm dalam waktu pemeliharaan intensif selama enam bulan. Pada spesies rainbow irian (Melanotaenia boesemani), kematangan gonad dicapai pada ukuran panjang baku 63,40 mm (Allen and Cross, 1980). Fekunditas ialah jumlah telur pada ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah. Hunter et al., (1992) menyatakan bahwa fekunditas total adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovari yang akan dikeluarkan pada waktu memijah. Fekunditas satu spesies ikan selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetis, juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan bagi induk ikan (Wootton, 1979; Ridwan, 1979; dan Royce, 1984). Fekunditas mempunyai keterkaitan dengan umur, panjang atau bobot individu, dan spesies ikan. Pertambahan bobot dan panjang ikan cenderung meningkatkan fekunditas secara eksponensial (Effendie, 1979). Dalam proses reproduksi sebelum terjadi pemijahan, gonad semakin besar dan bertambah berat, begitu pula butir-butir telur yang ada di dalamnya. Frekuensi pemijahan dapat diduga dari distribusi diameter telur pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus distribusinya, sedangkan lama pemijahannya dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur (Hoar, 1957). Dikatakan pula bahwa ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang 12

34 panjang dan terus menerus ditandai oleh banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium, sehingga dapat dikatakan sebaran diameter telur pada tiap tingkat kematangan gonad akan mencerminkan pola pemijahan ikan tersebut. Secara umum terdapat dua tipe ikan yang berbeda dalam mengantisipasi atau beradaptasi terhadap tekanan lingkungan. Perbedaan kedua tipe yang terkait dengan siklus hidup ikan menggambarkan pola seleksi atas tekanan lingkungan yang berbeda, yaitu spesies dengan pola seleksi tipe k yang hidup di perairan yang stabil dan populasi yang padat (crowded). Spesies dengan pola seleksi tipe r adalah spesies yang cocok untuk pertumbuhan populasi maksimum pada suatu kondisi lingkungan yang tidak padat (uncrowded) dan tekanan lingkungan yang tidak stabil (Horn, 1978; Bone and Marshal, 1982; Lowe and McConell, 1991). Mann and Mills (1979) dan Bone and Marshal (1982) membuat daftar yang mencirikan seleksi tipe k dan r (Tabel 1). Tabel 1. Pola seleksi tipe k dan r kaitannya dengan siklus hidup ikan Seleksi tipe k a) Kepadatan penuh b) Lingkungan stabil c) Reproduksi sekali setahun d) Ukuran tubuh besar e) Fekunditas sedikit f) Pertumbuhan lambat g) Jangka hidup panjang h) Kondisi lingkungan dapat diperkirakan i) Parental care Seleksi tipe r a) Kepadatan tidak penuh b) Lingkungan kurang stabil c) Reproduksi sepanjang tahun d) Ukuran tubuh kecil e) Fekunditas banyak f) Pertumbuhan cepat g) Jangka hidup pendek h) Kondisi lingkungan sulit diperkirakan i) Tidak parental care Makanan dan Kebiasaan Makan Makanan merupakan faktor pengendali yang penting bagi reproduksi, dinamika populasi, dan kondisi ikan di suatu perairan (Nikolsky, 1963). Tidak semua jenis makanan yang ada di perairan disukai oleh ikan. Faktor-faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu jenis makanan oleh ikan adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, dan selera ikan terhadap makanan. 13

35 Berdasarkan makanannya, ada ikan planktivora, herbivora, detritivora, karnivora, dan omnivora. Berdasarkan jumlah variasi makanan, ikan dapat dibagi menjadi: euryphagic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenophagic yaitu ikan pemakan makanan yang macamnya sedikit atau sempit, dan monophagic yaitu ikan yang makanannya terdiri dari satu macam makanan saja (Effendie, 2002). Jenis ikan dari famili Telmatherinidae seperti rainbow selebes dan rainbow selebensis termasuk jenis karnivora yang cenderung insektivora. Pada ikan rainbow selebes makanan utamanya Insekta diikuti oleh Crustacea, Protozoa, Rotifera, Bacillariophyceae (diatom), dan Chlorophyceae (alga hijau) (Andriani, 2000 dan Furkon, 2003). Kebiasaan makanan adalah semua jenis makanan yang biasa dimakan oleh ikan, meliputi kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan. Dengan demikian kebiasaan makanan dan cara makan itu secara alami bergantung kepada lingkungan tempat ikan itu hidup (Effendie, 2002). Kebiasaan makanan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain habitat, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, periode harian mencari makanan, spesies kompetitor, ukuran, dan umur ikan (Ricker, 1970) Urutan kebiasaan makanan ikan terdiri dari: makanan utama yaitu makanan yang biasanya dikonsumsi dalam jumlah banyak; makanan pelengkap yaitu makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang sedikit; makanan tambahan yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain itu terdapat makanan pengganti yaitu makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia (Nikolsky, 1963). Dinamika Stok Ikan Pertumbuhan Pertumbuhan individu adalah pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam suatu ukuran waktu, sedangkan pertumbuhan populasi adalah pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan ikan merupakan suatu pola yang kompleks meliputi beberapa faktor antara lain kualitas air, ukuran, umur, jenis kelamin, dan ketersediaan organisme-organisme makanan. 14

36 Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi keturunan, sex, umur, dan penyakit. Faktor luar meliputi jumlah dan ukuran makanan yang tersedia di dalam perairan serta kualitas air. Laju pertumbuhan organisme perairan tergantung kepada kondisi lingkungan dan ketersediaan organisme makanan di dalam perairan (Nikolsky, 1963). Salah satu parameter untuk mengetahui populasi ikan secara lebih mendalam adalah pola pertumbuhan ikan tersebut. Data sebaran frekuensi panjang digunakan untuk penentuan kelompok ukuran ikan dalam populasi, struktur populasi, ukuran pertama kali matang gonad, dan lamanya hidup. Sebaran data frekuensi panjang yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk pendugaan umur ikan. Berdasarkan data panjang tersebut dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L ) dan koefisien pertumbuhannya (K). Hubungan umur dengan panjang ikan dapat diduga melalui data komposisi panjang yang dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Selanjutnya data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Spare and Venema, 1999). Rekrutmen (Penambahan Baru) Rekrutmen diartikan sebagai penambahan stok baru (dari semua ukuran) ke dalam populasi. Ada beberapa definisi stok yaitu: 1) suatu gugus dari suatu spesies yang mempunyai parameter pertumbuhan dan kematian sama, serta menghuni suatu wilayah geografis tertentu; 2) kelompok ukuran ikan yang tersedia pada waktu tertentu sehingga dapat tertangkap oleh alat tangkap. Masuknya stok dari luar wilayah perikanan ke dalam suatu stok perikanan (rekrut) yang sedang dieksploitasi tersebut berasal dari hasil reproduksi yang telah mencapai ukuran stok. Faktor penentu besarnya rekrutmen adalah jumlah induk yang siap memijah, fekunditas rata-rata, perbandingan induk jantan dan betina, sintasan pada rentang waktu antara pemijahan sampai dengan ikan mencapai ukuran stok (rekrut), dan laju eksploitasi (E) (Spare and Venema, 1998). Sukimin (2006) menyatakan bahwa stok adalah konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi. Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan, rekrutmen, dan mortalitas (kematian). Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik 15

37 dalam persamaan untuk memprediksi ukuran ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas (kematian) mencerminkan suatu laju kematian hewan (ikan) yakni jumlah kematian per unit waktu. Parameter mortalitas adalah mortalitas karena kegiatan penangkapan, yang mencerminkan kematian karena penangkapan dan mortalitas alami yang merupakan kematian karena penyakit, pemangsaan, dll. Pengkajian stok ikan yang dieksploitasi dapat dibuat dengan data perikanan komersial yang meliputi: 1. Hasil tangkapan total ikan (menurut jenis ikan, daerah, waktu, dan jenis alat tangkap). 2. Upaya penangkapan (menurut daerah dan jenis alat tangkap) 3. Frekuensi sebaran panjang ikan (menurut jenis dan jenis kelamin). Tujuan dari frekuensi sebaran panjang adalah untuk mengetahui komposisi ukuran ikan hasil tangkapan. Apabila terlalu sedikit ikan ukuran besar (tua) yang tertangkap, maka stok ikan sudah tangkap lebih dan tekanan penangkapan terhadap stok ikan tersebut harus dikurangi. Sedangkan apabila terlalu banyak ikan berukuran besar (tua) yang tertangkap, maka stok ikan masih di bawah tekanan penangkapan dan masih banyak lagi ikan yang dapat ditangkap untuk memaksimalkan hasil. 4. Data biologi ikan (misalnya ukuran ikan dewasa dan siap memijah/tingkat kematangan gonad) 5. Data alat tangkap (misalnya ukuran mata jaring) dan operasi penangkapan. Masukan dari data-data tersebut, akan diperoleh tingkat penangkapan optimum (tingkat optimum dari mortalitas/kematian karena penangkapan) dan dapat ditentukan hasil tangkapan maksimum lestari atau nilai dan posisi sekarang terhadap optimalnya (Sukimin, 2006). Potensi penambahan baru dapat dilihat dari nilai ukuran panjang ikan pertamakali mencapai ukuran matang gonad (T m50 ) dari waktu ke waktu. Nilai tersebut ditentukan berdasarkan kurva logistik ukuran ikan matang gonad. Trippel et al., (1997) mengkaji jumlah ikan T m50 pada beberapa penelitian stok ikan yang mengalami tangkap lebih (over exploitation), diperoleh ukuran ikan T m50 semakin kecil dan potensi penambahan baru stok ikan cenderung menurun. 16

38 Potensi penambahan baru juga ditentukan besarannya dengan mengalisis sebaran panjang dan dianalisis dengan metode Elefan II pada program FiSAT. Model yang dikembangkan Beverton and Holt (1957) adalah model analitik rekrutmen atau model hasil per penambahan baru. Model ini dikembangkan dengan asumsi bahwa pertumbuhan populasi akan mengikuti persamaan: N t = N o e Zt Keterangan: N t = jumlah ikan pada waktu t N o = jumlah ikan pada awal observasi (t=0) Z = tingkat kematian total Apabila kajian dilakukan terhadap satu kohort (sekelompok ikan yang mempunyai umur yang sama) dan umur (t) dimulai saat ikan memasuki ukuran rekrutmen (t r ), maka rumus di atas menjadi: N t = R e Z(tc-tr) Pada periode t r t c (t c = umur ikan pertama kali tertangkap), ikan belum tertangkap, sehingga F = 0, karena Z = F + M, dan F = 0, maka Z = M. Dengan demikian pada periode t r ke t c rumus tersebut menjadi: N t = R e M(tc-tr) Jika pada saat ikan mencapai umur t c jumlah ikan adalah R, maka: R = R e M(tc-tr) Pada selang waktu antara t c ke t (tak terhingga), Z = M + F, karena sudah terjadi penangkapan. Oleh karena itu: N t = R e (M+F) (t-tr) Jika selang waktu diundurkan mulai dari t r ke t, maka persamaan menjadi: N t = R {e (M(tc-tr) } {e (M+F) (tc-tc) } Mortalitas Total (Z) Laju mortalitas total (Z) dalam suatu perikanan yang tertangkap sangat penting untuk menganalisis dinamika suatu populasi. Mortalitas dapat dibedakan dalam mortalitas alami (M) dan mortalitas karena eksploitasi (F). Laju mortalitas total dapat diduga dari pergeseran kelimpahan kelompok umur dan dari analisis kurva tangkapan menggunakan data frekuensi panjang. Mortalitas total dapat dihitung menggunakan rumus Z = M + F. 17

39 Teknik kuosien Z/K dan modifikasinya dikembangkan oleh Beverton and Holt (1957) dan oleh Watherall (1986). Validitas metode ini didasarkan pada asumsi bahwa sampel ikan diperoleh dari populasi yang stabil dengan penambahan baru dan laju mortalitas yang konstan serta mengikuti model pertumbuhan Von Bertalanffy. Nilai Z/K dapat diduga jika nilai-nilai L, L c dan L diketahui dengan persamaan: atau jika L diketahui dapat digunakan rumus : Keterangan : K = indeks kurva pertumbuhan Von Bertalanffy L = panjang infiniti L = rata-rata panjang ikan dalam kelompok umur tertentu L c = panjang ikan pertama tertangkap alat L = panjang ikan terkecil dalam sampel dengan jumlah sudah dapat diperhitungkan/representatif Mortalitas Alami (M) Faktor-faktor penyebab terjadinya mortalitas alami antara lain penyakit, parasit, karena tua, pencemaran, persaingan dan pemangsaan. Mortalitas alami (M) ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti belum diketahui. Laju mortalitas alami dapat diduga menggunakan pendekatan empiris Pauly (1983), yaitu menunjukkan adanya pengaruh suhu rata-rata tahunan (T) terhadap laju mortalitas alami ikan. Rumus empiris Pauly adalah sebagai berikut: Log M = -0,0066 0,279 log L + 0,6543 log K + 0,4634 log T Keterangan : M L K T = mortalitas alami/tahun = panjang infiniti (mm) = koefisien pertumbuhan/tahun = suhu rata-rata tahunan Mortalitas Eksploitasi (F) Kecepatan eksploitasi atau pendugaan kematian karena eksploitasi (F) diberi batasan sebagai kemungkian ikan akan mati karena eksploitasi selama periode tertentu bilamana semua faktor penyebab kematian bekerja terhadap populasi. Kecepatan eksploitasi dapat diduga dari keterangan populasi virtual 18

40 yang dapat memberikan dugaan maksimum. Populasi virtual adalah jumlah hasil tangkapan dari cohort tertentu selama hidupnya. Karena itu hasil tangkapan dalam tahun tertentu bagaimana nisbinya terhadap hasil tangkapan tahun saat ini dan semua tahun lalu, adalah merupakan penduga. Penduga ini maksimum karena dugaan populasi virtual adalah pendugaan yang minimum, tidak meliputi ikan yang mati karena sebab-sebab lain kecuali laporan hasil tangkapan. Mortalitas eksploitasi dapat diperoleh setelah diketahui mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) dari persamaan F = Z - M. Model Hasil per Penambahan Baru (Y/R) Secara matematik model hasil per penambahan baru (Y/R) terdiri atas persamaan yang menyatakan bahwa hasil dari suatu kelas ukuran atau umur ikan atau populasi tunggal sebagai fungsi parameter pertumbuhan dan mortalitas: Keterangan : Y = hasil F t = laju mortalitas penangkapan pada waktu t N t = banyaknya ikan pada waktu t = bobot ikan pada waktu t W t Apabila persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dimasukkan ke dalam persamaan hasil dari Beverton and Holt (1957), maka persamaan menjadi: Y R = F. e -M(tc-tr). W Σ 3 Un* e -nk(tc-to) F + M + nk Jika kondisi stok sangat tereksploitasi, setiap terjadi penambahan baru yang masuk ke dalam stok langsung tertangkap oleh alat tangkap yang beroperasi (knife-edge recruitment fisheries), maka t c = t r sehingga persamaan dapat disederhanakan menjadi: Y R = F. W Σ 3 Un* e -nk(tc-to) F + M + nk Persamaan tersebut dapat ditulis juga dalam bentuk lain sehingga memudahkan dalam perhitungan, yaitu: Y R = F. W 1 3 S 3 S 2. X + Z+K + Z+2K + S 3 Z +3K 19

41 Keterangan: S = e -nk(tc-to) K = koefisien pertumbuhan Von Bertalanffy t o = umur teoritis pada waktu panjang ikan = 0 t c = umur pada waktu ikan pertama tertangkap alat t r = umur pada waktu ikan masuk ke dalam stok (rekrut) F = laju mortalitas penangkapan M = laju mortalitas alami Z = laju mortalitas total = F + M Konservasi dan Pengelolaan Konservasi Definisi konservasi sumber daya ikan menurut Undang-undang tentang Perikanan No. 31 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Keendemisan flora dan fauna yang terdapat di suatu habitat perairan adalah salah satu faktor untuk dibuat klasifikasi kawasan, sehingga habitat perairan tersebut dapat dilindungi, dikonservasi, dan dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan klasifikasi kawasan menurut UU No. 5 Tahun 1990 dan SK Mentan No.274/Kpts/Um/1979 pada tanggal 24 April 1979 bahwa Danau Towuti ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) yaitu kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Hal ini karena keindahan pemandangan dan hutan-hutan di sekitarnya. Konservasi untuk kegiatan perikanan adalah suatu kegiatan positif yang mencakup kegiatan-kegiatan perlindungan, pemeliharaan, restorasi/rehabilitasi yang bertujuan untuk pemanfaatan secara berkelanjutan ekosistem alami. Pada kondisi sumber daya perikanan yang berada dalam status rawan punah (vulnerable species) perlu dilakukan tindakan konservasi untuk mempertahankan kelestariannya seperti pada kasus ikan bonti-bonti. Menurut Thohari dan Alikodra (2005), strategi konservasi dapat dilakukan dengan cara mengamankan (save it), mempelajari (study it) dan memanfaatkan (use it) sumber daya perikanan. 20

42 Konservasi dapat dibagi menjadi konservasi in-situ dan konservasi ekssitu. Konservasi in-situ adalah untuk menjaga keberadaan sumberdaya ikan umumnya dan ikan endemik khususnya di habitatnya secara alamiah agar sumberdaya ikan yang ada tetap dipertahankan keberadaannya. Konservasi eks-situ yaitu melindungi dan mengembangkan sumberdaya ikan umumnya dan ikan endemik khususnya agar memberikan manfaat untuk dikembangkan dan dikembalikan ke alam. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, bahwa konservasi in-situ dapat dilakukan dengan membuat: 1) Kawasan Suaka Alam yaitu Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa, 2) Kawasan Pelestarian Alam yaitu Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Konservasi in-situ fungsi utamanya adalah sebagai: 1) fungsi ekologis dalam menunjang peningkatan populasi alami melalui pemulihan populasi, 2) fungsi sosio ekonomi dan sosio budaya dalam memenuhi aspek pemanfaatannya bagi kesejahteraan manusia seperti membuat suaka perikanan (reservat) perairan darat. Konservasi eks-situ dapat diterapkan melalui teknologi penangkaran atau domestikasi yaitu: 1) teknologi penangkaran untuk konservasi, teknologi ini dilakukan pada jenis ikan yang terancam punah dan langka, tidak boleh ada persilangan atau erosi genetik, dan tidak ada nilai profit. Apabila penangkaran telah dilakukan, maka harus dilakukan restocking ke habitat aslinya; 2) teknologi penangkaran untuk konservasi, sebagian bisa dimanfaatkan dan teknologi ini dilakukan untuk jenis ikan yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, mempunyai nilai komersial, dan sebagian dari hasil penangkaran harus dikembalikan ke habitat aslinya. Pengelolaan Definisi pengelolaan perikanan berdasarkan Undang-undang tentang Perikanan No. 31 Tahun 2004 adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. 21

43 Menurut King (1997), pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk: 1) memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan; 2) memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan; dan 3) secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama nelayan. Prinsip dasar yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan ikan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomas ikan. Oleh sebab itu upaya pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat diketahui. King (1997) mengemukakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya perikanan yang merupakan keterkaitan antara pengkajian stok, tujuan, strategi dan pengaturan pengelolaan perikanan. Penentuan strategi pengelolaan akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap upaya eksploitasi terutama untuk memantau apakah sudah terjadi tangkap lebih (over fishing) dengan melihat hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan ukuran dominan yang tertangkap. Berdasarkan hasil kajian stok dan pemantauan tersebut, dengan memperhatikan aspek resiko yang ditemukan dan aspek lingkungan (ekologi, sosial ekonomi dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya eksploitasi (jenis alat, jumlah alat, jumlah nelayan, waktu dan lokasi penangkapan) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran dan jumlah ikan yang boleh ditangkap) (Gambar 4). Agar populasi sumberdaya ikan tetap berkelanjutan, diperlukan usahausaha sejak dini untuk menemukan suatu bentuk pengelolaan dengan melakukan pengaturan pengelolaan agar tidak terjadi tangkap lebih. Adapun berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum antara lain pembatasan wilayah (zonasi) dan musim eksploitasi, pembatasan jumlah upaya dan hasil tangkapan, serta pengaturan ukuran mata jaring (Gulland, 1977). Contoh kebijakan pengelolaan dalam upaya konservasi ikan rainbow selebensis (T. celebensis) di Danau Towuti, penangkapan ikan ini dibatasi 22

44 pada bulan November (saat terjadi puncak pemijahan) serta di lokasi yang terdapat tanaman air pada perairan yang relatif dangkal. Pembatasan dimaksudkan untuk melindungi ikan yang akan memijah sehingga potensi dan daya pulih ikan (rekrutmen) dapat tercapai (Nasution, 2004a). 23

45 Pertumbuhan Rekrutmen Stok ikan Mortalitas alami Mortalitas penangkapan Upaya penangkapan Hasil tangkapan Masukan terkontrol Luaran terkontrol Pemantauan Pengkajian stok CPUE Struktur Ukuran ikan Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan Strategi pengelolaan Peraturan perikanan Pengkajian resiko Gambar 4. Hubungan antara pengkajian stok ikan, strategi pengelolaan, dan peraturan perikanan (dimodifikasi dari King 1997). 24

46 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pengamatan dilakukan setiap bulan secara time series selama 12 bulan dari bulan Mei 2006 hingga April Pengambilan data disesuaikan dengan penangkapan bagan yaitu pada saat bulan gelap (akhir dan awal bulan). Pengambilan sampel ikan, dan data lingkungan/habitat dilakukan setiap sampling. Analisis sampel dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong. Metode dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Desain penelitian ditetapkan dengan cara zonasi (segmentasi) dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik perairan Danau Towuti berdasarkan tipologi habitat, pengaruh/tekanan lingkungan sekitar danau, dan eksploitasi. Penentuan stasiun penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa: (1) contoh ikan yang diperoleh akan mewakili ikan bonti-bonti (Paratherina striata) yang ada di Danau Towuti, (2) habitat sesuai bagi ikan tersebut, (3) efisiensi operasional pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan lima stasiun penelitian di Danau Towuti (Gambar 5 dan Lampiran 1) menggunakan GPS (Geographic Positioning System) (Lampiran 2) sebagai berikut: Stasiun I : Stasiun II : Stasiun III : Tanjung Bakara, terletak di daerah yang mendapat pengaruh sawmill dan aktivitas penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan dengan kedalaman air 1,5-10 m. Substrat terdiri dari batu, pasir, dan lumpur. Koordinat: 02 o 40 47,1 LS; 121 o 25 04,0 BT. Inlet Danau Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga dengan kedalaman air 1-20 m. Substrat terdiri dari batu, kerikil, dan pasir serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat: 02 o 39 43,4 LS; 121 o 32 46,0 BT. Pulau Loeha, daerah terletak di tengah danau dan tidak dihuni oleh penduduk dengan kedalaman air >10 m. Substrat terdiri 25

47 dari batu, kerikil, dan pasir. Koordinat: 02 o 44 33,9 LS; 121 o 34 44,6 BT. Stasiun IV : Outlet Danau Towuti (Sungai Hola-hola) yang mengalir ke Sungai Larona dengan kedalaman air 3-10 m. Substrat terdiri dari batu dan lumpur, terdapat tanaman air serta jauh dari tempat tinggal penduduk. Koordinat: 02 o 47 35,1 LS; 121 o 24 21,1 BT. Stasiun V : Beau, terletak di daerah yang mendapat pengaruh aktivitas penduduk yang tinggi dalam bidang perikanan dengan kedalaman air 1,5-5 m. Substrat terdiri dari lumpur berpasir dan banyak terdapat tanaman air. Koordinat: 02 o 51 23,2 LS; 121 o 32 46,6 BT. S. Tominanga S. Larona Keterangan: I-V = stasiun pengamatan Gambar 5. Peta lokasi penelitian di Danau Towuti Peta landsat 21 Mei 2004 (Hehanussa, 2006) dengan modifikasi 26

48 Variabel Pengukuran Parameter lingkungan yang diukur: a) Suhu air ( o C) b) Oksigen terlarut/do (mg/l) c) Konduktivitas (µs/cm) d) Derajat keasaman/ph e) Alkalinitas (mg/l CaCO 3 ) f) Curah hujan (ml/th) g) Tinggi muka air (m) Parameter biologi yang diukur: a) Kelimpahan plankton b) Jenis kelamin c) Panjang tubuh (mm) d) Bobot tubuh (gram) e) Karakter morfometrik (cm) f) Bobot gonad (gram) g) Tingkat kematangan gonad (TKG) h) Fekunditas dan diameter telur i) Kelimpahan dan distribusi ukuran panjang dan struktur TKG j) Makanan ikan Parameter dinamika stok dan tingkat eksploitasi yang diukur: a) Frekuensi panjang hasil tangkapan experimental gillnet setiap bulan selama setahun b) Jumlah kepemilikan alat tangkap (bagan) nelayan sampel c) Ukuran mata jaring bagan (cm) d) Lama eksploitasi bagan (jam) e) Jumlah pengangkatan jaring bagan dalam satu malam f) Kelimpahan hasil tangkapan (produksi/biomas) bagan setiap bulan selama setahun 27

49 Bahan dan Metode Pengukuran Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel air, ikan hasil tangkapan dengan experimental gillnet pada setiap stasiun dan bagan, serta bahan pengawet (formalin, alkohol, lugol, dan larutan bouin). Metode Pengukuran Parameter lingkungan: a) Peneraan kualitas air diukur secara insitu menggunakan Water quality checker (WQC) Horiba yang mewakili musim hujan, kemarau, dan peralihan (Lampiran 2). Pengukuran dilakukan di setiap stasiun secara horizontal dalam badan air (sampai 50 cm di bawah permukaan air) pada pukul WITA di hari yang sama sebelum pengambilan sampel ikan. Parameter biologi: a) Sampel plankton diambil menggunakan Kemmerer water sampler kemudian disaring menggunakan plankton net No. 25 (porositas 40 µ). Sampel plankton diambil pada setiap zona secara horizontal dalam badan air (sampai 50 cm di bawah permukaan air). Volume air yang disaring 20 liter. Sampel air yang terkonsentrasi (30 ml) dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berlabel dan ke dalamnya dimasukkan 3-4 tetes larutan lugol sampai berwarna coklat. Menghitung kelimpahan plankton dengan cara mengambil sampel menggunakan pipet, kemudian diletakkan di atas gelas objek dan diamati menggunakan mikroskop binokuler. Pemeriksaan diulang tiga kali dan nilai yang diperoleh dirata-ratakan. Identifikasi plankton menggunakan buku petunjuk Needham and Needham (1963) dan Mizuno (1970). Penentuan kelimpahan plankton dilakukan dengan metode Lackley drop microtransect counting (Anonymous, 1992). b) Sampel ikan ditangkap menggunakan experimental gillnet (Lampiran 3) dengan ukuran mata jaring ⅝, ¾, 1, dan 1¼ inci dengan panjang tiap ukuran mata jaring masing-masing 50 m dan tinggi 2 m, sehingga panjang total jaring satu unit adalah 200 m. Jaring dilengkapi pelampung pada bagian atas dan pemberat pada bagian bawah. Satu unit jaring dioperasikan dengan cara dibentangkan membentuk sudut 45 o -90 o terhadap garis pantai yang dipasang di kolom air bagian atas secara bergiliran di setiap stasiun. Data 28

50 kelimpahan ikan hasil tangkapan menggunakan alat tangkap experimental gillnet diperoleh dari total tangkapan masing-masing stasiun. Jumlah dan ukuran ikan dihitung per penarikan alat tangkap selama ±15 jam. Sampel ikan tersebut selanjutnya dibagi menjadi beberapa kelompok kelas ukuran panjang. Sampel ikan diawetkan dalam formalin 4%, selanjutnya direndam dalam alkohol 70%. Panjang dan bobot ikan diukur dan ditimbang, kemudian dipisahkan menurut jenis kelamin. Data produksi ikan hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bagan diperoleh dari nelayan bagan. Pengumpulan data diperoleh dari 30% populasi bagan yang beroperasi di Danau Towuti melalui observasi dan wawancara menggunakan lembar data kuesioner (Lampiran 4). c) Jenis kelamin ikan diketahui dengan melihat tanda seksual primer (gonad) dan seksual sekunder seperti warna tubuh dan keadaan siripnya. d) Panjang ikan diukur menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,5 mm. e) Pengukuran karakter morfometrik ikan menggunakan metode baku yang mengacu pada Kottelat et al. (1993) yang dimodifikasi. Karakter morfometrik ikan dapat dilihat pada Gambar 6 yang meliputi 22 karakter. f) Bobot tubuh dan gonad diukur menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,001 g. g) Makanan ikan bonti-bonti dapat diketahui dengan cara membedah ikan dan mengambil lambungnya, kemudian diawetkan dalam formalin 4%. Bagian lambung dibedah dan isinya diamati di bawah mikroskop Olympus CH-2 jenis binokuler dengan perbesaran 4x10 menggunakan metode estimasi persentase volume lapang pandang yang dilakukan sebanyak tiga ulangan. Selanjutnya diidentifikasi jenisnya menurut Edmondson (1963), Prescott (1970), dan Patrick (1981). h) TKG ikan dilihat secara morfologi dan histologi dengan teknik pewarnaan yang mengacu pada Kiernan (1990) dan diidentifikasi dengan mengacu pada Nagahama (1983), Hardjamulia dkk., (1995), Takashima and Hibiya (1995) dan Yoneda et al., (2002) dengan modifikasi. i) Ikan pertama kali matang gonad diketahui menggunakan metode Least square regression. 29

51 PT PF PB PK PMSP1 PSD PSP1 PDSP1 PDSP2 PSP2 TK TB TBE PM PMSD PS PDSA PDSA PBE PMSA Gambar 6. Karakter morfometrik ikan bonti-bonti Keterangan: 1. Panjang total (PT) 2. Panjang baku (PB) 3. Panjang forskal (PF) 4. Tinggi badan (TB) 5. Tinggi batang ekor (TBE) 6. Panjang batang ekor (PBE) 7. Panjang dasar sirip punggung pertama (PDSP1) 8. Panjang sirip punggung pertama (PSP1) 9. Panjang dasar sirip punggung kedua (PDSP2) 10. Panjang sirip punggung kedua (PSP2) 11. Panjang dasar sirip anal (PDSA) 12. Panjang sirip anal (PSA) 13. Panjang sirip dada (PSD), 14. Panjang sirip perut (PS) 15. Tinggi kepala (TK) 16. Lebar kepala (LK) 17. Panjang kepala (PK) 18. Panjang mulut (PM) 19. Diameter mata (DM) 20. Panjang dari mulut ke sirip punggung pertama (PMSP1) 21. Panjang dari mulut ke sirip dada (PMSD) 22. Panjang dari mulut ke sirip anal (PMSA) j) Fekunditas ikan diketahui dengan menghitung jumlah telur pada ikan matang gonad (TKG IV). Telur diawetkan dalam larutan gilson, kemudian dihitung jumlahnya dengan metode gravimetrik (Effendie 1979). Sampel ikan diambil sekurang-kurangnya 30 ekor dari total hasil tangkapan tiap periode pengambilan sampel. k) Diameter telur ikan dapat diketahui dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 100 butir telur dari ikan yang berada pada TKG I, II, III, IV, dan V sekurang-kurangnya 30 ekor dari total hasil tangkapan tiap periode pengambilan sampel. Diameter telur diamati dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. 30

52 Parameter dinamika stok dan tingkat eksploitasi: a) Experimental gillnet dioperasikan selama ±15 jam sekali sebulan di setiap stasiun. b) Ukuran mata jaring (mesh size) bagan (Lampiran 3), diukur menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,5 mm, dilakukan dengan meregangkan jaring. c) Dimensi jaring (panjang dan lebar bagian keseluruhan jaring) bagan diukur menggunakan meteran. d) Jumlah alat tangkap dan nelayan bagan yang beroperasi di perairan Danau Towuti diperoleh dari enumerator yang dijadikan sampel. e) Jumlah pengangkatan jaring bagan, diukur sejak penurunan jaring sampai pengangkatan. Metode yang digunakan adalah dengan cara observasi (mengikuti penangkapan) dan wawancara melalui enumerator. Pengambilan data dilakukan selama 15 hari pada saat bulan gelap. Analisis Data Parameter lingkungan: Hubungan parameter kualitas air dengan kelimpahan ikan dianalisis menggunakan analisis multivariat dengan perangkat lunak SPSS realese 11. Parameter biologi: a) Penentuan kelimpahan plankton dengan rumus Anonymous (1992): Keterangan : N = jumlah total individu plankton/liter O i = luas gelas penutup (mm 2 ) O p = luas satu lapang padang (mm 2 ) V r = volume air terkonsentrasi (ml) V o = volume satu tetes air contoh (ml) V s = volume air yang tersaring oleh jaring plankton (L) n = jumlah total individu plankton seluruh lapang pandang p = jumlah lapang pandang b) Nisbah kelamin yaitu perbandingan antara jumlah total ikan jantan dan betina yang terdapat pada setiap stasiun dihitung menggunakan rumus : 31

53 Keterangan: X = nisbah kelamin M = jumlah ikan jantan (ekor) F = jumlah ikan betina (ekor) c) Untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina, dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test menggunakan perangkat lunak Minitab dan Steel and Torrie (1981). Untuk membedakan populasi ikan bonti-bonti antar stasiun pengamatan, dilakukan analisis regresi antara karakter panjang total (PT) dengan karakter morfometrik lainnya, Analisis kovarian (Ancova) (Steel and Torrie, 1981) dan analisis pengelompokan (Cluster analysis) menggunakan perangkat lunak Multivariate statistics package (MVSP). d) Struktur populasi ikan berdasarkan jenis kelamin, struktur ukuran dan struktur TKG baik menurut stasiun dan waktu, dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test menggunakan perangkat lunak Minitab dan Steel and Torrie (1981). e) Kelimpahan ikan antar stasiun dan waktu dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test menggunakan perangkat lunak Minitab dan Steel and Torrie (1981). f) Kebiasaan makanan mengunakan Indeks bagian terbesar (Index of preponderance) dengan rumus : V i O i IP = x 100% Keterangan : IP V i O i Σ V i O i Σ V i O i = index of preponderance = persentase volume satu jenis makanan = persentase frekuensi kejadian satu jenis makanan = frekuensi kejadian seluruh jenis makanan g) Ukuran ikan pertama kali matang gonad berdasarkan ukuran panjang total menggunakan rumus (Yoneda et al., 2002): Keterangan : N = peluang ikan matang gonad (%) e = eksponensial bilangan natural a = intersept (garis potong) b = slope (kemiringan) PT = panjang total (mm) 32

54 h) Indeks kematangan gonad (IKG) ditentukan dengan menggunakan rumus yaitu: Keterangan : IKG = indeks kematangan gonad BG = bobot gonad (g) Bt = bobot tubuh (g) Nilai IKG ikan antar stasiun/habitat dan antar waktu/musim, dianalisis secara non parametrik Mann-Whitney Test menggunakan perangkat lunak Minitab dan Steel and Torrie (1981). i) Hubungan fekunditas dengan ukuran ikan (panjang dan bobot) ditentukan menggunakan analisis regresi (Steel and Torrie, 1981). j) Sampel telur yang diukur, dibuat frekuensi diameter telurnya. Sebaran diameter telur ikan pada TKG III dan IV dianalisis dengan metoda Modal progression analysis Bhattacharya menggunakan perangkat lunak FiSAT II. Variabel dinamika stok dan tingkat eksploitasi: a) Parameter pertumbuhan (K, L, dan t o ) diduga menggunakan metode ELEFAN I (Spare and Venema, 1998; Pauly,1983) yang terakomodasi pada perangkat lunak FiSAT II. b) Pendugaan laju mortalitas total (Z) dihitung dengan menggunakan metode kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang (Spare and Venema, 1998) dan menggunakan rumus Beverton and Holt (1957): Keterangan : K = indeks kurva pertumbuhan Von Bertalanffy L = panjang infinity L = rata-rata panjang ikan dalam kelompok umur tertentu L c = panjang ikan pertama tertangkap alat L = panjang ikan terkecil dalam sampel dengan jumlah sudah dapat diperhitungkan/representatif Laju mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly dengan rumus: Log M = -0,0066 0,279 log L + 0,6543 log K + 0,4634 log T 33

55 Keterangan: M = mortalitas alami/tahun L = panjang infiniti (mm) K = koefisien pertumbuhan/tahun T = suhu rata-rata tahunan Mortalitas karena eksploitasi (F) dihitung menggunakan rumus: F = Z - M Mortalitas total, alami, dan mortalitas eksploitasi dianalisis menggunakan perangkat lunak FiSAT II, sedangkan mortalitas total selain dianalisis dengan FiSAT II, juga dihitung menggunakan rumus Beverton and Holt. c) Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE), dikaji berdasarkan hasil tangkapan satuan bagan menggunakan rumus : Keterangan : CPUE i C i f i = hasil tangkapan per satuan upaya (unit) alat tangkap ke-i = volume tangkapan alat tangkap ke-i = jumlah unit alat tangkap ke-i Untuk mendapatkan CPUE total dihitung melalui standarisasi menggunakan lama waktu operasi penangkapan per malam selama 15 hari (bulan gelap). d) Analisis pola rekrutmen/r (penambahan baru) menggunakan perangkat lunak FiSAT II. e) Untuk memantau kelimpahan stok ikan, dianalisis hubungan antara hasil tangkapan (yield/y) dengan upaya penangkapan (effort/f) menggunakan bagan. f) Analisis stok berdasarkan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) menggunakan rumus Beverton and Holt: Keterangan: U = bagian dari pertumbuhan yang harus dicapai setelah masuk ke dalam fase eksploitasi E = laju eksploitasi 34

56 K = koefisien pertumbuhan Von Bertalanffy L = panjang infiniti (mm) L c = panjang ikan pertama tertangkap alat F = laju mortalitas penangkapan M = laju mortalitas alami Z = laju mortalitas total = F + M Dari hasil kajian-kajian tersebut akan disusun suatu konsep pengelolaan ikan bonti-bonti yang berdasar pada potensi pembentukan biomasa (rekrut), sehingga kelestarian sumberdaya ikan dapat terjaga dan usaha penangkapan dapat terkendali, serta daya pulih sumberdaya ikan bonti-bonti dapat berkelanjutan. Diagram alir kerangka penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7. 35

57 IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH Biologi : 1. Jenis kelamin 2. Panjang tubuh 3. Bobot tubuh 4. Bobot gonad 5. TKG 6. Fekunditas dan diameter telur 7. Ukuran pertama matang gonad Lingkungan : 1. Suhu air 2. Konduktivitas 3. DO 4. ph 5. Alkalinitas 6. Curah hujan 7. Tinggi muka air Tingkat Eksploitasi : 1. Σ alat tangkap 2. Σ nelayan 3. Ukuran mata jaring 4. Σ hasil tangkapan 5. Σ pengangkatan jaring/malam 6. Σ hari eksploitasi/bulan 1. Struktur ukuran frekuensi panjang 2. Parameter pertumbuhan 3. Parameter reproduksi Distribusi spasial dan temporal Karakteristik habitat 1. Tingkat eksploitasi 2. Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) 1. Umur 2. Mortalitas 3. Rekrutmen 4. Analisis stok 1. Lokasi/waktu rekrutmen 2. Lokasi/waktu penelitian KERAGAAN STOK DAN TINGKAT EKSPLOITASI IKAN BONTI-BONTI KONSEP PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN BONTI-BONTI Gambar 7. Diagram alir kerangka penelitian 36

58 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekobiologi Distribusi Ikan secara Spasial Ikan bonti-bonti yang tertangkap di Danau Towuti selama penelitian berjumlah ekor yang terdiri dari 879 ekor jantan dan 791 ekor ikan betina. Data distribusi ikan bonti-bonti antar stasiun (dinyatakan dalam jumlah dan ukuran), disusun mulai dari stasiun dengan kelimpahan tertinggi hingga terendah yaitu stasiun II = Inlet Danau Towuti (ikan jantan = 505, ikan betina = 466), stasiun III = Pulau Loeha (ikan jantan = 160, ikan betina = 124), stasiun IV = Outlet Danau Towuti (ikan jantan = 102, ikan betina = 123), stasiun I = Tanjung Bakara (ikan jantan = 64, ikan betina = 42), dan stasiun V = Beau (ikan jantan = 48, ikan betina = 36) (Gambar 8). Inlet D. Towuti N = 505 Jantan Inlet D. Towuti N = 466 Betina P.Loeha N = 160 P.Loeha N = 124 Jumlah ikan (ekor) Outlet D. Towuti N = 102 Outlet D. Towuti N = 123 Tanjung Bakara N = 64 Tanjung Bakara N = 42 Beau N = 48 Beau N = 36 Kelas ukuran panjang (cm) Gambar 8. Distribusi spasial ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian di Danau Towuti 37

59 Uji non parametrik Mann-Whitney (Tabel 2) terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti di stasiun II baik pada ikan jantan (α = 0,002-0,025) maupun ikan betina (α = 0,005-0,020), menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan stasiun lainnya, demikian pula halnya dengan jumlah ikan jantan maupun ikan betina yang diperoleh juga paling banyak. Kelimpahan ikan pada stasiun III dan IV terutama pada ikan betina (124 ekor dan 123 ekor; α = 0,872) tidak berbeda nyata, sedangkan di stasiun I kelimpahannya tidak berbeda nyata dengan di stasiun V (ikan jantan α = 1,000 dan ikan betina α = 0,936). Tabel 2. Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina antar stasiun Ikan Jantan Ikan Betina II III IV V II III IV V I 0.005* 0.083* * II 0.024* 0.005* 0.002* 0.020* 0.020** 0.005** III * IV Keterangan: I = Tanjung Bakara II = Inlet D. Towuti III = P. Loeha IV = Outlet D. Towuti V = Beau ** = Sangat berbeda nyata * = Berbeda nyata (α < 0,050) Di stasiun II selain kelimpahan ikan bonti-bonti paling tinggi, kisaran ukuran panjang ikan yang didapatkan lebih lebar. Ukuran ikan yang tertangkap di stasiun II mulai dari ukuran 3,80 hingga 19,78 cm, sedangkan di stasiun I berukuran 5,40 hingga 15,02 cm dan di stasiun V berukuran 6,48 hingga 15,92 cm. Hal ini menunjukkan di stasiun II dijumpai ukuran ikan yang lebih beragam dibandingkan stasiun I dan stasiun V. Ikan bonti-bonti dijumpai di semua stasiun pengamatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan bonti-bonti menyebar luas mulai dari pinggir danau (stasiun I, II, IV, dan V) hingga ke bagian pulau di tengah Danau Towuti (stasiun III). Uji non parametrik Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan kelimpahan ikan bonti-bonti antar stasiun. Bhukaswan (1980) menyatakan bahwa distribusi spasial ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain seperti tingkah laku dalam memilih habitat. Tingkah laku pemilihan habitat menyebabkan adanya perbedaan kelimpahan ikan bonti-bonti di Danau Towuti. Tingkah laku pemilihan habitat menurut Hartoto 38

60 (1998) ditentukan oleh aktifitas ikan yang dikelompokkan antara lain dalam aktifitas mencari makan (feeding) dan pemijahan (spawning). Di stasiun II ditemukan kelimpahan ikan yang tinggi (57%) dengan ukuran ikan yang bervariasi mulai dari ukuran kecil hingga besar. Di stasiun lainnya yaitu stasiun I, III, IV, dan V, kelimpahan ikan bonti-bonti berkisar antara 5-17%. Kelimpahan ikan yang tinggi di stasiun II diduga berhubungan dengan aktifitas ikan dalam mencari makanan. Hal ini mengindikasikan adanya kelimpahan makanan ikan bonti-bonti yang tinggi di daerah tersebut. Patut diduga stasiun II merupakan tapak untuk mencari makan (feeding site) ikan bonti-bonti. Hal ini dimungkinkan karena kondisi habitat di stasiun II yang merupakan inlet Danau Towuti banyak mendapat masukan bahan allochthonous dari Sungai Tominanga. Bahan allochthonous tersebut diduga merupakan sumber makanan bagi makanan ikan bonti-bonti, namun pada penelitian ini tidak diamati. Stasiun lainnya diduga hanya merupakan tapak untuk bergerak bebas (roaming site) bagi ikan tersebut. Berdasarkan keragaman ukuran ikan tersebut, diduga stasiun II merupakan habitat utama bagi ikan bonti-bonti. Persentase ikan ukuran kecil dan besar pada ikan jantan adalah 52%:48% dan pada ikan betina adalah 68%:32%. Jumlah ikan ukuran kecil (anakan) dengan porsi yang besar, mengindikasikan stasiun tersebut juga merupakan spawning site ikan bonti-bonti. Hubungan Kualitas Air dengan Kelimpahan Ikan antar Stasiun Bhukaswan (1980) menyatakan juga bahwa distribusi spasial ikan dibatasi oleh interaksi dengan faktor lingkungan. Untuk melihat interaksi antara ikan bonti-bonti dengan faktor lingkungan (kualitas air) masing-masing stasiun selama pengamatan, dapat dilihat nilai rata-rata parameter kualitas air pada Tabel 3 dan Gambar 9. Nilai rata-rata parameter kualitas air di semua stasiun di Danau Towuti dalam setahun berfluktuasi dengan kisaran relatif sempit. Berdasarkan uji non parametrik Mann-Whitney terhadap nilai parameter kualitas air (DO, konduktivitas, ph, dan alkalinitas) menunjukkan bahwa nilai perbandingan masing-masing parameter antar stasiun tidak berbeda nyata (Tabel 4). Nilai suhu sebagian besar tidak berbeda (suhu rata-rata berkisar antara 28,2-30,1 o C). Perbedaan nilai suhu terjadi hanya di stasiun III dengan I dan II, sedangkan stasiun III dengan IV dan V dinyatakan tidak berbeda. Perbedaan suhu rata-rata 39

61 bulanan antara stasiun III (tertinggi) dengan stasiun I (terrendah) relatif kecil yaitu sebesar 0,66 o C, sehingga secara biologis bagi ikan dapat diabaikan (Lampiran 5, 6, 7, 8, dan 9). Menurut Anonim (2001) perbedaan suhu yang berpengaruh pada ikan adalah lebih besar dari 3 o C. Tabel 3. Nilai rata-rata kualitas air masing-masing stasiun dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 Stasiun ph Stdv Suhu ( o C) Ratarata Stdv DO (mg/l) Ratarata Stdv Konduktivitas (ms/cm) Ratarata Stdv Ratarata Alkalinitas (mg CaCO 3/L) Ratarata Stdv I 28,86 0,72 6,60 1,09 0,14 0,02 7,61 0,76 76,00 18,36 II 29,04 0,64 6,85 1,09 0,14 0,02 7,90 0,43 75,28 19,57 III 29,52 0,85 6,65 1,19 0,13 0,02 7,75 0,64 77,32 20,75 IV 29,35 0,96 6,60 1,46 0,13 0,02 8,02 0,34 75,10 20,83 V 29,41 0,78 6,76 1,14 0,14 0,02 7,89 0,51 77,65 21,41 Suhu ( o C) Alkalinitas (mgcaco3/l) Konduktivitas (ms/cm) 0,15 0,14 0,13 0,12 0,11 0,10 ph Oksigen terlarut (mg/l) Stasiun pengamatan Keterangan : I. Tanjung Bakara II. Inlet Danau Towuti III. Pulau Loeha IV. Outlet Danau Towuti V. Beau Stasiun pengamatan Gambar 9. Nilai kisaran kualitas air masing-masing stasiun dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 di Danau Towuti 40

62 Tingkat konduktivitas yang merupakan ukuran kandungan total ion-ion yang berada di dalam suatu badan air, sangat berguna sebagai pendekatan pendugaan kekayaan kimiawi badan air tersebut (Welcomme, 1979). Tingkat konduktivitas di perairan Danau Towuti memiliki kisaran rata-rata dan standar deviasi relatif sama di setiap stasiun dengan nilai 0,12-0,15 ms/cm. Menurut (Welcomme, 1979), tingkat konduktivitas tersebut relatif tinggi. Menurut Hartoto dan Awalina (1996), tingginya nilai konduktivitas berasal dari tingginya bahan masukan allochthonous dari daerah aliran sungai yang mengandung materialmaterial ion. Nilai rata-rata alkalinitas perairan Danau Towuti selama pengamatan berkisar antara 79,8-89,8 mg CaCO 3 /L. Menurut Swingle (1968), kisaran nilai alkalinitas antara mg/l adalah termasuk alkalinitas sedang. Nilai rata-rata ph di perairan ini berkisar antara 7,2-8,1 cenderung bersifat basa. Menurut Hartoto dan Awalina (1996) nilai ph yang bersifat basa tersebut, berasal dari aliran air permukaan yang bersifat basa dan masuk ke dalam danau. Tabel 4. Uji non parametrik Mann-Whitney terhadap nilai parameter kualitas air antar stasiun Stasiun yang dibandingkan Nilai uji non parametrik (α) Suhu DO Konduktivitas ph Alkalinitas I-II 0, , , , ,90800 I-III 0,03990** 0, , , ,79500 I-IV 0, , , , ,68600 I-V 0, , , , ,77260 II-III 0,10440* 0, , , ,00000 II-IV 0, , , , ,81730 II-V 0, , , , ,97700 III-IV 0, , , , ,70730 III-V 0, , , , ,79490 IV-V 0, , , , ,90800 Keterangan: ** = Sangat berbeda nyata * = berbeda nyata (α < 0,050) Kandungan rata-rata oksigen terlarut (DO) di perairan Danau Towuti berkisar antara 6,1-7,5 mg /L. Kandungan oksigen terlarut tertinggi sebesar 9,1 mg/l terdapat di stasiun IV (Lampiran 6). Tingginya kandungan oksigen terlarut di stasiun tersebut, dimungkinkan adanya tanaman air. Menurut Indiarto dan Nasution (2004) di daerah muara Sungai Hola-hola (stasiun IV) kerapatan 41

63 tanaman air berkisar antara 78-90% per m 2 yang didominasi oleh jenis Ottelia mesenterium. Hasil fotosintesis dari tanaman air menyebabkan tingginya kandungan oksigen terlarut di daerah tersebut. Berdasarkan uji Mann-Whitney dapat dikatakan bahwa nilai parameter kualitas air antar stasiun (secara spasial), adalah sama. Patut diduga bahwa secara spasial kelima parameter kualitas air tersebut bukan merupakan faktor yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan bonti-bonti yang tidak merata di Danau Towuti. Pada ikan rainbow selebensis, distribusi ikan dipengaruhi oleh tingkah laku pemilihan habitat. Ikan rainbow selebensis banyak ditemukan di daerah yang dangkal dan terdapat tanaman air (Indiarto dan Nasution, 2004). Kelimpahan ikan bonti-bonti lebih tinggi di stasiun II (Inlet D. Towuti) dan stasiun III (P. Loeha). Kedua stasiun memiliki kemiripan yaitu perairannya lebih dalam (>5 m) dibandingkan stasiun lain dan tidak terdapat tanaman air. Substrat kedua stasiun ini terdiri dari pasir, kerikil, dan batu. Kelimpahan ikan yang sangat berbeda nyata ditemukan pada stasiun II. Diduga Sungai Tominanga yang bermuara ke Danau Towuti mempengaruhi kelimpahan ikan di stasiun II tersebut (Gambar 5). Sungai Tominanga merupakan sungai besar yang menghubungkan Danau Towuti dengan danau di atasnya (Danau Mahalona). Danau Towuti merupakan bagian dari rangkaian tiga danau cascade yaitu Danau Matano dan Danau Mahalona. Kelimpahan ikan bonti-bonti diduga juga berkaitan dengan masukan bahan nutrien (allochthonous) dari Sungai Tominanga ke dalam perairan Danau Towuti. Piramida Umur antar Stasiun Stasiun II diduga merupakan habitat utama ikan bonti-bonti juga dapat dilihat dari piramida umur di stasiun tersebut. Menurut Dajoz (1977) ada tiga tipe piramida umur yang menggambarkan kondisi populasi ikan yaitu: 1) Piramida umur yang lebar di bagian bawah dan menggambarkan populasi ikan didominasi oleh ikan-ikan muda. Populasi ikan dapat berkembang cepat karena proses regenerasi berlangsung baik. 2) Piramida umur yang lebar di atas, hal ini menggambarkan populasi ikan di dominasi oleh ikan tua. Populasi ikan tidak berkembang karena proses regenerasi tidak berlangsung baik sehingga populasi ikan menjadi tidak stabil. 42

64 3) Piramida umur yang moderat, yaitu relatif lebar di tengah, hal ini menunjukkan bahwa populasi ikan didominasi oleh ikan ukuran sedang. Populasi ikan dalam kondisi stabil namun proses regenerasi berlangsung relatif lambat. Berdasarkan tipe piramida umur tersebut, populasi ikan bonti-bonti di masing-masing stasiun mencirikan piramida umurnya berbeda. Di stasiun II (inlet Danau Towuti) dan stasiun III (P. Loeha) memperlihatkan tipe piramida umur yang pertama (populasi ikan didominasi oleh ikan-ikan muda). Tipe piramida umur ini mencirikan pertumbuhan populasi yang relatif lebih cepat dibandingkan tipe yang lain. Populasi yang demikian dapat tumbuh dengan baik karena proses regenerasi dapat berlangsung (Gambar 10). Jantan I=Tj. Bakara N=64 19,0 17,0 15,0 Betina I=Tj. Bakara N=41 Jantan II=Inlet D.Towuti N=466 19,0 17,0 15,0 Betina II=Inlet D.Towuti N=426 13,0 13,0 11,0 11,0 9,0 9,0 7,0 7, Jumlah ikan (ekor) Jumlah ikan (ekor) Panjang ikan (cm) Jantan III=P.Loeha N=144 19,0 17,0 15,0 13,0 11,0 9,0 7,0 Betina III=P.Loeha N=121 Jantan IV= Outlet D.Towuti N=102 19,0 17,0 15,0 13,0 11,0 9,0 7,0 Betina IV= Outlet D.Towuti N= Jantan V=Beau N=48 Jumlah ikan (ekor) 19,0 17,0 15,0 13,0 11,0 9,0 7,0 Betina V=Beau N= Jumlah ikan (ekor) Jumlah ikan (ekor) Gambar 10. Piramida umur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan stasiun penelitian di Danau Towuti 43

65 Di stasiun I (Tanjung Bakara), IV (outlet Danau Towuti), dan V (Beau), tipe piramida umur cenderung moderat. Hal ini menunjukkan populasi ikan didominasi oleh ikan ukuran sedang, populasi ikan dalam kondisi stabil, namun proses regenerasi populasi ikan relatif lebih lambat dari tipe pertama. Dengan demikian dilihat dari tipe piramida umur tersebut, dapat dikatakan bahwa di stasiun II dan III pertumbuhan populasi ikan bonti-bonti lebih baik dibandingkan stasiun yang lain. Seperti telah dijelaskan terdahulu, kelimpahan populasi ikan ukuran kecil banyak terdapat di stasiun II, hal ini menunjukkan adanya proses regenerasi di stasiun tersebut. Proses regenerasi yang berlangsung baik di dukung oleh kondisi lingkungan yang sesuai, yaitu tempat pemijahan yang cocok (substrat terdiri dari pasir, kerikil, dan batu) dan tersedianya jumlah makanan yang cukup. Menurut Gray and McKinnon (2006), ikan Paratherina sp. melakukan pemijahan pada substrat bebatuan dengan kedalaman 3-4 m dan jarak pasangan dari atas substrat adalah 20 cm. Patut diduga berdasarkan kelimpahan ikan ukuran kecil dan tipe substrat di stasiun II adalah merupakan spawning site ikan bonti-bonti. Di stasiun III kondisi substrat serupa dengan di stasiun II, demikian pula dengan kelimpahan ikan ukuran kecil. Diduga proses regenerasi dan aktifitas pemijahan juga berlangsung di stasiun III tersebut. Namun demikian dibandingkan dengan stasiun II, kelimpahan ikan bonti-bonti relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun III bukan merupakan feeding site, sedangkan stasiun I, IV, dan V bukan merupakan spawning site dan feeding site karena jumlah ikan ukuran kecil dan kelimpahannya relatif kecil dibandingkan stasiun II dan III. Di stasiun I, IV, dan V didominasi ikan ukuran sedang, proses regenerasi berlangsung relatif lebih lambat karena jumlah ikan dewasa relatif sedikit. Pengelompokan Populasi Ikan Bonti-bonti secara Spasial Stasiun III (Pulau Loeha) merupakan stasiun yang khas dibandingkan stasiun lainnya (I= Tanjung Bakara, II= inlet Danau Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga, IV= outlet Danau Towuti yang mengalir ke Sungai Holahola, dan V= Beau) karena terletak ditengah Danau Towuti. Jarak terdekat dari daratan 2,5 km dan terjauh 30 km. Keadaan ini dapat menjadi penghalang (barrier) ekologi yang dapat mengisolasi ikan bonti-bonti. Hal ini menimbulkan dugaan adanya kemungkinan beberapa kelompok populasi ikan bonti-bonti. 44

66 Berdasarkan kolerasi terhadap hubungan antara karakter PT dengan 21 karakter morfometrik lainnya pada masing-masing stasiun pengamatan, diperoleh 12 karakter (PF, TB, TBE, PDSP1, PSP1, PDSP2, PSP2, PDSA, PSA, PSD, PS, dan LK) yang memiliki nilai korelasi yang kuat (Tabel 5). Hasil uji Ancova model hubungan PT dengan 12 karakter antar stasiun pengamatan (Lampiran 10 dan 11), menunjukkan tidak ada perbedaan karakter morfometrik ikan bonti-bonti antar stasiun baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Berdasarkan uji Ancova tersebut diasumsikan bahwa ikan bonti-bonti pada kelima stasiun merupakan satu kelompok populasi. Tabel 5. Hubungan antara karakter PT dengan karakter morfometrik lainnya yang memiliki nilai korelasi yang erat Karakter morfometrik ikan bonti-bonti Jantan r 1,00 0,83 0,65 0,78 0,79 0,84 0,83 0,78 0,77 0,83 0,89 0,79 a 0,26 4,31 6,99 5,54 6,54 3,45 4,09 5,38 2,23 3,43 2,65 5,92 b 1,07 3,26 5,21 9,29 4,16 5,91 4,63 3,56 5,79 5,04 7,39 4,59 1 Betina r 0,99 0,83 0,47 0,56 0,77 0,85 0,78 0,82 0,56 0,78 0,76 0,78 a -0,25 4,13 8,54 6,89 4,20 3,58 1,73 1,74 3,95 3,34 2,21 6,77 b 1,12 3,46 3,52 7,83 6,95 6,28 6,86 5,84 5,22 5,26 8,31 3,88 Keterangan: 1. Panjang total (PT) 2. Panjang forskal (PF) 3. Tinggi badan (TB) 4. Tinggi batang ekor (TBE) 5. Panjang dasar sirip punggung pertama (PDSP1) 6. Panjang sirip punggung pertama (PSP1) 7. Panjang dasar sirip punggung kedua (PDSP2) 8. Panjang sirip punggung kedua (PSP2) 9. Panjang dasar sirip anal (PDSA) 10. Panjang sirip anal (PSA) 11. Panjang sirip dada (PSD), 12. Panjang sirip perut (PS) 13. Lebar kepala (LK) 14. Koefisien korelasi (r) 15. Intersept (a) 16. Slope (b) Hasil tersebut di atas diperkuat dengan hasil analisis pengelompokan (cluster analysis) dengan menggunakan persen koefisien kemiripan (percent similarity coefficient). Pada ikan jantan menunjukkan bahwa stasiun I dan II membentuk satu kelompok, sedangkan stasiun III, IV, dan V membentuk satu kelompok lainnya. Namun demikian nilai kemiripan kedua kelompok tersebut relatif tinggi yaitu sebesar 94,53% (Gambar 11a). Hasil analisis pengelompokan ikan betina terlihat bahwa stasiun II, III, IV, dan V membentuk satu kelompok, sedangkan stasiun I membentuk satu kelompok dengan kelompok tersebut (stasiun II, III, IV dan V) dengan nilai kemiripan sebesar 45

67 96,83% (Gambar 11b). Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan jantan dan ikan betina di semua stasiun memiliki kemiripan yang tinggi. Hasil analisis Ancova dan analisis pengelompokan memperlihatkan kecenderungan bahwa semua karakter ikan jantan dan ikan betina membentuk satu kelompok. Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut terhadap karakter morfometrik baku di setiap stasiun, dapat dikatakan bahwa ikan bonti-bonti jantan dan betina pada stasiun I, II, III, IV, dan V cenderung sama atau diduga merupakan satu kelompok populasi ikan. a) Nearest neighbour Nearest neighbour Jantan % 95.49% 96.06% Percent Similarity Percent Similarity b) Nearest neighbour Betina Nearest neighbour % 97.50% 97.87% Percent Similarity Kemiripan (%) Percent Similarity Gambar 11. Pengelompokan populasi ikan jantan (a) dan ikan betina (b) berdasarkan persen koefisien kemiripan karakter morfometrik masing-masing stasiun pengamatan (1,2,3,4, dan 5) 46

68 Distribusi Ikan secara Temporal Kelimpahan ikan bonti-bonti secara temporal berfluktuasi, dengan kelimpahan ikan tertinggi terjadi pada bulan November (ikan jantan 240 ekor dan ikan betina 214 ekor) dan bulan Desember (ikan jantan 164 ekor dan ikan betina 228 ekor), sedangkan kelimpahan ikan terrendah terjadi pada bulan Juni (Gambar 12). Kelimpahan ikan yang tinggi pada bulan November dan Desember karena regenerasi berlangsung dengan baik. Pada bulan Juni kelimpahan ikan rendah karena adanya penangkapan ikan yang tinggi. Uji Mann-Whitney terhadap nilai kelimpahan ikan jantan dengan ikan betina tidak berbeda nyata (α = 0,5650-0,6570) (Lampiran 12), demikian juga kelimpahan ikan betina bulan November dan Desember tidak berbeda nyata (α = 0,9161). Berdasarkan uji tersebut dapat dikatakan puncak kelimpahan ikan bontibonti jantan dan betina adalah sama dan terjadi pada bulan November dan Desember. Nasution dkk., (2007) menyatakan pada ikan rainbow selebensis kelimpahan tertinggi juga terjadi pada bulan November. Pola sebaran kelompok ukuran panjang ikan dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 beragam, kisaran ukuran panjang ikan bonti-bonti jantan dan betina yang lebar terjadi pada bulan November dan Desember. Pada bulan tersebut populasi ikan jantan dan betina didominasi oleh ikan yang berukuran kecil antara 3,80-9,00 cm. Pada bulan Nopember dan Desember ikan jantan yang berukuran kecil (3,80-9,00 cm) sebesar 75,83 dan 87,20%, sedangkan ikan betina sebesar 82,71 dan 85,96% (Lampiran 13). Sisanya merupakan kelompok ikan jantan dan betina yang berukuran besar (9,01-19,78 cm) sebesar 24,17 dan 12,80% dan 17,29 dan 14,04%. Patut diduga bahwa pada bulan November dan Desember terjadi penambahan kelompok ikan bonti-bonti baru (recruitment) yang ditunjukkan oleh tingginya persentase ikan berukuran kecil pada bulan tersebut. Tingginya proporsi ikan ukuran kecil menyebabkan ukuran rata-rata ikan yang tertangkap pada bulan tersebut, menurun menjadi paling rendah dibandingkan bulan lain (Gambar 13). Ukuran rata-rata ikan yang tertangkap tiap bulan menunjukkan pola yang relatif sama pada ikan jantan dan ikan betina (α = 0,3123). Pada bulan Juli hingga September ukuran rata-rata ikan jantan dan ikan betina yang tertangkap meningkat, masing-masing mulai dari 9,86-13,49 cm dan 11,21-13,09 cm. Ukuran rata-rata ikan jantan dan ikan betina yang tertangkap mencapai nilai 47

69 terendah pada bulan Desember yaitu masing-masing sebesar 8,17 dan 8,12 cm dan cenderung meningkat kembali hingga bulan April. Jantan Betina Jumlah ikan (ekor) Kelas ukuran panjang (cm) Gambar 12. Kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan waktu penelitian 48

70 Panjang rata-rata (cm) Jantan Panjang rata-rata (cm) Betina Waktu pengamatan Waktu pengamatan Gambar 13. Ukuran rata-rata ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 Berdasarkan fluktuasi ukuran rata-rata ikan bonti-bonti yang tertangkap, diperkirakan terdapat dua kohort (kelompok ikan pada umur yang sama) ikan bonti-bonti dalam periode setahun. Kohort pertama terlihat mulai bulan Juli hingga Oktober dan kohort kedua terlihat mulai bulan November hingga April. Hubungan Kualitas Air dengan Kelimpahan Ikan antar Waktu Faktor utama yang mempengaruhi perbedaan kelimpahan ikan antar waktu adalah adanya perubahan curah hujan akibat perubahan musim. Perubahan curah hujan akan mempengaruhi tinggi muka air dan kualitas air danau yang pada akhirnya mempengaruhi ikan secara langsung (pertumbuhan dan reproduksi) maupun tidak langsung (ketersediaan makanan dan predasi) (Welcomme, 2001). Fluktuasi parameter lingkungan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 14. Parameter kualitas air di semua stasiun mempunyai pola fluktuasi yang serupa dan nampak ada pengaruh dari perbedaan musim. Nilai rata-rata suhu air dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 berkisar antara 28,13-30,08 o C. Kisaran nilai rata-rata suhu air relatif tidak berbeda. Kandungan rata-rata oksigen terlarut selama pengamatan berkisar antara 6,42 (April dan Juni)- 8,68 mg/l (November dan Desember). Peningkatan kandungan oksigen terlarut pada bulan November dan Desember diduga karena adanya masukan massa air yang berasal dari sungai ke dalam danau dan agitasi air yang disebabkan oleh tenaga angin yang besar dan hujan. 49

71 Tj.Bakara Intlet D.Towuti P.Loeha Outlet D.Towuti Beau Tj.Bakara Intlet D.Towuti P.Loeha Outlet D.Towuti Beau Waktu pengamatan Waktu pengamatan Gambar 14. Parameter lingkungan selama penelitian dari bulan Mei 2006 hingga April

72 Nilai rata-rata konduktivitas selama pengamatan berkisar antara 0,11-0,17 ms/cm. Nilai rata-rata alkalinitas selama pengamatan berkisar antara 80,28-89,20 mg CaCO 3 /L. Terdapat hubungan yang serupa antara nilai konduktivitas dengan alkalinitas yaitu cenderung meningkat pada musim hujan. Menurut Hartoto dan Awalina (1996), nilai konduktivitas dan alkalinitas dipengaruhi oleh adanya bahan masukan allochthonous dari daerah aliran sungai yang mengandung material-material ion. Masukan massa air yang berasal dari daratan yang melalui daerah bebatuan yang bersifat basa (mengandung kapur) pada musim hujan akan meningkatkan nilai konduktivitas dan alkalinitas. Nilai rata-rata ph selama pengamatan berkisar antara 7,13-8,54, nilai ini cenderung bersifat basa. Menurut Hartoto dan Awalina (1996), nilai ph selain dipengaruhi oleh massa air yang masuk ke dalam danau juga dipengaruhi oleh frekuensi dan tenaga angin yang tinggi pada musim hujan, sehingga menghasilkan aerasi yang lebih efektif. Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan bontibonti yang dianalisis secara multivariat dapat dilihat pada Gambar 15 dan Lampiran 15. Jumlah kumulatif varian yang dijelaskan oleh dua komponen (1 dan 2) adalah sebesar 100%. Komponen 1 menjelaskan varian sebesar 98% dan komponen 2 sebesar 2%. Berdasarkan kumulatif varian tersebut, analisis PCA cukup diwakilkan oleh dua komponen. Pada Gambar 15 tampak faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah kelimpahan ikan (1,00), oksigen terlarut/do (0,76), dan tinggi muka air (-0,61). Faktor yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah alkalinitas (0,97), curah hujan (0,67), dan konduktivitas (0,60). Namun demikian kumulatif varian yang dijelaskan oleh komponen 1 sangat tinggi (98%) dibandingkan dengan komponen 2 (2%), maka faktor dominan yang berpengaruh adalah kelimpahan ikan, DO, dan tinggi muka air. Pada Gambar 15, faktor lingkungan yang berkorelasi erat dengan kelimpahan ikan adalah DO dan tinggi muka air. Hubungan antara kelimpahan ikan bonti-bonti dengan tinggi muka air dan kandungan oksigen terlarut di Danau Towuti secara temporal dapat dilihat pada Gambar 16. Peningkatan kelimpahan ikan bonti-bonti tampak jelas pada bulan November dan Desember. Pada bulan tersebut tinggi muka air berada pada level terendah, namun kandungan oksigen terlarut terjadi peningkatan sebagai akibat dari curah hujan yang mulai meningkat. Curah hujan rata-rata harian pada bulan September-Oktober adalah 3,24-7,75 mm dan November- 51

73 Desember adalah 10,24-10,95 mm (Lampiran 16). Peningkatan curah hujan dan tinggi muka air pada bulan November-Desember merupakan tanda awal datangnya musim hujan di Danau Towuti. Curah hujan cenderung terus meningkat hingga bulan April. alkalinitas tinggi muka air kelimpahan ikan Curah hujan Gambar 15. Pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) yang dianalisis secara multivariat Oksigen terlarut (mg/l) Waktu pengamatan Waktu pengamatan Gambar 16. Hubungan antara kelimpahan ikan bonti-bonti (P. striata) dengan tinggi muka air dan kandungan oksigen terlarut 52

74 Perubahan kondisi lingkungan dari musim kemarau ke musim hujan pada bulan November-Desember, diduga merupakan pemicu pertumbuhan reproduktif ikan bonti-bonti yang mendorong pematangan gonad ikan dan merupakan musim pemijahan. Hal ini menyebabkan ikan berukuran kecil (anakan) yang merupakan hasil pemijahan banyak ditemukan pada bulan November-Desember. Piramida Umur antar Waktu Piramida umur ikan bonti-bonti berdasarkan waktu penelitian pada bulan November dan Desember dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 14. Pada gambar tersebut terlihat bahwa komposisi/struktur populasi ikan di bulan November dan Desember lebih stabil dibandingkan bulan yang lain. Populasi ikan bonti-bonti pada bulan tersebut didominasi oleh ikan muda dan hal ini menunjukkan bahwa proses regenerasi ikan tersebut dapat berlangsung dengan baik. Panjang ikan (cm) Jumlah ikan (ekor) Jumlah ikan (ekor) Gambar 17. Piramida umur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan waktu penelitian pada bulan November dan Desember 2006 Berdasarkan piramida umur, diduga bahwa pada bulan November dan Desember merupakan musim pemijahan ikan bonti-bonti. Komposisi populasi ikan yang didominasi ikan muda membuktikan terjadinya keberhasilan rekrutmen pada bulan tersebut. Keberhasilan pemijahan yang menghasilkan rekrutmen ditunjang oleh adanya faktor lingkungan akibat perubahan curah hujan. 53

75 Kebiasaan Makanan Makanan merupakan faktor pengendali yang penting bagi pertumbuhan, reproduksi, dinamika populasi, dan kondisi ikan di suatu perairan (Nikolsky, 1963). Adanya makanan dalam perairan selain terpengaruh oleh kondisi biotik seperti besarnya populasi ikan, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie, 2002). Keberadaan suatu jenis ikan di perairan memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan makanannya (Lagler et al., 1977). Tidak semua jenis makanan yang ada di perairan disukai oleh ikan. Faktor-faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu jenis makanan oleh ikan adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan dan selera ikan terhadap makanan. Menurut Effendie (1979), jenis dan jumlah makanan yang dapat dikonsumsi oleh suatu spesies ikan biasanya bergantung kepada umur, tempat, dan waktu. Nilai Index of Preponderance masing-masing Stasiun Pengamatan Hasil analisis isi lambung ikan bonti-bonti pada kelima stasiun pengamatan dikelompokkan dalam lima kelompok makanan yang dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan pengelompokan tersebut ditentukan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance/IP) makanan untuk mengetahui persentase kelompok makanan tertentu terhadap semua kelompok makanan yang dimanfaatkan oleh ikan. Nilai IP masing-masing kelompok makanan ikan bontibonti di lima stasiun pengamatan ditampilkan pada Gambar 18. Nilai IP > 40% kelompok makanan tersebut ditentukan sebagai makanan utama, IP antara 4-40% ditentukan sebagai makanan pelengkap, sedangkan nilai IP < 4% ditentukan sebagai makanan tambahan (Natarajan dan Jhingram dalam Effendie, 1979). Makanan utama ikan bonti-bonti adalah kelompok Insekta terutama di stasiun outlet Danau Towuti. Nilai IP kelompok insekta berkisar antara 32,69% hingga 56,37%. Makanan pelengkap ikan bonti-bonti adalah kelompok ikan dan crustacea dengan nilai IP masing-masing berkisar antara 10,28-24,43% dan 3,93-8,57%. 54

76 Tabel 6. Kelompok makanan ikan bonti-bonti (P. striata) Kelompok Keterangan A. Insekta 1. Potongan insekta 2. Caraphractus 3. Hemiptera 4. Pupa diptera (Chironomus) 5. Nympha insekta B. Algae 1. Fragilaria 2. Pinnularia 3. Navicula C. Crustacea 1. Potongan crustacea 2. Copepoda 3. Decapoda D. Ikan Potongan ikan E. Detritus Makanan yang sudah dalam keadaan hancur atau tercerna Gambar 18. Komposisi makanan ikan bonti-bonti (P.striata) berdasarkan stasiun penelitian. A=Insekta, B=Algae, C=Crustacea, D=ikan, dan E=detritus Kelompok algae (Fragilaria, Pinnularia dan Navicula) yang terdapat pada lambung ikan bonti-bonti memiliki nilai IP sangat rendah yaitu berkisar antara 0,04% - 0,62%. Kelompok algae ini bukan merupakan makanan utama ataupun makanan pelengkap karena nilai IP-nya sangat rendah, diduga algae hanya 55

77 masuk bersama makanan lain ke lambung ikan. Jenis algae tersebut dijumpai di perairan Danau Towuti (Lampiran 17). Kebiasaan makanan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain habitat, ukuran, dan umur ikan (Ricker, 1970). Pengaruh habitat terhadap kebiasaan makanan ikan terutama terlihat di stasiun IV=Outlet Danau Towuti. Isi lambung ikan bonti-bonti di stasiun tersebut >50% adalah kelompok Insekta. Stasiun IV merupakan stasiun dengan kerapatan tanaman air yang relatif tinggi dibandingkan stasiun lain. Tanaman air merupakan habitat bagi Insekta, berdasarkan hal tersebut diduga isi lambung ikan (persentase Insekta) berkorelasi dengan kelimpahan Insekta di stasiun IV tersebut. Di stasiun lain persentase kelompok Insekta menurun (<40%), sedangkan persentase kelompok ikan meningkat. Hal ini terlihat pada stasiun V=Beau, persentase kelompok ikan meningkat mencapai nilai IP tertinggi yaitu 24,43%. Potongan ikan yang terdapat dalam lambung ikan bonti-bonti di stasiun tersebut mencerminkan kelimpahan kelompok ikan (makanan ikan bonti-bonti) relatif lebih banyak dibandingkan di stasiun IV. Perubahan Pola Kebiasaan Makanan Pengaruh ukuran ikan bonti-bonti jantan dan betina terhadap kebiasaan makanan ditampilkan pada Gambar 19. Pada gambar tersebut terlihat adanya kecenderungan perubahan pola kebiasaan makanan terutama pada ikan bontibonti jantan. Jantan N=191 Betina N=145 Frekuensi Selang kelas (cm) Selang kelas (cm) Gambar 19. Komposisi makanan ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang. A=Insekta, B=Algae, C=Crustacea, D=ikan, dan E=detritus 56

78 Pada Gambar 19 tersebut, terlihat bahwa pada ikan jantan persentase kelompok Insekta menurun dengan semakin bertambahnya ukuran panjang ikan, sedangkan persentase kelompok ikan meningkat (Gambar 20). Namun demikian pada ikan betina pola perubahan kebiasaan makanan tidak terlalu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan perubahan pola makan ikan bontibonti terutama pada ikan jantan. Pada ikan bonti-bonti jantan dengan meningkatnya ukuran ikan terjadi perubahan pola makan dari memakan insekta menjadi memakan ikan kecil dengan porsi lebih besar. Model keeratan hubungan antara frekuensi kelompok insekta dan kelompok ikan kecil (dalam isi lambung ikan jantan) dengan ukuran ikan jantan cukup erat, masing-masing dengan r=0,72 dan r=0,92. Pada ikan bonti-bonti betina dewasa terjadi peningkatan porsi memakan insekta lebih besar dibandingkan pada ikan ukuran anakan. Namun model keeratan hubungan antara frekuensi kelompok insekta dan kelompok ikan kecil (dalam isi lambung ikan betina) dengan ukuran ikan betina kurang erat, masingmasing dengan r=0,36 dan r=0,06. Dengan demikian model hubungan tersebut tidak dapat dipakai untuk memperkirakan pengaruh ukuran ikan terhadap pola perubahan kebiasaan makanan ikan bonti-bonti betina. Frekuensi (%) Selang kelas (cm) Selang kelas (cm) Gambar 20. Hubungan antara frekuensi kelompok Insekta dan ikan dengan selang kelas panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina 57

79 Berdasarkan pola kebiasaan makanan diketahui ikan bonti-bonti memakan ikan kecil sebagai pilihan makanannya. Demikian pula berdasarkan model hubungan antara frekuensi kelompok ikan dengan ukuran ikan bonti-bonti jantan tersebut, dapat dikatakan bahwa kelimpahan ikan kecil yang merupakan makanan ikan bonti-bonti akan mempengaruhi kelimpahan ikan bonti-bonti jantan karena ada kecenderungan perubahan pola makan. Hal ini terlihat dari hubungan antara kelimpahan ikan bonti-bonti dan ikan pangkilang halus (Telmatherina exilis sp.) yang diduga merupakan makanan ikan bonti-bonti (Gambar 21). Hasil tangkapan ikan pangkilang halus mencapai puncaknya pada bulan Desember. Demikian pula dengan hasil tangkapan ikan bonti-bonti mencapai puncaknya pada bulan yang sama. Hasil tangkapan ikan pangkilang halus maupun ikan bonti-bonti mencerminkan kelimpahan ikan tersebut di Danau Towuti. Kelimpahan ikan bonti-bonti didukung oleh kelimpahan ikan pangkilang halus yang diduga merupakan makanan ikan bonti-bonti tersebut. Hal ini merupakan strategi reproduksi ikan bonti-bonti yaitu menghasilkan anakan pada saat kelimpahan makanan (ikan pangkilang halus) meningkat. Hubungan antara kelimpahan ikan pangkilang halus (PH) dengan ikan bonti-bonti (B) ditunjukkan pada persamaan B = 809+0,30PH dengan r = 0,68 pada P = 0,0146. Gambar 21. Hasil tangkapan ikan bonti-bonti (P. striata) dan ikan pangkilang halus (Telmatherina exilis sp.) selama penelitian menggunakan bagan Model hubungan tersebut menjelaskan bahwa kelimpahan ikan pangkilang halus (berukuran 1-2 cm) diduga mempengaruhi kelimpahan ikan 58

80 bonti-bonti di Danau Towuti karena ikan bonti-bonti memakan ikan kecil. Hal ini dapat dilihat juga dari hasil tangkapan bagan dan berdasarkan pengamatan ikan bonti-bonti memakan ikan kecil yang bergerombol di jaring bagan. Seperti djelaskan sebelumnya bahwa ikan bonti-bonti dewasa lebih banyak memakan ikan (ikan pangkilang halus) dibandingkan dengan ikan anakan yang lebih banyak memakan Insekta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan pangkilang halus memiliki peran penting bagi perkembangan populasi ikan bontibonti. Ikan pangkilang halus merupakan hasil utama alat tangkap bagan, di samping menangkap ikan bonti-bonti juga menangkap ikan makanan ikan bontibonti. Ikan pangkilang halus dan bonti-bonti banyak tertangkap bagan. Alat tangkap bagan dioperasikan menggunakan ukuran mata jaring 0,3 cm yang ditenggelamkan selama ±3 jam dan dalam satu malam jaring diangkat tiga kali. Alat ini dilengkapi dengan lampu (cahaya). Lampu digunakan sebagai alat bantu untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat phototaxis positif yaitu jenis-jenis ikan yang tertarik dan akan mendekati cahaya. Ikan pangkilang halus di samping tertarik oleh cahaya diduga mendekati alat tangkap untuk memakan organisme halus yang banyak berkumpul di bawah cahaya lampu bagan. Adanya kumpulan ikan kecil ini menarik ikan-ikan besar seperti bonti-bonti dan boto-boto (Glossogobius sp.) yang merupakan pemangsa ikan-ikan kecil tersebut. Dengan demikian ikan yang tertangkap alat bagan ukurannya bervariasi dari ukuran kecil hingga besar. Reproduksi Seksualitas Ikan bonti-bonti memiliki bentuk tubuh pipih (compressed) dan agak memanjang. Warna ikan keperakan, sedikit lebih gelap di bagian punggung. Ujung sirip berwarna kekuningan dan mata berwarna biru cerah. Profil kepala bagian bawah membulat. Beberapa karakter meristik ikan bonti-bonti yang dapat membedakan ikan jantan dan betina disajikan pada Tabel 7. Karakter meristik ikan bonti-bonti jantan dan betina relatif sama baik pada jumlah duri maupun sisik. Pada ikan bonti-bonti hasil penelitian ini, ditemukan jumlah duri lunak sirip punggung kedua dan sirip anal yaitu masing-masing sebanyak buah dan buah yang berbeda dengan yang ditemukan 59

81 Kottelat et al., (1993) yaitu masing-masing sebanyak buah dan buah. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah spesimen dan besar ukuran ikan yang berbeda. Pada penelitian ini ditemukan ukuran panjang total 19,78 cm, sedangkan Kottelat et al., (1993) menyatakan panjang total ikan bontibonti yaitu 14,2 cm. Pada ikan bonti-bonti betina memiliki kisaran meristik yang lebih luas untuk sirip punggung pertama dibandingkan ikan jantan. Tabel 7. Karakter meristik ikan bonti bonti (P. striata) No. Karakter meristik Jantan Betina 1. Jumlah duri pada sirip punggung pertama (D 1 ) V-VI IV-VI 2. Jumlah duri pada sirip punggung kedua (D 2 ) I,10-12 I, Jumlah duri pada sirip anal (A) I,14-16 I, Jumlah duri pada sirip dada (P) I,14-16 I, Jumlah sisik sepanjang gurat sisi (LL) Jumlah sisik di atas gurat sisi (LL) Jumlah sisik di bawah gurat sisi (LL) Jumlah sisik di depan sirip punggung Jumlah sisik sekeliling ekor Keterangan: D= Dorsal (punggung), A= Anal, P= Pectoral (dada), LL= Linea lateralis (gurat sisi) Ikan bonti-bonti dan rainbow selebensis termasuk famili Telmatherinidae, menurut Kottelat et al., (1993) karakter meristik yang membedakan kedua jenis ikan ini adalah jumlah duri lunak pada sirip punggung kedua lebih banyak pada ikan bonti-bonti (10-12 buah) dibandingkan ikan rainbow selebensis (8-10 buah). Demikian pula jumlah sisik sepanjang gurat sisi lebih banyak pada ikan bonti-bonti (40-42 buah) dibandingkan rainbow selebensis (31-34 buah). Karakter lain yang khas dan membedakan kedua jenis ikan di atas adalah jumlah baris sisik preoperculum yang terdapat pada bagian bawah mata. Pada ikan bonti-bonti terdapat dua baris sisik dan pada ikan rainbow selebensis terdapat satu baris sisik (Kottelat et al., 1993). Umumnya ikan jantan dan ikan betina dapat dibedakan dari bentuk tubuh (dimorfisme) atau dari warna ikan (dichromatisme). Pada ikan rainbow selebensis bentuk tubuh dan warna ikan terlihat jelas perbedaannya. Bentuk tubuh ikan jantan ukurannya lebih besar dari pada ikan betina. Perbedaan bentuk dan warna tubuh ikan bonti-bonti jantan dan betina relatif sama sehingga secara morfologis agak sulit membedakan ikan jantan dan ikan betina. 60

82 Untuk melihat perbedaan ikan bonti-bonti jantan dan betina dapat dilihat dari 23 karakter morfometrik. Ikan yang diamati adalah berukuran 6,8-19,8 cm dengan jumlah total 375 ekor ikan, masing-masing sebanyak 234 ekor ikan jantan dan 141 ekor ikan betina. Untuk melihat perbedaan tersebut dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8. Dari 23 karakter morfometrik ikan bonti-bonti jantan dan betina yang dapat dinyatakan berbeda pada α<0,050 yang ditampilkan pada Tabel 8 adalah sebanyak 13 karakter. Tabel 8. Karakter morfometrik ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina No Karakter morfometrik Panjang (cm) Minimal Maksimal Rata-rata StDev NPAR (α) 1 PSP1 Betina 0,57 1,73 1,05 0,20 0,00 Jantan 0,42 2,47 1,29 0,38 2 PDSP2 Betina 0,82 1,81 1,31 0,20 0,00 Jantan 0,56 2,65 1,47 0,36 3 PSP2 Betina 1,00 2,26 1,46 0,20 0,00 Jantan 0,79 2,86 1,69 0,37 4 PSA Betina 0,94 2,21 1,45 0,21 0,00 Jantan 0,74 2,56 1,67 0,36 5 PS Betina 0,62 1,92 1,13 0,17 0,00 Jantan 0,43 2,87 1,26 0,31 6 TBE Betina 0,42 1,75 0,83 0,21 0,00 Jantan 0,42 1,43 0,92 0,22 7 PDSA Betina 1,14 2,67 1,69 0,24 0,00 Jantan 0,42 3,24 1,85 0,44 8 PDSP1 Betina 0,25 1,85 0,59 0,20 0,00 Jantan 0,08 1,89 0,66 0,25 9 PSD Betina 0,62 2,07 1,57 0,23 0,00 Jantan 1,05 2,85 1,69 0,31 10 TB Betina 1,28 3,68 2,21 0,39 0,00 Jantan 1,12 4,07 2,42 0,61 11 LK Betina 0,57 1,89 1,22 0,29 0,02 Jantan 0,56 2,94 1,38 0,46 12 PF Betina 7,61 13,14 10,84 1,19 0,02 Jantan 6,14 17,77 11,32 2,15 13 PT Betina 8,50 13,99 11,91 1,33 0,04 Jantan 6,81 19,78 12,37 2,33 Keterangan: PSP1= Panjang sirip punggung pertama, PDSP1= Panjang dasar sirip punggung pertama, PSP2= Panjang sirip punggung kedua, PDSP2= Panjang dasar sirip punggung kedua, PSA= Panjang sirip anal, PDSA= Panjang dasar sirip anal, PS= Panjang sirip perut, PSD= Panjang sirip dada, PF= Panjang forskal, PT= Panjang total, TBE= Tinggi batang ekor, TB= Tinggi badan, LK= Lebar kepala, NPAR= Uji non parametrik antara ikan jantan dan betina 61

83 Umumnya karakter morfometrik ikan bonti-bonti jantan lebih panjang dari pada ikan betina. Meskipun ke 13 karakter tersebut dapat dijadikan alternatif untuk membedakan ikan jantan dan betina, namun karakter paling menonjol yang membedakan hal tersebut adalah pada panjang sirip punggung pertama (PSP1) (Gambar 22). Untuk tujuan budidaya ikan tersebut, secara praktis dalam membedakan ikan bonti-bonti jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bagian perut ikan (tinggi badan) dan panjang sirip punggung pertama (Gambar 22). TB PSP1 Gambar 22. Ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina Sifat seksual sekunder pada ikan bonti-bonti ialah tanda-tanda luar pada ikan yang dipakai untuk membedakan antara ikan jantan dan ikan betina. Seperti halnya pada kelompok Telmatherinidae, untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina dapat dilihat dari warna tubuh. Ikan bonti-bonti jantan memiliki sirip berwarna kekuningan. Tanda lain yang dapat membedakannya adalah sirip punggung pertama ikan jantan lebih panjang sedikit dibandingkan ikan betina, ukuran tubuh ikan jantan juga lebih besar dibandingkan betina. Sifat seksual primer pada ikan bonti-bonti jantan secara anatomis, testis yang berkembang hanya satu organ dan dibatasi oleh selaput tipis berwarna hitam di bagian tengah dan mengisi sepertiga dari rongga tubuh. Demikian pula pada ikan betina dijumpai satu organ ovarium yang berkembang pada seluruh fase perkembangan gonadnya (Gambar 23). 62

84 Jantan Betina Gambar 23. Gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV Menurut Miller (1984) bahwa organ testis dan ovarium pada kebanyakan ikan Teleostei berupa sepasang organ yang terletak di rongga tubuh. Namun pada sebagian jenis ikan, pasangan testis dan ovarium yang berkembang hanya satu organ. Ikan bonti-bonti mempunyai satu organ reproduksi yang berkembang. Hal yang sama menurut Sumassetiyadi (2003) dijumpai pada ikan opudi (T. antoniae) yang berasal dari Danau Matano, Nasution (2005a) pada ikan rainbow selebensis (T. celebensis) dari Danau Towuti, dan Nasution dkk., (2006) melaporkan pada ikan beseng-beseng (T. ladigesi) dari beberapa sungai di Maros, Sulawesi Selatan. Ikan ini tergolong sexual dimorfisme artinya ikan tersebut memiliki sifat yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dan ikan betina. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Perkembangan gonad ikan bonti-bonti digolongkan dalam lima tahap yaitu TKG I (belum berkembang), II (perkembangan awal), III (sedang berkembang), IV (matang), dan V (pasca pemijahan) baik pada ikan jantan maupun ikan betina yang mengacu pada Nagahama (1983), Hardjamulia dkk., (1995), Takashima and Hibiya (1995) dan Yoneda et al., (2002) dengan modifikasi. Tingkat perkembangan gonad ikan jantan dan ikan betina secara morfologis dan hitologis ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut (Tabel 9 dan 10, Gambar 24 dan 25): 63

85 Tabel 9. Tingkat perkembangan gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan TKG Morfologis Histologis I. Belum berkembang Testis seperti benang memanjang dengan permukaan berwarna putih susu. Testis tidak dibungkus oleh selaput (peritonium). Testis didominasi oleh jaringan ikat, terdapat lobus berbentuk lonjong yang berisi spermatogonia I dan II. Sel spermatogonium berwarna merah muda. II. Perkembangan awal Ukuran testis lebih besar dari TKG I, terdapat garis membujur berwarna abu-abu gelap di bagian tengah testis. Testis berwarna putih susu dan permukaan tidak licin. Testis telah berkembang, jaringan ikat semakin sedikit. Lobus didominasi oleh spermatogonia stadia II (spermatosit), terdapat beberapa spermatogonia I dan spermatosit primer. III. Sedang berkembang Ukuran testis lebih besar dari TKG II, permukaan testis tampak bergerigi. Warna agak kekuningan, terdapat garis membujur berwarna hitam di bagian tengah testis. Spermatosit primer berkembang menjadi spermatosit sekunder. Lobus berisi sel-sel spermatosit primer dan sekunder. Sebagian spermatosit sekunder berkembang menjadi spermatid. IV. Matang Ukuran testis semakin besar, bergerigi, dan pejal. Terdapat garis membujur berwarna hitam di bagian tengah testis. Testis berwana putih susu. Spermatid berkembang menjadi spermatozoa. Lobus penuh dengan spermatid dan spermatozoa. V. Pasca pemijahan Permukaan testis berkerut, warna putih susu, kurang pejal dibandingkan TKG IV. Secara umum TKG V ini hampir sama dengan TKG IV, gonad didominasi oleh spermatid. 64

86 Sg St TKG I (10x40) TKG II (10x40) Spt Sz TKG III (10x40) TKG IV (10x40) Spt TKG V (10x40) Gambar 24. Histologi gonad ikan bonti-bonti (P. striata) jantan di Danau Towuti. Sg= spermatogonium, St= spermatosit, Spt= spermatid, Sz= spermatozoa 65

87 Tabel 10. Tingkat perkembangan gonad ikan bonti-bonti (P. striata) betina TKG Morfologis Histologis I. Belum berkembang II. Perkembangan awal III. Sedang berkembang IV. Matang Ovari kecil bentuknya memanjang seperti benang yang dibungkus oleh selaput yang disebut peritonium yang berwarna gelap, warna ovari jernih pada bagian dalam dan permukaannya licin. Butir telur belum nampak. Ovari masih terbungkus peritonium yang berbintik abu-abu pada bagian permukaan, butiran mulai terbentuk berwarna putih susu, belum terlihat jelas dengan mata telanjang. Ovari terbungkus peritonium yang berwarna abu-abu berbintik hitam, butir telur terlihat jelas dengan mata telanjang. Butir telur didominasi oleh telur yang berukuran kecil, masih terdapat jaringan ikat berwarna putih susu. Permukaan ovari yang terbungkus peritonium bergerigi dan berwarna hitam, butir telur didominasi oleh ukuran besar dan terlihat berwarna kekuningan dengan beberapa butiran minyak didalamnya.nagahama (1983) mengemukakan ada tiga macam kuning telur yaitu butir minyak, vesikula kuning telur, dan globul kuning telur. Bowers (1992) menyebutkan stadia ini sebagai tahap pembentukan globul kuning telur (yolk vesicle) yang dinamakan fase akumulasi kuning telur. Sedangkan Treasure (1990) menamakan fase awal perkembangan. Ovari belum matang, didominasi oleh oosit stadia I (oogonia). Inti berbentuk bulat atau oval, sitoplasma lebih tebal, terdapat beberapa nukleolus. Kjesbu and Kryvi (1989) menyatakan bahwa 75% oosit stadia I pada TKG I terdiri atas sitoplasma. Diameter oosit berukuran µm. Ovari dipenuhi oosit bernukleus lebih besar dari TKG I, terdapat vakuola pada perifer. Menurut Hardjamulia dkk., (1995) pada oosit stadia II tidak terdapat granula kuning telur. Oosit stadia II dinamakan juga fase awal vitelogenesis (Guiguen et al., 1994). Ikan pada tahap ini ini mempunyai oosit yang berdiameter µm. Permukaan ovari terbungkus peritonium bergerigi dan berwarna hitam. Ovari terlihat berwarna kekuningan yang didalamnya terdapat butir minyak. Oosit berukuran µm. Oosit stadia IV (ovum) adalah oosit tertua yang ditandai dengan berakhirnya pembentukan kuning telur dan terlihat sebagai masa homogen yang mengisi oosit. Oosit dengan sitoplasma yang berisi vakuola-vakuola lipoprotein berukuran besar. Menurut Hadjamulia et al., (1995) pada akhir oosit stadia III hampir seluruh sitoplasma terisi granula kuning telur. Ovari pada stadia IV ini berisi oosit yang berukuran antara µm. Oosit ini siap diovulasikan, ditandai dengan migrasi inti mendekati tepi ke lubang mikrofil agar mudah terjadi proses pembuahan (Yoneda et al. 2002). Disamping oosit stadia IV terdapat pula oosit stadia I, II dan III sepanjang tahun selama fungsi reproduksi berjalan normal. V. Pasca pemijahan Terdapat pada ikan yang sudah selesai memijah, ovari terbungkus selaput peritonium berwarna hitam. Masih ditemukan telur dengan berbagai ukuran, namun telur berukuran besar mulai berkurang. Bentuk oosit berbeda dengan oosit stadia IV, dinding folikel berkerut-kerut. Pengkerutan dapat disebabkan oleh pengkerutan oosit yang mengalami dehidrasi, absorbsi, dan fagositosis isi sel telur oleh sel granulosa. Jumlah oosit stadia I-IV sedikit dan sebagian daerah ovari kosong. Pada TKG V juga ditandai oleh adanya atresia oosit yang diperlihatkan dengan bentuk ovari yang tidak beraturan. 66

88 Og Os Nu Og TKG I (10x40) TKG II (10x10) Ot O Yk µm µm TKG III (10x4) TKG IV (10x4) Ao Yk µm Sp TKG V (10x4) Gambar 25. Histologi gonad ikan bonti-bonti (P. striata) betina di Danau Towuti. Og= oogonium, Os= oosit, Nu= nukleus, Ot= ootid (oosit stadia 3), Yk= butir kuning telur, Ao= oosit atresia, Sp= oosit yang telah dikeluarkan, dan O= butir-butir minyak 67

89 Fekunditas Fekunditas ikan bonti-bonti dengan ukuran panjang total antara 11,30-18,33 cm dan berat total antara 14,00-77,52 gram sebanyak butir (rata-rata ± butir). Hubungan antara fekunditas dengan panjang dan bobot total ditentukan dengan masing-masing persamaan F =0,704 PT 3,220 (r = 0,74) dan F = 118,815 BT 1,003 (r = 0,76) (Gambar 26). Fekunditas ikan bonti-bonti paling tinggi (818 hingga butir) dibandingkan ikan Telmatherinidae lainnya. Fekunditas ikan rainbow selebensis pada kisaran panjang total 6,39-8,86 cm dengan bobot total 2,75-9,60 gram berjumlah antara butir (Nasution 2005a). Hal ini karena di samping ukuran tubuh ikan bonti-bonti relatif lebih besar (panjang 18,33 cm dan bobot 77,52 gram), ukuran telur ikan bonti-bonti (0,01-1,50 mm) juga relatif lebih kecil dibandingkan ikan rainbow selebensis (0,02-1,79 mm). Fekunditas (butir) Fekunditas (butir) N=30 N=30 Panjang total (cm) Bobot total (cm) Gambar 26. Hubungan antara fekunditas dengan panjang dan bobot total ikan bonti-bonti (P. striata) Diameter Telur Diameter telur ikan bonti-bonti berkisar antara 0,01 hingga 1,50 mm. Sebaran ukuran diameter telur berdasarkan tingkat kematangan gonad ditampilkan pada Gambar 27. Antara TKG I dan III (belum matang gonad) terdapat dua kelas ukuran diameter telur dengan frekuensi relatif tinggi, yaitu telur berdiameter 0,01-0,16 mm (56%) dan 0,46-0,60 mm (11%) (Lampiran 18). Antara TKG IV dan V (matang gonad) terdapat tiga buah kelas ukuran diameter 68

90 telur, yaitu telur berdiameter 0,01-0,16 mm (14%), 0,46-0,60 mm (19 %), dan 0,91-1,05 mm (14%). N=3000 butir N=3000 butir Frekuensi (%) N=3000 butir N=3000 butir N=3000 butir Diameter telur (mm) Diameter telur (mm) Gambar 27. Sebaran ukuran diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan tingkat kematangan gonad Sebaran diameter telur ikan bonti-bonti pada TKG III dan IV yang dianalisis dengan metode Modal Progression Analysis Bhattacharya menggunakan perangkat lunak FiSAT II menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok diameter telur ikan yang ditampilkan pada Gambar 28. Kelompok ukuran pertama berdiameter 0,01-0,75 mm, kedua berdiameter 0,16-0,90 mm, dan ketiga berdiameter 0,60-1,50 mm. Hal ini menunjukkan bahwa telur ikan bonti-bonti tidak matang serentak. Patut diduga ikan bonti-bonti melakukan beberapa kali (minimal dua kali) pemijahan dalam setahun. Berdasarkan sebaran ukuran diameter telur tersebut, ikan bonti-bonti termasuk ikan yang memijah secara parsial (partial/multiple spawner). 69

91 Frekuensi (%) Diameter telur (mm) Diameter telur (mm) Gambar 28. Analisis Bhattacharya pada sebaran ukuran diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) pada TKG III dan IV Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad Panjang dan bobot ikan bonti-bonti jantan pertama kali matang gonad (mencapai TKG IV) adalah 5,53 cm dan 1,26 g, sedangkan pada ikan betina adalah 6,26 cm dan 2,04 g. Berdasarkan ukuran ikan terkecil yang ditemukan di alam pada ikan jantan adalah 5,53 cm dan ikan betina adalah 6,26 cm masingmasing didapatkan dengan peluang sekitar 5% dan 8%. Hal ini menunjukkan semakin besar ukuran ikan, maka semakin besar peluang ikan tersebut mencapai ukuran matang gonad. Ukuran panjang total (PT) ikan jantan dan ikan betina matang gonad (MG) dengan peluang 50% menggunakan metode Least Square Regression masing-masing adalah 16,78 dan 14,61 cm (Gambar 29). Jumlah ikan matang gonad (%) N = 627 N =525 Panjang total (cm) Panjang total (cm) Gambar 29. Ukuran ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina 50% matang gonad 70

92 Ukuran ikan pertama kali matang gonad memiliki hubungan dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta strategi reproduksinya. Ukuran ikan tersebut penting diamati secara berkala sebagai indikator adanya tekanan terhadap populasi ikan. Menurut Trippel et al., (1997), ikan yang mengalami tekanan karena tangkap lebih, cenderung matang gonad pada ukuran lebih kecil. Tidak ada data pembanding ikan bonti-bonti tahun sebelumnya sehingga ukuran ikan pertama kali matang gonad belum dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap populasi ikan bonti-bonti. Ukuran ikan betina matang gonad dengan peluang 50% lebih kecil dibandingkan ikan jantan. Hal ini menyatakan bahwa pada ukuran yang sama, ikan bonti-bonti betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Sebagai contoh pada ukuran ikan dengan panjang total 14 cm, ikan betina telah mencapai ukuran matang gonad dengan peluang 50% dari jumlah total ikan betina, sedangkan pada ikan jantan dengan ukuran panjang yang sama, jumlah ikan matang gonad baru mencapai sekitar 30% dari total ikan jantan. Tabel 11. Nilai IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan ikan betina di setiap stasiun penelitian di Danau Towuti Indeks Kematangan Gonad (IKG) Nilai maksimal IKG ikan bonti-bonti jantan dan betina paling tinggi dijumpai di stasiun II yaitu masing-masing sebesar 3,96% dan 6,77% (Tabel 11). Nilai rata-rata IKG ikan jantan antar stasiun pengamatan berdasarkan uji Mann- Whitney tidak berbeda nyata (α>0,050), kecuali di stasiun IV (Lampiran 19). Nilai rata-rata IKG ikan jantan di stasiun IV paling rendah (0,27%). Pada ikan betina, nilai rata-rata IKG paling tinggi dijumpai di stasiun II dan III (1,70% dan 1,73%). Nilai IKG di kedua stasiun tersebut tidak berbeda nyata (α=0,171). Stasiun IKG Jantan (%) IKG Betina (%) Ratarata Ratarata N Min Maks STDev. N Min Maks STDev. I 52 0,01 1,33 0,40 0, ,05 4,48 1,22 0,56 II 308 0,01 3,96 0,51 0, ,05 6,77 1,70 0,62 III 133 0,02 3,58 0,40 0, ,12 4,69 1,73 0,44 I V 85 0,01 0,87 0,27 0, ,02 5,33 1,23 0,56 V 15 0,01 1,15 0,43 0, ,15 4,46 1,23 0,55 Keterangan: I = Tanjung Bakara II = Inlet D. Towuti III = P. Loeha IV = Outlet D. Towuti V = Beau 71

93 Berdasarkan uji Mann-Whitney nilai rata-rata IKG ikan jantan dan ikan betina antar stasiun pengamatan di semua stasiun tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan variasi (ragam) nilai IKG cukup tinggi baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Namun demikian, di stasiun II dan III diduga merupakan tempat pemijahan ikan bonti-bonti di Danau Towuti karena ditemukan ikan dengan nilai IKG tertinggi baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Nilai rata-rata IKG tertinggi secara temporal terjadi dua kali setahun. Pada ikan jantan rata-rata IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei dan November (2,09±1,36% dan 1,85±1,06%), sedangkan pada ikan betina rata-rata IKG tertinggi terjadi pada bulan Mei, Juni, dan November (3,39±1,47; 3,66±0,57%; dan 3,47±1,37%) (Gambar 30). ikan N=593 N=522 IKG (%) Waktu pengamatan Waktu pengamatan Gambar 30. Nilai rata-rata IKG ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina secara temporal Nilai rata-rata IKG ikan bonti-bonti jantan secara temporal memiliki nilai tertinggi di bulan Mei dan November. Uji Mann-Whitney menunjukan bahwa nilai IKG tersebut berbeda nyata (α=0,0007). Rendahnya nilai rata-rata IKG ikan jantan di bulan November dibandingkan bulan Mei disebabkan ukuran ikan didominasi oleh ikan kecil (76% berukuran 3,80-9,00 cm dan 24% berukuran 9,01-19,78 cm; N=240 ekor). Demikian juga nilai rata-rata IKG ikan bonti-bonti betina secara temporal memiliki nilai tertinggi di bulan Mei, Juni, dan November (Lampiran 20). Uji Mann-Whitney antara bulan Mei dan Juni menunjukkan bahwa nilai IKG tersebut tidak berbeda nyata (α=0,6170), sedangkan antara bulan Juni dan November menunjukkan berbeda nyata (α=0,0547). Berdasarkan nilai IKG rata-rata tiap bulan diduga bulan Mei dan November merupakan musim pemijahan ikan bonti-bonti di Danau Towuti. Nasution dkk., (2007) menyatakan bahwa pada bulan November ikan rainbow 72

94 selebensis dewasa banyak ditemukan dalam kondisi matang gonad. Nilai IKG ikan rainbow selebensis juga lebih tinggi pada bulan tersebut dibandingkan pada bulan lainnya. Adanya beberapa nilai IKG tertinggi (di bulan Mei dan November pada ikan jantan dan betina), menunjukkan bahwa ikan bonti-bonti jantan dan betina tergolong ikan yang melakukan pemijahan lebih dari sekali dalam setahun. Demikian pula menurut Bagenal (1978) bahwa ikan betina yang mempunyai nilai IKG lebih kecil dari 20%, dapat melakukan pemijahan beberapa kali disetiap tahunnya. Bagenal (1978) menambahkan bahwa jenis ikan seperti ini biasanya memiliki variasi jumlah telur (fekunditas) yang tinggi. Dalam penelitian ini nilai IKG ikan bonti-bonti adalah 0,01-6,77% dengan fekunditas berkisar antara 818 hingga butir (rata-rata ±1.318 butir). Fluktuasi ukuran diameter telur rata-rata ikan bonti-bonti berdasarkan waktu pengamatan dapat dilihat pada Gambar 31. Ukuran diameter telur ratarata tertinggi terjadi pada bulan November, sedangkan terrendah terjadi pada bulan Juli. Peningkatan ukuran diameter telur dari bulan Agustus hingga November mengindikasikan adanya peningkatan pertumbuhan reproduktif dan mencapai puncaknya pada bulan November. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai IKG pada Gambar 30, nilai IKG cenderung meningkat dari bulan Agustus hingga mencapai puncaknya pada bulan November. Peningkatan nilai IKG disebabkan oleh adanya peningkatan ukuran diameter telur. N= 522 Gambar 31. Ukuran rata-rata diameter telur ikan bonti-bonti (P. striata) matang gonad berdasarkan waktu pengamatan 73

95 Dinamika Stok Ikan Penelitian tentang potensi ikan di Danau Towuti masih sangat sedikit, terlebih lagi mengenai pengkajian stok. Namun demikian ada beberapa informasi mengenai hal tersebut seperti Tjahjo dkk., (2005) menyatakan berdasarkan metode kandungan chlorophyll-a diperkirakan potensi perikanan Danau Towuti sebesar 54±19 kg/ha/tahun. Luas Danau Towuti adalah ,5 ha maka potensi danau diperkirakan sebesar 3.166±1.113,5 ton/tahun) dan hasil maksimum lestari/maximum sustainable yield sebesar 1.502±529 ton/tahun. Samuel dkk., (2005) telah melakukan pengamatan terhadap alat tangkap yang beroperasi dan memperkirakan bahwa produksi perikanan Danau Towuti pada tahun 2004 adalah 203,9 ton dan bagan menyumbang 137,4 ton (67,4%). Data hasil tangkapan tersebut perlu dikaji ulang karena perkiraan dilakukan dalam periode survey yang relatif singkat dan tidak berkesinambungan. Kendala utama dalam pengumpulan data hasil tangkapan adalah tidak ada tempat pelelangan ikan sehingga data hasil tangkapan nelayan tidak tercatat dengan baik. Namun demikian berdasarkan Samuel dkk., (2005) dapat diketahui bahwa alat tangkap bagan memiliki peran yang penting dalam kegiatan perikanan di Danau Towuti. Dalam analisis dinamika stok ikan bonti-bonti di Danau Towuti digunakan data primer hasil tangkapan dengan alat tangkap experimental gillnet (Lampiran 21, 22, dan 23) dengan melakukan pengukuran langsung dan hasil tangkapan dengan alat tangkap bagan yang diperoleh berdasarkan observasi (mengikuti penangkapan) maupun wawancara melalui enumerator dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 (Lampiran 24). Data hasil tangkapan ikan bonti-bonti menggunakan experimental gillnet dan bagan ditampilkan pada Tabel 12. Hasil tangkapan ikan bonti-bonti pada bulan November dan Desember lebih tinggi dibandingkan pada bulan yang lain, karena pada bulan tersebut terjadi penambahan baru ikan bonti-bonti sehingga meningkatkan stok ikan tersebut. Data hasil tangkapan ikan bonti-bonti antara kedua alat tangkap tersebut berkorelasi erat (r=0,86) (Lampiran 25). Hal ini menunjukkan ada pengaruh atau hubungan antara data hasil sampling menggunakan experimental gillnet dengan hasil sampling menggunakan bagan. Dengan demikian data hasil tangkapan experimental gillnet mewakili kondisi stok ikan bonti-bonti yang ditangkap menggunakan bagan. Data hasil tangkapan 74

96 menggunakan experimental gillnet pada Tabel 12 diperoleh dari hasil perkalian antara hasil tangkapan experimental gillnet yang dilakukan setiap bulan dengan effort bagan per bulan. Tabel 12. Hasil tangkapan ikan bonti-bonti (P. striata) menggunakan experimental gillnet dan bagan di Danau Towuti Waktu pengamatan Experimental gillnet (kg)* Bagan (kg) Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Jumlah Keterangan: * = data distandarisasi dengan effort bagan/bulan Ikan bonti-bonti umumnya tertangkap oleh nelayan bagan. Hasil tangkapan bagan sebagian besar adalah ikan bonti-bonti (36%), ikan boto-boto (34%), dan ikan pangkilang (25%) (Lampiran 24). Alat tangkap bagan memegang peranan penting dalam produksi perikanan tangkap, khususnya di Danau Towuti. Namun sayangnya alat tangkap ini tidak selektif karena ikan tertangkap mulai dari ukuran kecil hingga ukuran besar. Oleh karena ikan bonti-bonti banyak tertangkap dengan alat tangkap bagan, maka pengaruh tingkat eksploitasi nelayan bagan terhadap kelestarian stok ikan bonti-bonti sangat penting untuk dikaji. 75

97 Pertumbuhan Penghitungan pertumbuhan dan umur ikan di daerah tropis dapat dilakukan berdasarkan kelompok ukuran panjang (Sparre and Venema, 1998). Pada penelitian ini untuk menentukan pertumbuhan dan umur ikan didasarkan pada kelompok ukuran panjang ikan bonti-bonti yang ditangkap menggunakan experimental gillnet. Data kelompok ukuran panjang ikan dianalisis untuk memisahkan kelompok umur (Gambar 32 dan Lampiran 21) dan (Gambar 33 dan Lampiran 22). N=65 N=240 N=16 N=164 Jumlah ikan (ekor) N=37 N=35 N=17 N=52 N=70 N=30 N=32 N=121 Panjang total (cm) Panjang total (cm) Gambar 32. Sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dari bulan Mei 2006-April 2007 di Danau Towuti Berdasarkan data panjang ikan tiap bulan pada umumnya ikan bonti-bonti dijumpai dalam satu kelompok umur, namun demikian pada bulan November dan Desember pada ikan bonti-bonti jantan dan betina dijumpai dalam dua kelompok umur. Kelompok umur yang berbeda menyatakan generasi yang berbeda yaitu kelompok umur ikan muda dan dewasa. Pertumbuhan kelompok umur tampak jelas pada kelompok umur ikan muda yaitu pada bulan November yang terus tumbuh hingga bulan April menjadi kelompok umur ikan dewasa. 76

98 Selanjutnya untuk menentukan pola pertumbuhan ikan dianalisis menggunakan program ELEFAN I dan hasilnya ditampilkan pada Gambar 34 dan Lampiran 26 dan 27. N=37 N=214 N=7 N=228 Jumlah ikan (ekor) N=39 N=6 N=52 N=64 N=22 N=23 N=32 N=67 Panjang total (cm) Panjang total (cm) Gambar 33. Sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) betina dari bulan Mei 2006-April 2007 di Danau Towuti L L Gambar 34. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan data frekuensi panjang ikan bonti-bonti (P. striata) 77

99 Parameter pertumbuhan pada ikan jantan L =20,05 cm, K=1,7 pertahun dan t o = -0,02 tahun, sedangkan ikan betina L =20,45 cm, K=2,0 pertahun dan t o = -0,01 tahun. Panjang maksimal ikan bonti-bonti betina yang diperoleh lebih kecil dibandingkan panjang infinity (panjang maximum=18,33 cm dan panjang infinity=20,45 cm). Pada ikan jantan, panjang maximum=19,78 cm relatif sama dengan panjang infinity=20,05 cm. Laju pertumbuhan ikan bonti-bonti betina (K=2,0 pertahun) relatif lebih tinggi dibandingkan ikan jantan (K=1,7 pertahun). Hal ini menyatakan bahwa makin besar nilai K, maka makin cepat L didekati/dicapai, atau makin pendek umur ikan. Ukuran rata-rata ikan jantan dan ikan betina yang tertangkap tidak berbeda nyata (Tabel 13). Tabel 13. Ukuran rata-rata ikan bonti-bonti (P. striata) yang tertangkap selama penelitian di Danau Towuti Jenis kelamin Minimum Panjang total (cm) Maksimum Ratarata Standar deviasi Uji non parametrik (α) Jantan 3,80 19,78 9,93 3,04 0,49 Betina 4,68 18,33 9,49 2,63 Tidak berbeda Panjang ikan bonti-bonti jantan dan betina pada umur t yaitu: L t =20,05 [1-e -1,70.(t+0,02) ] dan L t =20,45 [1-e -2,00.(t+0,01) ]. Penentuan umur sangat penting antara lain berkaitan dengan pendugaan rekrutmen ikan. Perkiraan umur ikan bonti-bonti jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Panjang dan umur ikan bonti-bonti (P. striata) yang tertangkap selama penelitian di Danau Towuti Jenis kelamin Minimal Rata-rata Matang gonad 50% Maksimal Infinity Jantan Betina Panjang (cm) 3,80 9,93 16,78 19,78 20,05 Umur (bulan) 1,24 4,59 12,56 30,17 >53,43 Panjang (cm) 4,68 9,49 14,61 18,33 20,45 Umur (bulan) 1,44 3,62 5,18 13,48 >45,62 78

100 Rata-rata umur ikan yang tertangkap berumur >3 bulan (jantan=4 bulan 18 hari dan betina=3 bulan 19 hari), sedangkan umur ikan bonti-bonti jantan dan betina dengan peluang 50% matang gonad (siap memijah), masing-masing adalah 12 bulan 17 hari dan 5 bulan 5 hari. Pada bulan November sebaran frekuensi panjang ikan bonti-bonti tampak mempunyai dua puncak kurva (Gambar 32 dan 33) yang diduga sebagai kelompok umur ikan (kohort). Berdasarkan sebaran data pada bulan tersebut, dilakukan pemisahan distribusi normal data dan hasilnya menunjukkan terdapat dua kohort yang ditampilkan kembali pada Gambar 35. Frekuensi (100 ekor) Jantan Frekuensi (100 ekor) Betina Panjang total (cm) Panjang total (cm) Gambar 35. Analisis Bhattacharya berdasarkan sebaran frekuensi panjang ikan bontibonti (P. striata) bulan November ( kohort I dan kohort II) Diperkirakan umur ikan bonti-bonti jantan pada puncak kohort I dan II di bulan November masing-masing adalah panjang 5 cm=1,71 bulan dan panjang 12 cm=6,20 bulan, sedangkan pada ikan betina adalah panjang 7 cm=2,39 bulan dan panjang 11 cm=4,51 bulan. Berdasarkan umur ikan pada kohort tersebut dapat diperkirakan musim pemijahan ikan. Musim pemijahan ikan yang menghasilkan kohort ikan dewasa (II) diperkirakan dengan menghitung mundur 5-6 bulan dari bulan November, yaitu terjadi sekitar bulan Juni-Juli, baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Musim pemijahan ikan yang menghasilkan rekrutmen/penambahan kelompok ikan baru (kohort muda/i) diperkirakan dengan menghitung mundur 1-2 bulan dari bulan November yaitu terjadi sekitar bulan Oktober-November. Patut diduga bahwa bulan November merupakan puncak pemijahan ikan bonti-bonti karena menghasilkan kelimpahan paling tinggi dibandingkan bulan lain. 79

101 Nasution (2005a) mengatakan bahwa pada bulan November juga merupakan puncak musim pemijahan pada ikan rainbow selebensis. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan dan ukuran ikan matang gonad dengan peluang 50% dapat dikatakan bahwa potensi tumbuh somatik dan reproduktif ikan bonti-bonti masih berlangsung baik. Hal ini karena ukuran ikan matang gonad dengan peluang 50% (>14 cm) lebih besar dari ukuran ratarata (9,00 cm). Pada kasus kondisi perikanan yang telah mengalami tekanan eksploitasi yang berat, ukuran ikan matang gonad umumnya lebih kecil dari ukuran rata-rata (Ofori et al., 2001). Mortalitas Mortalitas total (Z) ikan bonti-bonti jantan dan betina berdasarkan perhitungan menggunakan perangkat lunak FiSAT II adalah 6,32 dan 7,32 per tahun (Gambar 36), sedangkan berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Beverton and Holt (1957) diperoleh nilai mortalitas total masing-masing sebesar 5,54 dan 7,85 pertahun (Tabel 15). Hasil perhitungan dengan menggunakan kedua cara tersebut, menghasilkan nilai Z yang relatif sama pada ikan jantan maupun ikan betina ,0 1,0 2,0 0,0 2,0 Gambar 36. Mortalitas ikan bonti-bonti (P. striata) jantan dan betina berdasarkan kurva hasil tangkapan yang dikonversi Mortalitas alami (M) ikan jantan dan betina ditentukan dengan rumus Pauly pada suhu rata-rata tahunan 29,4 o C masing-masing sebesar 2,89 dan 3,20 pertahun. Mortalitas karena penangkapan (F) pada ikan jantan dan betina yang diperoleh dari kurva hasil tangkapan yang dikonversi masing-masing adalah 3,43 dan 4,12 pertahun. 80

102 Beverton and Holt (1966), memastikan mortalitas alami (M) dan membandingkan dengan laju pertumbuhan (K). Nisbah M/K umumnya pada kebanyakan ikan berkisar antara 1,12 2,50. Pada kasus perikanan yang tangkap lebih di Danau Volta Ghana, nisbah M/K meningkat dari 1,66 menjadi 2,02 (Ofori et al., 2001). Peningkatan nisbah tersebut disebabkan oleh menurunnya nilai K akibat adanya tekanan penangkapan. Tabel 15. Penghitungan mortalitas total ikan bonti-bonti (P. striata) berdasarkan rumus Beverton and Holt (1957) Keterangan: K = indeks kurva pertumbuhan Von Bertalanffy, L =panjang infinity, L= rata-rata panjang ikan dalam kelompok umur tertentu, dan L = panjang ikan terkecil dalam sampel dengan jumlah sudah dapat diperhitungkan Pada ikan bonti-bonti jantan dan betina, nisbah M/K adalah 1,70 dan 1,60. Nisbah M/K lebih rendah pada ikan betina, namun perbedaan nilai tersebut relatif kecil. Perbedaan nisbah M/K tersebut disebabkan oleh laju pertumbuhan ikan betina (2,0 pertahun) lebih cepat dibandingkan ikan jantan (1,7 pertahun). Rekrutmen (Penambahan Baru) Rekrutmen atau penambahan baru ikan bonti-bonti (gabungan jantan dan betina) terjadi setiap bulan namun puncak penambahan baru diperkirakan pada bulan September, Oktober, dan November (Gambar 37). Telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat kelimpahan ikan yang tinggi pada bulan November dan Desember. Komposisi kelimpahan ikan bonti-bonti pada bulan November dan Desember tersebut didominasi oleh ikan berukuran kecil (Gambar 13). Berdasarkan perhitungan rumus pertumbuhan Von Bertalanffy, umur ikan yang mendominasi pada bulan November dan Desember berkisar antara satu hingga dua bulan. Dengan demikian kurva penambahan baru ikan bonti-bonti tersebut dapat dijelaskan dengan menghitung mundur antara satu hingga dua bulan dari bulan November. Penambahan baru pada bulan November berasal dari periode pemijahan pada bulan Oktober-November, sedangkan penambahan baru ikan pada bulan Desember berasal dari periode pemijahan di bulan 81

103 November-Desember. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13, terjadi peningkatan komposisi ukuran ikan kecil pada bulan November, sedangkan pada bulan Oktober komposisi ukuran ikan besar lebih dominan. Pemijahan ikan pada periode September-November menghasilkan penambahan baru yang lebih tinggi dibandingkan bulan lain. Keberhasilan pemijahan pada bulan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan (oksigen terlarut, tinggi muka air, dan ketersediaan makanan) yang dapat memperbesar potensi penambahan baru. 3 Rekrutmen (%) Mei Jul Sep Nov Jan Mar Waktu pengamatan Gambar 37. Penambahan baru ikan bonti-bonti (P. striata) di Danau Towuti dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 Potensi Rekrut Potensi rekrut ikan dapat dilihat dari nisbah kelamin (Ball and Rao, 1984 dan Purwanto dkk., 1986), diameter telur, fekunditas, dan IKG (Trippel et al., 1997). Nisbah kelamin pada ikan penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan tersebut di alam. Dalam suatu populasi apabila nisbah kelaminnya tidak seimbang, maka perkembangan populasi akan terhambat (rekrutmen mengecil). Nikolsky (1963) menyatakan perbedaan ukuran dan jumlah salah satu jenis kelamin dalam populasi disebabkan adanya perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur, karena ukuran pertama kali matang gonad, dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada. Gambar 38 memperlihatkan fluktuasi nisbah kelamin ikan bonti-bonti. Nisbah kelamin total ikan bonti-bonti jantan dan betina di Danau Towuti adalah 82

104 879:791 atau 1,0:0,9 Berdasarkan uji Mann-Whitney, jumlah ikan jantan dan ikan betina tersebut dianggap sama (α = 0,2852) (Lampiran 12). Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina dapat dikatakan seimbang yaitu 1,0:1,0. Kondisi nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina yang ideal adalah mendekati 1,0:1,0 (Ball and Rao, 1984). Purwanto dkk., (1986) menyatakan bahwa untuk mempertahankan populasi maka perbandingan ikan jantan dan betina harus berada dalam kondisi seimbang. Keseimbangan komposisi ikan jantan dan ikan betina dapat menjaga populasi ikan dari kepunahan. Jumlah induk ikan (ekor) Nisbah kelamin (jantan : betina) Waktu pengamatan Gambar 38. Nisbah kelamin dan komposisi induk ikan bonti-bonti (P.striata) dari bulan Mei 2006 hingga April 2007 Nisbah kelamin dan komposisi induk ikan bonti-bonti ideal terjadi pada bulan Oktober dan November masing-masing 1,12 dan 1,00. Pada bulan lainnya nisbah kelamin semakin besar, dimana umumnya komposisi ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina. Nilai nisbah kelamin menunjukkan komposisi ikan jantan dan ikan betina yang dapat dijadikan indikator keberhasilan rekruitmen ikan. Semakin dekat dengan nisbah yang ideal, maka semakin besar peluang keberhasilan rekrutmen. Potensi rekrut meningkat apabila nisbah kelamin ikan jantan dengan ikan betina, mencapai nilai ideal yaitu 1:1. Nisbah kelamin yang ideal memperbesar peluang jumlah pasangan ikan yang memijah. Nisbah kelamin dipengaruhi oleh tingkah laku pemijahan masing-masing jenis ikan. Gray and McKinnon (2006) menyatakan pada kelompok ikan dari famili Telmatherinidae seperti Tominanga sp. dan Tominanga sarasinorum, tiap 83

105 pasangan ikan terdiri atas 3-7 ekor ikan jantan dan 1 ekor ikan betina. Pemijahan dilakukan oleh 1 ekor ikan betina dengan 1-2 ekor ikan jantan. Selanjutnya dikatakan seringkali terjadi perkelahian untuk memperebutkan betina oleh pejantan lain (penyelinap/sneaker). Pejantan penyelinap disamping menimbulkan persaingan, dicurigai melakukan tindakan kanibal terhadap telur ikan sejenis. Gray and McKinnon (2006) menyatakan pula bahwa aktivitas kanibalisme telur terjadi pada ikan T. sarasinorum dan T. celebensis. Adanya persaingan dan aktivitas kanibalisme telur diduga berkaitan dengan ketidakseimbangan nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina dimana porsi ikan jantan lebih besar dibandingkan ikan betina. Hal ini akan memperkecil potensi penambahan baru ikan tersebut. Ditinjau dari nisbah kelamin, potensi rekrut ikan bonti-bonti lebih besar dibandingkan ikan Tominanga sp. dan T. sarasinorum. Nisbah kelamin ikan bonti-bonti mendekati nilai ideal yaitu 1:1 (Lampiran 12). Potensi rekrut beberapa jenis ikan Telmatherinidae juga dapat dilihat dari IKG, diameter telur, dan fekunditas yang ditunjukkan pada Tabel 16. Dibandingkan ikan Telmatherinidae lain, ukuran tubuh ikan bonti-bonti paling besar. Nilai IKG ikan bonti-bonti relatif lebih kecil dibandingkan ikan T. ladigesi, T. antoniae, dan T. celebensis, namun ukuran panjang ikan bonti-bonti jauh lebih panjang dibandingkan ikan T. ladigesi. Besarnya ukuran tubuh dan nilai IKG mencerminkan besarnya kapasitas (volume) ovari ikan bonti-bonti. Di samping itu diameter telur ikan bonti-bonti relatif lebih kecil dibandingkan ikan T. celebensis, T. antoniae, dan T. ladigesi. Hal ini menyebabkan fekunditas ikan bonti-bonti lebih tinggi dibandingkan ikan Telmatherinidae lain. Ditinjau dari parameter tersebut, khususnya fekunditas maka potensi rekrut ikan bonti-bonti lebih tinggi dibandingkan ikan Telmatherinidae lain. Tabel 16. Potensi rekrut ikan bonti-bonti (P. striata) dibandingkan dengan beberapa jenis ikan Telmatherinidae lain P. striata T. celebensis 1) T. antoniae 2) T. ladigesi 3) Panjang total (cm) 11,30-18,33 6,39-8,86 8,00-9,60 3,58-4,33 IKG (%) 0,02-6,77 1,87-2,60 0,59-2,63 0,61-8,81 Diameter telur (mm) 0,01-1,50 0,02-1,79 0,03-2,02 0,10-1,15 Fekunditas (butir) Sumber: 1) Nasution (2005a), 2) Sumassetiyadi (2003), dan 3) Nasution dkk., (2006) 84

106 Selanjutnya keberhasilan rekrutmen ikan ditentukan oleh: a) tingkat penetasan (hatching rate) dan b) kemampuan larva dan juvenil ikan untuk bertahan hidup (survival rate). Keberhasilan rekrutmen sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain ketersediaan makanan, predasi, dan kondisi kualitas air yang sulit dikendalikan. Oleh karena itu ikan menerapkan strategi reproduksi yang berbeda dalam menyikapi kondisi lingkungan yang berbeda (Trippel et al., 1997 dan Welcomme, 2001). Menurut Moyle and Joseph (1988) ada dua strategi dasar reproduksi pada ikan yaitu semelparity, adalah ikan memijahkan telur secara total dalam jumlah besar kemudian mati dan iteroparity, adalah ikan memijahkan telur secara berulang-ulang sepanjang tahun akibat kondisi lingkungan yang tidak terduga sehingga tidak ada jaminan larva dapat bertahan pada kondisi lingkungan saat musim pemijahan. Berdasarkan strategi reproduksi tersebut, ikan bonti-bonti termasuk ikan yang memiliki strategi reproduksi iteroparity yang memijah secara parsial atau beberapa kali dalam setahun, sehingga penambahan baru ikan bonti-bonti dapat terjadi sepanjang tahun. Namun demikian berdasarkan nilai IKG rata-rata tiap bulan, diperkirakan puncak pemijahan terjadi di sekitar bulan Mei dan November. Strategi ikan dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungan menurut Horn (1978); Bone and Marshal (1982); dan Lowe and McConell, (1991) ada dua macam, yaitu spesies dengan pola seleksi tipe k dan r. Strategi tipe k merupakan strategi adaptasi pada populasi yang padat (crowded), sedangkan tipe r merupakan strategi adaptasi pada populasi yang tidak padat (uncrowded). Pada populasi ikan bonti-bonti di Danau Towuti, pola strategi adaptasinya termasuk strategi tipe r. Ciri adaptasi pada ikan bonti-bonti antara lain reproduksi berlangsung sepanjang tahun, fekunditas relatif banyak, pertumbuhan cepat, jangka hidup ikan pendek, dan menurut Gray and McKinnon (2006) ikan bonti-bonti tidak bersifat perental care. Panjang rata-rata ikan bonti-bonti jantan dan betina selama pengamatan menunjukkan adanya dua kohort dalam setahun (Gambar 35). Kohort ikan pertama adalah ikan yang tumbuh dari periode Juli hingga Oktober dan kohort kedua adalah ikan yang tumbuh dari periode November hingga April. Pada periode September-Oktober, kohort ikan pertama sebagian besar (88,57-100,00%) mencapai ukuran dewasa dan ukuran ikan didominasi pada panjang total antara 9,01-19,78 cm. Kelompok ikan dewasa ini mendekati nisbah ideal 85

107 pada bulan Oktober-November (Gambar 38). Potensi rekrut pada bulan Oktober menjadi lebih besar karena ukuran ikan didominasi oleh ikan dewasa dengan nisbah kelamin yang ideal. Strategi reproduksi ikan bonti-bonti memijah pada saat yang tepat di sekitar bulan Oktober-November menghasilkan ikan ukuran kecil (3,80-9,00 cm) dengan kelimpahan yang tinggi (75,83-87,20%; N = ekor) di bulan November dan Desember (Gambar 12 dan Lampiran 13). Keberhasilan rekrutmen ikan bonti-bonti di sekitar bulan Oktober- November ditopang oleh adanya perubahan lingkungan akibat peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Parameter kualitas air yang mempengaruhi kelimpahan ikan adalah kandungan oksigen terlarut dan tinggi muka air (Gambar 15). Peningkatan nilai kedua parameter tersebut diakibatkan oleh adanya peningkatan curah hujan rata-rata dari 7,75 mm/hari di bulan Oktober menjadi 10,95 mm/hari di bulan di bulan November (Lampiran 16). Peningkatan curah hujan pada bulan Oktober dan November merupakan pemicu (trigger) bagi pertumbuhan reproduktif ikan bonti-bonti. Perubahan musim kemarau ke musim hujan menyebabkan terjadinya peningkatan volume air yang berakibat terjadinya perubahan parameter kimia air. Hal ini terlihat dari peningkatan kandungan ratarata oksigen terlarut dari bulan Oktober (6,29 mg/l) hingga November (8,53 mg/l) (Lampiran 6), sehingga merangsang ikan untuk memijah. Potensi rekrut ikan bonti-bonti meningkat pada saat perubahan musim dari musim kemarau ke musim hujan. Potensi rekrut ikan bonti-bonti di Danau Towuti sangat besar. Hal ini merupakan modal yang strategis bagi kelestarian ikan bonti-bonti. Potensi rekrut ini telah dibahas pada bagian terdahulu yaitu dapat ditinjau dari nisbah kelamin, fekunditas, strategi dan tipe reproduksi yang meliputi pemilihan waktu untuk memijah dan memijah secara berulang (multiple spawner). Hasil dari potensi rekrut tersebut terlihat pada kelimpahan ikan di bulan November dan Desember, dijumpai ikan kelompok ukuran anakan yang melimpah. Berdasarkan potensi rekrut tersebut, ikan bonti-bonti memiliki kemampuan untuk pulih kembali yang besar. Kemampuan rekrut tersebut secara alami akan menjaga kelestarian stok ikan bonti-bonti dari kepunahan. Faktor yang dapat menurunkan kemampuan rekrut secara alamiah adalah predasi dan penyakit (Welcomme, 2001), sedangkan secara tidak alami adalah mortalitas karena eksploitasi. Manusia sangat sulit melakukan intervensi terhadap faktor alamiah untuk mengurangi 86

108 dampak faktor tersebut terhadap kemampuan rekrut. Namun demikian, intervensi dapat dilakukan pada mortalitas karena eksploitasi. Agar populasi sumberdaya ikan tetap berkelanjutan, diperlukan usahausaha secara dini untuk menemukan suatu bentuk pengelolaan dengan melakukan pengaturan pengelolaan agar tidak terjadi tangkap lebih. Adapun berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum antara lain pembatasan wilayah (zonasi) dan musim eksploitasi, pembatasan jumlah upaya dan hasil tangkapan, serta pengaturan ukuran mata jaring (Gulland, 1977). Tingkat Eksploitasi Laju Eksploitasi Berdasarkan nilai mortalitas karena penangkapan (F) dan nilai mortalitas total (Z) ikan jantan dan betina, dapat ditentukan laju eksploitasi yang dihitung dengan rumus E=F/Z. Laju eksploitasi merupakan indeks yang menggambarkan tingkat pemanfaatan stok di suatu perairan. Sparre and Venema (1998) menyatakan nilai E=0,50 menunjukkan tingkat pemanfaatan stok maksimal dan E>0,50 menunjukkan tingkat pemanfaatan stok sudah tangkap lebih (over exploitation). Tingkat pemanfaatan stok ikan bonti-bonti di Danau Towuti ada indikasi kelebihan tangkap pada ikan jantan dan betina (E=0,54 dan E=0,56) (Gambar 36). Patut diduga ada hubungan antara tingkat pengoperasian bagan dengan laju ekploitasi yang dihasilkan dari perhitungan tersebut (E=0,54 dan E=0,56) dan diduga pertumbuhan jumlah populasi ikan bonti-bonti juga mengalami penurunan. Telah terjadi peningkatan jumlah bagan yang beroperasi secara signifikan. Menurut Samuel dkk., (2005), jumlah alat tangkap bagan yang beroperasi di perairan Danau Towuti pada tahun 2003 hanya berjumlah empat unit dan meningkat menjadi 15 unit pada tahun 2004 dan berdasarkan penelitian ini pada tahun bertambah menjadi 19 unit. Samuel dkk., (2005) menyatakan bahwa hasil tangkapan bagan di tahun 2004 adalah 137,4 ton, sedangkan berdasarkan data hasil tangkap nelayan bagan di tahun adalah 101,4 ton (Lampiran 28). Melihat peningkatan jumlah unit alat tangkap dan penurunan hasil tangkapan bagan, disinyalir terjadi juga penurunan pada populasi ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti. Hasil 87

109 tangkapan bagan sebagian besar adalah ikan bonti-bonti. Komposisi hasil tangkapan bagan ditampilkan pada Gambar 39. Hasil tangkapan bagan didominasi oleh famili Telmatherinidae (ikan bontibonti dan pangkilang) sebesar 62% dari bobot total. Dari jumlah tersebut ikan bonti-bonti paling besar persentasenya (36%), kemudian diikuti oleh ikan pangkilang halus (21%) dan pangkilang kasar (5%). Ikan pangkilang merupakan sebutan yang diberikan nelayan di Danau Towuti bagi jenis ikan Telmatherinidae yang berukuran lebih kecil dari ikan bonti-bonti. Ikan pangkilang terdiri dari ikan pangkilang halus dan pangkilang kasar. Ikan pangkilang halus sebagian besar merupakan jenis Telmatherina exilis sp. dan sebagian merupakan anakan ikan lain. ikan pangkilang kasar adalah campuran dari ikan T. celebensis, Tominanga sanguicauda, dan T. aurea. Gambar 39. Komposisi hasil tangkapan bagan di Danau Towuti Patut diduga bahwa penurunan hasil tangkapan bagan terkait dengan penurunan populasi ikan bonti-bonti yang digambarkan dari nilai laju eksploitasi yang cenderung tangkap lebih pada ikan jantan dan betina (E=0,54 dan E=0,56). Apabila jumlah alat tangkap bagan tidak dikendalikan, dikhawatirkan populasi ikan bonti-bonti semakin menurun. Ofori et al., (2001) menyatakan pada kasus tangkap lebih di Danau Volta, peningkatan alat tangkap menyebabkan meningkatnya nilai E dari 0,63 menjadi 0,76 dalam jangka waktu setahun. Jika diperhatikan jumlah alat tangkap yang beroperasi di Danau Towuti hanya 19 unit relatif sedikit dibandingkan luasan danau ( Ha). Namun demikian jumlah alat tangkap tersebut telah memberi dampak tekanan terhadap stok ikan bonti-bonti dan penurunan hasil tangkapan bagan. Hal ini diduga terkait dengan tingkat kesuburan (produktivitas) perairan Danau Towuti. 88

110 Menurut Haffner et al., (2006) ekosistem danau di Kompleks Malili (Danau Matano, Mahalona, dan Towuti) adalah ekosistem yang memiliki perairan jernih dengan penetrasi cahaya hingga jauh ke dalam perairan (kedalaman secchi >20 m). Walaupun kaya akan jenis organisme endemik terutama ikan, danau tersebut memiliki produktivitas perairan yang sangat terbatas dibandingkan dengan danau tropis lain. Biomasa fitoplankton di Danau Matano, Mahalona, dan Towuti masing-masing adalah 0,013; 0,008; dan 0,09 mg/l relatif rendah dibandingkan dengan danau Malawi, Tanganyika, dan Victoria yang masing-masing adalah 0,3; 0,9; dan 5,0 mg/l. Selanjutnya Haffner et al., (2006) menyatakan bahwa ketiga danau tersebut merupakan danau oligotrofik. Perpaduan/kombinasi antara sifat tidak selektif alat tangkap bagan dan sifat danau oligotrofik mengakibatkan daya dukung perairan Danau Towuti terhadap jumlah unit bagan sangat rendah (19 unit/ Ha 1 unit/2.947 Ha). Diperkirakan jumlah alat tangkap yang ada sudah mencapai tingkat maksimal dan bahkan cenderung berlebih. Perkiraan ini didasarkan pada nilai E>0,50. Tingkat Produksi dan Upaya Penangkapan Ikan Perkiraan adanya indikasi tangkap lebih juga dapat diketahui dari data produksi dan jumlah unit perikanan tangkap, namun di perairan Danau Towuti data tersebut tidak tersedia, baik dari seri waktu maupun ragam data. Hal ini disebabkan karena tidak ada tempat pelelangan ikan (TPI), sehingga nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat di lokasi pendaratan perahu maupun langsung dijual ke rumah-rumah penduduk tanpa ada proses pencatatan data produksi. Oleh karena itu untuk menganalisis potensi stok pada tingkat maksimum yang lestari yang membutuhkan data hasil tangkapan secara berkala selama bertahun-tahun (Spare and Venema, 1998) tidak dimungkinkan. Namun demikian dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan yang terindikasi telah tangkap lebih, perlu ditentukan batasan jumlah alat yang boleh beroperasi sebagai acuan agar sumber daya perikanan tersebut tidak terusmenerus mengalami penurunan sehingga mengancam kelestariannya. Dengan keterbatasan data di atas, maka dilakukan analisis data hasil penangkapan ikan dengan jumlah alat tangkap bagan yang beroperasi selama setahun yaitu mulai bulan April 2006 hingga Mei 2007 untuk melihat kecenderungan adanya penurunan produktivitas alat tangkap tersebut. Penurunan produktivitas alat 89

111 tangkap (CPUE) merupakan indikator telah terjadi tangkap lebih, dengan demikian dapat diperkirakan batasan jumlah alat yang boleh beroperasi. Berdasarkan data produksi dan jumlah alat tangkap bagan yang diperoleh dari nelayan dan pemilik bagan yang beroperasi di Danau Towuti (Gambar 40 dan Lampiran 28) terlihat adanya kecendrungan produktivitas alat tangkap bagan berkurang. Hal ini tampak pada hasil tangkapan yang rendah pada bulan Juni hingga September, sedangkan jumlah bagan yang beroperasi dalam satu bulan relatif tinggi (lebih besar dari 100 unit bagan perbulan). Pada bulan Juni hingga September dihasilkan produksi total sebesar kg, sedangkan jumlah total bagan beroperasi selama empat bulan tersebut 957 unit (Lampiran 28). Produktivitas alat tangkap bagan pada bulan Juni hingga September yang dihitung dari nilai hasil tangkapan adalah sebesar 20 kg/unit bagan. Hal ini diduga akibat tingginya tingkat eksploitasi pada periode penangkapan bulan sebelumnya, sehingga stok ikan sedikit. CPUE rata 2 = 20 kg/unit Hasil tangkapan (kg) Upaya penangkapan (unit) Gambar 40. Hasil dan upaya penangkapan bagan Pada bulan Oktober hingga Desember hasil tangkapan meningkat. Hal ini disebabkan karena adanya keberhasilan penambahan baru, sehingga meningkatkan jumlah stok ikan bonti-bonti. Hasil tangkapan per unit bagan pada bulan tersebut menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan periode Juni hingga September. Pada bulan Januari hingga April hasil tangkapan menurun. Namun demikian hasil tangkapan per unit bagan tersebut lebih tinggi dibandingkan 90

112 dengan periode Juni hingga September. Jumlah bagan yang beroperasi pada bulan Januari hingga April di bawah 100 unit bagan perbulan. Pada bulan Januari hingga April dihasilkan produksi total sebesar kg, sedangkan jumlah total bagan beroperasi selama empat bulan tersebut 360 unit (Lampiran 28). Produktivitas alat tangkap bagan pada bulan Januari hingga April yang dihitung dari nilai hasil tangkapan adalah sebesar 56 kg/unit bagan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas alat tangkap bagan pada bulan Juni hingga September dengan jumlah effort >100 unit bagan/bulan menghasilkan produktivitas (20 kg/unit bagan) yang lebih rendah dibandingkan pada bulan Januari hingga April (56 kg/unit bagan) dengan jumlah effort 100 unit bagan/bulan. Pola produksi ikan di perairan Danau Towuti dari hasil penelitian ini selama satu tahun tampak seperti pada Gambar 40. Penurunan produktivitas alat tangkap bagan apabila effort ditingkatkan dapat dilihat pada Gambar 41. Pada gambar tersebut, dapat dilihat pada effort antara 68 hingga 100 unit bagan/bulan, kurva P 1 cenderung meningkat (r=0,99), sedangkan pada effort >100 unit bagan/bulan, kurva P 2 cenderung menurun (r=-0,93). Untuk memperkirakan jumlah effort bagan/bulan yang menghasilkan nilai optimum, dilakukan pendekatan dengan menentukan titik potong kurva P 1 dan P 2. P 1; Y=-7.276,70+136,54.f P 2; Y=47.039,85-152,41.f Hasil tangkapan (kg) 188 Upaya penangkapan/f (unit/bulan) Gambar 41. Hubungan antara hasil (Y) dan upaya (f) penangkapan bagan Kurva P 1 ditentukan dengan persamaan Y=-7.276,70+136,54.f (f=68 sampai dengan 183 unit/bulan) dan kurva P 2 ditentukan dengan persamaan Y=47.039,85-152,41.f (f=138 sampai dengan 283 unit/bulan), dimana Y adalah 91

113 yield (hasil tangkapan) dan f adalah effort (upaya penangkapan). Berdasarkan kedua persamaan tersebut, dapat ditentukan titik potong kurva P 1 dan P 2 yaitu pada effort 188 bagan/bulan. Dengan demikian diperkirakan jumlah effort yang optimal adalah sebesar 188 unit bagan/bulan. Jumlah effort optimal tersebut dapat dijadikan patokan sebagai batasan jumlah alat yang boleh beroperasi. Dengan jumlah bagan yang ada saat ini yaitu sebanyak 19 unit, maka masingmasing bagan hanya diperbolehkan beroperasi selama 10 hari. Jumlah effort tertinggi terjadi pada bulan Juni sejumlah 283 unit bagan/bulan (Lampiran 28) atau masing-masing bagan beroperasi selama 15 hari. Berdasarkan nilai optimal effort bagan, masing-masing bagan hanya boleh beroperasi selama 10 hari, maka disarankan agar intensitas penangkapan dengan bagan diturunkan sebanyak 33% (15-10 hari/15 hari operasi) dari effort tertinggi. Analisis Stok berdasarkan Hasil per Penambahan Baru Relatif (Y/R ) dan Biomasa per Penambahan Baru Relatif (B/R ) Pada perikanan yang sudah dilakukan pengelolaan dengan benar, maka ikan muda yang baru rekrut pada waktu t r, setelah beberapa saat baru akan tertangkap oleh alat tangkap yang beroperasi ketika ikan berumur t c (Merta,1992). Pada perikanan di perairan Danau Towuti kondisi pengelolaannya masih belum dilakukan dengan benar. Indikasi tersebut dapat dilihat dari jenis dan jumlah alat tangkap yang beroperasi, dimana alat tangkap bagan yang merupakan alat tangkap yang tidak selektif dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Alat tangkap ini memakai jaring dengan ukuran kecil yaitu 0,3 cm, sehingga setiap terjadi penambahan baru, ikan langsung tertangkap bagan atau t r =t c. Spare and Venema (1998) menyatakan bahwa kondisi perikanan yang demikian sebagai knife-edge recruitment fishery. Jumlah ikan (stok) yang masuk ke perairan Danau Towuti belum diketahui, sehingga besarnya penambahan baru diduga dengan hasil relatif, yaitu hasil per penambahan baru (Yield per recruit, Y/R) dan biomasa per penambahan baru (Biomassa per recruit, B/R). Widodo (1998) menyatakan bahwa metode Y/R dapat digunakan untuk menentukan kombinasi optimum antara upaya (effort) penangkapan dan ukuran ikan pertama tertangkap (L c ) yang akan memperoleh hasil tangkapan maksimum berkelanjutan. Variabel yang diperlukan dalam analisis Y/R dapat dilihat pada Tabel

114 Dari tabel tersebut, parameter yang dapat dikendalikan oleh manusia dalam pengelolaan adalah laju mortalitas karena eksploitasi (F) dan ukuran ikan pertama tertangkap (L c ). Upaya pengelolaan dilakukan dengan mengatur jumlah alat yang beroperasi yaitu dengan menentukan batas jumlah alat tangkap yang boleh beroperasi dan pembatasan ukuran mata jaring. Pengaturan jumlah upaya penangkapan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya mortalitas karena eksploitasi. Pengaturan ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan yang pertama tertangkap. Tabel 17. Variabel * yang diperlukan dalam penghitungan Y/R Parameter L (cm) K (per tahun) Z (per tahun) M (per tahun) F (per tahun) E (per tahun) L c (cm) t o (tahun) Nilai 20,15 2,00 8,05 3,21 4,84 0,60 4,00-0,01 Keterangan: *) gabungan ikan jantan dan ikan betina Kondisi perikanan ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti yang knifeedge recruitment fisheries (t r =t c ) diperoleh dari analisis hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) yang dapat dilihat pada Gambar 42. Pada L c sebesar 9,42 cm, laju eksploitasi maksimum (E max ) sebesar 0,75 per tahun dan Y/R maksimum sebesar 0,031 (Gambar 42a). Laju eksploitasi pada E 0,1 sebesar 0,603 pertahun menghasilkan Y/R sebesar 0,030 dan laju eksploitasi pada E 0,5 sebesar 0,356 pertahun menghasilkan Y/R sebesar 0,023. Biomasa pada saat E max adalah sebesar 10% dari biomasa virgin (Bv, biomasa awal yaitu biomasa jika tidak ada penangkapan). Apabila L c dinaikkan menjadi 11,12 cm, maka Y/R maksimum bertambah menjadi 0,033. Laju eksploitasi maksimum bertambah menjadi 0,94 pertahun. Besarnya Biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) turun dari 10% menjadi 3% dari biomasa virgin (Gambar 42b). Pada Gambar 42 tersebut, disimulasikan ukuran ikan bonti-bonti yang tertangkap (L c ) ditingkatkan dari 9,42 cm (L c=50% ) menjadi 11,12 cm (L c=75% ). Peningkatan ukuran ikan lebih besar 18% akan meningkatkan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) sekitar 6%, sedangkan biomasa per 93

115 penambahan baru relatif (B/R ) turun sekitar 70% dari biomasa virgin. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila ukuran mata jaring diperbesar atau ukuran ikan yang tertangkap ditingkatkan, maka laju eksploitasi maksimum (E max ) meningkat dari 0,75 pertahun menjadi 0,94 pertahun demikian pula hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) meningkat dari 0,031 menjadi 0,033, sedangkan biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) menurun. a) b) E max E max Keterangan: E max E 0,1 E 0,5 Gambar 42. Hubungan antara laju eksploitasi dengan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) dan biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) pada kondisi simulasi Laju eksploitasi maksimum (E max ) dalam simulasi ini adalah nilai yang menyatakan besaran atau indeks tingkat eksploitasi yang menggambarkan tingkatan yang aman (tingkatan maksimum lestari) pada kondisi L c, M, dan K tertentu. Pada gambar tersebut, E max pada ukuran L c =9,42 cm adalah 0,75 pertahun, sedangkan pada ukuran L c =11,12 cm adalah 0,94 pertahun. Peningkatan nilai E max sejalan dengan meningkatnya ukuran ikan yang ditangkap, dapat diartikan sebagai meningkatnya ambang batas penangkapan maksimum. Hal ini disebabkan semakin besar ukuran ikan yang ditangkap, maka semakin besar kemampuan pemulihan kembali stok ikan tersebut. Hasil perikanan tangkap saat ini di Danau Towuti didominasi oleh hasil dari alat tangkap bagan dengan ukuran mata jaring sangat kecil (0,3 cm) sehingga ukuran ikan yang pertama kali tertangkap sangat kecil (L c 4 cm). Pada kondisi demikian laju eksploitasi yang menghasilkan Y/R maksimum adalah sebesar 0,42 per tahun dan Y/R turun dari 0,031 (Gambar 42a) menjadi 94

116 sebesar 0,021 (Gambar 43) dan B/R meningkat dari 10% (Gambar 42a) menjadi 25% (Gambar 43). Spare and Venema (1998) menyebutkan titik maksimum dari kurva Y/R sebagai maximum sustainable yield dipengaruhi oleh t c (umur saat pertama ikan tertangkap), dan t c tergantung pada ukuran mata jaring yang digunakan. Umur pertama ikan tertangkap dapat diartikan juga sebagai panjang pertama kali ikan tertangkap. Pada ikan bonti-bonti kondisi L c =4 cm didapatkan nilai E max sebesar 0,42 pertahun. Nilai E max tersebut sudah dilampaui sehingga dapat dikatakan sudah terjadi kondisi tangkap lebih (nilai E pada Tabel 17 adalah E=0,60 > E max =0,42). Para ahli lebih memilih hati-hati dalam menentukan kuota penangkapan, mereka menyarankan laju eksploitasi pada tingkat F 0,1. Nilai analog dengan konsep F 0,1 menurut Widodo (1988) adalah F=ME/(1-E) sama dengan E 0,1. Pada konsep perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct responsible fisheries) untuk pemanfaatan juga disarankan pada E 0,1 tersebut. E 0,1 adalah laju eksploitasi yang hanya mengeksploitasi biomasa 10% dari biomasa awal (Bv). Ditinjau dari tingkat biomasa yang disarankan yaitu pada E 0,1, didapatkan nilai B/R adalah 25%. Nilai B/R tersebut juga sudah dilampaui karena B/R =25% (Gambar 43) > B/R pada E 0,1 =10%. E max Keterangan: E max E 0,1 E 0,5 Gambar 43. Hubungan antara laju eksploitasi dengan hasil per penambahan baru relatif (Y/R ) dan biomasa per penambahan baru relatif (B/R ) pada kondisi saat ini 95

117 Pengaruh Tingkat Eksploitasi terhadap Kemampuan Pulih Kembali Ikan Bonti-bonti Seperti pada pembahasan terdahulu bahwa kemampuan daya dukung perairan Danau Towuti adalah rendah. Hal ini menyebabkan stok ikan di perairan tersebut rentan terhadap adanya tekanan penangkapan. Jumlah alat tangkap utama (bagan) yang beroperasi di perairan ini sebanyak 19 unit, sedangkan luas wilayah Danau Towuti menurut Haffner et al., (2001) adalah Ha. Dengan demikian satu unit alat tangkap bagan beroperasi dalam luasan wilayah sebesar Ha (1 unit bagan tiap Ha). Kerapatan alat tangkap tersebut jarang dibandingkan luasan wilayah Danau Towuti. Namun demikian, jumlah alat tangkap bagan yang beroperasi telah memberi tekanan terhadap stok ikan bontibonti. Hal ini terkait dengan kemampuan daya dukung danau tersebut yang bersifat oligotrofik. Adanya tekanan penangkapan terlihat dari beberapa indikator yaitu: laju eksploitasi, hasil tangkapan per unit upaya, hasil per penambahan baru relatif, dan biomasa per penambahan baru relatif. Laju eksploitasi ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti telah melebihi nilai E=0,50 pertahun. Pada ikan jantan dan betina nilai E masing-masing adalah 0,54 dan 0,56 pertahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada indikasi telah mengalami tangkap lebih. Alat tangkap bagan menggunakan jaring berukuran kecil (0,3 cm) sehingga ikan yang tertangkap mulai dari ukuran kecil hingga besar. Ukuran ikan yang tertangkap pertama kali dengan alat tangkap bagan adalah L c =4 cm. Berdasarkan ukuran L c tersebut didapatkan nilai E max yang menghasilkan nilai Y/R pada tingkat lestari adalah sebesar E max =0,42 pertahun. Berdasarkan E max pada saat ini (L c =4 cm) adalah sebesar 0,42 pertahun, maka nilai E max tersebut telah dilampaui karena nilai E pada Tabel 16 adalah E=0,60 pertahun lebih besar dari nilai E max pada L c =4 cm. Demikian pula berdasarkan hubungan antara produksi dengan effort, ada kecenderungan penurunan nilai hasil tangkapan per unit upaya dengan meningkatnya effort yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambah effort yang dilakukan menghasilkan produktivitas penangkapan yang semakin rendah. Menurunnya produktivitas alat yang tercermin dari hasil tangkapan per unit upaya menunjukkan adanya indikasi telah terjadi tangkap lebih. Terjadi peningkatan produksi yang nyata dari kg pada bulan Oktober menjadi kg dan kg pada bulan November dan Desember 96

118 (Gambar 44). Tingkat eksploitasi pada bulan November dan Desember meningkat lebih dari 280% dibandingkan pada bulan Oktober. Kegiatan penangkapan yang intensif pada bulan November dan Desember mengakibatkan kemampuan untuk pulih kembali stok (yang digambarkan dengan kelimpahan ikan dalam persentase) ikan bonti-bonti menurun drastis pada bulan Januari dari 27,2% menjadi 1,4%. Gambar 44. Pengaruh tingkat eksploitasi terhadap hasil kemampuan untuk pulih kembali stok ikan bonti-bonti (P. striata) Ditinjau dari potensi rekrut, pada bulan Oktober kemampuan untuk pulih kembali stok ikan bonti-bonti menjadi lebih besar karena ukuran ikan didominasi oleh ikan dewasa dengan nisbah kelamin yang mendekati ideal. Strategi reproduksi ikan bonti-bonti yaitu memijah pada saat yang tepat di sekitar bulan Oktober-November, menghasilkan ikan ukuran kecil (3,80-9,00 cm) dengan kelimpahan yang tinggi (75,83-87,20%; N= ekor) di bulan November dan Desember. Namun hasil penambahan baru tidak mampu mempertahankan kestabilan stok ikan bonti-bonti karena adanya tekanan penangkapan yang intensif (Gambar 44). Status Perikanan Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti Menurut data statistik Kabupaten Luwu Timur pada tahun 2004, penduduk yang tinggal di sekitar Danau Matano dan Danau Towuti masingmasing adalah dan orang. Penduduk yang tinggal di sekitar Danau 97

119 Mahalona hanya orang. Produksi perikanan di Danau Towuti adalah paling tinggi yaitu 90,7%, sedangkan di Danau Matano dan Mahalona adalah 7,1% dan 2,2% (Tabel 18). Data ini menunjukkan bahwa produktivitas di Danau Towuti paling tinggi dibandingkan dengan danau yang lain di wilayah Kompleks Malili. Hal ini berkaitan dengan luas Danau Towuti yang merupakan danau yang paling luas dibandingkan danau lainnya (Nasution, 2006). Tabel 18. Jumlah penduduk dan produksi perikanan di Danau Matano, Mahalona, dan Towuti Danau Jumlah penduduk Produksi perikanan (orang) (ton) (%) Matano ,0 7,1 Mahalona ,9 2,2 Towuti ,6 90,7 Sumber: Pemerintah Kabupaten Luwu Timur (2004) dalam Nasution (2006) Produktivitas perikanan di Danau Towuti paling tinggi (61,7 kg/orang) dibandingkan produktivitas di Danau Matano dan Mahalona yaitu masing-masing adalah 4,6 dan 5,4 kg/orang. Tingginya produktivitas perikanan di Danau Towuti di satu sisi adalah baik karena mencerminkan jumlah pendapatan yang diperoleh dari sektor perikanan. Potensi perairan Danau Towuti menurut Haffner et al., (2001) tergolong rendah jika dibandingkan dengan danau tropis di negara lain. Danau ini merupakan danau oligotrofik. Rendahnya produktivitas perairan mengakibatkan rendahnya daya dukung perairan tersebut terhadap produksi perikanan. Hal ini berdampak kepada kemampuan pemulihan kembali (recovery) sumberdaya perikanan terhadap tekanan akibat perubahan lingkungan maupun tekanan penangkapan. Data kualitas lingkungan (beberapa paramater kualitas air) selama penelitian tidak menunjukkan adanya perubahan lingkungan perairan secara signifikan akibat adanya kegiatan manusia seperti aktivitas pengolahan kayu yang menghasilkan kayu olahan dan limbah penggergajian kayu (sawmill) serta aktivitas rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari beberapa parameter kualitas air, terutama oksigen terlarut (DO) dan ph secara spasial atau di beberapa stasiun penelitian secara signifikan tidak berbeda. Demikian pula parameter yang lainnya 98

120 seperti suhu air, konduktivitas, dan alkalinitas juga secara signifikan tidak berbeda. Faktor lingkungan tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan musim yang menyebabkan perbedaan intensitas curah hujan dan ketinggian muka air (water level) di Danau Towuti. Perbedaan parameter lingkungan terutama oksigen terlarut dan tinggi muka air akibat adanya perubahan musim (dari musim kemarau ke musim hujan) merupakan trigger terhadap pertumbuhan somatik maupun reproduktif ikan bonti-bonti di perairan tersebut. Hasil dari pertumbuhan somatik dan reproduktif dapat diketahui dari kelimpahan ikan pada saat terjadinya awal musim hujan yaitu pada bulan November- Desember. Hal ini juga merupakan suatu strategi reproduksi ikan bonti-bonti. Dalam menyiasati kondisi lingkungan yang tidak dapat diprediksi tersebut, ikan bonti-bonti memiliki strategi reproduksi iteroparity yaitu memijah secara parsial atau beberapa kali dalam setahun sehingga penambahan baru ikan bontibonti terjadi setiap bulan. Keberhasilan strategi reproduksi ikan bonti-bonti terlihat dari tingginya rekrutmen mulai bulan Oktober hingga Desember. Dengan demikian potensi rekrut pada bulan tersebut dapat dikatakan lebih baik dibandingkan bulan yang lain. Potensi rekrut tersebut meningkatkan kemampuan pemulihan stok ikan bonti-bonti. Ancaman terhadap kelestarian stok ikan dapat dilihat dari adanya peningkatan produksi perikanan, peningkatan jumlah alat tangkap dan intensitas penangkapan, serta peningkatan jumlah nelayan yang beroperasi di Danau Towuti. Di samping itu potensi ancaman terhadap stok ikan di Danau Towuti juga berasal dari penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bagan dan strum (alat tangkap listrik). Beberapa alat tangkap lain yang dipergunakan di Danau Towuti antara lain salue (hook and line), pukat (gillnet), jala lempar, pancing, dan paratao (alat yang khusus untuk menangkap ikan gabus). Dari berbagai alat tangkap tersebut, bagan merupakan alat tangkap yang memberikan andil terbesar terhadap produksi perikanan di Danau Towuti. Pengelolaan perikanan di Danau Towuti belum dilakukan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari belum adanya tempat pelelangan ikan. Tempat pelelangan ikan di samping berfungsi sebagai tempat berinteraksi antara nelayan dengan pembeli, juga berfungsi sebagai tempat kegiatan administrasi pencatatan data produksi perikanan di kawasan tersebut. Saat ini nelayan melakukan 99

121 transaksi penjualan ikan secara langsung. Hal ini tentunya mempersulit upaya monitoring hasil tangkapan yang sangat diperlukan bagi pengelolaan perikanan. Wilayah D.Towuti selama ini diatur oleh Dinas Kehutanan yaitu Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Landasan hukum yang mengatur operasional di perairan tersebut, adalah keputusan Mentan No. 274/Kpts/Um/1979 menetapkan D.Towuti dan D.Mahalona sebagai Kawasan Taman Wisata Alam (TWA). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1968, Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Melihat kondisi kawasan perairan Danau Towuti yang memiliki jenis-jenis ikan endemik rawan punah dan diperkirakan telah mengalami tekanan akibat pangkapan yang intensif, maka patut diusulkan agar kawasan tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Perairan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2007, bahwa Taman Nasional Perairan (TNP) adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. Adanya peningkatan status dari TWA menjadi TNP diharapkan dapat memperkuat landasan operasional untuk kegiatan konservasi, namun tidak menutup kemungkinan untuk pemanfaatannya. TNP adalah termasuk salah satu Kawasan Konservasi Perairan di samping Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Peningkatan status kawasan danau tersebut harus dilandasi usaha pengawasan/monitoring dan evaluasi yang efektif agar sumberdaya perikanan yang terdapat di danau tersebut dapat berkelanjutan. Selanjutnya penetapan Kawasan Konservasi Perairan dilakukan berdasarkan kriteria: a) ekologi, meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keterkaitan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan, dan daerah pengasuhan, b) sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat,dan c) ekonomi, meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika, dan kemudahan mencapai kawasan. 100

122 Untuk merencanakan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan harus memuat zonasi (Pasal 17 ayat 3 PPRI No. 60 Tahun 2007). Selanjutnya pada Pasal 17 ayat 3 dikatakan bahwa untuk menetapkan zonasi Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas: a) zona inti, b) zona perikanan berkelanjutan, c) zona pemanfaatan, dan d) zona lainnya. Pengelolaan dan Konservasi Pengelolaan sumberdaya perikanan di suatu perairan menurut King (1997), pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan. Di samping itu juga untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi para pihak pengguna sumberdaya perikanan. Selanjutnya secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan terutama nelayan. Prinsip dasar yang melandasi upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan ikan tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomasa ikan. Oleh sebab itu upaya pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Penentuan strategi pengelolaan akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan monitoring terhadap upaya eksploitasi terutama untuk memonitor apakah sudah terjadi tangkap lebih (over fishing) dengan melihat hasil tangkapan per unit upaya dan ukuran dominan yang tertangkap. Berdasarkan hasil kajian stok dan monitoring tersebut, dengan memperhatikan aspek resiko yang ditemukan dan aspek lingkungan (ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya eksploitasi (jenis alat, jumlah alat, jumlah nelayan, waktu, dan lokasi penangkapan) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran dan jumlah ikan yang boleh ditangkap) (Gulland, 1977). 101

123 Untuk mencapai keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan sumberdaya ikan perhatian tidak hanya difokuskan pada masalah mempertahankan stok atau biomasa sumberdaya ikan dan ekosistemnya tetapi juga masalah struktur sosial ekonomi masyarakat nelayan dan sistem managemen lembaga pengelolanya (Charles, 1998 dalam Adrianto, et al., 2005). Menurut Adrianto et al., (2005) bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan dalam sistem perikanan ada empat komponen keberlanjutan yang saling terkait satu sama lain yakni keberlanjutan secara ekologi (ecological sustainability), keberlanjutan sosial ekonomi (socio economic sustainability), keberlanjutan komunitas masyarakat (community sustainability) dan keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability). Konsep Pengelolaan Perikanan Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti Berdasarkan deskripsi kondisi stok ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti perlu dilakukan beberapa upaya dalam pelestarian sumberdaya ikan endemik tersebut. Upaya yang dilakukan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pulih kembali stok ikan tersebut dan melestarikan sumber pendapatan masyarakat melalui hasil tangkapan ikan. Ikan bonti-bonti yang termasuk kriteria rawan punah dan endemik perlu dikonservasi dan dilakukan pengelolaan yang tepat. Konsep pengelolaan perikanan ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti antara lain: melakukan penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap, pengaturan melalui penentuan ukuran mata jaring yang boleh digunakan, pengaturan daerah dan musim penangkapan, dan daerah suaka perikanan (reservat) ikan bonti-bonti di perairan Danau Towuti. Penentuan Ukuran Ikan yang Boleh Ditangkap Penentuan ukuran ikan yang boleh ditangkap didasarkan atas pertimbangan ikan telah mampu melakukan reproduksi, sehingga ikan mempunyai kesempatan melakukan pemijahan untuk proses kelangsungan keturunannya. Ukuran ikan rata-rata yang tertangkap pada L 50 adalah 9,42 cm. Ukuran ikan pertama kali tertangkap adalah 4,00 cm, sedangkan ukuran ikan pertama kali matang gonad dengan peluang 50% pada ikan jantan dan betina masing-masing adalah 16,78 dan 14,61 cm. Berdasarkan ukuran ikan bonti-bonti pertama kali matang gonad tersebut, ukuran ikan yang tertangkap pertama kali jauh lebih kecil dari ukuran ikan yang matang gonad. Hal ini menunjukkan bahwa 102

124 adanya kerawanan penggunaan alat tangkap bagan terhadap kemampuan pulih kembali stok ikan bonti-bonti. Ukuran ikan yang boleh ditangkap berdasarkan penghitungan ikan pertama kali matang gonad adalah >16,0 cm. Peningkatan ukuran ikan yang tertangkap pada ukuran >16,0 cm membawa pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup ikan bonti-bonti karena stok induk bonti-bonti dapat terjamin ketersediaannya. Di sisi lain, peningkatan ukuran tersebut membawa indikasi negatif bagi nelayan karena akan mengurangi hasil tangkapan (produksi). Hubungan antara berkurangnya hasil tangkapan dengan meningkatnya ukuran ikan, dapat dijelaskan dalam model B/R. Sebagai contoh, dijelaskan dalam simulasi bahwa peningkatan ukuran ikan dari L c =4,00 cm menjadi L c =11,12 cm menurunkan nilai B/R dari 25% menjadi 3% (hasil tangkapan dari 25% biomasa awal turun menjadi 3%). Untuk mencari ukuran ikan yang moderat agar jumlah ikan yang tertangkap tidak terlalu sedikit, namun jumlah ikan matang gonad tersedia dalam jumlah yang memadai dapat dilihat pada Gambar 45. Pada gambar tersebut, apabila ditentukan ukuran ikan yang boleh ditangkap 9,0 cm, maka jumlah ikan yang tertangkap adalah 67,9% dari stok ikan. Jumlah ikan matang gonad Jumlah ikan yang tertangkap (%) , , , , ,8 15,0 10 5,2 10, Jumlah ikan matang gonad (%) Panjang total (cm) Gambar 45. Hubungan antara ukuran ikan bonti-bonti (P. striata) dengan jumlah ikan yang tertangkap ( ), jumlah ikan jantan ( ) dan betina ( ) matang gonad pada ukuran tersebut adalah 10,8% (ikan jantan) dan 15,0% (ikan betina). Peluang ikan matang gonad pada ukuran tersebut (10,8-15,0%) menyatakan 103

125 bahwa jumlah ikan matang gonad dalam jumlah yang tidak memadai. Dengan kata lain ukuran ikan yang tertangkap banyak yang belum sempat mencapai ukuran matang gonad (85,0-89,2%). Hal ini dapat mengganggu proses regenerasi karena penambahan baru (rekrutmen) ikan mengecil. Pada ukuran ikan bonti-bonti 14,0 cm, jumlah ikan yang tertangkap adalah sebesar 17,8%. Jumlah ikan matang gonad pada ukuran tersebut adalah 32,2% (ikan jantan) dan 45,4% (ikan betina). Pada ukuran ikan bonti-bonti 16,0 cm, jumlah ikan yang tertangkap adalah sebesar 5,2%. Jumlah ikan matang gonad pada ukuran tersebut adalah 44,8% (ikan jantan) dan 60,3% (ikan betina). Pada ukuran ikan yang ditangkap 16,0 cm, jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan adalah 5,2% dari stok ikan. Meskipun menghasilkan jumlah ikan matang gonad yang relatif tinggi dibandingkan pada ikan ukuran 9,0 dan 14,0 cm, namun demikian hasil tangkapan yang diperoleh nelayan tidak optimal. Ukuran ikan yang dapat dianggap moderat adalah ukuran 14,0 cm. Pada ukuran tersebut jumlah ikan matang gonad mendekati nilai ideal yaitu 50% terutama pada ikan betina (45,4%). Jumlah ikan yang tertangkap sebesar 17,8% lebih tinggi dari ukuran ikan 16,0 cm yaitu sebesar 5,2%. Berdasarkan hal tersebut, ukuran ikan yang boleh ditangkap disarankan pada ukuran >14,0 cm. Pengaturan melalui Penentuan Ukuran Mata Jaring yang Boleh Digunakan Peningkatan ukuran ikan yang ditangkap dari 4,00 cm menjadi lebih tinggi (14,00 cm) membawa implikasi pada peningkatan ukuran mata jaring bagan. Ikan ukuran 14,00 cm banyak tertangkap dengan alat tangkap experimental gillnet berukuran mata jaring 2,5 cm (1 inci). Secara praktis hal ini sulit untuk diterapkan karena akan merubah fungsi alat tangkap bagan yang didesain untuk menangkap ikan berukuran kecil. Di samping itu diperkirakan akan terjadi resistensi oleh nelayan bagan karena akan menurunkan produksi hasil tangkapan dan perubahan desain alat membutuhkan biaya. Hal praktis yang dapat dilakukan adalah melibatkan nelayan bagan untuk berpartisipasi menjaga kelestarian stok ikan dengan cara memberikan pengertian mengenai dampak negatif dari penggunakan alat tangkap bagan tersebut. Pendekatan dengan basis komunitas (comunity base) nelayan bagan dapat dilakukan dengan cara membentuk komunitas nelayan bagan yang ada. Adanya wadah komunitas tersebut memudahkan dilakukannya pembinaan dan 104

126 monitoring jumlah nelayan bagan yang beroperasi di Danau Towuti dan jumlah alat bagan yang beroperasi sebaiknya tidak boleh bertambah. Pengaturan Daerah dan Musim Penangkapan Distribusi ikan bonti-bonti telah diketahui baik secara spasial maupun temporal. Ikan bonti-bonti banyak dijumpai pada habitat yang terdapat sungai yang masuk ke danau (inlet). Hal ini diduga terkait dengan bahan masukan dari sungai (allochtonous) yang dibawa masuk bersama aliran sungai. Bahan tersebut diduga mempengaruhi kelimpahan makanan ikan bonti-bonti. Makanan utama ikan bonti-bonti adalah kelompok Insekta dan ikan kecil. Berdasarkan pengamatan kelimpahan ikan bonti-bonti tertinggi dijumpai di daerah muara Sungai Tominanga (inlet Danau Towuti). Patut diduga bahwa pada daerah tersebut merupakan habitat utama (main habitat) ikan bonti-bonti. Di daerah ini dijumpai ikan bonti-bonti mulai dari ukuran kecil (3,80 cm) hingga ukuran besar (19,78 cm). Hal ini mengindikasikan bahwa daerah ini dihuni juga oleh ikan mulai dari ukuran anakan hingga dewasa. Pada tempat dengan kondisi demikian umumnya merupakan tapak pemijahan (spawning site) dan tapak mencari makan (feeding site). Lokasi ini terletak pada posisi koordinat 02 o 39 43,4 LS; 121 o 32 46,0 BT. Perlu dilakukan upaya untuk memonitoring kegiatan penangkapan ikan pada posisi koordinat tersebut. Sebagai langkah awal perlu dilakukan pendekatan agar nelayan bagan tidak beroperasi di sekitar wilayah tersebut untuk mencegah terangkapnya ikan ukuran anakan dan induk matang gonad yang dalam proses pemijahan. Secara temporal ikan bonti-bonti diketahui memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan November-Desember. Pada bulan tersebut komposisi ukuran ikan didominasi oleh ukuran anakan yang merupakan hasil pemijahan pada bulan Oktober-November. Hal ini menunjukkan bahwa proses penambahan baru (rekrutmen) terjadi pada bulan tersebut. Untuk menjaga agar kemampuan pulih kembali ikan bonti-bonti tersebut tidak berkurang, maka perlu dilakukan upaya pembatasan penangkapan pada bulan November-Desember. Kombinasi antara tempat (daerah penangkapan) dan waktu (musim penangkapan) merupakan hal terbaik yang perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan stok ikan bonti-bonti. Implementasi dari hal tersebut adalah 105

127 menetapkan pembatasan atau pengaturan penangkapan ikan di daerah muara Sungai Tominanga (inlet Danau Towuti) pada bulan November dan Desember. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No.60 Tahun 2007, Pasal 7 ayat 1 dijelaskan bahwa: Dalam rangka pemulihan kondisi habitat sumber daya ikan dan perlindungan siklus pengembangbiakan jenis ikan, Menteri menetapkan pembukaan dan penutupan perairan tertentu untuk kegiatan penangkapan ikan. Yang dimaksud dengan pembukaan dan penutupan perairan tertentu adalah pemberian izin dan pelarangan melakukan kegiatan penangkapan sumber daya ikan tertentu, yang bersifat sementara, dalam jangka waktu dan/atau musim tertentu, yang ditetapkan berdasarkan pada data dan informasi ilmiah, dalam rangka memberi kesempatan bagi pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya. Selanjutnya pada Pasal 7 ayat 2 dijelaskan bahwa Pembukaan dan penutupan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a) tingkat kerusakan habitat ikan, b) musim perkembang biakan ikan, dan/atau c) tingkat pemanfaatan yang berlebih (overfishing). Daerah Suaka Perikanan (Reservat) Ikan Bonti-bonti di Perairan Danau Towuti Pemberdayaan masyarakat merupakan kata kunci dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam. Caranya adalah memberikan alternatif penghasilan dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut namun tidak mengganggu kelestariannya. Diakui tidak mudah mencarikan alternatif tersebut, namun ide menjadikan ikan endemik sebagai komoditi ikan yang dibanggakan perlu diterapkan. Beberapa contoh daerah yang cukup berhasil dalam melibatkan peran masyarakat pada proyek pelestarian ikan konsumsi adalah di Danau Singkarak dengan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), di daerah Pasaman Sumatera Barat dan Kerinci dengan ikan Semah (Tor sp.), dan daerah Kuningan Jawa Barat dengan ikan kancra atau ikan dewa (Tor soro). Sedangkan di Kalimantan Barat dinilai berhasil dalam menjaga kelestarian ikan arawana merah (Scleropages formosus) melalui kegiatan budidaya dan perdagangan ikan hias. Pada kasus ikan bilih di Danau Singkarak yang awalnya berstatus endemik, namun dengan keberhasilan usaha domestikasi ikan tersebut telah dapat dibudidayakan di sekitar Danau Singkarak. Bahkan benih ikan bilih yang berasal dari hasil tangkapan di danau tersebut telah dapat diintroduksi di Danau 106

128 Toba. Hal ini tentunya dapat merubah status endemik pada ikan tersebut menjadi non-endemik. Keberhasilan kegiatan domestikasi yang sama tidak menutup kemungkinan apabila dilakukan pada ikan bonti-bonti di Danau Towuti. Sampai saat ini belum ada upaya domestikasi pada ikan bonti-bonti di danau tersebut. Namun demikian Soeroto et al. (2004) telah berhasil melakukan upaya awal dengan memijahkan secara artificial pada enam jenis ikan yaitu Oryzias marmoratus, O.profundicola, Telmatherina bonti, T. celebensis, Tominanga sanguicauda, dan Dermogenys megarrhampus yang berasal dari Danau Towuti. Pemerintahan Kabupaten Luwu Timur yang berkedudukan di Malili, memiliki kekayaan alam yang potensial berupa tambang nikel dan perkebunan (cokelat, lada, dll.). Selama ini kedua hasil alam tersebut menjadi ikon yang membuat daerah ini dikenal. Melihat banyaknya jenis biota perairan endemik, maka tidak berlebihan apabila diangkat ikon baru yaitu Kabupaten Luwu Timur (Malili) sebagai kota ikan endemik. Pemberian ikon baru tersebut harus disosialisasikan oleh Pemerintah (baik lokal maupun pusat). Hal ini penting agar masyarakat lokal dan Indonesia sadar bahwa di daerah Malili terdapat jenis ikan endemik yang menjadi perhatian dunia (mendapat perhatian IUCN). Diharapkan tumbuh rasa bangga dan apresiasi terhadap jenis-jenis biota endemik pada masyarakat lokal khususnya. Pada akhirnya perasaan bangga dan apresiasi ini diharapkan dapat mendorong masyarakat lokal menjaga kelestariannya. Selanjutnya peran pemerintah lokal dan pusat dalam menjaga kelestarian ikan endemik adalah segera melakukan upaya konservasi dengan cara membatasi alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan dan penggunaan alat tangkap listrik (aki) serta menetapkan daerah suaka perikanan/reservat. Dalam bagian Penjelasan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Dijelaskan pula bahwa sistem konservasi yang dinyatakan sebagai sistem suaka perikanan memiliki fungsi dan tujuan antara lain menyediakan sumber bibit dan benih untuk perikanan tangkap dan untuk melestarikan keanekaragaman sumber daya genetik perikanan. Fungsi utama konservasi adalah sebagai : 1) fungsi ekologis dalam menunjang peningkatan populasi alami melalui pemulihan populasi, 2) fungsi 107

129 sosio ekonomi dan sosio budaya dalam memenuhi aspek pemanfaatannya bagi kesejahteraan manusia (Hartoto dkk., 1998). Ditambahkan pula dalam pembuatan kriteria evaluasi dan klasifikasi suaka perikanan dari beberapa aspek yaitu: 1) ditinjau dari aspek teknis manajemen perikanan, 2) ditinjau dari aspek biologi reproduksi, dan 3) ditinjau dari aspek limnologis. Sampai saat ini di perairan Danau Towuti belum dilakukan pembuatan daerah suaka perikanan karena masih sedikit penelitian tentang kondisi keseluruhan perairan danau tersebut. Di samping itu belum ada koordinasi yang baik antar instansi pemerintah seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan yang berwenang dalam melakukan pengawasan. Namun demikian, gagasan tentang penentuan daerah suaka perikanan perlu dikemukakan mengingat status perikanan khususnya ikan bonti-bonti saat ini ada indikasi telah mencapai tingkatan tangkap lebih. Konsep dasar ilmiah mengenai struktur dan fungsi yang berkaitan dengan interaksi antara individu organisme dan lingkungan harus diterapkan secara operasional dalam pengelolaan sebuah suaka perikanan perairan darat. Menurut Anonim (2007) pada skala operasional di lapangan, dasar ilmiah tersebut di atas diterapkan melalui identifikasi adanya lima tapak limnologis yang penting bagi terjaminnya siklus hidup ikan. Tapak penting adalah bagian perairan yang diketahui menyediakan sumberdaya habitat tertentu atau sebagai ruang untuk menjalankan fungsi fisiologis jenis-jenis ikan tertentu. Kelima tapak penting itu adalah tapak pemijahan (spawning site), tapak pembesaran (nursery site), tapak untuk bergerak bebas (roaming site), tapak untuk mencari makan (feeding site) dan tapak untuk berlindung (refuge site). Berdasarkan jenis tapak suaka perikanan tersebut, pada stasiun II=Inlet Danau Towuti yang berasal dari Sungai Tominanga masuk ke dalam kriteria sebagai tapak pemijahan, tapak pembesaran, dan tapak untuk mencari makan. Hal tersebut diketahui dari gonad (komposisi IKG), makanan yang terdapat dalam lambung, dan ukuran ikan bonti-bonti yang beragam mulai dari ukuran yang kecil sampai yang berukuran besar. Daerah yang patut dipertimbangkan sebagai suaka perikanan adalah stasiun II dengan kedalaman air 1-20 m, substrat terdiri dari batu, kerikil, dan pasir pada koordinat 02 o 39 43,4 LS; 121 o 32 46,0 BT. 108

130 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1) Secara spasial ikan bonti-bonti menyebar mulai dari pinggir danau hingga ke bagian pulau di tengah danau. Kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun inlet Danau Towuti dengan tipe substrat pasir, kerikil, dan batu. Secara temporal kelimpahan ikan bonti-bonti tertinggi dijumpai pada bulan November dan Desember. 2) Ikan bonti-bonti adalah tipe ikan yang memijah secara parsial (partial spawner) dengan puncak pemijahan pada bulan Mei dan November. Tapak pemijahan, pembesaran, dan mencari makan adalah di stasiun inlet Danau Towuti. 3) Pertumbuhan ikan bonti-bonti jantan L t =20,05 [1-e -1,70(t+0,02) ], sedangkan ikan betina L t =20,45 [1-e -2,00(t+0,01) ]. Ukuran panjang total (PT) ikan jantan dan ikan betina matang gonad (MG) dengan peluang 50% masing-masing adalah 16,78 dan 14,61 cm. Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan dan ukuran ikan matang gonad dengan peluang 50% dapat dikatakan bahwa potensi tumbuh somatik dan reproduktif ikan bonti-bonti masih berlangsung baik. 4) Rekrutmen ikan bonti-bonti terjadi setiap bulan dengan puncaknya diperkirakan pada bulan September, Oktober, dan November. 5) Tingkat pemanfaatan stok ikan bonti-bonti di Danau Towuti ada indikasi kelebihan tangkap baik pada ikan jantan (E=0,54) maupun ikan betina (E=0,56). Peningkatan effort (unit/bulan) alat tangkap bagan cenderung menurunkan produktivitas alat. Penurunan daya pulih stok ikan bonti-bonti bukan disebabkan variabel lingkungan, namun disebabkan oleh adanya eksploitasi yang berlebihan. Saran Untuk menjaga agar kemampuan pulih kembali ikan bonti-bonti tersebut dapat tercapai, maka perlu dilakukan pembuatan daerah suaka perikanan di Danau Towuti yaitu pada stasiun inlet Danau Towuti (daerah sekitar muara Sungai Tominanga) yang memiliki substrat batu, kerikil, dan pasir. Perlu dilakukan pembatasan/pengaturan penangkapan pada bulan November dan Desember di habitat tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dipertimbangkan 109

131 kawasan Danau Towuti yang semula sebagai kawasan Taman Wisata Alam (TWA) untuk diusulkan sebagai kawasan Taman Nasional Perairan (TNP), diharapkan dapat memperkuat landasan operasional untuk kegiatan konservasi, dan tidak menutup kemungkinan untuk pemanfaatannya. Hal ini harus dilandasi usaha pengawasan/monitoring dan evaluasi yang efektif. Perlu dilakukan pengaturan jumlah hari penangkapan bagan yang beroperasi di Danau Towuti dengan jumlah 19 unit, dan masing-masing bagan disarankan beroperasi sebanyak 10 hari per bulan. Ukuran ikan yang disarankan boleh ditangkap adalah pada ukuran >14,0 cm. Perlu dikembangkan pengelolaan perikanan secara bersama (fisheries co-management) yaitu pemerintah dan pelaku pemanfaatan sumberdaya (user groups) berbagi tanggung jawab (sharing the responsibility) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan ekonomi dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan sumberdaya perikanan. Hal ini mengingat perairan Danau Towuti dihuni oleh jenis-jenis ikan endemik yang memerlukan pendekatan ko-manajemen yang kooperatif sehingga jenis ikan endemik tersebut dapat berkelanjutan dengan pemanfaatan yang tepat. Dalam upaya menjaga keberlanjutan stok ikan bonti-bonti di Danau Towuti yang berstatus rawan punah (vulnerable species) dan endemik (kriteria kelangkaan spesies menurut IUCN), perlu dilakukan upaya domestikasi/penangkaran ikan tersebut. Diharapkan keberhasilan domestikasi ikan bonti-bonti selain mampu mempertahankan kelestarian juga dapat merubah status vulnerable species menjadi rare species. 110

132 DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L., Y. Matsuda, and Y. Sakuma Assesing Local Sustainability of Fisheries System: A Multi-Criteria Participatory Approach With The Case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy, 29: Allen, G.R. and N.J. Cross Descriptions of five new rainbowfishes (Melanotaeniidae) from New Guinea. Rec. West. Aust. Mus. 8(3): Andriani, I Bioekologi, morfologi, kariotip, dan reproduksi ikan hias rainbow Sulawesi (Telmatherina ladigesi) di Sungai Maros, Sulawesi Selatan. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 98 hal. Anonim Litbang limnoteknologi pengelolaan dan restorasi perairan darat. Laporan Teknis 1994/1995. Proyek Litbang Pendayagunaan dan Rehabilitasi Lingkungan Perairan Darat. Puslitbang Limnologi-LIPI. 21 hal. Anonim Draft Pedoman umum pemacuan sumberdaya ikan dan lingkungannya. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia. Hal Anonymous, Standard Method For the Examination of the Water and Waste Water. 17 th Edition. APA-AWWA-WPCF: 1100 pp. Bagenal, T.B Aspecs of fish fecundity. Ecology of freshwater fish production. Blackwell Scientific Publications. Oxford. p Ball, D.V. and K.V. Rao Marine Fisheries. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company, Limited. New Delhi. 521 p. Beverton, R.H.J. and S.J. Holt On the dynamics of exploited fish populations. Fish. Invest. London, II, 19:533 p. Beverton, R.H.J Maturation, growth and mortality of clupeid and engraulid stocks in relation to fishing. Rapp. P.V. Reun. CIEM., 154: Beverton, R.H.J. and S.J. Holt Manual of methods of fish stock assessment. Part II. Tables of Yield fuction. FAO Fish. Tech. Pap. 38(Rev-1). 67 p. Bhukaswan, T Management of asian reservoir fisheries. FAO Fish. Technical paper, 207:69. Biusing, F.R Dinamika populasi dan aspek reproduksi ikan kembung lelaki di sekitar perairan laut pantai selatan Negeri Sabah Kesatuan Negara Malaysia. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 743 hal. Bone, O. and N.B. Marshal Biology of Fishes. First edition. Blackkie and Sons Limited, New York. 205 p. 111

133 Bowers, M.J Annual reproductive cycle of oocyt and embryos of yellowtail rockfish Sebastes flavidus.fishery Bulletin, 90(2): Boyd, C.E Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University of Agriculture Experiment Station. Alabama, USA. 359 p. Coates, B.J., K.D. Bishop, and D. Gardner Panduan Lapangan Burungburung di Kawasan Wallacea. Bird Life International-Indonesian Programme and Dove Publication Pty. Bogor. 101 p. Dajoz, R Introduction to Ecology. Hodder and Stoughton, London. 416 p. Edmonson, W.T Freshwater biology. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc., New York p. Effendie, M.I Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Cetakan I, Bogor. 112 hlm. Effendie, M.I Biologi Perikanan. Edisi Revisi. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal. Froese, R. and D. Pauly. Fish base. World Wide Web electronic publication. Download on July 6, Furkon, A Kebiasaan makanan ikan bonti (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 49 hal. Goetz, F Hormonal control of oocyte final maturation and ovulation in fishes. In W.S. Hoar, D.J. Randal, and E.M. Donaldson (eds.). Fish physiology, Vol IX B. Academic Press New York. Goto, A Freshwater fishes: Their grouping by life history strategy and their distribution pattern. In N. Mizuno and A.Goto (eds.) Freshwater fishes in Japan: Their distribution, variation and speciation, Tokay University Press, Tokyo. p Gray, S.M. and J.S. McKinnon A comparative description of mating behaviour in the endemic telmatherinid fishes of Sulawesi s Malili Lakes. Journal of Biology of Fishes, 75: Guiguen, Y., C. Cauty, A. Fostier, J. Fuchs, and B. Jalabert Reproductive cycle and sex inversion of the seabass, Lates calcarifer reared in the sea cages in French Polynesia: Histological and morphometric description. Environmental Biology of Fishes, 39: Gulland, J.A Fish population dynamics. The implications of management. A Willey-Inter-Science Publication. 2 nd ed. John Willey and Sons Ltd.102 p. 112

134 Gulland, J.A Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. FAO/Wiley Series on Food and Agriculture; V.1. A Willey Inter science Publication. John Wiley and Sons,Ltd. 130 p. Haffner, G.D., P.E. Hehanussa, and D. I. Hartoto The Biology and Physical Processes of Large Lakes of Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Food-web, health, and integrity. Netherlands. p Haffner, G.D., L. Sabo, A. Bramburger, P. Hamilton and P. Hehanussa Limnology and sediment dynamics in The Malili Lakes: What regulates biological production?. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p Hardjamulia, A., N. Suhenda, dan E. Wahyudi Perkembangan oosit dan ovari ikan semah, Tor douronensis di Sungai Selabung, Danau Ranau, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 1(3): Hartoto, D.I. dan Awalina Some physico-chemico limnological characters of Lake Matano and Towuti as the set points for their conservation management. Laporan Teknis 1995/1996. Proyek Pengembangan Prasarana dan Sarana Laboratorium LIPI. Puslitbang Limnologi-LIPI. Hal Hartoto, D.I, A.S. Sarnita, D.S. Sjafei, A. Satya; Y. Syawal, Sulastri, M.M. Kamal, dan Y. Sidik Kriteria evaluasi suaka perikanan perairan darat. LIPI-Puslitbang Limnologi. 51 hal. Hehanussa, P Land-inland water interactions of the Malili Lakes, their characteristics and antropogenic effects. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p 1-4. Herder, F., R.K. Hadiaty, J. Schwarzer, J. Pfaender, A. Nolte, U. Schliewen Diversity and evolution of Telmatherinidae in the Malili Lakes System (Sulawesi). Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor- Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p Hoar, W.S The Physiology of Fishes. Vol I. Academic Press Inc. New York. Hoedeman, J.J Naturalist Guide to Freshwater Aquarium Fish. Sterling Publishing Co. Inc. New York. 105 p. 113

135 Horn, H.S Optimal Tactics of Reproduction and Life-history. In Krebs, J.R and N.B. Davies (eds.). Behavioral Ecology an Evolutionary Approach. Blackwell Scientific Publications, Oxford. p Husnah, D.W.H. Tjahjo, A. Nastiti, D. Oktaviani, S.H. Nasution, dan Sulistiono Status Keanekaragaman Hayati Sumberdaya Perikanan Perairan Umum Di Sulawesi [Draft 4]. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Departemen kelautan dan Perikanan. Jakarta. 139 hal. Hunter, J.R., B.J. Macewicz, N. Chyanhuilo, and C.A. Kimbrill Fecundity, spawning, and maturity of female dover sole, Microstumus pacificus with evaluation of assumption and precisions. Fishery Bulletin, 90: Indiarto, Y dan S.H. Nasution Makrofita air Ottelia mesenterium dalam kaitannya dengan kelimpahan ikan rainbow selebensis (Telmatherina celebensis) di Danau Towuti. LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia, XI(2): IUCN IUCN Redlist of threatened species Download on July 16, Jeffries, M. and D. Mills Freshwater Ecology, Principles and Aplications. John Wiley and Sons. Chichester, UK. 285 p. Kiernan, J.A Histological & Histochemical Methods. Theory and Practice. 2 nd ed. Pergamon Press, Oxford. 433 p. King, M Fisheries Biology, Assessment and management. Fishing News Books. A Division of Blackwell Science Ltd. London. 341 p. Kinnaird, M.F Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Disponsori oleh Dirjen PHPA, LIPI, Yayasan Pengembangan Wallacea, dan GEF Biodiversity Collections Project. 125 hal. Kjesbu, O.S. and H. Kryui Oogenesis in Cod, Gadus morhua, L. Studied by light and electron microscope. J. Fish Biol., 34: Kottelat, M The ricefishes (Oryziidae) of the Malili Lakes, Sulawesi, Indonesia with description of a new species. Ichthyol. Explorer. Freshwaters, 1: Kottelat, M Sailfin silversides (Pisces: Telmatherinidae) of Lake Matano, Sulawesi, Indonesia, with description of six new species. Ichthyol. Explorer. Freshwaters, 1: Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd. Bekerjasama dengan Proyek EMDI, Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. 293 hal. 114

136 Krebs, C.J Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 3 rd edition. Harper and Row Publisher, New York. 694 p. Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.H. Miller, and D.R.M. Passino Ichthyology. John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. 556 p. Lowe and McConell, R.H Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge University Press. Melbourne, Australia. 105 p. Mann, R.H.K. and C.A. Mills Demographic Aspecs of Fish Fecundity. In P.J. Miller (eds.). Fish Phenology: Anabolic Adaptiveness in Teleosts.Academic Press, London. 203 p. Mc Kinnon, K Nature s Treasures House. The Wildlife of Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta. 72 p. Meffe,G.K, C.R. Carroll and Contributors Principles of Conservation Biology. Second Edition. Sinauer Associates, Inc. Publishers Sunderland, Massachusetts. 729 p. Merta, I.G.S Dinamika populasi ikan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 (Pisces:Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan alternatif pengelolaannya. Disertasi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miller, P.J The Tokology of Gobioid Fishes. In G.W. Potts and R.J. Wootton (eds.). Fish reproduction, strategies, and tactics. Academic Press. Harcourt Brace Jovanovich Publishers, London. p Mizuno, T Illustration of the Freshwater Plankton in Japan. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka, Japan. 351 p. Moyle, P.B. and J.C. Joseph Fishes, An Introduction to Ichthyology. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 559 p. Nagahama, Y The Functional Morphology of Teleost Gonads. In W.S. Hoar, D.J. Randal, and E.M. Donaldson (eds.). Fish physiology, IX A: Academic Press, New York. Nasution, S.H. dan Sulistiono Kematangan gonad ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 10 (2): Nasution, S.H. 2004a. Distribusi dan perkembangan gonad ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 88 hal. Nasution, S.H. 2004b. Conservation of endemic fish Telmatherina celebensis in Lake Towuti, South Celebes. Proceedings of The International Workshop on Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes, December 8-9, 2004 Bogor- Indonesia. p

137 Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, G.S. Haryani Variasi morfologi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3 (2): Nasution, S.H. 2005a. Karakteristik reproduksi ikan endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 11 (2): Nasution, S.H. 2005b. Karakteristik habitat, aspek biologi dan upaya pengelolaan ikan endemik Telmatherina celebensis di Danau Towuti. Makalah Seminar Pertemuan Pakar Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2 Agustus 2005, Jakarta. Hal Nasution, S.H Pangkilang (Telmatherinidae) ornamental fish: An economic alternative for people around Lake Towuti. Proceedings International Symposium. The Ecology and Limnology of the Malili Lakes on March 20-22, 2006 in Bogor-Indonesia. Supported by: PT. INCO Tbk. and Research Center for Limnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). p Nasution, S.H., D.S. Said, Lukman, Triyanto, dan H. Fauzi Aspek reproduksi ikan beseng-beseng (Telmatherina ladigesi Ahl) dari beberapa sungai di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV pada tanggal Agustus 2006 di Jatiluhur. Hal Nasution, S.H., Sulistiono, D.S. Sjafei, dan G.S. Haryani Distribusi spasial dan temporal ikan endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 13(2): Nasution, S.H Growth and condition factor of Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) in Lake Towuti, South Celebes. Indonesian Fisheries Research Journal, 13(2): Needham, J.G. and P.R. Needham A Guide to The Study of Freshwater Biology. Holden Day, Inc. San Francisco. 256 p. Nelson, J.S Fishes of the World. 3 rd edition. John Wiley & Sons, Inc. 521 p. Nikolsky, G.V The Ecology of Fishes. Academy Press, New York. 432 p. Ofori, P.K., C.J. Vanderpuye, and G.J. de Graaf Nefisco Growth and mortality of the catfish (Hemisynodontis membranaceus ), in the northern arm of Lake Volta, Ghana. Fisheries Management and Ecology, 8: Pauly, D Some simple method for assessment to tropical stock. FAO Fish Tech. Paper, 242:52 p. 116

138 Patrick, W Aquatic Entomology. Jones and Bartlet Publishers. Boston- London. 68 p. Pescod, M.B Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for Tropical Countries. AIT Bangkok. 59 p. Prescott, G.W How to Know the Freshwater Algae. W.M.C. Brown Co. Publ. Dubuque, Iowa. 348 p. Purwanto, G., W.M. Bob, dan S.J. Bustaman Studi pendahuluan keadaan reproduksi dan perbandingan kelamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan sekitar Teluk Piru dan Elpaputih P. Seram. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 34: Reid, W. V., and K. R. Miller Keeping option alive : The scientific basis for conserving biodiversity. World Recources Institute, Washington D.C. 128 p. Ricker, W.E Computation and interpretation of biological statistic of fish population. Bull. Fish. Res. Board Can., 191:382 p. Ricker, W.E Methods for Assessment of Fish Production in Freshwater. 2 nd edition. International Biological Programme. Blackwell Scientific Publications. Oxford and Edinburg. London. 313 p. Ridwan, A Makanan ikan keprek, Mystacoleucus marginatus dan beberapa jenis ikan Puntius sp. di Waduk Lahor Malang Jawa Timur. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Royce, W Introduction to the Practice of Fishery Science. Academic Press Inc., New York. 753 p. Samuel, Z. Fahmi, dan S. Gautama Riset keanekaragaman hayati dan bahan rumusan pengelolaan jenis ikan endemik perairan pedalaman di Sulawesi. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 19 hal. Scott, D.B.C Environmental Timing and The Control of Reproduction in Teleost Fish. In P.J. Miller (eds.). Fish phenology: Anabolic adaptivennes in teleost. The Zoological Society of London. Academic Press Inc. London. p Soeroto, B Beberapa catatan tentang distribusi ikan-ikan air tawar di daerah Kolonedale, Sulawesi Tengah bagian Timur. Jurnal Fakultas Perikanan, III(1):1-6. Soeroto, B., F. Tantu, J. Nilawati, H. Sambali, J. Reptandi, E. Bataragoa, F. Tilaar, G. Samadan, A. Wantasen The Biodiversity and the management strategy of endemic fish species in Lake Towuti, South Sulawesi, Indonesia. Funded by The Asean Regional Centre for Biodiversity Conservation and the European Commission. Manado. 26 p. 117

139 Sparre, P. and S.C. Venema Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan Penelitian dan pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. FAO Fish Tech. Paper, 306(1):376 p. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie Principles and Procedure of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book Company, Inc New York. 748 p. Sukimin, S Pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di ekosistem danau. Makalah disampaikan pada Training on Capacity Development for AQUIIF Programme Directorate General of Aquaculture, Department of Marine Affairs and Fisheries and FAO. Sumatra Barat, 7-9 Agustus hal. Sumassetiyadi, M.A Beberapa aspek reproduksi ikan opudi (Telmatherina antoniae) di Danau Matano Sulawesi Selatan. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 55 hal. Swingle Chemical Analysis Fish Water and Ponds muds. FAO. 397 p. Takashima, F. and T. Hibiya An Atlas of Fish Histology. Normal and Phatological Features. 2 nd edition, Tokyo. 195 p. Thohari, M dan H.S. Alikodra Konsep pengelolaan keanekaragaman hayati di perairan umum. Makalah Seminar Pertemuan Pakar Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2 Agustus 2005, Jakarta. Hal Tjahjo, D.W.H., Husnah, D. Octaviani, A.S. Nastiti, S.E. Purnamaningtyas, dan D. Nugroho Riset keanekaragaman hayati ikan perairan pedalaman di Sulawesi. Makalah Seminar Pertemuan Pakar Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2 Agustus 2005, Jakarta. 85 hal. Treasurer, J.W The annual reproductive cycle of pike, Esox lucius L in two Scottish Lakes. J. Fish Biol, 36: Trippel, E.A., O.S. Kjesbu and P. Solemial Effects of Adult Age and Size Structure on Reproductive Output in Marine Fishes. In R. Christopher Chambers and Edward A. Trippel (eds.). Early life history and recruitment in fish populations. Fish and Fisheries Series 21, Chapman and Hall. p Weber, M. and De Beaufort The Fishes of Archipelago. Vol.IV. E.J. Brill, Leiden. 235 p. the Indo Australian Welcomme, R.L Fisheries Ecology of Floodplain River. Longman Inc., London. 317 p. Welcomme, R.L Inland Fisheries, Ecology, and Management. Fishing News Books, A Division of Blackwell Science Ltd, London. 358 p. 118

140 Wetherall. J.A A new method for estimating growth and mortality parameters from length frequency data. Fishbyte, 4(1); Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson The Ecology of Sulawesi. Vol IV. First Periplus Edition. Published by Periplus (HK) Ltd. 754 p. Widodo, J Dynamic pool analysis of ikan layang (Decapterus spp.) fishery in the Java Sea. Jurnal Perikanan Laut, 147: Wirjoatmodjo, S, Sulistiono, M.F. Rahardjo, I.S. Suwelo and R.K. Hadiyati Ecological distribution of endemic fish species in Lakes Poso and Malili Complex, Sulawesi Island. Funded by Asean Regional Centre for Biodiversity Conservation and the European Comission. 30 p. Wootton, R.J Energy Cost of Eggs Production and Environmental Fecundity in Teleost Fishes. In P.J. Miller (ed.). Fish phenology anabolic adaptiveness in teleost. The Zoological Society of London. Academic Press, London. p World Bank Integrating freshwater biodiversity conservation with development. Some emerging lessons. Natural habitats and ecosystems management series, Paper No p. Yoneda, M., K. Futagawa, M. Tokimura, H. Horikawa, S. Matsuura, and M. Matsuyama Reproductive cycle, spawning frequency and batch fecundity of the female whitefin jack Kaiwarinus equula in the East China Sea. Fisheries Research, 57: Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Jakarta. 119

141 LAMPIRAN 120

142 Lampiran 1. Gambar keadaan stasiun penelitian di Danau Towuti Tj. Bakara Inlet D. Towuti P. Loeha Outlet D. Towuti Beau 121

143 Lampiran 2. Beberapa alat yang dipergunakan selama penelitian Papan berskala mengukur tinggi muka air Geographic Positioning System (GPS) Water Quality Checker (WQC) Perahu penelitian 122

144 Lampiran 3. Gambar alat tangkap experimental gillnet dan bagan Experimental gillnet Bagan 123

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

POTENSI REKRUT IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN

POTENSI REKRUT IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN POTENSI REKRUT IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN ABSTRAK Syahroma Husni Nasution 1), Ismudi Muschsin 2), dan Sulistiono 2) 1) Peneliti pada Pusat Penelitian

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN

IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Ikan Dui Dui... di Danau Towuti Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) IKAN DUI DUI (Dermogenys megarrhamphus) IKAN ENDEMIK DI DANAU TOWUTI SULAWESI SELATAN Safran Makmur 1), Husnah 1), dan Samuel 1) 1)

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich, 1935) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN

KAJIAN PERTUMBUHAN IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich, 1935) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN KAJIAN PERTUMBUHAN IKAN BONTI-BONTI (Paratherina striata Aurich, 1935) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN Moh. Tauhid Umar* 1, Suwarni 1, Raodah Salam 2, dan Sharifuddin Bin Andy Omar 1 1 Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO

3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO 35 3 SEBARAN SPASIAL-TEMPORAL IKAN T. sarasinorum DI DANAU MATANO Pendahuluan Sebaran ikan T. sarasinorum di Danau Matano pertama kali dilaporkan oleh Kottelat (1991). Hingga saat ini diketahui terdapat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN

STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis) DI DANAU TOWUTI, SULAWESI SELATAN Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(2): 149-156 (2006) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id 149 STUDI ISI LAMBUNG IKAN OPUDI (Telmatherina celebensis)

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN

STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN LEMEDUK (Barbodes schwanenfeldii) DI SUNGAI BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG ANITA RAHMAN 100302040 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1

KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 KAJIAN ASPEK PERTUMBUHAN POPULASI POKEA (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA 1 (The Study of Population Growth of Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian 13 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Danau Matano, Sulawesi Selatan. Sampling dilakukan setiap bulan selama satu tahun yaitu mulai bulan September 2010 sampai dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 30 km di Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK. The reproduction of Ompok hypophthalmus (Bleeker) related to aquatic hydromorphology change in floodplain of Kampar Kiri River. Under the direction of SUTRISNO SUKIMIN

Lebih terperinci

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI KEBIASAAN MAKANAN IKAN BETOK (Anabas testudineus) DI DAERAH RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KEC. KOTA BANGUN, KAB. KUTAI KERTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LIRENTA MASARI BR HALOHO C24104034 SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN

PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN ABSTRAK PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN Marson 1) dan Mas Tri Djoko Sunarno 2) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang

Lebih terperinci

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT Umi Chodrijah 1, Agus Arifin Sentosa 2, dan Prihatiningsih 1 Disampaikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak

Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak ENDRI JUNAIDI, ENGGAR PATRIONO, FIFI SASTRA Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba Di dalam ekosistem terdapat komunitas, populasi dan individu serta karakteristiknya. Interaksi antar populasi dalam suatu ekosistem, relung dan habitat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta, terletak di sebelah utara kota Jakarta, dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata

Lebih terperinci

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS HASIL TANGKAPAN ALAT PENANGKAPAN JARING INSANG SATU LEMBAR (GILLNET) DAN TIGA LEMBAR (TRAMMEL NET) DI PERAIRAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI IKHWANUL CHAIR NAWAR 090302056 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI

PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI PENGENDALIAN SUMBERDAYA IKAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM PENANGKAPAN DAN PENGUMPULAN GLASS ELL (SIDAT) DI MUARA SUNGAI CIMANDIRI Oleh : Tedi Koswara, SP., MM. I. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Bupati Nomor 71

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum PPP Labuan PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) Labuan, Banten merupakan pelabuhan perikanan pantai terbesar di Kabupaten Pandeglang yang didirikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR ISI vi KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR ix I. PENDAHULUAN 1 II. SISTIMATIKA DAN DISTRIBUSI 8 A. Sistimatika 8 B. Distribusi 13 III. BIOLOGI REPRODUKSI 20 A. Nisbah

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan III. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring tancap (gillnet), jala tebar, perahu, termometer, secchi disk, spuit, botol plastik, gelas ukur

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN UMUM A. Latar Belakang Mollusca sebagai salah satu hasil perairan Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang layak. Pemanfaatan Pelecypoda masih terbatas yaitu di daerah-daerah

Lebih terperinci